WACANA KARIKATUR INDONESIA Perspektif Kajian Pragmatik
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Suyitno
APRESIASI PUISI DAN PROSA
Diterbitkan atas Kerja Sama UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press) dan Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) Universitas Sebelas Maret Surakarta
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Suyitno Apresiasi Puisi dan Prosa . Cetakan 2. Surakarta . UNS Press dan LPP UNS 2010 vii + 217 hal; 24,5 cm APRESIASI PUISI DAN PROSA Hak Cipta© Suyitno 2010 Penulis Editor
Drs. Suyitno, M.Pd. Kundharu Saddhono, S.S., M.Hum. Atikah Anindyarini, S.S., M.Hum. Dr. Soeharto, M.Pd.
Ilustrasi Sampul CakraBooks Solo Penerbit UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press) dan Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telp. 0271-646994 Psw. 341 Website : www.unspress.uns.ac.id Email:
[email protected] Cetakan 2, Maret 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Right Reserved ISBN 979-498-420-5 Buku ini dipilih sebagai buku teks bermutu oleh Program Buku Teks - Lembaga Pengembangan Pendidikan
Universitas Sebelas Maret melalui proses seleksi penilaian yang kompetitif dan selektif.
Kata Pengantar Buku yang berjudul ”Wacana Karikatur Indonesia: Perspektif Kajian Pragmatik” ini pada mulanya adalah sebuah disertasi di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Buku ini muncul atas dasar keinginan penulis untuk menyebarluaskan pemahaman tentang wacana karikatur khususnya karya G.M. Sudarta yang dimuat di surat kabar Kompas ditinjau dari kajian pragmatik, yang menurut pengamatan penulis masih sedikit yang mempublikasikan dalam bentuk buku. Buku ini terdiri atas 8 bab yang terperinci sebagai berikut. Bab 1 membahas tentang wacana karikatur Indonesia terdiri dari sekilas tentang kajian karikatur, kajian tentang karikatur di Indonesia, metode kajian wacana karikatur. Bab II membahas tentang konsep dasar kajian karikatur yang terdiri dari konsep karikatur, tindak tutur dalam kajian karikatur, fungsi penggunaan bahasa karikatur, pemakaian bahasa wajar dan bahasa humor, konsep pragmatik, interpretasi pragmatik, dan daya pragmatik. Bab III yaitu jenis-jenis tindak tutur, implikatur, dan daya pragmatik dalam wacana karikatur. Bab IV yaitu penerapan prinsip kerja sama dan kesopanan dalam karikatur. Bab V membahas tentang pemanfaatan bahasa dan koherensi antara tema, unsur lingual, citra serta gambar dalam karikatur. Bab VI berisi tentang pemahaman karikaturis dan pembaca tentang fungsi kemasyarakatan dalam karikatur. Bab VII berisi tentang prespektif umum wacana karikatur Indonesia. Terakhir Bab VIII berisi catatan akhir. Buku ini dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa, baik Strata 1, Strata 2 maupun Strata 3. Selain itu, buku ini juga dapat dimanfaatkan oleh para siswa di sekolah maupun para peminat dan pemerhati bahasa. Buku ini juga dapat dimanfaatkan oleh pembaca yang berminat di bidang seni. Dalam bidang kesenian buku ini dapat dimanfaatkan missalnya dalam semiotika, penciptaan seni khususnya karikatur dan aspek estetika serta etika dalam mencipta sebuah karya seni. Buku ini memfokuskan pada kajian pragmatik dengan objek wacana karikatur. Di dalam analisisnya penulis mengkaji karikatur dari aspek tindak tutur, implikatur dan daya pragmatik, aspek-aspek kebahasaan, koherensi antara wacana dengan gambar, dan sekaligus membahas tentang fungsi kemasyarakatan sebuah karikatur. Kajian buku ini didasari oleh buku-buku tentang pragmatik yang telah ada. Buku-buku tersebut anatara lain Leech (1983), Kreidler (1998),
v
George Yule (1996). Searle (1974), Putu (1996), Kunjana (2005), dan Austin (1969). Buku-buku tersebut pada umumnya masih berkutat pada teori dan konsep pragmatik saja. Oleh karena itu, kajian dalam buku ini akan memberikan pemahaman yang utuh pada pembaca berkaitan dengan kajian pragmatik, khususnya berkaitan dengan karikatur. Dalam buku ini dijelaskan karikatur sebagai objek kajian dianalisis dari aspek tindak tutur, implikatur dan daya pragmatik, aspek kebahasaan, koherensi antara wacana dan gambar, serta aspek fungsi kemasyarakatan. Buku ini juga membahas karikatur dari aspek kebahasaan yang masih jarang dibahas. Pada umumnya buku-buku yang membahas tentang karikatur belum menyinggung aspek kebahasaan, khusus kajian pragmatik. Buku-buku tersebut antara lain Sudharta (1987, 2007), Sudjiman (1986), Raskin (1985), dan Pramono (1996) Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan buku ini. Terima kasih disampaikan kepada Rektor UNS, Dekan FKIP, para promotor dan penguji, serta pada rekan-rekan di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP UNS. Tidak lupa kepada Istri dan anak-anak tersayang yang telah memberikan motivasi dan semangat selama dalam menempuh pendidikan dan dalam penyelesaian buku ini. Buku ini merupakan salah satu pubikasi ilmiah penulis yang pertama dalam bentuk buku. Oleh karena itu, sebuah kewajaran apabila masih ada kekurangan dan kelemahan dalam buku ini, baik dalam materi, bahasa maupun penyajiannya. Saran dan kritik akan senantiasa penulis harapkan demi kesempurnaan untuk buku-buku selanjutnya. Penulis berharap buku ini bisa menjadi salah satu pengisi kajian kebahasaan khususnya bidang pragmatik. Dr. Slamet Supriyadi, M.Pd.
vi
Daftar Isi Kata Pengantar ................................................................................. Daftar Isi .................................................................................
v vii
BAB I
WACANA KARIKATUR INDONESIA ............................... A. Sekilas tentang Kajian Karikatur ............................. B. Kajian tentang Karikatur di Indonesia .................... C. Metode Kajian Wacana Karikatur ...........................
1 1 7 9
BAB II
KONSEP DASAR KAJIAN KARIKATUR ........................... A. Konsep Karikatur..................................................... B. Tindak Tutur dalam Wacana Karikatur ................... C. Fungsi Penggunaan Bahasa Karikatur ..................... D. Pemakaian Bahasa Wajar dan Bahasa Humor ........ E. Konsep Pragmatik ................................................... F. Interpretasi Pragmatik ............................................ G. Daya Pragmatik .......................................................
15 15 25 30 31 42 44 47
BAB III
JENIS TINDAK TUTUR, IMPLIKATUR, DAN DAYA PRAGMATIK DALAM WACANA KARIKATUR ............... A. Pengantar ............................................................... B. Tindak Tutur Komisif yang Ada dalam Wacana Karikatur ................................................................. C. Tindak Tutur Direktif yang Ada dalam Wacana Karikatur ................................................................. D. Tindak Tutur Performatif yang Ada dalam Karikatur ................................................................. E. Tindak Tutur Ekspresif yang Ada dalam Wacana Karikatur ................................................................. F. Tindak Tutur Verdiktif yang Ada dalam Wacana Karikatur ................................................................. G. Tindak Tutur Asertif yang Ada dalam Wacana Karikatur .................................................................
vii
49 49 50 54 59 64 68 71
BAB IV
PENERAPAN PRINSIP KERJA SAMA DAN PRINSIP KESOPANAN DALAM KARIKATUR ................................ A. Pengantar ............................................................... B. Pelanggaran Maksim Kuantitas .............................. C. Pelanggaran Maksim Kualitas ................................. D. Pelanggaran Maksim Relevansi .............................. E. Pelanggaran Maksim Pelaksanaan ......................... F. Penerapan Prinsip Kesopanan ................................ G. Penerapan Maksim Kecocokan............................... H. Penerapan Maksim Kesimpatian ............................ I. Penerapan Maksim Kebijaksanaan ......................... J. Penerapan Maksim Kerendahan Hati .....................
BAB V
PEMANFAATAN BAHASA DAN KOHERENSI ANTARA TEMA, UNSUR LINGUAL, CITRA SERTA GAMBAR DALAM KARIKATUR...................................................... A. Pengantar ............................................................... B. Pemanfaatan Aspek Fonologi (bunyi) ..................... 1. Aspek Peninggian dan Pemanjangan Bunyi...... 2. Aspek Pengulangan Suku Kata.......................... 3. Aspek Onomatope (Tiruan Bunyi) .................... C. Pemanfaatan Aspek Kebahasaan Bentuk Kata ....... 1. Kata yang bermakna polisemi ambiguitas........ 2. Kata yang berbentuk idiom .............................. D. Kata yang berpasangan antonimik ......................... 1. Kata yang homonimik ....................................... 2. Aspek kebahasaan kata-kata yang berelasi hiponemik ......................................................... E. Pemanfaatan aspek kebahasaan bentuk frasa dalam wacana karikatur ......................................... 1. Frasa konstruksi milik ....................................... 2. Frasa amphiboli (frasa makna ambiguitas) ...... 3. Frasa endosentrik koordinatif alternatif .......... 4. Frasa dengan atributnya sama ........................
viii
77 77 78 83 86 90 94 96 101 106 111
119 119 119 120 123 124 126 126 134 141 146 148 151 151 153 154 156
F. Pemanfaatan aspek kebahasaan bentuk kalimat ... 1. Kalimat dengan gaya bahasa yang kontradiktif 2. Kalimat majemuk bermakna pertentangan ..... G. Pemanfaatan aspek kebahasaan bentuk wacana... 1. Wacana judul lagu ............................................ 2. Wacana judul film ............................................. 3. Wacana dalam bentuk ideolek pemimpin........ H. Koherensi antara tema, unsur lingual, citra serta gambar dalam wacana karikatur ............................ 1. Pengantar ......................................................... 2. Koherensi dalam wacana karikatur .................. BAB VI
BAB VII
PEMAHAMAN KARIKATURIS DAN PEMBACA TENTANG FUNGSI KEMASYARAKATAN DALAM KARIKATUR ................................................................... A. Pengantar ................................................................ B. Fungsi kemasyarakatan karikatur dari sudut pandang karikaturis ................................................. C. Fungsi kemasyarakatan karikatur dari sudut pandang Guru .......................................................... D. Pemahaman Fungsi kemasyarakatan karikatur dari sudut pandang dosen komunikasi .................... E. Fungsi kemasyarakatan karikatur dari sudut pandang mahasiswa ................................................ F. Fungsi kemasyarakatan karikatur dari sudut pandang dosen seni rupa ........................................ G. Fungsi kemasyarakatan karikatur dari menurut pandang pembaca (pelanggan tetap Kompas) ........
159 161 165 167 168 171 172 174 174 178
201 201 205 212 218 223 226 229
PERSPEKTIF UMUM WACANA KARIKATUR INDONESIA
235
BAB VIII CATATAN AKHIR ........................................................... DAFTAR PUSTAKA ....................................................................
253 262
ix
x
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
BAB I WACANA KARIKATUR INDONESIA A. Sekilas tentang Kajian Karikatur Pada tanggal 15 Februari 2006 dunia dikejutkan oleh berita yang menghebohkan dan menuai protes keras dari masyarakat dunia khususnya masyarakat muslim di berbagai belahan bumi, khususnya muslim di Indonesia. Penyebabnya adalah dimuatnya gambar karikatur Nabi Muhammad saw. oleh Danish Newspaper Jyllands-Posten Denmark bulan September 2005. Kemudian karikatur-karikatur diterbitkan oleh beberapa media di Eropa oleh Dozen newspapers di Perancis, German, Norwegia, serta Amerika. Publikasi karikatur tersebut mengundang protes negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim misalnya Arab, Lebanon, Iran, Pakistan, Palestina, dan Indonesia. Di Indonesia organisasi massa seperti FPI (Front Pembela Islam), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan Muhammadiyah memprotes keras, sampai-sampai menganjurkan pemerintah Indonesia untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintah Denmark (Antara, 2006: 1). Sebulan kemudian muncul isu baru di masyarakat dengan dimuatnya karikatur Presiden Republik Indonesia oleh pers Australia yaitu The Weekend Australia Daily, yang menggambarkan presiden sebagai pembunuh rakyat Papua. Peristiwa itu bermula dari eksodusnya 42 orang Papua untuk minta suaka politik di Australia. Peristiwa tersebut juga menimbulkan sentimen anti-Australia oleh elemen masyarakat yang merasa pemimpinnya dilecehkan oleh Australia. Dengan sajian dua ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa Karikatur selain sebagai gambar pengisi rubrik opini surat kabar juga dapat menimbulkan emosi orang, rasa nasionalisme, rasa solidaritas, rasa kebencian, bahkan dapat menimbulkan SARA. Namun, kritik-kritik1
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
nya terkadang terkesan lucu dan membuat orang yang tersindir tersenyum geli. Selama ini banyak yang mengartikan bahwa gambar lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan humor semata, tanpa membawa beban kritik sosial apa pun, biasanya hanya disebut sebagai kartun; dan gambar lelucon yang membawa pesan kritik sosial sebagaimana sering dilihat di setiap ruang opini surat kabar disebut karikatur. “Tentu saja hal ini kurang benar”, kata Sudarta. Menurutnya, kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu, lahiriahnya untuk tujuan mengejek (Sudarta, 1987: 49). Senada dengan Sudarta, Pramono (1996: 49) berpendapat bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi salah kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial, yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adalah political cartoon atau editorial cartoon, yakni versi lain dari editorial, atau tajuk rencana dalam versi gambar humor. Inilah yang biasa disebut karikatur (Sudarta,1987). Memang, antara kartun dan karikatur ibarat binatang dan gajah. Kartun adalah binatang, sedangkan karikatur adalah gajah. Kartun bukan hanya karikatur karena ada gag cartoon (kartun murni), kartun animasi, strip cartoon, kartun opini, dan lain-lain. Karikatur yang berasal dari kata caricare adalah foto atau potret seseorang secara berlebihan. Deformasi ini dapat berarti penghinaan atau penghormatan (Pramono, 1996: 4849; periksa Wijana, 2003:7). Dari beberapa pendapat di atas dapat disarikan bahwa karikatur adalah bagian dari kartun yang digambarkan dalam bentuk fiktif atau deformasi dari tokoh tertentu yang mempunyai tujuan untuk menyindir, mengritik, dan menghimbau, menyarankan kepada objek sasarannya. Dilihat dari sasaran karikatur, orang dunia Timur, termasuk Indonesia, cenderung merasa dihina bila wajah atau fisiknya dikarikaturkan. Akan tetapi, banyak orang Barat yang justru senang dikarikaturkan, daripada difoto. Mantan Presiden Amerika Serikat seperti Jimmy Carter dan Ronald Reagan, misalnya, sangat bangga digambar gigi-geliginya yang besar dan jambulnya yang tinggi. Mereka menganggap bila dikarikaturkan berarti mendapat penghormatan (Sobur, 2004: 139). Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan 2
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
selingan atau ilustrasi belaka, namun pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat. Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar lucu dan menarik. Sebaliknya, fungsi karikatur adalah khas, yaitu bertujuan utama menyindir, mengritik atau memperingatkan. Karena karakteristiknya yang selalu mengumpan rasa lucu, serta menampilkan kritik dan sindiran, maka banyak fungsi bisa dijalankan oleh seni karikatur. Karikatur bisa mendidik, mengejek, menyindir, menghimbau, menyarankan, memerintahkan, menertawai, menghibur dengan kelucuan-kelucuan menanggapi sesuatu peristiwa, dan lain-lain. Secara sengaja media ini diciptakan untuk berfungsi sebagai cermin yang bisa memantulkan tingkah laku setiap orang, baik secara pribadi maupun sosial dalam percaturan hidup di masyrakat. Di dalam gambar karikatur terdapat gambar dan teks. Keduanya memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karikatur ditinjau dari aspek linguistik memiliki kekhasan yang menarik untuk diteliti. Kekhasan tersebut berkaitan dengan: (a) jenis tindak tutur, implikatur dan jenis tindak tutrur yang dominan (b) prinsip-prinsip kerja sama, dan prinsip sopan santun yang disajikan, (c) aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan dan koherensi antara tema, unsur lingual, citra, dan gambar, serta, (d) fungsi kemasyarakatan yang ada dalam karikatur. Sebagai contohnya adalah data wacana karikatur (1) berikut ini. (1) …kalau aku jadi MENTERI…yang pasti kau bukan lantas ikut dipanggil bapak menteri lho…!! Data (1) berjenis tindak tutur direktif karena tuturan penutur menghendaki mitra tutur melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan. Pada contoh tersebut tersembunyi ketidaksetaraan jender, karena kebiasaan di Indonesia kalau suami yang jadi menteri lantas istrinya dipanggil ibu menteri, tetapi jika yang jadi menteri itu dari pihak istri, maka suami tidak dipanggil bapak menteri. Data (1) mengandung implikatur untuk menyindir para pejabat agar posisi jabatan istri atau suami tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Aspek kebahasaan yang dimanfaatkan data (1) adalah memanfaatkan kalimat imperatif, memanfaatkan tanda (!) sebagai penekanan bahwa jika penutur jadi menteri tidak lantas suaminya jadi ”bapak menteri”. Hal tersebut dimaksudkan untuk menyindir pejabat yang suami/istrinya jadi
3
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
menteri mereka memanfaatkan jabatan suami/istri mereka. Selain itu juga memanfaatkan kalimat pengandaian seperti data berikut: …kalau aku jadi MENTERI.... Dalam wacana karikatur juga ada aspek-aspek ekstralingual yang melatarbelakangi munculnya karikatur. Contoh data yang menunjukkan faktor ekstralingual adalah data (2) pada contoh berikut ini. (2) Selamat datang, saudara sekandung sebangsa setanah air Data (2) faktor ekstralingualnya adalah pada tahun 1976 tahanan politik golongan B dibebaskan oleh penguasa Orde Baru. Sebagai bangsa yang beradab tentunya masyarakat harus berani memaafkan kesalahan yang dibuat oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air dan menerima mereka secara tulus, namun tetap waspada. Itulah setting yang terkandung dalam wacana karikatur yang melatarbelakangi munculnya wacana tersebut. Di dalam karikatur juga terdapat penerapan dan penyimpangan prinsip kerja sama, yang dapat dicontohkan dalam data (3) berikut ini. …Paak…! Yang merdeka bukan hanya Bapak…Saya juga!! Data (3) melanggar prinsip kerjasama maksim kuantitas karena informasi yang diberikan oleh penutur kurang jelas dan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh mitra tutur (pembaca). Data (3) memilih tuturan yang kurang lugas sehingga tidak mudah dipahami oleh petutur (pembaca) hal itu ditandai dengan penanda lingual ”yang merdeka”. Kata/tuturan yang merdeka masih multi-tafsir, apakah merdeka dalam arti bebas dari penjajahan, atau merdeka dalam arti kebebasan, atau yang dimaksud penutur merdeka adalah bebas dalam memperoleh asset ekonomi. Itulah yang membuat tuturan itu tidak cukup informasinya sesuai dengan yang dibutuhkan petutur. Akan tetapi, penyimpangan maksim kuantitas data (3) mempunyai maksud tersendiri dari karikaturis yaitu ingin mengritik keadaan di masyarakat yang sangat timpang antara si kaya dan si miskin dalam memperoleh hak ekonomi. Kata merdeka yang disuarakan oleh penutur melalui karikatur, mengandung maksud bahwa kemerdekaan yang telah didapat dari perjuangan bukan hanya dinikmati segelintir orang saja. Artinya pemerintah hendaknya lebih memikirkan nasib sebagian besar rakyatnya yang masih di bawah garis kemiskinan, dan bukan hanya kemakmuran segelintir orang saja seperti yang terlihat sekarang ini. Pelanggaran wacana di dalam karikatur diperjelas dengan gambar visual yang menggambarkan
4
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
ikon si kaya dan si miskin melalui pemilihan gambar yang memperjelas konteks wacana. Selain itu, karikaturis juga menerapkan prinsip kesopanan dalam karikaturnya. Hal itu dapat dijelaskan pada data (4) berikut ini. (4) + Percayalah ...yang namanya Pembangunan itu...pasti hasilnya untuk rakyat .. - Termasuk kesengsaraan ya Pak ?! Data (4) memanfaatkan maksim kesimpatian karena penutur mengungkapkan rasa simpati dengan ikut prihatin atas kesusahan rakyat yang terkena gusuran rumahnya disebabkan tanahnya tergenang lumpur panas Lapindo Brantas di Sidoharjo Jawa Timur. Peristiwa itu juga sempat menaikkan angka stres di kalangan penduduk yang terkena musibah semburan lumpur tersebut. Rasa simpati tersebut ditunjukkan dengan penanda lingual .. Percayalah ...yang namanya Pembangunan itu...pasti hasilnya untuk rakyat ...rasa ikut merasakan penderitaan petutur sekaligus untuk membesarkan hati petutur dengan penanda lingual..pasti hasilnya untuk rakyat...artinya penutur meyakinkan kepada mitra tutur agar bersabar dan berbesar hati menghadapi cobaan yang menimpanya yang nantinya hasil ’pembangunan’ tersebut akan ikut dinikmati petutur (rakyat). Menurut karikaturis, hal-hal yang sangat sensitif buat kepentingan rakyat dalam menggambarkan karikaturnya harus direnungkan dulu, dicari data-data lengkap melalui observasi baru mencari ide gambar yang tepat untuk disajikan lewat karikatur di surat kabar. Peristiwa lumpur Lapindo Brantas merupakan masalah yang sangat sensitif diungkapkan karena berkaitan dengan rakyat dan penguasa, sehingga karikaturis harus ekstra hati-hati dalam mengritik lewat karikatur yang dibuatnya. Kemudian jika dilihat dari segi fungsi kemasyarakatan, karikatur mempunyai fungsi kritik, informasi, pendidikan, moralitas, politik, ideologi, hankam, hiburan, dan yang lebih utama adalah sebagai fungsi kritik dan sindiran untuk perbaikan sasaran kritiknya. Berpijak dari contoh karikatur di atas ternyata karikatur ditinjau dari kaca mata linguistik sangat menarik dan menggelitik untuk diteliti lebih jauh dan mendalam. Karikatur yang akan dijadikan sasaran penelitian ini adalah karikatur karya G.M Sudarta yang pernah dimuat di surat kabar Kompas.
5
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
BAB II KONSEP DASAR KAJIAN KARIKATUR A. Konsep Karikatur Di dalam masyarakat selama ini berkembang kesalahkaprahan yang menganggap karikatur mencakup seluruh kriteria yang bersifat mengritik atau menyindir. Sebenarnya karikatur hanyalah bagian dari kartun dengan ciri deformasi atau distorsi wajah, biasanya wajah tokoh manusia yang dijadikan sasarannya (Wijana, 1995: 8). Noerhadi di dalam artikelnya yang berjudul “Kartun dan Karikatur sebagai Wahana Kritik sosial” seperti dikutip Wijana (1995), mendefinisikan karikatur sebagai suatu bentuk tanggapan lucu dalam citra visual. Dalam artikel tersebut konsep kartun dipisahkan secara tegas dengan karikatur. Tokoh-tokoh kartun bersifat fiktif yang dikreasikan untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka. Sementara itu, tokoh-tokoh karikatur adalah tokoh-tokoh tiruan lewat pemiuhan (distorsi) untuk memberikan persepsi tertentu kepada pembaca sehingga sering kali disebut portrait caricature (Wijana, 1995: 8). Karikatur adalah gambar yang bersifat lelucon yang mengandung sindiran. Karikatur disebut juga gambar ejekan (Poerwadarminta, 2003: 524). Menurut Wijana dalam disertasinya yang berjudul “Wacana Karikatur dalam Bahasa Indonesia” menyatakan karikatur (Caricature) berasal dari bahasa Italia Caricatura (caricare) yang artinya memberi muatan atau beban tambahan. Yang direka adalah tokoh-tokoh politik atau orang-orang yang karena peristiwa menjadi pusat perhatian. Distorsi jasmani tokoh-tokohnya itu tidak selamanya dimaksudkan sebagai sindiran, melainkan dapat juga hanya untuk menampilkannya secara humoristis (Wijana, 1995: 8). Karikatur pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni karikatur verbal dan nonverbal. Karikatur verbal yaitu karikatur yang 15
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
dalam visual gambarnya memanfaatkan unsur-unsur verbal seperti kata, frase, dan kalimat, di samping gambar tokoh yang didistorsikan itu, sedangkan karikatur nonverbal cenderung memanfaatkan gambar sebagai bahasa bertutur agar maksud yang termaksud dalam gambar tersampaikan kepada pembaca. Karikatur selain sebagai wahana kritik sosial juga mampu menjadi wahana hiburan yang kental dengan humor dan kelucuan, sehingga mampu membangkitkan kesegaran bagi pembacanya. Di dalam masyarakat, humor, baik yang bersifat erotis maupun protes sosial, berfungsi sebagai penglipur lara. Hal ini disebabkan humor dapat meyakinkan ketegangan batin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui tawa atau senyuman (Wijana, 2004: 26). Pernyataan itu sesuai dengan pandangan Wilson yang menyatakan bahwa humor tidak selamanya bersifat agresif dan radikal yang memfrustrasikan sasaran agresinya dan memprovokasikan perubahan, serta mengecam sistem sosial masyarakatnya, tetapi dapat pula bersifat konservatif yang memiliki kecenderungan untuk mempertahankan sistem sosial dan struktur kemasyarakatan yang telah ada (Wilson dalam Wijana, 1995: 3). Lebih lanjut Wijana mengungkapkan bahwa humor dapat disajikan dalam berbagai bentuk seperti teka-teki, dongeng, julukan, kartun dan karikatur. Wahana kritik sosial ini sering dijumpai di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah dan tabloid. Karikatur biasanya diciptakan sebagai reaksi terhadap peristiwa tertentu sehingga memungkinkan digali atau dicari isi faktanya. Untuk mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan di atas satu langkah yang niscaya adalah pengamatan dan penelitian yang dilakukan secara cermat dan tajam terhadap keadaan-keadaan sekitar untuk menangkap makna hidup yang tersirat di dalamnya (Dakiade dalam Sudarta, 1980: viii). Begitu banyak hal yang dijelaskan oleh karikatur ini dengan lebih ramah, malah kadang-kadang lebih menyentuh, lebih manusiawi, dan mampu membangkitkan tawa. Karikatur juga dapat membangkitkan amarah bagi yang terkena. Namun, di atas segala-galanya karikatur berperan sebagai pencatat peristiwa, menampilkan hubungan-hubungan peristiwa dan mencoba mengemukakan interpretasi dan makna. Interpretasi terhadap suatu peristiwa secara padat dan humor di antaranya tampil melalui karikatur. Interpretasi itu tajam dan sarat, karena amat subjektif dan dinyatakan dalam gambar (Sudarta, 1980: viii). Di dalam gambar karikatur, tokoh-tokoh politik atau peristiwa-peristiwa penting 16
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
BAB III JENIS-JENIS TINDAK TUTUR, IMPLIKATUR, DAN DAYA PRAGMATIK DALAM WACANA KARIKATUR A. Pengantar Tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berwujud pernyataan, perintah, pertanyaan atau lainnya (Searle, 1969 dalam Suwito, 1983: 33; baca Rohmadi, 2004: 83). Menurut para ahli bahasa, tindak tutur memiliki berbagai kategori dan fenomena yang aktual. Jenis tindak tutur berdasarkan klasifikasi Kreidler (1998) adalah (a) asertif (assertive utterance), (b) performatif (performative utterance), (c) verdiktif (verdictive utterance), (d) ekspresif (expressive utterance), (e) direktif (directive utterance) (f) komisif (commisive utterance) dan (g) fatis (phatic utterance). Sementara itu bentuk tindak tutur, dan makna tindak tutur yang dijadikan acuan analisis dalam penelitian ini berdasarkan uraian Wijana (1995) yang meliputi tindak tutur langsung-tak langsung dan literal-tak literal. Selain untuk meneliti jenis tindak tutur, penelitian ini juga ingin mengetahui implikatur yang ada di dalam wacana karikatur. Acuan implikatur dalam analisis ini adalah implikatur menurut pendapat Levinson (1983) yang mengatakan bahwa konsep yang paling penting dalam pragmatik dan yang paling menonjolkan pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa ialah konsep implikatur percakapan. Lebih lanjut Levinson menyatakan bahwa “the notion of conversational implicature is one of the single most important ideas in pragmatics”. ’Nosi implikatur percakapan merupakan hal yang sangat penting dalam pragmatik’.
49
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Implikatur dapat menjelaskan secara eksplisit tentang bagaimana memaknakan apa yang diucapkan secara lahiriyah berbeda dengan apa yang dimaksud pemakai bahasa itu mengerti pesan yang dimaksud. Berdasarkan analisis data ditemukan jenis-jenis tindak tutur, bentuk tindak tutur, makna tindak tutur, implikatur dan jenis tindak tutur yang dominan dalam wacana karikatur G.M. Sudarta. Sebagai bukti adanya jenis tindak tutur, bentuk tindak tutur, makna tindak tutur, implikatur, dan jenis tindak tutur yang dominan dalam wacana karikatur G.M. Sudarta dapat dilihat contoh data berikut ini. B. Tindak tutur komisif yang ada di dalam wacana karikatur Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang menyebabkan penutur melakukan serangkaian kegiatan. Verba tindak tutur komisif antara lain menyetujui, bertanya, menawarkan, menolak, berjanji, bersumpah. Verba-verba tersebut bersifat prospektif dan berkaitan dengan komitmen penutur terhadap perbuatan pada masa yang akan datang. Karikaturis memanfaatkan wacana jenis tindak tutur komisif dalam karikaturnya. Sebagai bukti dapat dicontohkan pada data berikut ini. (5) A. …Kasus Ambon akan ditindak tegas ! Gas ! Gas ! Gas !!! B. AKAN ! (6) Korupsi.... No ! (7) .... menuju Indonesia baru ! (8) Akan ada keterbukaan... Akan ditolerir perbedaan pendapat Akan ditiadakan pencabutan SIUUP... Akan ditiadakan budaya telpon... (9) A: Saya sedia berunding B: Saya sedia berunding Uraian tentang tindak tutur komisif beserta penjelasan masingmasing data tersebut adalah sebagai berikut. (5) A. …Kasus Ambon akan ditindak tegas ! Gas ! Gas ! Gas !!! B. AKAN ! Data (5A) berjenis tindak tutur komisif karena penutur dalam hal ini adalah aparat kepolisian yang menjanjikan kepada petutur 50
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
BAB IV PENERAPAN PRINSIP KERJA SAMA DAN KESOPANAN DALAM KARIKATUR A. Pengantar Di dalam pertuturan nonhumor ada praanggapan penutur dan lawan tutur dituntut berlaku secara wajar. Kedua belah pihak harus memberikan konstribusinya sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Mereka akan berusaha berinteraksi seinformatif mungkin dengan melaksanakan sepenuhnya prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan, serta mempertimbangkan secara saksama parameter-parameter pragmatik (Wijana, 2004: 4). Lebih lanjut dikatakan oleh Wijana (2004), di dalam wacana humor terjadi hal yang sebaliknya. Kartun atau juga karikatur secara sengaja menciptakan tuturan yang menyimpangkan prinsip-prinsip dan parameter pragmatik itu secara langsung atau lewat perantara tokoh atau tokoh-tokoh rekaannya yang berperan sebagai peserta tindak tutur yang irrasional. Sebagai tokoh yang irasional, figur-figur ini mengutarakan konstribusinya secara berlebih-lebihan, atau kurang informatif. Tuturan yang dihasilkannya kerap kali tidak disertai bukti-bukti yang memadai, tidak relevan, dan disampaikan dengan cara-cara bertutur yang tidak semestinya. Pemakaian bahasa dalam berkomunikasi melibatkan beberapa aspek. Aspek-aspek yang dimaksud adalah: (1) hal yang dikomunikasikan, (2) tujuan berkomunikasi, (3) orang yang diajak berkomunikasi, (4) tempat komunikasi tersebut berlangsung. Aspek-aspek komunikasi tersebut senada dengan apa yang pernah disampaikan oleh Austin (1962). Pemakaian bahasa secara wajar tidak akan terlepas dari aspek tersebut.
77
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Selain, aspek-aspek tersebut dalam berkomunikasi secara wajar tentu akan dipatuhi prinsip-prinsip kerjasama yang teraktualisasikan dalam beberapa maksim, seperti (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi, dan (4) maksim cara. Keempat maksim tersebut harus dipatuhi oleh penutur dan lawan tutur dalam berkomunikasi agar tercapai tujuan komunikasi secara normal (Grice, 1975: 45-47; Parker,1986: 23; Wardaugh, 1986: 202; Sperber & Wilson, 1989: 33-44; Gazdar, 1979: 45- 49; Yule, 2004: 35- 37). Grice (dalam Wijana, 1996: 46-53) mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi empat maksim percakapan (conversational maxim), yakni maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan/ cara (maxim of manner). Keempat maksim yang ada dalam prinsip kerja sama ditengarai dalam wacana karikatur dilanggar dengan maksud terjadinya efek humor di dalamnya. Sebagai bukti pelanggaran prinsip kerja sama di atas dapat dilihat contoh data berikut di bawah ini. B. Pelanggaran Maksim Kuantitas Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh mitra tuturnya. Misalnya seorang penutur yang berbicara secara wajar tentu akan memilih tuturan (1) dibandingkan dengan tuturan (2) seperti dicontohkan (Wijana, 1995: 63) berikut di bawah ini. (1) Tetangga saya hamil semua. (2) Tetangga saya yang perempuan hamil semua. Tuturan (1) di samping ringkas juga, juga tidak menyimpangkan nilai kebenaran (truth value). Setiap orang tentu tahu bahwa hanya orangorang wanitalah yang mungkin hamil. Dengan demikian elemen yang perempuan pada kalimat (2) sifatnya berlebih-lebihan. Kata hamil dalam tuturan ini sudah menyarankan elemen itu. Kehadiran yang perempuan dalam tuturan (2) justru menjelaskan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini bertentangan dengan maksim kuantitas.
78
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
BAB V PEMANFAATAN BAHASA DAN KOHERENSI ANTARA TEMA, UNSUR LINGUAL, CITRA SERTA GAMBAR DALAM KARIKATUR A. Pengantar Pemanfaatan aspek kebahasaan atau unsur-unsur lingual menurut Soewandi (1995: 4-5), adalah berdasarkan asas kebahasaan. Ragam bahasa dapat dibagi menjadi dua ragam, yakni ragam lengkap dan ragam tidak lengkap. Suatu wacana termasuk ragam lengkap apabila wacana itu sebagai suatu keutuhan memiliki ciri-ciri yang khusus dan lengkap. Ciri-ciri tersebut mencakup semua unsur-unsur kebahasaan, seperti penulisan dan ejaan, lafal, kosa kata, bentuk dan jenis, pembentukan kata, pembentukan frasa, penggunaan kalimat dan wacana. Yang termasuk ragam lengkap adalah ragam bahasa untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, fakta, opini, dan pemberitaan, dan ragam bahasa untuk menyampaikan hal yang bersifat ekspresif. Berdasarkan pendapat di atas, wacana karikatur termasuk ragam bahasa lengkap. Simpulan itu didasarkan pada tuturan-tuturan yang ada dalam karikatur yang memanfaatkan berbagai unsur kebahasaan, seperti penulisan ejaan, kosa kata, (baik bentuk dan jenis), pembentukan kata, pembentukan frasa, pembentukan kalimat dan wacana. Bukti pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan di atas, dapat dilihat contoh data berikut. B. Pemanfaatan aspek fonologi (bunyi) Bunyi merupakan satuan kebahasaan yang terkecil. Bunyi-bunyi bahasa secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua jenis, fon (phone) dan fonem (phoneme). Semua bunyi bahasa dengan tidak 119
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
mempertimbangkan kapasitasnya sebagai pembeda maknanya disebut fon. Fon-fon di dalam bahasa memiliki jumlah yang tidak terbatas. Sejumlah fon memiliki potensi untuk membedakan makna. Fon-fon ini disebut fonem. Fonem-fonem tidak mempunyai makna. Fonem sebagai unsur esensial memiliki peranan yang bersifat sistematik dan struktural. Peranannya yang bersifat sistemik mengakibatkan bunyi-bunyi itu bersifat distingtif di dalam susunan berlanjur. Sementara itu, peranannya yang bersifat struktural mengakibatkannya bersifat distingtif di dalam susunan beruntun. Culler seperti dikutip Wijana (1995:153) menyebut susunan beruntun yang dimaksud di sini sebagai hubungan sintagmatik, dan susunan berlajur sebagai hubungan paradigmatik. Kata pagi dan bagi memiliki perbedaan makna karena peranan /p/ dan /b/ yang paradigmatik. Kata alir, liar, lari, dan lira masing-masing memiliki makna yang berbeda karena kedistingtifan bunyi-bunyinya yang sintagmatik (Wijana, 1995: 153). Sifat-sifat bunyi yang telah disebutkan di atas dimanfaatkan oleh karikaturis dalam karikaturnya. Sebagai contoh dapat dibuktikan pada data di bawah ini. 1. Aspek peninggian dan pemanjangan bunyi Karikatur 75
Data (75) keciiil...! Data (75) memanfaatkan aspek kebahasaan yang berwujud bunyi, yaitu peninggian dan pemanjangan bunyi. Aspek peninggian dan pemanjangan 120
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
BAB VI PEMAHAMAN KARIKATURIS DAN PEMBACA TENTANG FUNGSI KEMASYARAKATAN DALAM KARIKATUR A. Pengantar Seorang komunikator biasanya menginginkan terjadinya hal-hal tertentu dengan pengiriman informasinya. Dia mungkin ingin supaya pesannya itu diterima, dipahami, diingat-ingat dan digunakan. Sering seorang komunikator menginginkan agar yang dikomunikasikan diterima semuanya oleh komunikan. Namun kadang-kadang seorang komunikator hanya memberi tekanan pada salah satu tujuan saja. Pemahaman mencakup makna dan pengertian. Komunikator menginginkan beberapa makna tertentu dari pesan itu dihilangkan (terutama pesan yang mengandung makna ganda), dan dia mengharapkan makna yang diterima itu adalah yang dimaksudkan dan inilah yang disebut pengertian (Abdillah Hanafi, tt:230) Ada tujuh faktor penentu komunikasi yang perlu diperhatikan, yaitu (1) jarak status sosial budaya partisipan komunikasi antara lain apakah status sosial O1 lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan O2 dan O3, (2) jarak atau hubungan partisipan komunikasi: bagaimana tinggi rendahnya dan jauh dekatnya hubungan kekeluargaan, persahabatan, pekerjaan antara O1 dan O2, jika mungkin O3, (3) tempat dan waktu berlangsungnya komunikasi: di rumah, di restoran, di tempat umum, di kantor, dan apakah berlangsung pagi, siang, atau sore, (4) situasi komunikasi: resmi, tidak resmi, (5) suasana komunikasi: nasional atau kedaerahan, (6) topik komunikasi: afektif atau rasional; budaya atau keilmuan dan (7) tujuan komunikasi yang menyangkut keinginan O1 pada atau dari O2 (Geertz, 1969; Oka, 1987; Leech, 1983; Brown, 1978; Errington, 1988; Maryaeni, 2001:16). 201
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Dalam suatu pesan, komunikator karikaturis juga memasukkan unsur waktu. Komunikasi melalui gambar karikatur, pembaca atau komunikan dalam menerima pesan dari karikaturis ada perbedaan rentang waktu. Biasanya karikatur muncul setelah adanya peristiwa yang telah terjadi di masyarakat dan banyak mengundang perhatian publik baru sehari atau tiga hari berikutnya muncullah opini surat kabar yang berwujud gambar karikatur. Opini yang disampaikan karikaturis merupakan kebijakan redaksi surat kabar yang bersangkutan dengan pertimbangan matang dan observasi peristiwa yang terjadi, baru karikaturis mengolah data fenomena yang ada dalam bentuk gambar karikatur. Dalam ilmu komunikasi ada dalil yang mengatakan bahwa pesan diberi makna berlainan oleh orang yang berbeda. ‘words don’t mean; people mean. ‘kata-kata tidak mempunyai makna; oranglah yang memberi makna’. Proses pengolahan informasi, yang di sini disebut komunikasi intrapersonal, meliputi sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Sensasi adalah proses menangkap stimuli. Persepsi ialah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain, persepsi mengubah sensasi menjadi informasi. Memori adalah proses menyimpan informasi dan memanggilnya kembali. Berpikir adalah mengolah dan memanipulasikan informasi untuk memenuhi kebutuhan atau memberi respons. (Rakhmat, 1992: 49) Proses informasi menurut Jalaludin Rakhmat di atas dapat dijelaskan bahwa tahap paling awal dalam penerimaan informasi ialah sensasi. 1. Sensasi berasal dari kata “sense” artinya alat pengindraan, yang menghubungkan organisme dengan lingkungannya. Bila alat-alat indera mengubah informasi menjadi impuls-impuls saraf dengan bahasa yang dipahami oleh otak, maka terjadilah proses sensasi (Coon, 1977: 79). ‘Sensasi adalah pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera (Wolman, 1973: 343). Apa pun definisi sensasi, fungsi alat indera dalam menerima informasi dari lingkungan sangat penting. Melalui alat indera, manusia dapat memahami kualitas fisik lingkungannya. Melalui alat indera lah manusia memperoleh pengetahuan dan kemampuan untuk berinteraksi dengan dunianya. Tanpa alat indera manusia sama, bahkan mungkin lebih dari rumput-rumputan, karena rumput
202
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
BAB VII PERSPEKTIF UMUM WACANA KARIKATUR INDONESIA Jenis tindak tutur yang terdapat di dalam karikatur G.M. Sudarta berjenis tindak tutur komisif, ekspresif, verdiktif, asertif, direktif dan performatif. Sedangkan jenis tindak tutur fatis tidak ditemukan atau tidak dimanfaatkan oleh karikaturis. Jenis tindak tutur yang mendominasi dalam karikatur G.M. Sudarta adalah jenis tindak tutur direktif. Alasan jenis tindak tutur direktif lebih dominan dibandingkan dengan tindak tutur yang lain adalah karena misi karikatur adalah misi perbaikan yang berbentuk kritik, sehingga karakteristik tindak tutur direktif yang lebih sesuai dengan karakteristik karikatur. Berdasarkan cara penyampaiannya, tindak tutur dalam wacana karikatur G.M. Sudarta lebih banyak menggunakan cara penyampaian jenis tindak tutur langsung, artinya, jika tuturannya berwujud kalimat perintah, maka isinya juga untuk memerintahkan. Demikian pula bila tuturannya berupa kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu. Namun karikaturis juga memanfaatkan jenis tindak tutur tidak langsung, artinya, pemanfaatan kalimat-kalimat tersebut digunakan untuk menyatakan maksud lain. Misalnya, kalimat tanya dimaksudkan bukan untuk bertanya, melainkan untuk memerintah. Berdasarkan makna tuturan, karikatur G.M. Sidarta memanfaatkan jenis tindak tutur literal di sini dalam menyampaikan maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Karikaturis juga memanfaatkan jenis tindak tutur tidak literal, yaitu penutur menyampaikan maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan kata-kata yang tertera. Implikatur yang ada dalam wacana karikatur menunjukkan misi tersembunyi yang melatarbelakangi karikaturis dalam mengkritik dengan cara tidak langsung dan tidak eksplisit, sehingga apa yang diinginkan oleh karikaturis dapat menjadi bahan renungan bagi sasaran kritiknya. 235
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Di dalam menerapkan prinsip kerja sama, karikaturis melalui karikaturnya melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim pelaksanaan/cara. Pelanggaran maksim-maksim dalam wacana karikatur semata-mata bukan untuk membingungkan atau mempersulit pemahaman pembaca, melainkan demi tujuan kritik kepada sasaran kritik, terutama kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap kurang membela kepentingan rakyat kecil. Pelanggaran maksim juga sebagai bentuk satire humor, karena karikatur biasanya memilih kata-kata yang mengandung unsur humor supaya pembaca lebih fresh. Prinsip kesopanan yang diterapkan dalam wacana karikatur G.M. Sudarta meliputi maksim kebijaksanaan, kecocokan, kesimpatian, dan maksim kerendahan hati. Maksim-maksim tersebut diterapkan oleh karikaturis berdasarkan konteks situasi, sosial, dan budaya. Dalam hal prinsip kesopanan, maksim kedermawanan, dan maksim penerimaan tidak dimanfaatkan dalam wacana karikatur G.M. Sudarta. Ini disebabkan oleh karakter dari karikatur itu sendiri, sedangkan jika dilihat dari parameter pragmatik, wacana karikatur G.M. Sudarta menggunakan prinsip kesopanan yang diterapkan dengan parameter tingkat jarak sosial. Hal ini karena penutur dan mitra tutur ditentukan berdasarkan parameter keakraban, perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural dan tingkat jarak status sosial yang didasarkan atas hubungan asimetrik antara penutur dan mitra tutur di dalam konteks pertuturan. Aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan dalam wacana karikatur adalah aspek kebahasaan dalam bentuk fonologi, kata, frasa, kalimat, dan wacana. Karikatur G.M. Sudarta, dilihat dari segi keterpaduan antara aspek kebahasaan yang dimanfaatkan, tema, unsur lingual, citra, dan gambar sudah memperlihatkan adanya koherensi antara tema, unsur lingual yang mendukung, citra atau image. Ikon-ikon yang disajikan melalui gambar sudah menyatu dan berkaitan satu sama lain dan mampu mencerminkan kesatuan makna yang saling mendukung. Berdasarkan pemahaman tentang fungsi kemasyarakatan, terdapat perbedaan pemahaman antara karikaturis dengan pemahaman pembaca sebagai berikut. Dari sisi pandang karikaturis mengenai fungsi kemasyarakatan sebuah karikatur, ditemukan bahwa sebenarnya karikatur mempunyai fungsi kemasyarakatan yang pokok, yaitu fungsi kritik untuk menyampaikan misi perbaikan terhadap gejala yang janggal atau 236
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
BAB VII CATATAN AKHIR Karikatur adalah gambar yang mempunyai fungsi sebagai media kritik dan hiburan/humor. Hal itu diperkuat berdasarkan pemahaman karikaturis dan pembaca karikatur tentang fungsi kemasyarakatan yang terkandung di dalam karikatur. Karikatur-karikatur ciptaan G.M. Sudarta yang terdiri atas gambar dan teks telah memiliki keterkaitan dengan keduanya, yaitu antara tema, aspek kebahasaan, citra, dan gambar. Karya karikatur G.M. Sudarta sudah koheren dan memiliki kesatuan makna, dan tampil utuh sebagai karya karikatur. Untuk mendukung kesatuan makna, aspek kebahasaan yang dimanfaatkan di dalam karikatur adalah jenis tindak tutur komisif, ekspresif, verdiktif, asertif, direktif dan performatif. Jenis tindak tutur fatis dalam teks pendukung tidak dimanfaatkan oleh karikaturis karena tidak sesuai dengan karakteristik sebagai jenis tuturan yang mengandung kritik. Sedangkan jenis tindak tutur yang mendominasi aspek kebahasaan dalam karikatur G.M. Sudarta adalah jenis tindak tutur direktif. Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa karikatur adalah gambar yang memiliki fungsi utama melakukan kritik demi perbaikan dan fungsi hiburan/humor. Karikatur G.M. Sudarta yang terdiri dari gambar dan teks sudah memiliki keterkaitan dengan keduanya, yaitu antara tema, aspek kebahasaan, citra, dan gambar. Keduanya sudah koheren dan memiliki satu kesatuan makna dalam bingkai konteks ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan pendidikan. Di dalam aspek kebahasaan teks karikatur, karikaturis melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan maksim pelaksanaan/cara. Pelanggaran maksim-maksim dalam wacana karikatur 253
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
semata-mata bukan untuk membingungkan atau mempersulit pemahaman pembaca, melainkan demi tujuan kritik kepada sasaran kritik melalui tuturan yang melanggar kaidah prinsip kerja sama agar lebih bernuansa humor dan menghibur. Sedangkan prinsip kesopanan yang diterapkan dalam wacana karikatur G.M. Sudarta meliputi maksim kebijaksanaan, kecocokan, kesimpatian, dan maksim kerendahan hati. Maksim-maksim tersebut diterapkan oleh karikaturis berdasarkan konteks situasi, sosial, dan budaya sasaran kritik maupun pembaca. Prinsip kesopanan maksim kedermawanan dan maksim penerimaan tidak dimanfaatkan dalam wacana karikatur G.M. Sudarta karena karakter karikatur itu sendiri. Dengan demikian wacana/teks yang ada di dalam karikatur mampu memperjelas dan menyatukan teks dan gambar dalam satu makna yang utuh. Dalam memahami fungsi kemasyarakatan sebuah karikatur, antara karikaturis dan pembaca terdapat sedikit perbedaan pemahaman dalam menafsirkan makna yang terkandung dalam teks dan gambar karikatur, yaitu dalam hal fungsi saran. Dari pemahaman karikatur yang dikemukakan informan penelitian di atas, sebenarnya karikatur sebagai opini yang berwujud kritik yang diterbitkan oleh surat kabar mampu membangkitkan emosi pembaca, mampu membangun semangat solidaritas masyarakat, dan dapat membangkitkan amarah dari pihak sasaran kritiknya. Implikasi dari hal tersebut adalah karikaturis dalam mencipta sebuah karikatur harus benar-benar memperhatikan aspek-aspek bahasa, budaya, sosial, masyarakat pembacanya. Seorang karikatur dalam menciptakan opini melalui media karikatur tidak dibenarkan bila hanya mementingkan segi ekspresi karikaturis semata, namun harus juga memperhatikan etika dan budaya sasaran kritiknya. Misalnya dalam mengkritik tokoh nasional yang sangat dihormati suatu oleh suatu bangsa dan umat beragama, karikaturis harus mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan oleh karikatur yang diciptakannya tersebut dan tidak hanya berpikir dengan logika semata. Karikatur juga mampu membangkitkan selera humor dengan perantara tokoh-tokoh yang didistorsi menjadi bentuk yang lucu dan menggelikan. Fungsi humor tersebut dapat dijadikan sarana pelipur lara bagi pembaca. Hal ini sepadan dengan pendapat Wijana (2004) yang mengutip pendapat Danandjaja bahwa humor dapat melonggarkan ketegangan syaraf otak manusia. Dengan humor, pembaca dapat meredakan ketegangan pikirannya dan dapat me-refresh pikiran dan 254
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah Hanafi. TT. Memahami Komunikasi Antar Manusia. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Anderson, Benedict. R.O.G. 2000. Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Penerjemah Revianto Budi Santoso. Yogyakarta: Matabangsa. Austin, J.L. 1955. How to do Things With Words. New York: Oxford University Press. ---------------. 1962. How to do Things With Words. New York: Oxford University Press. Bambang Murtiyoso. 2007. Kajian Pragmatik Tuturan Wayang Kulit Purwa Gaya surakarta: Studi Kasus Pakeliran Padat Lakon Dewa Ruci Ki Manteb Soedharsono. Proposal Disertasi pada Program Studi S-3 Linguistik, minat Pragmatik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Barthes, Roland. 1988. The Semiotic Challenge. New York : Hill and Wang. Berger, Arthur Asa. 2000a. Media Analysis Techniques. Second Edition. Alih Bahasa Setio Budi H.H. Yogyakarta : Tiara Wacana. Bergson, Henri. 1956. “Laughter”, Comedy: an Essay on Comedy. Wylie Sypher (ed). Baltimore: The John Hopkins University Press. Brown, Gillian & Yule, George. 1996 (terjemahan I Soetikno). Analisis Wacana. Jakarta: PT. Gramedia. Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas. Semiotika Sastra dan Seni Visual. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik Christomy, Tommy. 2001. “Pengantar Semiotik Pragmatik Pierce: Nonverbal dan Verbal” dalam Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Bahan Pelatihan Semiotika, halaman 7-14. Cook, Guy. 2000. Language Play, Language Learning. Oxford: Oxford University Press. 262
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Coon, D. 1977. Introduction to Psychology: Exploration and Application. Boston: West Publishing Company. Crystal, David, 1998, Language Play, London: Penguin Books. Cutting, Joan. TT. Pragmatics and Discourse. a.resource Book for students. London and New York: Routledge. Desiderato, O.,D.B. Howieson dan J.H. Jackson. 1976. Investigating Behavior : Principles of Psychology. New York : Harper & Row Publishers. Eco, Umberto.1979. Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Edi Subroto. 1988. Semantik Leksikal I. Surakarta: UNS Press. -----------------------. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik. Surakarta: UNS Press. ----------------------. 1999. “Ihwal Relasi Makna: Beberapa Kasus dan Bahasa Indonesia.: Seminar Nasional I Semantik Sebagai Dasar Fundamental Pengkajian Bahasa. Surakarta: Pascasarjana UNS Surakarta, 26-27 Februari 1999. -----------------------. 1992. Pengantar Metoda Penelitian Struktural. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Errington, J. Joseph. 1988. Structure and Style in Javanese : A Semiotic View of Linguistic Etiquette. Philadelphia: University of Pensylvania. Fishman, Joshua A. 1975. Sociolinguistics, a Brief Introduction, Rowley Massachusetts: Newbury House Publisher Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics: Implicature, Presupposition and Logical Form. New York: Academic Press. Geerzt, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT. Pustaka Jaya. Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”, Syntax and Semantics: Speech Act. New York: Academic Press.
263
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Halliday, M.A.K. 1984. Language as Social Semiotic: The Social Interpretation of Language and Meaning, London: Erdward Arnold. -------------- 1994. (Terjemahan: Barori; Ramlan (Peny.), Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hasan Alwi. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hymes, Dell. 1968. “On Communicative Competence”, dalam Prise dan Holmes (ed.), Sociolinguistics. England: Pinguin Books, Ltd. ---------------. 1974. Foundations in Sociolinguistics. University of Pennsylvania Press.
Philadephia:
http://web1.infotrac.galegroup.com/itw/infomark/668/252/84040974w l/purl=rcl_SP0…24/06/2006. Jalaluddin Rakhmat. 1992. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Jumanto. 2006. “Komunikasi Fatis di Kalangan Penutur Jati Bahasa Inggris.” Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Jakarta. Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius. Kreidler, Charles W. 1998. Introducing English Semantics. New York: Routledge. Kunardi Hardjoprawiro. 2005. Pembinaan Pemakaian Bahasa Indonesia. Surakarta: UPT MKU- UNS Press. Kunjana Rahardi, R. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. -----------------------. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia: Jakarta: Penerbit Erlangga. -----------------------. 2003. Berkenalan Dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Penerbit Dioma.
264
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasan Indonesia Tera. Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer ; dari Strukturalisme sampai Posmodernitas. Penerjemah A. Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Kanisius. Leech, Geoffrey, N. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Lougman. -----------------------. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik (Diterjemahkan oleh M.D.D Oka). Jakarta: Balai Pustaka. Lefrancois, G. R. 1974. Of Humans: Introductory Psychology by Kongor. Belmont, Calif: Brook Cole Publishing Company. Levinson, Stephen. C. 1983. Pracmatics. London, New York, New Rochell, Melbourne Sydney: Cambridge University Press. Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication Fifth Edition. New York : Wadsworth Publishing Company. Maryaeni, 2001. Bahasa Jawa Dalam Ludruk Di Jawa Timur (Studi Tentang Tata Krama Dalam Bahasa). Disertasi. Program Pascasarjana. UGM. Mey, Jacob L. 1993. Pragmatics: An Introduction. Oxford: Blackwell Published. ----------------. 2001. Pragmatics: An Introduction [ed kedua]. Malden/ Oxford: Blackwell. Milles, M.B. and Michael Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis; A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills London, New Delhi: Sage Publication. -----------------. 1992. Qualitative Data Analysis: A Course Book of New Method. Baverly Hills: Saga Publications. (Edisi bahasa Indonesia oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia (Press). Milroy, Lesley. 1987. Observing and Analysing Natural Language: A Critical Account of Sociolinguistic Method. Oxford: Basil Blackwell. Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosidakarya.
265
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Muhammad Nasir Setiawan. 2002. Menakar Panji Koming, Taksiran Komik Karya Dwi Koendoro Pada Masa Reformasi tahun 1998. Jakarta: Penerbit Kompas. Mussen, T and M. Rosenweig. 1973. Psychology: An Introduction. D.C. Heath Myers, D.G. dan G.D. Bishop. Muhammad Rohmadi. 2004. Pragmatik Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar Media. ------------------------. 2006. “Wacana Humor: Analisis Tekstual dan Kontekstual”. Yogyakarta: Proposal Disertasi (S3) Pascasarjana UGM. Nelson, T.G.A. 1990. Comedy: The Theory of Comedy in Literature, Drama, and Cinama. Oxford: Oxford University Press. Noerhadi, Toety Heraty. 1989. “Kartun dan Karikatur Sebagai Wahana Kritik Sosial.” Majalah Ilmu-Ilmu Sosial, XVI, No. 2, hal: 129-155. Oka, I Gusti Ngurah. 1987. Tata Krama Tutur Bahasa Indonesia. Dalam IKA IKIP Malang. Kumpulan Karangan Alumni IKIP Malang, Edisi 3. Malang IKIP Malang. Parker, Frank. 1986. Linguistics for Non-Linguistics. London: Taylor and Francis Ltd. Patton, M.Q. 1980. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills, CA: Sage Publication. Pierce, Charles Sanders. 1982. “Logic as semiotics : The Theory of Signs” dalam Robert E. Innis (ed). Semiotic, and Introduction Anthology. Bloomington : Indiana University Press. Poedjosoedarmo, Soepomo. 1986. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Pradopo, Sri Widati, Haharjo, Siti Sundari, dan Faruk, H.T., 1985. Humor dalam Sastra Modern. Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Pramono. 1996. Kartun Bukan Sekedar Benda Seni Prisma 1. Januari halaman: 406-440. Purwo Haryono. 2004. Tindak Tutur dalam Wacana Rapat Dinas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Klaten. Tesis Program
266
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Deskriptif. Surakarta: Pascasarjana UNS. Raskin, Victor, 1985. Semantic Mechanism of Humor. Dordrecht. D. Reidel: Publishing Company. Ruch, F.L. 1967. Psychology and Life. Glenview: Scott, Foresman, and Co Schlesinger, K dan P.M Groves. 1976. Psychology : A. Dymanic Science. Iowa : Wm. C. Brown Company. Searle, J.R. 1969. Speech Acts : An Essay in the Philosophy of Language, Cambridge: Cambridge U.P. Segers, Rien. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Penerjemah Suminto A. Sayuti. Yogyakarta : Adicita Karya Nusa. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soenarjo. 2003. Pertunjukan Wayang Kulit Purwa Jawa Masa Kini. Kajian Manajemen strategik (Strategic Management). Surabaya: Program Doktor Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945. Soepomo Poedjosoedarmo. 1986. Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa. Soewandi, A.M. Slamet. 1995. Ragam Jurnalistik. Makalah Simposium Nasional Ragam Jurnalistik. Semarang: IKIP PGRI. Sperber, Dan & Deidre Wilson. 1989. Relevance: Communication and Cognition. Oxford: Basil Blackwell. Stalnaker, R.C. 1978. ‘Assertion’ dalam Gillian Brown & George Yule. Jakarta: PT. Gramedia. Strauss, Anselm & Corbin, Juliet. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language. Oxford:Basil Blackwell. Sudaryanto. 1988. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana Press.
267
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
-------------. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudarta, G.M. 1980. Indonesia 1967 – 1980. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. ----------------. 1987. “Karikatur: Mati Ketawa Cara Indonesia”. Jakarta: Prisma 5, Mei, halaman 49-56 ....................... 2007. 40th Oom Pasikom, Peristiwa dalam Kartun Tahun 1967-2007. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest (ed). 1996. Serba-serbi Semiotika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Suseno Kartomihardjo. 1992. Analisis Wacana dan PenerapannyaPidato Ilmiah dalam Rangka Pengukuhan Guru Besar IKIP Malang. Malang: IKIP Malang. Sutopo, H.B. 1995. Kritik Seni Holistik Sebagai Pendekatan Penelitian Kualitatif (Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Sebelas Maret). Surakarta: Sebelas Maret university Press. ---------------- 2002. Metodologi Penelitian Universitas Sebelas Maret Press.
Kualitatif.
Surakarta:
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problema. Surakarta: Henry Offset. Syukur Ibrahim, Abd. 1993. Kajian Tindak Tutur. Surabaya: Usaha Nasional. -------------------------. 1994. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya: Usaha Nasional. Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: an Introduction to Pragmatics. London. New York: Longman. Van Ek, J.A. and Trim, J. L.M. (1998). Threshold 1990; Council of Europe. Cambridge University Press. Verschueren, Jet. 1999. Understanding Pragmatics. New York: Oxford University Press. Wardaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell.
268
Wacana Karikatur Indonesia Perspektif Kajian Pragmatik
Wijana, I Dewa Putu. 1985, “Bahasa Indonesia dalam Cerita Humor”, Linguistik Indonesia, No. 5, Th. 3, Jakarta: Masyarakat Linguistik Indonesia. -----------------------.1989. “Discourse of Indonesian Cartoons”, Kertas Kerja, Tidak diterbitkan. -----------------------.1995. “Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia: Disertasi, Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada -----------------------. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi ------------------------. 1997. “Linguistik, Sosiolinguistik, dan Pragmatik”: Makalah disajikan dalam Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra, 26-27 Maret 1979 di Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta. -----------------------. 2001. “Pornografi dan Asosiasi Pornografis pada Judul Rubrik Artis Harian Bernas Yogyakarta”: Makalah disajikan dalam kuliah mahasiswa Pascasarjana, Prodi. Linguistik. ------------------------. 2004. Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa. Yogyakarta: Ombak Wilson, Christopher P. 1979. Jokes: Form, Content, Use and Function, London: Academic Press. Wolman, E.O. 1973. Dictionary of Behavioral Science. New York: Van Nostrand Reinhold Co. Wuri Soedjatmiko. 1991. Aspek Linguistik dan Sosiokaltural dalam Humor. Jakarta: Kertas Kerja Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa Atma Jaya. Yudha Triguna, Ida Bagus Gde 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar Timur: Widya Dharma. Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press. --------------------------. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Diterjemahkan Indah Fajar Wahyuni.
269