Bab Dua Migrasi, Relasi sosial, Perubahan Sosial, Modal Sosial, dan Indentitas. Pengantar Pada bab ini akan dibicarakan beberapa konsep teoritis yang dianggap berhubungan dan sekaligus sebagai transeter untuk menerangi persoalan penelititan tentang fenomena antara Migran dan Orang Papua dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa konsep teoritis tersebut digunakan untuk mempertegas penjelasan pada bagian sintesis. Lima konsep yang dianggap relevan untuk dibahas antara lain konsep Migrasi (Migration), Relasi Sosial (Social Relation), Modal Sosial (Social Capital), Perubahan Sosial (Social Change), dan konsep Identitas (Identity). Kelima konsep ini selain sebagai penerang, juga merupakan dasar argumen untuk menjelaskan fenomena yang terjadi dalam kehidupan antara Migran dan Orang Papua. Dengan demikian kelima konsep tersebut akan dibahas sebagai berikut:
Migrasi dan Implikasinya Migrasi merupakan persoalan dinamika kependudukan yang terjadi dalam setiap negara dan wilayah bangsa. Secara demografi Indonesia menjadi salah satu negara berkembang dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk yang cukup besar. Jumlah dan pertumbuhan ini pun dipengaruhi oleh aspek kelahiran, kematian dan perpindahan. Aspek perpindahan merupakan salah satu aspek yang sangat ber11
pengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah. Perpindahan atau (migrasi) ini dikenal dengan istilah migrasi paksaan dan migrasi spontan (bukan paksaan). Migrasi paksaan ini merupakan sebuah model perpindahan penduduk yang pada zaman kolonial dikenal sebagai perpindahan yang berorientasi pada upaya mendirikan pasar-pasar buruh yang semata-mata untuk kepentingan kaum kapitalis barat yang memerlukan tenaga buruh terampil dan murah. Model perpindahan ini kemudian dilanjutkan oleh Indonesia dengan sebutan transmigrasi yang lebih berorientasi pada peningkatan hidup dan kesejahteraan transmigran itu sendiri bersama sama dengan penduduk setempat di daerah transmigrasi. Transmigrasi menurut (Hardjono, 1970) adalah pemindahan penduduk dari suatu daerah yang ditempati ke daerah lain yang telah ditetapkan di wilayah Republik Indonesia yang ditujukan untuk pembangunan bangsa atau untuk alasan yang dianggap perlu bagi pemerintah. Dengan demikian transmigrasi merupakan program selain untuk pemeratan penduduk antar wilayah, juga menjadi langkah awal pengembangan daerah pertanian baru dalam rangka penyediaan pangan sekaligus mengatasi persoalan tenaga kerja. Keberhasilan transmigran tentu melalui kerja keras yang dilakukan secara individu, maupun secara bersama-sama antara warga transmigran dengan bantuan pemerintah. Bantuan pemerintah yang dilakukan untuk mendukung produktivitas kegiatan transmigran antara lain melalui pelatihan, bimbingan, dan bantuan sarana-prasarana yang dianggap perlu dalam mengelola lahan ataupun kegiatan ekonomi lainnya, yang berkaitan langsung dengan kegiatan utama para transmigran itu sendiri. Kehadiran transmigran di daerah tujuan membawa perubahan baik pada transmigran itu sendiri maupun penduduk setempat dan bahkan secara luas (wilayah). Perubahan yang diakibatkan oleh kehadiran transmigran itu bisa terlihat pada aspek ekonomi ataupun perkembangan pada aspek kewilayahan. Sebagaimana penelitian Swasono (1985) di Aceh, menemukan bahwa dengan kehadiran transmigran secara tidak langsung 12
telah menghidupkan perekonomian, terutama di daerah pedesaan. Konstribusi terhadap pertumbuhan ekonomi pada lokasi penempatan transmigran terutama di daerah pedesaan, karena pedesaan menjadi sasaran utama penempatan transmigrasi. Selain itu wilayah pedesaan juga memberi ruang yang luas dalam mendukung pengembangan kegiatan pertanian dan pemukiman transmigran. Pertanian menjadi kegiatan utama para migran yang pertama datang di daerah transmigasi. Kondisi tersebut tidak terlepas dari motif awal para transmigran melakukan migrasi. Dengan motif itulah secara positif memberikan kemajuan dan mendorong adanya pertumbuhan maupun perkembangan di daerah-daerah penempatan transmigrasi. La Pona (1999) dalam penelitiannya di Papua menemukan translok (trans lokal) yang memiliki jaringan sosial aspek pertanian dengan transmigran asal ternyata mengadopsi banyak inovasi budi daya pertanian, demikian pula sebaliknya. Perubahan dalam aspek pertanian bagi translokal di daerah transmigrasi dimulai dari sebuah relasi (hubungan) yang baik dan saling menerima dalam perbedaan, sehingga terbangun sebuah jaringan yang saling menguntungkan lewat berbagai aktivitas sosial yang dilakukan secara bersama pula. Dengan tidak menonjolkan perbedaan akan tercipta ruang-ruang relasi yang lebih baik dan terarah pada tatanan sebuah masyarakat yang diharapkan dapat lebih memperhatikan sisi kemanfaatan secara bersama. Migrasi spontan menjadi bagian dari perpindahan penduduk antar daerah. Model perpindahannya bersamaan dengan transmigrasi, dan tidak sepenuhnya difasilitasi oleh pemerintah, namun memperoleh pembinaan dan pengawasan dari pemerintah di tempat tujuan. Bahkan ada pula yang betul-betul murni spontan tanpa bantuan dari pemerintah. Tipe ini sering berfungsi sebagai mediator, penyalur hasil pertanian dan sarana pertanian, atau bidang lain yang menunjang usaha tani semacam bengkel, tukang, dan sebagainya. Untuk memperoleh lahan, mereka menggunakan pendekatan dengan transmigran yang lain, sesama migran Jawa, lewat kenalan, atau pihak lain yang bersedia melepaskan tanahnya pada mereka dengan jalan membeli. Pada umumnya yang melepaskan tanah adalah warga transmigrasi
13
umum maupun lokal yang sama-sama dalam satu daerah transmigrasi. Migrasi spontan ini pada umumnya berhasil dan cepat berkembang dari segi ekonomi, dan sekaligus memacu pertumbuhan dan kegiatan ekonomi di daerah-daerah transmigrasi. Dari berbagai studi tentang transmigrasi, dapat diketahui bahwa transmigran swakarsa atau spontan lebih berhasil daripada transmigran umum. Keberhasilan transmigran swakarsa atau spontan disebabkan oleh ketekunan dan jiwa kewiraswastaan yang memungkinkan mereka untuk melihat dan memanfaatkan kesempatan-kesempatan guna memperbaiki hidup mereka (Hardjono, 1982). Beberapa daerah transmigrasi telah menunjukkan keberhasilan transmigran spontan ini. Di Parigi Sulawesi Tengah misalnya, keberhasilan transmigran spontan yang sudah lebih dahulu bermukim di Parigi dapat menarik saudara-saudara atau kenalan-kenalan mereka di daerah asal untuk ikut bertransmigrasi. Adanya surplus pangan dan kekurangan tenaga kerja yang amat dirasakan telah mendorong arus transmigrasi spontan ke Parigi (Davis, 1982 dalam Hardjono Joan (Ed), 1982). Dengan keberhasilan yang diperoleh transmigran awal memberikan peluang bagi saudara ataupun kenalan dari daerah asal untuk ikut bermigrasi dengan mempertimbangkan peluang-peluang dan kesempatan yang ada di daerah tujuan. Kesempatan dan peluangpeluang tersebut memberi kemajuan dan perubahan dalam kehidupan mereka. Dengan motivasi tinggi dan bekerja keras itulah yang memposisikan sebagian besar transmigran spontan ini cepat berhasil. Migran spontan ataupun paksaan melakukan migrasi ke daerah tertentu dengan tujuan dan alasan yang berbeda. Ada yang berkeinginan untuk menetap, ada juga yang tidak ingin menetap. Bagi migran yang melakukan migrasi dengan keinginan menetap di daerah tujuan, mempunyai alasan bahwa di daerah migrasi tersebut tentu memberi peluang untuk memperoleh perubahan hidup terutama perbaikan ekonomi. Peluang yang memberikan perbaikan ekonomi tersebut menjadi bagian dari matapencaharian yang merupakan sumber pendapatan secara tetap. Dengan peluang ekonomi itulah memberikan sebagian besar migran melakukan migrasi secara permanen pada
14
daerah tertentu. Tommy Firman (1994) mengatakan, migrasi sebenarnya suatu reaksi atas kesempatan ekonomi pada suatu wilayah. Migrasi yang terjadi pada negara-negara yang sudah berkembang lebih kompleks dengan tingkat ekonomi yang lebih seimbang antar wilayah di dalamnya, sehingga pola migrasinya cenderung tidak terfokus pada daerah tertentu. Sedangkan di negara-negara berkembang, pola migrasi terpusat pada daerah-daerah tertentu saja, khususnya di kota-kota besar. Soewarto (1993) dalam penelitiannya di Papua menemukan bahwa jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan Papua meningkat dengan jumlah migran terbesar berasal dari daerah Sulawesi (39,65%), disusul daerah Jawa (35,76%) dan Maluku (14,44%). Tingginya migran dari Sulawesi masuk ke kota-kota di Papua karena faktor jarak yang dekat dan faktor kesempatan ekonomi. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai pedagang hasil bumi dan laut, di samping juga bergerak di bidang industri kecil dan menengah. Selain faktor jarak, faktor transportasi juga turut mendukung terjadinya arus migrasi dari berbagai daerah ke Papua. Dengan kemudahan transportasi darat maupun udara tentu memberikan ruang gerak migrasi begitu cepat dari satu daerah ke daerah lain, dalam rangka mencari dan melakukan usaha-usaha yang merupakan bagian dari tujuan bermigrasi. Mantra (1992) mengatakan, arus migrasi makin meningkat setelah tersedianya prasarana tranportasi yang dapat menghubungkan antar wilayah. Selain itu perkembangan pembangunan yang begitu cepat pada daerah-daerah tertentu yang didukung dengan kebijakan desentralisasi ikut merangsang arus migrasi untuk mencoba memperbaiki hidup di daerah-daerah tersebut. Berkaitan dengan peluang-peluang di daerah tujuan yang menjadi daya tarik individu bermigrasi menurut (Munir 1981) disebabkan oleh lima faktor: Pertama, adanya kesepakatan untuk memasuki lapangan pekerjaan yang cocok; Kedua, adanya kesempatan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik; Ketiga, adanya kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi; Keempat, adanya keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang lebih menye-
15
nangkan; dan Kelima, adanya tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat untuk berlindung.
Kelima faktor daya tarik pada daerah tujuan yang dikemukakan Munir ini menjadi pertimbangan individu pada umumnya dalam memutuskan bermigrasi. Pertimbangan rasional itulah yang selalu didahulukan oleh seorang migran, karena tujuan utama seorang migran melakukan migrasi sesungguhnya ingin melakukan dan mendapatkan perubahan kondisi kehidupan. Meskipun demikian, tidak semua migran mengalami kondisi yang sama, ada yang sukses tapi ada juga yang gagal. Hal ini tergantung bagaimana sikap migran tersebut dalam memaknai arti bermigrasi. Bagi migran yang sukses memilih untuk bertahan dan kemudian menjadi migrasi permanen, sedangkan yang gagal kembali ke daerah asal atau memilih migrasi ke daerah lain yang memiliki peluang secara ekonomi. Di daerah-daerah dengan desentralisasi khusus atau disebut otonomi khusus masih memiliki peluang-peluang ekonomi, yaitu tersedianya Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup banyak bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya (pemiliknya). Kondisi ini menjadi magnet bagi orang-orang untuk memilih bermigrasi ke daerah tersebut, dan migrasi yang dilakukan pun bermacam-macam. Patersen (Baso, 1990) mengemukakn ada empat macam migrasi antara lain: Pertama, Migrasi primitif (Primitive migration) yaitu migrasi yang disebabkan oleh semakin menurunnya daya dukung alam; Kedua, Migrasi paksaan (Impelled or forced) yaitu migrasi yang disebabkan oleh kekuatan politis atau kekuatan ekonomi yang memaksa orang untuk pindah; Ketiga, migrasi bebas (Free migration), yaitu migrasi yang didasarkan pada keinginan individu; dan Keempat, migrasi massal (Mass migration), yaitu migrasi yang terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan sosial atau pola-pola sosial yang merupakan suatu kebiasaan atau tingkah laku sosial.
Di Indonesia, setidak-tidaknya dikenal dua tipe migrasi yaitu: Pertama, transmigrasi, yaitu migrasi struktural yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah; Kedua, migrasi yang sifatnya sosiokultural, yaitu berhubungan dengan beragam istilah yang diperguna16
kan untuk menyebut keluarga. Migrasi dengan istilah perantau juga mempunyai tujuan yang sama dalam melakukan perpindahan ke daerah lain, namun lebih pada budaya. Menurut Mocthar Naim (1979,) merantau merupakan sejenis migrasi dengan konotasi yang tidak gampang diterjemahkan. Migrasi atau merantau ini menurut Naim mencakup enam unsur: Pertama, meninggalkan kampung halaman; Kedua, dengan kemauan sendiri (misalnya, tidak seperti transmigrasi dulu, saat migrasi diurus oleh pemerintah) untuk jangka pendek atau panjang; Ketiga, dengan tujuan mencari nafkah; Keempat, pengalaman atau pengetahuan; Kelima, biasanya dengan niat untuk pulang ke kampung; dan Keenam, berdasarkan unsurunsur budaya.
Migrasi perantau menjadi bagian dari istilah perpindahan penduduk antar wilayah, baik dalam satu wilayah maupun di wilayah lain, bahkan antar negara. Migrasi perantau ini pun hanya pada etnis tertentu yang suka dan bahkan menjadi bagian dari tradisi mereka. Pada umumnya migrasi perantau ini mempunyai kemampuankemampuan, baik keterampilan (pengalaman) maupun pengetahuan. Dengan modal itulah migran perantau ini, nekat dan berani melakukan migrasi keluar dari kampung halamannya. Dalam migrasinya pun ada yang menetap di daerah tujuan sebagai migrasi permanen, ada juga yang kembali ke kampung (migrasi tidak permanen). Keberadaan migran di daerah tujuan baik secara spontan maupun bukan spontan tentu melakukan interaksi dengan penduduk lokal, karena migran dan penduduk lokal menjadi bagian dari masyarakat dan lingkungan sosial. Dalam lingkungan tersebut pun akan selalu dilalui dengan berbagai aktivitas-aktivitas, dalam konteks yang berbeda dari masing-masing orang dengan posisi latar belakang yang berbeda-beda pula. Untuk masuk ke konsep berikutnya dalam bab ini ada konsep lain yang dipakai misalnya; Relasi Sosial; Identitas; Modal Sosial; dan Perubahan Sosial.
17
Membangun Hubungan Harmonis melalui Relasi Sosial Manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai naluri untuk bergaul dengan sesama manusia dan membutuhkan orang lain dalam kehidupan bersama sehingga terjadi hubungan antar sesama dalam lingkungan sosial atau masyarakat. Terjadinya hubungan antar individu, antar kelompok, antar etnis, bahkan antar agama bukan semata-mata karena kebetulan atau terjadi secara natural, tetapi karena ada ruang berbeda yang dimiliki oleh setiap individu ataupun kelompoknya dalam lingkungan masyarakat. Ruang-ruang tersebut merupakan potensi-potensi yang memberi peluang terjadinya interaksi antar sesama yang lebih pada sebuah tuntutan kebutuhan bersama. Tuntutan dan peluang itu bisa terjadi apabila masing-masing individu atau kelompok memposisikan diri sebaik mungkin dan dibarengi dengan kesadaran secara rasional yang terlepas dari kepentingan pribadi maupun tradisi, sehingga kondisi relasi yang diharapkan secara bersama bisa terwujud. Harapan itu bisa terwujud apabila masingmasing individu, ataupun kelompok mampu beradaptasi pada lingkungannya. Abdoellah (1993) mengatakan bahwa, yang melakukan migrasi ke daerah tujuan transmigrasi mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Pada lingkungan sosial, peristiwa ini akan melahirkan perubahan (baik itu perubahan kecil ataupun besar) saat mereka berinterkasi dengan sesama transmigran. Dalam lingkungan sosial ada kelompok penduduk lokal yang menjadi bagian dari kehidupan bersama, dan berada di lingkungan yang sama. Wiwit Widiansyah (2003) dalam penelitiannya tentang upaya perusahaan dalam mengembangkan relasi dengan masyarakat lokal khusus hubungan Amoseas Indonesia Inc di Jawa Barat, mengatakan bahwa terjadi perubahan-perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat selama kehadiran Amoseas dan turut mendorong lahirnya institusiinstitusi lokal sebagai wadah berkumpulnya masyarakat. Akibat dari relasi yang terbangun atas dasar saling memahami, antara kedua pihak, maka dengan sendirinya akan tercipta suasana yang saling terbuka dengan mengedepankan kerja sama. Kebersamaan 18
ini pun bisa tetap ada dan terjaga apabila masing-masing memposisikan diri dan mengambil bagian dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengutamakan status masing-masing. Status akan mempertegas peranan yang akan dilakukan oleh masing-masing orang ataupun kelompok dalam suatu komunitas masyarakat, sehingga terjalin relasi yang harmonis antar migran dan penduduk lokal dalam satu ruang yang sama. Haru Cahyono (2004) dalam penelitiannya tentang relasi antar penduduk asli Kalimatan dan Madura, khususnya di Kalimatan Tengah menemukan bahwa di Kalimantan Tengah, tidak ada sejarah konflik yang akumulatif dan traumatik serta tidak terdapat stereotip yang mendalam dan membekas terhadap etnis Madura, dibandingkan di Kalimatan Barat. Relasi antar penduduk asli Kalteng dan Madura lebih terbuka dan efektif, sehingga terjalin komunikasi yang efektif pula. Efektivitas komunikasi antar etnis merupakan salah satu upaya yang dapat menunjang hubungan harmonis di antara hubungan masyarakat multikultur (Nagara, 2008). Relasi dalam kehidupan bermasyarakat akan lebih intensif dan kuat apabila dilalui dengan berbagai kegiatan di masyarakat terutama berkaitan langsung dengan matapencaharian. Kegiatan profesi lebih aktif dan efisien dalam mempertemukan berbagai etnis dalam ruang dan lingkungan yang sama. Pada posisi ini pun yang lebih ditonjolkan adalah kesadaran akan saling membutuhkan antar sesama, karena diikat oleh rasa sosial kemanusia yang dimulai oleh kebutuhan bersama. Dengan ikatan kebutuhan itulah akan menanamkan nilai kebersamaan yang sangat kuat dengan tidak menonjolkan berbagai perbedaan di antara etnis, terutama antara migran dengan penduduk lokal. Kehidupan yang dijalani dalam lingkungan bermasyaakat dengan berbagai perbedaan itu, dengan sendirinya akan saling melengkapi. Menurut (Abdullah, 2006), di dalam ruang itulah berbagai etnis dapat belajar berkomunikasi dengan cara yang lebih dapat diterima secara umum, dan mereka saling belajar untuk menerima perbedaanperbedaan yang dimiliki oleh kelompok lainnya. Relasi atau interaksi yang terjadi antara migran dan penduduk lokal selamanya tidak berjalan dalam suasana yang kondusif. Tidak
19
kondusifnya relasi antara etnis atau migran dengan penduduk lokal disebabkan oleh banyak faktor, namun beberapa faktor yang sering dan menjadi indikator utama dalam kerenggangan relasi antara etnis, dimulai dari adaptasi migran terhadap lingkungan yang berlebihan. Dengan adaptasi lingkungan yang berlebihan akan menimbulkan peluang-peluang yang mengarah pada penguasaan sumber-sumber ekonomi yang menjadi bagian vital dari penduduk lokal, dan pada akhirnya menimbulkan suasana ekspansi. Terjadinya gerak ekspansi oleh migran terhadap ruang-ruang ekonomi dan kehidupan penduduk lokal pada gilirannya akan memposisikan mereka (penduduk lokal) pada suasana yang rapuh dan labil terhadap goncangan-goncangan yang ditimbulkan oleh perubahan dan perkembangan masyarakat. Maka di sinilah suasana dan ruang relasi mulai terganggu dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi tersebut dipicu oleh prinsip-prinsip hidup yang lebih mengedepankan individualis dan ekonomis, tanpa mempertimbangan sisi sosial serta kehidupan bermasyarakat, yang pada akhirnya akan memunculkan pemikiran-pemikiran etnis yang mengarah pada pembentukan kekuatan-kekuatan kelompok yang hidup pada masing-masing komunitas dan lingkungannya. Dengan demikian sebuah relasi yang menjadi kunci dalam kehidupan sosial dan sekaligus sebagai penggerak aktivitas dan perilaku manusia dalam bersosialisasi akan terganggu. Model relasi semacam ini tidak sesuai dengan makna relasi atau interaksi yang diharapkan bersama, namun cenderung membuka ruang gesekan antar etnis dalam lingkungan bermasyarakat, yang berpotensi terjadinya konflik secara horizontal. Yang banyak merasakan efek dari konflik horizontal adalah masyarakat itu sendiri, sehingga boleh dikatakan setiap konflik yang terjadi, kedua belah pihak sama-sama merasakan efek negatifnya.
Perubahan Sosial sebagai Hasil Interaksi Dalam setiap kehidupan masyarakat manusia senantiasa diperhadapkan pada suatu perubahan. Perubahan-perubahan dalam kehidupan masyarakat tersebut merupakan fenomena sosial yang wajar, oleh karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tak 20
terbatas. Perubahan merupakan perbandingan suatu tatanan kehidupan masyarakat yang lama kepada tatanan kehidupan masyarakat yang baru. Dua tatanan kehidupan yang dilalui oleh masyarakat dalam berbagai lingkungan dan kondisi tidak terlepas dari kuadrat manusia yang menginginkan suatu perbaikan. Perbaikan suatu tatanan kehidupan individu ataupun kelompok tidak terjadi dengan sendirinya atau secara alami, namun melalui proses dan sentuhan-sentuhan pihak lain baik disengaja maupun tanpa disengaja. Pada masyarakat di negara berkembang, perubahan yang terjadi sengaja dilakukan oleh pemerintah lewat sentuhan-sentuhan pembangunan di berbagai aspek kehidupan. Sentuhan-sentuhan pembangunan itu melalui suatu perencanaan yang tentu bertujuan untuk memajukan dan memberi kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat yang lebih baik. Untuk itu dinamika penduduk dan perubahan sosial dapat direyakasa oleh pemerintah melalui program transmigrasi sebagai penunjang pembangunan antar kawasan. Perubahan sosial terjadi karena adanya pertemuan antar komunitas dan etnis dengan latar belakang yang berbeda. Kondisi ini menimbulkan sebuah reaksi yang mengarah kepada kerja sama saling menguntungkan, atau sebaliknya justru menimbulkan kerugian. Kedua sisi tersebut akan selalu ada dalam suatu proses perubahan, baik itu disengaja maupun tidak, namun melalui pembangunan transmigrasi telah membawa perubahan pada tatanan kehidupan secara bersama baik terhadap transmigran maupun masyarakat lokal. La Pona (1993) dalam penelitiannya di Papua tentang kehidupan antara transmigran dan penduduk lokal (asli) di lingkungan transmigrasi mengatakan bahwa: (a) bangsa berkembang dibangun dengan multi etnik, karena transmigrasi dibangun dengan multi etnik; (b) sumber makanan masyarakat perkotaan berasal dari daerah transmigrasi; (c) lokasi transmigrasi berkembang menjadi daerah otonomi baru seperti menjadi kampung, distrik dan kabupaten; dan (d) lokasi transmigrasi sebagai sabuk pengaman.
Proses pembelajaran pertanian antara penduduk asli dengan para transmigran berlangsung secara alamiah. Kini terjadi peningkatan 21
kesejahteraan hidup masyarakat asli, walaupun secara perlahan tetapi pasti. Berbagai perubahan yang dialami oleh setiap masyarakat tidak terlepas dari peranan kehidupan bersama antar etnis di dalam lingkungan bertetangga maupun bermasyarakat. Kehidupan antar etnis menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan memberikan konstribusi bagi perubahan, karena lewat kehidupan bersama masing-masing etnis dengan karakter, tradisi, dan pengalaman yang berbeda saling berpengaruh dan beradaptasi melalui hubungan antar sesama. Dengan hubungan dan kerja sama dalam lingkungan sosial akan melahirkan perubahan, baik perubahan besar maupun kecil. Kondisi perubahan tersebut akan selalu dialami oleh setiap individu maupun masyarakat. Chambers (1992) mengatakan bahwa, pada lingkungan sosial, peristiwa ini akan melahirkan perubahan (baik itu perubahan kecil maupun perubahan besar) saat mereka berinteraksi dengan sesama transmigran. Penduduk lokal yang cepat mengalami perubahan ke arah positif tentu mereka mampu membuka diri dan beradaptasi dengan dunia luar. Proses adaptasi terhadap dunia luar menjadi persoalan baru, namun di dalam persoalan tersebut tersimpan berbagai kesempatan dan perbaikan untuk mencapai perubahan, dan tentu saja dituntut sebuah kesiapan diri secara mental, pengalaman, dan sikap agar dalam proses beradaptasi tidak mengalami hambatan. Kesiapan mental sangat diperlukan dalam membangun dan membuka diri dengan etnis lain. Kondisi kehidupan sosial masyarakat yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, akan memunculkan perilaku yang berbeda pula dalam menyikapi persoalan sosial yang berkaitan dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini membuat masing-masing individu akan berlomba dalam menggunakan waktu sebaik mungkin dengan aktivitas-aktivitas positif yang merupakan bagian dari aspek perubahan itu sendiri. Pergeseran suasana sosial dari yang terbiasa ke suasana baru yang belum terbiasa akan berdampak terhadap mental, sehingga pada posisi ini mental yang siap dan terbiasa akan mampu bertahan dan beradaptasi sekaligus menemukan solusinya. Dengan demikian kelompok ini akan tetap eksis dan menjadikan persaingan sebagai motivasi dalam mencapai perubahan. Rifai (2007) dalam penelitiannya tentang
22
kehidupan migran Madura di Surabaya, mengatakan bahwa logat bahasa orang-orang Madura mempengaruhi logat bahasa masyarakat kota Surabaya pada umumnya. Pengalaman juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kesiapan seseorang dalam mencapai proses perubahan. Pengalaman akan membantu individu untuk beradaptasi terhadap kondisi sosial yang selalu dan cepat berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pengalaman juga akan mempermudah individu dalam memilih dan melakukan perkerjaan yang begitu kompetitif dari waktu ke waktu. Hal ini tentu saja diikuti oleh perkembangan masyarakat manusia yang begitu cepat berubah, sehingga perubahan itu akan berpengaruh terhadap profesi yang ditekuninya. Perubahan profesi muncul bersamaan dengan perkembangan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang tidak merata di berbagai daerah. Daerah dengan peluang pertumbuhan pembangunan dan ekonomi yang cukup baik dan maju akan menghadirkan berbagai etnis dengan segala perbedaannya, sehingga dengan begitu pengalaman menjadi solusi terbaik dalam mencari dan menekuni berbagai profesi. Sikap menjadi penting dalam membuka dan memudahkan ruang interaksi di antara sesama dalam kehidupan bermasyarakat. Hubungan antar sesama bisa berjalan dengan baik apabila dilalui dengan sikap yang saling menerima, menghormati dan menghargai, dengan tidak mengedepankan perbedaan dan kekurangan di antara individu, maupun kelompok dalam kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini akan melahirkan kesadaran bersama bahwa sesungguhnya dalam kehidupan ini tidak terlepas dari bantuan pihak lain. Kesadaran ini akan tetap ada dan kuat di antara pihak-pihak dalam masyarakat apabila masingmasing dari masyarakat memposisikan diri dan bertindak serta berperilaku sesuai dengan ketentuan yang menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian kehidupan masyarakat yang aman, damai, dan harmonis yang merupakan dambaan setiap orang dalam tatanan kehidupan sosial akan dapat tercapai. Pada bagian lain ada juga perubahan suatu masyarakat berjalan secara lambat. Terlambatnya perubahan disebabkan oleh masyarakat 23
tersebut menutup diri dengan dunia luar, atau menolak terhadap halhal baru yang dirasa tidak sesuai dengan apa yang mereka miliki. Terjadinya sikap ini karena adanya perasaan curiga yang kuat dengan kehadiran orang lain yang bukan bagian dari masyarakatnya. Kecurigaan itu pun manghalangi mereka untuk menerima dan membuat perubahan dalam kehidupannya. Sastroamodjo (2003) dalam penelitiannya tentang kehidupan suku Samin di Bojonegoro mengatakan bahwa kemurnian ajaran kesaminan mungkin hanya bisa bertahan hingga setengah atau paling banter satu abad. Samin adalah sebuah suku atau kelompok masyarakat yang begitu tertutup dengan dunia luar, dan tetap mempertahankan tradisi yang menjadi warisan secara turun temurun. Namun dengan perkembangan global saat ini, tidak satu pun kelompok masyarakat bisa tetap bertahan dengan tradisinya, karena perubahan dan perkembangan kini tanpa batas, dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat manusia. Perubahan tetap dialami oleh setiap manusia dan tidak bisa dihindari, namun yang perlu dilakukan oleh manusia adalah mampu beradaptasi dan menyiapkan diri sesuai dengan tuntutan perubahan tersebut.
Membangun Kerja Sama melalui Modal Sosial Modal sosial menjadi bagian terpenting dalam kehidupan bermasyarakat. Terjadinya modal sosial merupakan hasil dari hubungan sosial di dalam kehidupan bermasyarakat. Modal sosial terjadi dalam sebuah jalinan antar sesama individu atau anggota masyarakat. Adanya jalinan antar anggota masyarakat disebabkan oleh sesuatu dorongan yang mempertemukan di antara kedua belah pihak untuk melakukan sebuah jalinan, atau kerja sama. Jalinan atau kerja sama lahir dari sebuah kesadaran sebagai makhluk sosial yang memerlukan orang lain. Setiap manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai keterbatasanketerbasan yang berhubungan dengan modal yang yang dimiliki, baik berkaitan dengan kemampuan, pengalaman, maupun yang ada di luar dirinya. Dengan keterbatasan itulah membut manusia membuka ruang untuk bertemu antar individu atau kelompok manusia di dalam berbagai aktivitas yang dilakukan dan di berbagai lingkungan dengan 24
berbagai tujuan serta pendekatan yang digunakan. Semua tujuan dan pedekatan yang digunakan bisa terjadi dan berjalan dengan baik apabila dilandasi dengan sebuah keyakinan yang bernilai kepercayaan. Secara konsep para ahli pun memberikan gambaran tentang modal sosial yang terjadi di masyarakat. Putnam (dalam Winter, 2000) menyebutkan bahwa modal sosial mempunyai tiga pilar utama yaitu kepercayaan, norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, serta jaringan sosial yang terjalin dalam sistem sosial. Tiga pilar utama ini menjadi tolok ukur dan penentu sebuah jalinan yang terbangun antar sesama anggota masyarakat ataupun di lingkungan anggota atau kelompok yang lain. Agar jalinan hubungan anggota masyarakat atau kelompok dalam kehidupan sosial bisa tetap berjalan dengan baik dan bertahan harus tertanam rasa saling percaya yang kuat di antara sesama, dan memposisikan segala perbedaan di antara sesama dalam tatanan saling menghargai dan menghormati. Setiap individu dan masyarakat akan selalu hidup dan berperilaku sesuai kebiasaankebiasaan yang terwujud sebagai ketentuan bersama dan ditaati secara bersama pula yang disebut sebagai norma, serta nilai-nilai suatu tradisi dalam kehidupan individu maupun kelompok masyarakat. Jalinan atau kerja sama dalam kehidupan sosial dengan mengedepankan saling percaya menjadi bagian terpenting untuk menata ritme hubungan sosial dalam suasana yang baik, terbuka dan awet (bertahan). Hal mana harus didukung dengan sebuah jaringan yang terbangun secara baik antar individu maupun kelompok yang terdorong atas kesadaran dan kepentingan bersama dan dilalui pada waktuwaktu sebelumnya. Selanjutnya Bouedieu, Coleman dan Putnam dalam Winter (2000) mendefinisikan modal sosial dari ranah yang berbedabeda. Menurut Bourdieu dan Coleman, penekanan modal sosial dari ranah individu, keluarga, dan komunitas, sedangkan Purnam penekanan modal sosialnya dari ranah regional dan nasional yang mana modal sosial dinilai sebagai pendorong dalam kelembagaan demokrasi dan pengembangan ekonomi. Sekalipun para ahli dengan penekanan yang berbeda-beda, tentang modal sosial, namun dari keseluruhan aktivitas-aktivitas 25
individu atau kelompok di masyarakat akan selalu ada, dan terkait dengan unsur-unsur atau bagian-bagian dari modal sosial itu sendiri. Aktivitas yang terjadi di lingkungan serta perkembangannya menjadi tanggungjawab bersama dan diikat oleh sebuah tradisi yang lahir dari kebiasaan dan kesepatakan, dan terbangunnya sebuah jaringan sebelumnya. Hikmat (2001) dalam penelitiannya tentang tradisi “Rereongan Sarupi” di Jawa Barat, merupakan sebuah modal sosial yang dimanifestasikan dalam bentuk kerja sama dan gotong-royong dalam pembangunan sosial; musyawarah dalam memecahkan masalahmasalah kemasyarakatan; saling menolong antar tetangga; dan saling mengingatkan apabila ada tetangga yang berbuat hal-hal yang merugikan masyarakat. Modal sosial dalam kehidupan bermasyarakat selalu ada dalam suasana yang berbeda-beda. Perbedaan suasana tersebut disebabkan oleh cara pandang dan pendekatan yang digunakan oleh individu mapun kelompok dalam membangun dan menjalankan relasi dan kerja sama. Perbedaan suasana modal sosial menurut Woolcock (John Field, 2010) terbagi atas tiga tipe social capital. Tipe pertama, terjadinya hubungan secara dekat dan mengikat atau bonding social capital yang berada dalam lingkungan dan situasi yang sama. Hubungan atau relasi antar individu dalam kelompok ini, seperti keluarga dekat, teman akrab, rukun tetangga maupun hubungan antar kelompok yang sama seperti suku, agama, antar golongan dimana kelompok ini akan memperkuat hubungan di dalam kelompoknya. Tipe kedua terjadinya hubungan relasi sebagai mitra atau menjembatani bridjing social capital yang mencakup ikatan atau adanya hubungan yang lebih longgar dari beberapa orang atau antar kelompok yang berbeda sehingga memperkuat ikatan di antara mereka atau kelompok-kelompoknya seperti teman jauh atau rekan sekerja. Tipe ketiga terjadinya hubungan relasi yang menghubungkan linking social capital yang menjangkau orangorang yang berada pada situasi berbeda, seperti mereka yang sepenuhnya ada di luar komunitas, sehingga mendorong anggotanya memanfaatkan banyak sumber daya yang tersedia di dalam komunitasnya, atau hubungan-hubungan antar individu-individu dan kelompokkelompok dalam strata sosial yang berbeda dalam suatu kehidupan 26
bermasyarakat (struktur). Buordieu (Winter, 2000) mengatakan, modal sosial dibentuk oleh adanya jaringan-jaringan, kemudian jaringan-jaringan ini, pada kondisi tertentu dapat diubah menjadi modal ekonomi dan biasanya secara kelembagaan terlihat pada kelompok komunitas yang mempunyai kedudukan sosial tinggi dalam suatu masyarakat. Bourdieu menekankan bahwa modal sosial yang dibentuk oleh jaringan hubungan sosial, tidak secara alami (natural given) atau begitu saja dalam suatu masyarakat (social given). Modal sosial merupakan hasil dari investasi strategi-strategi baik dari tindakan individu maupun kolektif dalam waktu sesaat atau berkelanjutan yang bertujuan untuk menstabilkan atau menghasilkan hubungan-hubungan sosial yang secara lansung berguna, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Penelitian Brata (2004) di Yogyakarta pada pedagang angkringan menunjukkan manfaat ekonomis dari modal sosial. Manfaat ekonomis modal sosial terlihat dari hubungan sosial kekerabatan, yang mana pengalaman teman ataupun kerabat dekat yang telah menjadi pedagang angkringan merupakan salah satu faktor pendorong beberapa orang lebih memilih beralih profesi menjadi pedagang angkringan. Dimensi modal sosial dalam kehidupan bermasyarakat terjadi antar individu dan antar kelompok atau sebaliknya, serta di dalam atau di luar komunitas lebih menekankan pada tujuan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan utama inilah menggerakkan individu maupun kelompok untuk membuka diri terhadap sesama maupun orang lain dalam rangka kerja sama dan kebersamaan untuk mencapai tujuan bersama. Agar kerja sama tetap terjaga dan berada dalam kualitas relasi yang baik harus didukung oleh nilai-nilai dan norma-norma serta adanya saling percaya mempercayai. Dasgupta dan Serageldin (1999) mengatakan, dimensi modal sosial menekankan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidupnya, sehingga perlu pengembangan nilai-nilai yang harus dianut oleh anggotanya, seperti: sikap partisipatif, sikap saling memperhatikan, saling memberi dan menerima, dan saling percaya mempercayai. Dimensi modal sosial menggambarkan segala sesuatu yang 27
membuat masyarakat bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, serta di dalamnya diikat oleh nilai-nilai dan norma-norma yang tumbuh dan dipatuhi. Lebih luas Hisbullah (2006) menjelaskan, modal sosial sebagai suatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, dan ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya, seperti rasa saling mempercayai, ketimbal-balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan jenisnya.
Identitas dan Ketahanan Sosial Identitas merupakan ciri khas dari setiap individu dan kelompok dalam satu komunitas masyarakat. Ciri khas menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan sekaligus menjadi pembeda antar individu maupun kelompok dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Penduduk lokal atau orang Papua merupakan suatu komunitas masyarakat yang mempunyai identitas yang berbeda dari komunitas lainnya. Identitas itu berupa budaya; kepercayaan; cara mempertahankan hidup; dan ciri fisik maupun wilayah atau tempat dimana suatu kelompok itu berkembang dan berasal. Dari sinilah setiap individu menyadari bahwa identitas menjadi bagian terpenting dan sekaligus sebagai alat pemersatu atau sebuah pengikat yang kuat untuk menjamin tetap terpeliharanya kekhasan dalam individu maupun kelompok. Menurut Rex (Habel Suwae, 2012), etnis adalah suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok atau individu-individu yang menyatukan diri dalam kolektivitas. Selanjutnya Rex menempatkan identitas sebagai bagian utama dari suatu etnis atau kelompok sehingga begitu pentingnya posisi identitas dalam suatu komunitas masyarakat. Menurut Marcia (1993), identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas person individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain. Keunikan dan kemiripan menjadi dua bagian yang terdapat pada setiap individu baik secara pribadi maupun secara kelompok. Dari dua sisi inilah akan membentuk dan mem-
28
perkuat suatu etnis atau kelompok dalam kehidupan bermasyarakat secara luas. Kondisi dan pemahaman ini tentu ada pada setiap etnis, apabila masing-masing dari individu mempunyai kesadaran akan kemiripan maupun keunikan yang dimilikinya. Dengan kesadaran tentang kemiripan dan keunikan menjadi suatu modal utama yang akan melahirkan sebuah kebersamaan dan kerja sama dalam menjaga dan melakukan sesuatu untuk melindungi apa yang menjadi bagian dari identitas etniknya. Adanya perlindungan terhadap identitas etnik apabila masing-masing diri dan kelompoknya selalu menjaga, menghargai dan menghidupkan unsur-unsur atau bagian dari identitas yang dimiliki dalam berbagai lingkungan, situasi dan status. Liliweri (2003) menggolongkan etnik bersifat horizontal dan vertikal. Secara horizontal etnik didasarkan pada, ras, bahasa daerah, adat istiadat, agama, dan budaya material. Sedangkan secara vertikal etnik didasarkan pada; penghasilan, pendidikan, pemukiman, pekerjaan, dan kedudukan sosial politik. Pada penggolongan secara vertikal identitas suatu etnik akan lebih nampak dan kuat, atau sebaliknya mengalami pegeseran dan menjadi lemah. Di sinilah identitas etnik memiliki peran penting dalam percaturan antar etnis dalam kehidupan sosial yang multi etnik. Pada suasana inilah terjadi ruang prasangka antar etnis yang melahirkan perbedaan berpikir. Sebagaimana Martin dan Nakayama (2008) mengatakan, konflik (prasangka) dapat muncul ketika terdapat perbedaan yang tajam antara apa yang kita pikirkan tentang diri kita dan yang orang lain pikirkan tentan diri kita. Dari dua sudut berpikir yang berbeda tentang suatu etnis ini akan memunculkan hasil yang berbeda pula terhadap posisi suatu etnis. Pemikiran yang muncul dari dalam tentang diri kita sebagai pemilik identitas tersebut tentu memunculkan pemikiran bahwa kitalah yang lebih baik dan melihat orang lain di luar kita adalah menjadi ancaman. Sedangkan pemikiran yang muncul dari luar tentang diri kita, akan memunculkan pemikiran tentang kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri dan identitas kita.
29
Liliweri (2003) mengatakan bahwa, prasangka tersebut disebabkan oleh: Pertama, kecenderungan berprasangka dengan orang yang bersaing dengan kita, apalagi ia berasal dari kelompok etnik lain; Kedua, sikap etnosentrisme, yaitu cenderung mempengaruhi pandangan bahwa orang luar kelompok etnik lebih buruk dari orang dalam kelompok etnik; Ketiga, menilai orang yang tidak dikenal dengan stereotip, walaupun stereotip tersebut tidak penuhnya benar, namun tetap menjadi dasar penilaian yang mudah digunakan; Keempat, cenderung menetapkan jarak sosial dan diskriminasi antar orang dalam dan luar etnik; Kelima, menggeneralisasi kelompok lain berdasarkan pengalaman terhadap beberapa indvidu; Keenam, tuntutan kemajuan pembangunan; misalnya modernisasi, pendidikan, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang menuntut kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional sehingga menggeser kelompok etnik tertentu. Munculnya berbagai prasangka merupakan konsekwensi dari tatanan kehidupan masyarakat yang multi etnik.
Identitas etnis semakin kuat apabila diperhadapkan pada suatu suasana yang tidak menguntungkan atau berada pada tekanan dan perlakuan yang tidak adil, baik secara ekonomi maupun politik. Kondisi tersebut akan menimbulkan idealisme dan nasionalisme identitas etniknya. Chauvel (2005) dalam penelitiannya di Papua mengungkapkan ada empat faktor penting yang membentuk nasionalisme ke Papua-an: Pertama, sebagian Papua berbagai kekecewaan sejarah yang tanah airnya diintegrasikan dengan Indonesia; Kedua, elit Papua merasakan sebuah persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia yang telah mendominasi pemerintahan sejak priode Belanda; Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan di Papua melanjutkan sense ofdifference (perasaan berbeda); Keempat, banyaknya pendatang dari luar Papua yang memperbesar perasaan bahwa orang Papua dimarginalisasi.
Kondisi marginalisasi orang Papua dalam ruang-ruang potensi dan peluang kehidupan ditanahnya sendiri telah ada dan terjadi sejak perjalanan sejarah status Papua secara kewilayaan dalam tatanan Negara Indonesia. Marginalisasi terhadap orang Papua hampir pada semua aspek kehidupan dan potensi yang dimilikinya, menjadi modal 30
dan peluang untuk perbaikan kehidupannya secara bernilai dan bermartabat dalam tataran pribadi, keluarga serta bermasyarakat. Harapan itu pun tidak dirasakan secara keseluruhan dan maksimal dalam kehidupan orang Papua. Kondisi kecewaan yang nyata dan dialami tersebut disebabkan peranan pemerintah dengan kebijakan yang bermuatan politis yang lebih mementingkan kepentingannya dengan mengutamakan banyak peluang diluar orang Papua pada posisi pemegang kebijakan pemerintahan Papua saat itu. Selain itu kehadiran migran dari berbagai etnis dengan orientasi perbaikan kehidupan dan ekonomi yang terjadi sejak dulu telah menambah dan memperkuat perasaan marginalisasi orang Papua dilingkungan dan kehidupannya. Dengan berbagai akumulasi kenyataan itulah menumbuhkan dan memperkuat idialisme dan nasionalisme orang Papua sebagai etnis dengan identitasnya yang tumbuh dan berkembang pada ruang dan potensi diatas tanah dengan segala latarbelakangnya. Identitas yang merupakan segalanya memberikan kemampuan dan peluang bagi orang Papua untuk berkesempatan menata dan memperbaiki segala kekurangannya dalam mempertahangkan identitas dan keberlanjutan masa depannya diberbagai peluang dan kesempatan. Namun peluang dan kesempatan itu pun hanya menjadi harapan dan kekecewaan, karena masih diperhadapkan dengan persoalan yang sama dan sudah menjadi bagian dari kehidupan orang Papua.
31