BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Penelitian
1.
Pendapat Awam Mengenai Proses Litigasi vs Arbitrase Seiring dengan, antara lain, makin berkembangnya dunia bisnis di Indonesia, terutama dengan dunia maju yang menyangkut bidang joint venture, dagang, dan alih teknologi, maka dari masa ke masa (1) semakin banyak persinggungan atau transaksi yang dilakukan oleh pelaku bisnis Indonesia dengan pihak asing, baik dalam transaksi dagang, di mana pihak Indonesia selaku penjual dan pihak asing selaku pembeli, ataupun sebaliknya, atau dalam transaksi keuangan, di mana pihak Indonesia selaku debitur dan pihak asing selaku kreditur, ataupun sebaliknya, atau transaksi-transaksi bisnis lainnya; dan (2) semakin banyak investasi asing yang masuk ke Indonesia dengan modal yang semakin besar pula. Sudah menjadi pendapat orang awam, khususnya di Indonesia, bahwa penyelesaian sengketa transaksi bisnis melalui proses litigasi tidak efektif dan efisien, bahkan semakin banyak muncul kritik bahwa proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak menjamin kepastian hukum (uncertainty), penuh kejutan dan tidak dapat 1
diprediksi (unpredictable), membuang waktu dan mahal, meskipun pada azasnya beracara di pengadilan itu “sederhana, cepat dan biaya ringan”. Bagi dunia bisnis, proses yang demikian, jelas akan mengakibatkan bonafiditas dan kredibilitas pelaku bisnis menjadi rendah serta menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Penyelesaian sengketa bisnis melalui lembaga pengadilan dinilai kurang efektif oleh para pelaku bisnis, karena:1 a.
penyelesaian perkara yang lambat dan banyak membuang waktu;
b.
biaya mahal;
c.
pengadilan tidak responsif terhadap kepentingan umum;
d.
putusan pengadilan tidak menyelesaikan sengketa;
e.
kemampuan hakim bersifat generalis;
f.
putusan pengadilan seringkali dijatuhkan tidak disertai dengan pertimbangan yang cukup rasional. Seperti halnya dalam penyusunan kontrak bisnis yang perlu
menekankan prinsip win-win solution, maka dalam hal terjadi sengketa tentunya perlu diupayakan penyelesaian yang terbaik dan elegan, suatu penyelesaian sengketa yang cepat, efektif dan efisien. Dalam penyelesaian sengketa bisnis di antara mereka, maka penyelesaian yang terbaik dan ideal adalah pola penyelesaian win-win solution, terutama melalui Alternative Dispute Resolution (Alternatif 1
M. Yahya Harahap, 2006, Hukum Acara Perdata, PT Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 14.
2
Penyelesaian Sengketa), antara lain meliputi: negosiasi, mediasi dan arbitrase.
2.
Kecenderungan
Menggunakan
Arbitrase
Sebagai
Pilihan
Penyelesaian Sengketa Dari
pengamatan,
pihak
dunia
maju
selalu
menuntut
pencantuman klausula arbitrase pada setiap kontrak bisnis yang mereka lakukan dengan pihak Indonesia. Akibat dari hal-hal tersebut di atas, dalam dunia bisnis di Indonesia dewasa ini, terutama yang berhubungan dengan pihak asing, semakin banyak diketemukan perjanjian-perjanjian yang menggunakan ‘arbitrase’ sebagai pilihan (choice of court atau choice of jurisdiction atau choice of forum) untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang timbul akibat adanya perjanjian, atau akibat dari pelaksanaan isi perjanjian di antara para pihak. Mengapa pihak asing lebih cenderung mengadakan hubungan perjanjian dengan klausula arbitrase dalam transaksi bisnis di Indonesia? Kecenderungan tersebut disebabkan oleh beberapa alasan, yang ringkasnya: pertama, pada umumnya pihak asing kurang mengenal sistem tata hukum negara lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektifitas pengadilan setempat dalam memeriksa dan memutus perkara yang di dalamnya terdapat unsur asing. Ketiga, pihak asing masih ragu akan kualitas dan kemampuan pengadilan 3
negara berkembang (Indonesia) memeriksa dan memutuskan perkara yang berskala perdagangan internasional dan alih teknologi. Terakhir, keempat, timbulnya dugaan dan kesan, penyelesaian sengketa melalui jalur badan pengadilan, memakan waktu yang lama.2 Apa yang disampaikan di atas, memang tidak sepenuhnya benar, karena terkadang yang terjadi adalah pihak Indonesia yang meminta untuk menunjuk arbitrase sebagai badan untuk menyelesaikan sengketa atau perselisihan dalam suatu hubungan transaksi bisnis. Kenapa? Biasanya hal ini terjadi, apabila pihak asing menginginkan untuk menunjuk pengadilan di mana pihak asing tersebut berdomisili, karena merasa lebih dominan, sehingga sebagai jalan tengahnya disepakati penyelesaian melalui arbitrase, di samping itu, kalangan dunia bisnis beranggapan penyelesaian sengketa di bidang bisnis, kurang dipahami oleh para hakim jika dibandingkan dengan mereka yang berkecimpung dengan dunia bisnis itu sendiri. Hal lain yang terjadi juga adalah pada saat terjadi suatu perselisihan mengenai interpretasi terhadap pelaksanaan dari suatu bagian dari suatu perjanjian, sekalipun pada saat perjanjian tersebut dibuat, para pihak tidak membuat kesepakatan untuk menunjuk arbitrase, melainkan pengadilan, namun dikarenakan oleh niat dan motivasi dari para pihak yang bersengketa yang (1) apakah mengharapkan adanya suatu putusan yang lebih cepat, sehingga 2
Erman Rajagukguk, 1990, Keputusan Arbitrase Asing Mulai Dapat Dilaksanakan di Indonesia, Suara Pembaharuan, 7 Juni, hlm. II.
4
hubungan bisnis dapat lebih cepat kembali berlanjut?, atau (2) apakah mengharapkan adanya pihak yang lebih profesional atau lebih ahli dalam bidang yang disengketakan yang membuat keputusan atas perselisihan, yang mungkin sifatnya sangat tehnis?, atau (3) apakah sekedar agar perselisihan di antara mereka tidak sampai terbuka kepada umum?, maka diantara mereka dapat saja kemudian sepakat untuk menyerahkan perselisihan atau sengketa tersebut kepada arbitrase.
3.
Keunggulan Arbitrase Dibanding Proses Litigasi Arbitrase memiliki beberapa keunggulan dibandingkan litigasi, antara lain:3 a.
b.
c.
d.
Privacy and confidentiality Arbitration allows the parties to keep their disputes private and confidential. This is of course in contrast to the very public nature of litigation before the courts. However, confidentiality can be lost if one of the parties attempts to appeal an award before the court Enforceability Internationally, arbitration awards are readily enforceable in many countries under the 1958 New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Flexibility and formality The fact that the parties have agreed to resolve disputes privately allows them control over the procedure, including the manner in which evidence is provided and witnessed examined. Technical expertise The parties are free to decide and agree upon the arbitrator (or arbitrators) to decide the dispute.
3
Robert Gaitskell, 2006, Engineers’ Dispute Resolution Handbook, Thomas Telford Publishing, London, hlm. 57.
5
e. f.
g.
Speed in cost For many small construction disputes arbitration is significantly quicker and cheaper than litigation. Neutrality Arbitration is politically neutral means of dispute resolution. Internationally, parties are often reluctant to rely upon the local courts for resolving disputes if one of the parties is a state entity, and therefore arbitration at a neutral venue is the general compromise. Finality Arbitration is a final form of dispute resolution, with only very limited grounds for challenge. These generally relate to improper procedure or conduct by the tribunals, such as, for example, bias on the part of one of the arbitrators.
Arbitrase pada awalnya merupakan prosedur yang berdiri sendiri, akan tetapi dewasa ini dipandang sebagai bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa walaupun hampir sama dengan litigasi dalam pendekatannya melalui simplifikasi prosedur. Arbitrase disebut sebagai bagian dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena pemahaman dan pelaksanaannya dalam penyelesaian sengketa
telah
mempengaruhi
perkembangan
proses
yang
dipergunakan dalam Alternatif Penyelesaian Sengketa.4 Proses arbitrase berbeda dari suatu proses di pengadilan, dan pelaksanaannya dapat dilakukan berdasarkan kebiasaan, peraturanperaturan hukum dan sistim pembuktian yang berlaku dalam proses di pengadilan pada saat dengar pendapat oleh seorang (atau lebih) arbiter, akan tetapi dengan lebih disederhanakan dan tidak menyimpang sesuai kesepakatan dan tidak melanggar hukum. 4
H. Priyatna Aburrasyid, 2002, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa (Suatu Pengantar), Cetakan Pertama, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, hlm. 17-18.
6
4.
Sejarah Perkembangan Arbitrase Sejarah arbitrase mungkin sama tuanya dengan sejarah hukum dan dimulai sejak perkembangan perdagangan di Inggris yang berlangsung di seluruh dunia. Pada saat itu, berdasarkan sifatnya, arbitrase merupakan kelanjutan dari praktek pengadilan di Inggris sejak jaman raja Stuart. Pertumbuhan perdagangan Internasional Inggris saat itu, perluasan wilayah kerajaan, meluasnya usaha para pedagang,
banyak
mengakibatkan
muncul
berbagai
sengketa
perdagangan yang makin hari makin bertambah jumlahnya. Dan yang paling utama ialah sengketa perdagangan yang menyangkut perdagangan internasional. Pada mulanya sengketa-sengketa tersebut cukup diputus secara sederhana berdasarkan undang-undang umum yang berlaku dan dikaitkan dengan sifat-sifat pribadi yang langsung disangkutkan
kepada
orang
tersebut.
Dalam
perkembangan
selanjutnya, berbagai sengketa mulai dikaitkan kepada usaha-usaha penyelesaian melalui arbitrase, terutama yang berhubungan dengan aset milik para pihak, bahkan kemudian dikaitkan dengan isi kontrak hukum yang mulai dipakai sebagai pegangan. Pada saat itu pengadilan di Inggris mulai menyadari adanya kebutuhan akan peraturan arbitrase yang dapat memperlengkap hukum-hukum yang berlaku. Sejumlah pedoman-prosedur mulai dijadikan pelengkap untuk hal tersebut, yang makin hari makin bertambah jumlahnya dan mencapai puncaknya 7
sebagai undang-undang pelaksanaan hukum yang umumnya pada tahun 1854. Peraturan ini merupakan bagian dari ketentuan arbitrase dan sebagian merupakan pengaturan kode etik hukum yang terkandung dalam hukum umum kini di berbagai negara.5 Jika
penyelesaian
melalui
proses
pengadilan
adalah
penyelesaian dengan menundukkan diri pada prosedur yang telah ditetapkan oleh negara, maka penyelesaian melalui arbitrase merupakan penyelesaian yang dilakukan oleh lembaga swasta, dengan pengecualian tertentu. Arbitrase oleh ICC (International Chamber of Commerce, didirikan di Paris, tahun 1919) dan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (didirikan di Jakarta, tahun 1977) bersifat swasta, sedangkan ICSID (International Centre for the Settlement of Investment Disputes, didirikan di Washington, tahun 1966) dan UNCITRAL (United Nations Conference on International Trade Law, didirikan di New York, tahun 1976) misalnya adalah badan-badan yang bersifat pemerintahan.6
5.
Problematika
Penunjukkan
Arbitrase
Sebagai
Badan
Penyelesaian Sengketa Dalam Praktek Persoalan yang sering muncul dalam praktek adalah tidak semua keinginan untuk menunjuk arbitrase sebagai badan penyelesaian sengketa, dapat terlaksana. 5
Ibid, hlm. 77. Budiono Kusumohamidjojo, 2001, Panduan untuk Merancang Kontrak, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 75. 6
8
Pada setiap transaksi bisnis terdapat resiko, bahwa transaksi bisnis itu terselesaikan atau tidak dapat terlaksana secara baik. Akibatnya, para pihak pada suatu transaksi bisnis harus menyiapkan diri untuk menghadapi suatu keadaan yang tidak mereka inginkan, tidak dapat mereka hindarkan dan tidak dapat mereka ramalkan, yaitu bahwa pada suatu ketika mereka harus mengatasi suatu perselisihan di antara mereka. Para pihak dianjurkan untuk sebelumnya meneliti, apakah klausula arbitrase dalam kontrak para pihak tersebut memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan, maupun peraturan dari badan arbitrase yang hendak ditunjuk, karena sekalipun suatu kontrak memuat klausula yang menunjuk penyelesaian secara arbitrase, dapat saja klausula yang dibuat tersebut ternyata tidak memenuhi syarat minimum yang diwajibkan oleh undang-undang yang berlaku, sehingga badan arbitrase yang ditunjuk tidak dapat menerima, memeriksa dan memutuskan sengketa yang terjadi. Ternyata dalam pembuatan klausula arbitrase pada saat pembuatan perjanjian, maupun kesepakatan untuk menunjuk arbitrase pada saat telah terjadi sengketa, memiliki metode tersendiri dan tidak sesederhana hanya sekedar mencantumkan kalimat ‘menunjuk arbitrase’, atau kesepakatan lisan. Bertitik tolak dari uraian tersebut diatas, maka Peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai permasalahan ini dan menyusunnya dalam tesis yang 9
berjudul “Kajian Hukum tentang Penerapan Klausula Arbitrase dan Akta Kompromis dalam Transaksi Bisnis”.
B.
Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang hendak dikemukakan dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana bentuk penerapan klausula/perjanjian arbitrase dalam perjanjian transaksi bisnis?
2.
Bagaimana bentuk akta kompromis dalam transaksi bisnis ditinjau dari segi hukum perjanjian?
C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengkaji penerapan klausula/perjanjian arbitrase dalam perjanjian transaksi bisnis.
2.
Untuk mengkaji bentuk akta kompromis dalam transaksi bisnis dari segi hukum perjanjian.
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan agar dapat memberikan manfaat antara lain :
10
1.
Secara teoritis, dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum acara perdata yaitu tentang alternatif penyelesaian sengketa tentang arbitrase.
2.
Secara praktis, untuk memberikan petunjuk-petunjuk dalam penulisan klausula arbitrase bagi transaksi bisnis, dan pembuatan akta kompromis, agar kepentingan para pihak pada saat terjadi suatu sengketa dapat terlindungi.
E.
Keaslian Penelitian Dalam bidang hukum, penelitian mengenai klausula arbitrase maupun akta
kompromis
telah
dilakukan
oleh
sejumlah
peneliti.
Sejak
diterbitkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah banyak peneliti yang melakukan pengkajian terkait hal tersebut, namun Peneliti berkeyakinan bahwa penelitian hukum yang Peneliti saat ini berbeda dengan penelitian hukum yang sudah ada. Berdasarkan hasil penelusuran dan telaah terhadap pustaka yang ada, belum ditemukan adanya Penelitian dengan permasalahan yang sama atau hampir sama dengan permasalahan yang dikaji dalam tesis ini. Berikut adalah sejumlah tesis oleh sejumlah penulis dengan judul yang berkaitan dengan arbitrase: 1.
Tesis yang berjudul Kebebasan Pilihan Penyelesaian Sengketa Melalui Konsiliasi Mediasi Atau Arbitrase Di Badan Penyelesaian
11
Sengketa Konsumen Kota Bandung7, dengan rumusan masalah (a) Bagaimanakah efektifitas dalam pelaksanaan kebebasan pilihan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Bandung? dan (b) Bagaimanakah perlindungan hak-hak konsumen ketika konsumen dan pelaku usaha tidak sepakat dalam memilih penyelesaian sengketa konsumen, baik melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase?, membuat kesimpulan bahwa (a) Kebebasan pilihan penyelesaian sengketa melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase di BPSK Kota Bandung dapat berjalan efektif hanya dalam kondisi jika pelaku usaha dan konsumen mempunyai semangat dan itikad baik untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara kedua belah pihak, dan (b) aspek perlindungan konsumen dalam penegakan ketentuan Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, sangat lemah, bahkan tidak melindungi konsumen sama sekali, karena penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui konsiliasi atau mediasi atau arbitrase dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan dan bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang, sehingga 7
Dedi Hidayat, 2013, Kebebasan Pilihan Penyelesaian Sengketa Melalui Konsiliasi Mediasi atau Arbitrase Di Badan Penyelesaian Sengketa Kota Bandung, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
jika salah satu pelaku usaha tidak setuju dengan tata cara penyelesaian yang diusulkan oleh konsumen, maka penyelesaian sengketa melalui BPSK tidak dapat diwujudkan. 2.
Tesis yang berjudul Tinjauan Terhadap Putusan Arbitrase Asing Berkaitan Dengan Asas Ketertiban Umum8, dengan rumusan masalah (a). Apakah asas Ketertiban Umum termasuk dalam kategori pembatalan atau penolakan putusan arbitrase asing? dan (b). Bagaimanakah pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia dikaitkan dengan Ketertiban Umum?, membuat kesimpulan (a). Konvensi New York 1958 hanya mengatur soal pelaksanaan dan penolakan putusan arbitrase asing, sedangkan pembatalan tidak diatur secara khusus. Pembatalan itu sendiri lebih berkaitan dengan masalah keabsahan sebuah perjanjian yang di dalam hukum kontak (Pasal 1320 KUH Perdata). Unsur-unsur pembatalan dimuat juga dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada dasarnya keputusan arbitrase bersifat final dan binding dan seharusnya pengadilan di negara mana putusan arbitrase asing dilaksanakan tidak mempunyai wewenang untuk mengadili, dan (b). Pelaksanaan putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan Ketertiban Umum. Hal ini dapat ditemui dalam beberapa peraturan seperti Konvensi New
8
Shopan Tornado, 2012, Tinjauan Terhadap Putusan Arbitrase Asing Berkaitan Dengan Ketertiban Umum, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13
York 1958, peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan di negara mana atau berdasarkan hukum mana putusan tersebut dikeluarkan. 3.
Tesis yang berjudul Tinjauan Hukum Permohonan Pailit Bagi Para Pihak Yang Telah Terikat Dengan Perjanjian Berklausula Arbitrase9, dengan rumusan masalah (a). Bagaimanakah kedudukan klausula arbitrase dalam permohonan kepailitan yang diajukan oleh pihak dalam kontrak? (b). Sejauh mana pengadilan umum atau Pengadilan Niaga atau Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menyimpangi atau menerobos perjanjian arbitrase oleh para pihak?, membuat kesimpulan (a). Kedudukan arbitrase dalam permohonan kepailitan yang diajukan oleh para pihak dalam kontrak dapat dibedakan dalam 3 kondisi: (i). apabila putusan pailit belum dijatuhkan, maka klausula arbitrase tersebut masih mengikat para pihak sebagai undang-undang sesuai Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sengketa yang muncul tetap dapat diselesaikan melalui arbitrase di mana putusan arbitrase tersebut dapat dijadikan dasar adanya klaim atau adanya hutang sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
9
Emmy Sri Haryanti, 2008, Tinjauan Hukum Permohonan Pailit Bagi para Pihak Yang Telah Terikat Dengan Perjanjian Berklausula Arbitrase, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
14
Pembayaran Utang; (ii). apabila putusan pailit sudah dijatuhkan, maka kedudukan klausula arbitrase menjadi tidak mengikat para pihak. Untuk suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase yang kemudian salah satu pihaknya diputus pailit, maka apabila syaratsyarat kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004
tentang
Kepailitan
dan
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang telah terpenuhi, dengan sendirinya proses arbitrase dikesampingkan. Hal tersebut sesuai dengan pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; dan (iii). apabila permohonan pailit diajukan oleh pihak lain bersamaan pada saat arbitrase masih berjalan, maka kurator akan mengambil alih sengketa arbitrase yang terjadi karena salah satu pihak (debitur) sudah tidak memiliki kewenangan lagi dalam hal yang berkaitan dengan kekayaannya. Hal tersebut sesuai Pasal 28 sampai dengan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; (b). Baik pengadilan umum atau Pengadilan Niaga atau Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak dapat menyimpangi atau menerobos perjanjian arbitrase karena perjanjian arbitrase akan melakukan kompetensi absolut atau kewenangan mutlak forum arbitrase untuk memeriksa sengketa para pihak. Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 15
mengatur bahwa pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa dan memutus suatu sengketa dengan adanya perjanjian arbitrase. Pengadilan umum atau pengadilan niaga atau Mahkamah Agung Republik Indonesia dapat menyimpangi atau menerobos perjanjian arbitrase, dalam hal-hal sebagai berikut: (i). apabila para pihak secara tegas mencabut klausula pilihan forum; (ii). apabila sengketa yang timbul nyata-nyata di luar substansi kontrak; dan (iii). putusan yang dijatuhkan di luar kewenangan forum arbitrase atau bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang berlaku, sehingga hakim menganggap kausa-nya tidak halal. 4.
Tesis yang berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia10, membuat rumusan masalah (a). Apakah penyelesaian sengketa melalui BANI lebih efektif dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum?, dan (b). Hambatan-hambatan apakah yang timbul dalam penyelesaian sengketa melalui BANI? (c). Bagaimanakah kekuatan hukum atas putusan arbitrase dalam penyelesaian sengketa melalui BANI?, membuat kesimpulan (a). Proses penyelesaian sengketa dagang melalui BANI lebih fleksibel, tidak terlalu formal, bersifat privat, cepat dan lebih murah biayanya dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa di pengadilan
10
Emy Susilowati, 2008, Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
16
umum dan keputusan yang diambil bersifat mengikat para pihak yang bersengketa; (b). Dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase, ternyata masih menemukan hambatan-hambatan yang bersifat mendasar yang pada akhirnya dapat mempengaruhi proses darpada arbitrase itu sendiri. Hambatan-hambatan itu antara lain: (i). masih minimnya ahli hukum yang berpengalaman dalam arbitrase; (ii). adanya keterbatasan bahasa; (iii). adanya perbedaan peraturan arbitrase di setiap negara; dan (iv). belum dikenalnya masalah arbitrase secara luas oleh masyarakat. Untuk menanggulangi hambatan-hambatan yang timbul dalam pelaksanaan arbitrase sebaiknya para pihak tersebut terlebih dahulu mempelajari dan mempertimbangkan segala untung dan ruginya dan memperluas pengetahuan tentang arbitrase sehingga hambatan-hambatan yang ditimbulkan dapat di atasi; dan (c). Putusan arbitrase dalam penyelesaian sengketa melalui BANI merupakan putusan yang bersifat dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dengan demikian, tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi, baik diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. 5.
Tesis yang berjudul Tinjauan Hukum Atas Klausula Pilihan Forum Arbitrase Dalam Kontrak Komersial Internasional Antara PT. Pupuk Kalimantan Timur Dengan Mitra Asing11, dengan rumusan masalah
11
Sutrisna, 2009, Tinjauan Hukum Atas Klausula Pilihan Forum Arbitrase Dalam Kontrak Komersial Internasional Antara PT Pupuk Kalimantan Timur Dengan Mitra Asing, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
17
(a). Bagaimanakah kedudukan forum arbitrase internasional dalam sistem hukum Indonesia?, dan (b). Bagaimanakah implikasinya bagi PT. Pupuk Kalimantan Timur terhadap klausula pilihan forum arbitrase dengan pilihan hukum (substantive law) Indonesia, hukum acara (procedural law) Rules of Arbitration of International Chamber of Commerce (ICC), dan tempat arbitrase (place of arbitration) Singapore?, membuat kesimpulan sebagai berikut: (a). Forum arbitrase internasional sudah sejak lama diakui dan diterima dalam sistem hukum Indonesia, yaitu sejak diratifikasinya Washington Convention melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 dan New York Convention 1958 melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 jo. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990. Namun demikian, diterimanya forum arbitrase internasional dalam sistem hukum Indonesia hanya terbatas pada: (i). pengakuan
mekanisme
penyelesaian
sengketa
bisnis
di
luar
pengadilan antara negara penerima investasi dengan warga negara atau investor asing melalui forum arbitrase internasional yang diselenggarakan oleh lembaga International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang berpusat di Washington, dan (ii). pengakuan tentang putusan arbitrase internasional serta prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Forum arbitrase internasional juga diakui dan diterima dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 18
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, walaupun hanya terbatas pada ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Meskipun ketentuan ini tidak mengakomodasi keseluruhan dari Article V New York Convention 1958, namun karena New York Convention 1958 sudah menjadi hukum positif dan bagian dari sistem hukum Indonesia (melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981), maka Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 (New York Convention 1958) menjadi aturan yang melengkapi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Penegasan terhadap diakui dan diterimanya forum arbitrase internasional di Indonesia tercermin pula dari Pasal 32 ayat (94) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu khusus sengketa antara pemerintah Republik Indonesia dengan investor asing diselesaikan melalui forum arbitrase internasional. Dengan demikian kedudukan forum arbitrase internasional sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan telah diakui dan diterima secara yuridis formal danlam sistem hukum di Indonesia; (b). Apabila terjadi sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari dan para
pihak
bermaksud
menyelesaikannya
melalui
arbitrase
internasional sesuai rumusan klausula yang disepakati dalam Cooperation Agreement, maka akan membawa implikasi kepada PT. Pupuk Kalimantan Timur sebagai berikut: (i). implikasi positif: bahwa 19
dengan disepakatinya hukum Indonesia sebagai hukum material (substantive law) yang akan menentukan keabsahan perjanjian dan penerapan hukum terhadap pokok sengketa, maka hal ini akan memberikan keuntungan kepada pihak PT. Pupuk Kalimantan Timur, karena relatif lebih memahami tentang hukum Indonesia, bahwa dengan disepakatinya Rules of Arbitration of ICC sebagai hukum acara arbitrase (procedural law), maka hal ini akan memberikan keuntungan kepada pihak PT. Pupuk Kalimantan Timur, karena relatif netral dan memiliki tata cara atau proses beracara arbitrase yang cukup baik dan diakui di dunia bisnis internasional; dan bahwa dengan disepakatinya Singapura sebagai tempat arbitrase (place of arbitration), maka hal ini akan memberikan keuntungan kepada pihak PT. Pupuk Kalimantan Timur, karena secara geografis relatif lebih dekat dibandingkan tempat arbitrase lainnya, seperti Geneva – Swiss, London – Inggris, atau Paris – Perancis, sehingga dapat menekan biaya pekara dan secara hukum relatif lebih mudah untuk memahami hukum negara Singapura; dan (ii). implikasi negatif: bahwa apabila hukum Indonesia yang telah disepakati sebagai hukum materiil (substantive law) tidak mengatur atau tidak dapat diterapkan pada pokok masalah yang disengketakan, maka panel atau majelis arbitrase internasional (dengan beberapa persyaratan) dapat memutuskan perkara dengan menggunakan prinsip ex aequo et bono. Hal ini akan berakibat dapat dikesampingkannya prinsip-prinsip hukum nasional 20
Indonesia, dan nantinya putusan yang dijatuhkan akan dirasa tidak adil atau kurang menguntungkan pihak PT. Pupuk Kalimantan Timur, bahwa mengingat para pihak menentukan sendiri pemilihan arbiter dan mengesampingkan beberapa ketentuan hukum acara (procedure law) dari Rules of Arbitration of ICC, maka ketika memulai proses arbitrase nantinya pihak PT. Pupuk Kalimantan Timur akan menemui kesulitan (dengan resiko kegagalan). Kesulitan ini khususnya terkait dengan penunjukan arbiter yang harus dapat diterima oleh pihak lawan dan memenuhi kualifikasi sesuai yang diinginkan, yaitu memiliki pengetahuan tentang hukum arbitrase internasional, keahlian tehnis tentang masalah yang disengketakan, dan memahami hukum Indonesia (bagi arbitrase asing); dan bahwa karena Singapura telah dipilih sebagai tempat arbitrase (place of arbitration), maka sesuai teori lex arbitri, hukum di negara Singapura akan mengatur kelangsungan proses arbitrase internasional tersebut dan pengadilan di Singapura memiliki yurisdiksi primer. Sehingga nantinya akan menimbulkan tambahan biaya bagi pihak PT. Pupuk Kalimantan Timur yang diperlukan untuk menyewa penasehat hukum yang berpraktek di Singapura. 6.
Tesis yang berjudul Penyelesaian Perselisihan Melalui Arbitrase Atas Sengketa perjanjian Konstruksi12, dengan rumusan masalah (a).
12
Kurnia Arry Soelaksono, 2007, Penyelesaian Perselisihan Melalui Arbitrase Atas Sengketa Perjanjian Konstruksi, Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
21
Apakah kontraktor atau penyedia jasa telah memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaan perjanjian jasa konstruksi? (b). Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh para pihak atas putusan arbitrase dalam sengketa perjanjian jasa konstruksi?, membuat kesimpulan sebagai berikut: (a). Terhadap putusan arbitrase, tidak dapat dilakukan perlawanan melalui upaya hukum banding, karena putusan lembaga arbitrase sifatnya adalah final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; dan (b). Bahwa putusan arbitrase dalam sengketa jasa konstruksi sifatnya adalah final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak. Namun demikian dapat dilakukan upaya hukum berupa pembatalan putusan arbitrase ke pengadilan negeri, apabila ditemukan bukti adanya bukti baru (novum). Novum ini dapat berupa surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu, atau setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat memutuskan yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau putusan lembaga arbitrase diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Sedangkan upaya hukum berikutnya terhadap putusan pengadilan negeri tersebut dapat dilakukan melalui permohonan banding ke
22
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memutuskan dalam tingkat pertama dan terakhir dalam hal pembatalan putusan arbitrase. Berdasarkan tesis-tesis tersebut di atas, maka tidak ditemukan adanya tesis yang mengkaji masalah klausula arbitrase dan akta kompromis dari segi hukum perjanjian, sebagaimana yang dilakukan oleh Penulis dalam tesis ini. Untuk memperoleh data yang akurat dalam Penelitian tesis ini, Peneliti akan melakukan penelitian perpustakaan (studi dokumen) yaitu berupa buku-buku, undang-undang dan literature-literatur terkait, selain itu Peneliti juga akan melakukan penelitian lapangan.
23