BAB I DI BALIK PEMILIHAN KEPALA DUSUN: BERTAUTNYA MODAL SOSIAL DALAM KONTESTASI
A. Mobilisasi Identitas dan Penggalangan Modal Sosial Melalui kajian ini hendak didalami bagaimana modal sosial bekerja dalam praktik sehari-hari. Tergalangnya modal sosial menjadikan masyarakat guyup rukun dalam suatu identitas kolektif. Mobilisasi identitas kolektif, biasanya diikuti, kalau tidak didasari stock modal sosial yang tersedia. Di sini, modal sosial memiliki kemampuan mempersatukan. Manakala modal sosial digalang oleh dua kelompok identitas untuk kepentingan yang berbeda, maka modal sosial yang tersedia justru memperburuk keadaan. Masing-masing kelompok identitias menggalang modal sosial masing-masing, dan pada gilirannya modal sosial itu bertransforasi menjadi kapasitas ekslusi. Modal sosial justru menjadi basis eksklusi kelompok yang memobilisasi identitas berbeda. Berbagai ikatan kolektif tersimpan modal sosial yang dengan kekuatannya, masyarakat dapat mempertahankan eksistensinya. Baik dalam daily activity maupun melalui berbagai mekanisme penting dalam asosiasi, modal sosial dipengaruhi oleh kekuatan relasional yang menekankan sense of belonging antar anggota. Dalam berbagai culture, sense of belonging memiliki istilah berbeda. Budaya Jawa misalnya, meneguhkan sense of belonging dalam makna rumongso melu handarbeni atau merasa ikut memiliki. Sehingga dengan prinsip rumongso 1
melu handarbeni inilah yang semakin meneguhkan prinsip guyup rukun yang dimiliki ikatan kolektif. Modal sosial boleh jadi menguat yang menandakan sense of belonging yang bertambah maupun melemah yang menandakan kurangnya ikatan asosiasi. Tentu saja jika ditarik dalam sisi makro, tingginya resiprositas menunjukkan atensi kekuatan kepercayaan, jaringan dan norma yang tinggi pula sehingga guyup rukun bisa dikelola dengan baik. Begitu pula sebaliknya, rendahnya kekuatan kebersamaan menunjukkan rendahnya pengelolaan guyup rukun antar anggota. Lantaran merupakan wadah kolektif, modal sosial turut mengikat identitas sosial dalam asosiasi. Dalam proporsi tertentu bahkan modal sosial menjadi tolak ukur pengikat identitas sosial. Oleh karena itu pada saat yang bersamaan modal sosial bukan hanya mengelola guyup rukun tetapi disaat yang bersamaan justru mendorong ikatan kolektif untuk “bergerak”. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kasus sentimen antar asosiasi terhadap yang asosiasi lain. Tentu saja masingmasing asosiasi mendeclaire atas nama kebenaran yang mereka miliki sehingga menolak hadirnya entitas yang lain. Dalam tataran teoritis, boleh jadi hal ini merupakan indikasi melemahnya kekuatan modal sosial yang disandingkan dengan isu kolektifitas. Hadirnya modal sosial ini secara tidak langsung menunjukkan derajat kekuatan kolektifitas yang terjalin. Dengan demikian tinggi maupun lemahnya kekuatan resiprositas menjadi basis pengukuran kekuatan modal sosial dalam berbagai situasi. Salah satu mekanisme urgent yang sering dilakukan asosiasi yakni proses perekrutan atau pengisian posisi pemimpin. Pada saat itu, modal 2
sosial menjadi asset untuk mengkondisikan siapa yang perlu, kalau bukan harus dipilih. Dalam bekerjanya norma, jaringan dan kepercayaan yang dimiliki ikatan antarpersonal dalam asosiasi, mereka bukan hanya memiliki nilai tersendiri yang mereka yakini melainkan juga mendayagunakan modal sosial mereka masingmasing. Dalam proses seleksi itu ada dinamika yang bergulir, namun pada saat yang sama ada hal yang tetap stabil, tidak berubah. Robert Putnam, salah seorang pencetus modal sosial klasik menggunakan konsep modal sosial untuk memaparkan keterlibatan warga dalam membangun stabilitas politik. Oleh Putnam, modal sosial dimaknai sebagai kumpulan dari asosiasi-asosiasi yang bersifat horizontal diantara orang-orang yang memiliki pengaruh atas produktivitas masyarakat setempat 1. Sebagaimana bentuk modal lainnya, modal sosial adalah sesuatu yang produktif, membuat mungkin pencapaian tujuan tertentu yang didalam ketiadaannya menjadi tidak mungkin 2. Pada akhirnya modal sosial dapat dikatakan sebagai sumberdaya bersama yang dimiliki masing- masing elemen masyarakat. Studi ini mengikuti cara berfikirnya Putnam yang memandang bahwa modal sosial itu meliputi norma sosial, kekuatan jaringan dan kepercayaan tinggi dalam ikatan kolektif. Norma diwujudkan dengan seperangkat aturan yang mengatur bagaimana masyarakat seharusnya berlaku. Sebagaimana difahamkan Durkheim, dengan memaknai norma maka kita bisa menarik benang merah untuk 1
Anyualatha Haridison, Modal Sosial dalam Pembangunan, dalam Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan, Vol. 4, No. 4, Juli 2013, hlm. 32.
2
Muhammad Zakki Arrobi, Demokrasi Lokal, Modal Sosial dan Kesejahteraan, pada https://www.academia.edu/5379358/Demokrasi_Lokal_Modal_Sosial_dan_ Kesejahteraan, 2013, diakses pada 7 November 2014.
3
membaca rasionalitas kolektif yang berada di level makro menuju rasionalitas mikro atau individu didalamnya. Sedangkan jaringan merupakan ikatan antarpersonal dalam sebuah iktan kolektif yang sering melakukan interaksi. Sehingga dari jaringan ini tercipta hunbungan yang mengupayakan saling melakukan tukar menukar kemampuan dalam menyelesaikan masalah bersama atau resiprokat. Selajutnya trust atau kepercayaan dimaknai sebagai rasa saling percaya sebagai dasar menjalin hubungan sosial. Ketiga unsur ini bukan titik-titik yang terpilin menjadi proses panjang melainkan ketiganya hadir bersamaan seiring dengan menguat atau melemahnya kekuatan kolektif. Modal sosial boleh jadi menguat yang menandakan resiprositas dalam asosiasi yang bertambah maupun melemah yang mengindikasikan kolektifitas asosiasi yang semakin memudar. Secara teoritik diketahui bahwa modal sosial bisa dipandang sebagai sumberdaya kolektif yang merekatkan relasi antarpersonal dalam ikatan kolektif. Titik ikatan inilah yang melatarbelakangi keberhasilan relasi dalam sebuah kontrak sosial 3. Pola relasi dalam ikatan kolektif dalam ikatan primordial maupun kelembagaan asosiasional sebenarnya lama diperdebatkan pada abad ke-19 dan masih relevan hingga saat ini. Pada tahun 1933, Emile Durkheim merefleksikan relasi individu hadir dalam solidaritas mekanis dan solidaritas organis yang dimaknai berbeda. 4 Solidaritas yang merupakan relasi yang terbangun atas dasar rutinitas ini termanisfestasi secara jelas ketika berlangsung seleksi kepemimpinan.
3
Berkenaan dengan kehendak bersama
4
John Field, Modal Sosial; Penerjemah: Nurhadi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2008, hlm. 8.
4
Melalui pendayagunaan solidaritas organis hubungan yang berlangsung bisa dikelola untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan menjalankan fungsi-fungsi yang berlangsung sebagai normalitas. Hubungan interpersonal dalam masyarakat bukan proses pendek yang sekali jadi. Kohesi antar personal berjalan dalam lingkup norma kolektif, termasuk dalam membangun tata kepemimpinan. Dalam tata kepemimpinan ini terjalin relasi yang kuat, yang hadir berubah-ubah dalam ikatan sosial kompleks. Sungguhpun demikian, karena adanya pola dan struktur yang lebih besar yang mengkerangkai, interaksi antara pemimpin dengan yang dipimpin terjalin secara cair dan sulit ditebak apakah menguat atau justru mengutup. Oleh karena itu diperlukan sumberdaya kolektif yang mempererat sekaligus mengatur interaksi komual dalam cakupan strata sosial. Dalam situasi seperti inilah modal sosial bekerja, namun cara kerjanya penting untuk didalami. Untuk mensimulasikan problematika ini, kajian ini merujuk pada kasus pemilihan kepala dusun. Setting pemilihan kepala dusun ini memungkinkan kita bisa mengamati kontestasi yang berlangsung, dan lebih dari itu bisa mengamati bagaimana mobilisasi modal sosial berlangsung secara simultan dengan penggalangan pendukung. Karena kepentingan tersebut di atas, kasus pemilihan Kepala Dusun Wonorejo di Desa Hargobinangun, Kecatamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DIY dijadikan rujukan empiris untuk memahami dinamika sosial yang terjadi saat mobilisasi identitas bersentuhan dengan pemanfaatan modal sosial. Kasus ini diambil karena yang terpilih adalah seorang perempuan, yang notabene putri mantan kepala dusun yang dari segi afiliasi keagamaan, 5
berasal dari identitas minoritas. Dengan mengacu pada setting masyarakat pedesaan yang guyub, kajian ini ingin memagami bagaimana bekerjanya relasi kuasa berlangsung. Pemilihan kepala dusun yang ada di pedesaan niscaya mengedepankan norma, jaringan dan kepercayaan yang mereka miliki. Niscaya ada mekanisme tertentu yang bekerja di bawah permukaan, yang menjelaskan bagaimana identitas dikelola sebagai instrumen penggalangan kekuatan politik. Tidak seperti pola pemilihan pada umumnya, pada pola pemilihan pemimpin masyarakat pedesaan justru memiliki anomali. Mereka tidak memilih pemimpin berdasarkan basis identitas, dalam hal ini identitas keagamaan. Identitas keagamaan, yang biasanya menjadi ikatan kolektif untuk memobilisasi dukungan, justru tidak berperan sebagai penentu kemenangan. Artinya, ada aspek lain yang dikedepankan ketika menentukan siapa yang harus dipilih sebagai kepala dusun. Pemilihan kepala Dusun di Wonorejo pada tahun 2013 dimenangkan oleh seorang perempuan dari kelompok minoritas yakni beragama Katholik, dalam komunitas 70% beragama Islam. Pemilihan berjalan secara normal dan fair. Ada dugaan bahwa, terpilihnya kepala dusun tersebut dikarenakan dalam masyarakat berlaku kaidah seleksi tokoh dengan kaidah bibit, bebet lan bobot.5. Dugaan ini mengemuka karena tokoh yang 5
Istilah bibit, bebet lan bobot biasa digunakan oleh masyarakat Jawa untuk menilai personalitas seseorang dengan dilihat dari ikatan primordial kekeluagaan yang dimiliki. Metode ini biasa digunakan oleh masyarakat Jawa dalam memilih pasangan sebelum pernikahan untuk memilih sosok yang dianggap mumpuni. Bibit dimaknai sebagai istilah untuk melihat seorang dari asal usulnya. Titik ini mengaitkan seseoran terhadap pola keturunan yang dimiliki. Siapakah ayah, ibu bahkan hubungan keturunan yang dimiliki oleh seorang calon. Bebet dipandang dari segi lingkungan dan pergaulannya. Meliputi siapa saja yang dekat dengan sang calon. Sedangkan bobot dilihat dari kapasitas personal seseorang. Bagaimana dia bersikap dalam pergaulan seharihari. Dalam hal ini kita berusaha melihat sejauhmana sang calon mampu mengorganisir asosiasi lingkungannya yang dibuktikan melalui track recordnya dalam masyarakat.
6
tepilih itu adalah putri kepala dusun sebelumnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa masyarakat setempat beroperasi dengan sederet modal sosial yang membelah dan menyatukan ikatan kolektif dalam pola tertentu. Tentu saja ada berbagai penanda beroperasinya modal sosial yang pada akhirnya menjelaskan mengapa tokoh tadi terpilih.
B. Pertanyaan Penelitian Paparan tersebut di atas membawa kita pada suatu setting dimana, model sosial beroperasi dalam proses pemilihan. Operasi model sosial, menghasilkan kesamaan referensi dalam menentukan pilihan sedemikian, sehingga ikatan atau soliditas agama tidak termarginalkan oleh pemberlakuan kaidah bibit, bobot, bebet. Melihat pentingnya modal sosial dalam intergrasi masyarakat, penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan besar mengenai bagaimana modal sosial menembus sekat-sekat identitas sosial, sehingga pemeluk agama minoritas dapat terpilih menjadi pemimpin kelompok mayoritas ?
C. Tujuan Penelitian Secara garis besar, penulisan ini dimaksudkan untuk melihat bekerjanya modal sosial dalam proses mobilisasi identitas, terutama pada saat kontestasi kepemimpinan. Melalui studi ini penulis hendak menunjukkan bahwa modal sosial mampu meneguhkan prinsip rumongso melu handarbeni yang telah dikelola dalam waktu yang lama sekaligus menguatkan guyup rukun dalam ikatan 7
kolektif. Dan disaat yang bersamaan, kekuatannya mampu mengalienasi batas sosial yang selama ini dianggap sebagai sekat antar identitas. Lebih jauh lagi bahkan resiprositas atau hubungan timbal balik justu menjadi logika tersendiri yang mendorong rasionalitas kolektif untuk menentukan pilihan mereka. Dalam konteks ini kita akan melihat adanya alasan kuat mengapa justru entitas minoritas terpilih. Kekuatan modal sosial inilah yang boleh menjadi kekuatan yang direproduksi secara berkala menjadi local wisdom masyarakat rural.
D. Landasan Teori: Penggalangan Identitas dan Operasi Modal Sosial dalam Pemenangan Pilkadus Sebelum kita melihat anomali terpilihnya pemimpin dari identitas minoritas, terlebih dulu kita akan melihat pembilahan asosiasi yang menjadi setting konteks. Menurut Ferdinand Tonnies, asosiasi terbagi atas dua bagian yakni asosiasi gesellschaft dan gemeinscaft. Asosiasi instrumental atau gesellschaft merupakan kolektifitas terbuka yang terdiri atas berbagai identitas seperti masyarakat. Sedangkan asosiasi sengaja atau gemeinscaft merupakan ikatan kolektif spesifik yang berdasar atas sebuah persamaan, seperti ikatan keluarga maupun ikatan sosial keagamaan. Jika kita telaah lebih lanjut, gemeinscaft atau ikatan patembayan memiliki pola hubungan erat yang pada akhirnya mampu menghadirkan hubungan timbal balik yang kuat. Sehingga pada satu sisi, gemeinscaft memiliki otoritas relasional kolektif dan pada sisi lain hadirnya otoritas ini justru menguatkan resiprositas yang terjalin lantaran connectedness yang kuat. 8
Meminjam makna modal sosial menurut Robert Putnam, modal sosial merupakan “features of sosial organization such as network, norm and sosial trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit”. Modal sosial dimaknai sebagai pemahaman kolektif yang memungkinkan antarindividu dalam komunitas tersebut saling berinteraksi dalam kegiatan yang produktif. 6 Putnam menambahkan bahwa modal sosial hanya dapat dibangun ketika masingmasing individu belajar untuk mau mempercayai individu lain sehingga mau membuat komitmen yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mengembangkan bentuk-bentuk hubungan yang menguntungkan. Hubungan relasional antar individu inilah yang kemudian disebut sebagai resiprokat atau hubungan timbal balik. Pada teori besutan Putnam ini, modal sosial diyakini sebagai kepemilikan umum untuk mewujudkan keinginan kolektif. Akantetapi disisi lain hubungan antar individu dalam asosiasi tidak bisa stabil. Dengan melihat hubungan antar individu yang dinamis, turut menjelaskan perubahan kekuatan modal sosial itu sendiri yang didasarkan atas kolektifitas. Menurut Robert Putnam, modal sosial bisa menguat dalam satu sisi namun juga bisa menipis disisi lain jika hubungan antar individunya merenggang. 7 Adapun hadirnya hubungan sosial ini terlepas dari intervensi dari pihak lain seperti pemerintah maupun kelompok lainnya. 8
6
Pratikno, dkk, Penyusunan Konsep Perumusan Pengembangan Kebijakan Pelestarian Nilai- Nilai Kemasyarakatan (Social Capital) untuk Integrasi Sosial, Tim Penulis Fisipol UGM, Yogyakarta, 2001, hlm. 7.
7
John Field, op. cit, hlm. 57.
8
Hikma Ningsih, Pendayagunaan Modal Sosial Bagi Pemberdayaan Masyarakat Desa, Studi tentang Kelompok Tani Pinang Jaya sebagai Modal Sosial bagi Pemberdayaan Masyarakat di
9
Secara garis besar, tipologi modal sosial dibagi kedalam beberapa jenis. Dalam kajian ini penulis menggunakan tipologi modal sosial yang dibedakan menurut kedekatan. Modal sosial menurut kedekatan terbagi kedalam tiga jenis modal sosial yakni modal sosial yang mengikat (bonding social capital), modal sosial yang menjembatani (bridging social capital) serta modal sosial yang menghubungkan (linking social capital). 9 Akantetapi lantaran kajian ini hendak memahami bagaimana bekerjanya modal sosial dapat menembut sekat identitas sosial, penulis menggunakan paparan dua buah modal sosial yakni modal sosial yang mengikat dan modal sosial yang menjembatani. Tipe pertama, modal sosial yang terikat (bonding social capital). Tipe ini memungkinkan masing-masing anggota kolektif terikat dalam karakter eksklusif. Homogenitas sangat jelas terasa disini. Tipe ini lebih berorientasi kepada anggotanya. Modal sosial terikat mencakup tataran kelompok yang memiliki persamaan ras, suku maupun golongan. Modal sosial tipe ini tidak memungkinkan adanya penerimaan kepentingan diluar kelompok mereka. Dengan kata lain relasi diluar asosiasi mereka hampir tidak mungkin lantaran ikatan ini sangat menjaga kekhasan dan nilai-nilai yang mereka anut. Tipe yang kedua yakni modal sosial yang menjembatani (bridging social capital). Tipe ini merupakan bentuk modern interaksi masyarakat. Didalamnya, setiap anggota dimungkinkan untuk berinteraksi dengan anggota lain walaupun berbeda kekerabatannya. Asosiasi dengan modal sosial tipe ini memiliki tiga
9
Jousairi Hasbullah, Sosial Capital, Menuju Keunggulan Budaya Masyarakat Indonesia, MRUnited Press, Jakarta, 2007, hlm. 9.
10
prinsip diantaranya egaliter, kebebasan dan kemajemukan. Setiap anggota memiliki kewajiban sama dan tidak bergantung kepada elit saja dan merekapun bebas berpendapat dalam rangka memajukan kelompok. Bridging sosial capital memiliki pandangan dan sikap open mind sehingga mereka bisa membuka diri dan menghubungakan kelompok yang berbeda 10. Tipe modal sosial ini merupakan bentuk modern dari suatu kelompok, asosiasi maupun masyarakat 11. Asosiasi ini berasal dari berbagai entitas sehingga bersifat heterogen. Dengan kata lain berbagai entitas yang saling mengunci diri diakomodir dalam modal sosial yang menjembatani ini. Dalam optik identitas, kita bisa mengatakan bahwa modal sosial merupakan wadah yang didalamnya terdapat identitas, maka wadah ini boleh jadi inklusi maupun eksklusi. Jika kita kembali melihatnya dengan pertautan identitas, boleh jadi modal sosial hanya menaungi satu buah identitas sehingga mengeksklusikan kolektif yang lain atau boleh jadi dia menaungi lebih dari satu identitas sehingga merupakan ikatan kolektif yang bersifat inklusi.Dengan logika diatas, maka modal sosial mampu menjadi alat untuk memenangkan pemilihan pemimpin, yang dalam hal ini merupakan pemilihan kepala dusun. Kepala dusun tersebut dinilai secara kolektif memiliki sense of belonging terhadap masingmasing bagian dari identitas modal sosial. Hadirnya kekuatan modal sosial ini diakumulasi dalam skala komunitas lebih besar dalam rangka pencapaian tujuan 10
Isbandi Adi Rukhminto, Intervensi Komunitas, Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 308.
11
Catharina Wahyu Widyastuti, Transformasi Modal Sosial di Dusun Karongan, Studi tentang Modal Sosial sebagai Landasan Terbentuknya Paguyuban Tani, skripsi Jurusan Politik dan Pemerintahan, UGM, 2008, hlm. 17.
11
kolektif yakni pemberian suara dalam rangka mendukung jabatan politik. 12 Adapun visualisasi dari paragraf ini telah dituangkan keladalam gambar 1.
RESIPROSITAS MODAL SOSIAL
Basis Pemenangan Pilkadus 1. Tingginya Jaringan Kolektif, MutualTrust dan Norma Sosial 2. Adanya Modal Sosial yang Menjebak 3. Prinsip Rumongso Melu Handarbeni
Terpilihnya Minoritas Sebagai Kepala Dusun
Gambar 1: Hubungan Modal sosial sebagai Basis Kemenangan Pilkadus
1. Resiprositas sebagai Basis Jaringan Kolektif Resiprositas dimaknai sebagai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi dalam wadah hubungan sosial. Hubungan ini tidak hanya dilakukan oleh dua orang saja melainkan boleh jadi dalam wadah ikatan kolektif, semua anggotanya saling menjaga resiprositas mereka masing-masing. Hadirnya
12
Dedi Maradona Sihombing, Peran Modal Sosial dalam Rekontruksi Pasca Gempa, Studi Kasus pada Pokmas Gancahan VI 001, Dusun Gancahan VI, Desa Sidomulyo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman, DIY, dalam skripsi Jurusan Politik dan Pemerintahan, UGM , 2007, hlm. 16.
12
resiprositas ini bukan hasil interaksi dalam sekali tempo melainkan membutuhkan waktu sekian lama untuk bisa menimbulkan rasa saling timbal balik. Hubungan saling timbal balik yang dihasilkan oleh ikatan kolektif menandakan adanya connectedness diantara anggota kolektif. Kedekatan inilah yang menginisisasi adanya hubungan relasional dari satu orang individu untuk berelasi dengan individu yang lain hingga disebut jaringan individu. Tentusaja dalam sebuah ikatan kolektif individu tidak membentuk jaringan pribadi melainkan juga masing-masing individu pada ikatan kolektif yang sama juga menggalang jaringan. Oleh karena itu hubungan masing-masing jaringan antar individu ini disebut sebagai jaringan.Jaringan sosial merupakan kunci dari hubungan sosial. Disamping itu konektifitas jaringan dan lingkungan juga menjadi konteks sistem jaringan global yang baru. 13 Hubungan-hubungan sosial yang dimiliki oleh asosiasi tidak terbentuk secara acak melainkan menunjukkan sebuah keteraturan yang harmonis. 14Dalam sebuah entitas sosial yang memiliki jaringan yang kuat, masing-masing anggotanya berusaha menjaga pola hubungan satu sama lain dalam rangka menciptakansocialbonding yang kuat.
Kekuatan jaringan dalam masyarakat tidak memiliki besaran yang statis. Dengan demikian jaringan tersebut bisa jadi melemah atau justru menguat. Hal ini tergantung pada konteks norma sosial yang tengah berlangsung. Dengan kata lain, posisi jaringan yang melemah membuat dinamika relasional dalam masyarakatpun 13
Manuel Castells, The Rise of The NetworkSociety, A John Willey & Sons, Ltd, West Sussex, UK, 2010, hlm. 23.
14
Ruddy Agusyanto,Jaringan Sosial dalam Organisasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 30.
13
ikut renggang. Jika yang terjadi demikian tersebut, bukan tidak mungkin masyarakat semakin meninggalkan konsep berjaringannya. Padahal dalam setiap ikatan kolektif konsep berjejaringan merupakan sebuah keniscayaan untuk membuat lingkungan sosial ayemtentrem.
Urgensi hadirnya jaringan inilah yang menjadi titik penting dalam semangat kolektivisme. Adapun perekat semangat berjaringannya kolektif adalah resiprositas atau hubungan timbal balik yang dipupuk oleh masing-masing anggota. Semakin tinggi resiprositas yang mereka miliki, semakin kuat pula jaringan yang terbentuk dalam ikatan kolektif. Sehingga dengan semangat resiprositas inilah, masing-masing anggota secara tidak langsung menjaga kolektifitas mereka dari resistensi hilangnya semangat kolektifitas.
2. Mutual Trustsebagai Penguat Kedekatan Sosial
Interaksi yang berlangsung lama pasti melahirkan kedekatan kolektif yang menguat. Kedekatan yang digalang dalam kurun waktu tahunan atau bahkan puluhan tahun ini menimbulkan rasa saling percaya tyang tinggi atau high trust. Trust dipandang sebagai elemen penggerak kekuatan kolektif yang tinggi. 15Trust dimaknai sebagai rasa saling percaya sebagai dasar menjalin hubungan sosial. Pembentukan mutual trust memerlukan waktu sekian lama dan tidak sekali jadi. Sikap percaya ini hadir dalam relasi sosial yang bersifat resiprokat atau saling timbal balik. Trust juga dipandang sebagai elemen penggerak kekuatan kolektif
15
Primadona, Peran Penting Trust pada Jurnal Ekonomi dan Bisnis, April 2008, Vol. 3 No. 1, hlm. 70.
14
yang tinggi. 16Masing-masing elemen sosial bukan hanya menjalankan peran mereka dalam masyarakat dengan merawat mutual trust yang telah diberikan kepada mereka saja. Dalam berjalannya waktu, masing-masing elemen masyarakat ini juga menilai sejauh mana anggota sosialnya berlaku. Dengan kata lain, kita harus mengasumsikan bahwa masing-masing memiliki tujuan, dan upaya untuk menjelaskan setiap tindakan pelaku sangatlah penting dalam memahami tujuan yang dimiliki. 17 Resiprositas merupakan pertukaran timbal balik yang terjadi antar individu maupun antar kelompok. Pertukaran ini meliputi barang maupun jasa. Dengan adanya syarat hubungan yang bersifat simetris antar individu maupun antar kelompok tersebut, maka masing-masing dari kelompok maupun individu bisa menukarkan barang dan jasa yang mereka miliki. 18 Posisi simetris yang dimaksud merupakan posisi dalam strukturasi hubungan sosial ketika pertukaran tersebut terjadi. Para pelaku pertukaran ini menempatkan diri mereka setara satu sama lain. Kharakteristik yang menjadi syarat sekelompok individu maupun beberapa kelompok dapat melakukan resiprositas adalah adanya hubungan personal diantara mereka. 19Demikian pula resiprositas ini dapat hadir dalam interaksi terus menerus sehingga menimbulkan intimacy yang akhirnya membuat antar individu maupun antar kelompok memiliki collectivebonding yang kuat.Tingginya mutual 16
Loc.cit.
17
James S Coleman, Dasar Dasar Teori Sosial, Bandung: Nusa Media, Bandung, 2008, hlm, 114.
18
Bambang Hudayana, Konsep Resiprositas dalam Antropologi Ekonomi, hlm. 20 dalam jurnal Humaniora, Jurnal Budaya, Sastra dan Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, No. 3 Tahun 1991 diakses melalui http://jurnal.ugm.ac.id/jurnalhumaniora/article/view/2076.
19
James S Coleman, op. cit. hlm 20
15
trust yang diberikan kepada seseorang mempengaruhi bagaimana selanjutnya dia bertindak atau berlaku. Prinsip kerukunan yang ada dalam masyarakat tidak mengizinkan adanya penolakan yang bersifat terbuka. 20 Kedekatan sosial menginisiasikan hadirnya elemen-elemen masyarakat yang berusaha menjaga kepercayaan yang telah diberikan kepada mereka. Dengan kata lain aspek fungsionalitas tidak lagi dipertanyakan dan dipastikan berjalan sesuai dengan apa yang diyakini oleh kolektif. Hadirnya mutualtrust menjadi “monitor otomatis”dimana
masing-masing
anggota
memiliki
kewajiban
untuk
melaksanakan fungsinya masing-masing. Dilain sisi ketika terjadi kesalahan, kolektif akan selalu mengingatkan individu untuk berlaku baik. 3. Berfungsinya Norma Sosial dalam Menjaga Tatanan Sosial Norma merupakan nilai-nilai yang dianut bersama dalam ikatan asosiasi. Menurut Brian Fai, kebudayaan memegang peranan penting sebagai penetrasi masing-masing anggotanya secara mental, fisik, dan sosial sehingga berhubungan satu sama lain dengan cara tertentu.21 Lebih jauh lagi konsep norma memegang peranan penting dalam menjelaskan bagaimana masyarakat menjalankan fungsinya. 22 Tidak jarang, kita menemukan perasaan ewuh pakewuh atau merasa tidak nyaman dan bersalah ketika norma sosial yang disepakati dilanggar oleh anggota asosiasi.
20
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 56
21
Brian Fai, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2002, hlm. 75
22
James S Coleman, op.cit., hlm. 295.
16
Norma diwujudkan dengan seperangkat aturan yang mengatur bagaimana masyarakat seharusnya berlaku. Sebagaimana difahamkan Durkheim, dengan memaknai norma maka kita bisa menarik benang merah untuk membaca rasionalitas kolektif yang berada di level makro menuju rasionalitas mikro atau individu didalamnya. Menurut Brian Fai, kebudayaan memegang peranan penting sebagai penetrasi masing-masing anggotanya secara mental, fisik, dan sosial sehingga berhubungan satu sama lain dengan cara tertentu.23 Kesadaran masyarakat dalm menjunjung norma sosial ini secara tidak langsung menggambarkan terwujudnya tatanan sosial yang guyuprukun. Dengan kata lain, semua yang berpotensi mengganggu kerukunan dalam kehidupan sosial harus dicegah. 24 Menurut James Coleman, norma dimaknai sebagai sifat sistem sosial dan bukan sifat pelaku individu didalamnya. Proses internalisasi yang terjalin baik dalam skala mikro maupun makro dikontekskan pada kemampuan individu dan kolektif untuk mewujudkan kepentingan mereka. Sedangkan menurut Talcott Parsons, konsep norma memberikan landasan bagi prinsip tindakan yang perannya dapat disamakan dengan peran memaksimalkan kegunaan dalam rational choicetheory. 25 Disamping itu kaidah kehidupan Jawa memiliki norma sosial yang khas. Mereka mampu meminggirkan segala bentuk masalah yang berpotensi
23
Brian Fai, loc.cit.
24
Franz Magnis Suseno, op.cit., hlm. 38
25
James S Coleman, op.cit., hlm, 295
17
melemahkan norma sosial yang berimplikasi pada pola relasi sosial. Hildred Geertz dalam tulisan Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa masyarakat Jawa memiliki dua kaidah yang menentukan pola pergaulan sehari-hari. Kaidah pertama, setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Kedua, manusia ketika berbicara atau berinteraksi selalu menunjukkan rasa hormat. 26Hubungan-hubungan sosial yang dimiliki oleh asosiasi tidak terbentuk secara acak melainkan menunjukkan sebuah keteraturan yang harmonis. 27 Lantaran merasa ewuh pakewuh atau tidak enak hati inilah norma sosial memiliki pengaruh strategis dalam tatanan sosial. Hadirnya norma membuat masyarakat secara bersama menjaga konsep resiprositas yang mereka miliki sekaligus menjaga tatanan sosial. Untuk memastikan berjalannya tatanan sosial seperti apa yang diinginkan oleh ikatan kolektif, norma sosial membuat semuanya berlangsung seperti kesepakan bersama. 4. Framing Rumongso Melu Handarbeni dalam Meneguhkan Modal Sosial Prinsip rumongso melu handarbeni dimaksnai sebaga prinsip merasa ikut memiliki. Prinsip ini melekat pada aktor baik yang bersifat indicvidu maupun kolektif atas individu atau kolektif yang lain. Dala penelitian ini, prinsip rumongso melu handarbeni yang kita kaji melekat dalam entitas kolektif yakni masyarakat dusun. Pada dasarnya kita tidak bisa mengukur sejak kapan prinsip ini
26
Franz Magnis Suseno, op. cit. hlm. 38
27
Ruddy Agusyanto,Jaringan Sosial dalam Organisasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 30.
18
adir ditengah tengah masyarakat. Prinsip merasa ikut memiliki ini hadir bersamaan dengan resiprositas atau timbal balik yang tergalang dalam ikaran sosial. Sehingga prinsip ini adalah prinsip kolektif dan dikelola sepenuhnya oleh kolektif. Uniknya resiprositas yang hadir sebagai implikasi dari rumongso melu handarbeni ini selalu dikaitkan dengan seluruh aspek historis dan kultural yang mereka miliki. Sehingga masing-masing anggota amsyarakat merasa memiliki kedekatan dengan anggota yang lain dalam sebuah ikatan kolektif. Adapun kaitan prinsip rumongso melu handarbeni dengan moal sosial yakni dengan prinsip yang berasal dari budaya Jawa ini, masyarakat atau ikatan kolektif memiliki kedekatan atau jaringan dan membangun trust building diantaranya serta dijaga keberlangsungannya oleh norma yang berlaku. Tentusaja pada akhirnya resiprositaslah yang bertindak untuk membuat warga dusun menjadi guyuprukun antara satu sama lain. Sehingga tidak mengherankan jika mereka merasa saling membutuhkan dan bekerjasama dalam keseharian. 5. Kekuatan Modal Sosial Penjebak Dalam penelitian ini modal sosial tidak hanya terbagi dalam modal sosial yang mengikat atau bonding social capital, modal sosial yang menjembatani, modal sosial yang menghubungkan atau linkage social capital maupun bridging social capital saja akantetapi juga mucul modal sosial yang menjebak. Modal sosial menjebak merupakan perwujudan dari salah satu dari ketiga tipologi modal sosial akantetapi dalam hal ini modal sosial ini tidak murni kekuatan masyarakat dan dirawat oleh masyarakat itu sendiri untuk kepentingan masyarakat tetapi
19
merupakan kekuatan aktor yang seolah-olah memberikan pengaruh pada berjalannya modal sosial yang bernama modal sosial penjebak. Dalam modal sosial yang menjebak, faktor pendorong atas berkuasanya seorang tokoh bukan murni atas upaya tokoh tersebut tetapi ada dorongan kuat diluar aktor. Dengan kata lain adanya faktor eksternal yakni lingkungan di sekitar aktorlah yang membuatnyaberlaku sebagaimana pemimpin yang baik. Tentusaja kepemimpinan aktor tidak akan berjalan tanpa adanya faktor internal. Sehingga boleh jadi modal sosial penjebak membuat aktor memiliki dukungan tetapi kapasitas aktor sebagai pemimpinlah yang meniscayakan seorang tokoh mampu menjadi panutan dalam masyarakat. Dalam kajian ini, modal sosial penjebak yang berasal dari factor eksternal muncul dari pengaruh ayah dari Monica Esti. Pitoyo, yang merupakan ayah Monica Esti meupakan kepala dusun di daerahnya. Posisi sang ayah yang telah menjabat puluhan tahun tersebut mampu mempersepsikan anaknya sebagai sosok yang mumpuni untuk dicalonkan sebagai kepala dusun selanjutnya.
E. Definisi Konseptual Agar kerangka fikir tersebut bisa dijelaskan dalam bab-bab selanjutnya, ada baiknya konsep kunci di atas dijelaskan dalam kerangka konseptual 1. Jaringan Kolektif Hubungan antar individu dalam sebuah ikatan kolektif lama kelaman menguat dan memiliki kedekatan sosial. Kedekatan inilah yang menimbulkan 20
jaringan dengan prinsip hubungan antar individu. Dalam hal ini jaringan bukan hanya menjelaskan hubungan antar individu melainkan kumpulan atas hubungan antar individu dalam ikatan sosial. Dalam pemahaman ini, jaringan dpat dilihat dari: a. Kuatnya interaksi dalam antar individu b. Kedekatan yang dimiliki masing-masing individu dalam ikatan kolektif 2. MutualTrust Dimaknai sebagai prinsip saling percaya antar individu maupun antara kolektif dalam ikatan sosial. Tingginya mutualtrust tidak bisa dipisahkan dari kedekatan masing-masing anggota komunal dan tergalangnya hubungan timbal balik diantara mereka. Kita bisa melihat hadirnya mutualtrust dari; a. Kedekatan antar individu dalam ikatan sosial b. Keterbukaan yang dimiliki masing-masing individu dalam jaringan kolektif 3. Norma Sosial Norma sosial dipahami sebagai aturan bersama yang dipelihara oleh kekuatan kolektif. Sehingga masing-masing anggota asosiasi memiliki kewajiban menjaga berjalannya aturan sosial tersebut. Sehingga mereka memiliki cara-cara kolektif untuk mengingatkan anggotanya yang bertindak menyalahi norma yang telah disepakati. Norma sosial berjalan dalam kaitannya dengan masyarakat yang menjaga guyup rukun. Adapun ciri terjaganya norma sosial diantaranya; a. Masing-masing warga menjaga guyup rukun dalam keseharian 21
b. Ikatan kolektif menjaga bekerjanya aturan bersama c. Warga mengingatkan anggota yang berlaku tidak sesuai norma sosial 4. Modal Sosial yang Menjebak Modal sosial yang menjebak merupakan keadaan sosial dimana aktor atau pemimpin dalam masyarakat yang memiliki kekuatan politik dinilai bukan murni atas usahanya untuk memimpin. Akantetapi disana hadir kekuatan lain yang mendorongnya sebagai pemimpin. Dapat kita lihat adanya modal sosial yang menjebak memiliki kemiripan dengan dorongan eksternal diluar aktor sehingga dorongan tersebut mampu mempersepsikan diri aktor sebagai sosok yang pantas dijadikan panutan.Adapun ciri adanya modal sosial yang menjebak diantaranya: a. Lingkungan sekitar aktor (terutama keluarga) yang sudah memiliki jabatan dalam masyarakat. b. Respon masyarakat yang menganggap aktor disosokkan melalui kepemimpinan keluarganya. 5. Prinsip Rumongso Melu Handarbeni Prinsip rumongso melu handarbeni ini dimaknai sebagai perasaan merasa ikut memiliki. Prinsip ini dimiliki oleh ikatan kolektif dan kehadirannya tidak bisa diprediksi kapan hadir dan kapan berkurang. Secara komunal mereka berusaha menggalang kebersamaan dengan memupuk resiprositas kolektif. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga tatanan sosial masyarakat. Dalam hal ini prinsip rumongso melu handarbeni terlihat pada: a. Kedekatan yang dimiliki masing-masing anggotakolektif. 22
b. Secara bersama masyarakat menjaga tatanan sosial dan merawat
resiprositas.
F. Metode Penelitian Lantaran ingin memahami fenomena sosial yang kompleks, dengan mempertahankan karakteristik holistik. 28 dari hadirnya modal sosial dalam masyarakat yang mengalami dikotomi spasial dan identitas, penelitian ini menggunakan penelitian kualitataif dengan metode studi kasus eksplanatoris. Dalam penelitian ini peneliti tidak menggunakan dan menguji hipotesa melainkan mendeskripsikan informasi sesuai data yang ada di lapangan seperti apa adanya. Sambil berusaha mengungkap peristiwa kontemporer terkait hadirnya modal sosial pada asosiasi pedesaan, penggunaan studi kasus eksplanatoris ini berusaha menjelaskan deskripsi dan kausalitas hadirnya modal sosial dalam pemenangan kepala dusun dari identitas minoritas. Melalui pengamatan ini pula, penulis berusaha memberikan pandangan berdasarkan fakta serta hasil dari mengaplikasikan teori dengan fakta lapangan. Selain itu, desain studi kasus panelitian ini merupakan desain studi multikasus dengan pengujian fenomena yang terjadi di Dusun Wonorejo sebagai kasus penting untuk diuji secara teoritis menggunakan teori modal sosial menurut Robert Putnam.
28
Robert K Yin, Studi Kaus Desain dan Meode, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 4
23
1. Lokasi dan Waktu Penelitian Adapun lokasi penelitian yang penulis ambil yakni di Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dipilihnya lokasi ini disebabkan di Dusun Wonorejo memang terjadi fenomena sosial yang demikian rupa dan menarik untuk dikaji secara akademis. Selain itu, peneliti sudah tinggal di Dusun tersebut selama dua bulan terhitung mulai Pertengahan Juli 2014 hingga awal September 2014 dalam rangka tugas belajar dari universitas, sehingga dalam jangka waktu dua bulan itu pula penulis telah melakukan observasi langsung. 2. Pengumpulan Data Seperti menggunakan metode lain, pada metode studi kasus ini memiliki dua pengumpulan data yaitu sumber bukti primer dan sumber bukti sekunder. Penggunaan data primer meliputi pengamatan langsung, observasi, dan wawancara dan dokumentasi yang berkaitan dengan penguatan modal sosial yang ada di Dusun Wonorejo. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kajian literatur pustaka yang meliputi rekaman arsip, dan perangkat-perangkat fisik. Selain itu penggunaan literatur juga menjadi sebuah keharusan dalam setiap pelaksanaan penelitian terlepas menggunakan metode apapun. Akantetapi dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan empat sumber bukti diantaranya observasi langsung, wawancara, dokumen dan studi literature. Observasi Lapangan: Observasi dilakukan dalam rangka mengamati dan mencatat secara sistematik terkait pemanfaatan modal sosial dalam masyarakat
24
yang mengalami dikotomi secara spasial dan identitas keagamaan. Melalui teknik ini diharapkan peneliti dapat melihat realita lapangan. Observasi yang dilakukan bersifat tertutup, artinya objek tidak paham saat mereka diamati dari luar. Hal ini bertujuan agar mereka bisa beraktifitas apa adanya. Dengan cara seperti ini maka diharapkan peneliti dapat memperoleh data secara natural. Wawancara: Wawancara dilakukan untuk memperoleh data yang berasal dari pernyataan aktor-aktor strategis yang ada dalam Dusun Wonorejo. Langkah ini diambil guna memperoleh gambaran mengenai objek penelitian. Adapun pihak- pihak yang pasti diwawancarai adalah pemimpin masing-masing asosiasi spasial dan asosiasi keagamaan serta ketua ikatan pemuda. Pihak- pihak yang diwawancara ini sewaktu-waktu bisa berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan data penelitian. Dokumentasi: Dokumentasi berupa foto, rekaman suara maupun video merupakan penggambaran yang nyata tentang suatu peristiwa agar bisa dilihat kembali yang berupa hal- hal penting untuk didokumentasikan. Dokumentasi merupakan bukti bahwa peneliti benar-benar melakukan penelitian. Kajian Pustaka: Kajian Pustaka meliputi telaah pada berbaga sumber yang meliputi buku, koran maupun dari berbagai penelitian yang berhubungan dengan ide penggunaan modal sosial untuk menjawab fenomena terpilihnya seorang dari kalangan minoritas sebagai kepala Dusun.
25
3. Analisis Data Data pertama yang diperoleh dari hasil live in peneliti selama kurang lebih dua bulan di Dusun Wonorejo digunakan sebagai setting makro yang memuat genealogi menguatnya modal sosial dalam masyarakat yang tengah mengalami dikotomi. Analisis data yang terdiri dari pengujian, pengategorian, pentabulasian maupun pengkombinasian kembali bukti untuk menunjuk proporsi teoritis di awal penelitian. 29 Setelah itu pembuatan eksplanasi terkait kasus yang bersangkutan dan diakhiri dengan analisis deret waktu dalam menyajikan data.
G. Sistematika Penulisan Pertama, memaparkan dinamika masyarakat di Dusun Wonorejo serta mempertanyakan gejala sosial apa yang tengah terjadi sehingga pada saat pemilihan pemimpin justru seorang dari identitas keagamaan minoritas dipilih menjadi kepala Dusun. Tentu saja pada bab ini juga dipaparkan pisau teori serta metodologi yang digunakan. Kedua, menjelaskan relasi sosial kompleks yang terjalin pada masyarakat Dusun Wonorejo. Sebagai asosiasi instrumental, hubungan antara kepala dusun dan warga tidak dapat dipisahkan dalam keseharian. Perilaku yang mencerminkan keterlekatan ini tercermin dalam keseharian mulai dari aktifitas ekonomi, sosial hingga perayaan hari besar dan akan dijelaskan pada bab-bab selanjutnya. 29
Ibid, hlm. 133
26
Bab ketiga, keempat dan kelima memaparkan bekerjanya jaringan sosial, mutual trust dan norma sosial masyarakat dusun. Ketiga substansi ini menjelaskan runtutan sequence atas bab sebelumnya. Keenam,adanya proses pemilihan kepala dusun baru dan wargalah yang mencalonkan kepala dusun tersebut. Dalam seluruh tahapan pemilihan, masyarakatlah yang menentukan siapa yang patut dan tidak menjadi pemimpin mereka. Pada akhirnya masyarakat berinisiatif memilih pemimpin dari identitas Kristen Katolik sebagai kepala dusun. Ketujuh, memaparkan interpretasi atas bekerjanya modal sosial. Bab ini menjalaskan keseharian masyarakat Dusun Wonorejo terutama dalam hal pemilihan kepala dusun yang terjadi pada tahun 2013 dalam optik modal sosial. Kedelapan, memaparkan kerangka besar dari bab-bab sebelumnya bahwa yang bekerja dalam keseharian masyarakat dan termasuk didalamnya terdapat proses pemilihan kepala dusun merupakan wujud dari prinsip rumongso melu handarbeni yang dimiliki oleh masyarakat Dusun Wonorejo.
27