12
BAB I I TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, seperti halnya penelitian dilakukan oleh Sutrisno, (2010) dengan judul : “Efisiensi Penggunaan Program
Bantuan Hibah di Kecamatan Tirawuta Kabupaten Kolaka Tahun
Anggaran 2009”, Efisiensi penggunaan dana merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa dengan menggunakan biaya tertentu dengan hasil tertentu pula. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan induvidu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatamya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri. Pemberdayaan yang di maksud dalam penelitian ini adalah pemberdayaan masyarakat miskin melalui Program Bantuan Hibah. Secara umum Program
Bantuan Hibah bertujuan untuk penanggulangan kemiskinan
masyarakat-masyarakat desa seperti yang di lakukan di Kecamatam Tirawuta yang di dalamnya terdiri dari 8 Desa, program ini untuk merealisasikan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dengan mengembangkan pemberdayaan masyarakat di pedesaan beserta pelaksanaan program atau pekerjaan. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Riyadi Soeprapto (2010) dengan judul : “Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan (Studi Implementasi Program Bantuan Hibah Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan di
12
13
Kelurahan. Bandulan Kecamatan Sukun Kota Malang)”, Strategi pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia (people centred development) dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan adanya partisipasi dari masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraan hidupnya. Pemberian kewenangan kepada masyarakat setempat yang tidak hanya untuk menyelenggarakan proyek atau program pembangunan, tetapi juga untuk mengelola proyek tersebut akan mendorong masyarakat untuk mengerahkan
segala
kemampuan
dan
potensinya
demi
keberhasilan
proyek/program tersebut. Pada gilirannya keberdayaan masyarakat setempat akan menjadi lebih baik sebagai akibat dari meningkatnya kemampuan dan kapasitas masyarakat. Beberapa peneltiianyang mengilhami peneliti untuk mengembangkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Meskipun demikian antara penelitian yang akan penelitian lakukan dengan penelitian terdahulu yaitu tentang program bantuan hibah dari pemerintah sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah bahwa penelitian ini lebih memfokuskan pada model penelitian
14
implementasi pada program bantuan hibah bagi lembaga kemasyarakatan, jadi bukan dalam bentuk evaluasi atau efektivias program. Beberapa penelitian terdahulu yang peneliti jadikan sebagai dasar pengembangan penelitian ini, secara jelas seperti tersaji dalam table berikut ini : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Nama dan tahun Penelitian Sutrisno, (2010)
Riyadi Soeprapto (2010)
Judul Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Efisiensi Penggunaan Program Bantuan Hibah di Kecamatan Tirawuta Kabupaten Kolaka Tahun Anggaran 2009
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan Kualitatif
Efisiensi penggunaan dana merupakan kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa dengan menggunakan biaya tertentu dengan hasil tertentu pula. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan induvidu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatamya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri. Pemberdayaan yang di maksud dalam penelitian ini adalah pemberdayaan masyarakat miskin melalui Program Bantuan Hibah.
Partisipasi Masyarakat dalam Penanggulangan Kemiskinan (Studi Implementasi Program Bantuan Hibah Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan di Kelurahan. Bandulan Kecamatan Sukun Kota Malang)
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan Kualitatif
Strategi pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia (people centred development) dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan adanya partisipasi dari masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah mereka percaya integritasnya.
15
Ansori Eko Prasetyo (2014)
Implementasi Program Bantuan Hibah Bagi Lembaga Kemasyarakatan Di Desa Bengkelu Lor Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik
Jenis penelitian ini tergolong jenis penelitian deskriptif sedangkan pendekatan yang digunakan adalah kualitatif.
Belum diketahui
Sumber : Penelitian Terdahulu
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Implementasi Kebijakan Publik 2.2.1.1. Pengertian Implementasi Implementasi kebijakan publik merupakan suatu tahap penting dalam rangkaian proses kebijakan. Betapa pentingnya studi tentang implementasi ini cukup beralasan karena banyak sekali kebijakan didasarkan pada ide-ide yang kedengarannya
sangat
layak
ternyata
menemui
kesulitan
ketika
harus
dipraktekkan di lapangan sebagaimana dikatakan oleh Udeji tentang pentingnya suatu implementasi sebagai berikut : The execution of publicies as important if net more importabt then policy makin. Policies will remain drems of blu prints in file jackets unless they are implemeted (pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak di implementasikan). (Wahab. 2007 : 59).
Pengalaman yang umum terjadi di negara yang sedang berkembang adalah bahwa banyak pemerintah yang mampu memformulasikan kebijakan secara idial, namun dalam prakteknya mengalami banyak kegagalan. Keberhasilan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan tidak hanya berhenti pada saat sebuah
16
masalah telah diadopsi menjadi suatu kebijakan. Kebijakan publik akan mencapai sasaran atau tidak hal itu berlangsung pada sebuah proses yang menyangkut sistem birokrasi dan sistem lainnya yang sangat komplek. Karenanya nilai-nilai kebijakan harus diukur tidak hanya pada tahap awal diusulkan atau saat telah menjadi satu bentuk formulasi kebijakan, tetepi juga pada tahap implementasinya. Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Wahab (2007) adalah: Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu
Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. Rumusan proses implementasi menurut Van Meter dan Van Horn (1975) adalah sebagai berikut : These action by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabatpejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan). (Wibawa, 2004)
17
Sedang menurut Edward III pengertian proses implementasi adalah sebagai berikut : Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintahperintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan/sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. (dalam Wahab, 2007) Pengertian implementasi selain menurut Webster di atas dijelaskan juga menurut Mazmanian dan Sabatier bahwa implementasi adalah : Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individuindividu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan”. (dalam Wahab, 2007 : 65)
Pandangan Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi merupakan tindakan oleh individu, pejabat, kelompok badan pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu keputusan tertentu. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang membawa dampak pada warganegaranya. Namun dalam prakteknya badan-badan pemerintah sering menghadapi pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat dari Undang-Undang, sehingga membuat mereka menjadi tidak jelas untuk memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Mazmanian dan Sebastiar juga mendefinisikan implementasi sebagai berikut : Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
18
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan”. (dalam Wahab, 2007 : 68) Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastier merupakan pelaksanaan kebijakan dasar berbentuk undang-undang juga berbentuk perintah atau keputusan-keputusan yang penting atau seperti keputusan badan peradilan. Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan yang bersangkutan.
2.2.1.2. Model Implementasi Kebijakan Sebagai upaya untuk mencapai tujuan kebijakan, akan selalu dipengaruhi oleh berbagai variabel baik secara terpisah maupun bersamaan akan sangat mempengaruhi keberhasilan program dalam mencapai tujuannya. Sedangkan keberhasilan implementasi itu sendiri dapat diidentifikasi melalui kinerja (performasi) dan dampak yang ditimbulkannya. Berkaitan dengan hal ini Chema dan Rundinelli mengatakan bahwa : Keberhasilan suatu kebijakan dapat dilihat dari kinerja kebijakan yang mencakup pencapaian tujuan, peningkatan kemampuan pemerintah di unitunit local merencanakan dan memobilisasi sumber daya, peningkatan produktivitas, dan income, peningkatan partisipasi masyarakat serta peningkatan akses fasilitas pemerintah ( dalam Wahab, 2007) Menurut George C. Edward III ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi program yaitu : 1.
Komunikasi. Komunikasi diperlukan dalam implementasi standar sarana dan prasarana sekolah karena dengan adanya kejelasan dan
19
2.
3.
4.
konsistensi arahan, petunjuk dan perintah mengenai program, maka diharapkan program dapat dijalankan sesuai tujuan. Sumber daya/Resources. tersedianya sumber daya manusia yang memadai sebagai pelaksana implementasi atau implementor. Sumber daya meliputi : staf, informasi dan kewenangan. Struktur Birokrasi. Pelaksanaan sarana dan prasarana sekolah, struktur birokrasi yang jelas diperlukan untuk mewujudkan tujuan kebijaksanaan yang telah ditentukan. Hal ini meliputi : a. Pembagian kerja dengan spesialisasi peranan yang jelas. b. Hubungan dan keterpaduan hirarki antar lembaga. c. Sistem Standar. Disposisi, Adalah sikap dan komitmen dari para pelaksana terhadap program yang diimplementasikan. ( dalam Wahab, 2007)
Secara konseptual bahwa model implementasi kebijakan dari Edward II, maka dalam mengimplementasikan kebijakan sarana dan prasarana sekolah dapat digambarkan sebagai berikut :
Komunikasi (Kejelasan, Transmisi, &Konsistensi)
Sumber daya (SDM, Fasilitas & Dana)
Implementasi - Interpretasi - Pengorganisasian - Aplikasi Disposisi (Sikap, Dukungan & Perasaan)
Struktur Birokrasi (Prosedur, Fregmentasi)
Sumber : Widodo, (2011)
Gambar 2.2 Implementasi Kebijakan Model Edward III
20
Model yang dikembangkan Daniel Maxmanian dan Paul A. Sabatier sebagaimana dikutib Wahab (2007) disebut “A Frame Work for Implementasi” kebijakan
negara
adalah
mengidentifikasikan
variabel-variabel
yang
mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan
negara
ialah
mengimplementasikan
variabel-variabel
yang
mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Variabel –variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori besar, yaitu : 1. Mudah tidaknya masalah yang digarap dikendalikan 2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstruktur secara tepat proses implementasinya, dan 3. Pengaruh langsung pelbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut. ( dalam Wahab, 2007)
Model yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A Gunn sebagaimana dikutib Wahab (2007) disebut “Top Down approach” Untuk dapat mengimplementasikan kebijakan negara secara sempurna diperlukan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius. 2. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup memadai. 3. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia. 4. Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kualitas yang handal. 5. Hubungan kualitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. 6. Hubungan ketergantungan harus kecil.
21
7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. 8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. 9. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. 10. Pihak-pihak yang memiliki wewenag kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Model implementasi lainnya dikembangkan oleh Van Meter dan Van Horn, seperti yang dikutip Wibawa (2004). Van Meter dan Van Horn merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan antara berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja yang tinggi berlangsung dalam antar hubungan berbagai faktor. Menurut model ini, suatu kebijakan tentulah menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat tercapainya standar dan sasaran tersebut. Menurut Van Meter dan Van Horn, organisasi pelaksana memiliki enam variabel, yang semuanya harus dicermati oleh seorang evaluatir, yaitu : 1. Kompetensi dan jumlah staf, 2. Rentang dan derajat pengendalian, 3. Dukungan politik yang dimiliki, 4. Kekuatan organisasi, 5. Derajat keterbukaan dan kebebasan komunikasi, dan 6. Keterkaitan dengan pembuatan kebijakan. Variabel terakhir menunjuk pada akses organisasi dalam pempengaruhi kebijakan. (Wibawa, 2004)
Kajian terhadap proses implementasi program dan kebijakan memusatkan perhatian pada aspek compliance, didalamnya termasuk konsistensi dengan policy guidelines dan efisiensi penggunaan sumberdaya. Tiadanya compliance bisa
22
menjadikan kegagalan program dan kebijakan, yang disebut program failure. Kajian terhadap outcomes memuaskan perhatian pada aspek-aspek : 1.
2.
3.
Auditing, yaitu kemampuan untuk mengetahui kemampuan program dalam melibatkan kelompok sasaran yang benar-benar eligible, dan mencegah sasaran diluarnya untuk terlibat dalam program; Accounting, yaitu upaya mengidentifikasi dan memperkirakan besaran dampak program atau kemampuan suatu program untuk mempengaruhi terjadinya perubahan sosial ekonomi suatu publik; dan Explanation, yaitu mengungkap informasi yang menjelaskan kontribusi dari masing-masing komponen yang digunakan pemerintah dalam kegiatan terhadap dampak yang dihasilkan. (Wibawa, 2004)
Model Implementasi Kebijakan yang dikemukakan Lane. Ada 11 (sebelas) model implementasi kebijakan, yaitu : 1.
2.
3.
4.
5.
6. 7.
Implementation aas Perfect Administration; Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa untuk mencapai hasil kebijakan secara optimal dapat dilakukan dengan system administrasi yang terpadu misalnya : ada otoritas yang tunggal, adanya tujuan yang jelas, adanya pijakan peraturan yang tegas, implimentasi memiliki kekuatan otoritatif guna mengendalikan, mengkoordinasi, informasi, sumber-sumber dan mendapatkan dukungan politik secara penuh. Implimentatio as Policy Management; Implimentasi kebijakan sebagai proses manajemen yang memerlukan teknologi, kejelasan tujuan, keahlian, dukungan consensus. Implimantation as Evolution; Proses implimentasi tidak terpisah secara jelas dengan formulasi kebijakan, namun merupakan campuran antara tujuan dan out come/dampak sehingga implimentasi selalu bersifat evolusioner, sambil melaksanakan kebijakan selalu terumus kembali kebijakan yang berikutnya. Implementasi as Learning; Implementasi kebijakan dimodalkan sebagai proses pengetahuan yang tak pernah berakhir, dimana para implementator melalui proses pencarian yang terus menerus muncul dengan fungsi dan tujuan yang meningkat serta teknologi yang dapat diandalkan. Implementation as a Structure; Struktur implementasi terdiri dari aktor-aktor dan unit-unit yang mempunyai kepentingan dalam melaksanakan suatu kebijakan. Implimentassi as out Come; Implimentasi menghasilkan dampak (outcome) bukan sekedar hasil (out put). Implimentation as Perspecive; Merupakan persepektif para praktisi/implementator terhadap sebuah kebijakan
23
8.
Implimentation as backward Mapping; Implementasi sebagai proses feed back berupa input bagi kebijakan berikutnya. 9. Implimentation as Symbolism; Implementasi merupakan simbolisme politik, suatu kebijakan dilaksanakan hanya untuk memenuhi janjijanji politik. 10. Implimentation as Ambiguity; Karena adanya jurang pemisah antara pembuat kebijakan dengan implementator, sehingga timbulnya kedwiartian dalam implementasi. Contoh : Kebijakan kenaikan BBM, disatu sisi mengurangi subsidi pemerintah, disisi lain membebani ekonomi masyarakat. 11. Implementation as Coalition; Penyatuan berbagai kelompok pro dan kontra melalui suatu sharing kepentingan yang harmonis. Sebagai contoh : implimentasi kebijakan penanggulangan bahaya merokok. (dalam Wibawa, 2004)
Model
implementasi
yang
dikembangkan
Grindle
(1980
:
6),
memfokuskan pada tiga komponen kebijakan, yaitu : tujuan kebijakan, aktivitas penerapan, dan hasil. Menurut Grindle, tugas implementasi adalah untuk memungkinkan tujuan kebijakan direalisasikan sebagai hasil aktivitas pemerintah, yang selengkapnya dirumuskan sebagai berikut : “… to establish a link that allows the goods of public policies to be realized as outcomes of govermental activity. It involves there fore, the civic means are design and pursed in the expectation of erriving at particuler ends”. (dalam Wibawa, 2004) Selanjutnya didefinisi dari implementasi itu sendiri dirumuskan Grindle dalam pengertian : “implementation a general peroces of adminsitration that can be investigated at a spesific program level”. Sesuai batasan itu, implementasi merupakan suatu proses adminsitratif. Sehingga terjadi adanya pergeseran antara proses perumusan kebijakan (penetapan tujuan) yang merupakan proses politik ke proses implementasi (pencapaian tujuan) yang merupakan proses adminsitrasi. Pergeseran ini merupakan salah satu masa tenggang yang populer dalam proses kebijakan, yakni dari politik ke adminsitrasi, dan perlu diakui bahwa tidak ada gambaran yang jelas tentang kebijakan publik dalam praktek.
24
Penciptaan suatu program itu sendiri telah menjadi suatu peristiwa yang merangsang timbulnya proses kebijakan mini (Jones, 2006).
Grindle berpendapat bahwa keseluruhan proses implementasi kebijakan dapat dimulai bila tujuan umum dari kebijakan tersebut ditetapkan, dan programprogram pelaksanaan telah dibuat, serta dana pencapaian tujuan telah dialokasikan. Keberhasilan dan aktivitas implementasi kebijakan dalam model Grindle, dipengaruhi oleh faktor content (isi) dan contex (lingkungan) dari kebijaka. Isi kebijakan menurut model Grindle ini antara lain meliputi variabel : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kepentingan yang dipengaruhi, Tipa manfaat, Derajat perubahan yang dikehendaki, Letak pengambilan keputusan, Pelaksana program, dan Sumber daya yang dilibatkan.
Sedangkan faktor lingkungan kebijakan meliputi variabel : 1. Kekuasan, kepentingan dan strategis aktor, 2. Karateristik lembaga dan penguasa, dan 3. Kepatuhan dan daya tanggap (dalam Wibawa, 2007)
2.2.1.3. Pendekatan Implementasi Kebijakan Sesuai dengan proses implementasi tentang implementasi standar sarana dan prasarana pendidikan, maka pendekatan yang digunakan dalam implementasi program bantuan hibah bagi lembaga kemasyarakatan adalah pendekatan struktural dan pendekatan personal. Secara jelas bahwa pendekatan-pendekatan tersebut secara jelas dapat dijabarkan sebagai berikut :
25
1.
Pendekatan-pendekatan Struktural (Struktural Approaches) Analisis organisasi modern telah memberikan sumbangan yang berharga pada studi implementasi, karena rancang-bangun kebijaksanaan dan rancangan bangun organisasi, sedapat mungkin seyogianya dipertimbangkan secara bersamaan. Kendatipun demikian, masa jaya ketika orang percaya akan prinsip-prinsip universal mengenai organisasi yang kini telah ketinggalan zaman dan pusat perhatian kini diberikan pada keyakinan bahwa struktur organisasi tertentu hanya cocok pada tipe tugas dan lingkungan yang tertentu pula. Untuk menyederhanakan masalah yang luas ini kita perlu menarik perbedaan antara perencanaan mengenai perubahan (planning of change) dan perencanaan untuk melakukan perubahan (planning for change). Perencanaan mengenai perubahan mengandung arti bahwa perubahan ditimbulkan dari dalam organisasi atau sepenuhnya berada dibawah kendali organisasi, baik arah, laju maupun waktu. Di sini implementasi dipandang semata-mata sebagai persoalan teknis atau persoalan manajerial. Perencanaan untuk melakukan perubahan, di lain pihak, berlangsung apabila perubahan itu dari luar/oleh factor eksternal (oleh organisasi lain atau kekuatan-kekuatan lingkungan) atau jika proses perubahan itu sukar untuk diramalkan, dikontrol atau dibendung. Dalam hubungan ini, implementasi akan membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif, proses pembuatan kebijaksanaan secara keseluruhan menjadi lebih bersifat linier, dan hubungan antara kebijaksanaan
26
dan implementasi akan mendekati apa yang oleh Barret dan Fudge sebagai Policy Action-Policy continuum Bentuk-bentuk organisasi yang cocok untuk merencanakan perubahan tersebut dapat bersifat agak birokratik, seperti dalam model Weber, dimana tugas- tugas dan hubungan antar tugas dirumuskan dengan jelas serta struktur yang disusun secara hierarkis. Di sisi lain, dalam hal perencanaan untuk melakukan perubahan, struktur organisasi yang lain mungkin lebih cocok, yaitu memiliki cirri-ciri organisasi yang oleh Burns dan Stalker (1961) serta para sarjana lain yang menulis lebih belakangan, digambarkan sebagai tidak terlalu mementingkan perincian tugas-tugas dan hubungan antar tugas yang kaku serta kurang menekankan struktur yang bersifat hierarkis. Strukturstruktur yang bersifat organis dianggap cocok dalam lingkungan/situasi yang penuh dengan ketidakpastian atau lingkungan yang sedang mengalami prubahan yang cepat. Struktur-struktur seperti ini mampu menyeseuaikan diri dengan cepat dan efektif, sebagian karena mereka memiliki kemampuan yang besar untuk mengolah informasi, khususnya bila dibandingkan dengan kekurangan-kekurangan yang ada pada organisasi birokrasi yang tradisional yang menekankan pada saluran-saluran resmi dan komunikasi vertical. Secara umum dapat dikatakan bahwa struktur yang bersifat organis nampaknya amat cocok untuk situasi-situasi implementasi dimana kita memerlukan merancang bangun struktur-struktur yang mampu melaksanakan suatu kebijaksanaan yang senantiasa berubah bila dibandingkan dengan merancang bangun suatu struktur khusus untuk program yang sekali selesai.
27
Namun, karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, bentuk struktur yang organis seringkali tidak mudah diterima dikalangan dinas-dinas pemerintah, semisal kebutuhan-kebutuhan pertanggung jawaban dan keharusan untuk selalu terlihat konsisten dan seragam dalam menangani kasus-kasus serupa. Untuk itu bentuk struktur yang sifatnya kompromistis barangkali adalah struktur matrik simana departemen-departemen vertical bersilangan dengan tim-tim proyek antar departemen horizontal (atau satuan-satuan tugas, kelompok-kelompok program dan sebagainya) yang dikepalai oleh pimpinanpimpinan proyek. Kombinasi struktur yang bersifat birokratik dan adhokrasi ini mengandung kelemahan tertentu, misalnya adanya kewenangan ganda, tetapi bagaimanapun ia lebih luwes bila dibanding struktur-struktur model mesin pemerintah yang selama ini ada. 2.
Pendekatan-pendekatan Prosedural dan Manajerial (Procedural and Managerial Approaches) Memiliki struktur-struktur yang cocok bagi implemestasi program barangkali kurang begitu penting bila dibandingkan dengan upaya mengembangkan proses-proses dan prosedur-prosedur yang tepat termasuk prosedur-prosedur manajerial beserta tekhnik-tekhnik manajemen yang relevan. Sekali lagi suatu garis pembeda dapat kita tarik antara merencanakan perubhan dan merencanakan untuk melakukan perubahan. Dalam hal yang pertama, implementasi dipandang sebagai semata-mata masalah teknis atau masalah manajerial. Di sini prosedur-prosedur yang dimaksud termasuk
28
diantaranya yang menyangkut penjadwalan (seheduling). Perencanaan (planning) dan pengawasan (control). Dengan demikian logikanya adalah bahwa sesudah identifikasi masalah dan pemilihan kebijaksanaan yang dilihat dari sudut biaya dan efektifitasnya paling memenuhi syarat, maka tahap implementasi itu akan mencakup urut-urutan langkah sebagai berikut ; a.
Merancang bangun (mendisain) program beserta perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi kerja, biaya dan waktu.
b.
Melaksanakan program, dengan mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana dan sumber-sumber, prosedur-prosedur dan metodemetode yang tepat.
c.
Membangun
sistem
perjadwalan,
monitoring
dan
sarana-sarana
pengawasan yang tepat guna menjamin bahwa tindakan-tindakan yang tepat dan benar dapat segera dilaksanakan. Namun pendekatan ini mengasumsikan adanya tingkat kemampuan pengawasan yang sangat tinggi atas pelaksanaan dan hasil akhir suatu program dan dianggap terisolasi dari pengaruh lingkungan. Teknik manajerial yang merupakan perwujudan dari pendekatan ini adalah perencanaan jaringan kerja dan pengawasan (Network Planning and Control-NPC) yang menyajikan suatu kerangka kerja dalam mana proyek dapat direncanakan dan implementasikannya dapat diawasi dengan cara mengidentifikasikan tugas-tugas yang harus diselesaikan, hubungan di antara
29
tugas-tugas tersebut, dan urut-urutan logis di mana tugas-tugas itu harus dilaksanakan. Bentuk-bentuk jaringan kerja (network) yang canggih, semisal Programme. Evaluation and Review Technique (PERT) memungkinkan untuk memperkirakan secara tepat jangka waktu penyelesaian tiap-tiap tugas, menghitung lintasan kritis (critical path) dimana setiap keteledoran akan dapat menghambat penyelesaian keseluruhan proyek, memonitor setiap luang waktu yang tersedia bagi penyelesaian tugas dalam jaringan kerja, dan merealokasi sumnber-sumber guna memungkinkan kegiatan-kegiatan yang terletak di sepanjang lintasan kritis dapat diselesaikan tepat pada waktunya Satu alasan kenapa PERT menjadi demikian popular baik dalam sector pemerintah maupun sector swasta sejak pertengahan tahun 1960-an nampaknya karena keberhasilannya dalam menjamin program pengembangan kapal selam nuklir Polaris di Amerika Serikat selesai tepat pada waktunya, tidak sebagaimana kebanyakan proyek pertahanan yang lain. Namun, Sapolsky (1972) menyatakan walaupun PERT sebenarnya hanya kecil saja peranannya dalam menjamin ketepatan penyelesaian proyek, ia sangat berguna dalam meyakinkan para pejabat teras politik mengenai keefektifan manajemen dan karena itu mengurangi campur tangan mereka dalam menejemen proyek, campur tangan semacam inilah yang selama ini dituding sebagai biang keladi kelambatan waktu penyelesaian proyek-proyek pertanian lainnya. Analisis jaringan kerja (Network Analysis) juga dipergunakan dalam penyelesaian tugas-tugas pemerintahan sehari-hari, semisal penjadwalan
30
kontrak pembangunan gedung. Meskipun dalam hal ini harus dicatat bahwa sebab-sebab terjadinya perbedaan dari jadwal semula yang diungkapkan oleh jaringan kerja masih harus diidentifikasikan oleh manajer (yang seharusnya lebih dulu menyadari perbedaan-perbedaan ini sebelum terpampang pada layar computer), yang juga akan memikul tanggung jawab untuk melakukan perbaikan-perbaikan, seringkali di lapangan, dan bukannya di ruang komputer. Realokasi sumber-sumber dari suatu tugas ke tugas yang lain mungkin dihambat oleh adanya keharusan untuk menegosiasikan perubahanperubahan tertentu dengan pihak serikat sekerja atau pihak-pihak lain yang terkait. Selain itu, bagi para pemakai analisis jaringan kerja perlu kiranya diingat, bahwa ia sangat mahal, baik dalam hal penyiapan data maupun dalam waktu penggunaan komputernya. Perlu kiranya ditekankan disini, bahwa dengan mengutarakan hal-hal di atas kita tidak bermaksud untuk menentang penggunaan analisis jaringan kerja atau teknik-teknik lain yang sejenis. Sebab, sekalipun analisis jaringan kerja tersebut tidak dipergunakan dalam urusan manajemen sehari-hari ia masih sangat bermanfaat pada tahap perencanaan, karena kemampuannya untuk menunjukkan hubungan saling ketergantungan dalam proyek dan sumber-sumber yang dibutuhkan di masa dating. Walaupun dengan demikian, teknik-teknik seperti itu saja jelas tidak cukup. Albanese (1975, halaman 203) dalam kaitan ini menegaskan “jika teknik jaringan kerja itu diharapkan membawa manfaat, maka ia haruslah benar-benar
mampu
penggunaannya
menjadi
sebagai
pedoman
perilaku”.
sarana/instrument
Oleh
karena
itu
pengendalian/pengawasan
31
tergantung pada sejauhnya jaringan kerja itu benar-benar komunikatif, dapat diterima oleh semua kalangan, layak dan dapat dipercaya.
2.2.1.4.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Implementasi Kebijakan Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi program,
menurut Edward (1980 : 10) menjelaskan bahwa : Implementasi akan efektif bila birokrasi pelaksanaan memenuhi apa yang telah digariskan dalam ketentuan dan ia menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi yang berkaitaan dengan implementasi yaitu : komunikasi, sumberdaya, sikap pelaksanan dan struktur organisasi (Wibawa, 2004) Mengacu pada dua pendapat di atas, maka dalam penelitian ini ditetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi program, adalah : (1) komunikasi, (2) sikap pelaksanaan, dan (3) kemampuan riil publik atau sumber daya manusia (SDM). 1.
Faktor Komunikasi Menurut Moekijat (2003 : 7) dijelaskan bahwa dalam suatu organisasi kerja, komunikasi menjalankan beberapa fungsi, yaitu : a. b. c.
Menyampaikan informasi dan pengetahuan dari orang-orang yang satu kepada orang yang lain sehingga terjadi tindakan kerja sama. Membantu mendorong dan mengarahkan orang-orang untuk melakukan sesuatu. Membantu membentuk sikap dan menanamkan kepercayaan untuk mengajak, meyakinkan dan mempengaruhi perilaku
Dijelaskan pula oleh Muhammad (2005 : 67) pengertian tentang komunikasi sebagai berikut : “proses menciptakan dan saling menukar pesan
32
dalam satu jaringan hubungan yang saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah”. 2.
Sumber Daya (Resources) Implementasi kebijakan adalah suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yang ada didalamnya termasuk manusia, dana dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pemerintah, individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan. Menurut Garlh L. Magnum dan David Snedeker sebagaimana dikutip oleh Suroto (2002 : 14) yang dimaskud dengan sumberdaya manusia adalah : “Semua kegiatan manusia yang produktif dan semua potensinya untuk memberikan sumbangan yang produktif kepada publik.” Konsep tentang manusia dan kualitasnya mengisyaratkan adanya keyakinan bahwa manusia dan publiknya harus diletakkan pada posisi terdepan dalam suatu organisasi. Oleh karena itu agar manusia dapat menjadi produktif serta mampu mengendalikan organisasi, dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut maka perlu memiliki kemampuan dan keterampilan.
3.
Faktor Sikap Pelaksana (Disposisi) Sikap dan komitmen dari para pelaksana terhadap program khususnya dari mereka yang menjadi implementor dari program, jika para pelaksana bersikap baik terhadap suatu kebijaksanaan kemungkinan besar mereka melaksanakan sesuai dengan yang diinginkan oleh para pembuat keputusan
33
awal. Namun apabila tingkah laku para pelaksana berbeda dengan cara pebuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu kebijaksanaan semakin sulit. Aktualisasi perilaku individu yang dapat mempengaruhi efektivitas suatu program, sebagaimana diungkapkan oleh Edward III (1980 : 11), bahwa : “Pengaruh sikap pelaksana merupakan faktor penting dalam pendekatan studi kebijaksanaan publik, agar pelaksanaan efektif maka pelaksanaan harus tahu apa yang harus dikerjakan, memiliki kemampuan serta mempunyai keinginan untuk melaksanakan kebijaksanaan tersebut” 4.
Faktor Struktur Birokrasi SOP (Standartd Operating Procedures) yang mengatur tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program, jika hal ini tidak ada, maka akan sulit sekali mencapai hasil yang memuaskan karena penyelesaian maslaah-masalah akan bersifat ad-hoc, memerlukan penanganan dan penyelesaian khusus tanpa pola yang baku. Fragmentasi yang sering dapat terdapat di dalam organisasi harus dihindari dan diatasi dengan cara sistem koordinasi yang baik Struktur peemrintah dan lembaga-lembaga yang ada telah lama menjadi pusat perhatiandari ilmu politik. Secara tradisional ilmu politik dirumuskan sebagai suatu studi tentang lembaga-lembaga pemerintahan. Kgiatan-kegiatan politiki pada umumnya berpusat disekitar lembaga-lembaga pemerintahan tersebut, seperti Parlemen; Kepresidenan, BadanKehakiman; Pemerintahan Daerah; Partai Politik, dan sebagainya. Dalam model ini public policy adalah ditentukan, dilaksanakan dan dipaksakan secara otoritatif oleh lembaga-lembaga pemerintahan tersebut.
34
Hubungan antara policy-policy dan lembaga-lembaga pemerintahan tersebut sangat erat. Dengan demikian suatu policy tidaklah menjadi public policy sampai ia diambil, dilaksanakan, dan dipaksakan oleh beberapa lembaga-lembaga pemerintahan. Lembaga pemerintahan memberikan public policy tiga karateristik, yaitu : a.
Pemerintah meminjamkan legitimasi kepada kebijaksanaan (policy). Kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah pada umumnya dipandang sebagai kewajiban yang elgal yang harus dipatuhi oleh semua warga negara. Rakyat boleh saja memandang kebjaksanaan-kebijaksanaan dari kelompk lain, misal : perusahaan, organisasi-organisasi profesi, organisasi keagamaan, yayasan-yayasan sosial dan sebagainya, sebagai hal yang amat penting danbukan bisa mengikatnya. Akan tetapi hanya kebijaksanaan dari pemerintah yang mampu melibatkan semua warga negara untuk mematuhinya sebagai kewajiban yang legal.
b.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan
pemerintah
melibatkan
universalitas.
Hanya kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang mampu memasuki dan menjangkau semua rakyat dalam suatu masyarakat. Tidak ada suatu orangpun yang mampu menghindar dari suatu keputusan kebijaksanaan yang telah diambil oleh pemerintah. Kebijaksanan ang diambil oleh organisasi biasa hanya mampu mengikat atau mengjangkau sebagian saja dari masyarakat. c.
Pemerintah monopoli paksaan dalam masyrakat. Hanya pemerintah yang bisa mengabsahkan tindakan untuk memenjarakan seseorang yang
35
melawan policy-nya. Sangsi yang bisa diberikan oleh organisai biasa kepada anggotanya atau kelompoknya jangkauannya sangat terbatas. Karena itu tepat sekali, bahwa pemerintah mempunyai kemampuan monopoli paksaan untuk memaksakan loyalitas dari semua rakyatnya, dan mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang mengatur seluruh masyarakat. Demikian pula pemerintah berhak memonopoli penggunaan legitimasi untuk memaksakan dan mendorong individu dan kelompok bekerja sesuai dengan profesinya yang ditegaskan dalam policy.
2.2.2. Program Bantuan Hibah 2.2.2.1. Pengertian Bantuan Hibah Hibah adalah pemberian bantuan uang/barang atau jasa dari Pemerintah Daerah kepada pemerintah atau Pemerintah Daerah lainnya, Perusahaan Daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat. Berdasarkan pasal 5 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD, yang diubah dengan Permendagri Nomor 39 Tahun 2012, maka hibah hanya dapat diberikan secara limitatif atau penerima hibah telah diatur secara limitatif artinya tidak dapat ditambah dan tidak dapat dikurangi dari yang sudah ditentukan kepada: (a)
36
pemerintah; (b) pemerintah daerah lainnya; (c) perusahaan daerah; (d) masyarakat; (e) organisasi kemasyarakatan. Selanjutnya dalam pasal 6 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dijelaskan bahwa (a) hibah kepada Pemerintah diberikan kepada satuan kerja dari kementerian/lembaga pemerintah non kementerian yang wilayah kerjanya berada dalam daerah yang bersangkutan; (b) hibah kepada pemerintah daerah lainnya diberikan kepada daerah otonom baru hasil pemekaran daerah sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan; (c) hibah kepada perusahaan daerah diberikan kepada badan usaha milik daerah dalam rangka penerusan hibah yang diterima pemerintah daerah dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (d) hibah kepada masyarakat diberikan kepada kelompok orang yang memiliki kegiatan tertentu dalam bidang perekonomian, pendidikan, kesehatan, keagamaan, kesenian, adat istiadat, dan keolahragaan non-profesional; (e) hibah kepada organisasi kemasyarakatan diberikan kepada organisasi kemasyarakatan yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kemudian pasal 7 Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 menjelaskan bahwa (1) hibah kepada masyarakat diberikan dengan persyaratan paling sedikit: (a) memiliki kepengurusan yang jelas; dan (b) berkedudukan dalam wilayah administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan; (2) hibah kepada organisasi kemasyarakatan diberikan dengan persyaratan paling sedikit: (a) telah terdaftar pada pemerintah daerah setempat sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan; (b) berkedudukan dalam
37
wilayah administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan; dan (c) memiliki sekretariat tetap. Selain itu siapa-siapa yang boleh menerima hibah sesuai pasal 8 ayat (1) PP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah adalah sebagai berikut: (a) pemerintah; (b) pemerintah daerah lain; (c) badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; dan/atau; (d) badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia. Dijelaskan dalam pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) bahwa hibah dari pemerintah daerah kepada pemerintah dilakukan dengan ketentuan hibah dimaksud sebagai penerimaan negara dan/atau hanya untuk mendanai kegiatan dan/atau penyediaan barang dan jasa yang tidak dibiayai dari APBN. Sedangkan hibah dari pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lain, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Frasa “dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” inilah yang dimaksudkan berpedoman pada Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 beserta perubahannya. Dari penjelasan pasal-pasal yang mengatur tentang siapa-siapa yang boleh menerima hibah dan apa-apa persyaratan penerima hibah sesuai Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 dan PP Nomor 2 Tahun 2012, maka dapat dipahami atas beberapa hal sebagai berikut: pertama, penerima hibah sudah diatur secara limitatif yaitu pemerintah; pemerintah daerah lainnya; perusahaan daerah; masyarakat; badan, lembaga, dan organisasi kemasyarakatan; dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; kedua, hibah kepada masyarakat diberikan dengan persyaratan harus memiliki kepengurusan yang jelas; dan
38
berkedudukan dalam wilayah administrasi pemerintah daerah yang bersangkutan; Ketiga, hibah dapat diberikan kepada organisasi kemasyarakatan dengan persyaratan: (1) berbadan hukum Indonesia, artinya organisasi kemasyarakatan tersebut berbadan hukum yang didirikan melalui akta notaris dan disahkan oleh Menteri yang terkait; (2) telah terdaftar pada pemerintah daerah setempat sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun, artinya organisasi kemasyarakatan tersebut telah terdaftar pada pemerintah daerah sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun melalui satuan kerja perangkat daerah yang mengurusnya, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Pemberian Hibah harus memenuhi kriteria paling sedikit: 1. 2. 3. 4. 5.
Peruntukannya secara spesifik telah ditetapkan; Peruntukannya untuk peningkatan fungsi Pemerintahan, layanan dasar umum, dan pemberdayaan aparatur; Peruntukannya guna penyelenggaraan kegiatan Pemerintah Daerah yang berskala regional di daerah; Peruntukannya guna melaksanakan kegiatan sebagai akibat kebijakan Pemerintah yang mengakibatkan penambahan beban APBD; Tidak wajib, tidak mengikat dan tidak terus menerus setiap tahun anggaran, kecuali ditentukan Iain oleh peraturan perundang-undangan; dan Memenuhi persyaratan penerima hibah. (Balitbang, 2009)
Hibah kepada masyarakat dan organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dan ayat (5) diberikan dengan persyaratan paling sedikit: 1. 2. 3.
4.
Memiliki kepengurusan yang jelas; Berkedudukan dalam wilayah administrasi Pemerintah Daerah; Bempertimbangkan kinerja pengelolaan hibah sebelumnya akumulasi hibah yang penuh diterima dan/atau kegiatan sejenis yang telah dilaksanakan; dan Telah terdaftar pada Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Linmas sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan.
39
Apabila dalam naskah Perjanjian Hibah Daerah dipersyaratkan untuk menyediakan dana pendamping, maka hibah diberikan kepada penerima hibah yang bersedia menyediakan dana Pendamping. Hibah Mempunyai 3 bentuk, yaitu : 1.
Hibah dalam bentuk uang;
2.
Hibah dalam bentuk barang dapat berupa tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan jalan irigasi jaringan, aset tetap lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
3.
Hibah dalam bentuk jasa dapat berupa bantuan teknis pendidikan, pelatihan, penelitian dan jasa Iainnya.
2.2.2.2. Pengajuan dan Persyaratan Permohonan Masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan mengajukan permohonan Hibah secara tertulis kepada Bupati/Walikota. Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud diatas dibubuhi cap dan ditandatangani oleh Ketua dan sekretaris atau sebutan lain bagi masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya dilengkapi dengan dokumen yang mencakup: 1.
ProposaI sekurang-kurangnya memuat : Latar Belakang, Maksud dan Tujuan, Rincian Rencana Kegiatan, Jadwal Kegiatan dan Rencana Penggunaan Dana Hibah;
2.
Fakta Integritas;
40
3.
Surat Pernyataan Bersedia untuk diaudit; dan
4.
Foto copy Akta Pendirian bagi organisasi kemasyarakatan. Permohonan dilengkapi dengan persyaratan administrasi dan untuk
kebutuhan fisik dilengkapi dengan dokumen teknis. Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud untuk masyarakat dan organisasi kemasyarakatan penerima Hibah meliputi, antara lain: 1.
Akta Notaris Pendirian lembaga atau dokumen lain yang dipersamakan;
2.
Surat Pernyataan Bersedia untuk diaudit ;
3.
Surat Pernyataan Bertanggungjawab atas penggunaan dana hibah;
4.
NPWP;
5.
Surat Keterangan Domisili Lembaga dari Kelurahan/Desa setempat;
6.
Fotocopy Surat Keterangan Terdaftar (SKT) yang telah dilegalisir oleh Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Pinrang
7.
Bukti kontrak gedung/bangunan, bagi lembaga yang kantornya mengontrak yang diketahui Pejabat yang berwenang;
8.
Salinan/foto copy kartu tanda penduduk yang masih berlaku atas nama ketua dan sekretaris atau sebutan lain;
9.
Salinan rekening bank yang masih aktif atas nama lembaga dan/atau pengurus belanja hibah;
10. Surat pernyataan tidak menerima hibah ganda untuk kegiatan yang sama. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud meliputi gambar rencana dan konstruksi bangunan atau dokumen lain yang sejenis. Surat Permohonan dan dokumen
proposaI
hibah
sebagaimana
dimaksud
disampaikan
dan
41
diadministrasikan/dicatat melalui unit kerja yang melaksanakan fungsi surat masuk pada Sekretariat Daerah. Unit kerja sebagaimana dimaksud meneruskan surat permohonan dan dokumen proposal kepada Tata Usaha Pimpinan. Tata usaha Pimpinan mendistribusikan surat permohonan dan dokumen proposal kepada SKPD terkait sesuai dengan bidangnya
2.3. Kerangka Pikir Penelitian Sesuai dengan konsep yang akan dibangun dalam penelitian ini, maka model kerangka pikir penelitian dapat digambarkan sebagai berikut : Permendagri No. 39 tahun 2012 sebagai Perubahan atas Permendagri No. 32 Tahun 2011
Kebijakan Pemerintah
Hibah Bagi Lembaga Kemasyarakatan
Implementasi Program Bantuan Hibah Bagi Lembaga Kemasyarakatan Faktor Penghambat dan Pendukung
1. 2. 3. 4.
Bentuk Hibah Penerima Hibah Persyaratan Pengajuan Hibah Penggunaan Dana Hibah
Gambar 2.2 Model Kerangka Pikir Penelitian