PENDAHULUAN Malaria merupakan penyakit parasit dengan kasus 300 juta orang per tahun menderita malaria dan lebih dari 1 juta diantaranya meninggal dunia (Ouattara, 2006). Penyakit ini disebabkan oleh protozoa dari jenis Plasmodium sp. Ada 4 spesies utama plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria pada manusia yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab penyakit malaria yang paling fatal dan spesies ini juga paling banyak menyebabkan kematian. Penanggulangan dan pencegahan terhadap penyakit malaria perlu ditingkatkan karena adanya resistensi dan keparahan penyakit terutama malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.
Penanggulangan resistensi P. falciparum terhadap obat-obat
antimalaria seperti klorokuin, kinin, dan amodiakuin merupakan suatu tantangan dalam mencegah berlanjutnya penularan penyakit malaria. Resistensi disebabkan oleh pemakaian obat antimalaria tertentu pada waktu yang lama secara luas di suatu daerah endemik. Adanya resistensi terhadap P. falciparum menyebabkan mortalitas oleh penyakit malaria semakin meningkat. Keparahan infeksi dan resistensi P. falciparum juga merupakan alasan dalam pengembangan obat antimalaria baru. Keanekaragaman hayati di Indonesia merupakan faktor yang sangat menguntungkan bagi upaya penelitian maupun pemanfaatan tanaman dalam pengobatan. Telah diketahui bahwa ada beberapa senyawa antimalaria yang diisolasi dari tanaman seperti kinin dan artemisinin. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menghasilkan senyawa antimalaria baru dan mengatasi adanya resistensi parasit terhadap obat antimalaria yang telah ada yaitu dengan mengembangkan obat antimalaria yang berasal dari tanaman. Ada beberapa tanaman yang biasa digunakan masyarakat untuk mengobati penyakit malaria diantaranya herba sambiloto, daun pepaya, dan buah pare. Untuk dapat digunakan dengan khasiat yang terbukti secara eksperimental, dalam penelitian ini diuji efek ekstrak etanol dan ekstrak air dari ketiga simplisia tanaman tersebut pertumbuhan Plasmodium falciparum.
1
dalam menghambat
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Plasmodium sp. Malaria merupakan penyakit yang diakibatkan oleh parasit yang tergolong dalam filum Apicomplexa, kelas Sporozoa, ordo Haemosporida, suku Plasmodidae, dan genus Plasmodium. Dari 20 spesies plasmodium, hanya empat spesies diantaranya yang dapat menginfeksi manusia, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Saat ini, Plasmodium falciparum merupakan penyebab penyakit malaria yang paling fatal dengan angka kematian yang paling tinggi pula.
1.1.1 Siklus Hidup Plasmodium sp. Siklus hidup parasit malaria terdiri atas siklus aseksual yang berlangsung di dalam tubuh manusia dan siklus seksual yang berlangsung dalam tubuh nyamuk. Sporozoit-sporozoit yang masuk bersama kelenjar air liur nyamuk Anopheles betina masuk ke peredaran darah. Dalam waktu yang singkat (30 menit), semua sporozoit menghilang dari peredaran darah dan masuk ke sel-sel parenkim hati. Dalam sel-sel hati, sporozoit membelah diri secara aseksual dan berubah menjadi skizon hati (skizon kriptozoik). Seluruh proses tadi disebut fase eksoeritrositik primer. Siklus tersebut memerlukan waktu 6 hingga 12 hari tergantung spesies yang menginfeksi. Sesudah skizon kriptozoik dalam sel hati menjadi matang, bentuk ini bersama sel hati yang diinfeksi pecah dan mengeluarkan antara 5000-30000 merozoit yang segera masuk ke selsel darah merah. Dalam sel darah merah, merozoit-merozoit yang dilepas dari sel hati tadi berubah menjadi trofozoit muda (bentuk cincin). Trofozoit muda berubah menjadi trofozoit dewasa dan selanjutnya membelah diri menjadi skizon. Skizon yang telah matang dengan merozoitmerozoit di dalamnya akan pecah bersama sel darah merah yang diinfeksi. Merozoitmerozoit yang dilepas tersebut kembali menginfeksi sel-sel darah merah lain untuk mengulang siklus. Keseluruhan siklus yang terjadi berulang dalam sel darah disebut fase eritrositik aseksual atau skizogoni darah.
2
3
Gambar 1.1 Siklus Hidup Plasmodium sp.1) 1.1.2 Morfologi Plasmodium sp. Bentuk atau morfologi parasit malaria sangat beragam. Hal ini disebabkan bukan saja karena perbedaan spesies, melainkan juga oleh berbagai perubahan bentuk dan komposisi yang terjadi dalam berbagai fase perkembangannya dalam hospes vertebrata ataupun pada vektor nyamuk. Pada P. vivax, stadium trofozoit mudanya tampak seperti cincin dengan titik kromatin pada satu sisi dan cenderung menginfeksi retikulosit. Gametositnya berbentuk lonjong dan mikrogametositnya mempunyai inti yang besar berwarna merah muda pucat dengan 1)
http://www.actvietnam.com/index.php, diakses 10 Januari 2007
4 sitoplasma yang berwarna biru pucat. Dibandingkan dengan P.vivax, P. malariae mempunyai ukuran merozoit yang lebih kecil, jumlah merozoit eritrosit lebih sedikit, memerlukan lebih sedikit hemoglobin, bentuknya menyerupai bunga seruni, gametosit mirip P.vivax, tetapi jumlah pigmennya lebih sedikit. Untuk P. ovale, eritrosit yang lonjong serta bergerigi pada satu ujungnya merupakan tanda yang spesifik untuk tipe parasit ini. Sedangkan bentuk cincin yang menempel pada pinggir membran eritrosit merupakan ciri yang khas adanya infeksi oleh P. falciparum. Dua titik kromatin di dalam satu bentuk cincin sering ditemukan pada infeksi dengan P. falciparum, sedangkan pada infeksi dengan P. vivax atau P. malariae jarang ditemukan.
(a)
(c)
(b)
(d)
Gambar 1.2 Morfologi Plasmodium sp. 2): Plasmodium ovale (a), Plasmodium falciparum (b), Plasmodium malariae (c), dan Plasmodium vivax (d)
2)
http://www.cdfound.to.it/html/atlas.htm, diakses 10 Januari 2007
5 Ada beberapa perbedaan karakteristik Plasmodium sp. yang dapat menginfeksi manusia. Selain perbedaan morfologi juga terdapat perbedaan ciri siklus skizogoni hati dan eritrosit yang berlangsung dalam tubuh manusia. Di antara keempat jenis Plasmodium sp., P. falciparum memiliki siklus skizogoni hati dan eritrosit yang paling singkat. Karakteristik lain tentang keempat jenis Plasmodium sp. dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Karakteristik Spesies Plasmodium sp. Karakteristik
P. falciparum
P. vivax
P. ovale
P. malariae
Skizogoni hati
5,5 hari
8 hari
9 hari
10-15 hari
Ukuran skizon hati
60 µm
45 µm
70 µm
55 µm
-
-
+
-
Muda, tua, dan normosit
Retikulosit, normosit
Retikulosit, normosit muda
Tua
8-24
12-18
8-10
8
Skizogoni eritrosit
<48 jam
48 jam
50 jam
72 jam
Bintik Eritrosit
Maurer
Schuffner
James
Ziemann
Pigmen parasit
Hitam
Coklat kekuningan
Coklat gelap
Coklat gelap
Hipnozoit Eritrosit yang dihinggapi Jumlah merozoit eritrosit
Sumber : Gandahusada, 2003
1.1.3 Epidemiologi Malaria Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang diderita hampir oleh 170 juta orang tiap tahunnya dan yang banyak terdapat di daerah tropis (Mursito, 2002). Penyebaran malaria terjadi dalam wilayah-wilayah yang terbentang luas meliputi belahan bumi utara dan selatan antara 64o LU dan 32o LS. Penyebaran malaria dapat berlangsung pada ketinggian wilayah yang sangat bervariasi antara 400 m di bawah permukaan laut dan 2800 di atas permukaan laut. P. vivax mempunyai wilayah penyebaran paling luas dari wilayah beriklim dingin, subtropis, sampai wilayah beriklim tropis. P. falciparum jarang ditemukan di wilayah beriklim dingin, tetapi paling sering ditemukan pada wilayah beriklim tropis. Wilayah penyebaran P.malariae mirip dengan penyebaran P. falciparum, tetapi P. malariae jauh lebih jarang ditemukan. Sedangkan untuk P. ovale, spesies ini jarang
6 ditemukan di wilayah-wilayah Afrika beriklim tropis dan terkadang ditemukan di wilayah Pasifik Barat.
1.1.4 Cara Penularan Penularan malaria kebanyakan berlangsung secara alami melalui gigitan nyamuk, tetapi tidak memungkinkan penularan melalui cara lain seperti tranfusi darah yang mengandung parasit malaria, transplantasi sumsum tulang, atau melalui jarum suntik. Terdapat sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles, tetapi hanya 60 spesies yang berperan sebagai vektor malaria. Di Indonesia ditemukan 80 spesies nyamuk Anopheles, tetapi hanya 16 spesies yang berperan sebagai vektor malaria. Walaupun jarang, penularan dapat terjadi selama kongenital selama bayi dalam kandungan melalui peredaran darah plasenta atau disebut malaria kongenital. Manusia merupakan satu-satunya reservoar malaria yang penting walaupun kera sinpanse bisa diinfeksi oleh P. malariae.
1.1.5 Gejala Klinis Malaria Gejala malaria terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme) diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas sama sekali dari demam (periode laten). Pada malaria yang alami, masa inkubasi untuk malaria falciparum adalah 12 hari (914 hari), 14 hari (8-17 hari) untuk malaria vivax, 28 hari (18-40 hari) untuk malaria kuartana, dan 17 hari (16-18 hari) untuk malaria ovale. Suatu paroksisme demam biasanya mempunyai 3 stadium yang berurutan, terdiri atas stadium dingin, stadium demam, dan stadium berkeringat. Stadium dingin ditandai dengan menggigil, perasaan sangat dingin, nadi cepat dan lemah, bibir serta jari menjadi pucat kebiru-biruan. Stadium ini berlangsung selama 15 menit-1 jam. Setelah menggigil, penderita akan mengalami demam yang ditandai dengan muka menjadi merah, kulit kering dan terasa terbakar, sakit kepala, dan sering ditandai dengan mual atau muntah.
1.2 Obat-Obat Antimalaria Ada beberapa kelompok obat antimalaria. Obat-obat ini dapat dikelompokkan menurut kerjanya yang efektif pada fase-fase yang berbeda dari siklus hidup parasit. Obat yang mengeliminasi bentuk yang sedang berkembang atau dorman dalam sel hati disebut skizontosida jaringan, yang bekerja pada parasit eritrositik disebut skizontosida darah, dan
7 obat yang membunuh tahap-tahap seksual serta mencegah transmisi ke nyamuk disebut gametosida.
1.2.1 Klorokuin Klorokuin merupakan skizontosida darah yang sangat efektif dan tetap merupakan obat antimalaria utama pada beberapa negara di dunia. Klorokuin juga cukup efektif terhadap gametosit P. vivax, P. ovale, dan P. malariae, tetapi tidak terhadap P. falciparum. Klorokuin tidak efektif terhadap parasit tahap hepatis. Resistensi terhadap klorokuin saat ini sangat biasa pada strain P. falciparum dan meningkat pada P. vivax. Klorokuin merupakan agen kemoprofilaksis yang lebih disukai pada wilayah tanpa malaria falciparum yang resisten.
1.2.2 Amodiakuin Amodiakuin telah secara luas digunakan untuk mengobati malaria pada banyak negara karena harga yang murah, toksisitas rendah, dan pada beberapa wilayah efektif terhadap strain P. falciparum resisten klorokuin. Kemoprofilaksis terhadap amodiakuin sedapat mungkin dihindari karena dapat terjadi peningkatan toksisitas dalam penggunaan jangka panjang.
1.2.3 Kinin dan Kinidin Kinidin merupakan strereoisomer kinin. Kinidin memiliki efek yang sama dengan kinin parenteral pada pengobatan malaria falciparum parah. Kinin bekerja dengan cepat dan merupakan skizontosida yang sangat efektif terhadap empat spesies parasit malaria pada manusia. Obat tersebut merupakan gametosida terhadap P. vivax dan P. ovale, tetapi tidak pada P. falciparum. Obat ini tidak aktif terhadap parasit tahap hepatis.
1.2.4 Meflokuin Meflokuin merupakan obat yang efektif untuk P. falciparum resisten klorokuin dan terhadap spesies lainnya. Walaupun toksisitasnya tetap menjadi perhatian, meflokuin adalah obat kemoprofilakasis yang dianjurkan untuk digunakan pada wilayah endemik malaria dengan strain-strain yang resisten klorokuin. Meflokuin memiliki aktivitas skizontosida darah yang kuat terhadap P. falciparum dan P. vivax, tetapi tidak aktif terhadap tahap hepatis atau gametosit. Saat ini, resistensi tampak jarang kecuali pada wilayah Asia Tenggara dengan angka resistensi multiobat yang tinggi. Meflokuin efektif
8 dalam profilaksis sebagian besar strain P. falciparum dan mungkin juga seluruh spesies malaria manusia lainnya.
1.2.5 Primakuin Primakuin merupakan obat pilihan untuk membasmi bentuk hepatis dorman dari P. vivax dan P. ovale. Obat ini diabsorbsi dengan baik bila diberikan per oral dan mencapai kadar plasma puncak dalam 1-2 jam. Obat ini adalah satu-satunya agen aktif yang tersedia terhadap obat-obat hipnozoit dorman dari P. vivax dan P. ovale. Primakuin juga merupakan gametosida terhadap empat spesies malaria manusia. Beberapa strain P. vivax di Papua Nugini, Asia Tenggara, dan mungkin Amerika Selatan dan Tengah secara relatif resisten terhadap primakuin. Primakuin telah diteliti sebagai agen kemoprofilaksis harian. Pengobatan harian dengan 0,5 mg/kg memberikan tingkat perlindungan yang baik terhadap malaria falciparum dan vivax. Dosis tunggal primakuin (45 mg basa) dapat digunakan sebagai tindakan pengendali untuk membuat gametosit P. falciparum tidak infektif pada nyamuk.
1.2.6 Penghambat Sintesis Folat Pirimetamin dan proguanil merupakan penghambat sintesis folat yang dapat digunakan untuk mengobati dan mencegah malaria. Pirimetamin dan proguanil secara perlahan aktif terhadap bentuk eritrositik dari semua 4 spesies malaria manusia yang sensitif. Pirimetamin dan proguanil dengan selektif menghambat dihidrofolat reduktase plasmodium, yaitu enzim utama dalam jalur sintesis folat. Resistensi disebabkan oleh mutasi dihidrofolat reduktase dan dihidroperoat sintase.
1.2.7 Antibiotik Sejumlah antibiotik di samping antagonis folat dan sulfonamida merupakan antimalaria yang aktif. Obat-obat tersebut dapat menghambat sintesis protein atau fungsi lain dalam 2 organel menyerupai prokariot plasmodial. Antibiotik yang aktif sebagai antimalaria adalah tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin, dan azitromisin.
1.2.8 Artemisinin Artemisinin merupakan seskuiterpen lakton endoperoksida, yaitu zat aktif dari obat herbal yang telah digunakan sebagai antipiretik di Cina selama lebih 2000 tahun. Artemisinin dan analognya merupakan skizontosida darah yang bekerja sangat cepat melawan seluruh
9 parasit malaria pada manusia. Artemisinin tidak mempunyai efek terhadap parasit-parasit pada tahap hepatis. Aktivitas artemisinin sebagai obat antimalaria mungkin disebabkan oleh produksi radikal bebas yang diikuti dengan pemecahan jembatan endoperoksida artemisinin yang dikatalisis besi dalam vakuola makanan parasit.
1.3 Tinjauan Botani Tinjauan botani meliputi klasifikasi tumbuhan, morfologi, ekologi dan penyebaran, khasiat dan penggunaan tradisional, kandungan kimia, dan aktivitas farmakologi ketiga tanaman yang diteliti dalam penelitian ini.
1.3.1 Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness Dalam taksonomi tumbuhan, sambiloto [Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness] diklasifikasikan sebagai divisi Spermatophyta, anak divisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, bangsa Solanales, suku Acanthaceae, marga Andrographis, dan jenis Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness. Sambiloto [Andrographis paniculata (Burm.f.) Ness] merupakan tumbuhan bukan asli Indonesia, tetapi sudah lama tumbuh di negeri ini. Tumbuhan ini berasal dari India kemudian dalam perkembangannya masuk ke daftar tanaman obat di daerah Cina, Malaysia, dan Indonesia. Pada dasarnya, cara pemakaian sambiloto sebagai obat tradisional diberbagai daerah hampir sama, yakni dicampur dengan bahan lain lalu ditumbuk atau direbus, dikeringkan, kemudian diolah menjadi jamu serbuk atau diekstrak. Untuk pemakaian sebagai obat luar, daun sambiloto cukup ditumbuk halus dan ditempelkan pada bagian yang sakit. Sedangkan untuk mengobati malaria dalam penggunaan tradisional, sambiloto sebanyak setengah genggam dicuci lalu direbus dengan 3 gelas air. Rebusan sambiloto ditunggu hingga tinggal seperempat bagian. Setelah dingin, hasilnya disaring dan diminum 3 kali masing-masing tiga per empat gelas. Daun sambiloto mengandung saponin, flavonoid, dan tanin. Kandungan lainnya yaitu kalmegin dan hablur kuning yang memiliki rasa pahit. Tumbuhan sambiloto bersifat menurunkan panas, antibiotik, antipiretik, antiradang, antidiare, antitumor, dan hepatoprotektor.
10 1.3.2 Carica papaya L. Pepaya dikelompokkan ke dalam divisi Spermatophyta, anak divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Cistales, suku Caricaceae, marga Carica, dan jenis Carica papaya L. Pepaya merupakan tanaman berbentuk perdu dengan ketinggian kurang lebih 10 m. Batangnya tidak berkayu, berbentuk silindris, berongga, dan berwarna putih kotor. Daun pepaya berupa daun tunggal berwarna hijau, berbentuk bulat dengan ujung runcing, pangkal bertoreh, tepi bergerigi, diameter 25-75 cm, tulang daun menjari, dan panjang tangkai 25-100 cm. Pepaya berasal dari daerah Mexico, Amerika, tengah, dan Amerika Selatan. Selain itu juga terdapat di India, Filipina, Indonesia, dan negara tropis lainnya. Tanaman pepaya mempunyai keanekaragaman yang besar dalam bentuk, warna, rasa buah, dan bentuk daun. Pepaya tumbuh pada daerah tropis dan subtropis di tanah yang tidak tergenang air. Dalam penggunaan tradisional, daun pepaya dapat digunakan sebagai obat malaria dan menambah nafsu makan. Akar dan bijinya berkhasiat sebagai obat cacing, dan getah buahnya berkhasiat untuk memperbaiki pencernaan. Untuk obat malaria dipakai 100 g daun segar pepaya, dicuci lalu ditumbuk sampai lumat. Kemudian daun halus tersebut ditambahkan 1 gelas air matang, diperas dan disaring. Hasil saringan diminum sekaligus. Daun, akar, dan kulit batang Carica papaya L. mengandung alkaloida, saponin, dan flavonoida. Di samping itu, daun dan akar juga mengandung politenol dan bijinya mengandung saponin.
1.3.3 Momordica charantia L. Berdasarkan ilmu taksonomi atau klasifikasi tumbuhan, pare (Momordica charantia L.) dikelompokkan ke dalam divisi Spermatophyta, anak divisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, bangsa Cucurbitales, suku Cucurbitaceae, marga Momordica, dan jenis Momordica charantia L. Pare merupakan jenis tanaman semak semusim yang tumbuh menjalar atau merambat dengan menggunakan sulur yang panjang. Secara umum, pare banyak tumbuh di aderah tropis, termasuk di wilayah Amazon, Afrika, Asia, dan Karibia. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Asia tropis, terutama Thailand dan India bagian barat. Tanama ini juga ditemukan di Nepal, Sri Lanka, Cina, dan beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.
11 Selain kandungan gizinya yang tinggi, pare juga mempunyai khasiat sebagai obat sehingga sering dimanfaatkan sebagai ramuan jamu. Buah dan daun pare dimanfaatkan sebagai obat tradisional untuk penurun panas, obat cacing, penambah nafsu makan, mual, malaria, sifilis, dan kencing nanah. Sedangkan bijinya dapat digunakan sebagai obat cacing, obat luka, impotensi, dan antikanker. Buah pare mengandung charantin dan alkaloid yang pahit, yaitu momordisin. Momordisin banyak digunakan masyarakat untuk penyembuhan demam dan pengusir cacing kremi. Selain itu juga terdapat vitamin A, vitamin B, vitamin C, saponin, glikosida, asam fenolat, karoten, cucurbitin, dan cucurbitasin.