BAB I I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan tidak saja memberikan kehidupan bagi masyarakat yang menempatinya tetapi juga masyarakat di perkotaan. Namun, demikian nilai filosofi hutan tersebut terus menerus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena pengelolaan hutan selama ini kurang memperhatikan arti hakekat yang terkandung pada filosofi hutan sehingga kelestarian lingkungan hidup menjadi terganggu. Pengelolaan hutan lebih mengejar profit yaitu mencari keuntungan ekonomi semata dan bahkan negara secara sentralistis mengeksploitir hutan sehingga fungsi sosial kepentingan umum terabaikan. Indonesia mempunyai hutan yang luas, akan tetapi keberadaan hutan sebagai paru-paru dunia akhir-akhir ini tidak dapat berfungsi seperti sediakala, dikarenakan pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Kondisi kehidupan bangsa Indonesia saat ini tidak beranjak maju. Berbagai persoalan yang selama ini mencuat banyak yang tidak terselesaikan, bahkan beberapa diantaranya bertambah parah, salah satunya adalah kondisi lingkungan hidup yang bertambah buruk. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang dilakukan tidak sesuai daya dukungnya dapat menimbulkan adanya krisis pangan, krisis air, krisis energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumber daya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Kerusakan ini merupakan indikasi betapa buruknya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup di Indonesia termasuk di bidang kehutanan. llegal logging di Indonesia dilakukan dalam berbagai bentuk dan taktik
sehingga sulit untuk di identifikasi atau dilacak. Perbedaan pandangan atau belum adanya kesamaan persepsi dalam pemahaman illegal loging menyebabkan beragamnya tafsiran terhadap besarnya dampak illegal logging. Sebagai akibat dari pengelolaan hutan dengan cara tersebut hutan di Indonesia mengalami degradasi yang sangat tajam. Luas hutan berkurang drastis, sedangkan hutan yang tersisa juga mengalami kerusakan yang cukup parah. Merebaknya konflik sosial sebagai akibat ketidakpastian status kawasan hutan, meningkatnya praktek penebangan liar, penyelundupan kayu, ketidakpastian hukum dan lemahnya stabilitas keamanan telah menjadikan sektor kehutanan sebagai sebuah yang kontradiktif. Disatu sisi, sektor kehutanan secara makro masih dijadikan sebagai salah satu andalan dalam upaya pemulihan ekonomi nasional melalui aktifitas ekspor, penyerapan tenaga kerja dan penyediaan peluang usaha masyarakat. Namun realitasnya iklim usaha disektor kehutanan saat ini justru tidak memungkinkan setiap pelaku bisnis mampu mewujudkan target-target sosial, ekonomi dan lingkungan berskala lokal, nasional maupun global. Pemerintah seharusnya segera mengambil sikap tentang hal ini, seperti contohnya melakukan reboisasi (penanaman kembali) hutan-hutan yang telah gundul. Pemerintah juga harus selalu melakukan sosialisasi di daerah-daerah mengenai betapa pentingnya hutan bagi kehidupan kita. Kesadaran juga sangat diperlukan dalam hal ini, karena tanpa kesadaran dari dalam diri kita, semua itu hanya akan menjadi angin lalu. Jadi kita sebagai ciptaan Tuhan harus selalu menjaga dan melestarikan sesuatu yang telah di ciptakannya. 1
1
2014
http://alannasanz.blogspot.com/2011/03/illegal-logging.html, diakses tanggal 24 Oktober
Mekanisme perizinan pengelolaan hutan dapat mempresentasikan praktek usaha pemanfaatan hasil usaha kayu secara keseluruhan dan menyeluruh, mekanisme perizinan yang profesional, transparan, dan tanggung gugat, minimal menghasilkan pemilik izin yang tangguh propisional, tangguh, serius dan berkomitmen terhadap pengelolaan areal
konsesinya, sehingga pemanfaatan hasil hutan kayu yang
profesional dapat di praktekkan, namun praktek perizinan yang diskriminatif sarat dengan praktek korupsi dan kolusi birokrasi, yang menghasilkan konglomerasi dan berdampak pada minimalisasi pemanfaatan hutan dalam jangka pendek. 2 Perijinan pengelolaan hutan merupakan sarana yuridis administrasi untuk mencegah dan menanggulangi (pengendalian) pencemaran lingkungan. Jenis dan prosedur perizinan lingkungan masih beraneka ragam, rumit dan sukar ditelusuri, sehingga menjadi hambatan bagi kegiatan dunia industri. Izin sebagai sarana hukum merupakan suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundangundangan. Pemegang ijin dilarang melakukan tindakan menyimpang dari ketentuanketentuan hukum administrasi negara tersebut. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan pemohon melakukan tindakan-tindakan spesifik yang sebenarnya dilarang. Dengan kata lain izin adalah suatu perkenaan dari suatu larangan. Melalui perizinan pengelolaan hutan, seorang warga negara diberikan suatu perkenaan untuk melakukan sesuatu aktivitas yang semestinya dilarang. Ini berarti, yang esensial dari perijinan penebangan hutan adalah larangan suatu tindakan, kecuali diperkenakan dengan izin. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan perizinan mutlak dicantumkan keluasan perkenaan yang dapat diteliti batas-batasnya bagi setiap kegiatan.
2
Greenomic Indonesia (ICW), Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Kayu Pada Hutan Alam Dan Hutan Tanaman, Desember 2004, kertas kerja 06. hal 1
Perbaikan tata kelola hutan merupakan pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia. Sebagai negara pemilik hutan tropis yang besar, deforestasi dan degradasi hutan juga merupakan ancaman besar dalam pengelolaan hutan. Dalam kerangka pengelolaan dan perlindungan lingkungan
hidup, izin merupakan instrumen
pengendali pemanfaatan sumber daya alam. Namun demikian, dalam kenyataannya, izin menjadi salah satu permasalahan dalam pengelolaan hutan di Indonesia. 3 Mekanisme perijinan pengelolaan hutan memiliki tumpuan prosedur hukum administrasi Negara dalam penerbitan izin pengelolaan hutan. Untuk izin pengelolaan hutan diberikan secara tertulis dalam bentuk penetapan organ pemerintahan. Karenanya dalam penerbitan izin pengelolaan hutan yang keliru atau tidak cermat serta tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan kepentingan lingkungan akan berakibat pada ketergantungan keseimbangan ekologis yang sulit direhabilitasi. Sumber daya hutan di kawasan hutan lindung, apabila dikonversi atau dialihfungsikan menjadi pertambangan, sangat sulit untuk dilakukan rehabilitasi. Walaupun telah dilakukan reklamasi terhadap bekas tambangan, tentu hal ini tidak akan mengembalikan fungsi hutan yang telah ada. Perizinan pengelolaan hutan, inilah yang kerap kali menjadi persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari masyarakat biasa sampai pejabat, berkutat dengan perizinan, karena perizinan berkaitan dengan kepentingan yang di ingikan oleh masyarkat untuk melakukan aktivitas tertentu dengan mendapat persetujuan atau legalitas dari pejabat negara sebagai alat administrasi didalam pemerintahan suatu negara. Sebagai suatu bentuk kebijakan tentunya izin tidak boleh bertentangan dengan
3
Feby Ivalerina Kartikasar, Maret Priyanta, Dewi Tresya dan Wulan Kusumawardhani, Perizinan Terpadu untuk Perbaikan Tata Kelola Hutan di Indonesia, Penerbit ICEL (Indonesian Center for Environmental Law), Jakarta, 2012, hal xi
peraturan perundang-undangan serta norma norma kehidupan yang ada dimasyarakat baik secara vertikal maupun horizontal. Sjahran Basah dalam SF. Marbun dkk mengemukakan bahwa administrasi negara adalah alat perlengkapan negara baik di tingkat pusat dan daerah yang menjalankan seluruh kegaiatan bernegara dalam menjalankan pemerintahan. Alat tersebut dapat berupa seorang petugas/pejabat maupun badan pemerintahan. Alat perlengkapan negara ini dilengkapi dengan wewenang untuk menjalankan fungsi pemerintahan dan mengambil kebijakan-kebijakan. Wewenang mengambil kebijakan tersebut bersumber dari undang-undang, peraturan pemerintah dan Peraturan daerah. 4 Dengan dasar tersebut maka keberadaan hutan adalah sebagai salah satu sumber ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika yang sangat penting dalam menunjang wilayah Provinsi Sumatera Utara, dengan dasar tersebut maka amatlah sangat penting untuk mengatur perihal ketertiban pelaksanaan pengelolaan hutan itu sendiri termasuk izin melakukan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kemudian dijabarkan lebih lanjut pada Peraturan Daerah No. 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan di Propinsi Sumatera Utara. Rencana pengelolaan hutan mengacu pada potensi dimiliki menurut izin kawasan kelola hutan yang diberikan, di dalamnya telah dikaji aspek kelestarian hutan berdasarkan prinsip pengelolaan hutan. Kondisi yang dilahirkan dari Peraturan Daerah tersebut adalah adanya kegiatan untuk melakukan pengelolaan hutan yang dimiliki Pemerintah Daerah diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Daerah atau Kabupaten. Menjadi pertanyaan dalam penelitian 4
SF Marbun & Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Yogyakarta, 2006, hal 81
sudah siapkah Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam hal penertiban dan pemberian izin dalam pengelolaan hutan secara bijak. Karena tanpa disadari bahwa otonomi daerah tersebut menemukan adanya kesan rnelahirkan raja-raja kecil di daerah. Dengan diserankan kepada daerah
perihal
pengelolaan daerah maka akan terbuka hal-hal yang menjadi sebab penyelewengan kekuasaan untuk menguntungkan orang secara pribadi maupun satu kelompok tertentu. Oleh sebab itu merasa tertarik membahas masalah kewenangan Pemerintah Daerah khususnya Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara dalam hal pengelolaan lingkungan hidup khususnya lagi dalam hal pemberian izin pengelolaan hutan, khususnya dalam menjalankan fungsi pemerintahan bagi keselamatan masyarakatnya. Praktik pengelolaan hutan khususnya di Provinsi Sumatera Utara dikaitkan dengan lemahnya penegakan hukum, dimana pihak penegak hukum hanya berurusan dengan masyarakat lokal atau pemilik alat transportasi kayu. Untuk para cukong kelas kakap yang beroperasi di dalam dan di luar daerah tebangan, masih sulit untuk menjerat mereka dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. sayangnya, kehidupan masyarakat provinsi Sumatera Utara sangat memprihatinkan. Untuk menyelamatkan dunia, tak ada pilihan lain, kecuali memulai untuk tidak merusak hutan dengan aktivitas penebangan komersial yang hanya meraup keuntungan sebesar-besarnya dan mengabaikan keseimbangan alam. Dan dalam hukum administrasi negara juga akan diberikan sanksi secara administratif kepada pihak-pihak yang melanggar aturan yang telah dibuat. Sedangkan administrasi negara itu sendiri sering dirumuskan sebagai gabungan jabatan-jabatan yang dibentuk dan disusun secara bertingkat (trapgewijs) yang diserahi tugas melakukan sebagian dari pekerjaan Pemerintah dalam arti luas
(Overheid), yang tidak diserahkan kepada badan-badan pembuat undang-undang dan badan-badan kehakiman. Dari uraian latar belakang tersebut diatas, penulis ingin lebih mengetahui dan mendalami permasalahan mengenai penebangan hutan tersebut, sehingga hal itu melatar belakangi penulisan skripsi yang diberi judul: “Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002.”
B. Perumusan Masalah Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah izin pengelolaan hutan? 2. Bagaimana pengaturan Izin Pengelolaan Hutan Berdasarkan Peraturan daerah No. 21 Tahun 2002? 3. Bagaimana upaya penegakan hukum administrasi negara terkait maraknya masalah penebangan hutan liar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Untuk mengetahui izin pengelolaan hutan di Propinsi Sumatera Utara. b. Untuk mengetahui pengaturan Izin pengelolaan hutan berdasarkan Peraturan daerah No. 21 Tahun 2002. c. Untuk mengetahui upaya penegakan hukum administrasi negara terkait maraknya penebangan hutan liar.
2. Manfaat penelitian 1. Secara Teoritis a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan. b. Memperkaya khasanah perpustakaan. 2. Secara Praktis a. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi terkait dalam memberikan penegakan hukum administrasi negara terhadap izin pengelolaan hutan. b. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat mengenai izin pengelolaan hutan pada Provinsi Sumatera Utara. D. Keaslian Penulisan Adapun judul skripsi ini adalah Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Pengelolaan Hutan Di Provinsi Sumatera Utara Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2002 merupakan judul skripsi yang belum pernah ditulis sebelumnya, sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan Salah satu bentuk kewenangan yang menjadi perhatian adalah kewenangan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin, yang lahir berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah daerah. Effendi mengemukakan bahwa tugas pemerintah dalam mengatur mempunyai makna pemerintah terlibat dalam penerbitan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan termasuk melahirkan sistem-sistem perizinan melalui instrumen pengaturan tersebut,
pemerintah mengendalikan masyarakat dalam bentuk peraturan termasuk izin yang mengadung larangan dan kewajiban. Dengan demikian, izin sebagai salah satu instrumen pemerintahan berfungsi mengendalikan tingkah laku masyarakat agar sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. 5 Dalam peristilahan kehutanan sebagaimana yang dikutip oleh Salim yang di maksud dengan penebangan hutan adalah suatu aktivitas atau kegiatan penebangan kayu di dalam kawasan hutan yang di lakukan oleh seorangatau sekelompok ataupun atas nama perusahaan berdasarkan izin yang di keluarkan oleh pemerintah atau instansi yang berwenang (kehutanan) sesuai dengan prosedur tata cara penebangan yang di atur dalam peraturan perundang-undangan kehutanan. Pengertian di atas mengandung maksud bahwa logging atau penebangan dapat dibenarkan sepanjang mempunyai izin, mengikuti prosedur penebangan yang benar berdasarkan aspek kelestarian lingkungan dan mengikuti prosedur pemanfaatan dan peredaran hasil hutan berdasarkan ketentuan yang berlaku. 6 Perijinan lingkungan digunakan oleh penguasa sebagai suatu instrumen untuk mempengaruhi dalam hubungan antara warga negara dan penguasa, dengan harapan warga negara mau dan mampu mengikuti cara yang dianjurkan guna mencapai tujuan kongkrit yang telah ditetapkan. Sedang perizinan organ pemerintah telah menciptakan hak-hak (izin) dan kewajiban-kewajiban (melalui ketentuan-ketentuan) tertentu bagi yang berhak. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan syarat-syarat yang menjadi dasar bagi badan pemerintah untuk memberi izin. Realitasnya, dalam banyak hal izin dikaitkan dengan syarat-syarat
5
Effendy. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003, hal
6
Salim, H. S. Dasar-dasar Hukum Kehutanan. Jakarta : Sinar Grafika, 2003, hal 28
62
yang berhubungan erat dengan fungsi perizinan sebagai salah satu instrumen pengarah (pengendali) dari penguasa. Penebangan tanpa izin termaksud kejahatan ekonomi dan lingkungan karena menimbulkan kerugian material bagi negara serta kerusakan lingkungan atau ekosistem hutan dan dapat di kenakan sanksi pidana dengan ancaman kurungan paling lama sepuluh sampai lima belas tahun dan denda paling banyak Rp. 5-10 milyar (Undang-Undang N0. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 78). Ridwan
menyebutkan
Izin
(vergunning)
juga
dijelaskan
sebagai
perkenan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki. 7 Pudyatmoko mengemukakan bahwa Izin merupakan suatu keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat peraturan. Selain itu, izin (vergrunning) merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-undang yang bersangkutan berbunyi : “Dilarang tanpa izin…(melakukan)… dan seterusnya”. 8 Dengan memberi izin, pemerintah memberikan perkenan kepada orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Izin dalam arti sempit adalah izin yang pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau menghalangi keadaan-keadaan yang buruk; pembebasan/dispensasi adalah pengecualian atas larangan sebagai aturan umum, yang berhubungan erat dengan
7 8
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Penerbit Rajawali Pres, 2006, hal 47 Sri Y. Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Jogyakarta: Penerbit Andi, 2009, hal 7
keadaan-keadaan khusus peristiwa; konsesi adalah izin yang berkaitan dengan usaha yang diperuntukkan untuk kepentingan umum. 9 Bruggink
menyebutkan
bahwa
izin
(toestemming/permisi)
adalah
pembolehan khusus terhadap sesuatu yang secara umum dilarang. 10 Sedangkan
Ridwan
mengemukakan
bahwa
izin
adalah
perbuatan
pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dapat disimpulkan bahwa dalam izin terdapat beberapa unsur yaitu Instrumen yuridis, peraturan perundang-undangan, organ pemerintahan peristiwa konkrit, serta prosedur dan persyaratan tertentu. 11 Riawan mengemukakan bahwa formalitas usaha dalam bentuk izin adalah sebuah bentuk pengakuan negara terhadap keabsahan suatu kegiatan yang dilakukan oleh warga negaranya. Dengan demikian pengakuan ini berarti kegiatan usaha tersebut dianggap sah menurut peraturan atau hukum (positif) yang berlaku di negara yang bersangkutan. Dengan adanya pengakuan secara formal tersebut, maka negara wajib memberikan perlindungan, pengawasan dan pembinaan terhadap suatu kegiatan usaha. 12 Hutan merupakan kumpulan pohon-pohon dan hewan yang berada dalam suatu kawasan yang saling berinteraksi, mereka hidup di atas tanah yang hidup dalam keseimbangan. Hutan ini akan tetap lestari bila kita mau melestarikannya. Namun, apabila tidak dilestarikan maka akan timbul kepunahan terhadap ekosistem hutan tersebut. Kepunahan atau kerusakan hutan ini salah satunya bisa disebabkan
9
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya: Penerbit Yudika, 1993, hal 2-3 Bruggink, J.J.H. Refleksi Tentang Hukum Administrasi Negara, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal 101 11 Op.Cit, Ridwan HR, hal 155 12 W. Riawan Tjandra, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2008, hal 64 10
oleh penebangan dan kebakaran hutan secara liar, dan oleh sebab itu Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat. selain dari pada itu adanya penambah penyebab deforestasi hutan semakin kompleks. 13 Dampak-dampak dari pengelolaan hutan-hutan ini jauh lebih besar daripada batasan-batasan yang diberikan dalam pemberian hak pengusahaan hutan. Pengelolaan hutan di Indonesia yang tak terkendali, dimana orang melakukan penebangan kayu secara manual. Pengelolaan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970 dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya ijin-ijin pengusahaan hutan tanaman industri, yang melakukan tebang habis (land clearing). Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan pengelolaan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan. 14
F. Metode Penelitian Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah
pengetahuan
maka
diperlukan
metode
penelitian.
Karena
dengan
menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian maka penulis menggunakan metode penelitian yakni :
13
http://dek-dilla.blogspot.com/2012/02/makalah-penebangan-hutan.html, diakses tanggal 24 Oktober 2014 14 http://fanniyajjdech.blogspot.com/2010/12/penebangan-hutan.html, diakses tanggal 24 Oktober 2014
1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif. 15 2. Sumber Data Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, oleh karena itu maka upaya untuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan data baik yang bersifat bahan hukum primer, sekunder maupun tersier seperti doktrin-doktrin dan perundang-undangan atau kaedah hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar, majalah, dan internet. 16 15
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hal 163 16 Ibid, hal 51-52
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung atau melengkapi data primer dan data sekunder, seperti: kamus, kamus hukum, jurnal, makalah, dan lain sebagainya. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara : penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam hal ini mengumpulkan penelitian atas sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis berupa buku-buku karangan para sarjana dan ahli hukum yang bersifat teoritis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. 4. Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif berupa data-data yang akan diteliti. G. Sistematika Penulisan Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa subsub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :
BAB I
:
PENDAHULUAN Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II :
TINJAUAN UMUM TENTANG IZIN PENGELOLAAN HUTAN Bab ini berisikan tentang Izin Pengelolaan Hutan, Fungsi Pengelolaan Hutan, Permasalahan Pengelolaan Hutan Indonesia, KetentuanKetentuan Mengenai Masalah Perizinan Pengelolaan Hutan dan Kaitan Antara Izin Pengelolaan Hutan dengan Hukum Administrasi Negara.
BAB III
:
PELAKSANAAN PENGURUSAN IZIN PENGELOLAAN HUTAN BERDASARKAN PERDA NO. 21 TAHUN 2002 Bab ini berisikan tentang Latar Belakang Lahirnya Perda No.21 Tahun 2002, Syarat dan Prosedur Pengelolaan Hutan, Fungsi Pengelolaan Hutan wilayah Sumatera Utara dan Pihak-Pihak yang Berwenang Mengeluarkan Izin pengelolaan hutan.
BAB IV
:
UPAYA PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERKAIT MARAKNYA PENEBANGAN HUTAN LIAR Bab ini berisi tentang Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara, Kondisi hutan di Sumatera Utara, Penegakan hukum administrasi negara kaitannya dengan Pengelolaan Hutan, Sanksi Administratif Terhadap Penyalahgunaan Izin Pengelolaan Hutan berdasarkan Perda No. 21 tahun 2002.
BAB V
:
KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.