BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Uni Eropa mengalami defisit demokrasi. Itu yang dikatakan oleh sebagian ahli ketika menilai tidak tercapainya kondisi ideal dari model demokrasi dalam praktik politik Uni Eropa. Ada beberapa temuan empiris yang menunjukkan persoalan demokratis Uni Eropa. Pertama, praktik pembuatan kebijakan di Brussels didasarkan kepada rancangan yang kebanyakan diajukan oleh teknokrat-teknokrat Komisi Eropa. Kedua, sementara itu institusi-institusi seperti Dewan Menteri dan Parlemen Eropa sebagai representasi negara anggota dan masyarakat Eropa memiliki wewenang yang terbatas dalam proses legislasi. Ketiga, dalam berbagai forum baik Dewan Menteri maupun Parlemen Eropa tidak terdapat sebuah proses politik yang akomodatif terhadap partisipasi masyarakat Eropa. Keempat, penggunaan multilingual pun menjadi salah satu penghambat dari proses kontrol demokratis dari Dewan Menteri dan Parlemen Eropa. Kelima, masyarakat Eropa sendiri masih masih belum memiliki identitas supranasional yang kuat. Ketika perdebatan akademis mengenai defisit demokrasi sedang berlangsung,
pada
tahun
2000,
Uni
Eropa
melalui
Dewan
Eropa
memperkenalkan sebuah mekanisme pembuatan kebijakan baru yang disebut Open Method Coordination (OMC). OMC merupakan bagian dari Program Lisbon yang mengelaborasi seperangkat prioritas dalam liberalisasi ekonomi, finansial, dan solidaritas sosial. Melalui OMC ini diharapkan ada sebuah mekanisme pembuatan kebijakan yang transparan, partisipatif, dan proses pembelajaran.1 Mekanisme OMC ini didesain untuk melibatkan berbagai pihak yaitu Uni Eropa, negara anggota, regional, maupun lokal dengan pula
1
Pernyataan European CouncilOresidency dalam Caroline de la Porte dan Patricia Nanz, The OMC – a deliberative-democratic mode of governance? The cases of employment and pensions, Journal of European Public Policy 11:2 April 2004: 267–288, (Taylor & Francis Ltd, 2004), hal. 267.
1
melibatkan
partner
sosial
dan
masyarakat
sipil.2
Dengan
luasnya
keterlibatanaktor-aktor dalam OMC, ada semacam harapan yang muncul di antara akademisi bahwa kualitas demokrasi Uni Eropa bisa terangkat dan meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap sebuah kebijakan. 3Terdapat pula janji-janji dari Uni Eropa akan adanya pembuatan kebijakan yang berdasarkan kepada diskursus, deliberasi, dan pembelajaran yang saling menguntungkan (mutual learning). Untuk mengetahui bagaimana OMC bekerja, perlu bagi kita untuk melihat dalam salah satu ranah kebijakan yang lebih sempit, yang salah satunya adalah kebijakan pensiun. Melalui OMC pensiun, Uni Eropa dan negara anggotanya memiliki tiga tujuan bersama yaitu kecukupan, keberlanjutan, dan modernitas. Ketiga tujuan ini saling berhubungan untuk menjamin kelangsungan hidup pensiunan di Eropa. Dengan melalui OMC, negara anggota Uni Eropa digiring untuk memiliki kognitif bersama mengenai kebijakan pensiun. Bila sebelumnya tiap negara anggota memiliki rejim pensiun berbeda-beda, dengan OMC tiap negara anggota akan memiliki preferensi yang sama. 4 Dalam jangka panjang kebijakan pensiun melalui mekanisme OMC bisa mendorong kepada sebuah integrasi sistem keamanan sosial di dalam Uni Eropa. Permasalahan kebijakan pensiun ini berangkat dari persoalan demografi yang dihadapi oleh Uni Eropa. Bila di dekade 2000-2010, empat orang usia produktif mampu menanggung beban hidup seorang pensiunan, dalam beberapa dekade ke depan seorang pensiunan hanya bisa ditanggung oleh dua orang usia produktif saja.5 Beberapa negara anggota pun sudah melakukan aksi
2
Milena Büchs,New Governance in Social Policy: The Open Method of Coordination, (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2007), hal. 131. 3 Loc. Cit., de la Porte and Nanz. 4 EU Commission dalam Roger Koch, Simplifying the European pension system – can the EU’s ‘Open Method of Coordination’ provide a solution?, AEGON Global Pensions View, (Mei 2009), hal. 4. 5 Seppo Honkapohja and Frank Westermann, ed., Designing European Model, (Hampshire: Palgrave Macmillan, 2009), hal. 399.
2
preventif dengan terlebih dahulu melakukan peningkatan usia pensiun seperti Prancis, Spanyol, Yunani, dan Inggris.6 Kebijakan pensiun yang telah didesain atas dasar OMC menimbulkan protes dari masyarakat Eropa. Sekalipun dalam peluncurannya didesain dengan harapan demokratis, mekanisme OMC – khususnya dalam kebijakan pensiun – masihlah dalam kondisi yang kurang demokratis. Pembuatan dan konsultasi dalam kebijakan tersebut tidak melibatkan pihak-pihak yang terkena dari kebijakan tersebut organisasi sosial. Baik Parlemen Eropa maupun parlemen nasional tidak memiliki wewenang dalam pengawasan mekanisme OMC pensiun.7 Dalam praktiknya, masyarakat yang terkena dampak dari kebijakan tersebut maupun wakilnya tidak dilibatkan dalam praktik OMC. OMC hanya melibatkan dua pihak yaitu Komisi Eropa dan menteri-menteri nasional.8 Persoalan dalam OMC pensiun ini juga tidak bisa dilepaskan dari perdebatan dalam permasalahan defisit demokrasi di Uni Eropa. Birokratisasi dan teknokrasi dalam pembuatan kebijakan di lingkungan institusi Uni Eropa telah menimbulkan berbagai persoalan representasi, kontrol demokratis, dan identitas masyarakat Eropa. Ketiga permasalahan demokrasi ini tentunya akan mempengaruhi legitimasi kebijakan-kebijakan Uni Eropa. Kebijakan-kebijakan Uni Eropa seperti kebijakan pensiun tampak tidak dibekali mekanisme yang legitimatif secara demokratis. Tampaknya integrasi ekonomi dengan pasar dan perdagangan bebasnya menuntut penyederhanaan pembuatan kebijakankebijakan di level Eropa. Padahal saat ini, Uni Eropa memegang berbagai macam kebijakan yang sebelumnya berada di tangan pemerintahan nasional. Sehingga legitimasi politik yang dibutuhkan bukan lagi sekedar berasal dari traktat-traktat yang disepakati oleh antar negara anggota, melainkan juga dari kekuatan politis masyarakat Eropa sendiri.
6
Euractive, Commission Treads Carefully Pension Reform, 8 Juli 2010,http://www.euractiv.com/en/socialeurope/commission-treads-carefully-pension-reformnews-496103, diunduh 23 April 2011 pukul 11.38. 7 Loc. Cit., de la Porte, hal. 278. 8 OMC Applied To Homelessness: Strong Interest, Great Potential, And Results Guaranteed, hal. 1, www.FEANTSA.org
3
Persoalan kondisi demokratis dalam mekanisme OMC kebijakan pensiun tidak jauh berbeda. Sekalipun pada awalnya didesain dengan tujuan melibatkan berbagai pihak, dalam pelaksanaannya dominasi teknokrat Komisi Eropa dan menteri-menteri negara anggota telah mengimunkan OMC dari partisipasi masyarakat dan representasinya. Masyarakat pensiunan yang terkena dampak dari kebijakan tersebut tidak mempunyai ruang untuk memberikan pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan. Parlemen pun tidak memiliki wewenang kuat dalam kontrol kebijakan. Justru yang terjadi dalam mekanisme OMC kebijakan pensiun adalah defisit demokrasi. Persoalan OMC pensiun bisa menjadi petunjuk atas perdebatan defisit demokrasi yang sudah berjalan dua dekade di Eropa. OMC pensiun menjadi bukti bahwa Uni Eropa mengalami defisit demokrasi. Penulis tertarik untuk menyusun “puzzle” persoalan defisit demokrasi dari perdebatan defisit demokrasi di antara ahli, harapan besar mengenai perbaikan demokrasi Uni Eropa melalui OMC, dan realitas OMC pensiun. Melalui analisis persoalan demokrasi dalam OMC pensiun, skripsi ini akan membuka salah satu gerbang pemahaman persoalan demokrasi dalam lingkup yang lebih luas yaitu Uni Eropa. Dengan memahami salah satu sektor pembuatan kebijakannya, kita bisa melihat apa yang menjadi sumber persoalan kemunculan defisit demokrasi Uni Eropa. B. Rumusan Masalah Dengan bersandarkan pada studi kasus Open Method Coordination dalam kebijakan pensiun, rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: “Mengapa Uni Eropa mengalami defisit demokrasi?” C. Kerangka Konseptual Eksplanasi terhadap rumusan masalah di atas akan didasarkan kepada kerangka konseptual dari defisit demokrasi Uni Eropa, model demokrasi deliberatif, teori liberalisasi ekonomi atau neoliberalisme, dan teknokratisasi Uni Eropa. Keempatnya akan digunakan untuk menjelaskan permasalahan
4
defisit demokrasi dalam studi kasus Open Method Coordination (OMC) pensiun Uni Eropa. Defisit Demokrasi Uni Eropa Defisit demokrasi Uni Eropa bisa dikategorisasikan ke dalam tiga macam permasalahan demokrasi, yaitu permasalahan representasi, permasalahan kontrol demokratis, dan permasalahan citizenship. Permasalahan representasi dan kontrol demokratis merupakan bentuk defisit demokrasi yang bersifat institusional dan merupakan hasil dari konsekuensi struktur dan tata pengelolaan yang ada di dalam tubuh Uni Eropa sendiri. Sementara permasalahan citizenship merupakan bentuk permasalahan sosio-psikologis masyarakat Eropa.9 Persoalan legitimasi demokrasi dalam OMC juga terkait dengan tiga hal di atas. OMC dalam pensiun sendiri tidak representatif terhadap masyarakat pensiunan Eropa. Di Uni Eropa memang terdapat serikat-serikat pekerja, tetapi tidak dilibatkan dalam proses OMC. Parlemen Eropa yang menjadi representasi resmi masyarakat Eropa pun bahkan tidak terlibat dalam proses OMC pensiun. Di sisi lain, ketidakterlibatan parlemen baik Eropa maupun nasional dalam OMC menjadi bukti absennya sebuah kontrol demokratis. Tanpa adanya sebuah kontrol demokratis, legitimasi OMC akan menjadi masalah karena apa yang dihasilkan tidak melalui sebuah proses perdebatan dan perujukan terhadap preferensi kepentingan masyarakat Eropa. Persoalan pelik lainnya adalah ketika representasi dan kontrol demokrasi tidak berjalan dengan baik, masyarakat Eropa masih belum terikat satu sama lain dalam “ke-uni eropa-an”. Tanpa adanya we-feeling dalam satu Uni Eropa, tak akan ada bentuk kontrol demokrasi selain melalui institusi resmi. Ketika masyarakat Eropa masih tidak peduli terhadap kebijakan pensiun, proses dalam OMC akan terus berjalan tanpa pengawasan. Hasil yang diperoleh akan dihasilkan tanpa preferensi masyarakat yang terkena dampak kebijakan. Guidelines OMC pensiun akan
9
nd
Michelle Cini, European Union Politics, 2 Edition, (New York: Oxford University Press), hal. 362.
5
mempunyai kemungkinan tidak berpihak terhadap masyarakat pensiunan Eropa. Demokrasi Deliberatif dan Variabelnya yang Digunakan Demokrasi deliberatif merupakan salah satu model dari demokrasi yang tidak
sekedar
mengacu
kepada
voting
saja.
Demokrasi
deliberatif
menggunakan pendekatan deliberasi sebagai preferensi dalam pembuatan kebijakan kolektif. Model demokrasi ini menekankan kepada diskusi yang setara dan berbasis inklusif. Hal ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan partisipan (masyarakat) terhadap isu yang dibahas, kesadaran terhadap kepentingan orang lain, dan kepercayaan untuk bersikap aktif dalam hubungan masyarakat.10 Sementara itu, Bohman mendefinisikan demokrasi deliberatif sebagai cara pandang yang menempatkan deliberasi publik atas warga negara yang bebas dan setara sebagai inti legitimasi pembuatan keputusan politik dan pemerintahan sendiri.11 Ada pun menurut Dryzek, demokrasi deliberatif adalah model dari demokrasi yang menekankan partisipasi politik tidak sekedar melalui agregasi pilihan individual, tetapi melalui proses rasionalitas yang diskursif atau komunikatif.12 Setidaknya akan ada tiga variabel dari model demokrasi deliberatif yang akan digunakan untuk menganalisis defisit demokrasi Uni Eropa, yaitu deliberasi, public sphere, dan citizenship/demos (menurut model demokrasi deliberatif). Deliberasi oleh Fishkin secara umum didefinisikan sebagai pertimbangan serius tentang argumen dan lawan-argumen (counter-argument) baik mendukung
maupun
melawan
alternatif
kebijakan.
Bagi
Fishkin,
“pertimbangan serius” dalam deliberasi paling tidak memiliki empat syarat minimum. Pertama, partisipasi dengan pikiran terbuka dan tulus hati dalam sebuah proses (deliberasi) di mana argumen ditawarkan dan dievaluasi 10
Michael Saward, ed., Democratic Innovation: Deliberation, Representation, and Association (New York: Routledge, 2003), hal. 5. 11 Ibid. hal. 6. 12 David Held, Models of Democracy, (Maiden: Polity Press, 2006).
6
kebaikannya. Kedua, terdapat situasi yang komplit di mana argument yang disuarakan dapat direspon oleh yang berpandangan berlawanan. Ketiga, bersikap aktif dan saling menghormati terhadap argumen dan partisipan lain. Keempat, tingkat derajat akurasi dalam klaim faktual yang dibuat. 13Mekanisme dan prasyarat dalam demokrasi deliberasi berbeda dengan agregasi preferensi dalam model demokrasi liberal yang didasarkan atas mekanisme pemilihan atau voting. Voting tidaklah cukup untuk melegitimasi sebuah keputusan politik karena keputusan yang didasarkan atas keputusan mayoritas tidak selalu merepresentasikan keinginan dari masyarakat luas.14 Bentuk partisipasi berupa voting juga merupakan sebuah bentuk rasionalitas yang didasarkan kepada pilihan konsumen atau hubungan pasar, ketimbang politik.15 Rasionalitas yang disebut rasionalitas instrumental ini berujung kepada alat dalam kehidupan pribadi maupun publik. Dalam praktiknya rasionalitas instrumental mengarah kepada birokratisasi dan konsentrasi kekuatan kepada tangan elite yang terampil.16 Sehingga persoalan partisipasi politik sebuah masyarakat seringkali terletak kepada kualitasnya, bukan sekedar dalam peningkatan kuantitas. Peningkatan partisipasi dalam mekanisme voting tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas partisipasi.17 Tentang public sphere,definisi ideal menurut Habermas, public sphere bisa dideskripsikan sebagai sebuah jaringan komunikasi informasi dan cara pandang, arus komunikasi tersebut dalam prosesnya difilter dan dipadukan begitu rupa disatukan menjadi opini publik, seperti kehidupan dunia sebagai sebuah keseluruhan public sphere juga diproduksi melalui aksi komunikatif, yang menguasai bahasa alami, bahasa alami tersebut dirajut menjadi pemahaman umum dalam praktik komunikatif sehari-hari.18
13
Op. Cit, Saward, hal. 27. Ibid., hal. 54. 15 Op. Cit., Held, hal. 278. 16 Ibid., hal. 277. 17 Ibid., hal. 278. 18 John Erik Fossum and Philip Schlesinger, ed., The European Union and the Public Sphere: A Communicative Space In the Making, (New York: Routledge, 2007), hal. 3. 14
7
Public sphere sendiri bisa dilihat sebagai sebagai bentuk kontrol demokrasi yang tidak ada dalam model demokrasi liberal sebelumnya. Deliberasi yang berlangsung di dalam public sphere ditujukan untuk menguji legitimasi dari pembuatan sebuah aturan hukum dan juga sebagai lawan terhadap kekuatan pemerintah.19 Bila yang berlangsung di dalam public sphere mengarah kepada pembentukan opini dan pembuatan kebijakan sekaligus, public sphere ini disebut sebagai strong publics. Bisa juga yang dilakukan hanyalah pembentukan opini saja, yang disebut sebagai weak publics.20Public sphere menjadi salah satu syarat bagi adanya popular sovereignty selain partai politik yang kompetitif dan adanya prinsip parlemen.21 Di dalam public sphere, partisipasi masyarakat pun juga membutuhkan sebuah komitmen untuk berdeliberasi dengan setara dan menghormati satu sama lain di dalamnya. 22 Komitmen ini tidak datang secara otomatis. Komitmen masyarakat dalam berdeliberasi didorong oleh sebuah sense of belonging atau rasa memiliki. Kemudian rasa ini berawal dari sebuah identitas bersama akan entitas politik di mana mereka berada. Identitas bersama dalam rangka citizenship akan menentukan partisipasi politik sebuah masyarakat pada proses deliberasi. Definisi citizenship secara umum adalah keanggotaan dalam sebuah masyarakat politik yang menikmati hak-hak dan menerima tugas dalam keanggotaannya tersebut.23 Demokrasi deliberatif sendiri melihat citizenhip merupakan
subyek
etis
dengan
identitas
kultural
yang
melampaui
etnosentrismenya melalui praktik deliberasi publik. Identitas warga (citizen) tidak diberikan, tetapi dibentuk dan ditransformasikan secara diskursif.24 Warga dalam demokrasi deliberatif ditujukan untuk mencapai tujuan dan keputusan bersama melalui diskusi publik.25 Identitas bersama yang kuat berarti kepada rasa memiliki yang kuat pula pada proses politik yang 19
Op. Cit., Saward, hal. 58. Op. Cit., Fossum dan Schlesinger, hal. 4. 21 Op. Cit., Saward, hal. 55. 22 Ibid., hal. 73. 23 Dikutip dari Cornelis Lay dan Eric Hiariej, The Concept of Demos, power point view, 19 Oktober 2010. 24 Ibid. 25 Op. Cit., Saward, hal. 139. 20
8
berlangsung. Dengan sebuah identitas bersama, masyarakat membangun komitmen untuk deliberasi di dalam public sphere. Masyarakat bukan lagi sekedar melakukan voting dan memberikan kekuasaan semata kepada elit dalam pembuatan berbagai kebijakan. Masyarakat juga ikut menentukan – atau paling tidak melakukan kontrol terhadap – kebijakan yang dikeluarkan otoritas pemerintahnya. Oleh karena itu, sebuah entitas politik (dalam konteks Habermas adalah negara) tidak membutuhkan basis lain kecuali pengakuan dan membutuhkan kepercayaan dalam prosedur yang menjamin ada partisipasi (bagi masyarakat) dalam formasi tujuan bersama.26 Dengan demokrasi deliberatif, persoalan OMC pensiun akan bisa dilihat dari, salah satunya disfungsionalitas parlemen Eropa dalam menjalankan representatifnya. Aktor yang dominan dalam proses pembuatan kebijakan terutama legislasi adalah lobi-lobi kelompok kepentingan baik melalui Dewan, Parlemen, dan Komisi. Tersingkirnya proses deliberasi yang demokratis dan representatif
membuat
kepentingan-kepentingan
yang
beredar
adalah
kepentingan kelompok-kelompok yang berpengaruh di Brussels termasuk bisnis. OMC yang sebelumnya diharapkan menjadi salah satu metode yang deliberatif, tidak bisa lari dari teknokrasi yang sudah dominan. Di antara masyarakat sendiri pun tidak terdapat ‘jalan’ yang bisa digunakan untuk mengontrol dan mengawasi proses OMC. Tanpa adanya identitas kewargaan, sulit untuk tercipta sebuah ruang publik yang akomodatif terhadap kepentigan pensiunan di level Eropa. Yang tak kalah penting adalah penggunaan model demokrasi deliberatif untuk menguji kualitas demokrasi Uni Eropa melalui OMC adalah dikarenakan “janji” keterbukaan dan deliberasi dalam proses OMC. Teknokratisasi dalam Uni Eropa27 Berbeda dengan sistem di negara-negara anggotanya, sistem pembuatan kebijakan Uni Eropa didasarkan kepada mekanisme teknokratis melalui 26
Ibid., hal. 55. Muhadi Sugiono, Referendum Konstitusi Uni Eropa: Re-politisasi Kebijakan Publik di Uni Eropa, Juli 2005. 27
9
komite-komite di dalam Komisi Eropa. Komite-komite tersebut bekerja jauh dari proses politik. Teknokrasi menjadikan keahlian (expertise) sebagai basis pembuatan kebijakan, tanpa melalui proses politik yang demokratis. Terdapat tiga bentuk teknokrasi di dalam Uni Eropa. Yang pertama adalah sistem engrenage. Di dalam sistem itu, terdapat jaringan kelomopk kepentingan, serikat buruh, dan perusahaan dengan Komisi Eropa sebagai penengah yang mengeluarkan sebuah kebijakan. Sistem tersebut tetap bertahan dengan para ahli yang bekerja dalam jaringan tertutup baik di level Uni Eropa dan nasional, maupun di perusahaan-perusahaan. Bentuk teknokrasi yang kedua adalah struktur di dalam Uni Eropa itu sendiri. Menurut Andersen dan Burns, Uni Eropa didirikan atas dasar tiga pilar perwakilan yaitu, para ahli, perwakilan kelompok kepentingan, dan pemerintahan nasional. Dominasi dua wakil yang tidak politis, yaitu para ahli dan perwakilan kelompok kepentingan menyebabkan isu-isu dalam Uni Eropa jauh dari proses politis. Bentuk yang ketiga adalah Uni Eropa memiliki spesialisasi peran sebagai pembuat kebijakan atau regulator. Perdebatan yang terjadi di dalam penentuan kebijakan Uni Eropa
lebih
banyak
didasarkan
kepada
pertimbangan
keahlian
dan
pengetahuan. Pemain utama teknokrasi Uni Eropa tentunya adalah Komisi Eropa. Ketika diciptakan, OMC disinyalir sebagi sebuah bentuk countermovement dari presidency di Dewan UE (sebelumnya disebut sebagai Dewan Menteri/Council of Ministers) yang berwarna sosial demokrat dalam mengantisipasi semakin kuatnya peranan kementrian ekonomi dan finansial di Uni Eropa. Tetapi sayangnya, apa yang diharapkan dari metode terbuka ini menjadi meleset. Dalam prosesOMC pensiun selanjutnya,Social Protection Committee dari Komisi Eropa menjadi aktor yang kuat. OMC pensiun tidak melibatkan aktor-aktor NGO maupun organisasi-organisasi masyarakat terkait tenaga kerja dan pensiunan. Kekuatan teknokrasi terlihat ketika parlemen tidak dilibatkan dalam OMC pensiun, sekalipun yang dihasilkan dari OMC pensiun merupakan keputusan tidak mengikat. Kekuatan representasi dan preferensi dari masyarakat Eropa menjadi tersingkir oleh keputusan yang dihasilkan
10
melalui ruang tertutup para ahli. Guidelines yang dihasilkan pun menjadi patokan dalam beberapa negara seperti Prancis dan Belanda dalam reformasi pensiun mereka tanpa adanya sebuah proses debat yang berarti dengan parlemen. Neoliberalisme/Liberalisasi EkonomidanNegara Neoliberal Dalam teori ekonomi politik, neoliberalisme atau liberalisasi ekonomi mendorong manusia bahwa dia bisa berkembang paling baik dengan membebaskan kelas pengusaha untuk diberi keleluasaan dan keahlian di dalam kerangka institusional yang memiliki karakter berupa hak properti privat yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Kemudian peran negara adalah menciptakan kerangka institusi beserta pasar dan perdagangan bebas. Negara pun menjadi penjamin bagi keamanan terhadap posisi hak properti, pasar, dan perdagangan bebas. Yang dilakukan negara selanjutnya adalah semacam deregulasi, privatisasi, dan penarikan diri dari pemenuhan jaminan keamanan sosial.28 Dalam praktiknya, jaminan sosial di sektor pendidikan, kesehatan, dan pensiun pun juga diprivatisasi. Hal ini dikarenakan privatisasi, deregulasi, dan kompetisi dianggap sebagai bentuk kebaikan yang akan meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kualitas dalam pasar. Negara neoliberal akan menjamin mekanisme pasar bebas dan proses liberalisasi ekonomi sekalipun dengan cara yang kurang demokratis bahkan tidak demokratis. Yang dilakukan adalah mengimunkan berbagai proses pembuatan kebijakan dari keterlibatan masyarakat di dalamnya. Ahli, ilmuwan, dan teknokrat (yang tentunya memiliki kesamaan sudut pandang dalam ekonomi-sosial-politik) menjadi lingkaran penting pembuat kebijakan. Keuntungan dari lingkaran tersebut adalah efektivitas dan efisiensi pembuatan kebijakan untuk mendukung pola kebijakan neoliberal. Hal yang berbeda akan terjadi bila digunakan cara yang demokratis, yang tentunya akan mengundang masyarakat untuk menentang kebijakan penghapusan jaminan-jaminan sosial 28
David Harvey, A Brief History of Neoliberalism, New York: Oxford University Press Inc., 2005, hal. 2-3.
11
dari negara. Sementara aktor lain, yaitu politisi, dalam pandangan neoliberal hanya akan menjadi pengganggu stabilitas pasar dan ekonomi. Proses pembuatan kebijakan yang politis dianggap hanya akan mengarah kepada inefesiensi dan kepentingan jangka pendek. Padahal bila dibandingkan, politisi di parlemen lebih representatif terhadap masyarakat ketimbang teknokrat, karena terpilih melalui mekanisme yang demokratis.29 Apalagi bila politisi parlemen bisa menjalankan fungsi representasinya, kebijakan-kebijakan dengan
warna
neoliberal
akan
terganggu.
Teknokrasi
dan
elitisme
memudahkan berbagai keputusan yang diperlukan untuk meloloskan pasar dan perdagangan bebas tanpa melalui proses parlemen. Institusi penting seperti bank sentral juga dihindarkan dari tekanan demokratis.30 Uni Eropa sebagai unit politik supranasional didirikan atas dasar kerjasama ekonomi regional dengan tujuan integrasi ekonomi dalam pasar dan perdagangan bebas. Warna liberalisasi ekonomi yang kuat dalam governance Uni Eropa bisa dilihat dari kuatnya salah satu pemegang otoritas yaitu Komisi Eropa dengan teknokratnya. Dalam White Paper yang dikeluarkan Komisi Eropa pada 2001, peran Komisi Eropa jauh lebih besar dalam legislasi ketimbang Dewan Eropa dan Parlemen Eropa.31 Komisi Eropa bergerak secara independen dalam merancang legislasi, yang kemudian melalui mekanisme codecision disetujui oleh Dewan Eropa dan Parlemen Eropa.32 Pembuatan kebijakan yang efisien dan cepat menjadi pilihan Uni Eropa agar integrasi ekonomi yang sudah dicapai bisa tetap terjaga. Posisi konsep neoliberalisme penting untuk menjawab mengapa defisit demokrasi terjadi di Uni Eropa dan OMC pensiun. Neoliberalisme menjadi patokan awal mengapa teknokrasi mendominasi berbagai proses pembuatan kebijakan dalam Uni Eropa. Neoliberalisme juga menjadi perihal penyebab tiadanya deliberasi (demokratis) serta tidak terciptanya ruang publik politis dan 29
Eric Hiariej, “Formasi Negara Neoliberal dan Kebangkitan Komunalisme”, Jurnal Mandatory, Edisi 4/Tahun 4/2008, (Yogyakarta: Institute for Research and Empowerment, 2008). 30 Ibid., hal. 66. 31 Commission Of The European Communities,European Governance: A White Paper, Com(2001) 428 Final,Brussels, 25.7.2001, hal. 8. 32 Mekanisme codecision kemudian diperkuat dalam Traktat Lisbon tahun 2007.
12
european demos di masyarakat Eropa. Prioritas Uni Eropa terhadap single market dan european monetery union, menyebabkan berbagai kebijakan termasuk melalui proses OMC harus dihasilkan dengan efektif dan efisien. Apalagi salah satu bagian dari OMC adalah kebijakan pensiun yang seringkali menjadi sasaran dari neoliberalisme. Privatisasi dalam berbagai macam kebijakan pensiun di berbagai negara anggota UE hanya bisa dilakukan bila tanpa melibatkan masyarakat Eropa (dan yang mewakili kepentingannya). Oleh karena itu, OMC pensiun bisa digunakan untuk menciptakan sebuah ‘single market’ bagi kebijakan pensiun dengan mereduksi ‘prinsip-prinsip’ dalam desain awal OMC. Berbagai hambatan tersebut bisa direduksi bila memaksimalkan teknokrat-teknokrat dan membiarkan masyarakat Eropa dalam situasi yang stagnan tanpa adanya identitas bersama. D. Argumen Utama Mekanisme kebijakan pensiun Uni Eropa melalui Open Method Coordination (OMC) mengalami defisit demokrasi baik secara representasi maupun kontrol demokrasi di level supranasional. Di satu sisi, lembaga seperti parlemen Eropa maupun parlemen nasional memiliki kewenangan yang lemah dalam proses OMC pensiun, di sisi lain organisasi sosial juga lemah dalam memiliki akses informasi maupun partisipasi dalam OMC pensiun. Kemudian, permasalahan defisit demokrasi dalam OMC pensiun ini tidak bisa dilepaskan dari absennya proses deliberasi, public sphere, dan identitas bersama masyarakat Uni Eropa. Tanpa identitas bersama masyarakat Eropa tidak bisa memiliki sense of belonging terhadap permasalahan mekanisme OMC pensiun. Sehingga kemudian tidak terbentuk public sphere maupun proses deliberasi dalam membentuk opini publik sebagai sarana kontrol kebijakan termasuk OMC pensiun. Para teknokrat di Komisi Eropa-lah yang mendominasi pembuatan kebijakan dengan bekerja tanpa terlibat dalam suatu proses politik. Dominasi
teknokrasi
Eropa
dalam
berbagai
mekanisme
pembuatan
kebijakannya muncul dari proyek liberalisasi ekonomi dan pasar tunggal di Eropa. Liberalisasi ekonomi membutuhkan pembuatan kebijakan secara efektif
13
dan efisien dengan menghindarkan campur tangan proses politik termasuk dari parlemen. Sehingga Komisi Eropa dengan teknokrat-teknokrat di dalam komitologinya menjadi agen utama dalam liberalisasi ekonomi di Uni Eropa, termasuk dalam mekanisme OMC pensiun. E. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan adalah kualitatif. Langkah yang diambil adalah konseptualisasi terhadap konsep-konsep yang digunakan dan generalisasi. Kemudian pengumpulan data dilakukan secara purposive dengan tujuan memperkuat argumen dalam penelitian ini. Sumber data penelitian didasarkan sumber-sumber literatur sekunder, seperti buku, jurnal, dan artikel baik dalam bentuk cetak maupun elektronik. F. Sistematika Penelitian Tulisan penelitian ini selanjutnya akan terdiri dari lima bab. Bab pertama berisi tentang latar belakang defisit demokrasi di Uni Eropa, rumusan masalah, kerangka pemikiran, dan argumen utama. Bab kedua akan menjelaskan identifikasi defisit demokrasi di Uni Eropa. Bab ketiga akan menjelaskan studi kasus kebijakan pensiun melalui Open Method Coordination dan permasalahan demokrasinya melalui model demokrasi deliberatif. Bab keempat akan menjelaskan analisis mengenai mengapa Open Method Coordination mengalami defisit demokrasi. Bab kelima akan berisi tentang kesimpulan dari hasil analisis dan temuan sebelumnya di bab sebelumnya.
14