9
BAB I I TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh Sudaryanti (2009) dengan judul penelitian : “Peran Tokoh Pemimpin Masyarakat dalam Pembangunan Daerah Pedesaan di Wilayah Desa Karangmojo Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunung Kidul”. Dalam mensukseskan program pembangunan di daerah pedesaan, peran kepala desa/lurah sangatlah besar. Karena kepala desa berperan sebagai motifator, dinamisator dan modernisator bagi warga masyarakat. Seorang kepala desa juga harus mampu menyelesakan masalah-masalah yang ada di lingkungannya. Di desa Karangmojo, kepala desa memang telah berperan sangat besar dalam pembangunan fisik masyarakat desanya. Mulai dari terlaksananya program perbaikan dan pengaspalan jalan, pembangunan panel-panel tenaga surya dan pembangunan MCK. Selain itu kepala desa juga berperan menyelesaikan masalah-masalah di lingkungan masyarkat. Kepala desa Karangmojo bisa dikatakan telah tanggap dengan apa yang diperlukan masyarakat, misalnya masalah akses jalan. Akses jalan tidak bisa diabaikan begitu saja. Karena untuk meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
terutama
peningkatan
ekonomi
diperlukan kelancaran sarana transportasi. Walaupun dapat dikatakan pada masa kepemimpinan Darusman pembangunan fisik desa Karangmojo mengalami kemajuan, namun ternyata pembangunan-pembangunan tersebut diwarnai dengan berbagai penyelewengan dan kecurangan. Berbagai bentuk penyelewengan dan 9
10
kecurangan mencerminkan bahwa pemerintah desa kurang mempertimbangkan pelaksanaan proyek pembangunan dengan baik. Selain itu kurangnya komunikasi serta lemahnya control pemerintah desa terhadap masyarakat membuat penyelewengan-penyelewengan tersebut terjadi begitu saja. Pemerintah juga nampaknya terlihat belum mengerti betul arti pentingnya organisasi-organisasi masyarakat desa, hal ini terlihat dari berdirinya beberapa organisasi masyarakat. Kepala desa sebagai pemimpin formal belum memiliki control yang kuat terhadap masyarakatnya. Peran lurah sebagai motifator dan dinamisator juga belum sepenuhnya berhasil. Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yono Mulyana (2010) yang berjudul : ”Peranan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) Dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Pada Pembangunan Jalan Desa Tahun 2005 di Desa Buntet Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon”, Berdasarkan pengamatan penulis di Desa Buntet Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon, ternyata masih sangat rendah tingkat kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan jalan desa sehingga pembangunan jalan desa tersebut tidak berjalan dengan baik. Penulis menggunakan teknik wawancara dan observasi, yang hasilnya menyatakan bahwa
LPMD belum sepenuhnya
menggerakkan
dalam
dan
mengarahkan
masyarakat
fungsinya,
untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat pada pembangunan/perbaikan jalan desa di Desa Buntet Kecamatan Astanajapura Kabupaten Cirebon. Sedangkan Fungsi lainnya belum dengan baik dilaksanakan oleh LPMD. Hal ini, menyebabkan tingkat partisipasi masyarakat masih rendah.
Penulis dalam penelitian ini
11
menyampaikan saran agar LPMD dalam meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mengarahkan masyarakat pada pembangunan. Supaya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan jalan desa dapat berjalan lancar dengan baik.
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Perkembangan Teori Pembangunan 2.2.1.1.
Teori Modernisasi Menurut Budiman (2005) mengemukakan : Banyak teori-teori yang
tergantung dalam Teori Modernisasi antara lain : 1. Teori yang menekankan bahwa pembangunan hanya merupakan masalah penyediaan modul untuk investasi. Teori ini diwakilkan kepada teori HarradDomar. 2. Teori yang menekankan aspek-aspek psikologi individu. Teori Mc Clelland dengan konsep n-Ach-nya dapat dianggap mewakili aliran ini. Bagi McClelland, mendorong proses pembangunan berarti membentuk manusia wiraswasta dengan n-Ach yang tinggi. Cara pembentukannya adalah melalui pendidikan individu. 3. Teori yang menekankan nilai budaya. Teori Weber tentang peran agama dalam pembentukan kapitalisme merupakan sumber dari aliran teori ini. Nilainilai masyarakat, antara lain dari yang melalui agama, mempunyai peran yang menentukan dalam mempengaruhi tingkahlaku individu. Kalau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dapat diarahkan kepada sikap yangpositip
12
terhadap pertemuan ekonomi, proses pembangunan dalam masuyarakat tersebut dapat terlaksana. 4. Teori yang menekankan adanya lembaga-lembaga social dan politik yang mendukung proses pembangunan, sebelum lepas landas dimulai. Teori Rostow (yang lebih menekankan pada proses lepas landas) dan Hoselitz (yang membicarakan lembaga-lembaga yang diperlukan menjelang lepas landas) merupakan contoh dari teori ini. Berbeda dengan Weber yang menekankan nilai-nilai, Hoselitz menekankan lembaga-lembaga yang konkrit.Lembagalembaga politik dan social ini diperlukan untuk menghimpun modal yang besar serta memasok tenaga teknis, tenaga wiraswasta dan teknologi. 5. Teori yang menekankan lingkungan material, dalam hal ini lingkungan pekerjaan sebagai salah satu cara terbaik untuk membentuk manusia modern yang bisa membangun, Inkeles dan Smith berbicara tentang persoalan ini. Berbeda dengan McClelland yang menekankan pendidikan dalam arti manipulasi mental dari si anak didik, pada Inkeles dan Smith perubahan dicapai dengan cara langsung memberikan pengalaman kerja. Dari beberapa aliran yang termasuk dalam Teori Modernisaasi, dipilih dua teori sebagai acuan yaitu Teori Harrod dan Teori W.W. Rostow,karena focus pendekatannya masyarakat pedesaan yang dikaitkan dengan pembangunan masyarakat.
13
1. Teori Harrod-Domar : Tabungan dan Investasi (Faisal Karyono dan Yoseph F. Stepenek : 2005) Salah satu teori ekonomi pembangunan yang sampai sekarang masih terus dipakai, meskipun sudah dikembangkan secara lebih canggih, adalah teori dari Evsey Domar dan Roy Harrod. Kedua ahli ini yang bekerja secara terpisah, mencapai kesimpulan yang sama, yakni pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tingginya tabungan dan investasi. Tetapi pada intinya rumus pembangunan Harrod-Domar ini masih dipertahankan. Rumus ini didasarkan pada asumsi bahwa masalah pembangunan pada dasarya merupakan masalah menambahkan investasi modal. Masalah keterbelakangan adalah masalah kekurangan
modal,
dan
modal
itu
diinvestasikan,
hasilnya
adalah
pembangunan ekonomi. 2. W.W. Rostow : Lima Tahap Pembangunan (1971) Berbeda dengan kedua ahli sebelumnya, Rostow adalah seorang ahli ekonomi. Tetapi perhatiannya tidak terbatas pada masalah ekonomi dalam arti sempit. Perhatiannya meluas sampai pada masalah sosiologi dalam proses pembangunan, meskipun titik berat analisisnya masih tetap pada masalah ekonomi. Dalam bukunya yang, The Stages of Economic Growth, A Non Communist Manifesto yang mula-mula terbit pada tahun 1960, dia menguraikan teorinya tentang proses pembangunan dalam sebuah masyarakat. Seperti juga para ahli ekonomi umumnya pada jaman itu, bagi Rostow pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus,
14
yakni dari masyarakat yang terbelakang ke masyarakat yang maju. Proses ini dengan berbagai variasinya, pada dasarnya berlangsung sama dimanapun dan kapanpun juga. Variasi yang ada bukanlah merupakan perubahan yang mendasar dari proses ini, melainkan hanya berlangsung di permukaan saja. Rostow membagi proses pembangunan ini menjadi lima tahap, yaitu : a. Masyaratak Tradisional Ilmu pengetahuan pada masyarakat ini masih belum banyak dikuasai. Karena itu, masyarakat semacam ini masih dikuasai oleh kepercayaan-kepercayaan tentang kekuatan di luar kekuasaan manusia. Manusia dengan demikian tunduk kepada alam, belum bisa menguasai alam. Akibatnya produksi masih sangat terbatas, masyarakat ini cenderung bersifat statis, dalam arti kemajuan berjalan dengan sangat lambat. Produksi dipakai untuk konsumsi, tidak untuk investasi. Pola dan tingkat kehidupan generasi kedua pada umumnya hampir sama dengan kehidupan generasi sebelumnya. b. Produksi untuk lepas landas Masyarakat tradisional meskipun sangat lambat terus bergerak. Pada suatu titik, dalam mencapai posisi pra kondisi untuk lepas landas. Biasanya keadaan ini terjadi karena adanya campur tangan dari luar, dari masyarakat yang sudah lebih maju. Perubahan ini tidak dating karena faktor-faktor internal masyarakat tersebut, akrena pada dasarnya masyarakat tradisional tidak mampu untuk mengubah dirinya sendiri.
15
c. Lepas Landas Periode ini ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang
menghalangi
proses
pertumbuhan
ekonomi.
Pertumbuhan
merupakan sesuatu yang berjalan wajar, tanpa adanya hambatan yang berarti seperti ketika pada periode prakondisi untuk lepas landas. Pada periode ini, tabungan dan investasi yang efektif meningkat 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional, atau lebih. Industri-industri baru mulai berkembang dengan sangat pesat. Keuntungan sebagian besar ditanamkan kembali ke pabrik yang baru. Sektor modern dari perekonomian dengan demikian jadi berkembang. Dalam pertanian, usaha komersial untuk mencari keuntungan, dan bukan sekedar untuk konsumsi. Peningkatan dalam produktivitas pertanian merupakan sesuatu yang penting dalam proses lepas landas, karena proses modernisasi masyarakat membutuhkan hasil pertanian yang banyak, supaya ongkos perubahan ini tidak terlalu mahal. d. Bergerak ke kedewasaan Setelah lepas landas, akan terjadi proses kepajuan yang terus bergerak ke depan, meskipun kadang-kadang terjadi pasang surut. Industri berkembang dengan pesat, antara 10% sampai 20% dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali, supaya dapat mengatasi persoalan pertambahan penduduk. Industri berkembang dengan pesat. Negara ini memantapkan posisinya dalam perekonomian global, barang-barang yang tadinya diimpor sekarang diproduksi di dalam negeri.
16
Setelah 60 tahun sejak sebuah negara lepas landas (atau 40 tahun setelah periode lepas landas terakhir), tingkat kedewasaan biasanya tercapai. Perkembangan industri terjadi tidak saja meliputi teknik-teknik produksi, tetapi juga dalam aneka barang yang diproduksi. e. Jaman Kunsumsi Masal yang Tinggi Karena kenaikan pendapatan masyarakat, konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Produksi juga berubah dari kebutuhan dasar ke kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Pada periode ini investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan yang paling utama. Sesudah taraf kedewasaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik yang terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pada titik ini, pembangunan sudah merupakan proses yang berkesinambungan, yang bisa menopang kemajuan secara terus menerus. Teori Rostow tentang lima tahap pertumbuhan ekonomi ini seperti halnya teori-teori modernisasi lainnya, didasarkan pada dikotomi masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Titik terpenting dalam gerak kemajuan dari masyarakat yang satu ke masyarakat lainnya adalah periode lepas landas. Rostow juga berbicara tentang keperluan akan adanya sekelmpok wiraswastawan, yakni orang-orang yang berani melakukan tindakan pembaharuan, meskipun tindakan tersebut ada resikonya. Dia kemudian
17
berbicara
tentang
kondisi-kondisi
social
yang
melahirkan
para
wiraswastawan ini . Rostow menyebutkan dua kondisi social : (1) adanya elite baru dalam masyarakat yang merasa diingatkan haknya oleh masyarakat tradisional dimana dia hidup, untuk mendapatkan prestise dan mencapai kekuasaan melalui cara-cara konvensial yang ada, (2) masyarakat tradisional yang ada cukup fleksibel (lemah) untuk memperbolehkan warganya mencari kekayaan (kekuasaan politik) sebagai jalan untuk menaikkan statusnya dalam masyarakat (biasanya hal ini dicapai melalui kepatuhan dan kesetiaan terhadap yang kuasa). Teori Rostow ini penulis berasumsi bahwa apabila dikaitkan dengan pembangunan desa di Indonesia sulit untuk diterapkan, karena selalu menekankan pada proses pembangunan lepas landas, padahal belum lepas landas. Sedangkan asumsi laind ari teori ini yang menekankan adanya lembaga-lembaga
social
dan
politik
yang
mendukung
proses
pembangunan sebelum lepas landas dimulai sulit untuk diterapkan.
2.2.1.2. Teori Struktural Teori structural sebenarnya merupakan teori yang memakai pendekatan structural. Pendekatan ini menurut Blomstrom, Magnus dan Bjorn Hettne (2004) yang intinya antara lain : Menekankan lingkungan material manusia, yakni organisasi kemasyarakatan beserta system imbalan-imbalan material yang diberikan, perubahan-perubahan pada lingkungan material manusia termasuk perubahan-perubahan teknologi. Lingkungan materialini dianggap sebagai faktor yang lebih penting daripada keadaan psikologi dan nilai-nilai kemasyarakatan yang ada dalam pengaruh tingkahlaku manusia
18
Dengan demikian, dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan gejala atau proses social yang terjadi, teori structural mencari faktor-faktor lingkungan material manusia sebagai faktor yang menyebabkannya. Teori structural seringkali dianggap bersumber pada teori yang dilontarkan oleh Karl Marx, terutama teorinya tentang bangunan bawah atau base, dan bangunan atas atau superstructure, Marx menyatakan bahwa kondisi material manusia merupakan sumber dari kesadaran dan tingkah laku manusia.
2.2.2. Paradigma Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa 2.2.2.1. Paradigma Pembangunan Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu “planned societal change from one state of national being to another, more valued state” (perubahan sosial terencana dari suatu perwujudan nasional yang satu ke perwujudan yang lain, yaitu perwujudan yang lebih bernilai). Batasan pembangunan di atas menunjukkan bahwa perencanaan pembangunan bukanlah merupakan suatu instrumen yang bebas nilai (value free). Perencanaan pembangunan mau tidak mau harus terkait pada yang ingin diwujudkan melalui proses perencanaan. Oleh karena itu pendekatan perencanaan pembangunan dapat bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain, dari waktu yang satu ke waktu yang lain, karena perbedaan paradigma pembangunan yang dianut oleh suatu negara, dan perbedaan kontekstual.
19
Sebagaimana telah disebutkan di atas, secara umum pembangunan dapat didefinisikan sebagai “planned societal change from one state of national being to another, more valued state”, namun apa yang dipandang sebagai kondisi nasional yang lebih berharga (more valued) tadi bervariasi dari negara yang satu ke negara yang lain, dari waktu yang satu ke waktu yang lain. Bersamaan dengan itu muncul gagasan Rostow 1960 tentang teori tahapan pembangunan (Masykur 2002) yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Masyarakat tradisional (The traditional society) Prasarat untuk lepas landas (The preconditions for take off) Lepas landas (The take off) Menuju kearah kedewasaan (The drive to maturity) Masa konsumsi tinggi (The age of high mass consumtion)
Selama dua dasawarsa program pembangunan dilaksanakan, muncul masalah-masalah baru seperti di Mexico, Amerika Latin, serta Indonesia, yakni terjadinya perubahan karakteristik otoriterisme pada rezim penguasa yang lebih dikenal dengan Birokrasi Otoriter (Alvin, 2001 : 124) yang lebih memperlihatkan kerugian-kerugian sosial dan politik warga negaranya ketika pertumbuhan ekonomi mulai meningkat. Itulah sebabnya pemerintah-pemerintah yang melaksanakan pembangunan selalu menghadapi gangguan politik dari warga negaranya dan hal ini semakin meningkatkan perangai otoriternya dan pada gilirannya akan menumbangkan pemerintahan demi pemerintahan. Pada sisi lain program-program pengentasan kemiskinan yang merupakan paket-paket dalam rangka pembangunan ekonomi tidak selalu berjalan lancar, misalnya paket-paket bantuan ekonomi kepada kelompok miskin tak jarang rawan bias dan menimbulkan kesenjangan antar kelas, sementara di sisi lain upaya-upaya
20
dalam bentuk penyantunan secara penuh justru akan menimbulkan ketergantungan di pihak orang miskin yang menerima program penyantunan dan pada akhirnya akan menimbulkan ketidakberdayaan, lebih lanjut terhadap masyarakat miskin. Hal ini menjadi problem baru di balik program-program pengentasan kemiskinan. Menurut Korten dan Cohen (dalam Sutrisno 2005: 47) terdapat kekurangan pada model-model pengentasan kemiskinan yang banyak dilakukan di negara-negara sedang berkembang, kekurangannya yakni negara berkembang lebih memusatkan perhatian pada peningkatan kuantitas produksi atau hasil sehingga kebutuhan sistem produksi mendapat tempat yang lebih utama dari pada kebutuhan rakyat. Hal semacam di atas dialami oleh Indonesia. Banyak bukti menunjukkan bahwa paket-paket program pengentasan kemiskinan lebih banyak berorientasi pada peningkatan produksi dari pada bertujuan untuk mendistribusikan kesejahteraan.
Dengan
demikian
pembangunan
yang
sebenarnya
untuk
peningkatan kesejahteraan, justru menghasilkan ketimpangan antara orang miskin dengan orang yang tidak miskin. Di Indonesia kemiskinan masih terus menjadi masalah ekonomi sekaligus sosial dan politik.
2.2.2.2.
Pemberdayaan Masyarakat Desa
Kegagalan model pembangunan di negara-negara sedang berkembang yang disinyalir para ahli sangat lamban dalam mencapai tujuannya yakni memberantas kemiskinan sebagaimana digugat oleh model pembangunan “community development” dan model partisipasi rakyat (Korten, 2005: 35), dianggapnya
21
sebagai model-model yang tidak memberi kesempatan pada rakyat miskin untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pemilihan, perencanaan, dan kemudian pelaksanaan program pembangunan. Konsep empowerment (pemberdayaan) yang dirintis oleh Friedmann (2002) memunculkan adanya 2 (dua) premis mayor, yaitu “kegagalan dan harapan” dalam memandang konsep-konsep Keneysian. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi terdahulu dalam menanggulangi masalah kemiskinan dan menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Sedangkan
harapan
muncul
karena
adanya
model-model
pembangunan alternatif yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Kegagalan dan harapan menurut Friedman bukanlah merupakan alat ukur dari hasil kerja ilmu sosial melainkan lebih merupakan cermin dari nilai-nilai normatif dan moral yang berkembang dalam lokalitas. Kegagalan dan harapan akan terasa sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat. Pada tingkat yang lebih luas, yang dirasakan hanyalah gejala dari kegagalan dan harapan. Dengan demikian, pemberdayaan
masyarakat
pada
hakekatnya
adalah
nilai
kolektif
dari
pemberdayaan individu. Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat di mana kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat.
Konsep partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh Paul (2007) sebagai berikut :
22
Participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share of project benefits (Partisipasi mangacu pada sebuah proses aktif yang dengannya kelompok sasaran bisa mempengaruhi arah dan pelaksanaan proyek pembangunan ketimbang hanya semata-mata menerima pembagian keuntungan proyek).
Definisi di atas memandang keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil evaluasi (Cohen & Uphoff, 2000). Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya, serta berupaya untuk mencari jalan keluar yang dapat dipakai demi mengatasi masalahnya. Partisipasi juga membantu masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial ekonomi dan proses desentralisasi yang dilakukan dengan memperkuat “Delivery system” (sistem distribusi) di tingkat bawah. Soetrisno (2005) menyatakan bahwa ada dua definisi partisipasi yang beredar di masyarakat yaitu: Definisi pertama partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam definisi inipun disamakan dengan kemauan rakyat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa uang maupun
tenaga dalam
melaksanakan
proyek
pembangunan
pemerintah.
Dipandang dari sudut sosiologis definisi ini tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Definisi kedua partisipasi dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan,
23
melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang dibangun diwilayah mereka serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan hasil proyek itu. Kemudian oleh Goulet (2001) partisipasi dikonsepsikan secara baru sebagai suatu insentif moral yang mengijinkan kaum miskin yang tidak berdaya untuk merundingkan insentif-insentif material baru bagi diri mereka dan sebagai suatu titik terobos yang memperbolehkan masyarakat grassroot berhasil mendapatkan jalan menuju bidang-bidang makro pembuatan keputusan. Dengan demikian, partisipasi merupakan aspek terpenting dalam upaya memberdayakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Paulo Freire (2000) adalah orang yang paling tegas menyatakan kepada elite pembuat keputusan mengenai pentingnya partisipasi dalam pembangunan. Bagi Paulo Freire, batu uji tertinggi otentisitas (keaslian) pembangunan adalah : pakah rakyat sebelumnya selalu diperlakukan sebagai obyek, yang hanya tahu dan melaksanakannya, sekarang dapat secara aktif menyadari dan bertindak yang karenanya menjadi tujuan hidup kemasyarakatan sendiri. Kalau rakyat ditekan dan dimerosotkan ke dalam budaya diam, mereka tidak berpartisipasi dalam kemanusiaan itu sendiri. Sebaliknya jika rakyat dimampukan untuk berpartisipasi sehingga menjadi subyek aktif yang sadar dan bertindak, mereka akan merancang sejarah manusiawinya dalam arti yang sebenarnya dan melibatkan diri dalam pembangunan yang otentik
Timbul pertanyaan apakah suatu proses pembangunan dapat dilaksanakan tanpa adanya partisipasi masyarakat lokal. Dari analisis bentuk dan jenis
24
partisipasi yang terungkap dapat dijelaskan bahwa jenis pembangunan yang berlainan memerlukan partisipasi yang berlainan pula. Suatu pembangunan yang berpusat pada rakyat yang sangat sentral terhadap pemenuhan prioritas kebutuhan pokok hidup manusiawi, penciptaan lapangan kerja, swakarsa, pelestarian keanekaragaman budaya, jelas memerlukan untuk partisipasi dengan memainkan peran aktif masyarakat non-elite dalam mendiagnosis permasalahan mereka sendiri (Goulet, 2001). Pendekatan baru dalam pembangunan menekankan pada upaya penggalangan
partisipasi masyarakat
untuk bersatu padu dalam
pembanguna yang diarahkan dengan model perencanaan di bawah. Untuk memberi makna suatu pembangunan itu betul-betul pembangunan masyarakat, maka dituntut adanya partisipasi secara aktif dari masyarakat. Janabadra dan Ndraha (2000) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Mubyarto (2009) mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri sendiri. Suparlan (2006) mencoba menguji secara mendalam dan menyeluruh program pembangunan yang berasal dari atas dia menyatakan bahwa : Pemberdayaan berbagai proses pembangunan pada dasarnya merupakan upaya mentransformasikan masyarakat lokal yang mempunyai wawasan lokal menjadi wawasan nasional dan turut bertanggung jawab terhadap kebutuhan bangsa. Pada akhirnya keberhasilan pembangunan dapat dilihat tatkala menjadi bagian tak terpisahkan dari cara-cara hidup masyarakat lokal dan dipakai sebagai model pembangunan yang berwujud dalam berbagai tindakan.
Kemampuan masyarakat untuk “mewujudkan” dan “mempengaruhi” arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang
25
dimilikinya sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Participation is concerned with the distribution of power in society, for it is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met through the distribution of resources (Partisipasi terkait dengan distribusi kekuasaan dalam masyarakat, karena hanya kekuasaanlah yang memungkinkan kelompok untuk menentukan kebutuhan yang mana dan kebutuhan siapa yang akan dipenuhi melalui distribusi sumberdaya). (Curtis, et. Al., 200 1).
Pemberdayaan merupakan the missin ingredient (unsur tersembunyi) dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumber-sumber hidup penting. Upaya masyarakat miskin melibatkan diri dalam proses pembangunan melalui power yang dimilikinya merupakan bagian dari pembangunan manusia (personal/human development). Pembangunan manusia merupakan proses kemandirian (self-reliance), kesediaan bekerjasama dan toleran terhadap sesamanya dengan manyadari potensi yang dimilikinya. Hal ini dapat terwujud dengan menimba ilmu dan ketrampilan baru, serta aktif berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan politik dalam komunitas mereka. Bagaimana pemberdayaan masyarakat merupakan satu masalah sendiri yang berkaitan dengan hakekat dari kekuasaan, serta hubungan antar individu atau lapisan-lapisan sosial yang lain. Pada dasarnya setiap individu dilahirkan dengan kekuasaan. Hanya saja kadar dari kekuasaan itu akan berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
26
saling terkait (interlinking factors) antara lain seperti pengetahuan, kemampuan, status, harta, kedudukan, dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang saling terkait itu pada akhirnya membuat hubungan antar individu dengan dikotomi subyek (penguasa) dan obyek (yang dikuasai). Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan dikotomi subyek dan obyek tersebut merupakan relasi yang ingin “diperbaiki” melalui proses pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan proses rekonstruksi hubungan antara subyek dan obyek. Proses ini mensyaratkan adanya pengakuan subyek atas kemampuan atau power yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya flow of power (transfer kekuasaan) dari subyek ke obyek. Pemberian kekuasaan, kebebasan dan pengakuan dari subyek ke obyek dengan memberinya kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan memamkai sumber daya tersebut. Pada akhirnya, kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan harapannya dengan pemberian pengakuan oleh subyek merupakan bukti bahwa individu tersebut memiliki kekuasaan/daya. Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat terwujud suatu upaya aktualisasi diri dari obyek untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai daya yang ada padanya serta dibantu juga dengan daya yang dimiliki subyek. Dalam pengertian yang lebih luas, hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan ditandai dengan relasi antar subyek (lama) dengan subyek (baru) yang lain. atau proses pemberdayaan adalah mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi relasi subyek-subyek.
27
Dengan demikan, transfer kekuasaan ini merupakan faktor yang penting dalam mewujudkan pemberdayaan. Terdapat dua perspektif atas dimensi power itu, yaitu perspektif distributif yang menghambat pemberdayaan, dan perspektif generatif yang cnederung mendukung pemberdayaan (Dahl, 1973; Mas’oed, 2004). Bila power ditinjau dalam perspektif distributif, maka ia bersifat zero-sum dan sangat kompetitif. Kalau yang satu mempunyai daya berarti yang lain tidak tidak punya. Kalau satu pihak memperoleh tambahan daya, berarti pihak yang lain kehilangan. Dalam hubungan kekuasaan seperti ini, aktor yang berperilaku rasional dianggap tidak mungkin bekerjasama karena hanya akan merugikan diri sendiri. Kalau pemberdayaan si miskin dapat dilakukan dengan mengurangi kekuasaan si pemegang kekuasaan, maka pasti si pengausa akan berusaha mencegah proses pemberdayaan itu. Sebaliknya, yang berlaku pada sisi perspektif generatif bersifat positivesum. Artinya, pemberian pada pihak lain dapat meningkatkan daya sendiri. Kalau daya suatu unit sosial secara keseluruhan meningkat, semua anggotanya dapat menikmati bersama-sama. Dalam kasus ini, pemberian daya kepada lapisan miskin secara tidak langsung juga akan meningkatkan daya si pemberi, yaitu si penguasa. Dengan menggunakan kajian teori yang ditawarkan oleh Sarah Cook dan Steve ini, maka perubahan yang akan dihasilkan merupakan suatu perubahan yang bersifat terencana karena input yang akan digunakan dalam perubahan telah diantisipasi sejak dini sehingga out put yang akan dihasilkan mampu berdaya guna secara optimum.
28
Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui 3 (tiga) jurusan (Kartasasmita, 2005) yaitu: 1.
2.
3.
Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkan. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara yang sudah maju dan yang belum maju/berkembang. Secara khusus perhatian harus diberikan dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi usaha kecil termsuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.
Namun Friedmann juga mengingatkan bahwa sangatlah tidak realistik apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar masyarakat madani diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas ekonomi saja namun juga secara politis, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar menawar yang kompetitif, baik secara nasional maupun internasional. Paradigma pemberdayaan ingin mengubah kondisi yang serba sentralistik ke situasi yang lebih otonom dengan cara memberi kesempatan pada kelompok orang miskin untuk merencanakan dan kemudian melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri, kelompok orang miskin ini, juga diberi kesempatan untuk mengelola pembangunan, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak luar (Soetrisno, 2005).
29
Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan unsur yang sungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi. Dalam konteks dan alur pikir ini Friedmaan (2002) menyatakan : The empowerment approach, which is fundamental to alternative development, places the emphasis on autonomy in decesion making of territotially organized communities, local self-reliance (but not autarchy) democracy and experiental social learning (Pendekatan pemberdayaan, yang sangat penting terhadap pembangunan alternatif, menempatkan penekanan pada otonomi dalam pembuatan keputusan dari komunitas yang diorganisir secara teritorial, kemandirian lokal (tapi bukan autarki), demokrasi langsung (partisipatori) dan pembelajaran sosial yang diambil dari pengalaman).
Titik fokus dari pemberdayaan ini adalah lokalitas karena civil society, menurutnya, lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal. Dalam pandangan Bryant & White (2005) empowerment berarti menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada si miskin. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa satusatunya cara menciptakan mekanisme dari dalam (built-in) guna meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang sangat tidak adil sehingga rakyat memiliki pengaruh. Hal ini senada dengan rumusan yang diberikan oleh Paulo Freire (dalam Soetrisno, 2005) yang menyatakan bahwa empowerment bukanlah sekedar memberi kesempatan pada rakyat untuk menggunakan sumber-sumber alam dan dana pembangunan saja, akan tetapi lebih dari itu, empowerment merupakan upaya untuk mendorong masyarakat untuk mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur-struktur
yang
represif
(bersifat
menekan).
Dengan
kata
lain,
empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik. Rumusan lain tentang
30
konsep empowerment ini ditemui dalam pernyataan Schumacher (2002) yang kurang berbau politik dan lebih menekankan pada hal-hal sebagai berikut : Economic development can succed only if it is carried forward as a broad popular ‘movement reconstruction’ with the primary emphasis on the full utilization of the drive, enthusiasm, intelligence and labour power of every one (Pembangunan ekonomi hanya dapat berhasil manakala sebagai rekonstruksi “pergerakan rakyat” dengan penekanan utama pada pemanfaatan secara penuh semangat, antusiasme, intelegensi dan kekuatan kerja setiap orang).
Selanjutnya Schumacher menyatakan bahwa strategi yang paling tepat untuk menolong si miskin adalah “memberi kail ketimbang ikan” yang dengannya mereka dapat mandiri. Schumacher sangat memberi tempat yang istimewa bagi kelompok
LSM/NGO
(non-govermental
organization)
dalam
proses
pembangunan. Schumacher (dalam Soetrisno, 2005) memberikan alasan sebagai berikut : Development effort is mainly carried on by government officials – in other words – by adminstrators (who) are not by training and experience, either entrepreneur on inovator (Upaya pembangunan pada umumnya dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan kata lain oleh administratur yang dari segi pendidikan dan pengalaman bukanlah pengusaha atau inovator). Penekanan konsep Empowerment Schumacher yang lebih memfokuskan pada pembentukan kelompok mandiri tidak akan banyak mempuyai arti tanpa ada dukungan politik, sebagaimana yang dinyatakan oleh Freire. Artinya, konsep empowerment apapun yang akan dipilih dibutuhkan dosis politik untuk menjadi obat yang ampuh dari penyakit kemiskinan (Soetrisno, 2005). Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni bersifat “people centered,
31
participatory,
empowering,
and
sustainable”
(Berpusat
pada
rakyat,
partisipatoris, memberdayakan dan berkelanjutan) (Chambers, 2003). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Alternatif konsep pertumbuhan ini oleh Friedmann (2002) disebut sebagai alternative development (pembangunan alternatif) yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenarational equity” (demokrasi inklusif, pertumbuhan ekonomi yang memadai, kesetaraan jender dan persamaan antara generasi). Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Brown (dalam Mustadjab, 2000), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible and anthithetical” (tidak cocok dan antitetis). Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap “Zero sum game” dan “trade-off” (prinsip pilih salah satu). Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan serta akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (dalam Kartasasmita, 2006), “the right kinds of growth” (pertumbuhan yang benar), yakni bukan pertumbuhan vertikal yang menghasilkan “trickle-down” seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat horisontal (horizontal flows), yakni broadly based, employment intensive, and compartmentalized (berbasis luas, intensif tenaga kerja, dan saling melengkapi).
32
2.2.3. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Wilayah Pedesaan 2.2.3.1. Kebijakan Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia Sasaran yang diharapkan dari kebijakan pembangunan desa di Indonesia ialah mensejahrterakan masyarakat desa melalui pembangunan prasarana produksi, pemasaran, transportasi dan social yang dilaksanakan secara terus menerus. Bahwa pembangunan ini mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia setiap tahun, disamping tingkat kesejahteraan masyarakat desa sudah lebih baik dari sebelumnya. Pembangunan non fisik juga dilakukanseiring dengan pembangunan fisik, sehingga masyarakat secara berangsur-angsur mulai berperan aktif melalui swadaya mensukseskan pembangunan desa. Beberapa
faktor
yang
menentukan
keberhasilan
pelaksanaan
pembangunan desa yaitu : (1) karateristik lembaga yang menunjukkan tingkat organgisasi desa sudah diberi wewenang oleh pemerintah Pusat dan pemerintah daerah dalam menentukan alternatif kebijakan, (2) Sumber daya yang berkaitan dengan manusia maupun yang berhubungan dengan sumber daya alam, (3) Unsur pelaksana dari pembangunan desa tersebut mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat desa yang berkaitan dengan kinerja, mental dan pengabdian. Salah satu faktor pembentuk kemampuan untuk mewujudkan masa depan yang direncanakan menurut Bryant & white (2002) adalah empowerment. Dengan empowerment masyarakat mempunyai kesempatan untuk terus mengembangkan kemampuan dan eranannya dalam merencanakan dan melaksanakan sendiri perubahan-perubahan yang mereka kehendaki untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik.
33
Pembangunan yang terkait langsung dengan empwerment adalah pembangunan desa, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dan lembaga desa secara simultan. Dengan tujuan pembangunan desa dirancang untuk menjadi landasan yang kokoh bagi pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Selain itu, pembangunan desa juga diharapkan dapat menjadi pembangunan yang berwawasan masa depan dan berkelanjutan. Untuk mengembangkan wawasan masa depan dan berkelanjutan, pembangunan desa memerlukan tiga bentuk empowerment, yaitu : partisipasi, desentralisasi pembangunan dan otonomi desa. Partisipasi adalah suatu penghargaan, kepercayaan dan peluang bagi masyarakat untuk berperan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan
dan pengawasan pembangunan desa.
Peningkatan partisipasi akan dipermudah oleh desentralisasi pembangunan. Yaitu penyerahan sebagian wewenang dalam proses pembangunan kepada masyarakat desa, yang berimplikasi pada pengakuan bahwa masyarakat desa adalah subjek pembangunan. Pada sisi lain, desentralisasi pembangunan perlu disertai dengan otonomi desa atau wewenang desa untuk melaksanakan pembangunan secara berswadaya sebagai unsure rumah tangganya sendiri. Otonomi desa merupakan salah satu landasan untuk mewujudkan keswadayaan pembangunan cdesa, terutama dalamaspek-aspek prakarsa, pengelolaan dan dana. Pembangunan
desa
pada
hakekatnya
adalah
segenap
kegiatan
pembangunan desa di desa yang meliputi aspek kelembagaan dan kemasyarakatan yang ditunjuk untuk merubah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Pembangunan kelembagaan desa adalah pembangunan lembaga-lembaga social
34
kemasyarakatan dan aparatur pemerintah desa yang berfungsi untuk membina sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi pedesaan. Pembangunan masyarakat pedesaan adalah pembangunan sumberdaya manusia pedesaan atau pembangunan manusia seutuhnya, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam desa dan teknologi. Secara empirik, pembangunan desa menggunakan 3 model, yaitu : (1) Pembangunan desa berbantuan, (2) Pembangunan desa sektoral, (3) Pembangunan desa berswadaya. Pembangunan desa Berbantuan (PDB) adalah pembangunan desa yang diarahkan untuk membangun prasarana desa dengan mendapatkan bantuan dana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan dengan mendorong partisipasi masyarakat, baik dengan bentuk dana, bahan dan tenaga maupun dalam bentuk pemikiran. Pembangunan Desa Sektoral (PDS) adalah pembangunan yang dibiayai dan dilaksanakan oleh instansi vertical dengan mengikutsertakan
masyarakat
secara
terbatas.
Sedangkan
Pembangunan
Berswadaya (PDB) adalah pembangunan yang dilaksanakan berdasarkan swadaya masyarakat dan pemerintah desa melalui BPD. Pembangunan
yang
digerakkan
oleh
swadaya
masyarakat
atau
pembangunan dari bawah merupakandasar terwujudnya pembangunan yang berwaasan masa depan dan berkelanjutan. Untuk itu, pembangunan desa bermakna sebagai ihtiar masyarakat desa untuk menciptakan kemandirian desa. Dari pokok-pokok pikiran yang dikemukakan di atas, maka kerangka analisis pelaksanaan kebijakan pembangunan desa dan hubungannya dengan
35
kesejahteraan masyarakat menggunakan model Grindle yang telah dimodifikasi seperlunya.
2.2.3.2. Strategi Pembangunan Wilayah Pedesaan Tuntutan akan pembangunan yang membawa ke situasi lebih baik merupakan konsekwensi logis dari dinamika kehidupan masyarakat yang selalu ditandai adanya perubahan. Terminologi perubahan sosial merefleksikan adanya proses transformasi atau perubahan struktur sosial yang meliputi institusi tertentu termasuk juga hubungan diantara institusi tersebut (Bottomore, 2002).
Konsep pembangunan merupakan suatu dinamika yang berproses, dan bukan merupakan suatu kondisi yang statis (Misra dan Honjo, 2001), pemahaman ini menggiring kita pada pemikiran adanya gerak dinamik yang mencakup perubahan penting dalam struktur sosial, sikap rakyat dan lembaga nasional, serta akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan
kesenjangan (inequality),
pemberantasan kemiskinan absolut atau absolute poverty (Todaro, 2003). Dalam konteks sosio-ekonomi, pembanguunan harus berusaha meminimalkan disparitas income dan mekmaksimalkan distribusi
pendapatan baik antar wilayah
(horizontal distribution) maupun antar strata sosial (vertical distribution). Pembangunan merupakan suatu konsep yang memuat multi maknawi dan berdimensi kompleks, meskipun hanya sebuah kata, namun kandungan arti yang dibawanya memuat substansi yang sangat mendalam, syarat dengan interpretasi optimistik dan pesimistik. Hal ini akan semakin mudah dimengerti munculnya asumsi bahwa konsep pembangunan mudah dikatakan, namun sukar untuk membuat benang merah tentang batasan pendefinisiannya. Namun pembangunan
36
setidak-tidaknya memuat dimensi moral bahwa
telah terjadi suatu proses
transformasi nilai (materiil dan immateriil) di dalam
masyarakat menuju ke
bentuk yang lebih baik, yang oleh Roupp (2003) dinyatakan: "Development signifies changes from something through to be less desireable to be something through to be more desireable". Tambahan angkatan kerja sebagai akibat peledakan penduduk belum seluruhnya dapat terserap oleh sektor non pertanian sedangkan jumlah tenaga kerja yang masuk ke sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani semakin besar. Dengan keadaan tanah semakin sempit, menunjukkan bahwa beban pada sektor pertanian menjadi makin berat. Dalam kaitan inilah diperlukan kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang mampu menampung dan menarik keluar tambahan tenaga kerja dari sektor pertanian untuk pada akhirnya dapat memberikan tambahan pendapatan. Meningkatkan kemampuan keluarga miskin di pedesaan agar mereka mampu mensejahterakan dirinya merupakan bagian dari pembangunan ekonomi masyarakat. Melalui program pembangunan, sasaran pembinaan seharusnya ditujukan kepada keluarga dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan. Untuk itu penyebaran bantuan kepada masyarakat setidak-tidaknya disusun dari mereka yang termiskin (the poorest of the poor). Dua temuan penelitian di Jatinom Klaten menjelaskan : 1. Hanya sedikit dari kegiatan off-farm yang tumbuh memperoleh dukungan langsung dari pemerintah atau lembaga modern, mereka bekerja dengan modal dalam skala kecil dan pemilikan rumah tangga, 2. Meskipun off-farm merupakan pilihan bagi rumah tangga miskin semakin terbuka, namun pendapatan yang mereka peroleh sangat rendah (Effendi dan Manning, 2001)
37
Penelitian Prayitno dan Arsyad, 2007) tentang Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi Terhadap Pendapatan Petani Miskin menyatakan bahwa : Pendapatan petani miskin masih dapat ditingkatkan lagi, antara terkait, sehingga seluruh potensi sumberdaya yang dimiliki petani miskin dapat didayagunakan secara optimal dalam upaya meningkatkan pendapatan petani miskin tersebut. Dalam mengadakan penanganan terhadap kemiskinan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain : 1.
2.
3.
4.
Pasar bukanlah alat yang berhasil guna dan dapat diandalkan untuk menentukan penggunaan sumber bila pembagian pendapatan sangat pincang; Pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya merembes ke rakyat jelata, jika orang tidak mendapat kesempatan yang sama untuk menikmatinya; Perencanaan untuk mengatasi kemiskinan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok manusia dan bukan pada pemenuhan permintaan pasar; Tingkat hidup golongan miskin tidak dapat dinaikkan hanya dengan menaikkan daya belinya, melainkan dengan meningkatkan produktivitasnya. (Suyono, 2005)
Hal ini menunjukkan bahwa bantuan untuk meningkatkan penghidupan petani (masyarakat desa) agar mereka terangkat dari kemiskinannya lebih banyak diorientasikan pada pemberian pekerjaan (sebagai pekerja) agar mereka dapat memperoleh penghasilan yang layak, dan bukannya dengan menganjurkan mereka untuk mengelola suatu industri, karena dianggap belum memiliki kemampuan mengelola usaha. Untuk itu tindakan dalam rangka mengatasi kemiskinan, tidak lain adalah perubahan lembaga kemasyarakatan, yang dapat menjangkau bagian termiskin dalam masyarakat, perlu lebih disempurnakan, karena bagaimanapun juga kelembagaan merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan khususnya di pedesaan (Bandiklat, 2003.
38
Bila lembaga yang ada, bersifat kaku, tenaga kerja tidak mudah melakukan mobilitas, tingkat pendidikan berbeda, kesempatan memperoleh alat produksi tidak rata, pembagian pendapatan timpang, pertumbuhan ekonomi cenderung menguntungkan golongan atas, kecuali bila lembaga yang ada diadakan perubahan (Ul Haq, 2003), maka penyebaran ekonomi dirasakan oleh kelompok bawah. Menganalisis persoalan kemiskinan perlu dikaitkan dengan relative position in society, hal ini penting mengingat banyak arahan pembangunan yang mengalami bias sasaran, karena kurang memperhatikan siapa yang miskin dan siapa yang tidak, diantara yang miskin sendiri perlu dipilah siapa yang termasuk miskin absolut dan siapa miskin relatif. Sesungguhnya secara kasat mata sangatlah mudah untuk menemukan dimana keluarga miskin itu berada. Akan tetapi seringkali mereka tidak terditeksi sehingga mereka terabaikan dalam pengalokasian berbagai program bantuan, yang secara filosofi sebenarnya program itu dirancang untuk mereka. Banyak diantara mereka menjadi obyek pembicaraan dalam berbagai forum diskusi dan kemudian terlupakan ketika action plan mulai dilaksanakan. Mengangkat kemiskinan ke permukaan membutuhkan suatu sikap "keberpihakan" kepada mereka. Kita perlu masuk ke dalam dunia mereka, karena fakta tidak mampu berbicara, melainkan manusialah yang menginterpretasikan. Untuk itulah menyelami dunia kemiskinan mereka, ikut merasakan penderitaan mereka sangat membantu dalam mengatasi kemiskinan mereka. Kiranya pemikiran ini selaras dengan Korten (2008) bahwa kelayakan program ditentukan
39
tiga hal yaitu: program itu sendiri, kondisi penerima bantuan dan organisasi pelaksana program tersebut. Bila setiap program tidak memperhatikan ketiga unsur kelayakan tersebut, dimungkinkan terjadi kegagalan, seperti
penelitian Erler (2009) mengenai
bantuan asing di negara Bangladesh menunjukkan bahwa bantuan pembangunan hanya mendatangkan musibah bagi kelompok sasaran, sementara kelompok lain yang mengambil keuntungan. Oleh karena itu sampai pada kesimpulan bahwa bantuan pembangunan harus dihapuskan (Erler, 2009). Demikian juga yang dinyatakan oleh Michael Hirsh (dalam Soetrisno, 2005) bahwa investasi modal asing di suatu negara belum tentu menjamin terciptanya perbaikan taraf hidup rakyat yang membutuhkan pekerjaan. Ini menunjukkan bahwa tidak setiap bantuan itu mengena pada sasaran yang seharusnya. Daya kerja dari suatu program pembangunan adalah kesesuaian antara mereka yang dibantu, program yang diberikan, dan organisasi yang membantu. Dengan kata lain program (pembangunan) akan gagal dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat bila tidak ada keterkaitan antara kebutuhan kelompok sasaran. dengan hasil program yang akan dinikmatinya, persyaratan program dengan kemampuan yang dimiliki oleh organisasi pelaksana, kemampuan untuk mengungkapkan kebutuhan (kelompok sasaran) dengan pengambilan keputusan organisasi pelaksana. Untuk itulah maka dalam melaksanakan program (pembangunan) ide pembangunan hendaknya di dasarkan pada perencanaan partisipatif (Bargel, 2006), oleh karenanya proses perencanaan harus didasarkan pada :
40
1. The analyses of problems and situation produce a wealth of information, but its value for the project remains doubtful "data graeyard" are the result. 2. Inquiring about problems and problem priorities. 3. Inquiring into the target group's needs, preference, and hopes in relation to development.
Dalam melakukan strategi pembangunan, orientasi kerakyatan sangat diperlukan, dengan melakukan tindakan seperti : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pergi kepada rakyat, Hidup di antara rakyat, Belajar dari rakyat, Merencanakan dengan rakyat, Bekerja dengan rakyat, Memulai dengan apa yang diketahui rakyat, Membangun pada apa yang dimiliki rakyat, Mengajar dengan menunjukkan, Belajar dengan bekerja, Tidak pamer, Bekerja berdasarkan sistem, Tidak sepotong-sepotong tetapi terpadu, Tidak konform tetapi untuk transformasi (Korten, dalam Guy Gran, 2003).
Bila Korten (2008) telah menyarankan adanya strategi pembangunan yang berorientasi kerakyatan, ternyata strategi ini senada dengan strategi pembangunan partisipatif merupakan strategi pembangunan yang berorientasi pemerataan (Soetrisno, 2005). Dalam strategi ini pembangunan harus diartikan sebagai perubahan sosial yang utuh, bukan perubahan sosial parsial. Baik rakyat maupun pemerintah dituntut secara bersama-sama menciptakan sikap mental baru, dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan.
41
2.2.4. Pembangunan Masyarakat Pedesaan Unite
Nations
Center
for
Regional
Development
(UNCRD)
mengemukakan adanya tiga pengertian “pembangunan masyarakat” (UNCRD, 2005) : 1.
2.
3.
Pembangunan Masyarakat sebagai Pengadaan Pelayanan Masyarakat Interpretasi “pembangunan masyarakat” yang demikian ini merupakan kelengkapan dari strategi kebutuhan pokok. Pembangunan masyarakat, dalam hal ini identik dengan peningkatan pelayanan sosial dan pemberian fasilitas sosial, seperti fasilitas kesehatan, peningkatan gizi, fasilitas pendidikan, sanitasi dan sebagainya yang di dalam keseluruhannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan Masyarakat sebagai Upaya Terencana untuk Mencapai Tujuan Sosial yang Kompleks dan Bervariasi. Di dalam banyak negara, pembangunan masyarakat diartikan sebagai upaya untuk mencapai tujuan-tujuan social (social goals) yang lebih sublim dan sukar diukur, seperti keadilan, pemerataan, peningkatan budaya (cultural promotion), kedamaian pikiran (peace of mind), dan sebagainya. Pembangunan Sosial sebagai Upaya yang terencana untuk meningkatkan Kemampuan Manusia Untuk Berbuat. Pembangunan masyarakat di dalam artian di atas merupakan derivasi dari paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (peopleconterdet development). Anggapan dasar dari interpretasi pembangunan masyarakat yang demikian adalah bahwa manusia, dan bukan ekonomi atau teknologi, yang menjadi focus dan sumber pembangunan yang utama. Kehendak, komitmen dan kemampuan manusia sebagai anggota masyarakat merupakan sumber-sumber pembangunan yang strategis. Pembangunan masyarakat, dengan demikian, menyangkut suatu upaya yang terencana untuk meningkatkan kemampuan dan potensialitas anggota masyarakat danmemobilisasikan antusiasme untuk berpartisipasi secara aktif di dalam proses pengambilan keputusan yang meyangkut diri mereka.
Interpretasi pembangunan masyarakat yang demikian pada hakekatnya menuntut bentuk dari pembangunan yang sangat berbeda dengan ragam pembangunan
yang semata-mata mengacu
pada pertumbuhan
ekonomi.
Pembangunan nasional yang berakibat pada sustained development haruslah
42
mengintegrasikan pembangunan masyarakat sebagaimana diinterpretasikan disini. Karena melalui ragam pembangunan yang demikian akan tumbuh kemampuan masyarakat untuk membangun dengan kekuatan sendiri. Pandangan lain dikemukakan : Tangandurai Tangaraj dalam Ismani (2001) tentang pembangunan masyarakat adalah sebagai berikut : The term Community development has come in to international usage to cannote the process by which the effort of the people them selves are united with those government authoritas into the life or the life or the nation, and enable them to contribute fully to ntionl progress (Pembangunan masyarakat desa merupakan proses kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat bersama dengan pemerintah untuk meningkatkan kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik dibidang perekonomian dan kondisi social budaya. Dengan demikian timbulah keterpaduan masyarakat dalam kehidupan bangsa dan selanjutnya mampu menyumbangkan secara penuh terhadap kemajuan bangsanya)
2.3. Kerangka Pikir Penelitian Model kerangka pikir dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti dalam bagan berikut ini :
Kebijakan Pembangunan Wilayah Pedesaan
Pelaksanaan Pembangunan Desa
Faktor Penghambat dan Pendukung
Gambar 2.1 Model Kerangka Pikir Penelitian
Kesejahteraan Masyarakat Desa