BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tasawuf sebagai sebuah wacana, dewasa ini telah mampu menyedot perhatian yang besar terhadap kaum muslim. Salah satu ketertarikan orang terhadap sufisme tentunya berangkat dari keinginannya untuk mendalami segi-segi esoterisme Islam, di samping keyakinan bahwa tasawuf akan mampu membawa pelaksanaannya kepada kesucian batin. Sementara kesucian batin merupakan tujuan utama dari setiap agama. Penelitian-penelitian mutakhir membuktikan bahwa di samping kebersihan hati, para pengamal tasawuf juga mendapatkan ketenangan hidup, stabilitas emosi, dan lebih dari itu sufisme mampu memacu kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan tentunya kecerdasan spiritual bagi pelaksanaanya (Sholikhin, 2004: viii). Islam adalah agama yang sejak awal diturunkannya diterima dan diamalkan oleh masyarakat urban, atau masyarakat perkotaan di Mekkah dan Madinah, agama yang dapat diterima suatu lapisan masyarakat yang mampu berfikir rasional dan logis, mampu membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas antara yang Islam dan yang bukan Islam, istilah-istilah musyrik dan tahuhid, Islam dan kafir, yang Islami dan yang jahiliyah, mereka ciptakan adalah untuk menarik garis pemisah yang tegas antara sunnah ajaran Islam dengan tradisi lama masa jahiliyah (Simuh, 1996: 15).
1
2
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia tasawuf kemudian menjadi salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritual ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya, dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohani ketimbang aspek jasmani; dalam kaitannya dengan kehidupan; ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana; sedangkan kaitannya dengan pemahaman keagamaan; ia lebih menekankan aspek esoterik ketimbang eksoterik, lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah (Kartanegara, 2006: 2). Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyah, oleh Abu Hasyim Al-Kufy, dengan meletakkan Al-Sufi di belakang namanya, lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam diawali dari ketidakpuasan terhadap praktek beragama (Islam) yang cenderung formalisme dan legalisme, disamping itu, juga sebagai gerakan moral dalam menghadapi ketimpangan politik, moral dan ekonomi di kalangan umat Islam, khususnya kalangan penguasa. Menyadari hal ini, ada sejumlah orang yang tampil memberikan solusi. Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme adalah dengan spiritualisasi ritual, pembenahan dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin, sedangkan reaksi terhadap sikap politik penguasa, dan efek kondisi ekonomi setelah diraihnya kemakmuran yaitu timbulnya sikap berfoyafoya dalam materi, adalah dengan penanaman sikap mengisolasi diri dari hiruk pikuknya kehidupan duniawi, dengan menanamkan sikap sedia miskin (Syukur, 2002: 3).
3
Sebagian sufi berpendapat bahwa asal-usul kata itu dari bahasa Arab, yang artinya kemurnian. Sehingga seorang sufi itu diartikan, sebagai seorang yang murni hatinya atau insan yang terpilih. Namun, beberapa sarjana Eropa berpendapat bahwa asal-usul kata tersebut berasal dari kata sophos (bahasa Yunani), seperti dalam pengertian kata theosophist. Namun, menurut Noldeke, dalam salah satu artikelnya yang ditulis dalam waktu dua puluh tahun yang lalu, kata tersebut berasal dari kata suf (dalam bahasa Arab artinya bulu domba). Istilah itu pertamakali dikenakan pada orang-orang Islam yang hidup seperti pertapa (asketis) yang meniru kehidupan para biarawan Nasrani. Orang-orang tersebut, biasanya megenakan pakaian dari anyaman bulu domba yang kasar, sebagai tanda tobat dan keinginannya untuk meninggalkan kehidupan duniawi (zuhud) dalam istilah Arab (Nicholson, 1998: 3). Secara umum ilmu tasawuf dikelompokkan menjadi dua bagian; pertama tasawuf ‘ilmy atau nazhari yang besifat teoritis, dan kedua adalah tasawuf ‘amaly yang bersifat praktis yang dilaksanakan sedemikian rupa sehingga tercapai tujuan tasawuf (Sholikhin, 2004: 9). Departemen Agama bersama LIPI mengklasifikasikan tasawuf menjadi tasawuf akhlaqi, tasawuf ‘amaly dan tasawuf falsafi. Tasawuf falsafi sendiri sekarang telah berkembang pesat seperti, ilmu ‘Ilmu Al-Hudhuri dengan tokoh kontemporernya Ha’iri Yaszdi, tasawuf isyraqiyah, seperti iluminationisme Syuhrawardi yang dikembangkan oleh Mulla Shadra dan sebagainya. Tasawuf akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang mempelajari kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku secara ketat. Untuk mencapai
4
kebahagiaan yang optimal, seseorang harus mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan (takhalluq bi akhlaqul karimah), melalui pensucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan berakhlaqul karimah melalui pola pensifatan sifat-sifat Allah. Dalam tasawuf dikenal tiga fase pendidikan jiwa dan seni menata hati yakni; takhalli, tahalli dan tajalli. Adapun tokoh-tokoh sufi jenis ini adalah Al-Qusairi, Al-Harawi dan Al-Ghazali (Sholikhin, 2004: 9). Tasawuf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Tuhan (Allah), yang konotasinya adalah thariqah. Dalam pola thariqah ini, tingkat kesufian seseorang akan dibedakan dengan yang lainnya. Ada yang dianggap telah mampu dengan sendirinya mendekatkan diri kepada Allah, namun masih ada juga yang membutuhkan bantuan orang lain (murid atau salik) yang dianggap memiliki otoritas untuk itu (seorang mursyid atau syaikh). Dari sini kemudian disusun hierarki dengan istilah teknis seperti mursyid, murid dan sebagainya (Sholikhin, 2004: 10). Tasawuf falsafi adalah bentuk tasawuf yang memadukan antara visi mistis dan visi rasional, baik dalam rangka teoritis maupun praktis, yakni pengalaman ruhaninya disampaikan secara sistematis dengan term filsafat, seperti teori kosmologi, dan ungkapan-ungkapan yang ganjil seperti syathahat, syathahiyat yang sulit dipahami. Yang sekarang sedang banyak diminati adalah paham isyraqiyah Syuhrawardi, disamping pola tasawuf-mistis dari kelompok new age (tradisionalis-perenialis), seperti Fritjof Schuon, Hosein Nasr dan lainnya (Sholikhin, 2004: 11).
5
Namun pembagian di atas hanya bersifat teoritis. Secara praktis ketiganya tetap tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan karena kasyaf sebagaimana yang dialami sufi falsafi tetap melakukan latihan rohani dengan mengendalikan kekuatan syahwat serta menggairahkan ruh dengan jalan melakukan zikir, dengan demikian jiwa seseorang dapat menyingkap realitas alam malakut (Sholikhin, 2004: 11). Tasawuf dalam bahasa Inggris disebut Islamic Mysticism (mistik yang tumbuh dalam Islam), adapun tujuan utama dari seseorang yang mengamalkan ajaran tasawuf adalah agar sampai kepada Zat Al-Haqq (Tuhan) dan dapat bersatu dengan-Nya (Simuh, 2002: 25). Untuk dapat mencapai tujuan tersebut maka seseorang yang menjalankan tasawuf musti melalui jalan tarekat (thariqah) Ma’rifat merupakan pengetahuan sejati, disebut pengetahuan sejati karena ma’rifat merupakan jenis pengetahuan yang berbeda dari ilmu-ilmu lainnya yang dapat menghasilkan isi dan metode yang berbeda, Pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar mengajar baik itu formal atau non formal dalam tasawuf disebut sebagai ilmu husuli (ilmu perolehan), berbeda dengan ilmu husuli, Ilmu hudhuri yaitu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui jalan tarekat hingga Allah memberikan pengetahuan terhadap manusia secara langsung (Kartanegara, 2006: 96). Ciri khas manusia ialah bahwa dia tidak mau begitu saja menerima apa yang telah menjadi
pendapat
umum
tampa
mencari
dan
menguji
dasar-dasar
yang
mendukungnya, untuk filsafat perlulah mempertanyakan kodrat dan skope atau lingkup pengetahuan, dasar dan pengandaiannya, dan sifat dapat diandalkannya suatu pernyataan yang bisa disebut pengetahuan. Untuk dapat menanggapi persoalan-
6
persoalan asasi ini perlu kita menanggapinya, sekurang-kurangnya sampai pada jawaban atas pertanyaan apa yang dimaksud dengan jenis-jenis pengetahuan tersebut, yaitu pengetahuan manusiawi, serta prinsip-prinsip mana yang harus diikuti untuk sampai pada pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan (Hardono, 1996: 13). Epistemologi selalu melekat pada suatu pemikiran manusia, terlebih pada pemikiran filsafat. Setiap pemikiran filsafat selalu akan bertumpu pada suatu epistemologi yang khas, tidak ada filsafat yang tidak di landasi oleh suatu epistemologi. Hal yang demikian dapat dimaklumi karena epistemologi bertugas untuk
menjelaskan
struktur
dasar
pengetahuan
manusia,
serta
mempertanggungjawabkan mengenai kebenaran dan kepastian pengetahuan itu (Abbas, 2003: 8). Istilah epistemologi pertama kali digunakan oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854 (Pranaka, 1987: 3). Salah satu objek kajian yang menyibukkan filsafat – paling tidak sejak munculnya kaum Sofis pada zaman Yunani Kuno sampai dewasa ini – adalah gejala pengetahuan. Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaanpertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut epistemologi. Istilah “epistemologi” sendiri berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata “episteme” dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukkan, menempatkan atau meletakkan. Maka, harfiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya”. Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka
7
istilah “epistemologi” dalam sejarah juga pernah disebut gnoseologi. Sebagai kajian filosofis yang memuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemologi kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge; Erkentnistheorie) (Sudarminta, 2002: 18). Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas tentang teori ilmu pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini, pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahui? Kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran manusia, dan kalau ada apakah manusia dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena atau appearance) versus hakikat (noumena atau essence). Ketiga, apakah pengetahuan yang dimiliki manusia itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi (Abdullah, 1999: 243). Secara garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologis. Pertama, adalah idealism atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “idea”, “category”, “form”, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Peran panca indera dinomorduakan. Sedang aliran yang kedua adalah realism atau empiricism yang lebih menekankan peran “indera” (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan dan pendengaran) sebagai sumber sekaligus sebagai alat
untuk
memperoleh
dinomorduakan (Abdullah, 1999: 244).
ilmu
pengetahuan.
Peran akal
8
Selain dua alat sumber pengetahuan di atas (rasio dan indera) masih terdapat sumber lain yaitu intuisi. Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa proses kejiwaan dengan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan yang berupa pengetahuan (Abbas, 1982: 23). Pengetahuan yang dipeoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan karena pengalaman terlebih dahulu. Menurut Rene Descartes intuisi adalah suatu konsepsi yang muncul dengan demikian cepat dan tepat di dalam akal budi yang jernih, sehingga manusia benar-benar terbebas dari keragu-raguan mengenai perkara yang ada dalam pikiran manusia. Intuisi tidaklah merupakan pendapat yang keliru yang diakibatkan oleh susunan pikiran khayal yang membingungkan, karena semata-mata muncul dari akal budi yang jernih (Idea Innateae atau Innate Ideas) (Abbas, 1982: 24). Dengan demikian sasungguhnya peran intuisi sebagai sumber pengetahuan karena intuisi merupakan suatu kemampuan yang ada dalam diri manusia yang mampu melahirkan pernyataan-pernyataan yang berupa pengetahuan (Abbas, 1982: 24). Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang
mendasari
dimungkinkannya
pengetahuan
serta
mencoba
memberi
pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya. Pertanyaan pokok “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu”? (Sudarminta, 2002: 18).
9
Sejarah pemikiran, dalam perspektif sosiologis sangat diwarnai oleh situasi sekaligus kondisi tempat suatu pemikiran bergumul,
berdialektika hingga
mengakumulasi menjadi suatu konstruksi pemikiran yang kontekstual. Karenanya sebuah pemikiran apapun juga tidak lepas dari sejarah yang melingkupinya. Begitu pula aktivitas intelektual yang pernah dilakukan oleh para pemikir muslim klasik, tidak terkecuali Al-Ghazali. Al-Ghazali hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada pada tingkat perkembangan yang tinggi. Pemikiran-pemikirannya tidak hanya berhenti sebagai hasil olah individual, tetapi berkembang menjadi aliran dengan metode dan sistemnya masing-masing. Tingkat perkembagan ini memperlihatkan wujudnya dalam tingkat keragaman yang tinggi. Al-Syahrastani pemikir yang sezaman dengan Al-Ghazali, menggambarkan betapa banyaknya aliran pemikiran dalam dunia Islam pada waktu itu. Setiap aliran, menurut Al-Ghazali mengklaim kebenaran pada alirannya masingmasing. Yang dengan sendirinya pasti menempatkan aliran yang lain pada kedudukan yang kurang benar (Yasir, 1988: 18). Keterangan kitabnya yang berjudul Al-Munqiz Min Ad-Dalal Al-Ghazali mengelompokkan berbagai aliran pemikiran berdasarkan cara masing-masing menemukan kesimpulan tentang kebenaran, menurutnya ada empat aliran yang populer pada masanya, yaitu golongan mutakallimun, filosof, ta’limiyyah dan tasawuf. Para mutakallimun (teolog) dan para filosof dalam mendapatkan kebenaran selalu menggunakan akal, walaupun di antara keduanya terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal, sementara golongan ta’limiyyah selalu
10
menekankan kepada otoritas iman, dan yang terakhir adalah para sufi dalam usaha mencapai kebenaran senantiasa menggunakan intuisi (Ghazali, 1962: 11). Tasawuf sering dipahami orang hanya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah saja, dengan jalan taubat, zikir, ikhlas, zuhud dan sebagainya. Orang menyelami tasawuf dalam rangka untuk sekedar mencari ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan yang abadi, di tengah pergulatan kehidupan duniawi. Pendapat di atas ada benarnya, hanya saja kurang mewakili makna tasawuf secara keseluruhan, sebab masih terdapat aspek lain yang penting dari tasawuf dan menjadi dasar bagi setiap upaya amal untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat, bagi setiap pencari kebenaran dan kesempurnaan diri dan kehidupannya. Aspek penting itu adalah tasawuf sebagai salah satu pilar utama epistemologi dalam Islam. Intelektual kaum sufi yang dalam perspektif pemikiran Al-Ghazali bisa dijadikan sandaran untuk mendapatkan pengetahuan yang sebenarnya dan luput dari kesalahan menjadi tolok ukur dalam pengetahuan manusia, sebab bagi Al-Ghazali bila kebenaran tersebut dihasilkan bukan melalui jalan sufi maka kebenaran dan pengetahuan itu hanyalah kebenaran yang semu. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap secara keseluruhan tingkat kecerdasan atau intelektualitas konsep tasawuf Al-Ghazali dalam memperoleh ilmu pengetahuan yang dipercayai oleh Al-Ghazali mampu menghadirkan dan menghasilkan pengetahuan yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan-kesalahan akibat hanya meyakini pada sumber dan sarana mendapatkan pengetahuan tertentu tanpa
11
mempertimbangkan sumber Al-Qur’an dan Al-Hadis dan qalb sebagai sarana memperoleh pengetahuan yang utuh.
1. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian singkat di atas, muncul persoalan pokok yang akan dijadikan rumusan masalah, adapun rumusan tersebut adalah : a. Apa esensi intelektualisme tasawuf Al-Ghazali ? b. Bagaimana konstruksi tasawuf Al-Ghazali ? c. Bagaimana pengaruh tasawuf dalam membentukepistemologi Al-Ghazali?
2. Keaslian Penelitian Al-Ghazali adalah seorang tokoh yang sangat populer dikalangan akademisi, teolog, filosof, fuqoha’ dan kaum sufi. Kemasyhurannya serta pemikiranpemikirannya yang bersifat monumental menjadikan setiap orang tertarik untuk mengkaji pemikiran serta karya-karyanya. Beberapa ahli yang telah melakukan penelitian terhadap pemikiran Al-Ghazali antara lain. a. Juz’an meneliti dalam bentuk tesis (2001) dengan judul Implikasi Konsep Metafisika Al-Ghazali Dalam Pendidikan Islam di Indonesia. b. Machmoed Hadi meneliti dalam bentuk tesis (2000) dengan judul Telaah Filsafati Terhadap Konsep Pendidikan Al-Ghazali, dalam penelitian ini dijelaskan bahwa konsep pendidikan bagi Al-Ghazali sesuai dengan semangat pendidikan Islam.
12
c. Kemudian sarjana lainnya adalah Widyastini juga dalam bentuk tesis (2000) dengan judul Konsep Manusia Ideal Menurut Confucius dan Al-Ghazali, dalam penelitian ini penulis menjelaskan perbedaan dan persamaan tentang konsep manusia yang ideal antara Confucius dengan Al-Ghazali. d. Nopenri M. meneliti dalam bentuk skripsi (2004) dengan judul Kritik Epistemologi Abu Hamid Al-Ghazali : Dalam Buku Al-Munqiz Min Ad-Dalal secara garis besar dalam penelitian tersebut menjelaskan bagaimana kritik epistemologi yang dilakukan Al-Ghazali dalam buku yang bejudul Al-Munqiz Min Ad-Dalal. e. Muhammad Nur meneliti dalam bentuk tesis (2007) Logika Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Taus Ahmad Al-Tusi Al-Ghazali (10591111). Sejauh penelusuran penulis belum ada peneliti lain yang secara khusus mengkaji pemikiran tasawuf Al-Ghazali dalam bidang epistemologi, penelitian ini berbeda dengan
penelitian-penelitian
yang
sudah
ada,
adapun
penelitian-penelitian
sebelumnya mengarah pada kajian metafisika pendidikan Al-Ghazali, konsep manusia ideal menurut Confucius dan Al-Ghazali dan konsep logika Al-Ghazali.
3. Manfaat Penlitian Penelitian ini akan diusahakan melacak dasar-dasar konstruksi bangunan epistemologi yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, dengan demikian penulis akan
13
menguraikan secara keseluruhan mengenai latar belakang dan landasan berfikirnya. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi : a. Bagi Ilmu Pengetahuan 1) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan serta wawasan tentang kandungan filosofis tasawuf Al-Ghazali khususnya di bidang epistemologi, sebagai usaha untuk memperluas kajian Filsafat Islam. 2) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dalam diskusi-diskusi dalam rangka mamahami Filsafat Islam. b. Bagi Bangsa 1) Penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat bagi nusa bangsa khususnya dalam pengayaan khasanah intelektual. 2) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman baru khususnya mengenai dimensi epistemologi sebagai upaya untuk mempertahankan nilai-nilai pengetahuan keislaman. c. Bagi Penelitian 1) Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pengetahuan tentang
filosofi
tasawuf
Al-Ghazali
khususnya
pada
bidang
epistemologi yang terkandung di dalamnya. 2) Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi untuk lebih memahami filsafat Islam sebagai salah satu unsur filsafat Timur.
14
B. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Menguraikan secara jelas ajaran tasawuf Al-Ghazali yang terkandung dalam intelektualitas epistemologi. 2. Mendeskripsikan konstruksi atau susunan tasawuf Al-Ghazali yang terdapat dalam ajaran kefilsafatan. 3. Merefleksikan pengaruh ajaran dan konsep tasawuf Al-Ghazali dalam membentuk epistemologi Al-Ghazali.
C. Tinjauan Pustaka Abdullah, di dalam bukunya yang berjudul Studi Agama Normativitas atau Historisitas (Abdullah, 1999: 148) mengemukakan bahwa Studi agama (Religious Studies), terutama dalam psikologi agama, sudah semestinya membahas “religious experience” (pengalaman beragama) yang harus dibedakan dari dogma atau credo dan worship (ibadah). Dalam konsepsi agama Islam, terdapat konsep Iman, Islam dan Ihsan yang bisa diuraikan dalam uraian rincian pembahasannya, tetapi merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan orang beragama. Perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam turut memberikan andil yang besar untuk hidup suburnya pemikiran tasawuf dalam dunia muslim. Sebagai pendukung munculnya disiplin yang berdiri sendri, munculnya tokoh-tokoh sufi seperti Harits Al-Muhasibi (243 H. atau 857 M.), Dzun Nun Al-Misry (235 H. atau 859 M.), Abu Yazid Al-Bustami (243 H. atau 857 M.). Term-term Al-Qur’an yang kaya dengan
15
makna batin (tasawuf) pun dikumpulkan oleh mereka. Taubah (taubat), syukur, sabar, tawakal, (penyerahan diri kepada Allah), ridha, ikhlas, wara’ (kesalehan pribadi), qana’ah (rasa puas), khauf (cemas), raja’ (harapan), hubb (cinta) dan lainnya. Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung dimensi “batin” dari kehidupan beragama memang tidak bisa dengan begitu saja dinegasikan dari kesatuan yang utuh dari ajaran Al-Qur’an (Abdullah, 1999: 153). Para sufi, akhirnya dapat menyuguhkan konsep religio-moral yang disebut maqamat (stasion-stasion) dan juga teori ahwal (keadaan-keadaan) yang bersifat psiko-gnostik yang harus dilalui oleh para sufi. Tampak di sini pengaruh cara berpikir filsafat di dalam mengklasifikasikan dan mensistematisasikan ajaran-ajaran AlQur’an yang berkenaan dengan dimensi batiniah. Al-Ghazali juga berjasa dalam menyusun klasifikasi dengan landasan filosofis yang kuat. Bahkan menurut Mohamed Ahmed Sherif, jelas sekali pengaruh Aristoteles via Ibn Sina pada tata cara Al-Ghazali mensistematisasi ajaran-ajaran batin yang bertebaran dalam Al-Qur’an (Abdullah, 1999: 153). Pemikiran-pemikiran puncak kaum sufi terformulasikan dalam doktrin hulul, Ittihat, dan wihdatul wujud. Dimensi batin ajaran Islam kemudian terlembaga menjadi tarekat. Sistem pemikiran Al-Ghazali merupakan upaya untuk membatasi penghayatan mistik dengan penghayatan qurbah (dekat dengan Dzat Tuhan) oleh karena itu ia dalam Al-Munqidz Min Ad-Dalal Al-Ghazali tidak setuju dengan paham hulul, ittihad dan wushul, sebagai faham union mistik. Kemudian Al-Ghazali menyusun Ihya ‘Ulum Ad-din sebagai suatu sisten ajaran tasawuf yang dipandang ideal. Tasawuf
16
untuk menghidupkan pengamalan syari’at dan sebaliknya ikatan syari’at untuk meluruskan pengamalan tasawuf agar konstruktif dan tidak menjuruskan dan meracuni alam pikiran manusia kedalam bid’ah serta khayal serba Tuhan (Simuh, 1996: 179). Perseteruan antara syari’at dan konsep-konsep tasawuf mampu dikendalikan dan dipersatukan oleh Al-Ghazali dan itulah jasa terbesar Al-Ghazali, hingga akhirnya para sufi dan fuqaha’ dapat saling menerima satu sama lain. Penelitian tasawuf umumnya menggunakan studi khusus dan menggunakan pendekatan fenomenologis atau verstehen. Jadi grounded riset. Maka salah satu syarat bagi para peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf, tasawuf sebagai ilmu yang sudah berkembang sejak pertengahan abad II Hijriyah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminologi atau bahasa khusus yang hanya bisa dimengerti dalam kaitannya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syari’at” hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiriah menurut aturanaturan formal dari agama Islam sementara laku batin tidak dimasukkan dalam istilah syari’at (Simuh, 1996: 179). Al-Ghazali sebagai seorang teolog, filosof, ahli hukum dan ahli sufi sudah sangat populer dikalangan umat Islam khususnya dan di luar Islam umumnya, dia terkenal sebagai seorang yang kritis dan mendalam dalam karya-karyanya. Sebagai seorang yang sangat terkenal dalam sejarah pemikiran Islam, pemikiran Al-Ghazali dalam bidang-bidang tertentu mendapat respon yang baik, ada banyak tema yang pernah dibahas oleh para penulis seperti: Pemikiran Al-Ghazali dalam bidang penalaran hukum melalui topik Eksistensi Qias Menurut Al-Ghazali dalam
17
karya ini ditemukan kecenderungan Al-Ghazali menggunakan rasio dalam menentukan konsep teoritis dalam pembentukan suatu hukum baru. Dalam bidang filsafat pemikiran Al-Ghazali tentang manusia telah mendapat perhatian yang baik dari para ilmuan di antaranya Ali Issa Othman (1987) yang dibahasnya dalam buku Manusia Menurut Al-Ghazali, pembahasan pada buku ini difokuskan pada kecenderungan mistik. Pemikiran Al-Ghazali tentang etika telah diteliti oleh M. Abul Quasem (1988) di bawah judul The Ethics of Al-Ghazali in Islam buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh J. Mahyuddin dengan judul Etika Al-Ghazali secara keseluruhan dalam karya ini disajikan seluruh sistem etika yang terdapat dalam berbagai karya Al-Ghazali. Berbagai karya tulis tentang Al-Ghazali baik dalam bentuk buku, artikel, jurnal dan karya tulis lainnya seperti skripsi, tesis dan disertasi sangat banyak, tetapi sejauh pelacakan peneliti belum ada yang secara khusus membahas
tentang
konsep
epistemologi
Al-Ghazali
relevansinya
terhadap
intelektualisme tasawuf. Dalam bidang teologi pernah diteliti oleh Zurkani Jahja (1996) dengan judul Theologi Al-Ghazali Pendekatan Metodologi buku ini sebenarnya merupakan sebuah disertasi yang kemudian disempurnakan, dalam karya ini secara garis besar dijelaskan bahwa konsepsi teologi Al-Ghazali terbagi menjadi tiga, masing-masing dengan obyek, tujuan, metode, materi atau kegiatan, literatur dan hasil yang diperoleh adalah kualitas keimanan.
18
Muhammad Yasir Nasution (1996) Meneliti dengan judul Manusia Menurut AlGhazali, dalam karya ini penulis menguraikan dengan lengkap tentang manusia menurut Al-Ghazali, bahwa keberadaan manuisa terdiri dari dualisme antara ruh (jiwa) dan jasad (badan), namun dari keduanya yang esensi bagi Al-Ghazali adalah ruh (jiwa). Solihin (2001) meneliti dengan judul Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, penelitian ini merupakan analisis terhadap kitab Risalah Al-Laduniyyah, dalam karya ini diungkapkan oleh Solihin konsep epistemologi Al-Ghazali dalam kitab Risalah Al-Laduniyyah demi mendapatkan kejelasan pemikiran tentang ilmu laduni dalam hubungannya dengan epistemologi ilmu, dalam penelitian tersebut juga dijelaskan mengenai kedudukan kitab Risalah Al-Laduniyyah dalam kaitannya dengan struktur keilmuan Islam, dan serta mengungkap konsep ilmu laduni menurut Al-Ghazali dalam kitab Risalah Al-Laduniyyah. Syamsul Rijal (2003) adalah salah seorang yang turut melengkapi sejumlah penelitian maupun referensi tentang Al-Ghazali dengan judul Bersama Al-Ghazali Memahami Filosofi Alam Upaya Meneguhkan Keimanan dalam karya ini penulis mengungkap pemikiran Al-Ghazali terutama dalam memahami filosofi penciptan alam, setidaknya dalam karya tersebut penulis menjelaskan teori tentang bagaimana Tuhan menciptakan alam, yaitu: Tuhan menciptakan alam dari sesuatu yang ada kepada ada sehingga alam ini bersifat qadim, tidak bermula. Kemudian Tuhan menciptakan alam dari tidak ada kepada ada sehingga alam tersebut bersifat baru atau berawal.
19
Intelektualisme tasawuf Al-Ghazali dianalisis dari perspektif epistemologi dengan harapan ditemukan aspek-aspek epistemologis yang relevan dengan sarana dan sumber pengetahuan manusia, khususnya kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Sehingga para pencinta kebenaran ilmu pengetahuan tidak akan mengalami skeptik terhadap hasil capaian kebenaran pengetahuan seperti yang digambarkan Al-Ghazali kebenaran itu tidak akan berubah bila diuji kembali oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun, sama halnya seperti lima di kali lima sama dengan dua puluh lima, demikian kiranya kebenaran yang ingin dicapai melalui disiplin tasawuf oleh tokoh serba bisa Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AlGhazali.
D. Landasan Teori Hakikat manusia yang selalu ingin mengetahui melahirkan kesadaran untuk selalu mencari dan terus mencari. Proses mencari, meneliti, memahami dan merenungkan sesuatu yang menjadi objek perhatiannya menghasilkan sesuatu yang dinamakan pengetahuan. Manusia mendapatkan atau mengetahui sesuatu. Namun usaha manusia untuk
mendapatkan
pengetahuan
merupakan
suatu
keterampilan
untuk
mengabungkan segala sesuatu demi pencapaian pengetahuan itu. Akal berperan sebagai faktor utama untuk memikirkan, mengolah dan memahami sesuatu. Selain itu lingkungan atau segala sesuatu yang ada juga merupakan faktor penunjang selain dijadikan sebagai objek perhatian yang melahirkan sesuatu tetapi juga sebagai ruang lingkup pengetahuan itu. Akal budi atau pikiran dan lingkungan inderawi merupakan
20
sumber terjadinya pengetahuan. Dua sumber yang berbeda sungguh melahirkan perdebatan panjang antara para filosof pengetahuan di abad pencerahan. Para penganut rasionalisme (Rene Descartes, Baruch Spinoza) menganggap bahwa pengetahuan lahir dari suatu pencarian akal bukan berdasarkan pengalaman indrawi seperti yang dianut oleh para empirisme (David Hume, Jhon Locke). Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan-pertanyan yang bersifat menyeluruh, dan mendasar tentang pengetahuan disebut epistemologi (Sudarminta, 2002: 18). Istilah epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere dari Institut of Metaphysics (1864) yang bermaksut untuk membedakan antara dua cabang filsafat yaitu epistemologi dan ontologi. Upaya pembedaan ini karena dua cabang
tersebut
mempertanyakan
persoalan
yang
berbeda
yaitu
ontologi
mempertanyakan hakikat “yang ada” sedangkan epistemologi mempertanyakan tentang hakikat pengetahuan (Abbas, 2003: 9). Epistemologi, secara etimologis, yaitu penguraian berdasarkan kepada akarkatanya, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata di dalam bahasa Yunani: episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan; logos lazim digunakan untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Sehingga secara mudah epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Webster Third New International Dictionary mengartikan epistemologi sebagai “the study of method and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity” pada tempat yang sama secara singkat dikemukakan bahwa epistemologi adalah “the theory of knowledge”. Dalam pada itu Runnes di dalam
21
Dictionary of Philosophy memberikan keterangan bahwa epistemologi merupakan “the branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods and validity of knowledge” (Pranarka, 1987: 3). Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas tentang teori ilmu pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini, pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana manusia mengetahui? Kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran manusia, dan kalau ada apakah manusia dapat mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena atau appearance) versus hakikat (noumena atau essence). Ketiga, apakah pengetahuan yang dimiliki manusia itu benar (valid)? Bagaimana manusia dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi (Abdullah, 1999: 243). Secara garis besar, ada dua aliran pokok dalam epistemologis. Pertama, adalah idealism atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “idea”, “category”, “form”, sebagai sumber ilmu pengetahuan. Peran panca indera dinomorduakan. Sedang aliran yang kedua adalah realism atau empiricism yang lebih menekankan peran “indera” (sentuhan, penglihatan, penciuman, pencicipan dan pendengaran) sebagai sumber sekaligus sebagai alat
untuk
memperoleh
dinomorduakan (Abdullah, 1999: 244).
ilmu
pengetahuan.
Peran akal
22
Zaman modern filsafat, tokoh pertama rasionalisme adalah Rene Descartes (15951650). Tokoh rasionalisme lainnya adalah Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Descartes dianggap sebagai bapak filsafat modern. Menurut Bertrand Russel, Kata “bapak” pantas diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern itu yang membangun filsafat berdasarkan keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasio. Dia pula orang pertama pada akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas dan menyimpulkan bahwa dasar filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang teramat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali pada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal (Sofyan, 2010: 70). Para pemikir di Inggris bergerak ke arah yang berbeda dengan tema yang dirintis oleh Descartes. Mereka lebih mengikuti jejak Francis Bacon, yaitu aliran empirisisme. Empirisisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peran pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisisme sendiri diambil dari bahasa Yunani empeiria, yang berarti pengalaman, sebagai satu doktrin, empirisisme adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi, tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama sekali.
23
Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam rangka empirisisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai empirisisme (Sofyan ,2010: 75). Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika Bacom lebih berarti dalam bidang metode penelitian, Hobbes lebih berarti dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes talah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar pada empirisisme secara konsekuen. Meskipun bertolak pada dasar-dasar empiris, ia juga menerima metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisisme dan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empiris dan rasionalis dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern (Sofyan, 2010: 75). Selain dua alat sumber pengetahuan di atas (rasio dan indera) masih terdapat sumber lain yaitu intuisi. Intuisi adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa proses kejiwaan dengan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan yang berupa pengetahuan (Abbas, 1982: 23). Intuisionisme adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Tokoh aliran ini di antaranya dalah Henri Bergson. Pengetahuan yang dipeoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan karena pengalaman terlebih dahulu. Menurut Rene Descartes intuisi adalah suatu konsepsi yang muncul dengan demikian cepat dan tepat di dalam akal budi yang jernih, sehingga manusia benar-benar terbebas dari keragu-raguan mengenai perkara yang ada dalam pikirannya. Intuisi tidaklah merupakan pendapat
24
yang keliru yang diakibatkan oleh susunan pikiran khayal yang membingungkan, karena semata-mata muncul dari akal budi yang jernih (Idea Innateae atau Innate Ideas) (Abbas, 1982: 24). Dengan demikian sasungguhnya peran intuisi sebagai sumber pengetahuan, karena intuisi merupakan suatu kemampuan yang ada dalam diri manusia yang mampu melahirkan pernyataan-pernyataan yang berupa pengetahuan (Abbas, 1982: 24). Pendapat Henri Bergson (1859-1941) akal tidak dapat dipakai untuk menyelami hakikat yang sebenarnya dari segala kenyataan, guna menyelami segala hakikat kenyataan diperlukan intuisi, yaitu suatu kekuatan ruhani, suatu kecakapan yang dapat melepaskan diri akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang telah mendapatkan kesadaran diri, yang telah dicakapkan untuk memikirkan sasarannya serta memperluas sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas. Intuisi adalah suatu bentuk pemikiran yang berbeda dengan pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis (Hadiwijono, 1980: 137). Akal, menurut Henri Bergson jikalau ingin mengerti keadaan sesuatu kenyataan (misalnya sekor binatang), kenyataan itu di analisa, dibongkar dalam banyak unsur. Unsur yang satu dibedakan dengan unsur yang lain, dipisahkan dari yang lain, dan di tempatkan yang satu di samping yang lain serta sesudah yang lain, artinya, akal memikirkan kembali unsur-unsur tersebut dalam ruang dan waktu. Kerja akal yang demikian itu oleh Bergson disebut kerja yang sinematografis, seperti cara kerja bioskop. Tidak demikian kerja intuisi, baik yang terjadi di dalam kesadaran maupun
25
di dalam kesadaran, semuanya dilihat sebagai “masa yang murni” atau “kelangsungan yang murni”, di mana masa lampau, masa kini dan masa depan saling berkaitan. Di situ masa lampau tidak terpisah dari masa kini, tetapi berkaitan. Dengan demikian intuisi menunjukkan bahwa segala kejadian terjadi dalam kebebasan (Hadiwijono, 1980: 138). Bergson mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Ini adalah hasil evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini hampir sama dengan instinct, tetapi berbeda dalam kesadaran dan kebebasannya. Pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Kemampuan inilah yang dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap, yang unique. Intuisi ini menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi, indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh (spatial), sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh, tetap. Sebagai cabang ilmu filsafat yang secara khusus membahas mengenai pengetahuan, epistemologi mempunyai ruang lingkup kajian yang luas, usaha untuk menentukan persoalan epistemologi juga bukanlah suatu hal yang mudah. Salah satu penyebabnya adalah filsafat selalu mengalami perkembangan, demikian juga dengan epistemologi, perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa antara satu pemikir dengan pemikir lainnya, antara periode filsafat yang satu dengan periode filsafat yang lain, memberikan batasan terhadap istilah epistemologi. Akibatnya masing-masing tokoh akan berbeda dalam mendudukkan problem-problem epistemologi.
26
Landasan teori dalam penelitian ini adalah epistemologi sebagai objek formal akan dipahami secara keseluruhan. Epistemologi sebagai salah satu cabang filsafat yang secara khusus membahas hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan, yaitu persoalan pokok yang berkembang dalam epistemologi, apakah sumber pengetahuan itu? Apakah watak pengetahuan? Apakah pengetahuan kita benar (valid) atau tidak? Bagaimana manusia dapat membedakan kebenaran dan kesalahan? Dengan cara apa diperoleh dan apa saja syarat yang harus dipenuhi? (Kaelan, 2005: 36). Penulis, di dalam penelitian ini memilih menggunakan sudut pandang epistemologi Henri Bergson terkait intuisi sebagai alat dan sumber pengetahuan yang sebenarnya. Henri Bergson menguraikan kerja intuisi dalam kajian epistemologi secara komprehensif dan sistematis. Intelektualime tasawuf Al-Ghazali dalam perspektif epistemologi juga akan dianalisis dengan epistemologi menurut Henri Bergson. Dalam penelitian ini akan mengungkap konsep epistemologi menurut Al-Ghazali yang benar dan dapat dipercaya dapat menghasilkan pengetahuan manusia yang tidak ditemukan lagi celah kesalahannya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Objek materialnya akan diuraikan mengenai konstruksi tasawuf Al-Ghazali secara keseluruhan dan mengenai teori kebenaran yang valid dalam sudut pandang tasawuf dalam rangka mengungkap intelektualisme tasawuf Al-Ghazali.
27
E. Cara Penelitian Pada dasarnya kegiatan penelitian adalah upaya merumuskan masalah, mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah hakikat pengetahuan itu? Apa yang menjadi sumber dan dasarnya? Apakah pengetahuan itu benar-benar pasti ataukah hanya merupakan dugaan saja? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyan itu, dengan jalan menemukan fakta-fakta dan memberikan penafsiran yang benar. Kecuali itu, penelitian juga berfungsi dan bertujuan inventif, yakni terus menerus memperbaharui kesimpulan dan teori yang telah diterima berdasarkan fakta-fakta dan kesimpulan yang telah ditemukan (Bakker dan Zubair, 1990:11).
1. Bahan Penelitian Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan telaah kepustakaan yang bersifat literal, adapun data yang akan dipersiapkan meliputi : a. Buku-buku atau karya tulis Al-Ghazali yang dikumpulkan akan dijadikan sebagai sumber data primer. b. Buku-buku yang membahas tentang pemikiran Al-Ghazali akan dijadikan sebagai sumber data sekunder. c. Buku-buku yang membahas tentang tasawuf juga akan penulis gunakan sebagai sumber data sekunder.
28
d. Sebagai sumber data pendukung peneliti akan menggunakan karya ilmiah lainnya seperti laporan penelitian, jurnal, artikel, ensiklopedi, makalah, majalah dan karya tulis lainnya yang dapat mendukung penelitian ini.
2. Jalan Penelitian a. Bahan Penelitian 1) Mencari semua buku yang memuat tentang Al-Ghazali yang akan diteliti, mengenai pemikiran Al-Ghazali dan penelitian-penelitian yang terkait dan menunjang obyek yang akan diteliti. 2) Buku-buku, jurnal, artikel, laporan penelitian, makalah, ensiklopedi, kamus, majalah dan karya tulis lainnya yang telah diperoleh akan penulis susun sesuai dengan pokok bahasan. b. Menyusun daftar hasil penelitian. c. Menyusun laporan hasil penelitian setelah lebih dahulu diadakan revisi secara optimal dan menyeluruh.
29
3. Analisis Hasil Penelitian ini adalah penelitian historis faktual, yang bersifat analisis sintesis (Bakker dan Zubair, 1990: 61-66). dengan unsur-unsur sebagai berikut : a. Interpretasi : karya-karya Al-Ghazali terutama yang berkenaan dengan aspek-aspek epistemologi ini dibahas guna menangkap apa yang di maksud Al-Ghazali dalam buku terkait. b. Koherensi Interen: agar dapat memberikan interpretasi yang tepat mengenai pemikiran Al-Ghazali semua konsep-konsep dan aspekaspeknya dilihat menurut keselarasannya satu sama lain. Kemudian akan ditetapkan inti pemikiran yang mendasar dan topik-topik yang sentral dari pemikiran Al-Ghazali, kemudian diteliti susunan logissistematis dalam pengembangan pemikirannya dan akan dipersiskan gaya dan metode berfikirnya (Bakker dan Zubair, 1990: 11). c. Holistika: dalam rangka memahami konsep-konsep filosofi Al-Ghazali dengan baik, dilihat secara keseluruhan visinya mengenai kebenaran, dunia, tasawuf dan Tuhan.
30
F. Sistematika Pembahasan Tesis ini terdiri dari lima bab, setiap bab memiliki keterkaitan dengan isi uraian pada bab-bab yang lain. Rincian mengenai isi setiap bab tersebut adalah sebagai berikut : Bab
I: Berisi uraian tentang pendahuluan yang meliputi; latar belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, cara penelitian, sistematika pembahasan.
Bab
II: Berisi tentang uraian: Biografi Al-Ghazali, Riwayat Pendidikan dan Karir Al-Ghazali, Karya-Karya Al-Ghazali, Kondisi Sosial Politik Masa AlGhazali dan Akhir Hayat Al-Ghazali.
Bab
III: Pada bab ini akan diuraikan pengertian epistemologi, sejarah singkat epistemologi, epistemologi Islam dan pengertian tasawuf, sejarah munculnya tasawuf, tahap perkembangannya, susunan amalan-tasawuf.
Bab
IV: Berisi uraian konstruksi tasawuf Al-Ghazali dalam epistemologi, pokokpokok ajaran Al-Ghazali, tasawuf akhlaqi Al-Ghazali, maqamat dan ahwal, upaya tasawuf Al-Ghazali sebagai jalan epistemologi.
Bab
V: Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari uraian penelitian inidan saran atas kekurangan dalam penelitian ini untuk lebih sempurnanya penelitian tentang tasawuf Al-Ghazali berikutnya.