WACANA GERAKAN DEMO MAHASISWA DALAM KAJIAN PRAGMATIK Mochtar Data E-mail:
[email protected] Abstrak: Penelitian ini mengkaji ekspresi tutur yang meliputi wujud tuturan, fungsi tuturan, dan strategi tuturan. Kajian pragmatik ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan dan mengeksplanasikan secara kritis objektif terhadap tuturan dalam gerakan demo mahasiswa, untuk menemukan wujud tuturan, fungsi tuturan, dan strategi bertutur dalam menyalurkan aspirasi terkait dengan fenomena dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemegang otoritas. Temuan-temuan dalam penelitian ini diyakini peneliti berimplikasi positif terhadap pendidikan dan pembelajaran, khususnya pendidikan demokrasi, pendidikan sikap, pembelajaran bahasa Indonesia, dan pengembangan disiplin ilmu sejenis. Keseluruhan temuan penelitian ini sangat berguna bagi jurusan bahasa di universitas, organisasi kemahasiswaan, dan penelitia pragmatic dan sosiolinguistik. Abstract: This research studies the speech expression including speech form, speech function, and speech strategy. The aim of this study is to describe and explain critically and objectively the speech in demonstration act of university students in Malang, to cover speech forms, function, and strategy in channelizing their aspiration related with current phenomena and policy enforced by authority. Those findings are believed to have positive implications for education and instruction; especially for education of democracy, attitude, Indonesian language, and subject matter development. All findings of this study are very useful for the language department in university, students association, researcher of pragmatic and sociolinguistic. Kata kunci: ekspresi tutur, gerakan demo mahasiswa, wujud tutur, fungsi tutur, strategi bertutur, pemegang otoritas.
Dalam melakukan gerakan dan aksinya, mahasiswa menggunakan bahasa sebagai sarana berkomunikasi dan bertutur. Bahasa, sebagaimana dinyatakan oleh Widjojo dan Noorsalim (2004), merupakan bagian yang tak terpisahkan dari segala aspek kehidupan sosialitas manusia. Bahasa merupakan tempat bertemunya berbagai kepentingan kelompok manusia. Bahasa adalah suatu praksis, yaitu cara dan kepercayaan seseorang atau kelompok dalam melakukan sesuatu. Dalam hal ini bahasa dapat dipandang sebagai ‘arena politik’,
yaitu tempat bertemunya berbagai kepentingan, sebagai arena bertarung, yang tarik-menarik, yang tujuan akhirnya adalah untuk memengaruhi, saling mendominasi, hegemoni atau hegemoni tandingan, menguasai atau melawan oleh satu kelompok atau orang yang satu terhadap kelompok atau orang yang lain. Mahasiswa beserta gerakannya menggunakan bahasa sebagai salah satu alat penyalur aspirasi. Bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi biasanya berwujud tuturan. Tuturan adalah wacana yang menonjolkan
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 817
serangkaian peristiwa dalam serentetan waktu tertentu bersama partisipan dan keadaan tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Kress (dalam Tarjana, 2009), penggunaan bahasa bersifat contextdependent, yakni tidak dapat terlepas dari konteks situasinya. Tuturan dan konteks situasi senantiasa saling berkaitan satu dengan yang lain. Lebih dari itu, pengetahuan tentang konteks situasi yang relevan diperlukan untuk memahami tuturannya. Mengingat tuturan itu memiliki ketergantungan pada konteks, bisa dipastikan bahwa setiap tuturan yang disampaikan seorang penutur akan berbeda dengan penutur lain. Setiap tuturan yang disampaikan di tempat dan waktu yang berbeda akan menggunakan wujud, fungsi, dan strategi yang berbeda pula. Ekspresi tutur sangat dipengaruhi oleh situasi, peristiwa, dan masyarakat tutur tempat berlangsungnya tuturan. Oleh karena itu, setiap tuturan sebagai ekspresi seorang penutur dapat dianalisis dari sudut wujud, fungsi, dan strategi yang merupakan komponen tutur. Wujud tuturan adalah jenis atau ragam tuturan yang digunakan seorang penutur dalam menyampaikan pesan kepada mitratutur. Mengacu pada pandangan Rahardi (2005:87), wujud tuturan dalam penelitian ini dipilah menjadi dua, yakni wujud formal yang biasa disebut wujud struktural dan wujud pragmatik yang sering disebut wujud nonstruktural. Wujud formal dan wujud pragmatik merupakan dua hal yang perlu dikaitkan dalam memaknai sebuah tuturan. Oleh karena itu, wujud tuturan dapat dipilah atas wujud asertif, wujud direktif, wujud ekspresif, wujud
deklaratif, dan wujud komisif masing-masing beserta maknanya. Selaras dengan wujud tuturan, fungsi tuturan berkaitan erat dengan peran alat bahasa sebagai penyampai pesan. Fungsi tuturan berkaitan dengan tujuan yang terkandung dalam sebuah tuturan. Fungsi tuturan terkait erat dengan jenis-jenis tindak tutur sehingga akan terdapat fungsi asertif, fungsi direktif, fungsi ekspresif, fungsi deklaratif, dan fungsi komisif. Di samping itu, tuturan juga bisa berfungsi untuk tukar-menukar informasi faktual, mengungkapkan informasi intelektual, mengungkapkan sikap emosional, mengungkapkan sikap moral, memengaruhi pihak lain, atau sosialisasi. Berbeda dengan wujud dan fungsi tuturan, strategi bertutur adalah modus atau kualitas wujud verbal tuturan yang berkaitan dengan tipe atau model tuturan yang menjembatani kepentingan penutur dengan mitratutur atau sebaliknya. Strategi bertutur seseorang dapat dimaknai sebagai cara atau gaya yang digunakan oleh seorang penutur dalam menyampaikan tuturannya. Berdasarkan strateginya tuturan dibedakan atas tuturan langsung literal, tuturan tidak langsung literal, tuturan langsung tidak literal, dan tuturan tidak langsung tidak literal. Dalam praktiknya keempat strategi bertutur tersebut dapat dituturkan dengan gaya demagogik, diplomatik, persuasif, provokatif, bombastik, penghakiman, silogisme, sloganistik, dan alegorik. Ada beberapa pertimbangan dipilihnya kota Malang sebagai lokasi penelitian, yakni Malang sebagai kota pendidikan dan tinjauan historis peristiwa nasional yang
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 818
terkait dengan peran serta mahasiswa dan organisasi kecendekiaan. Oleh Purwanto (2006), kota Malang digolongkan sebagai salah satu kota “biang demo”. Sebagai kota pendidikan, di kota Malang banyak berdiri perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Setidaknya ada tiga perguruan tinggi negeri terkenal dan lebih dari lima puluh perguruan tinggi swasta yang berada di kota Malang. Dalam tinjauan hitoris, berdirinya sebuah organisasi kecendekiaan berskala nasional, yakni ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), juga dibidani di kota ini. Banyaknya perguruan tinggi di kota Malang dan lahirnya sebuah organisasi kecendekiaan berskala nasional tersebut, memungkinkan munculnya dinamika di kalangan mahasiswa. Mahasiswa sebagai insan akademis yang memiliki sikap kritis dan kepedulian sosial tinggi, dalam dinamikanya pasti akan tergerak dan tanggap untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah atau kampus yang bertentangan dan tidak sesuai dengan hati nuraninya. METODE Dalam setiap komunikasi lisan, peserta komunikasi tidak bisa dipisahkan dari tuturan. Jika tuturan dianggap sebagai tindakan, berarti dalam setiap kegiatan bertutur terjadi pula tindak tutur. Dengan demikian, tindak tutur dapat diperikan sebagai hal yang dilakukan peserta komunikasi ketika bertutur. Secara terminologis, tindak tutur dapat diberi pengertian sebagai unit terkecil aktivitas bertutur yang memiliki fungsi. Ditinjau dari perspektif pragmatik perilaku berkomunikasi, baik transaksional maupun
interaksional, merupakan tindakan sosial. Artinya, berbagai tindakan yang diwujudkan dalam tindak tutur itu terkait dengan fungsi-fungsi sosial. Tuturan digunakan untuk menjelaskan berbagai tindakan sosial. Dalam konteks tautan antara tuturan dengan tindakan sosial inilah teori tindak tutur dalam ancangan teoretis dengan perspektif pragmatik dikembangkan. Uraian ini mengisyaratkan bahwa dalam perspektif pragmatik, tindak tutur mempunyai peran cukup vital di dalam proses komunikasi verbal. Hal ini juga tidak terkecuali di dalam tuturan yang diekspresikan dalam seting gerakan demo mahasiswa di kota Malang. Perspektif pragmatik ini mempertimbangkan sejumlah persoalan yang biasanya tidak diperhatikan oleh ahli linguistik formal dalam deskripsi sintaksis dan semantik. Pragmatik diperlukan dalam rangka memperoleh penjelasan yang lebih penuh, lebih mendalam, dan secara umum lebih masuk akal tentang perilaku berbahasa manusia. Terkait dengan perspektif pragmatik, kerangka kerja komunikasi menawarkan paradigma deskripsi dan eksplanasi berbagai cara bertutur yang berbeda-beda di dalam masyarakat tutur. Kerangka ini memberikan berbagai unit analisis yang digunakan untuk memaknai dan menentukan variasi tuturan. Ada tiga unit analisis percakapan yang cukup menonjol, yakni situasi tutur, peristiwa tutur, dan komponen tutur. Situasi tutur merupakan konteks terjadinya komunikasi. Peristiwa tutur mengacu kepada terjadinya komunikasi dalam satu wujud tuturan yang melibatkan penutur dan mitratutur dengan suatu
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 819
topik tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Sebuah percakapan baru dianggap sebagai peristiwa tutur jika mengandung komponen-komponen tutur. Dibandingkan dengan komponen tutur yang lain, peserta tutur atau partisipan merupakan komponen tutur yang berpengaruh secara signifikan terhadap makna dan wujud tuturan. Dengan demikian, komponen tutur ini juga memengaruhi wujud, fungsi, dan strategi yang digunakan oleh mahasiswa dalam mengekspresikan tuturannya melalui gerakangerakannya. Berpijak pada paparan tersebut, penelitian berjudul “Ekspresi Tutur Gerakan Demo Mahasiswa di Kota Malang” (GDMKM) ini memfokuskan pada wujud, fungsi, dan strategi yang digunakan oleh partisipan tutur melalui wadah wacana tutur lisan dengan ancangan teoretis tindak tutur dan perspektif pragmatik. Berdasarkan wadah, ancangan teoretis, dan perspektif penelitian ini kemudian dilakukan analisis terhadap wujud tuturan, fungsi tuturan, dan strategi bertutur. Untuk menjawab dan menjabarkan pertanyaan sebagaimana tercantum dalam fokus penelitian, digunakan data berupa tuturan yang muncul dalam aksi demo meliputi wujud, fungsi, dan strategi; sedangkan sumber datanya adalah mahasiswa perguruan tinggi di kota Malang yang tergabung dalam organisasi intra dan ekstrauniversiter. Dalam penelitian ini, teknik penjaringan data dilakukan melalui perekaman (audiovisual), observasi nonpartisipatif, dan teknik dokumentasi. Secara garis besar
model analisis data terdiri atas pentranskripsian data, pemilahan data, dan interpretasi data. Melalui pentranskripsian data dihasilkan data mentah. Data mentah ini dipilahpilah melalui proses identifikasi, klasifikasi, dan kodifikasi sehingga dihasilkan data terpilih. Data terpilih ini kemudian diinterpretasikan dan dianalisis. Dalam menginterpretasikan dan menganalisis data dimanfaatkan catatan lapangan, rekaman konteks, dan perangkat pendukung lainnya. Proses interpretasi dan analisis menghasilkan temuan penelitian, berupa wujud tuturan, fungsi tuturan, dan strategi bertutur GDMKM. Untuk menjamin keabsahan data dilakukan pengamatan mendalam, perpanjangan keikutsertaan, kajian berulang, serta triangulasi dan diskusi dengan para pembimbing, praktisi, dan teman sejawat. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan eksplanasi data yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa wujud tuturan yang digunakan dalam GDMKM cukup beragam, baik dalam wujud tuturan asertif, tuturan direktif, tuturan ekspresif, tuturan deklaratif, maupun tuturan komisif. Hal ini selaras dengan klasifikasi tindak tutur yang dilakukan oleh Searle (1983).Tuturan asertif adalah tuturan yang mendeskripsikan keadaan atau peristiwa yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, serta menyatakan kepercayaan terhadap kebenaran suatu proposisi sebagaimana ditegaskan kembali oleh Richards dkk (1987), Rahardi (2005), dan Oktavianus (2006). Dalam penelitian ini ditemukan tuturan bermakna menebak, menegaskan,
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 820
mengklarifikasi, dan mengontraskan. Wujud tuturan asertif bermakna menebak diekspresikan mahasiswa dengan penggunaan diksi tertentu atau khusus berdasarkan ko-teks dan konteks; makna menegaskan diekspresikan mahasiswa dengan diawali penegasan diikuti penjelasan, menggunakan diksi tertentu yang ditunjang konteks (yel-yel); makna mengklarifikasi diekspresikan mahasiswa dengan kalimat berita atau pernyataan diikuti pertanyaan atau interogasi, menghubungkan dua kalimat klarifikatif diikuti kalimatkalimat pendek berisi sikap kecewa, dan pertanyaan diikuti kalimat tanya sebagai jawabnya. Sementara itu, makna mengontraskan diekspresikan mahasiswa dengan menggunakan dua pasang kalimat kontras dan kalimat pertama berupa pengantar sedangkan kalimat berikutnya bertentangan maknanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Searle (1983), yang ditegaskan kembali oleh Richards dkk (1987); Rahardi, (2005), dan Oktavianus (2006) tuturan direktif adalah tuturan yang menuntut atau memengaruhi mitratutur atau lawan tuturan agar melakukan sesuatu. Dalam penelitian ini ditemukan tuturan direktif bermakna memerintah, mengajak, menuntut, dan menginterogasi. Wujud tuturan direktif bermakna memerintah diekspresikan mahasiswa dengan menasihati secara tidak langsung dan menggunakan kalimat berita atau pernyataan untuk memerintah; makna mengajak diekspresikan mahasiswa dengan kalimat berita diikuti seruan, berita diikuti pertanyaan, pernyataan diikuti ajakan, dan diawali pernyataan eksklamatif untuk menyudutkan lawan tutur; makna menuntut diekspresikan mahasiswa dengan
diawali pernyataan santun diikuti tuntutan keras, tuntutan diikuti penjelasan, dan tuntutan secara halus; dan makna menginterogasi diekspresikan mahasiswa dengan diawali penggambaran kondisi atau fenomena diikuti pertanyaan, dimulai pernyataan netral yang secara klimaks menjurus ke interogasi, dan menggunakan pertanyaan yang cenderung sarkastis. Berbeda dengan tuturan direktif, tuturan ekspresif adalah tuturan yang mengungkapkan perasaan dan sikap psikologis penutur terhadap sesuatu. Di dalam tuturan ekspresif penuturnya mengungkapkan perasaan dan sikapnya tentang sesuatu, mengungkapkan penyesalan, penyambutan, dan simpati, serta menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis terhadap suatu keadaan (Richards dkk., 1987; Rahardi, 2005; dan Oktavianus, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, ditemukan wujud tuturan ekspresif dengan makna menyesalkan, mengecam, dan mengkritisi. Wujud tuturan ekspresif bermakna menyesalkan diekspresikan mahasiswa dengan pernyataan diikuti pertanyaan renungan, kalimat berupa proposisi penyesalan diikuti pertanyaan, diawali proposisi tentang fenomena yang terjadi diikuti penguat proposisi penyesalan, dan kalimat-kalimat awal berupa proposisi penyesalan terhadap fenomena yang telah terjadi diikuti pernyataan-pernyataan klimaks penyesalan; makna mengecam diekspresikan mahasiswa dengan sindiran-sindiran di awal tuturan yang multitafsir, menggunakan kata-kata vulgar, menggunakan ungkapan-ungkapan yang sedang trend, menggunakan
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 821
ungkapan-ungkapan bombastis yang menjurus sarkastis; dan makna mengkritisi diekspresikan mahasiswa dengan mengganti istilah yang maknanya lebih negatif bahkan bertentangan, membandingkan dua kondisi yang sama-sama tidak menyenangkan, dan mengecilkan arti sebuah fenomena dalam bentuk ilustrasi negatif. Menurut Richards dkk. (1987), Rahardi (2005), dan Oktavianus (2006) tuturan deklaratif adalah tuturan yang mengubah status keadaan, memberikan situasi eksternal baru terhadap sesuatu, dan menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan. Tuturan deklaratif merupakan tindak tutur yang memantapkan, membenarkan, atau bahkan mengubah suatu tindakan/keadaan melalui pernyataan yang diujarkannya. Dalam penelitian ini ditemukan tuturan deklaratif yang bermakna menyindir dan mengukuhkan pendapat. Wujud tuturan deklaratif bermakna menyindir diekspresikan mahasiswa dengan ilustrasi atau simbol dua keadaan yang bertentangan, ilustrasi berupa ungkapan yang bertolak belakang maknanya diikuti pertanyaan penguji, dan menasihati teman dengan sasaran pihak ketiga sebagai sarana tukar informasi; dan tuturan deklaratif bermakna mengukuhkan pendapat diekspresikan mahasiswa dengan menekan kata-kata atau bagian penting dalam tuturan yang berlawanan maknanya, menggunakan ungkapan dengan makna khusus, menafsirkan gagasan dalam keseluruhan tuturan secara runtut untuk menemukan gagasan inti. Mengacu pada pandangan Searle (1983); Richards dkk.(1987),
Rahardi (2005), dan Oktavianus (2006) menyatakan bahwa tuturan komisif ialah tindak tutur yang menuntut tanggung jawab penutur untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang. Dalam penelitian ini ditemukan tuturan komisif bermakna berjanji dan mengultimatum. Wujud tuturan komisif bermakna berjanji diekspresikan mahasiswa dengan frasa-frasa negatif yang cenderung memancing perlawanan; sedangkan makna mengultimatum diekspresikan mahasiswa dengan kalimat interogatif yang berupa penolakan dengan syarat. Berikut ini ditampilkan beberapa contoh wujud tuturan mahasiswa dalam GDMKM sebagaimana dipaparkan sebelumnya. [1] Tangan kita diikat, mulut kita dirampas, mulut kita didiamkan … kita dibunuh, kita dikebiri, kita dibodohi, oleh mereka yang mengatasnamakan wakil rakyat, bahwasanya rakyat Indonesia telah dibodohi. Konteks (Informasi Indeksal): Tuturan ini ditegaskan oleh seorang mahasiswa (orator) dalam sebuah demo bertajuk “Kritisi Pemerintahan SBY-JK” pada tanggal 21 Mei 2007. Orator berorasi di tengah aksi teaterikal yang menggambarkan kekerasan aparat, dengan nada terengah-engah karena emosinya, tangan kiri menunjuk-nunjuk ke atas. Beberapa peserta sambil mulut dilakban memampangkan spanduk ”Kenapa Rakyat Hanya Bisa Diam?”. Sebelum mengakhiri demo semua melepas lakban yang menempel di mulut peserta demo.
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 822
Dengan menggunakan katakata tangan ... diikat, mulut ... dirampas, didiamkan, dibunuh, dikebiri, dan dibodohi pada tuturan [1] tersebut mahasiswa mengecam tindakan Pemerintah yang membatasi ruang gerak mahasiswa untuk bersuara dan bertindak. Pembatasan hak bersuara dan bertindak itu, berarti masyarakat telah dibodohi. Dengan sindiran ini diharapkan Pemerintah memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk secara bebas menyalurkan aspirasinya. Untuk memahami pernyataan dalam tuturan ini diperlukan pemahaman presuposisi atau praanggapan terhadap penggunaan ungkapanungkapan yang multitafsir. [2] Seratus tahun kebangkitan Indonesia, presiden kita menghadiahkan kado manis untuk rakyat miskin. Sebuah kado yang akan semakin mencekik setiap jiwa-jiwa miskin di kolong-kolong jembatan hingga di pelosok desa; sebuah kado yang akan menambah jumlah penduduk miskin di negeri kita tak kurang dari lima belas juta jiwa. Kado apa itu Saudara-saudaraku? Haruskah kita diam menerima ini semua Saudaraku? Konteks (Informasi Indeksal): Tuturan ini disampaikan oleh mahasiswa (orator) dalam sebuahnaksi unjuk rasa bertopik ”Bangkitlah Pemuda Islam” pada tanggal 17 Mei 2008. Sambil tangan kanan memegang mik dan tangan kiri memegang teks dengan nada tinggi menggebugebu orator sambil baca teks berorasi di atas mobil pickup di Jalan Merdeka Timur berjaket almamater sambil mencangklong
tas. Sementara itu, peserta lain memampangkan poster bertuliskan ”Hari Kebangkitan Sudah 100 Tahun. Tetapi mengapa sekarang masih dijajah?”. Pada tuturan [2] ini penutur (mahasiswa) menggunakan ungkapan sebagai ilustrasi. Dengan menggunakan ungkapan ”kado manis” yang berupa melambungnya harga sembako, mahasiswa bermaksud menyindir Pemerintah. Dikatakan demikian karena dengan istilah ”kado manis’ seharusnya dampaknya bagi masyarakat sangat menyenangkan, namun yang terjadi justru kebalikannya. Kado manis tersebut lebih tepat disebut pil pahit. Tuturan ini dapat dibagi atas tiga bagian, yakni bagian pertama berupa proposisi yang memuat sindiran yang masih perlu ditafsirkan; bagian kedua berisi penjelasan atau paparan terhadap proposisi pertama; sedangkan bagian ketiga berupa pertanyaan untuk menguji dan menentukan sikap terhadap penjelasan yang telah dipaparkan dalam bagian kedua. Agak berbeda dengan wujud tuturan, dalam penelitian ini fungsifungsi tuturan merepresentasikan tuturan sebagai alat penyampai pesan, sebagaimana disampaikan oleh Van Ek (dalam Hatch, 1992:131-132), Halliday (1973), Leech (1984). Oleh karena itu di samping diekspresikan secara asertif, direktif, ekspresif, deklaratif, dan komisif, fungsi tuturan mengandung pula pesan dan tujuan tukar-menukar informasi faktual, mengungkapkan informasi intelektual, mengungkapkan sikap emosional, mengungkapkan sikap moral, memengaruhi pihak lain, dan
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 823
menyosialisasikan sesuatu. Fungsi tuturan asertif diekspresikan oleh mahasiswa dengan tujuan mengidentifikasi, menginvestigasi, menginterogasi, dan mengklarifikasi berbagai fakta, membangun kesepakatan, mengungkapkan keheranan dan kecemasan, menyatakan simpatik, meyakinkan seseorang atau sekelompok orang, dan memperkenalkan jati diri. Dari berbagai fungsi tersebut ditemukan fungsi tuturan asertif secara spesifik, yakni membela dan memperjuangkan nasib rakyat kecil, menyalurkan aspirasi rakyat, meluruskan tindakan pemegang otoritas yang keliru, mengkritik kebijakan Pemerintah di bidang pendidikan, agama, ekonomi, dan kenegaraan. Fungsi tuturan direktif dalam penelitian ini diekspresikan oleh mahasiswa dengan tujuan menginterogasi, mengklarifikasi, dan memerintah atau menasihati, membuat kesepakatan dan memberikan peringatan, mengungkapkan keanehan dan kejengkelan, mengungkapkan tanggung jawab, dan mengajak mitratutur. Secara spesifik ditemukan beberapa fungsi tuturan direktif, yang meliputi mempertanyakan kebijakan Pemerintah di berbagai bidang, mengklarifikasi tanggung jawab Pemerintah atau pemegang otoritas, memberikan solusi terhadap kebijakan Pemerintah tentang pengelolaan aset-aset negara, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, melawan penindasan, mengajak seluruh komponen masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap tindakan yang tidak adil, dan menyoroti kekuasaan yang otoriter. Lebih lanjut, dalam penelitian ini fungsi tuturan ekspresif
diekspresikan oleh mahasiswa dengan tujuan mengidentifikasi, menyimpulkan dan mengontradiksikan sesuatu, menyatakan keheranan dan mengungkapkan kejengkelan, berpasrah diri pada Tuhan, memprovokasi mitratutur, serta menyapa dan memasyarakatkan istilah. Secara spesifik fungsi tuturan ekspresif ini adalah berempati terhadap nasib rakyat kecil terkait kebijakan Pemerintah yang tidak prorakyat. Fungsi tuturan deklaratif dalam penelitian ini diekspresikan oleh mahasiswa dengan tujuan mengklarifikasi, menasihati, dan mengidentifikasi, menyimpulkan dan mempertentangkan sesuatu, mengungkapkan tanggung jawab dan berpasrah diri, memprovokasi, dan memasyarakatkan sesuatu. Temuan secara spesifik tentang fungsi tuturan deklaratif adalah menyoroti kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi yang tidak prorakyat, dan menyikapi kebijakan-kebijakan Pemerintah di bidang pendidikan, agama, ekonomi, dan kenegaraan. Dalam penelitian ini fungsi tuturan komisif diekspresikan oleh mahasiswa dengan tujuan menyimpulkan sesuatu, berpasrah diri pada Tuhan, mengultimatum lawan tutur, serta memperkenalkan jati diri dan menarik perhatian. Temuan spesifik fungsi tuturan komisif ini adalah mengultimatum kebijakan pemegang otoritas yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Di antara beberapa fungsi sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat pada contoh-contoh tuturan mahasiswa dalam GDMKM berikut ini. [3] Kita tahu negara kita sampai sekarang nasi adalah menu
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 824
utama, tapi ada apa petani selalu ditindas, selalu jadi rakyat minoritas, rakyat nomor dua dan kaum nomor tiga?
Konteks (Informasi Indeksal): Tuturan ini disampaikan oleh orator (penutur) dalam sebuah demo bertopik “Tolak Impor Beras dan Usut Lappindo” pada tanggal 24 September 2006. Orator berorasi di depan peserta demo yang sedang duduk di sepanjang jalan depan gedung DPRD Kota Malang. Sementara itu, peserta demo duduk di sepanjang jalan sambil menggelar berbagai poster yang antara lain bertuliskan “Haram Beras Impor” dan “Tolak Impor Beras”. Pada tuturan [3] mahasiswa bersimpati kepada nasib petani. Menurut pandangannya kebijakan Pemerintah yang mengimpor beras merupakan tindakan yang tidak berpihak pada rakyat. Dengan pernyataan ini tergambar rasa kasih atau kepedulian mahasiswa terhadap nasib petani. Sikap emosional ini didasari kenyataan bahwa petani sangat berjasa bagi kehidupan masyarakat. Sikap simpatik ini juga ditunjukkan dalam bentuk pertanyaan yang menggambarkan kepedulian mahasiswa, yakni mengapa petani selalu ditindas, dan dinomorduakan atau dinomortigakan?. Dari tuturan ini dapat disimpulkan bahwa tindak asertif yang berfungsi mengungkapkan sikap emosional diekspresikan oleh mahasiswa dengan menyatakan sikap simpatik. Sikap simpatik itu dinyatakan kepada seseorang atau sekelompok orang
terkait dengan tindakan aparat yang menimpanya. [4] Kita harus memberanikan diri. Kita harus berjuang melawan penindasan. Konteks (Informasi Indeksal): Penutur berorasi dengan nada datar dan mantap di tengah aksi teaterikal yang menggambarkan dialog SBY -Kalla. Peserta lain memegang poster bertuliskan “Rumah Digusur Rakyat Terlantar” dan “SBY-Kalla Penjahat Rakyat”. Melalui tuturan [4] ini mahasiswa juga ingin menunjukkan sikap moral yang menggambarkan tanggung jawab kepada masyarakat. Lewat tuturan ini mahasiswa mendesak Pemerintah agar segera menstabilkan harga barang-barang kebutuhan pokok. Mahasiswa merasakan adanya ketidakadilan terkait dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok sehari-hari. Di satu sisi rakyat menderita berkepanjangan sebagai dampak naiknya harga kebutuhan pokok tersebut, di sisi lain ada pihak-pihak yang memanfaatkan keadaan tersebut untuk memperkaya diri sendiri. Ketimpangan ini dipandang oleh mahasiswa sebagai sebuah ketidakadilan. Oleh karena itu sebagai wujud tanggung jawabnya mahasiswa secara bersama-sama menginginkan ditegakkannya keadilan di negeri ini. [5] Kawan-kawan sekalian, kita tidak sedang bercanda untuk rakyat. Apa pun yang terjadi ini adalah untuk rakyat. Untuk kita semuanya. Konteks (Informasi Indeksal): Tuturan ini dikemukakan oleh mahasiswa (orator) dalam sebuah aksi unjuk rasa bertema “Tolak Kenaikan Harga BBM” pada
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 825
tanggal 22 Mei 2008. Dengan mik di tangan kanan dan mimik wajah serius dan nada tinggi serta emosional orator berorasi di depan peserta demo yang mulai beringas. Demo dilaksanakan di depan Balai Kota Malang dengan pengawalan Polri yang sangat ketat. Peserta demo meneriakkan yel-yel “Harga sembako, harus diturunkan. Harga sembako, harus diturunkan. ….” dan memampangkan poster “Usir Investor Asing!”, “Say No to Capitalism System”, dan “Tolak Privatisasi BUMN, Cabut UUPMA!”. Dengan menggunakan klausa kita sedang tidak bercanda untuk rakyat pada tuturan [5] ini mahasiswa ingin memfungsikan tuturan sebagai sarana tukar informasi yang bertujuan menasihati seseorang. Informasi faktual dalam konteks ini adalah kebijakan Pemerintah yang menaikkan harga BBM. Nasihat ini di samping ditujukan kepada teman-teman sesama peserta demo sekaligus merupakan sindiran bagi Pemerintah agar dalam menentukan kebijakan yang bersangkutan dengan orang banyak tidak dilakukan dengan main-main. Menurut pandangan mahasiswa setiap penetapan kebijakan perlu dikalkulasi untung ruginya. Lebih-lebih kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Selanjutnya, mengacu pada pendapat para ahli pragmatik, seperti Parker (1986:17-20), Wijana (1996:30-36), Grundy (2000:48-68), dan Nadar (2009:17-21) yang dimaksud dengan tuturan langsung adalah tindak ilokusioner berisi tuturan yang identik dengan modus
kalimatnya, sedangkan yang dimaksud dengan tuturan tidak langsung adalah tindak ilokusioner memuat tuturan yang berbeda atau tidak identik dengan modus kalimatnya. Sementara itu, yang dimaksud dengan tindak literal adalah tuturan yang isinya bisa dipahami secara harfiah, sedangkan tuturan tidak literal adalah tuturan yang isinya atau maknanya baru bisa dipahami setelah melalui penafsiran dengan memperhatikan ko-teks dan konteksnya. Berbeda halnya dengan wujud tutur dan fungsi tutur, strategi bertutur yang diekspresikan mahasiswa dalam GDMKM meliputi strategi langsung literal, strategi tidak langsung literal, strategi langsung tidak literal, dan strategi tidak langsung tidak literal. Strategi bertutur langsung literal dalam penelitian ini diekspresikan mahasiswa dengan gaya demagogik, persuasif, dan provokatif. Strategi ini dilakukan mahasiswa dengan menggunakan kalimat berita untuk memberitakan atau menceritakan sesuatu, kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu, kalimat perintah untuk memerintahkan sesuatu, mengajak, atau memengaruhi seseorang. Makna yang dikandung di dalam setiap tuturan dapat dipahami secara harfiah, sedangkan gaya bertuturnya bertujuan membakar emosi mitratutur, memengaruhi dengan bahasa halus, dan memprovokasi mitratutur. Tuturan demikian itu berarti sudah memenuhi prinsip presesibilitas dan prinsip kejelasan, sebagaimana dipersyaratkan oleh Leech (1993:97&100). Strategi bertutur tidak langsung literal dalam penelitian ini diekspresikan mahasiswa dengan
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 826
gaya bombastik, demagogik, persuasif, dan provokatif. Strategi ini diekspresikan mahasiswa dengan menggunakan kalimat berita untuk memerintah atau melarang, untuk menanyakan sesuatu, untuk mengajak seseorang melakukan sesuatu, dan untuk menginterogasi; kalimat tanya untuk memerintah atau menyatakan sesuatu, kalimat perintah untuk menasihati dan untuk bertanya. Makna yang terkandung di dalam setiap tuturan dapat dipahami secara harfiah, sedangkan gaya bertuturnya menggunakan ungkapan atau diksi hiperbolistik. Sebenarnya agak sulit memahami maksud tuturan jenis ini. Kesulitan ini sudah diramalkan jauh sebelumnya, sebagaimana dinyatakan oleh Searle (1975) bahwa akan terjadi kesulitan ketika menafsirkan makna tuturan yang di dalamnya penuh tindak tutur taklangsung. Penafsiran tuturan yang hanya berkutat pada aspek struktur formal teks akan mengalami kesulitan. Bagi Searle (1983:16), semua komunikasi bahasa melibatkan tindak. Unit komunikasi bahasa bukan hanya didukung oleh simbol, kata atau kalimat, tetapi produksi simbol, kata atau kalimat dalam membentuk tindak tutur. Perhatikan beberapa contoh strategi bertutur mahasiswa dalam GDMKM berikut ini. [6] Selama ini kebijakan Pemerintah selalu berpihak pada kepentingan-kepentingan pengusaha, kepentingankepentingan orang kaya, kepentingan-kepentingan kaum kapitalis. Kepentingankepentingan rakyat diabaikan. Konteks (Informasi Indeksal): Tuturan ini dikemukakan oleh orator (penutur) dalam sebuah demo bertopik ”Turunkan Harga
Sembako” pada tanggal 6 Maret 2008. Orator berorasi dengan nada emosional dilatari aksi teaterikal pengemis yang menjerit-jerit kelaparan sambil mengemis. Sementara itu, peserta lain memampangkan poster “Ciptakan Kedaulatan Pangan” dan meneriakkan yel-yel. Dengan tuturan [6] ini mahasiswa menuduh bahwa selama ini Pemerintah mengabaikan kepentingan rakyat. Menurut pandangan mahasiswa, Pemerintah justru lebih mementingkan pengusaha, orang kaya, dan kapitalis. Ketika tindakan Pemerintah hanya terfokus pada kepentingan pengusaha dan orang kaya, kepentingan rakyat terabaikan. Tuduhan ini terkait dengan semakin mahalnya harga kebutuhan bahan pokok (sembako). Dengan pernyataan [Selama ini kebijakan Pemerintah selalu berpihak pada kepentingankepentingan pengusaha, kepentingan-kepentingan orang kaya, kepentingan-kepentingan kapitalis] mahasiswa berusaha memersuasi peserta demo. Pernyataan ini yang disampaikan dengan kalimat berita dengan tujuan memersuasi mitratutur tergolong tuturan langsung literal dengan gaya persuasif. [7] Kita lihat banyak gelandangan, banyak orang yang tidak bisa membaca menulis. Di mana, di mana Pemerintah kita, di mana mata Pemerintah kita melihat itu semua? Konteks (Informasi Indeksal): Tuturan ini dikemukakan oleh orator (penutur) dalam sebuah demo dalam menyongsong Hari Pendidikan Nasional berjudul “Realisasikan Pendidikan
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 827
Murah” pada tanggal 1 Mei 2008. Sambil memegang megafon dan berjalan beriringan dengan peserta lain di jalan raya, dengan nada datar orator berjilbab ini berorasi agak terbata-bata. Peserta lain membentangkan spanduk bertuliskan “Realisasikan Pendidikan Gratis untuk Rakyat” dan memampangkan poster “Fasilitasi Pendidikan untuk Rakyat”, “Hapuskan Pungli Pendidikan”, dan “Orang Miskin Berhak Sekolah” serta meneriakkan yel-yel “Pendidikan gratis, untuk rakyat. Pendidikan gratis, untuk rakyat.....”. Melalui tuturan [7] ini mahasiswa secara tidak langsung literal berusaha memprovokasi peserta demo agar mendesak Pemerintah dan anggota dewan lebih berpihak kepada rakyat kecil dalam mengambil berbagai kebijakan, khususnya di bidang pendidikan. Pada tuturan ini terlebih dahulu penutur menggambarkan dampak dari beaya pendidikan yang mahal. tersebut tidak semua warga negara bisa mengenyam pendidikan yang bermutu. Keadaan tersebut dipandang oleh mahasiswa sebagai sebuah kealpaan Pemerintah. Dengan penggambaran semacam itu penutur ingin memprovokasi peserta demo untuk mengingatkan peran Pemerintah dalam menyejahterakan kehidupan rakyat. Di balik pertanyaan dalam tuturan ini secara ilokutif terkandung maksud memerintah [Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap dampak masih banyaknya masyarakat yang masih buta huruf] atau [Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap masih
banyaknya masyarakat belum bisa membaca dan menulis]. Oleh karena itu strategi yang digunakan dalam tuturan tersebut tergolong tidak langsung literal dengan gaya provokatif. Strategi bertutur langsung tidak literal dalam penelitian ini diekspresikan mahasiswa dengan gaya demagogik, persuasif, dan provokatif. Strategi ini diekspresikan mahasiswa dengan menggunakan tuturan yang identik dengan modusnya, yakni kalimat berita untuk menyatakan atau memberitakan sesuatu, sedangkan maknanya harus ditafsirkan berdasarkan konteksnya dengan maksud memengaruhi mitratutur. Ekspresi tutur lainnya berupa kalimat tanya untuk mempertanyakan seseorang, sedangkan maknanya harus dipahami berdasarkan konteksnya yang bertujuan memprovokasi mitratutur. Strategi bertutur tidak langsung tidak literal dalam penelitian ini diekspresikan mahasiswa dengan gaya bombastik dan demagogik. Strategi ini diekspresikan mahasiswa dengan menggunakan modus kalimat yang tidak identik dengan tuturannya, yakni kalimat berita digunakan untuk memerintah atau bertanya, dan kalimat tanya untuk memerintah, sedangkan maknanya harus dipahami berdasarkan ko-teks dan konteksnya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan paparan data dan temuan-temuan penelitian beserta eksplanasinya disampaikan beberapa simpulan yang penting untuk dicermati, meliputi wujud tuturan, fungsi tuturan, dan strategi bertutur GDMKM. Wujud tuturan yang
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 828
diekspresikan dalam GDMKM berupa penggunaan diksi yang relatif tertib disertai kecukupan wawasan, penggunaan ilustrasi yang cukup memadai, penggunaan simbol-simbol atau perumpamaan-perumpamaan yang penuh makna pada saat menyindir dan mengukuhkan pendapat, dan pengulangan kata-kata tertentu dengan frasa-frasa negatif dengan makna positif ketika berjanji dan mengultimatum. Fungsi tuturan yang diekspresikan dalam GDMKM berupa membela dan memperjuangkan nasib rakyat kecil, menyalurkan aspirasi rakyat, meluruskan tindakan pemegang orotitas yang keliru, mengkritik dan mempertanyakan kebijakan Pemerintah di berbagai bidang, mengklarifikasi tanggung jawab pemegang otoritas, memberikan solusi terhadap kebijakan Pemerintah tentang pengelolaan aset-aset negara, memperjuangkan keadilan dan kebenaran, melawan penindasan, menyoroti dan mengultimatum kekuasaan yang otoriter, berempati terhadap nasib rakyat kecil terkait kebijakan Pemerintah yang tidak prorakyat, menyoroti kebijakan Pemerintah di bidang ekonomi yang tidak prorakyat, dan menyikapi kebijakan-kebijakan Pemerintah di berbagai bidang, serta mengultimatum kebijakan pemegang otoritas yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Di sisi lain, mahasiswa menggunakan strategi bertutur dalam GDMKM secara spesifik, yakni strategi langsung literal dan tidak langsung literal dengan ragam gaya bertutur bombastik, demagogik, persuasif, dan provokatif. Saran Atas dasar beberapa kesimpulan yang ditemukan dalam
penelitian ini, berikut ini disampaikan saran-saran untuk berbagai pihak terkait. Untuk pengelola program studi bahasa di perguruan tinggi, disarankan agar dosen pengampu mata kuliah memanfaatkan hasil dan temuan penelitian ini sebagai salah satu alternatif bahan perkuliahan untuk mata-mata kuliah pragmatik, retorika, analisis wacana, sosiolinguistik, dan etnografi komunikasi, memanfaatkan hasil dan temuan-temuan penelitian ini untuk pengembangan silabus matakuliah pragmatik, retorika, analisis wacana, sosiolinguistik, dan etnografi komunikasi, dan menugasi mahasiswa, khususnya untuk program magister dan doktor, untuk menggali lebih intensif temuantemuan penelitian ini guna kepentingan penyusunan tugas akhir atau tugas terstruktur mata kuliah. Untuk unit aktivitas kemahasiswaan di perguruan tinggi, disarankan agar memanfaatkan temuan-temuan penelitian yang bernilai positif sebagai salah satu model perilaku bertutur di depan umum, menghindari ekspresi tutur yang tidak etis atau brutal dalam bertutur di depan publik, dan memanfaatkan temuan-temuan penelitian guna pengembangan wawasan ilmiah dan pembinaan perilaku mahasiswa di kalangan perguruan tinggi. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh para peneliti atau pemerhati disiplin ilmu pragmatik. Untuk peneliti atau pemerhati, untuk yang sudah pernah meneliti (pemerhati) disarankan agar memanfaatkan temuan-temuan dalam penelitian ini untuk pengembangan penelitian lebih lanjut; sedangkan untuk yang baru meneliti (peneliti) disarankan agar mengembangkan temuan-temuan
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 829
penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan latar, partisipan, dan tujuan penelitian yang berbeda. Dengan memperhatikan ekspresi tuturan mahasiswa dalam gerakan demonya, temuan penelitian yang berupa penyimpangan kaidah maupun etika dalam bertutur dapat dimanfaatkan untuk mencari solusi terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi. Di samping itu, hasil penelitian ini juga bisa dimanfaatkan oleh pejabat pengambil kebijakan di tingkat kota Malang. Hal ini mengingat acapkali gerakan demo mahasiswa menggunakan fasilitas umum, khususnya gedung DPRD Kota Malang dan Balaikota Malang, yang memungkinkan munculnya gangguan-gangguan atau gesekan dengan masyarakat dan aparat keamanan. Pejabat Pemerintah Kota Malang dengan kewenangannya dapat melakukan upaya untuk memperkecil terjadinya gangguangangguan dimaksud. Dalam kaitan ini, disarankan agar Pemkot mengondisikan lokasi sedemikian rupa sehingga segala aspirasi mahasiswa tersalurkan dengan baik tanpa adanya gesekan dengan aparat, Pemkot membentuk wadah untuk menyalurkan aspirasi mahasiswa, dan aparat keamanan bertindak arif dan tidak bertindak represif dalam menghadapi demo mahasiswa. DAFTAR RUJUKAN Austin, J. L. 1962. How to Do Things with Words. Oxford: Clarendon Press. Bourdieu, P. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press. Culla, A. S. 2006. Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi
Ornop di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Cummings, L. 1999. Pragmatics, A Multidisciplinary Perspective. Terjemahan oleh Abdul Syukur Ibrahim (Ed.). 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Gazdar, G. 1979. Pragmatics: Implicature, Presupposition, and Logical Form. London: Academic Press, Inc. Grundy, P. 2000. Doing Pragmatics. Oxford: Oxford University Press Inc. Holmes, J. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman Publishing. Hymes, D. 1974. Foundations in Sociolinguistics: Ethnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Leech, G. 1983. The Principles of Pragmatics. Terjemahan oleh M.D.D. Oka. 1993. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Lofland, J. 2003. Protes: Studi tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial. Terjemahan dari ‘Protest: Studies of Collective Behavior and Social Movement. Alih bahasa oleh Luthfi Ashari. Yogyakarta: INSIST Press. Mey, J. L. 1996. Pragmatics, An Introduction. Oxford & Cambridge: Blackwell Publishers. Nadar, F.X. 2009. Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Ninio, A. & Snow, C. E. 1996. Pragmatic Development. Oxford: Westview Press.
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 830
Oktavianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Budaya. Padang: Andalas University Press. Parker, F. 1986. Linguistics for NonLinguists. London: Taylor and Francis Ltd. Purwanto, A. A. 2006. Kekerasan dalam Gerakan Mahasiswa: Demonstran/ Pemberang? (Online). (http://gerakanmahasiswa.blogs pot.com/2006/04/kekerasandalam-gerakanmahasiswa.html, diakses tanggal 7 Mei 2006). Rahardi, K. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Richards, J. dkk. 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistics. London: Longman. Richards, J.C., Patt, J. & Patt, H. 1999. Dictionary of Language Teaching & Applied Linguistics. London: Longman. Sanjaya, W. 2008. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Searle, J. R. 1975. Indirect Speech Acts. Dalam Cole, Peter and Morgen, Jerry L. (Eds.). Syntax and Semantic Volume 3: Speech Acts. New York: Academic Press. Searle, J. R. 1983. Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language. Cambridge: Cambridge University Press. Silverman, D. 1995. Interpreting Qualitative Data: Methods for Analyzing Talk, Text, and Interaction. London: Sage Publications. Soemarmo, M. 1988. Pragmatik dan Perkembangan Mutakhirnya. Artikel dalam PELLBA I.
Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya. Spradley, J. P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston. Sztompka, P. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Terjemahan dari ‘The Sociology of Social Change’. Alih bahasa oleh Alimandan. Jakarta: Prenada Media. Tarjana, S. S. 2009. Penggunaan Bahasa dalam Perspektif Pragmatik dan Implikasinya bagi Peningkatan Kualitas Generasi Muda di Indonesia. Pidato Guru Besar. (Online) (http://pustaka.uns.ac.id/?opt=1 001&menu=news&option=deta il&nid=125, diakses tanggal 31 Maret 2009). Tocqueville, A. de. 2005. Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. Terjemahan dari “Alexis de Tocqueville on Democracy, Revolution, and Society”. Alih bahasa oleh Yusi A. Pareanom. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Widjojo, M. S. & Noorsalim, M. 2004. Bahasa Negara versus Bahasa Gerakan Mahasiswa. Jakarta: LIPI Press. Wijana, I D. P. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
NOSI Volume 1, Nomor 7, Agustus 2013 ___________________________Halaman | 831