BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan Di dalam sepanjang sejarah kita telah melihat bahwa aksi-aksi terorisme atau berbagai bentuk kekerasan lainnya sering dibungkus atau dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol dan bahasa agama. Bahkan sejumlah literatur yang membahas masalah terorisme dalam sejarah mencatat bahwa kelompok-kelompok terorganisir yang menjalankan terorisme sistematis pada awal sejarah manusia ternyata dari kelompok keagamaan, seperti sebuah faksi ekstrem Yahudi (66-67 SM), kaum Zealot, yang disebut Sicarii (pengikut setia) dan Order of the Assassins (Ordo Para Pembunuh), para anggota sekte dari kaum Syi’ah yang merupakan sempalan atau sekte Muslim dari kaum Ismaili di abad kesebelas.1 Gerakan Sicarii aktif ditujukan kepada pendudukan Roma atas Palestina dan terlibat dalam pengepungan dan bunuh diri massal di Masada. Mereka juga menyerang orang-orang yang dianggap musuh, kebanyakan orang Yahudi terutama para lintah darat (orang-orang kaya), dengan menggunakan pisau pendek (sica) yang tersembunyi dibalik jubah mereka; beraksi pada siang hari dan seringkali selama masa libur perayaan di mana banyak massa berkumpul. Mereka juga membunuh pendeta tinggi, membakar rumah dan menghancurkan arsip-arsip serta istana dinasti Herodes. Pusat aktivitas kelompok teroris ini lebih banyak terjadi di Yerusalem. Ketika pemberontakan Yahudi terhadap pendudukan Roma terjadi pada tahun 66, kaum Sicari terlibat aktif bahkan dianggap bertanggung jawab atas musibah nasional pada tahun 70, ketika Bait Allah kedua dihancurkan. Sementara itu, Ordo Para Pembunuh yang semula aktif melakukan kegiatan terorismenya di wilayah-wilayah pegunungan terpencil, memindahkan aktivitasnya ke pusat-pusat perkotaan utama. Korban perkotaan mereka yang pertama adalah menteri kepala dari Sultan Baghdad, Nazim al Mulq, dari kaum Sunni. Tahun-tahun berikutnya, mereka aktif di Persia, Syria, dan Palestina, dengan membunuh sejumlah besar orang-orang yang dianggap musuh; kebanyakan kaum Sunni dan juga kaum Kristen, termasuk Count Raymond II dari Tripoli di Syria dan Marguis Condrad dari Montferrat yang memerintah di Yerusalem. Aktivitas teroris ini seringkali menggunakan strategi penyamaran atau
1
. Lih. Walter Laqueur, New Terrorism: Fanatisme & Senjata Pemusnah Massal (Judul Asli: The New Terrorism: Fanaticism and the Arms of Mass Destruction), Juxtapose research and publication study club – Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005, pp. 10-11; David C. Rapoport, Teror Suci: Contoh Terkini Dari Islam, dalam: Walter Reich (Ed), Origins of Terrorism: Tinjauan Psikologi, Ideologi, Teologi, dan Sikap Mental (Judul Asli: Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, State of Mind), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, pp. 131-169; Muhammad Asfar, Terorisme: Sebab, Perkembangan dan Kasus, dalam: Muhammad Asfar (Ed), Islam Lunak Islam Radikal: Pesantren, Terorisme dan Bom Bali, Pusat Studi Demokrasi dan Ham (PuSDeHAM) & JP Press, Surabaya, 2003, p. 16; dan Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana (Judul Asli: When Religion Becomes Evil), Misan, Bandung, 2003, p. 149. Dalam penjelasan Kimball kata Assassins berasal dari kata Arab hasyasyin yang berarti para pecandu. Kata ini kemudian dilekatkan pada kelompok Nizari, cabang dari Syi,ah Isma’iliyyah yang sangat militan.
1
penipuan sebagai utusan saleh atau bhiksu, tetapi kenyataanya adalah sebuah misi bunuh diri dengan keyakinan akan mendapat jaminan kenikmatan surgawi. Pada dekade abad 20, persepsi umum terhadap “terorisme agama” kemudian muncul secara global dikarenakan adanya catatan-catatan peristiwa yang menampilkan aksi-aksi terorisme yang dilandasi kepentingan-kepentingan agama. Pada tahun 1980, Departemen Intelijen Amerika Serikat (AS) mencatat daftar kelompok teroris internasional hanya satu organisasi agama saja. Namun di tahun 1998, Menteri Luar Negeri AS, Madeleine Albright, mencatat ada 30 kelompok terorisme dunia yang sangat berbahaya dan lebih dari separuhnya berbasis agama: Yahudi, Islam dan Buddha. Dalam catatan RAND - St. Andrew Chronology of International Terorism, proporsi kelompok-kelompok terorisme berbasis agama ini meningkat dari 16 yang berasal dari 49 kelompok terorisme yang diidentifikasi tahun 1994, menjadi 26 dari 56 kelompok terorisme yang terdaftar pada tahun berikutnya. Karena alasan ini, Menlu AS pendahulunya, Warren Christopher, mengatakan bahwa: “aksi-aksi terorisme yang mengatasnamakan agama dan identitas etnik telah menjadi sebuah tantangan keamanan terpenting yang kita hadapi di masa bergejolaknya Perang Dingin”.2 Pernyataan ini tampaknya hampir senada dengan tesis benturan antarperadaban yang sangat terkenal dan paling berpengaruh di dunia dari seorang Guru Besar Ilmu Politik di Havard University AS, Samuel P. Huntington, yang mengungkapkan bahwa sebab utama dan paling berbahaya dari munculnya konflik politik global adalah adanya benturan antarperadaban. Dalam tesis ini Huntington memasukkan agama sebagai salah satu bagian penyebab munculnya konflik antarperadaban yang dipandangnya sangat berbahaya tersebut.3 Kemudian di awal abad 21, data terorisme internasional dari tahun 1995-2000 yang dikeluarkan oleh Patterns of Global Terrorism 2000: The Office of the Coordinator for Counterterrorism, U. S Department of State, menunjukkan bahwa dari 43 jumlah kelompok terorisme internasional yang terdaftar dan tersebar di seluruh dunia lebih didominasi oleh nama dan karakter kelompok terorisme yang berbasis atau bersifat keagamaan dengan perbandingan: 27 kelompok terorisme bernama dan berkarakter agama, 12 kelompok terorisme bernama dan berkarakter ideologi, dan 4 kelompok terorisme bernama dan berkarakter etnonasionalisme.4 Daftar kelompok terorisme internasional tersebut belum memasukkan jaringan terorisme AlJamaah Al-Islamiah atau yang dikenal dengan Jamaah Islamiyah (JL) yang didirikan oleh Abudullah Sungkar pada tahun 1992 dan merupakan Associate Group resmi dari jaringan Al-
2
. Mark Juergensmeyer, Terorisme Para Pembela Agama (Judul Asli: Teror In The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence), Tarawang Press, Yogyakarta, 2003, pp. 7-8. 3 . Untuk uraian dan analisis lengkapnya lihat: Samuel P. Huntington, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia (Judul asli: The Clash of Civilization and the Remaking of Word Order), Qalam, Yogyakarta, 2003, pp. 335-573. 4 . Lih. Andi Widjajanto, Menangkal Terorisme Global, dalam: Rusdi Marpaung & Al Araf (Ed), Terorisme: Definisi, Aksi, dan Regulasi, Imparsial, Jakarta, 2003, pp. 14-15.
2
Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang beroperasi di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia.5 Kelompok terorisme yang berkarakter keagamaan ini masuk dalam daftar resmi terorisme internasional ke-88 yang dicatat Dewan Keamanan PBB pada tanggal 10 Oktober 2002.6 Dengan resminya JL masuk dalam daftar terorisme internasional, maka kelompok terorisme ini telah menambah daftar panjang nama dan karakter kelompok terorisme yang berbasis atau bersifat keagamaan. Namun anehnya bahwa reaksi keras dan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan terorisme dan agama dalam kesadaran publik secara global baru terasa secara signifikan sejak tragedi serangan teroris yang dilakukan jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden terhadap AS pada 11 September 2001, yang kemudian dikenang sebagai tragedi Black September.7 Serangan brutal bergaya kamikaze yang terjadi secara tiba-tiba dan tanpa disadari ini, seketika itu juga membuat AS berang dan bereaksi keras serta menimbulkan gejolak gelombang kemarahan, kecaman dan kutukan dari berbagai pihak di seluruh dunia. Dan beberapa jam kemudian, pemerintah AS yang dimotori Presiden George Walker Bush Jr dengan penuh kegeraman, kebencian dan dendam, menyeruhkan perang melawan dan menghancurkan terorisme sampai ke akar-akarnya kepada seluruh dunia dengan menyebut perang tersebut sebagai “gobal war on terrorism” abad 21. Seruan perang Bush Jr ini diikuti dengan seruan ancaman kepada dunia 5
. Lih. mengenai “Jemaah Islamiah” yang didirikan oleh Abdullah Sungkar pada tahun 1992 dalam: http://www.tempointeractive.com/hg/narasi/2004/04/19/nrs,20040419-01,id.html, diakses pada 25 November 2004. Sedangkan mengenai Al-Qaeda dan Osama Bin Laden lihat: Rohan Gunaratna, Inside Al-Qaeda: Global Network of Terror, Colombia University Press, New York, 2002; A. Maftuh Abegebriel: “Al-Qaeda; Arabists Or Islamists, dalam: A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro & AR-Ins Team, Negara Tuhan: The Thematic Encylopaedia, SRIns Publishing, Yogyakarta, 2004, pp. 555-690. Wahyu D. Johani (Ed), Syekh Guevara Bin Laden Sang Pemberontak Revolusioner, Rotasi Potilika, Surabaya, 2002; dan John L. Esposito, Unholy War: Teror Atas Nama Islam (Judul Asli: Unholy War: Terror in the Name of Islam), Ikon Teralitera, Yogyakarta, 2003. Untuk tulisan Abegebriel merupakan salah satu rujukan berbahasa Indonesia yang cukup penting mengenai Al-Qaeda karena salah satu yang dijadikan acuan pokok bahasannya menggunakan manual Al-Qaeda yang berjudul “Declaration of Jihat (Holy War) Against the Country’s Tyrants: Military Series”. Manual ini sering dikenal dengan dokumen Manchester yang ditemukan di Manchester (Inggris) oleh polisi Metropolitan pada saat penggeledahan rumah anggota Al-Qaeda dan dipandang sebagai acuan yang paling komprehensif mengenai langkah-langkah Al-Qaeda dalam menyusun kekuatannya, termasuk taktik dan target-target serangannya. 6 . Lih. Bambang Abimanyu, Teror Bom Di Indonesia, Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta, 2005, pp. 149-158, 170-172; dan http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1002/27/0101.htm, diakses pada 25 November 2004. 7 . Tragedi tersebut diawali dengan pembajakan sejumlah pesawat komersial oleh 19 orang anggota jaringan AlQaeda, yang kemudian dipersiapkan dalam sebuah misi bunuh diri untuk melakukan penghancuran di wilayah AS. Dan tepat pukul 08:48 waktu AS, serangan para teroris tersebut dimulai. Sebuah Boeing-767 American Airlines penerbangan 11 dari Boston menuju Los Angeles menghantam menara utara gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York. Bahkan ketika orang belum menyadari adanya serangan terorisme, pukul 09:03 menara selatan WTC dihantam Boeing-767 United Airlines penerbangan jalur Boston-Los Angeles, yang berangkat pukul 07:58. Serangan beruntun dan mematikan ini mengakibatkan WTC yang menjadi salah satu lambang kedikdayaan AS hancur berantakan bersamaan dengan kematian ribuan korban jiwa dan ribuan korban lainnya mengalami luka-luka serius. Empat puluh menit setelah penabrakkan pesawat kedua terhadap WTC, pada pukul 09:43, gedung Departemen Pertahanan AS (The Pentagon) di Washington DC, juga ditabrak Boeing-757 American Airlines Flight 77 yang berangkat pukul 08.10 dari bandara Billes, Washington DC, dengan tujuan Los Angeles. Aksi serangan susulan ini kembali memakan korban jiwa dan mengakibatkan Pentagon mengalami kehancuran di salah satu sisi gedungnya. Berselang 27 menit setelah peristiwa di Pentagon, Boeing-757 United Airlines Flight 93 yang berangkat dari Newark pukul 08:10 menuju San Francisco, meledak setelah menghantam tanah di Shanksville dekat Pittsburgh. Lih. Bambang Abimanyu, Scn. 6, pp. 99-101.
3
internasional melalui pernyataannya pada 20 September 2001: “Every nation in every region now has a decision to make. Either you are with u,s or you are with the terrorists”,8 yang berarti bahwa: “Setiap bangsa di setiap wilayah sekarang ini harus mengambil keputusan. Kalau tidak di pihak kami (AS), kalian di pihak teroris”. Bahkan kemudian pemerintahan Bush Jr mengajukan dua opsi kepada dunia internasional dengan menyatakan: “with us or we against” (bersama kami atau kami serang). Ironisnya bahwa ketika Bush Jr menyerukan perang melawan terorisme dalam pidato kenegaraannya di Gedung Putih beberapa jam setelah peristiwa Black September, dia menggunakan bahasa agama dengan mendeklarasikan perang melawan terorisme – khususnya perang yang ditujukan terhadap jaringan terorisme Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden yang dituduh sebagai tersangka utama dalam penyerangan 11 September 2001 – dengan sandi “Crusade” (Perang Salib atau Perang Suci) dan mengalokasikan dana sebesar 40 milyar USD untuk membuat senjata yang ia namakan “the Crusader”.9 Penggunaan sandi perang melawan terorisme ini menuai protes dan kritikan dari berbagai pihak di seluruh dunia, sehingga beberapa waktu kemudian deklarasi perang tersebut kembali diralat oleh Bush Jr sendiri dengan sandi “Operation Infinite Justice”. Namun menurut redaktur eksekutif www.salon.com, Scott Rosenberg, kata “Infinite Justice” dalam perubahan sandi deklarasi perang melawan terorisme tersebut juga berasal dari teminologi Kristen, yang jika dirunut, kembali pada satu kata, yaitu “Perang Salib”. Sehingga terakhir kata sandi yang digunakan dalam perang melawan terorisme berubah menjadi “Operation Enduring Freedom”.10 Inilah kata sandi yang kemudian digunakan di awal perang melawan terorisme ketika AS dan sekutu-sekutunya melancarkan serangan militer secara besar-besaran ke Afghanistan pada 7 Oktober 2001 yang waktu itu berada di bawah rezim Taliban dengan tujuan menangkap Osama bin Laden hidup atau mati bersama antek-anteknya, sekaligus menghancurkan markas besar Al-Qaeda yang dilaporkan berada dalam perlindungan rezim Taliban di Afghanistan. Perang tersebut berhasil menghancurkan basis-basis terorisme di Afghanistan, tetapi tidak berhasil menangkap Osama bin Laden dan menghancurkan gerakan terorisme sampai ke akar-akarnya. Kurang lebih dua tahun setelah operasi militer yang menghancurkan bumi Afghanistan, AS dan sekutu-sekutunya melanjutkan perang melawan terorisme melalui agresi militernya ke Irak pada 20 Maret 2003 yang kemudian dikenal dengan Perang Teluk II. Menurut Bush Jr, tujuan perang kali ini adalah untuk memusnahkan senjata pemusnah massal (Weapons of Mass Destruction- WMD), menyingkirkan ancaman terorisme
8
. Lih. Goenawan Permadi, Fantasi Terorisme, Masscom Media, Semarang, 2003, p. 85 . Lih. Fauzan Al-Anshari, Terorisme dalam Perspektif Barat dan Islam, dalam: Abduh Zulfidar Akaha (Ed), Terorisme & Konspirasi Anti-Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002, pp. 147-148. 10 . Lih. Imam Samudra, Aku Melawan Teroris!, Jazera, Solo, 2004, p. 113. 9
4
internasional dan membebaskan rakyat Irak dari penindasan rezim Saddam Hussein dengan cara memulihkan demokrasi di Irak.11 Kekerasan melawan kekerasan, kekerasan dilawan kekerasan dan penghancuran dengan penghancuran, begitulah gambaran aksi terorisme dan perang melawan terorisme di atas. Apakah dengan demikian kekuasaan dan kekuatan terorisme telah berakhir dan hancur sampai ke akarakarnya? Tampaknya tidak demikian. Bahkan seperti yang dilaporkan Human Rights Watch pada awal tahun 2002, perang melawan terorisme ternyata banyak pula disalahgunakan oleh rezimrezim otoriter untuk menindas oposisi dan para pengkritik. Hal ini turut pula membuktikan secara nyata bahwa apa yang diberitakan iman alkitabiah mengenai kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan tanpa akhir adalah kebenaran abadi sampai hari ini. Realitas kebenaran tersebut begitu nyata terbaca dalam realitas aksi kekerasan terorisme dan perang melawan terorisme yang justru makin menumbuh-suburkan terjadinya serangan-serangan teror lanjutan.12 Dari data Paterns of Global Terrorism 2000 yang dikeluarkan oleh United States’ Department of State menunjukkan bahwa sejak 1981 hingga 2000, dunia internasional telah digoncang oleh 9.181 serangan terorisme internasional dan terjadi secara pasang surut. Pada dekade 1980-an, kelompok teroris rata-rata melakukan 548 serangan pertahun dan pada dekade 1990 angka tersebut turun cukup tajam menjadi 386 serangan per tahun. Pada tahun 1998 jumlah serangan teroris mencapai titik terendah dengan 274 serangan. Namun pada tahun 1999 dan 2000, justru serangan teroris kembali meningkat tajam dengan 392 dan 423 serangan. Catatan penting yang juga perlu untuk diperhatikan dengan persoalan terorisme ini adalah target serangan utama dari kelompokkelompok teroris internasional. Karena dari data Paterns of Global Terrorism 2000 sepanjang tahun 1995-2000 kelompok-kelompok teroris internasional cenderung memilih fasilitas-fasilitas bisnis sebagai target serangan utamanya dengan jumlah kasus 1.740, sedangkan target-target militer dan pemerintahan justru cenderung tidak diprioritaskan. Serangan yang ditujukan langsung ke fasilitas-fasilitas militer hanya berjumlah 48 kasus dari seluruh populasi serangan teroris di tahun 1995-2000, fasilitas pemerintah 97 kasus, diplomat 200 kasus, dan lain-lain 571 kasus.13 Secara khusus untuk serangan teroris di kawasan Asia, juga tercatat adanya peningkatan. Misalnya, pada tahun 1996 di Asia terjadi 11 serangan, 21 serangan pada tahun 1997, dan sebanyak 48 aksi terjadi pada tahun 1998. Sedangkan pasca tahun 1998 hingga tahun 2003,
11
. Untuk membantu melihat gambaran mengenai konteks perang di Afghanistan dan Perang Teluk II, lihat: Abdul Halim Mahally, Membongkar Ambisi Global Amerika Serikat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003. 12 . Kenyataan bahwa aksi terorisme dan perang melawan terorisme berdampak pada makin menumbuh-suburkan terjadinya serangan-serangan teror lanjutan tampaknya terbaca dengan baik oleh Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph. D dalam analisisnya mengenai ofensif fundamentalis atas tanggapannya terhadap Karen Armstrong yang menyatakan bahwa ofensif fundamentalis menurun tajam sejak 1979-1999. Lih. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph. D, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, BPK Gunung Mulia Jakarta, 2004, hlm. 347 (khusus pada catatan kaki no. 6). 13 . Lih. Andi Widjajanto, Menangkal Terorisme Global, dalam: Rusdi Marpaung & Al Araf (Ed), Scn. 4, pp. 12-13.
5
sebanyak 100 lebih aksi kekerasan maupun terorisme yang berskala besar terjadi di kawasan Asia dan beberapa di antaranya di kawasan Pasifik.14 Peningkatan aksi-aksi terorisme di kawasan Asia dan Pasifik menyebabkan jumlah korban jiwa akibat aksi terorisme di dua kawasan itu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan aksi-aksi terorisme yang terjadi di luar dua kawasan tersebut.15 Ironisnya bahwa hampir seluruh aksi-aksi terorisme yang terjadi di Asia dan di kawasan Pasifik tersebut melibatkan simbol-simbol dan bahasa agama. Peningkatan yang cukup signifikan terhadap aksi-aksi terorisme pasca tragedi 11 September 2001 dan perang melawan terorisme yang dikomandoi AS, dapat juga kita lihat pada peningkatan aksi-aksi terorisme dalam konteks Indonesia. Kurang lebih setahun setelah tragedi Black September dan perang melawan terorisme yang dilancarkan AS dan sekutu-sekutunya di Afghanistan, masyarakat Internasional kembali terperangah dan dikejutkan dengan aksi terorisme yang melakukan pengeboman berkekuatan dasyat pada Sabtu malam 12 Oktober 2002, sekitar pukul 23:15 waktu Indonesia Tengah di Legian Bali, yang kemudian dikenal dengan tragedi bom Bali I.16 Kurang dari setahun setelah peristiwa bom Bali I, Selasa 5 Agustus 2003 pukul 12.44, Indonesia kembali diguncang oleh bom yang berkekuatan dahsyat di hotel JW Marriott, Jakarta. Serangan teroris kali ini hanya berselang kurang lebih dua bulan setelah pecahnya Perang Teluk II yang dilancarkan AS dan sekutu-sekutunya di Irak. Setahun kemudian, tepatnya hari Kamis 9 September 2004, bom berkekuatan dahsyat kembali meledak di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta yang kemudian dikenal dengan bom Kuningan.17 Dari ketiga kasus aksi terorisme tersebut, pelakunya adalah kelompok yang mangatasnamakan dirinya dari jaringan Jamaah Islamiyah yang beroperasi di Asia Tenggara dengan otak pelaku atau tokoh utamanya adalah dua warga negara Malaysia, Dr. Azahari yang berperan sebagai ahli pembuat bom dan Noordin Moh Top yang berperan sebagai ahli dalam menelurkan atau mereproduksi para pemuda yang akan menjadi eksekutor bom bunuh diri.18
14
. Bambang Abimanyu, Scn. 6, p. 14. . Lih. jumlah korban total aksi terorisme berdasarkan wilayah yang dikeluarkan oleh Deplu AS, Paterns of Global Terrorism 2002 dalam: Goenawan Permadi, Scn. 8, p. 101. 16 . Perubahan nama bom Bali menjadi bom Bali I karena pada Sabtu malam 1 Oktober 2005 telah terjadi peledakan bom bunuh diri secara beruntun, tepatnya di restoran atau Cafe Raja’s di Kuta Town Square dan di Jimbaran Bali. Akibat dari peristiwa ini mengakibatkan 26 orang tewas, sementara yang korban yang luka-luka tercatat 122 orang. Dan peristiwa ini kemudian diberi nama bom Bali II. (Sumber koran Kedaulatan Rakyat terbitan Senin 3 Oktober 2005) 17 . Lih. Bambang Abimanyu, Scn. 6, pp. 51, 57, 67. 18 . Mengenai salah satu gembong terorisme nomor satu di Indonesia, Dr. Azahari, kematian mengenaskan yang merengutnya menghentikan dan mengakhiri langkah aktivisme terorismenya. Dia tewas bersama dua orang pengikutnya dalam usaha penangkapan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia atau lebih tepatnya pasukan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri, pada hari Rabu petang 9 November 2005 di sebuah rumah kontrakan di Jln. Flamboyan Raya Blok A No. 7 Batu, Malang, Jawa Timur. Seperti digambarkan media massa, usaha penangkapan gerombolan terorisme tersebut bagaikan sebuah film action dan bukan merupakan usaha yang mudah, karena Dr. Azahari dan pengikutnya melakukan perlawanan yang sangat sengit melalui kontak senjata yang diwarnai dengan aksi peledakan bom selama kurang lebih 1 jam dengan aparat kepolisian Indonesia. Bahkan dalam kontak senjata tersebut seorang anggota Gegana Densus 88 Anti Teror Mabes Polri, Bripda Komarudin, terluka. Namun, 15
6
Sedangkan para pelaku aksi terorisme di lapangan, baik yang terbunuh dan yang tertangkap hidup-hidup, seperti Amrozi, Muchlas, Ali Imron, Imam Samudra dan lain-lain, merupakan warga negara Indonesia dan mengakui bahwa mereka adalah aktivis Jamaah Islamiyah yang beroperasi di Indonesia. Sementara menurut pengakuan mereka yang tertangkap bahwa aksi penghancuran yang mereka lakukan untuk melaksanakan “fatwa” dari Osama bin Laden agar memerangi AS di mana pun mereka berada.19 Oleh karena itu, sasaran utama kelompok Jamaah Islamiyah ini adalah simbol-simbol AS. Namun kenyataannya tidak demikian, karena ternyata ratusan korban yang telah jatuh atas kebiadaban mereka justru orang-orang yang tak berdosa dan tak tahumenahu urusan mereka. Keterlibatan jaringan Jamaah Islamiyah dalam aksi terorisme tidak hanya terbatas dari ketiga kasus besar di atas, karena jaringan ini juga diduga terkait langsung dengan 23 kasus peledakan bom yang terjadi antara tahun 2000-2003 di Indonesia. Dari 23 kasus peledakan bom tersebut sebagian besar sasarannya adalah sejumlah Gereja yang ada di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Jakarta. Berkenaan dengan para pelaku terorisme kelompok Dr. Azahari dan Noordin Moh Top ini, terdapat hal yang menarik bahwa ternyata kebanyakan dari mereka adalah alumnus sejumlah Pondok Pesantren yang ada di Indonesia dan Malaysia serta sebagian di antaranya adalah orang-orang yang pernah terlibat aktif dalam aktivitas jihat di Afghanistan dan Philipina serta beberapa tempat lainnya. Pada sejumlah kasus peledakan bom atau aksi teror di Indonesia, kita juga mengenal nama Al Faruq al-Kuwaiti kelahiran Kuwait yang ditangkap oleh pemerintah Indonesia pada 5 Juni 2002 di Bogor, Jawa Barat, dan Hambali asal Cianjur, Jawa Barat, yang ditangkap oleh pemerintah Thailand pada 11 Agustus 2004 di sebuah kota kecil di sebelah utara Bangkok yang bernama Ayutthaya. Kedua dalang aksi terorisme tersebut kemudian diserahkan oleh pemerintah Thailand dan Indonesia kepada pemerintah AS, karena keduanya merupakan bagian dari sejumlah target utama dalam perburuan pemerintah AS terhadap gembong terorisme internasional. Dari dokumen hasil interogasi Dinas Rahasia AS (CIA), di antaranya Al-Faruq mengaku bahwa dia adalah pejabat atau petinggi Al-Qaeda untuk kawasan Asia Tenggara yang beroperasi di Indonesia; berperan membekingi dana gerakan Jamaah Islamiyah; sejak 1990-an mengikuti latihan Al-Qaeda di kamp Khaldan, Afghanistan; memerintahkan serangan ke pusat-pusat kepentingan AS di Asia Tenggara; membantu Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Filipina Selatan dan tinggal di kamp Abu Bakar pada 1995; membantu Agus Dwikarna (sekarang di
situasi akhirnya dapat dikuasai dan dikendalikan oleh pasukan Densus 88 setelah terjadi dua ledakan besar yang memporak-porandakan rumah di mana Dr. Azahari dan pengikutnya bertahan. Kedua ledakan besar tersebut diduga merupakan bom bunuh diri yang diledakan oleh Dr. Azahari dan pengikutnya dalam keadaan terjepit yang mengakibatkan tewasnya Dr. Azahari sendiri dan dua orang pengikutnya. 19 . Lih. deklarasi jihat Osama bin Laden dalam: John L. Esposito, Scn. 5, pp. 23-28; A. Maftuh Abegebriel, Al-Qaeda; Arabists Or Islamists, Mukhlas Syarkum & W. Ghorara: “Dunia Islam dalam Benturan Kepentingan dan Peradaban, dalam: A. Maftuh Abegebriel, A. Yani Abeveiro & AR-Ins Team, Scn. 5, pp. 621-629, 474.
7
penjara Filipina karena dituduh membawa peledak saat masuk Filipina) yang melahirkan Lasykar Jundullah, kelompok Islam militan Makassar yang terlibat dalam kekerasan melawan umat Kristen di Poso, Sulawesi Tengah; mendalangi sejumlah aksi peledakan Gereja di Indonesia pada malam Natal 2000; mendalangi kerusuhan antar-agama di Poso dan Ambon; merencanakan penyerangan bom bunuh diri terhadap kapal perang AS yang berlabuh di Surabaya, akhir Mei 2002; dan dua kali terlibat perencanaan pembunuhan Presiden Megawati Soekarnoputri atas perintah Abu Bakar Ba’asyir, Ketua Majelis Mujahiddin Indonesia. Berdasarkan pengakuan AlFaruq juga, kemudian diketahui bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah. Pengakuan ini diperkuat oleh kesaksian Faiz bin Abu Bakar Bafana, warga negara Malaysia, yang ditahan pemerintah Singapura. Berdasarkan kesaksian-kesaksian tersebut, maka kepolisian Republik Indonesia mempunyai alasan untuk menahan Abu Bakar Ba’asyir.20 Sedangkan untuk gembong terorisme Hambali, dari data Mabes Polri penulis mengetahui bahwa dia disebut sebagai aktor utama penggerak aksi teror di Indonesia dan merupakan top leader berbagai aksi peledakan di kawasan Asia Tenggara. Adapun peledakan bom yang berada di bawah kendali Hambali di Indonesia tercatat 11 kasus, yang terjadi antara tahun 2000-2003 dengan rincian: 8 kasus terjadi pada tahun 2000, 2 kasus pada tahun 2001, 1 kasus pada tahun 2002 dan 1 kasus pada tahun 2003. Sedangkan ciri khas dari aksi peledakan bom kelompok Hambali cenderung mengincar target pada sejumlah Gereja yang ada di Indonesia, seperti aksi pengeboman yang terjadi pada malam Natal pada 24 Desember 2000 dengan 31 titik ledakan. Dan dari 31 titik ledakan tersebut sebagian di antaranya memporak-porandakan 20 Gereja yang ada di sejumlah daerah di Indonesia.21 Berbicara mengenai masalah terorisme atau bentuk-bentuk kekerasan yang menggunakan strategi teror dalam konteks Indonesia, sebenarnya sudah lama berlangsung jauh sebelum tiga kasus besar terorisme yang telah dijelaskan di atas.22 Dan pelakunya tidak hanya dilakukan oleh satu kelompok tertentu saja, tetapi juga dilakukan atas dasar kepentingan agama, ideologi, sentimen ras, persaingan bisnis, sampai dengan kepentingan politik tertentu. Menurut catatan Kontras mengenai intensitas peristiwa peledakan dan teror bom di Indonesia dalam kurun waktu 1976-2001 menunjukkan grafis peningkatan yang sangat signifikan. Pada tahun 1976-1997 hanya tercatat 1 dan 2 kasus saja, tetapi mulai tahun 1998-2001 kasus peledakan dan teror bom 20
. Lih. Majalah Tempo Edisi 25 November-1 Desember 2002, pp. 69-87. . Lih. “Bom-Bom Hambali” dalam: http://www.tempointeractive.com/hg/narasi/2004/05/10/nrs,2004041009,id.html, diakses pada 30 Januari 2005; “Bom Natal 2000” dalam: http://www.tempointeractive.com/hg/narasi/2004/05/10/nrs,20040510-10,id.html, diakses pada 30 Januari 2005; “Ciri Khas Bom Kelompok Hambali” dalam: http://www.tempointeractive.com/hg/narasi/2004/05/10/nrs,2004051011,id.html, diakses pada 30 Januari 2005; http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Utama7id=37256, diakses pada 30 Januari 2005. 22 . Lih. catatan teror bom dan para pelakunya yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu (1962-2004) dalam: http://www.tempointeractive.com/hg/timeline/2004/04/17/tml,20040417-01,id.html, diakses pada 30 Januari 2005; dan http://www.tempointeractive.com/hg/narasi/2004/04/19/nrs,20040419-01,id.html, diakses pada 30 Januari 2005. 21
8
mengalami peningkatan yang sangat drastis dengan rincian: tahun 1998 6 kasus, tahun 1999 7 kasus, tahun 2000 32 kasus dan tahun 2001-Juli 2001 81 kasus.23 Secara khusus mengenai jumlah kasus yang terjadi dalam kurun waktu 2001-Juli 2001, perhitungannya belum memasukkan aksiaksi peledakan dan teror bom yang terjadi di wilayah konflik di Indonesia. Pada tahun-tahun selanjutnya, intensitas aksi-aksi peledakan dan teror bom di Indonesia terus berlanjut tanpa henti yang seakan-akan menjadi ajang pertarungan tanpa mengindahkan etika dan nilai-nilai kemanusiaan. Sementara itu dalam konteks kerusuhan yang melibatkan agama Kristen-Islam di Poso dan Ambon, tidak sedikit aksi teror atau praktek-praktek terorisme telah terjadi dan berlangsung di daerah yang telah mengalami kerusuhan berdarah selama beberapa tahun tersebut. Bahkan dalam situasi yang telah dinyatakan aman sekalipun, tetap saja masih terjadi berbagai bentuk teror lewat peledakan bom,24 penembakan-penembakan dan pembunuhan-pembunuhan misterius sampai saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perkembangan pola kekerasan dari kekerasan yang saling berhadap-hadapan ke arah bentuk kekerasan yang lebih bersifat terorisme daripada sekedar bentuk kekerasan biasa atau tindakan kriminal biasa.25 Namun anehnya, sebelum tragedi bom Bali I terjadi masalah terorisme di Indonesia tidak terlalu dianggap sebagai sesuatu yang serius bahkan terkesan dianggap sebagai fenomena yang tidak ada di Indonesia. Padahal sebelum bom Bali I, mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, dalam sebuah wawancara dengan majalah Far Eastern Economic Review, telah mengingatkan dan mengklaim bahwa ada 100 kelompok Islam radikal di Indonesia tumbuh subur pada era pemerintahan Habibie akan menjadi sumber ancaman serius bagi stabilitas di Asia Tenggara. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Perdana Menteri Singapura, Goh Tjok Tong, ketika ia berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, Wapres Hamzah Haz, Ketua MPR Amien Rais, dan sejumlah tokoh Ormas Islam; yang menyebut Jamaah Islamiyah adalah kelompok terorisme yang sedang beroperasi di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Pernyataan Tong ini kemudian mendapat reaksi keras dari sejumlah kalangan di Indonesia dan mengakibatkan analisis konspirasi segera mengemuka. Bahkan Wapres Hamzah Haz waktu itu dengan tegas dan keras menyatakan bahwa: “Tak ada teroris di Indonesia” dan 23
. Lih. Mukhijab, Peta Terorisme Berubah pada tahun 2002, dalam: http//:www.pikiranrakyat.com/cetak/1202/27/0801.htm, diakses pada 30 Januari 2005; Lih. juga dalam: http://www.infid.be/jointstatement010724terorbom.html, diakses pada 30 Januari 2005. 24 . Peledakan bom terbesar dalam sejarah konflik di daerah telah terjadi di pasar Tentena, kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, yang kemudian dikenal dengan bom Tentena. Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu 28 Mei 2005 dengan peledakan dua bom yang berkekuatan sangat dahsyat dan menghancurkan pasar Tentena dan daerah di sekitar pasar tersebut. Ledakan pertama terjadi di pasar Tentena sekitar pukul 08:15 WITA dan kemudian disusul oleh ledakan kedua pada pukul 08:30 di samping kantor BRI yang berada di samping pasar Tentena. Akibat dari peristiwa ini mengakibatkan 22 orang tewas dan melukai lebih dari 53 orang lainnya. 25 . Lih. Arianto Sangaji, Pasukan Terlatih dan Perubahan Pola Kekerasan di Poso, dalam: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0310/17/opini/630487.htm; dan Wahyuana, Kekerasan Baru di Ambon, dalam: http://www.wahyublocknote.blogspot.com/2005/01/kekerasan-baru-di-ambon.html, diakses pada 30 Januari 2005.
9
“Indonesia bukan negara teroris”, lanjut para pemimpin Indonesia lainnya.26 Namun semua kecaman dan cemohan terhadap Tong bungkam dalam sekejap ketika bom Bali I meledak dan menimbulkan ratusan korban jiwa. Dari keseluruhan survei di atas tampak jelas bahwa mempersoalkan agama dan kekerasan adalah keharusan dan sesuatu yang teramat penting dalam dunia kekinian kita secara global maupun lokal, karena ternyata untuk melakukan kekerasan dan penghancuran besar-besaran orang hanya perlu melihat dan menggunakan dasar-dasarnya di dalam agama. Bahkan seperti dikatakan JB. Banawiratma Sj bahwa kekerasan telah “disatelitkan” dan ancaman dengan kekerasan dianggap jaminan hidup damai sejahtera di bumi. Jika realitasnya seperti ini, maka kata Banawiratma bahwa terbukalah kemungkinan bahwa manusia dalam sekejap dapat mengakhiri dunianya sendiri.27 Dan jika dibandingkan dengan kecenderungan karakteristik terorisme modern yang secara sengaja melakukan kekerasan dengan korban massal yang jauh lebih banyak dan dibarengi dengan ancaman penggunaan senjata CBRN (Chemical, Biological, Radiological and Nuclear) yang masuk dalam kategori WMD (Weapons of Mass Destruction) atau senjata pemusnah massal, maka kita sedang berhadapan dengan kebenaran realitas dari kata-kata Banawiratma tersebut. Inilah tantangan yang sangat serius untuk dipergumulkan oleh dunia keagamaan manusia dan di dalam dunia yang penuh dengan kekerasan ini. Namun demikian – sebagaimana keyakinan Kimball atas agama – penulis tetap optimis dan percaya bahwa pada inti orientasi dan pencaharian agama, manusia menemukan makna dan harapan. Apapun pandangan pribadi seseorang tentang hakikat dan nilai agama, ia tetap merupakan realitas yang berpengaruh dan selalu hadir. Untuk itu orang beriman yang bijak harus mencoba belajar lebih banyak resiko dan janji yang terkandung dalam fenomena kemanusiaan global yang kita sebut agama.28 2. Permasalahan Skripsi Munculnya berbagai aksi terorisme pada tahun-tahun terakhir menunjuk pada sebuah penemuan kembali terhadap kekuatan-kekuatan agama yang muncul dengan jalan pertumpahan darah. Dalam konteks dunia yang penuh dengan kekerasan ini, agama bukan saja turut memberi motivasi, justifikasi (pembenaran), organisasi dan pandangan dunianya, tetapi lebih daripada itu dunia kekerasan atau terorisme mendapat kekuatan dan inspirasinya yang begitu kuat dan berpengaruh melalui agama. Hal ini menunjuk pada sebuah penemuan kembali terhadap tandatanda kerusakan agama bahwa pada kenyataanya agama bukanlah sebuah realitas yang bersih atau suci seperti yang kita pikirkan selama ini. Karena ternyata agama telah begitu mudah untuk 26
. Bambang Abimanyu, Scn. 6, pp. 7-8 . JB. Banawiratma Sj (Ed), Kristologi dan Allah Tritunggal, Kanisius, Yogyakarta, 1986, p. 54. Lih. juga: Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia: Uraian Analisis, Kronologis, Naratif, dan Komparatif (Judul Asli: Mankind and Mother Earth: A Narrative History of the World), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, pp. 15-18, 23-`24, 27, 765. 28 . Charles Kimball, Scn. 1, p. 73. 27
10
dimanfaatkan atau dipolitisasi oleh dunia kekerasan untuk dijadikan alat legal dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkannya, walaupun itu ditempuh dengan jalan kekerasan dan penghancuran. Sebaliknya dalam konteks-konteks tertentu agama justru terlibat dalam melegitimasi keberadaan dunia kekerasan dalam segala bentuknya. Sehingga bukan sesuatu yang tidak mungkin jika kemudian agama dapat menjadi sumber kekerasan bagi siapa saja yang menginginkannya dan dapat menjadi tenaga penghancur yang paling efektif bagi tindak kejahatan terorisme terhadap tatanan peradaban manusia. Dalam konteks seperti ini, eksistensi agama kembali dipertanyakan berbarengan dengan masalah kekerasan termasuk di dalamnya masalah terorisme. Oleh karena itu, kebutuhan mendesak untuk menggali, mencari tahu dan menjelaskan akar-akar persoalan agama dalam kaitannya dengan kekerasan - mengapa dan bagaimana agama dan terorisme saling terkait dan saling terlibat - adalah sebuah persoalan penting yang harus dipikirkan secara serius untuk menemukan cara-cara konstruktif sebagai tindak lanjut usaha kita semua dalam mengatasi persoalan agama dan kekerasan, sekaligus berusaha untuk menempatkan agama pada tataran kehidupannya yang autentik. Semua usaha ini adalah sebuah keharusan bagi semua, karena apabila terorisme yang terwujud melalui teror kekerasan dan penghancuran tidak dipikirkan secara serius, dipergumulkan dan dikendalikan, maka dapat dipastikan peradaban agama akan rusak, hancur, dan kemudian akan digantikan oleh peradaban lain yang lebih memadai untuk menjamin kebahagiaan dan kedamaian hidup manusia. Namun catatan penting untuk selalu diperhatikan bahwa persoalan agama dan terorisme pada prinsipnya tidak dapat diletakkan pada persoalan agama tertentu, karena semua agama dunia pernah dijadikan oleh kelompok teroris tertentu sebagai pembenar aksi-aksi terorismenya. Dengan demikian bahwa masalah terorisme adalah masalah global kemanusiaan kita dan juga masalah keagamaan manusia secara menyeluruh. Untuk itu keseluruhan eksplorasi yang akan penulis lakukan dalam skripsi ini akan lebih terfokus pada kajian terhadap bagaimana dan mengapa agama terlibat dalam dunia kekerasan, secara khusus dengan terorisme; mengapa agama seolah-olah memiliki peran sentral dalam eskalasi kekerasan; dan mengapa harus agama yang dijadikan alat motivasi dan justifikasi moral kejahatan terorisme. Kajian terhadap persoalan-persoalan tersebut kemudian akan diarahkan pada usaha penulis untuk melihat dan memikirkan agama pada orientasi utama dan paling mendasar mengenai agama autentik. Maksud dan tujuan usaha ini lebih bersifat khusus dan praksis, yaitu memisahkan agama dengan kekerasan dan menegaskan bahwa kekerasan bukan penyataan agama yang autentik. Melalui penegasan ini, maka agama harus diberdayakan sebagai kekuatan lokal maupun global untuk menghancurkan segala bentuk kekerasan atas nama agama atau Tuhan, apapun alasannya.
11
Namun eksplorasi terhadap agama dan kekerasan dalam skripsi ini tidak hanya terbatas pada konteks agama tertentu. Hal ini penulis lakukan untuk menghindari penilaian sepihak, tidak adil, dan tidak seimbang, terhadap fenomena terorisme keagamaan yang ada. Lebih daripada itu, penulisan skripsi ini tidak ditujukan atau berpretensi untuk memberi stigma atau menyinggung suatu kelompok keagamaan atau perorangan tertentu. Pertimbangan-pertimbangan ini penulis lakukan atas kesadaran penulis sendiri bahwa terorisme dapat terjadi pada siapa saja yang menginginkannya, sehingga kelompok keagamaan manapun mempunyai peluang untuk melakukannya sepanjang hal itu memungkinkannya terjadi. Oleh karena itu, agama dalam konteks skripsi ini tidak terbatas pada agama sebagai sebuah institusi, melainkan juga pada tradisi/ajaran/doktrin, realitas keagamaan, dan pemeluk agama itu sendiri. 3. Tujuan Penulisan dan Kerangka Teoritis Berdasarkan berbagai persoalan yang penulis temukan dalam eksplorasi di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui mengapa agama dapat terlibat dengan dunia kekerasan atau terorisme dan di mana letak akar-akar persoalannya, khususnya akar-akar persoalan di dalam agama?; mengapa dunia kekerasan justru menempatkan dan memanfaatkan agama sebagai alat motivasi dan justifikasi moral kejahatan kekerasan atau terorisme?; mengapa peningkatan eskalasi kekerasan secara global justru didasarkan oleh nilai-nilai kebajikan?; mengapa agama justru lebih berpengaruh dan menempatkan kekuatannya yang maha dasyat kepada eskalasi kekerasan daripada pengaruh dan kekuatannya pada nilai-nilainya yang paling mendasar dan autentik, seperti kasih sayang, persaudaraan, perdamaian, rekonsiliasi dan nilainilai kebajikan lain yang dimilikinya?; apakah benar ada yang namanya kekerasan baik (suci) dan kekerasan jahat? Berangkat dari keyakinan dasar penulis bahwa kekerasan dalam segala bentuknya bukan penyataan autentik agama dan tidak dapat menjadi esensi agama yang autentik, maka dalam penulisan skripsi ini penulis akan melihat agama bukan sebagai realitas yang bermasalah pada dirinya sendiri, melainkan melihat masalah utama yang terletak pada manusianya dan berbagai persoalan yang saling mempengaruhi terhadap timbulnya teror melalui simbol-simbol agama. Untuk itu penulis akan mengeksplorasi berbagai bentuk penyelewengan atau “korupsi” yang terjadi di dalam agama, sehingga melaluinya agama-agama dapat mengoreksi dan mengubah dirinya dengan tetap selalu waspada serta selalu bersikap kritis terhadap berbagai bentuk pemikiran dan aksi orang-orang yang tidak bertanggung jawab, terutama bersikap kritis terhadap ajaran dan tradisi keagamaannya masing-masing. Selanjutnya penulis akan menunjukkan bahwa kejahatan terorisme atas nama agama atau Tuhan bukan sesuatu yang benar dan menguntungkan, justru sebaliknya berdampak buruk bagi agama bahkan menghancurkan agama itu sendiri. Oleh
12
karena itu, penulis juga akan menggumulkan bagaimana agama menjaga diri supaya tidak terlibat dalam dunia kekerasan, termasuk di dalamnya terorisme. Dengan keseluruhan tujuan-tujuan tersebut, maka skripsi ini diharapkan dapat menjadi sebuah studi yang dapat dilihat dan dipertanggungjawabkan atas pemikiran obyektif terhadap terorisme dan keterlibatan agama di dalam dunia kekerasan pada umumnya. Mengingat persoalan terorisme dan agama merupakan studi yang sama sekali baru bagi penulis, maka untuk mencapai tujuan-tujuan yang penulis harapkan dalam penulisan skripsi ini, penulis akan mengeksplorasi pandangan-pandangan beberapa pakar yang terlibat secara langsung dan aktif dalam melakukan kajian atau penelitian terhadap persoalan agama dan kekerasan, termasuk di dalamnya masalah terorisme. Langkah ini bertujuan untuk memberikan kerangka atau acuan dasar bagi penulis terhadap topik persoalan yang penulis kaji dalam skripsi ini. Adapun para pakar yang penulis maksudkan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Mark Juergensmeyer, dalam bukunya edisi Indonesia yang berjudul “Terorisme Para Pembela Agama” (Tarawang Press, Yogyakarta, 2003), terjemahan dari judul buku aslinya “Teror In The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence” (University of California Press, 2000). (2) Leo D. Lefebure, dalam bukunya edisi Indonesia yang berjudul “Penyataan Allah, Agama, dan Kekerasan” (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003), terjemahan dari judul buku aslinya “Revelation, The Religions, And Violence” (Orbis Books, Maryknol, New York, 2003). (3) Charles Kimball, dalam bukunya edisi Indonesia yang berjudul “Kala Agama Jadi Bencana” (Mizan, Bandung, 2003), terjemahan dari judul buku aslinya “When Religion Becomes Evil” (HarperSanFrancisco, 2002). 5. Judul Skripsi Mengacu terhadap berbagai persoalan yang muncul dalam eksplorasi di atas, maka penulis menetapkan judul skripsi ini sebagai berikut: AGAMA DAN TERORISME: SUATU TINJAUAN THEOLOGIS 6. Alasan Pemilihan Judul Pemberian judul tersebut menurut hemat penulis sangat relevan, teristimewa ketika kita diperhadapkan dengan berbagai realitas eskalasi kekerasan atau terorisme yang terus meningkat secara global dewasa ini, di mana lebih banyak di antaranya dibungkus atau menggunakan simbol-simbol dan bahasa keagamaan. Realitas tersebut menunjuk pada suatu penemuan bahwa telah terjadi persoalan teologis dalam penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan kita, secara khusus dalam hubungannya dengan dunia kekerasan. Sementara itu, karena penulis sendiri adalah mahasiswa teologi, maka sudah seharusnya persoalan keterkaitan dan keterlibatan agama dengan
13
dunia kekerasan yang sebenarnya sangat bertentangan dengan inti terdalam nilai-nilai keagamaan manusia menjadi perhatian dan pergumulan yang sangat penting dan serius bagi penulis. 7. Metodologi Pembahasan Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif-analitis dengan mengandalkan hasil studi literer yang mendukung tema yang diangkat dalam skripsi ini. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan deskriptif-analitis adalah sebuah metode yang menggambarkan kejahatan kekerasan atau terorisme dalam hubungannya dengan agama yang disertai dengan analisis yang bersifat komprehensif untuk mencapai pengertian dan pemahaman yang menyeluruh mengenai persoalan yang digambarkan dalam studi ini. Sedangkan yang dimaksud dengan studi literer adalah salah satu bentuk studi yang menggunakan bahan-bahan pustaka atau literatur dalam rangka studi yang dilakukan untuk mencapai maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini. 8. Sistematika Pembahasan Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I. Pendahuluan Pada bagian ini penulis berusaha menguraikan dan merumuskan tentang latar belakang permasalahan, permasalahan skripsi, tujuan penulisan dan kerangka teoritis, judul skripsi, alasan pemilihan judul, metodologi pembahasan, dan sistematika pembahasan. Bab II. Pandangan Mengenai Terorisme Agama dan Kekerasan dalam Agama Eskplorasi bab ini terfokus pada pandangan-pandangan Mark Juergensmeyer, Leo D. Lefebure dan Charles Kimball mengenai kekerasan dalam agama – termasuk mengenai terorisme agama yang secara spesifik menjadi pusat perhatian kajian Juergensmeyer – dan bagaimana ketiga pakar tersebut mengatasi persoalan tersebut. Namun pendekatan yang penulis lakukan dalam eksplorasi ini – termasuk juga dalam bab-bab selanjutnya – bukanlah pendekatan yang bersifat kaku yang terbatas pada pandangan-pandangan ketiga pakar tersebut, tetapi pendekatan yang bersifat dialogis interaktif antara pandangan-pandangan dari ketiga pakar tersebut dengan sejumlah pandangan-pandangan pakar lain dari berbagai disiplin ilmu. Hal ini penulis lakukan bukan sekedar untuk mendapatkan pemahaman dan pengertian yang bersifat komprehensif terhadap persoalan-persoalan yang diangkat dalam bab ini, tetapi juga sebagai langkah kritis untuk saling mengoreksi dan melengkapi.
14
Bab III. Tinjauan Teologis: Memisahkan Kekerasan dari Agama, Termasuk di dalamnya Tindakan Terorisme. Di dalam bab ini, penulis akan mengajukan sejumlah dasar-dasar pemikiran dan analisis kritis penulis terhadap persoalan agama dan kekerasan (terorisme) dengan mengacu pada perspektif pemahaman teologis penulis, tanpa mengabaikan hasil eksplorasi maupun analisis dari bab-bab sebelumnya. Hal ini merupakan usaha penulis untuk menemukan dan menunjukkan realitas autentik agama sebagai suatu entitas yang bertentangan dan terpisah dari dunia kekerasan, yang kemudian diarahkan ke dalam tataran praksis untuk memisahkan agama dari kekerasan atau terorisme. Mungkin usaha ini bukan sesuatu pekerjaan yang mudah, bahkan seolah-olah terkesan sangat ambisius. Namun semua itu harus tetap dicoba dan dilakukan daripada tidak sama sekali. Ini bukan soal antara mungkin dan tidak mungkin, tetapi ini soal kepedulian kita, soal kemanusiaan dan religiutas kita yang semakin keropos “dikorupsi” dan “diperkosa” oleh virusvirus jahat dan merusak. Satu hal yang penulis pegang di sini bahwa kejahatan terorisme dan berbagai bentuk kekerasan lainnya bukan sekedar persoalan yang bertentangan dengan agama, tetapi merupakan boomerang yang sangat tidak menguntungkan dan sangat membahayakan bagi kehidupan keagamaan manusia serta merupakan kejahatan yang sangat potensial untuk menghancurkan perdamaian dan peradaban manusia yang telah dibangun manusia secara tertatihtatih di tengah-tengah dunia yang penuh kekerasan ini. Bab IV. Kesimpulan Setelah menempuh perjalanan panjang yang dipenuhi semak belukar yang menyesakkan, akhirnya kita sadar bahwa ada harapan dan janji di sana. Inilah ending dari perjalanan itu, di mana penulis berusaha menyimpulkan hasil dari keseluruhan kajian dan analisis dalam skripsi ini dengan memberi penekanan pada pokok-pokok yang penting untuk menjadi perhatian.
15