BAB I
A. Latar Belakang Studi ini akan mencoba untuk mengulas bentuk strategi yang dilakukan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL dalam upayanya untuk melawan wacana yang direproduksi oleh Jaringan Islam Liberal (atau yang lebih dikenal sebagai JIL). Sebagaimana diketahui, JIL adalah sebuah kelompok yang menggagas proyek liberalisasi Islam di Indonesia. Sedangkan Indonesia Tanpa JIL, adalah sebuah gerakan yang hadir sebagai front perlawanan terhadap keberadaan JIL tersebut. Gerakan Indonesia Tanpa JIL ini tergolong sebuah gerakan yang cukup unik, dimana sebagai sebuah gerakan sosial, Indonesia Tanpa JIL lahir karena proses mobilisasi yang terjadi di dunia maya. Bila dirunut kebelakang, sebenarnya bentuk pergulatan pemikiran antara kelompok yang menyerukan liberalisasi Islam dengan kelompok yang menolaknya telah muncul sejak awal masa Orde Baru. Saat itu, muncul wacana baru yang diusung oleh para aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seperti Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib dan Johan Effendi. Wacana yang diusung adalah “Pembaruan Pemikiran Islam”. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok pembaru (baca : Islam liberal). Dimana sebagai landasan teologis dan ideologisnya, kelompok pembaru mengusulkan adanya interpretasi baru terhadap ajaran Islam yang lebih
1
mengedepankan “substansi” , bukan “formalisme”. Pemikiran kelompok pembaru ini kemudian lebih dapat menerima pemikiran – pemikiran barat tentang Islam. Dipihak lain, terdapat kelompok yang menolak wacana yang digulirkan oleh kelompok pembaru tersebut. Kelompok ini cenderung berhati – hati terhadap pemikiran barat dan lebih senang untuk mengambil pemikiran – pemikiran aktivis dan pemikir Islam dari Timur Tengah seperti Hassan Al-Bana, Sayyid Quthb dan Abul A`la AlMaududi.1 Sepanjang masa Orde Baru, perdebatan – perdebatan antara kedua kelompok ini telah mewarnai wacana Islam di Indonesia. Polarisasi ini juga telah membuat belahan baru dalam tubuh umat Islam. Bila masa sebelumnya polarisasi terbelah antara kelompok “tradisionalis” dengan kelompok “modernis”, maka pada masa Orde Baru batas – batas keduanya mulai kabur. Polarisasi beralih pada kelompok “dakwah” dan “pembaruan” yang sama – sama bergerak di kampus – kampus. Dengan latar belakang kedua kelompok ini yang berasal dari kampus, maka bila dilihat dari sisi wacana, pergulatan pemikiran antara dua kelompok ini cukup berbobot karena menggunakan lajur –
lajur intelektual. Misalnya, ketika dua
kelompok ini bergelut memperebutkan hegemoni di kampus Islam IAIN (Institut Agama Islam Negeri). Harun Nasution dari kalangan pembaru melahirkan buku Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya dan Teologi Islam. Buku ini kemudian menjadi 1
Untuk melihat pembahasan yang lebih mendalam mengenai polarisasi yang terjadi di masa Orde Baru antara kelompok Pembaru dengan kelompok penentangnya ini dapat disimak dalam Lajur – Lajur Pemikiran Islam : Kilasan Pergulatan Intelektual Islam di Indoneisa. (Tian Anwar Bachtiar : 2011)
2
bahan kuliah utama di IAIN. Kemud ian dari kalangan yang bersebrangan, merespon dengan menggantikan buku ajar utama di IAIN tersebut dengan buku Islam untuk Disiplin Ilmu yang ditulis dalam berbagai jilid pada masa Departemen Agama dipimpin oleh Menteri Alamsyah Ratuprawiranegara, sekalipun buku tersebut akhirnya juga dihapus kembali pada era Menteri Agama Munawir Sadzali. Selepas masa Orde Baru, pergulatan antara dua kelompok tersebut muncul kembali secara lebih tajam. Arena pertarungan intelektual tidak lagi dipasung antara kelompok pembaru dengan kelompok yang menolaknya. Dimana kedua kelompok ini kemudian muncul kembali dengan tetap mengusung perbenturan pemikiran lama namun dengan wajah dan aktor baru. Bila kelompok yang dahulu dinamakan sebagai kelompok “pembaruan Islam”, semenjak reformasi 1998 semakin terang benderang dukungannya kepada pemikiran – pemikiran orientalis dan liberalisme barat dengan mendeklarasikan berdirinya Jaringan Islam Liberal (JIL) pada 2001. LSM ini mengaku sebagai penerus gagasan – gagasan Nurcholis Madjid dan kawan – kawan dimasa lalu. Maka kelompok yang menolak gagasan Islam liberal ternyata belum mampu untuk mengaktualisasikan bentuk perlawanan mereka dalam sebuah wadah tertentu, sehingga kemudian bentuk pergulatan yang dilakukan terhadap kelompok Islam libera l terkesan terpisah dan sendiri – sendiri. Memang ada yang tampil elegan melalui sebuah lembaga kajian bernama Institute for The Islamic Thought and Civilization (INSISTI) dengan mengkritik Islam liberal melalui buku dan jurnal.
3
Namun yang terlihat di permukaan, justru adalah perlawanan yang terkesan non intelektual terhadap kelompok Islam liberal. Seperti ketika Forum Ulamat Umat Indonesia (FUUI) memberikan vonis mati terhadap tokoh JIL, Ulil Abshar Abdala. Bahkan kemudian, tokoh yang sama tersebut juga sempat dikirimi sebuah bom buku yang ditujukan kepada dia dan lembaganya. 2 Dapat dikatakan, masa awal millennium ini memang merupakan masa yang “meledak – ledak” dalam konteks pergulatan yang terjadi antara JIL dengan kelompok yang tidak bersepakat dengannya. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena pada pasca runtuhnya Orde Baru, keran kebebasan memang telah begitu dibuka. Namun demikian, menjelang akhir 2008, hiruk – pikuk pergulatan tadi cenderung lebih mereda. Bentuk – bentuk perlawanan dari oraganisasi seperti FUUI dan FPI masih muncul, namun tidak lagi semasif seperti ketika awal berdirinya JIL. JIL sendiri juga tampil dengan lebih mengerem “tindak – tanduk” mereka. “Tahap awal yang menggebrak, kami kira sudah cukup,” ucap Nong Darol Mahmada (wakil koord inator JIL) saat itu.
3
Menjelang tahun 2011, sejurus dengan kemajuan teknologi informasi dimana keberadaan media sosial begitu menjamur dan digandrungi, proses pergulatan antara kelompok Islam liberal dengan kelompok yang menentangnya juga mengalami 2
Ulil Abshar Abdala sebagai seorang tokoh JIL sempat mendapatkan vonis mati dari FUUI (http://arsip.gatra.com//2003-12-01/versi_cetak.php?id=32243) dan dikirimi bom buku (http://www.arrahmah.com/read/2011/03/15/11355-paket-bom-dikirim-untuk-tokoh-jil-ternamaulil-abshar-abdalla.html ) 3 Dikutip dari situs Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) : http://fuui.wordpress.com
4
pergeseran. Orang – orang begitu ramai memanfaatkan media sosial Twitter sebagai arena untuk berkomunikasi kepada sesamanya. Pun begitu dengan yang dilakukan oleh JIL dengan kelompok penentangnya yang diwakili oleh para pemuda 4. Di Twitter, pergulatan yang terjadi adalah perang wacana antara kedua kelompok tadi. Adu argumentasi melalui tweet saling dilontarkan, atau dalam istilah di Twitter lebih dikenal dengan “Tweet War”. Cukup lama berlangsung, para pemuda yang awalnya melakukan Tweet War secara sendiri – sendiri, kemudian mencetuskan sebuah gerakan bernama Indonesia Tanpa JIL di Twitter. Dimana gerakan tersebut bertujuan untuk menangkis wacana yang digulirkan oleh JIL di arena dunia maya. Dalam perjalanannya, Indonesia Tanpa JIL yang awalnya hanya merupakan gerakan perlawanan terhadap wacana Islam liberal di Twitter, kemudian bertransformasi menjadi sebuah gerakan sosial yang secara langsung berhadapan dengan masyarakat. Karena bagi Indonesia Tanpa JIL, gerakan mereka di Twitter hanya merupakan momentum kelahirannya saja, karena bagaimanapun juga, JIL selain menyebarkan wacananya melalui Twitter, juga secara langsung kepada masyarakat. Gerakan Indonesia Tanpa JIL yang dimotori oleh kalangan pemuda ini berangkat dengan pandangan bahwa gerakan counter JIL harus digalakkan dengan cara – cara yang intelektual, tidak lagi melalui intimidasi seperti yang terjadi pada 4
Bagaimanapun juga, pemuda memang merupakan kalangan yang begitu merespon kemajuan teknologi informasi. Selain itu, pemanfaatan media sosial bagi pemuda juga dianggap sebagai salah satu simbol eksistensi bagi diri mereka.
5
masa sebelumnya. Mereka beranggapan bahwa sudah tidak zaman untuk melakukan cara – cara “non – intelek”. Saat ini, gerakan perlawanan perlu dilakukan dengan cara ‘cantik’, mengikuti cara yang dilakukan oleh JIL. Karena bagi mereka, JIL merupakan sebuah gerakan intelektual, sehingga juga harus dilawanan dengan cara yang intelektual. Kajian yang membahas mengenai kontestasi yang terjadi antara kelompok Islam liberal dengan kelompok anti Islam liberal sebenarnya telah cukup banyak ditemui. Greg Barton misalnya, dia menulis dalam disertasinya yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Gagasan Islam Liberal di Indonesia ” (1999). Kemudian juga ada Adian Husaini, yang kerap menelurkan tulisan – tulisan terkait liberalisasi Islam di Indonesia seperti “Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya (2001).” Namun demikian, kajian – kajian yang ditemui sebagian besar masih berkutat dalam kontestasi Islam liberal vs anti Islam liberal secara konseptual. Belum ada yang mengangkat kontestasi tersebut bila ditinjau dari prespektif strategi gerakan yang dilakukan oleh pihak – pihak yang berkontestasi. Penulis beranggapan, bahwa penelitian tentang strategi gerakan yang dilakukan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL dalam melawan wacana yang digulirkan oleh JIL ini begitu penting untuk dilakukan karena akan membuka khazanah baru terkait pengungkapan kontestasi yang terjadi menggunakan kacamata strategi gerakan karena tergolong masih jarang dilakukan oleh peneliti lain.
6
Disini, peneliti berusaha menghindari melihat kontestasi antara Islam liberal vs anti Islam liberal pada mana yang benar dan mana yang salah. Kajian mengenai pergulatan wacana antara keduanya hanya sebatas konteks. Sedangkan pemilihan gerakan Indonesia Tanpa JIL sebagai subyek penelitian sendiri murni semata – mata karena tantangan secara akademis. Dimana peneliti tertarik untuk melihat bagaimana sebuah gerakan yang dimotori oleh para pemuda ‘dapat’ melawan JIL yang notabene personilnya merupakan tokoh – tokoh yang matang secara pengalaman. Penelitian yang dilakukan terhadap gerakan Indonesia Tanpa JIL ini sendiri juga begitu menarik, mengingat keberadaan gerakan ini tergolong masih berusia muda, namun telah memiliki jaringan yang telah tersebar diberbagai daerah di Indonesia dan juga simpatisan gerakan yang cukup solid. Dimana pola pergerakan yang diusung juga tergolong ‘berbeda’ dari gerakan – gerakan perlawanan terhadap JIL yang muncul sebelumnya. Adapun fokus penelitian adalah pada gerakan Indonesia Tanpa JIL Jogja ( Indonesia Tanpa JIL chapter Jogja), yakni dengan alasan, bahwa gerakan Indonesia Tanpa JIL Jogja merupakan salah satu chapter penting gerakan Indonesia Tanpa JIL karena begitu aktif melaksanakan kegiatan dalam rangka perlawanan terhadap JIL, sehingga diharapkan gerakan Indonesia Tanpa JIL Jogja dapat merepresentasikan gerakan Indonesia Tanpa JIL secara umum. Selain itu, bahwasannya Kota Yogyakarta merupakan kota yang telah menjadi muara pergulatan wacana Islam liberal sejak pertama kali wacana tersebut masuk ke
7
Indonesia. Sehingga tentunya menjadikan tema ini menjadi semakin menarik untuk dikaji. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut : •
Bagaimana strategi gerakan Indonesia Tanpa JIL dalam melawan Jaringan Islam Liberal (JIL) di Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : •
Penelitian ini bertujuan untuk mengelaborasi faktor –
faktor yang
mempengaruhi kemunculan gerakan Indonesia Tanpa JIL. •
Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi strategi yang digunakan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL dalam menolak wacana yang direproduksi oleh JIL
8
D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini antara lain adalah : •
Memberikan informasi dan eksplanasi akademis terkait dengan latar belakang dan faktor – faktor yang mempengaruhi kemunculan gerakan Indonesia Tanpa JIL
•
Memberikan eksplanasi teoritis dan praktis tentang strategi yang digunakan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL dalam menolak wacana yang direproduksi oleh JIL
E. Kerangka Teori E.1 Pengertian Gerakan Sosial Secara umum, gerakan sosal memiliki definisi yang luas karena beragamnya ruang lingkup yang dimilikinya. Giddens menyatakan bahwa gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama, atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga – lembaga yang mapan. 5 Definisi yang hampir serupa diutarakan oleh Sidney Tarrow, 6 dimana gerakan sosial dimaknai sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa yang bergabung dengan para kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas 5
Dalam Suharko. 2006. Gerakan Baru di Indonesia : Repretoar Gerakan Petani. Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, volume 10, no 1 : Yogyakarta. Hal : 3 6 Tarrow, Sidney. 1998. Power in Movement, Social Movement and Contentius Politics. Cambridge University Press : Cambridge. Hal : 4
9
dan pihak – pihak lawan lainnya. Ketika perlawanan ini didukung oleh jaringan sosial yang kuat dan digaungkan oleh resonansi cultural dan simbol – simbol aksi, maka politik perlawanan mengarah ke interaksi yang berkelanjutan dengan pihak – pihak lawan, dan kemudian hasilnya adalah gerakan sosial. Menurut Tarrow, tindakan yang mendasari politik perlawanan tersebut adalah aksi kolektif yang melawan (contentious collective action). Tindakan kolektif bisa mengambil banyak bentuk, yang singkat maupun yang berkelanjutan, terlembagakan atau cepat bubar, membosankan atau dramatis. Umumnya, tindakan kolektif berlangsung dalam institusi ketika orang – orang yang tergabung di dalamnya bertindak untuk mencapai tujuan bersama. Aksi kolektif memiliki nuansa penentangan ketika aksi itu dilakukan oleh orang – orang yang kurang memiliki akses ke institusi – institusi untuk mengajukan klaim baru atau klaim yang tidak dapat diterima oleh pemegang otoritas atau pihak – pihak yang ditentang lainnya. Aksi kolektif yang melawan seringkali merupakan satu – satunya sumberdaya yang dimiliki oleh orang – orang awam dalam menentang pihak – pihak yang lebih kuat seperti Negara. Dari dua definisi diatas, dapat digariskan bahwa gerakan sosial merupakan gerakan kolektif yang bersifat menentang untuk mencapai tujuan kolektif pula. Gerakan sosial bisa memiliki partisipan yang sangat sedikit hingga ribuan orang, bahkan jutaan orang. Gerakan sosial bisa pula beroperasi dalam batas – batas legalitas
10
suatu masyarakat, namun bisa juga bergerak secara illegal atau kelompok ‘bawah tanah’ (underground groups). Lebih jauh, gerakan sosial perlu dibedakan dengan sejumlah pengorganisasian sosial berikut. Pertama, meskipun berbeda, gerakan sosial dan organisasi formal kadang – kadang memiliki batasan yang kabur, karena gerakan sosial yang berubah menjadi mapan biasanya memiliki karakteristik birokratis. Karena itu, gerakan sosial secara gradual bisa berubah menjadi organisasi formal, sementara itu, sangat jarang suatu organisasi formal berubah menjadi sebuah gerakan sosial. Kedua, meski tidak terlalu mudah, gerakan sosial juga perlu dibedakan dengan kelompok – kelompok kepentingan (interest groups), yakni suatu asosiasi yang dibentuk untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan dalam cara yang menguntungkan para anggota – anggotanya. Asosiasi pengusaha tekstil adalah jelas – jelas kelompok kepentingan yang biasanya mempengaruhi para pembuat kebijakan sehingga kebijakan yang disusun lebih menguntungkan usahanya. Namun organisasi perempuan yang terlibat dalam kampanye kesetaraan gender, yang seringkali juga terlibat dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, agak susah untuk dibedakan : apakah ia merupakan kelompok kepentingan atau merupakan bagian dari suatu gerakan sosial. Karena itu tidak ada batas yang benar – benar tegas antara kelompok kepentingan dan gerakan sosial. 7
7
Suharko. Op.Cit. 5
11
Menurut Jary & Jary, tidak seperti organisasi formal seperti partai politik atau kelompok – kelompok kepentingan atau penekan yang lebih terorganisasi, gerakan sosial mungkin hanya diorganisasikan secara informal, meski ia memiliki kaitan dengan partai politik dan juga kelompok – kelompok yang terlembagakan, dan bahkan suatu gerakan sosial bisa mengarah ke pembentukan partai politik. Bagi Tarrow, konsep gerakan sosial harus memiliki empat propert dasar :
8
1. Tantangan Kolektif (collective challenge) Yang membedakan gerakan sosial dengan tindakan - tindakan kolektif lain, seperti memberikan suara (voting), permainan sepakbola, dan lain – lain adalah bahwa gerakan sosial selalu ditandai dengan tantangan – tantangan untuk melawan melalui aksi langsung yang mengganggu terhadap para elit, pemegang otoritas, kelompok – kelompok lain, atau aturan – aturan kultural tertentu. Tantangan kolektif sering kali ditandai oleh tindakan mengganggu, menghalangi atau membuat ketidakpastian terhadap aktivitas – aktivitas pihak lain. Dalam sistem yang represif , tantangan kolektif disimbolisasikan lewat slogan, corak pakaian dan music, atau penamaan baru objek – objek yang familiar dengan simbol yang berbeda atau baru. Bahkan dinegara – Negara demokrasi liberal, orang – orang yang mengidentifikasikan diri dengan suatu gerakan mempertontonkannya melalui
8
Tarrow. Op.Cit. 4 – 7
12
kata – kata , corak pakaian, dan prilaku pribadi yang mencirikan tujuan kolektif mereka. Tantangan kolektif merupakan karakteristik paling umum dari gerakan sosial. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa gerakan sosial biasanya kurang memiliki sumberdaya yang stabil (dana, organisasi, akses terhadap Negara). Dalam menghampiri konstituen baru dan menegaskan klaim – klaim mereka, penentang (contention) mungkin hanya satu – satunya sumberdaya gerakan yang bisa dikuasai. Karena 2. Tujuan Bersama (common purpose) Ada banyak alasan bisa dikemukakan tentang mengapa orang bergabung dalam suatu gerakan sosial, dari sekedar keinginan nakal, mencemooh otoritas hingga insting gerombolan yang tidak jelas tujuannya. Namun, jika ada alasan yang paling jelas mengapa orang terikat bersama dalam adalah untuk menyusun klaim bersama menentang pihak lawan, pemegang otoritas, atau para elit. Tidak semua konflik semacam itu muncul dari kepentingan kelas, tetapi nilai dan kepentingan bersama dan tumpang tindih merupakan basis dari tindakan – tindakan bersama. 3. Solidaritas dan identitas kolektif Sesuatu yang menggerakkan secara bersama – sama (common de nominator) dari geraka n sosial adalah pertimbangan partisipan tentang kepentingan bersama yang kemudian mengentarai perubahan dari sekedar potensi gerakan menjadi aksi nyata.
13
Dengan cara menggerakkan consensus, perancang gerakan memainkan peran penting dalam merangsang munculnya konsensus semacam itu. Namun, para pemimpin hanya dapat menciptakan suatu gerakan sosial ketika mereka menggali lebih dalam perasaan – perasaan solidaritas atau identitas, yang biasanya bersumber nasionalisme, etnisitas atau keyakinan agama. 4. Memelihara politik perlawanan Hanya dengan cara memelihara aksi kolektif melawan pihak musuh, suatu episode perlawanan bisa menjadi sebuah gerakan sosial. Tujuan kolektif, identitas bersama, dan tantangan yang dapat diidentifikasi membantu gerakan untuk memelihara politik perlawanan ini. Sebaliknya, jika mereka tidak mampu memelihara tantangan bersama, maka gerakan mereka akan menguap menjadi semacam kebencian atau kemarahan individual, atau berubah menjadi sekte religious, atau mungkin menarik diri de dalam isolasi. Karena itu, memelihara aksi kolektif dalam interaksi dengan pihak lawan yang kuat menandai titik pergeseran dimana suatu penentang (contention) berubah menjadi suatu gerakan sosial. Sedangkan menurut Ritzer, untuk lebih membedakan antara gerakan sosial dengan yang lainnya, terdapat karakteristik yang dimiliki oleh gerakan sosial, yaitu :
9
1. Suatu gerakan sosial melibatkan sebagian besar individu yang berusaha memprotes suatu kegadaan agar dapat dikategorikan gerakan sosial, maka 9
Dikutip dari Haryanto, MA. 1989. Analisis Tahap – Tahap Gerakan Mahasiswa Indonesia 1974 dan 1978. Laporan Penelitian, Fisipol UGM : Yogyakarta. hal : 8
14
usaha sejumlah individu harus memiliki prasarat-prasarat dasar atau suatu organisasi 2. Suatu gerakan sosial harus memiliki scope yang relative luas. Gerakan tersebut mungkin berawal dari scope yang kecil tetapi akhirnya harus mampu mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat 3. Gerakan sosial tadi dapat menggunakan berbagai teknik untuk mencapai tujuanya, teknik-teknik tersebut bervariasi dari yang sifatnya tidak menggunakan kekerasan sampai dengan yang menggunakan kekerasan 4. Meskipun dalam gerakan sosial didukung oleh individu- individu tertentu, namun tujuan akhir dari gerakan sosial tersebut adalah merubah kondisi yang ada pada suatu masyarakat 5. Gerakan sosial tersebut meruapakn usaha yang secara sadar dilakukan untuk mengadakan perubahan sosial dan lagi mereka yang terlibat didalamnya mungkin tidak menyadari segala tindakannya, tetapi mereka tetap mengetahui tujuan utama dari gerakan tadi. E.2 Faktor – Faktor Pembentukan Gerakan Sosial Data sejarah menunjukkan adanya akumulasi yang terus bertambah tentang berbagai kisah perlawanan politik dan gerakan – gerakan penentangan terhadap pemegang kekuasaan yang dianggap otoriter dan represif di seluruh penjuru dunia ini. Para ahli ilmu sosial umumnya menempatkan fenomena Revolusi Perancis pada abad ke 18 sebagai awal dari munculnya gerakan sosial di dunia. Sepanjang abad ke 19,
15
kisah gerakan sosial diperkaya dengan gerakan buruh dan gerakan sosialis, yang pada gilirannya mengarah kepada pembentukan Negara komunis, dan organisasi – organisasi dan partai – partai demokrasi sosial. Kemudian setelah per ang dunia kedua, gerakan sosial menampilkan ciri – ciri yang berbeda dengan periode sebelumnya yang utamanya ditandai dengan perubahan dan revolusi radikal. 10 Para ahli
umumnya bersepakat bahwa dalam beberapa dekade terakhir,
variasi, frekuensi dan intensitas gerakan dan perlawanan politik semakin bertambah dan kompleks. Ini antara lain tampak dari munculnya gerakan hak – hak sipil di Amerika Serikat (1955 – 1968), gerakan – gerakan perdamaian, lingkungan dan feminism, serta perlawanan terhadap otoritarianisme baik di eropa maupun di Negara – Negara berkembang telah membawa massa ke jalan – jalan untuk menuntut perubahan. Hal yang sama dilakukan oleh kaum ekstrimisme religious Islam dan Yahudi di Negara – Negara Timur Tengah, militanisme Hindu di India, fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat, serta nasionalisme etnis di Balkan dan bekas Uni Soviet. Yang mutakhir, sejak awal tahun 1990-an, muncul gerakan sosial berskala global yang kemudian dikenal sebagai gerakan anti – globalisasi (anti – globalization movements).11 Gerakan – gerakan tersebut seringkali berhasil, tapi jikapun gagal, aksi – aksi tersebut telah mempengaruhi perubahan – perubahan di berbagai ranah kehidupan
10 11
Suharko. Op.Cit. 7 Ibid.
16
dan level tata sosial dan politik dari tingkat lokal hingga internasional. Menurut Suharko, sejumlah faktor perubahan sosial yang melatari sejarah gerakan sosial tersebut diantaranya : 1. Proses Urbanisasi Perpindahan warga dari area – area pedesaan ke daerah perkotaan telah memunculkan kota – kota besar yang mengantarai pertemuan dan interaksi orang dari beragan latar belakang sosial. 2. Proses Industrialisasi Proses industrialisasi yang menyebabkan massa pekerja (buruh) dalam jumlah besar bisa berkumpul disuatu daerah atau kawasan. Kisah gerakan sosial berawal dari aksi para buruh ini untuk menuntut hak – hak sosial ekonomi mereka. Aksi – aksi buruh ini biasanya dibingkai oleh ide tentang perjuangan kelas. Kisah – kisah gerakan sosial seringkali muncul di universitas ataupun kampus. 3. Pendidikan Massa (mass education) Pendidikan massa yang membawa orang untuk bertemu dan berkumpul bersama. Dalam kombinasi dan kemajuan teknologi komunikasi, prakarsa dan aktivitas gerakan sosial menjadi lebih mudah dilakukan — dari penyebaran pamphlet pada abad ke-18 hingga ke Koran dan internet di abad sekarang.
17
Sedangkan menurut Markoff, suatu gerakan sosial yang spesifik muncul ketika
mereka
dapat
mengkoordinir
para
pendukungnya,
serta
mampu
mengartikulasikan tuntutan mereka, serta memiliki kemampuan tawar – menawar dengan elit yang sedang memeritah. 12 Sidney Tarrow melihat, bahwa berkembangnya gerakan sosial pada abad ke 18, dimana sebelumnya tidak pernah terjadi, sebagai akibat dari ekspansi transportasi dan komunikasi. Peningkatan jumlah orang yang melek huruf di kalangan masyarakat luas, serta semakin me ningkatnya kesadaran masyarakat yang jauh dari jangkauan kekuasaan merupakan akibat dari dua hal tersebut. Sementara perkemabangan transportasi telah memungkinkan terjadinya perlintasan komunikasi dan kemampuan orang untuk berkoordinasi dari satu tempat ya ng jaraknya berjauhan. Pengaruh Koran atau keberadaan media juga ikut mempengaruhi dan mengambil peranan penting disini. Sehingga mempengaruhi pembentukan opini publik serta usaha untuk belajar dari pengalaman Negara atau rakyat yang lain dalam rangka memperoleh tujuan yang sama. Pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Bennedict Anderson yang melihat perkembangan pembentukan opini sosial merupakan bibit bagi pembentukan nasionalisme modern. 13 Sehingga tidak mengherankan, jika nasionalisme menjadi tema sentral yang digunakan dalam gerakan – gerakan sosial. Meski demikian, para
12 13
Dalam Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi Dunia. Pustaka Pelajar : Yogyakarta. Hal 45 Markoff. Ibid. hal 48
18
pendukung gerakan sosial melihat alasan keterlibatan mereka sebagai suatu sebab yang umum, yaitu suatu perjuangan untuk memperluas relasi kekuasaan di dalam suatu Negara. Menurut Suharko, setidaknya terdapat dua penjelasan tentang kemunculan dari suatu gerakan sosial. Pertama, hubungan antara proses framing dan suatu pemikiran tentang perubahan politik ‘objektif’ yang memfasilitasi kemunculan gerakan sosial. Dimana perubahan politik tertentu mendorong dan memobilisasi tidak hanya melalui pengaruh ‘objektif’ yang diakibatkan oleh perubahan relasi kekuasaan, tetapi juga oleh setting dalam pergerakan proses framing yang selanjutnya menggerogoti legitimasi sistem. Contoh mengenai penjelasan tersebut adalah kisah kemunculan gerakan sosial dan
revolusi
di
Ketirakbersediaan
Eropa
Timur
Gorbachev
sebagai
untuk
pengaruh
mengintervensi
reformasi secara
Gorbachev.
militer
dalam
mempertahankan Negara – Negara pakta warsawa mendorong aksi kolektif baik melalui pelemahan secara objektif kekuatan – kekuatan kontrol yang dimiliki oleh rezim – rezim di Negara – Negara tersebut, maupun melalui penguatan persepsi publik tentang ketidakabsahan dan kerentanan rezim – rezim tersebut. perluasan kesempatan politik kemudian muncul dari kaitan sebab akibat tersebut, dari interaksi perubahan – perubahan structural dan persepetual yang terbentuk dalam proses pergerakan.
19
Kedua, suatu gerakan sosial juga bisa muncul karena kaitan resiprokal antara proses framing dan mobilisasi. Proses framing secara jelas mendorong mobilisasi ketika orang – orang berupaya mengorganisasi dan bertindak pada basis kesadaran yang berkembang tentang ketidakabsahan dan kerentanan sistem. Pada saat yang sama, potensi bagi proses framing yang kritis dikondisikan oleh akses orang – orang kepada berbagai struktur mobilisasi. Dan hal ini akan lebih mungkin terjadi dalam kondisi organisasi yang kuat daripada kondisi organisasi yang lemah. Dengan kata lain, proses framing tidak akan terjadi dalam ko ndisi ketiadaan organisasi, karena ketiadaan struktur mobilisasi hampir pasti akan mencegah penyebaran framing ke jumlah minimal orang yang diperlukan untuk basis tindakan kolektif. Gerakan sosial juga memiliki siklus kehidupan yakni diciptakan, tumbuh, mencapai sukses atau gagal, terkadang bubar, dan berhenti atau hilang eksistensinya. Suharko menyebutkan, bahwa para teoritisi gerakan sosial dari berbagai perspektif dan dari berbagai Negara kurang lebih memiliki semacam titik temu bahwa setidaknya ditemuka n tiga faktor yang bisa menjelaskan siklus gerakan sosial tersebut :14 1. Kesempatan Politik Para teoritisi gerakan sosial menegaskan pentingnya suatu sistem politik dalam menyediakan kesempatan bagi aksi – aksi kolektif. Teoritisi dari 14
Dalam Suharko. 2006. Gerakan Sosial. Seri Modul Simpul Demokrasi Komunitas Indonesia untuk Demokrasi : Jakarta
20
Amerika Serikat mencari penjelasan dari kemunculan gerakan sosial tertentu pada basis perubahan – perubahan dalam struktur kelembagaan atau relasi – relasi kekuasaan informal dalam suatu sistem politik nasional. Menyusul kemudian, dengan nada yang sedikit berbeda, para teoritisi Eropa berusaha menemukan kemunculan gerakan sosial dengan bertolak dari perbedaan – perbedaan dalam struktur, luas dan keberhasilan gerakan sosial secara komparatif – lintas Negara pada basis perbedaan dalam karakteristik – karakteristik Negara bangsa dimana ke semua itu melekat. 2. Struktur Mobilisasi Struktur mobilisasi dapat diartikan sebagai wahana – wahana kolektif, baik formal maupun informal, yang dipergunakan oleh orang – orang untuk memobilisasi dan melibatakan diri dalam aksi kolektif. Wahana – wahana kolektif tersebut biasa berupa kelompok, organisasi dan jaringan informal yang berada pada level meso (menengah). 3. Proses Pembingkaian (framing) Merujuk pada David Snow, proses framing diartikan sebagai “upaya – upaya strategis secara sadar oleh kelompok – kelompok orang untuk membentuk pemahaman bersama tentang dunia dan diri mereka sendiri yang mengabsahkan dan mendorong aksi kolektif.” Dalam banyak kasus gerakan sosial, isu ketidakadilan (injustice) merupakan bingkai yang paling sering
21
dipergunakan untuk mendefinisikan kondisi yang dialami dan dihadapi oleh para partisipan gerakan Pada dataran teoritis, paparan tentang proses kemuncul gerakan sosial diatas telah melahirkan berbagai teori. Beberapa diantaranya adalah teori model klasik (breakdown theory/structural strain), teori mobilisasi sumberdaya (resource mobilization) dan teori contentious politics / political process model. Dalam kajian ini, konsep model klasik (breakdown theory) menjadi penting, karena akan digunakan untuk melihat fenomena yang terjadi pada gerakan Indonesia Tanpa JIL. Adapun ciri – ciri dari breakdown theory adalah : •
Memiliki fokus pada tatanan sosial (kondisi sosial dan struktur kekuatan sosial)
•
Penekanan terhadap sifat gerakan yang spontan, emosional dan tidak terkontrol
•
Munculnya aktor gerakan hanya dianggap sebagai akibat dari ambruknya tatanan sosial.
22
Keretakan Tatanan • / Norma Sosial
Efek Psikologis Berupa Ancaman
Respon dan Tindakan Kolektif
Gerakan Sosial
Skema Pendekatan Breakdown Theory E.3 Strategi Gerakan Sosial Secara umum, bila berbicara mengenai masalah strategi gerakan sosial, sama sekali tidak dapat dibatasi oleh teori maupun konsep yang baku. Karena seringkali strategi gerakan sosial tidak dapat dilepaskan dari konteks ruang dan waktu (space and time) yang mengiringi. Strategi gerakan sosial berkembang secara kreatif sesuai dengan kultur dan kondisi sosial politik yang muncul di suatu daerah. Menurut Suharko, terdapat begitu banyak strategi atau taktik gerakan sosial yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan – tujuan dari gerakan sosial. Strategi yang
23
dipilih biasanya didasarkan pada penilaian terhadap konteks atau setting politik tertentu, pertimbangan pihak lawan yang dihadapi, isu yang dibidik, dan kekuatan dan sumberdaya yang dimiliki oleh organisasi gerakan sosial. 15 Meskipun demikian, didalam memahami strategi gerakan politik, terdapat dua teori dasar dalam menjelaskannya, yaitu tipe protes politics dan tipe information politics: 1. Protes Politics : Dimaknai sebagai suatu strategi untuk memobilisasi dukungan dengan jalan mengorganisir protes di ruang publik. 2. Information Politics : Ialah mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang secara strategis dapat mempengaruhi pendapat umum. Disamping itu, setidaknya juga terdapat empat variasi strategi yang dapat memuat garis besar pengertian dan kaidah umum strategi gerakan sosial, yakni sebagai berikut :16 1. Low Profile Strategy : Fisher (1998) menyebut strategi ini sebagai strategi ‘isolasi politik’ yang secara khusus sesuai dengan konteks politik yang represif dan efektif untuk menghindari kooptasi dari pemegang kekuasaan yang otoritarian.
15
Dalam Suharko. 2006. Gerakan Sosial. Seri Modul Simpul Demokrasi Komunitas Indonesia untuk Demokrasi : Jakarta 16 Fadhilah, Putra, dkk,. 2006. Gerakan Sosial, Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial di Indonesia. PlaCID`s dan Averroes Press : Malang. Hal : 11
24
2. Strategi Pelapisan (layering) : Mirip sebagaimana Low Profile Strategy, Fowler (1997) menyebut strategi ini sebagai strategi ‘Layering’. Strategi ini sangat sesuai untuk organisasi gerakan sosial yang beroprasi di negara – negara yang membatasi aktivitas otonom diluar pemerintah. Pelapisan adalah
pengembangan
penyediaan
pelayanan
yang
berorientasi
kesejahteraan yang sebenarnya berisikan metode dan aktivitas yang berorientasi pemberdayaan dan transformasi sosial. Dengan melakukan strategi ini, organisasi gerakan sosial bisa menghindari diri dari aksi dan intervensi langsung dari pihak – pihak lawan. Pihak lawan atau pihak – pihak diluar organisasi gerakan sosial melihatnya sebagai upaya peningkatan kesejahteraan, sedangkan pihak yang berada didalamnya melihatnya sebagai metode pemberdayaan yang kompleks. 3. Strategi Advokasi : Sebagaimana dijelaskan oleh Suharko, tidak dapat dipungkiri bahwa strategi advokasi atau yang biasa disebut pendampingan merupakan strategi utama yang digunakan oleh kalangan NGO baik di negara – negara maju maupun di negara – negara berkembang. Strategi advokasi
seringkali
digunakan
untuk
mendesakkan
perubahan –
perubahan sosial. Ketika dikombinasikan dengan kampanye media dan aliansi dengan donor asing, strategi ini membuat NGO bisa menjadi kekuatan pengubah kebijakan yang kuat, khususnya pada isu – isu dimana mereka punya banyak pengalaman. Akan tetapi, ketika masyarakat enggan turun ke jalan untuk bergabung dalam demonstrasi dan protes massa,
25
maka NGO yang mempunyai basis keanggotaan besar dan jaringan yang luas seringkali berusaha membangun protes dengan cara menyebarkan surat dan pernyatan resmi kepada publik, pemerintah maupun agen internasional. 4. Keterlibatan Kritis (critical engagement) : Menurut Suharko kembali, berbagai
organisasi
gerakan
sosial,
terutama
NGO
berupaya
mengkombinasikan strategi advokasi dengan strategi kerjasama ketika menghadapi pemerintah atau agen – agen Negara lainnya (parlemen, badan – badan yudikatif dan milliter). Meskipun kerjasama antara NGO dengan pemerintah lebih lazim dalam aktivitas penyediaan pelayanan umum, namun dalam rangka mempengaruhi dan mengubah kebijakan publik, NGO bisa mengkombinasikan strategi kerjasama dan advokasi. Dari berbagai pendekatan atau strategi diatas, struktur organisasi gerakan sosial akan semakin mantap dan kokoh apabila didukung oleh institusi yang kapabel dan punya banyak pengalaman. Keberhasilan atau kegagalan suatu gerakan sosial itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tiga faktor organisasional sebagai berikut :
17
1. Taktik Menggangu (disruptive tactics) : Taktik yang inovatif dan disruptif memiliki kaitan dengan efektivitas gerakan sosial. Ini terjadi karena gerakan sosial para umumnya tidak memiliki sumberdaya yang memadai
17
Ibid. Hal : 15
26
seperti dana, suara, dan akses. Sehingga saluran – saluran yang masuk akal tidak bisa dipergunakan. 2. Pengaruh Sayap Radikal (radical flank effects) : Suatu gerakan sosial biasanya juga mampu memetik keuntungan dari adanya pengaruh sayap ‘radikal’, yakni pengaruh yang dibawa oleh kehadiran kelompok ‘ekstrimis’ di dalam gerakan bersama – sama dengan kelompok yang lebih ‘moderat’. Pengaruh seperti ini misalnya dapat dilihat dalam relasi antara Negara dan gerakan sosial. Dimana dalam merespon suatu gerakan sosial, Negara biasanya hanya mau berhubungan dengan para pemimpin dan organisasi yang berbicara atas nama gerakan yang dianggap bisa menjadi rekan negoisasi yang terpercaya. Dalam situasi semacam ini, kehadiran kelompok ‘radikal’ atau ‘ekstrimis’ bisa memberikan legitimasi dan memperkuat daya tawar kelompok yang ‘moderat’. 3. Tujuan (goals) : dalam upaya membangun hubungan yang berhasil dengan lingkungan politik dan organisasi yang lebih luas, organisasi gerakan sosial mendasarkan pada tujuan organisasinya. Respon dan reaksi dari pihak – pihak utama lain seperti Negara, pihak lawan gerakan, media dan sebagainya, umumnya dibentuk oleh apa yang dinyatakan dalam tujuan organisasi gerakan sosial. Apa yang dinyatakan dalam tujuan bisa dipersepsikan sebagai ancaman terhadap kepentingan sejumlah kelompok atau kesempatan untuk realisasi kepentingan bagi kelompok lain. Karena itu, oposisi dan dukungan yang diperoleh oleh organisasi gerakan sosial
27
sebenarnya dibentuk oleh persepsi tentang ancaman dan kesempatan yang melekat dalam tujuan kelompok gerakan. Namun demikian, sebelum melakukan pilihan – pilihan atas strategi yang hendak dilakukan, Rafael (2006) menekankan pentingnya visi dan positioning gerakan. Menurutnya, berbagai pilihan strategi dapat dilakukan jika sebuah gerakan sosial telah memiliki visi yang kokoh terhadap persoalan sosial yang sedang dilawan. Kuatnya visi akan membuat para aktor gerakan sosial mampu melakukan pemetaan dan pembacaan akan kekuatan internal dan eksternal yang melingkupi sebuah gerakan sosial. Dengan kekuatan visi tersebut pula, para aktor gerakan sosial juga akan mampu meletakkan pondasi gerakannya dan berjejaring dengan organisasi – organisasi lain yang dapat mendukung gerakannya.
18
F. Definisi Konseptual Definisi konsep merupakan definisi yang telah menjadi teori umum dan termuat dalam buku maupun teks. Definisi konsep bermanfaat untuk memberikan batasan terhadap tema yang hendak diteliti, sehingga nantinya konsep – konsep yang ada menjadi terfokus dan tidak melebar kemana definisi konsep dalam penelitian ini adalah :
18
Ibid. Hal : 14
28
- mana. Disini , yang menjadi
• Gerakan Sosial : Gerakan sosial adalah tindakan – tindakan kolektif yang memiliki tujuan – tujuan atau klaim – klaim tertentu yang berorientasi pada perubahan dan bersifat ekstra/non- institusional yang memiliki tingkatan tertentu dan berkelanjutan. Dimana didalam gerakan sosial tersebut, terkandung pula politik perlawanan (contentious politics). • Strategi Gerakan Sosial : Strategi gerakan sosial adalah cara yang dipakai oleh gerakan sosial untuk mencapai apa yang menjadi tujuan gerakan. Strategi gerakan sosia l ini berkembang secara kreatif sesuai dengan kultur dan kondisi sosial politik yang muncul di suatu daerah. G. Definisi Operasional Definisi operasional dapat dikatakan adalah turunan dari definisi konseptual. Definisi operasional adalah proses mendefinisikan variable dengan tegas , sehingga menjadi faktor – faktor yang dapat diukur. Di dalam penelitian ini , variable yang akan diteliti adalah proses terbentuknya gerakan Indonesia Tanpa JIl dan strategi yang mereka gunakan untuk melawan Jaringan Islam Liberal. •
Gerakan Sosial
:
1. Latar belakang kelahiran gerakan 2. Karakteristik gerakan 3. Target perlawanan 4. Dinamika gerakan 5. Pengaruh yang ditimbulkan
29
•
Strategi Gerakan Sosial
:
1. Information politics 2. Strategi advokasi H. Metode Penelitian H.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dimana metode kualitatif merupakan suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini , peneliti me mbuat suatu gambaran kompleks , meneliti kata – kata , membuat laporan terperinci dari pandangan responden dan melakukan studi pada situasi yang alami. 19 Dengan menggunakan metode kualitatif seperti yang telah dipaparkan diatas, diharapkan nantinya penelitian ini akan dapat menguak secara mendalam mengenai Indonesia Tanpa JIL sebagai sebuah gerakan sosial. Berdasarkan jenisnya, penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menggunakan metode studi kasus tunggal. Peneliti menyajikan uji kritis suatu teori yang signifikan dalam rancangan studi kasus tunggal tersebut. Pemilihan studi kasus tunggal disini berdasarkan pada tujuan penelitian yang berusaha mendiskripsikan data – data dari subyek penelitian, yaitu dari para founding
19
Creswell, J. W. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design. Sage Publications : California. Hal : 15
30
fathers gerakan Indonesia Tanpa JIL, berkaitan dengan obyek yang diteliti, yakni proses kemunculan Indonesia Tanpa JIL sebagai gerakan sosial dan bagaimana strategi yang dilakukannya sebagai gerakan sosial. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi kasus tunggal karena penelitian ini menggunakan satu objek/kasus di satu tempat penelitian, analisisnya meliputi proses pembentukan Gusdurian menjadi sebuah gerakan sosial yang dilakukan dengan menggunakan analisis konsep gerakan sosial, faktor – faktor pembentukan gerakan sosial dan juga strategi gerakan sosial. Dalam penelitian ini, peneliti juga telah mengumpulkan data melalui berbagai narasumber serta berbagai sumber pustaka terkait gerakan Indonesia Tanpa JIL. H.2 Lokasi Penelitian Sesuai dengan tema penelitian, lokasi yang dipilih oleh peneliti dalam melakukan kajian adalah di Kota Yogyakarta. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan basis pergerakan Indonesia Tanpa JIL Jogja, dimana secretariat Indonesia Tanpa JIL Jogja berada dan aksi gerakannya dilakukan. Dipilihnya Indonesia Tanpa JIL Jogja sendiri karena alasan bahwa Indonesia Tanpa JIL Jogja merupakan bagian dari Indonesia Tanpa JIL secara umum yang keberadaannya tersebar diseluruh Indonesia. Dengan kegiatan yang aktif dilakuka n, maka menurut hemat peneliti keberadaan Indonesia Tanpa JIL Jogja dapat merepresentasikan Indonesia Tanpa JIL secara umum. Selain itu,
31
kedekatan lokasi antara Indonesia Tanpa JIL Jogja dengan domisili peneliti juga menjadi alasan. Dimana dengan hal tersebut, dapat mempermudah peneliti untuk melakukan pengamatan langsung serta menemui narasumber utama untuk memperoleh data-data yang diperlukan selama penelitian. H.3 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder. 1. Data Primer Data primer merupakan sumber data yang diperoleh secara langsung dari sumber asli ( tidak melalui perantara ). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian. Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara terhadap responden maupun hasil observasi pada gerakan Indonesia Tanpa JIL. wawancara dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (juga dilakukan melalui pesan singkat sms & chat) terhadap simpatisan gerakan seperti Akmal Syafril sebagai baian dari gerakan Indonesia Tanpa JIL pusat, Dimas Widiarto, Aspian Noor dan Zakky sebagai bagian dari gerakan Indonesia Tanpa JIL Jogja. Selain itu juga dilakukan observasi kegiatan
32
Indonesia Tanpa JIL dengan ikut serta secara langsung pada jalannya kegiatan yang dilakukan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL. 2. Data Sekunder Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh oleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara ( diperoleh atau dicatat oleh pihak lain ). Data sekunder umumnya berupa bukti , catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip yang telah dipublikasikan maupun tidak dipublikasikan. Data sekunder dalam penilitian ini berupa buku dan teks mengenai gerakan sosial sebagai teori. Terkait dengan informasi mengenai gerakan Indonesia Tanpa JIL, data yang diperoleh adalah dari arsip kegiatan yang dipublikasikan dalam page mereka di jejaring sosial Facebook, Twitter dan Youtube. H.4 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan kewajiban bagi seorang peneliti karena merupakan hal yang paling penting di dalam penelitian itu sendiri. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode dalam proses pengumpulan data, yakni metode wawancara, metode observasi dan metode dokumentasi. 1. Wawancara :
33
Wawancara dapat kita anggap sebagai sebuah metode sistematis dengan apa seseorang memasuki (secara kurang lebih imaginative) kedalam kehidupan seorang asing komperatif.
Dalam bidang research sosial,
wawancara digunakan untuk mencapai keterangan melalui hubungan muka-bertemu- muka yangmembantu untuk mendapatkan sebuah “potret kepribadian – kepribadian manusia” yang cukup luas untuk mencakup latar belakang sosial yang mempengaruhi kelakuan, dan cukup dalam hingga mengungkapkan keinginan – keinginan didalam sanubari dan ketegangan – tegangan, sikap, serta keinginan – keinginan. 20 Dalam penelitian ini wawancara dilakukan terhadap responden , yaitu mereka yang terlibat dalam gerakan Indonesia Tanpa JIL. Selain melakuka n wawancara terhadap para pengurus gerakan Indonesia Tanpa JIL Jogja, wawancara juga dilakukan terhadap founding fathers Indonesia Tanpa JIL pusat. Pertanyaan dalam wawancara telah dibuat secara runtut sesuai alur penulisan menggunakan interview guide. Selain itu, pertanyaan dalam wawancara telah dicoba untuk dibuat secara sederhana, sehingga dengan hal itu diharapkan tidak terjadi salah pengertian atau miss communication antara peneliti dengan responden. Sehingga dengan demikian, data yang telah diperoleh diharapkan dapat terjamin validitasnya.
20
Winardi. 1976. Pengantar Metodologi Research . Alumni : Bandung hal 112 – 113
34
2. Observasi : Observasi merupakan sesuatu studi yang sistematis dan yang dipertimbangkan dengan baik melalui ‘mata’ kejadian – kejadian spontan pada saat mereka terjadi. Tujuan observasi adalah untuk mengerti sifat dan luas elemen – elemen penting yang antar berhubungan di dalam kompleks fenomena sosial, pola – pola struktur atau kelakuan manusia. 21 Di dalam metode penelitian studi kasus ini, observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang paling penting. Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik mengenai gerakan Indonesia Tanpa JIL. Bentuk observasi yang telah dilakukan oleh peneliti adalah observasi partisipan , yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimp un data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan, dimana peneliti sebagai observer mencoba mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Indonesia Tanpa JIL Jogja dan memperhatikan dinamika – dinamika yang terjadi. 3. Dokumentasi : Dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subyek penelitian. Menurut Arikunto, dokumentasi
21
adalah
metode
Ibid, hal 98 – 99
35
pengumpulan
data
dimana
peneliti
menyelidiki benda – benda tertulis seperti buku – buku , majalah, dokumen, peraturan – peraturan dan sebagainya.
22
Adapun data – data yang dapat dikumpulkan dengan metode dokumentasi ini adalah hal – hal yang terkait dengan gerakan Indonesia Tanpa JIL, antara lain : •
Artikel dan buletin yang diterbitkan oleh Indonesia Tanpa JIL
•
Field report berupa foto maupun video yang terkait dengan kegiatan – kegiatan yang dilaksanaan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL
H.5 Teknik Analisis Data Analisis data merupakan suatu proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis (ide) seperti yang disarankan data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan hipotesis baru. Analisis data merupakan tahap penting dalam penelitian karena pada fase ini data terkait gerakan Indonesia Tanpa JIL diolah dan dimanfaatkan untuk membangun kesimpulan dan argumen guna menjawab permasalahan yang diteliti. Teknis analisis data yang digunakan pada penelitian adalah teknik analisis kualitatif.
22
Arikunto, Suharsini. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta : Jakarta
36
Rangkaian kegiatan penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian kualitatif ini adalah pengumpulan data, pengolahan data, dan interpretasi data – data yang diperoleh sebagai upaya untuk mengungkapkan kebenaran. Penelitian ini dilakukan secara induktif, sehingga tidak dimulai dari hipotesis sebagai generalissai untuk uji kebenaran melalui pengumpula ndata yang bersifat khusus. Penelitian kualitatif ini justru dimulai dengan mengumpulkan informasi – informasi dalam situasi sewajarnya,untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah generaslisai yg dapat diterima oleh akal sehat. I. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibuat untuk mempermudah dalam penyusunan skripsi. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut: 1. Bab Pertama, memuat pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika pembahasan. 2. Bab Kedua, memuat sekaligus memaparkan tentang profil Jaringan Islam Liberal (JIL). 3. Bab Ketiga, pada bab ini terdapat pembahasan tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kemunculan gerakan Indonesia Tanpa JIL. 4. Bab Keempat, dijelaskan analisis mendalam terkait apa bentuk strategi yang dilancarkan oleh gerakan Indonesia Tanpa JIL Jogja dalam upayanya
37
untuk melawan wacana yang direproduksi oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) 5. Bab Kelima, pada bab ini penulis akan menarik kesimpulan secara
menyeluruh dari uraian skripsi dan memberikan saran dan kata penutup.
38