BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN
Dualisme Desa di Tabola: Pakraman dan Dinas • Hegemoni Desa Dinas “Desa yang ada di Bali ini, termasuk di Sidemen, mestinya dijadikan satu saja, dengan menggabungkan desa dinas ke desa adat (desa pakraman). Dengan adanya dualisme desa seperti sekarang ini jadinya memang membingungkan. Mestinya, desa adat diberi wewenang mengurus kepentingan yang sekarang diurus desa dinas. Sebab penduduk yang diurus desa dinas dan desa adat itu sama, sehingga sebaiknya desa adat yang mengambil alih urusan desa dinas” (Perbincangan dengan Camat Sidemen, Desember 2009)
Di masa lalu, ketika gelombang reformasi belum datang dan mengubah wajah politik Indonesia seperti sekarang, tidak terbayang kalimat seperti itu bisa meluncur dari mulut seorang Camat di Bali. Bukan hanya karena kalimat seperti itu bisa dianggap mengecilkan arti pemerintah dengan desa dinasnya; tetapi lebih dari itu realitas yang ada pada saat itu menunjukkan bahwa desa dinas memang mendominasi dan menghegemoni hampir keseluruhan urusan yang terkait dengan desa di Bali. Memang, pada masa itu, boleh dikatakan tidak ada urusan yang terkait dengan desa dan masyarakat desa yang luput dari kontrol dan pengendalian desa dinas. Bahkan urusan yang jelas-jelas dianggap merupakan wilayah desa adat, seperti misalnya prosesi upacara adat atau agama, juga tidak lepas dari kontrol dan kendali desa dinas. Pendek kata, semua urusan desa, terutama yang melibatkan berkumpulnya warga dalam jumlah yang cukup banyak, harus sepengetahuan dan harus seijin aparatur pemerintahan desa dinas. Kontrol dan kendali memang merupakan kata kunci yang mencerminkan betapa kuatnya pengaruh kekuasaan pemerintahan desa dinas pada waktu itu. Ini tidak hanya terhadap institusi desa adatnya saja, tetapi juga terhadap aktivitas masyarakat desa pada umumnya,
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI baik sebagai individu maupun sebagai kelompok krama desa. Kalau dicermati, hal seperti yang terakhir ini tidak saja terjadi di Bali, tetapi juga berlangsung di hampir semua wilayah pelosok desa di Indonesia. Walaupun dalam bentuk lain, karena di luar Bali tidak terdapat dualisme desa yaitu, desa adat dan desa dinas. I Gusti Lanang Gita, mengakui berdasarkan pengalamannya selama ini sebagai Perbekel, bahwa desa dinas memang memiliki pengaruh kekuasaan yang sangat kuat. “Pengalaman saya, jamannya kan masih Golkar, apapun yang dikatakan (pemerintah desa dinas) pada saat itu, ya harus dijalankan”. 1 I Gusti Lanang Gita adalah mantan Kepala Desa Dinas Sidemen (Perbekel Sidemen) antara tahun 1994 – 1998. Pada saat itu, Desa Dinas Sidemen belum dimekarkan menjadi 3 desa dinas seperti sekarang, yaitu Desa Dinas Sidemen, Sinduwati, dan Telagatawang. Selain pernah menjabat sebagai Perbekel Sidemen, Pak Gusti, yang juga adalah seorang seniman tari topeng Bali itu, sempat menjabat sebagai Bendesa/Klian Desa Pakraman Tabola antara tahun 2002-2008. Menjelang akhir tahun 2008, Pak Gusti Lanang Gita dilengserkan sebagai Bendesa/Klian Desa Pakraman Tabola, menyusul terjadinya protes para krama desa yang dipicu oleh konflik sumberdaya air (air minum desa). Dalam kesempatan wawancara, I Gusti Lanang Gita juga mengakui bahwa kuatnya pengaruh kekuasaan desa dinas tidak lepas dari kondisi pemerintahan Orde Baru pada waktu itu. “…pada waktu itu, siapa yang menentang keinginan pemerintahan (desa dinas) akan berhadapan dengan baju hijau (tentara)”, demikian diungkapkannya. 2 Kuatnya kedudukan pemerintahan desa dinas tidak terlepas dari dukungan kekuasaan supra-desa, yang dalam konteks pemerintahan desa dinas pada waktu itu, mencakup paling tidak pemerintahan kecamatan dan kabupaten, ditambah unsur aparat keamanan ditingkat lokal, yaitu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI ini terdiri dari unsur militer (TNI) dan Wawancara dengan I Gusti Lanang Gita, Banjar Tabola, Desa Tabola, Sidemen, Mei 2008. 2 Op. Cit. Wawancara dengan I Gusti Lanang Gita, Mei 2008. 1
250
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN kepolisian, yang di masa Orde Baru bersama unsur pemerintahan di tingkat lokal membentuk suatu institusi koordinasi bersama yang disebut Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) untuk tingkat kabupaten dan Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) untuk tingkat kecamatan. Tugas Muspida dan Muspika ini, antara lain menjamin agar semua program pemerintah bisa berjalan dengan baik tanpa hambatan sosial-politik di tingkat lokal. Untuk memberikan jaminan yang lebih kuat, bahkan di tingkat pemerintahan desa ditempatkan aparat keamanan, yang terdiri dari unsur tentara yang disebut Babinsa (Badan Pembina Desa), dan unsur kepolisian yang disebut sebagai Babinkam (Badan Pembina Keamanan). Sampai saat ini, baik unsur Babinsa maupun Babinkam masih terdapat di desa, tentu dengan fungsi dan lingkup tugas yang berbeda dibandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan desa (dinas) mendapatkan dukungan kekuasaan langsung dari pemerintahan supra-desa karena memang menurut undang-undang yang berlaku pada masa itu, secara struktural, pemerintahan desa secara langsung berada di bawah pemerintahan kecamatan. Pada masa Orde Baru, pemerintahan desa diatur oleh UU No. 5 Tahun 1979, yang substansinya lebih mencerminkan tatanan pemerintahan yang sentralistik sebagaimana ciri dari Pemerintahan Orde Baru itu sendiri. Dalam UU No. 5 Tahun 1979, misalnya, disebutkan definisi tentang desa, yaitu: “Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Inodonesia”. 3
Lihat UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Ketentuan Umum, pasal 1, sub-bagian a.
3
251
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Dari definisi desa menurut UU No. 5 Tahun 1979 tersebut di atas, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa desa mempunyai organisasi terendah langsung di bawah Camat. Sebagai organisasi terendah langsung di bawah camat, maka keberadaan desa (dinas) sedikit banyak mencerminkan kepentingan dari struktur pemerintahan di atasnya, khususnya camat. Dalam konteks ini, camat atau kecamatan adalah bawahan langsung dari pemerintahan di atasnya, yaitu kabupaten, propinsi dan pemerintah pusat. Menyangkut desa, dalam undang-undang yang sama juga disebutkan bahwa dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, kepala desa, bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui camat. 4 Dasar hukum seperti tersebut di atas itu yang menyebabkan desa (dinas) memiliki kekuasaan yang kuat, khususnya karena adanya dukungan langsung dari kekuasaan supra-desa. Tentu saja dasar hukum itu dikonstruksi dalam rangka melaksanakan strategi pembangunan Orde Baru, yang ketika itu dinilai memiliki dimensi kebijakan yang secara umum cenderung sentralistis dan “top down”. Disamping itu, dengan adanya dukungan dari kekuasaan supra-desa yang kuat, desa (dinas) bersama perangkatnya di tingkat dusun, dalam perkembangannya menjadi agen utama dalam keseluruhan proses pembangunan di desa. Terkait dengan hal ini, hampir tidak ada proses pembangunan di wilayah desa di Bali yang implementasinya tidak melewati (sepengetahuan dan seijin) desa dinas. Dengan peran dominan dalam proses pembangunan ini, desa (dinas), yang dalam hal ini direpresentasikan oleh para aparatusnya, pada akhirnya menjadi sosok patronase yang kuat bagi desa dan masyarakat desa secara keseluruhan. Ini sedikit berbeda dengan masa sebelumnya (masa tahun 1950 sampai 1960-an, masa sebelum Orde Baru), dimana sosok patronase desa lebih tercermin pada diri para tokoh pegiat partai/politisi partai yang ketika itu menguasai dan mendominasi ruang sosial-politik masyarakat di desa. Menyangkut hal ini, termasuk di dalamnya adalah para tokoh 4
Op. Cit. UU No. 5 Tahun 1979, Pasal 10 ayat 2.
252
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN masyarakat setempat (elit desa, baik dari golongan brahmana, bangsawan atau lapisan terdidik di desa), yang ketika itu umumnya juga menjadi pegiat aktif dari partai-partai politik yang ada di desa. Jadi secara struktural, kedudukan desa (dinas) kuat karena di satu sisi dikonstruksi lewat payung hukum sebagai kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya; dan di sisi lain memiliki sumberdaya yang kuat karena fungsinya sebagai (satu-satunya) agen pembangunan pemerintah di tingkat lokal (desa). Dengan struktur seperti ini, maka pada akhirnya kedudukan desa dinas pada masa Orde Baru hampir mirip dengan kedudukan desa dinas pada masa kolonial, yaitu sebagai bagian paling bawah dari struktur birokrasi pemerintahan pusat. Sehingga karena itu tidak aneh kalau fungsinya terutama adalah menjalankan atau melaksanakan program-program pemerintahan di atasnya saja. Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas, Parker (2005), dalam bukunya berjudul “From Subyects to Citizens, Balinese Villagers in the Indonesian Nation States”, mengungkapkan, antara lain:
“Through development, New Order Indonesia became an ‘interventionist nation-state’. The litany of pembangunan was inescapable in Suharto’s Indonesia: it was so hegemonic there was nary a voice of opposition”. Dengan demikian, memang pada dasarnya
kekuasaan desa (dinas) yang mendominasi sebenarnya cerminan dari apa yang disebut sebagai hegemoni negara Orde Baru yang tak tertandingi itu.
Dengan kedudukan desa dinas yang kuat dan hegemonik ini maka kedudukan desa adat boleh dikatakan menjadi terpinggirkan. Seperti disebutkan di depan, semua urusan yang secara tradisional menjadi urusan desa adat, secara pelan-pelan dan bertahap lalu ikut menjadi urusan desa dinas (Sunantara, 2004). Terkait hal ini, I Gusti Lanang Sidemen, pensiunan guru yang saat ini menjadi Klian Desa Pakraman Tabola menggantikan I Gusti Lanang Gita yang dilengserkan oleh masyarakat pada akhir tahun 2008, menuturkan pengalamannya. “Pada masa Orde Baru, pemerintah itu agak mengabaikan desa adat. Semua pembangunan itu hanya berdasarkan rencana dari
253
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI pemerintah. Desa adat juga jalan, tapi seolah-olah desa adat itu kurang diperhatikan, tidak diajak bicara. Baru sekarang saja desa adat atau desa pakraman mendapatkan perhatian, diajak ikut merencanakan pembangunan desa”. 5
Lalu pada tahun 1998 datang gelombang reformasi, yang mengubah landscape politik Indonesia. Rezim Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang otoriter dan sentralistik ambruk, digantikan pemerintahan baru yang mulai mendorong keterbukaan politik. Memasuki jaman reformasi ini, secara bertahap hegemoni desa dinas mulai meluruh, yang hal itu mulai muncul bersamaan dengan respon masyarakat dalam bentuk gugatan terhadap berbagai praktik pemerintahan desa (dinas) di waktu lalu. Di berbagai tempat di Indonesia, gugatan itu malah tidak jarang berujung pada pelengseran para kepala desa dengan berbagai sebab pemicunya. Di sisi lain, karena perkembangan situasi, unsur keamanan (militer dan polisi) mulai menjaga jarak dengan urusan-urusan politik pemerintahan. Dukungan yang hampir tanpa batas terhadap berbagai kebijakan politik pemerintahan desa (dinas) secara berangsur-angsur mulai berkurang. Meskipun demikian sampai saat ini unsur militer dan polisi (Babinsa dan Babinkam) tetap hadir di desa-desa, termasuk di Tabola. Tetapi tentunya dengan konteks dan kepentingan yang agak berbeda bila dibandingkan dengan kehadirannya pada masa Orde Baru. Lagi pula, sejak awal reformasi, hegemoni Golkar, dalam kehidupan politik di desa-desa, tidak terkecuali di Desa Tabola, juga mulai rontok. Ini menyusul kekalahannya dalam Pemilu multipartai pertama sejak Orde Baru runtuh tahun 1999, yang hasilnya memunculkan kekuatan-kekuatan lain di luar Golkar, khususnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang di Bali menang telak atas Golkar dan partai-partai lainnya. Menurut catatan, dalam Pemilu 1999, PDIP mengantongi lebih 80 % suara pemilih di Bali, jauh meninggalkan Golkar dan partai-partai lainnya.
Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen, Klian Desa Pakraman Tabola. Tabola, 2 Januari 2010.
5
254
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN Dengan kekalahan Golkar dalam Pemilu 1999, maka aliansi politik Golkar dengan pemerintah desa (dinas) di Bali (dan diberbagai daerah di Indonesia) yang berlangsung lebih dari tiga dekade, menjadi tamat. Golkar di Bali pada saat itu tidak lebih dari partai kecil dengan perolehan suara hanya 10% (padahal tahun 1997 mendapatkan suara 93%), jauh di bawah PDIP yang meraup hampir 80% suara (SchulteNordholt, 2007). Dengan posisinya yang lemah ini, maka Golkar tidak mampu lagi menjadi kekuatan “patronase” bagi desa-desa dinas, seperti yang dilakukan sebelumnya. Dalam konteks ini, desa-desa dinas seolah-olah kehilangan “payung” kekuasaan, baik dari sisi politik, khususnya yang bersumber dari pemerintahan supra-desa yang selama ini ditopang oleh Golkar, maupun dari sisi keamanan yang bersumber dari unsur militer dan polisi. Memang sudah bukan rahasia lagi kalau di masa Orde Baru, desa-desa menjadi ujung tombak bagi Golkar untuk mendapatkan suara mayoritas dalam setiap pemilu. Dalam konteks ini, misalnya, sudah menjadi pengetahuan umum kalau banyak dari pengurus desa dinas di Bali, termasuk para kepala desanya menjadi pengurus Golkar, atau paling tidak aktivis Golkar, di tingkat desa. Sebagai imbalannya, Golkar yang pada masa Orde Baru menguasai secara total birokrasi pemerintahan supra-desa, memberikan “payung” politik bagi para pengurus desa, yang dalam setiap pemilu terbukti telah menjadi mesin pendulang suara yang efektif bagi partai penguasa itu. Ketut Sukayasa, mantan Kepala Dusun/Klian Banjar Dinas Lantang Kantik, Desa Dinas Sidemen (sebelum pemekaran) tahun 1979-1999 dan juga mantan Perbekel/Kepala Desa Dinas Telagatawang (desa hasil pemekaran desa Sidemen) tahun 2000-2009, misalnya, mengaku sempat lama menjadi pengurus Golkar di tingkat desa. Sebagai pengurus Golkar, ia mengaku aktif memobilisasi suara untuk Golkar dalam setiap pemilu pada masa Orde Baru. Sebagai imbalannya, Golkar dan pemerintahan supra-desa selalu memberikan dukungan kepada desa dinas beserta struktur organisasi yang ada di bawahnya seperti dusun-dusun dinas atau banjar-banjar dinas. “Undang-undang pada waktu itu mengijinkan seorang pejabat, walaupun di bawah 255
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI (tingkat desa) untuk menduduki kepengurusan (Golkar) itu”, demikian dikatakannya dalam suatu wawancara. 6 Seperti diketahui, banjar dinas adalah organisasi masyarakat di tingkat desa yang secara hirarkhis, strukturnya berada di bawah desa (dinas). Pada masa Orde Baru, nama banjar dinas ini sempat diganti dengan nama dusun dinas, mengikuti nama (nomenklatur) yang ada dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Dalam UU itu, nama desa dan dusun dibuat seragam untuk seluruh Indonesia, dan nama-nama lokal untuk istilah desa dan dusun harus menyesuaikan diri dengan nama yang seragam itu. Sejalan dengan itu, nama penyebutan bagi perbekel dan klian juga diganti menjadi kepala desa dan kepala dusun. Sampai kemudian muncul undang-undang baru, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya juga diatur berbagai ketentuan tentang pemerintahan desa (Bab XI, pasal 93-106). Undang-undang baru ini boleh dikatakan telah mengkoreksi pengertian berbagai ketentuan tentang desa yang sebelumnya bernuansa otoriter dan sentralistik. Sebagaimana disinggung pada bagian pendahuluan dari tulisan ini, yang paling pokok dan pertama adalah perubahan definisi tentang desa, dibandingkan definisi sebelumnya. Dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang mulai diberlakukan pada bulan Januari 2001 disebutkan pengertian tentang desa, yaitu: “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten”.
Bandingkan dengan pengertian tentang desa menurut UU No. 5 Tahun 1979 seperti disebutkan dalam bagian tulisan di atas. Dalam pengertian baru tersebut, tidak disebutkan lagi bahwa organisasi 6 Wawancara dengan Ketut Sukayasa, mantan Perbekel Desa (Dinas) Telagatawang, Kecamatan Sidemen. Banjar Kebon, Desa Telagatawang, Sidemen, 24 Desember 2009.
256
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN pemerintahan desa berada di bawah langsung camat. Jadi dalam hal ini, ketergantungan desa terhadap struktur supra-desa, perdefinisi sudah dihapuskan. Dengan penghapusan itu, desa diharapkan menjadi suatu entitas yang mandiri, sesuai dengan pengertian baru desa itu sendiri, yaitu: “Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat….”
Berbarengan dengan diterapkannya ketentuan baru mengenai pemerintahan desa (Bab XI, UU No. 22 Tahun 1999) pada jaman reformasi itu, maka pikiran-pikiran tentang demokrasi semakin menembus desa. Apalagi pemerintahan desa, menurut ketentuan yang ada, terdiri dari Pemerintah Desa sebagai eksekutif dan Badan Perwakilan Desa (BPD), yang di antaranya memiliki fungsi sebagai lembaga pengawas (legislatif) jalannya pemerintah desa. BPD ini kemudian diubah namanya dari semula bernama Badan Perwakilan Desa (BPD) menjadi Badan Musyawarah Desa (BMD), dengan fungsi yang kurang lebih sama, yaitu antara lain sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan desa. • Bangkitnya Desa Pakraman Dengan perkembangan seperti tersebut diatas, desa dinas di Bali tidak mungkin lagi mempertahankan posisi hegemoniknya terhadap desa adat seperti yang sebelumnya terjadi. Terlebih lagi, sejak diterbitkannya Perda Pemerintah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang substansinya semakin memperjelas (dan memperkuat) kedudukan desa adat. Melalui Perda itu, sebutan nama desa adat selanjutnya diganti dengan sebutan nama desa pakraman. Jadi di sini ada dua faktor yang menyebabkan hegemoni desa dinas surut. Pertama, dukungan yang hampir mutlak, baik dari segi hukum dalam bentuk UU No, 5 Tahun 1979 maupun dari segi sosialpolitik dalam bentuk dukungan struktur supra-desa, sudah tidak mungkin di dapatkan lagi. Bagaimanapun jaman sudah berubah, rezim pemerintahan yang sentralistis dan otoriter sudah berganti menjadi 257
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI pemerintahan yang lebih mengedepankan prinsip otonomi dan demokrasi. Kedua, Perda No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman telah memberikan kedudukan yang lebih kuat bagi desa adat/pakraman. Perda itu telah memberikan peluang bagi desa adat untuk mendefinisikan kembali kedudukan dan posisinya melalui mekanisme penyuratan awig-awig. Sebab melalui Perda No. 3 tahun 2011, desa adat atau desa pakraman didorong untuk melakukan penyuratan awigawig. Sedangkan lewat penyuratan awig-awig itu, maka desa bisa mendefinisikan kembali secara ekplisit hak-hak dan wewenang tradisionalnya dalam konteks sekarang. Dan dalam proses pendefinisian itu, secara tidak langsung, desa adat/pakraman memulihkan kembali kedudukan dan wewenang tradisionalnya, termasuk hak-hak otonomi aslinya (otonomi asli desa). Secara teoritis, hak-hak otonomi (asli) itu menjadi ada kalau dasar-dasar dari keberadaan otonomi itu sendiri tersedia dan terpelihara. Menurut Kartohadikoesoema (1984), dasar-dasar dari otonomi itu adalah apabila desa masih memiliki modalitas dasar seperti: (1) hak atas wilayah sendiri dengan batas-batas yang sah; (2) hak untuk memilih dan mengangkat kepala atau majelis pemerintahannya (desa) sendiri; (3) hak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya (desa) sendiri; (4) hak mempunyai dan mengurus/mengelola asset-asset (desa) dan keuangannya sendiri; (5) hak atas tanahnya (desa) sendiri; (6) hak untuk memunggut iuran/pajak (lokal) sendiri. Dari semua unsur modalitas yang dibutuhkan sebagai prasyarat bisa tegaknya otonomi (asli) desa itu, jelas Desa Pakraman Tabola memiliki semuanya itu. Yang pertama jelas Tabola memiliki wilayah adat yang lingkupnya sekarang persis mencakup wilayah tiga desa dinas (Sidemen, Telagatawang, dan Sinduwati). Yang kedua, Desa Pakraman Tabola (khususnya dengan telah adanya awig-awig tertulis) memiliki aturan dan ketentuan sendiri yang dijamin secara hukum untuk memilih dan mengangkat kepala atau majelis pemerintahan (desa) sendiri. Ini lepas dari campur tangan pihak luar desa (adat), 258
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN seperti halnya yang mungkin terjadi di masa lalu (Orde Baru), di mana ketika itu hampir tidak ada sesuatu proses sosial-politik dan budaya yang luput dari perhatian dan campur tangan desa dinas (dan pemerintahan supra-desa). Ketiga, Desa Pakraman Tabola, saat ini dijamin secara hukum (Perda dan awig-awignya telah mendapatkan pengesahan/persetujuan pemerintahan Kabupaten) untuk melaksanakan hak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri. Keempat, Desa Pakraman Tabola juga telah dijamin secara hukum untuk melaksanakan hak mengurus/mengelola asset-asset dan keuangannya sendiri. Dalam kaitannya dengan hal ini, batasan tentang apa saja yang menjadi asset-asset desa (beserta sumber keuangannnya) telah dituliskan secara eksplisit dalam awig-awig secara jelas. Yang kelima, Desa Pakraman Tabola memiliki batasan yang jelas terkait hak atas tanahnya (desanya) sendiri. Batasannya ini telah dituangkan secara rinci dalam rumusan tertulis sebagaimana yang ada di awig-awig desa. Dan yang keenam adalah adanya hak untuk memungut iuran/pajak (lokal) sendiri bagi Desa Pakraman Tabola, yang hal itu juga telah diatur melalui ketentuan yang ada dalam awigawig desa. Jadi dengan demikian, semua syarat untuk tegaknya otonomi desa (asli) bagi desa adat telah dimiliki oleh desa pakraman. Ini ditambah dengan semakin surutnya campur tangan dan intervensi yang tidak perlu dari desa dinas dan struktur supra-desa atas Desa Pakraman Tabola. Semuanya ini, secara langsung memperkuat kedudukan desa adat (Desa Pakraman Tabola), khususnya dalam kaitannya dengan relasi relatif terhadap desa dinas (Sidemen). Ditambah satu faktor lagi yang juga tidak kalah penting pengaruhnya bahwa secara bertahap sejak tahun 1999, Desa Dinas Sidemen yang semula merupakan satu desa (dinas) telah dimekarkan menjadi tiga desa dinas, yaitu Desa Dinas Sidemen sebagai desa induk, dan Desa Dinas Telagatawang, serta Desa Dinas Sinduwati sebagai desa hasil pemekaran. 259
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Bagaimanapun dengan adanya pemekaran wilayah desa dinas maka secara teritorial wilayah desa dinas yang ada di lingkup wilayah Desa Pakraman Tabola semakin kecil karena telah terbagi menjadi 3 desa dinas seperti tersebut di atas. Dalam hubungannya dengan ini, wilayah Desa Pakraman Tabola menjadi terlalu besar dibandingkan dengan desa dinas karena pada kenyataannya sekarang wilayahnya mencakup atas wilayah 3 desa dinas. Padahal sebelumnya wilayah desa adat (Tabola) dan desa dinas (Sidemen) tepat berimpitan dalam satu wilayah. Dalam konteks perkembangan situasi seperti ini, maka pola relasi desa dinas dan desa pakraman mengalami pergeseran dan perubahan. Sebab pada kenyataannya, di satu sisi, desa dinas tidak bisa lagi memandang desa adat/pakraman sebagai bagian sub-ordinasi seperti pada masa sebelumunya (Orde Baru); sebaliknya desa adat/pakraman, di sisi lain, semakin mengukuhkan hak otonomi (aslinya), sebagaimana yang dijamin (secara hukum) oleh Perda No. 3 tahun 2001 serta perkembangan realitas seperti dijelaskan di atas (modalitas yang dibutuhkan untuk tegaknya otonomi asli desa). Bahwa relasi antara desa dinas dan desa adat/pakraman pada akhirnya berubah, bisa dilihat dari berbagai kenyataan hubungan desa dinas - desa adat/pakraman yang berkembang kemudian. Kepala Desa Dinas Sidemen atau Perbekel Sidemen, I Dewa Mayun, dalam suatu wawancara, misalnya, mengungkapkan bahwa sejak jaman reformasi, berbagai program yang diinisiasi oleh desa dinas (Sidemen) akan sulit dilaksanakan bila tidak berkoordinasi dengan desa adat/pakraman. Padahal di masa lalu, setiap kali desa dinas melaksanakan suatu program tertentu, hampir tidak ada ruang bagi desa adat untuk menolak ikut serta. Apalagi program yang membutuhkan keterlibatan masyarakat, kalau tidak melibatkan desa pakraman sejak awal, hampir pasti akan sulit dilaksanakan, atau bahkan bisa gagal sama sekali. Menurut I Dewa Mayun, Perbekel Sidemen: “Karena adat yang mempunyai aturan (awig-awig) untuk menurunkan masyarakat. Dalam aturan itu ada sanksi-
260
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN sanksinya…kalau tidak hadir bayar sekian, kalau melanggar adat tidak dikasih tempat untuk kuburan, dan lain sebagainya. Jadi mereka sekarang lebih takut sama (melanggar aturan) adat”. 7
Terkait dengan hal tersebut di atas, ada suatu contoh, bahwa ketika desa dinas (Desa Dinas Sidemen) ingin melaksanakan proyek pelebaran jalan desa ternyata mereka terbentur pada masalah ijin dari para pemilik tanah yang terkena proyek pelebaran jalan. Dalam proyek itu tidak terdapat anggaran untuk penggantian biaya tanah yang terkena proyek pelebaran jalan, sehingga satu-satunya jalan demi terlaksananya proyek itu adalah dengan meminta kesediaan para pemilik tanah untuk secara sukarela mengijinkan sebagian tanahnya untuk dipakai bagi kepentingan proyek. Menghadapi masalah ini, pihak pengurus desa dinas meminta bantuan desa pakraman untuk meyakinkan para pemilik tanah agar merelakan sebagian areal tanahnya untuk digunakan bagi kepentingan proyek pelebaran jalan. Akhirnya desa adat/pakraman Tabola, melakukan pertemuan-pertemuan musyawarah, dan hasilnya para pemilik tanah rela sebagian areal tanahnya digunakan bagi kepentingan proyek, tanpa ganti rugi. Setelah itu, proyek pelebaran jalan berhasil terlaksana dengan baik. 8 Tidak hanya itu saja. Dewasa ini, desa pakraman secara resmi telah dilibatkan oleh pemerintahan desa (dinas) dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan desa. Misalnya saja proses penyusunan rencana pembangunan desa melalui Musyawarah Perencanan Pembangunan Desa (Musrenbangdes). Pada masa lalu, praktik pelibatan desa adat secara langsung seperti ini seringkali diabaikan. Kalau ada pelibatan, seringkali hal itu dilakukan hanya secara formalitas agar terlihat adanya proses partisipasi. Dalam praktiknya, suara atau aspirasi yang muncul dari desa adat tidak jarang diabaikan begitu saja. Terkait dengan hal ini, Klian Desa (Bendesa) Desa Pakraman Tabola, I Gusti Lanang Sidemen, misalnya, mengatakan: Wawancara dengan I Dewa Mayun, Perbekel (Kepala Desa Dinas) Desa Sidemen. Sidemen, Karangasem, Mei 2008. 8 Op. cit. Wawancara dengan I Dewa Mayun, Perbekel Desa Dinas Sidemen. 7
261
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI ”Pada masa Orde Baru, semua pembangunan itu hanya berdasarkan rencana dari pemerintah (desa dinas). Adat juga jalan, tetapi kurang diperhatikan. Nah sekarang, adat dilibatkan dalam merencanakan pembangunan di desa. Adat dihargai sekarang”. 9
Dalam perkembangannya kemudian, tidak saja desa adat atau desa pakraman semakin “dihargai” kedudukannya oleh desa dinas, bahkan kini desa pakraman setiap tahun mendapatkan bantuan dana yang bersumber dari APBD Provinsi dan Kabupaten. Sebagai gambaran, untuk tahun anggaran 2011, misalnya, setiap desa pakraman (jumlahnya diseluruh Bali ada 1483 desa pakraman), tidak terkecuali Desa Pakraman Tabola, mendapat bantuan dana APBD Provinsi Bali sebesar Rp55 juta per tahun. Sedangkan bantuan dana yang diterima dari Pemerintah Daerah Kabupaten sebesar Rp15 juta per tahun. Kalau dicermati, dukungan dana dari pemerintah daerah ini tentu saja tidak terlepas dari harapan pemerintah terhadap tugas dan peran yang diemban desa pakraman. Dalam Perda No. 3 Tahun 2001 disebutkan bahwa tugas dari desa pakraman, secara umum adalah bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. Selain itu juga membina dan mengembangkan nilainilai budaya Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya, berdasarkan "paras-paros, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka". Ini maknanya kurang lebih: paras paros artinya saling memberi dan menerima; sagilik saguluk artinya kukuh dan kompak; dan salunglung sabayantaka artinya selalu dalam kebersamaan. Itu di luar tugas-tugas khususnya, yang antara lain adalah: (1) membuat awig-awig; (2) mengatur krama desa; (3) mengatur pengelolaan harta kekayaan desa; (4) dan mengayomi krama desa. Tentu saja kalau dibandingkan antara tugas yang harus diemban desa pakraman (sesuai dengan amanat Perda) dengan jumlah 9 Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen, Klian Desa (Bendesa) Desa Pakraman Tabola. Banjar Budha Manis, Desa Pakraman Tabola, Sidemen, Januari 2010.
262
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN dukungan dana yang disediakan pemerintah daerah, jelas sekali sangat tidak seimbang. Sebagai gambaran, adalah apa yang dihadapi oleh Desa Pakraman Tabola sendiri. Dari Rp55 juta bantuan Pemerintah Daerah Provinsi, Rp20 juta dialokasikan untuk berbagai kegiatan adat seperti pasraman (pertemuan-pertemuan adat), kegiatan agama, pelatihan pemangku desa (pendeta), dan lain sebagainya. Sisanya yang Rp35 juta, seperti dituturkan oleh bendahara Desa Pakraman Tabola, I Wayan Suartana, untuk menopang kegiatan pembangunan desa. 10 Ini ditambah dana yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten sebesar Rp15 juta. Namun, seperti dikemukakan oleh I Wayan Suartana, keseluruhan dana bantuan pemerintah sangat tidak mencukupi kebutuhan desa pakraman, sehingga dalam hal ini, masyarakat secara bersama bertanggungjawab memenuhi kekurangan yang ada. Itu di luar dana yang menjadi sumber penghasilan desa, seperti tanah milik desa (ayahan desa dan hutan desa), tanah milik pura (pelaba pura), pasar desa serta hasil retribusi hotel atau penginapan (home stay) yang ada di desa. Meskipun sebagaimana diakui oleh bendahara Desa Pakraman Tabola, sumber penghasilan desa itu tidak terlalu besar. “Padahal untuk upacara adat saja per tahun itu menghabiskan tidak kurang dari Rp90 juta. Ini belum keperluan adat yang lain-lainnya”, demikian diungkapkan oleh I Wayan Suartana. Untuk bisa memenuhi semua kebutuhan yang ada, pada akhirnya memang tergantung pada dukungan dana dari krama Desa Pakraman Tabola itu sendiri secara kolektif. Dalam konteks ini, awig-awig Desa Pakraman Tabola, antara lain sudah memuat dasar-dasar ketentuannya (lihat Bab 5). Di sini bisa dikatakan bahwa keberadaan awig-awig, yang secara formal substansinya sudah disetujui oleh Pemerintah Daerah Kabupaten, memberikan dasar hukum bagi desa pakraman untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai prinsip otonomi (asli) desa bagi dirinya sendiri. Mekanisme yang mendorong kemandirian seperti ini 10 Wawancara dengan I Wayan Suartana, Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola, Karangasem, Bali, Oktober 2010
263
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI pada gilirannya akan memungkinkan desa pakraman untuk membangun dan memperkuat kedudukan otonominya. Sebagai tambahan, sesuai ketentuan yang ada, awig-awig suatu desa pakraman baru dianggap sah keberadaannya bila isinya sudah mendapatkan persetujuan dari pemerintah daerah kabupaten masing-masing. Sedangkan terkait bantuan pemerintah daerah, meskipun dari sisi ekonomi jumlahnya kurang memadai, tetapi secara simbolik hal itu menunjukkan adanya pengakuan secara ekonomi politik atas keberadaan desa pakraman dalam konteks pembangunan desa secara keseluruhan. Kalau dilihat dari perspektif waktu, dukungan pemerintah daerah terhadap desa pakraman, semakin hari semakin kuat. Ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah sangat berkepentingan dengan perkembangan keberadaan desa pakraman. Hal seperti ini menunjukkan juga bahwa pembangunan di desa pada akhirnya memang tidak lagi harus mengandalkan sepenuhnya pada keberadaan desa dinas. Desa pakraman dianggap semakin memiliki arti penting, khususnya dalam konteks pembangunan sosial budaya di Bali, di mana desa adat/pakraman memiliki peran dan modalitas yang sangat kuat, mengingat kebudayaan adalah modal yang sangat diandalkan bagi pembangunan Bali secara keseluruhan. Kenyataan ini sekali lagi menegaskan bahwa relasi antara desa dinas dengan desa adat/pakraman mengalami proses perubahan yang penting. Perubahan yang pada dasarnya mencerminkan suatu perubahan sosial, khususnya menyangkut perubahan relasi kelembagaan. “Kedudukan desa adat sekarang jauh lebih kuat. Dalam melaksanakan berbagai tugas yang terkait dengan masyarakat, saya setiap saat, harus berkoordinasi dengan (desa) adat,” demikian pengakuan I Dewa Mayun, Perbekel (Kepala Desa Dinas) Sidemen. 11 Apa yang diungkapkan Perbekel Sidemen ini sejalan dengan apa yang diamati oleh Camat Sidemen, yang melihat bahwa sejak masa reformasi, peranan desa adat itu menguat, khususnya dibandingkan dengan desa dinas. 11 Wawancara dengan I Dewa Mayun, Desa (Dinas) Sidemen, Sidemen, Karangasem, Bali, Mei 2008.
264
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN Desa Tabola Yang Berubah • Perubahan Struktur Kelembagaan Desa Di luar adanya perubahan dalam relasi di antara kelembagaan desa dinas dengan desa adat/pakraman sebagaimana dijelaskan di atas, di lingkungan struktur internal institusi desa pakraman sendiri juga terjadi dinamika yang gejalanya menunjukkan adanya suatu proses perubahan sosial. Perubahan yang berlangsung dalam lingkungan struktur internal desa adat/pakraman itu antara lain adalah perubahan struktur organisasi kelembagaan desa pakraman, mengikuti gagasan tentang keorganisasian desa adat/pakraman yang berkembang sebagaimana dirumuskan dalam awig-awig. Ketika awig-awig desa belum disuratkan, struktur organisasi desa adat (waktu itu namanya belum desa pakraman) bentuknya masih lebih sederhana, sebagaimana struktur desa-desa adat yang lainnya yang ada di wilayah Kabupaten Karangasem, atau bahkan di seluruh Bali (desa apanaga). Dalam struktur yang lama (asli), desa adat dipimpin oleh bendesa, atau sebutan nama lainnya, yaitu klian desa. Bendesa atau klian desa membawahi pengurus desa yang disebut prakangge desa, yang terdiri dari penyarikan (sekretaris), dan juru reksa (bendahara). Di bawah struktur itu ada pengurus desa lainnya, yaitu klian-klian banjar, yang memimpin masing-masing banjar. Jumlah banjar di Desa Adat Tabola seluruhnya ada 12. Berikut gambar struktur Organisasi desa adat Tabola sebelum ada awig-awig (sebelum tahun 2003)
265
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Gambar 17: Organisasi Desa Adat Tabola (sebelum penyuratan awig-awig)
Selanjutnya di bawah organisasi banjar dibentuk organisasi tingkat rumah tangga yang dinamakan tempekan, yang biasanya satuannya terdiri dari beberapa puluh rumah tangga (krama desa). Oranisasi tempekan ini tidak secara formal/secara langsung berada dalam struktur organisasi desa adat, tetapi berdiri sebagai kesatuan organisasi di tingkat rumah tangga yang berperan melaksanakan tugastugas dan kewajiban-kewajiban kolektif dari banjar adat. Mirip dengan organisasi tempek adalah organisasi seke, satu kesatuan organisasi yang dibentuk berdasarkan suatu kepentingan tertentu yang khusus.
Seke atau sekeha ini adalah organisasi di tingkat banjar atau desa (antar banjar) yang bersifat otonom dan yang memiliki fungsi dan
tujuan tertentu secara khsusus. Meskipun organisasinya bersifat otonom namun keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari keberadaan organisasi banjar atau desa. Sebagaimana sempat disinggung dalam Bab 3, Clifford Geertz (1980) menamakan pola organisasi seperti ini sebagai “pluralistic collectivism” – pola pengorganisasiannya otonom tetapi secara keseluruhan memiliki keterkaitan dengan keberadaan organisasi desa adat atau banjar adat. Contoh organisasi seke atau sekeha ini antara lain seke gong (organisasi para pemain gamelan), seke manji (organisasi para petani untuk menderap padi), seka memula (organisasi 266
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN para petani untuk memanen padi), seke tari (organisasi para penari), seke subak (organisasi para pemakai air untuk pengairan sawah dan kebun), dan lain sebagainya. Lantas setelah keluarnya Perda Pemerintah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 dan menyusul kemudian terbentuknya awig-awig baru (hasil penyuratan) Desa Pakraman Tabola, maka struktur organisasi seperti digambarkan di atas mulai mengalami perubahan. Perubahan ini mengikuti perkembangan situasi sejak awig-awig desa mulai disuratkan melalui serangkaian paruman (pertemuan musyawarah) desa. Beberapa perubahan penting dalam struktur organisasi desa pakraman Tabola itu antara lain sebagai berikut. Kalau pada struktur lama tidak terdapat kelembagaan semacam “supra-desa adat” maka dalam struktur baru terdapat kelembagaan “supra-desa adat/pakraman”, yaitu yang dinamakan Majelis Desa Pakraman (MDP). Keberadaaan MDP ini sebagai hasil dari implementasi Perda tentang Desa Pakraman, yang isinya menyebutkan tentang pembentukan Majelis Desa Pakraman, dengan tingkatantingkatan sebagai berikut: (a) MDP Alit untuk tingkatan kecamatan; (b) MDP Madya untuk tingkatan kabupaten; (c) MDP Utama untuk tingkatan provinsi. Secara umum, tugas pokok dari Majelis Desa Pakraman itu antara lain adalah: (a) mengayomi adat istiadat; (b) memberikan saran, usul dan pendapat kepada berbagai pihak baik perorangan, kelompok/lembaga termasuk pemerintah tentang masalah masalah adat; (c) melaksanakan setiap keputusan-keputusan paruman sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan; (d) membantu penyuratan awig-awig; (e) melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh. Sedangkan wewenang dari Majelis Desa Pakraman adalah: (a) memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalahmasalah adat dan agama untuk kepentingan desa pakraman; (b) sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan pada tingkat desa; (c) membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan, di kabupaten/kota, dan di propinsi. 267
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Pelaksanaan dari tugas dan wewenang Majelis Desa Pakraman (MDP) itu sejalan dengan lingkup dan tingkatan masing-masing MDP, yaitu apakah pada tingkat Alit (kecil), Madya (menengah) atau tingkat Utama (tinggi/provinsi). Sebagai gambaran, Majelis Desa Pakraman Alit Sidemen yang sejak awal di pimpin oleh Cokorda Gde Dangin dari Desa Pakraman Tabola, sangat aktif mendorong proses penyuratan awig-awig di beberapa desa yang ada di sekitar Tabola. Ini dilakukan sejak Desa Pakraman Tabola pada tahun 2003 berhasil “menyuratkan” awig-awignya. Proses penyuratan awig-awig yang sebelumnya pernah dilakukan di Desa Pakraman Tabola malah dijadikan sebagai semacam pembelajaran untuk menyuratkan awig-awig di desa-desa pakraman yang ada disekitar Desa Pakraman Tabola, seperti Desa Pakraman Iseh, Sangkan-Gunung, Ipah, dan Mijil. Hasilnya, secara bertahap, desa-desa yang disebutkan itu sekarang memiliki awig-awig baru, sebagaimana halnya Desa Pakraman Tabola. Perubahan struktur organisasi Desa Tabola yang lain adalah masuknya unsur baru dalam organisasi desa, yaitu yang disebut dengan nama “pingajeng desa”. Unsur baru ini semula digagas sebagai konsep untuk mendukung penguatan peran desa pakraman dalam melestarikan adat/budaya setempat. Dalam proses penyusunan awig-awig, konsep “pingajeng desa” ini berhasil dimasukkan dalam rumusan awig-awig, yaitu sebagai bagian (paling utama) dari pengurus desa atau dalam bahasa Bali disebut prakangge desa. Dalam struktur prakangge desa unsur pingajeng desa mengatasi kedudukan bendesa atau klian desa (kepala desa pakraman). Padahal dalam struktur organisasi desa adat yang ada sebelumnya, kekuasaan tertinggi di desa adat justru dipegang oleh bendesa atau klian desa. Mengacu pada konsep Schulte-Nordhlot (1971) tentang struktur sosial, maka perubahan dalam struktur organisasi desa adat terutama didorong karena adanya perubahan dalam aspek-aspek structural principles dalam bentuk masuknya nilai-nilai baru yang membawa ketentuan-ketentuan baru sebagaimana diwujudkan dalam rumusan awig-awig desa adat/pakraman yang baru. Misalnya saja, tentang perlunya dihadirkannya lembaga supra desa adat dalam organisasi desa adat yang baru dalam bentuk Majelis Desa Pakraman 268
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN (MDP). Juga dikenalkannya suatu nilai baru yang terinspirasi nilai tradisi (historis) terkait keterlibatan langsung keluarga puri dan brahmana dalam kelembagaan desa adat/pakraman. Gambar 18: Proses Perubahan Organisasi Desa Pakraman Tabola Struktur Organisasi Desa
Proses Perubahan Struktur Organisasi
Struktur Organisasi Desa Adat (Baru)
Masuknya nilai-nilai baru yang terwujud dalam isi rumusan awig-awig desa (Structural Principles)
Berikut struktur organisasi Desa Pakraman Tabola paska penyuratan awig-awig desa. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, di atas struktur organisasi desa pakraman, terdapat suatu kelembagaan supra-desa yang disebut Majelis Desa Pakraman (MDP), dengan tingkatan MDP Alit (kecamatan), MDP Madya (Kabupaten) dan MDP Utama (Provinsi). Hubungan antara desa pakraman dengan MDP bersifat koordinasi ke atas dan bukan hirarki, karena desa pakraman pada dasarnya adalah suatu institusi yang bersifat otonom.
269
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Gambar 19: Struktur Organisasi Desa Tabola (setelah lahir awig-awig desa)
Tentang keberadaan lembaga “pingajeng” ini boleh dikatakan memang khas lembaga yang ada di Desa Tabola, dan yang sifatnya baru. Sebagaimana dikemukakan di atas, sebelumnya lembaga ini tidak pernah ada, baik di Desa Pakraman Tabola maupun di desa pakraman yang ada di sekitar Desa Tabola. Dalam perkembangannya, keberadaan lembaga baru ini ternyata memicu kontraversial di internal desa. Lembaga baru yang bernama “pingajeng” ini dinilai mengokohkan gagasan feodalisme ditengah-tengah suasana keterbukaan dan demokrasi di desa. “Ini kan sepertinya mau membangun kembali feodalisme di desa ini,” demikian kritik Bendesa Desa Tabola yang baru, yang menjabat untuk periode 2009 – 2014. Di desa-desa pakraman lainnya, khususnya desa pakraman yang ada di sekitar Desa Pakraman Tabola, memang terdapat lembaga lain yang keberadaannya kurang lebih sejajar (bukan “mengatasi”) 270
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN dengan bendesa atau klian desa. Lembaga ini disebut dengan nama pangrajeg atau kira-kira berarti penasehat. Pada masa lalu, lembaga seperti ini juga sempat ada di Desa Tabola, yang kemudian hilang digantikan oleh “pingajeng”, tentu dengan fungsi dan peranan yang agak berbeda karena keberadaan “pingajeng” lebih pada posisi “mengatasi” ketimbang “sejajar” seperti selayaknya lembaga penasehat. Ada beberapa alasan mengapa lembaga “pingajeng” ini digagas dan dimasukkan dalam awig-awig desa. Salah satu alasan formal yang sering dikemukakan oleh para pendukungnya, yaitu memberikan tempat bagi para pemuka adat dan agama untuk berperan aktif dalam rangka melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kebudayaan di desa sebagaimana telah digariskan dalam Perda tentang awig-awig itu sendiri. Kalau berbicara tentang pemuka adat dan agama untuk konteks Desa Pakraman Tabola, memang mau tidak mau harus mempertimbangkan keberadaan keluarga Puri Sidemen dan keluarga Griya-Griya Brahmana Sidemen. Dalam konteks ini, maka harus diakui bahwa Desa Pakraman Tabola memiliki ciri khusus yang berbeda dengan kebanyakan desa-desa pakraman lainnya yang ada di Kabupaten Karangasem. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya dari tulisan ini, di Desa Pakraman Tabola terdapat Puri Sidemen, yang sejarahnya bermula dari keberadaan Kerajaan Sidemen di wilayah tersebut. Kerajaan Sidemen itu sendiri masih memiliki keterkaitan keluarga yang cukup dekat dengan Kerajaan Gelgel (kemudian Klungkung), yaitu kerajaan yang paling berpengaruh di Bali di masa lalu karena cikal bakal dari berbagai kerajaan dan Puri (semacam istana, tempat kediaman raja di Bali) yang ada di Bali seperti misalnya, Puri Gianyar, Badung, Mengwi, Karangasem, Tabanan, dan lain-lain (lihat kembali Bab 3). Sampai saat ini, pengaruh sosial, politik dan budaya dari bekas Kerajaan Sidemen itu masih berbekas dan terasakan, paling tidak di Tabola, meskipun tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan keadaan masa lalu. Sebagai suatu wilayah bekas kerajaan, tentu saja di wilayah Sidemen terdapat griya-griya, tempat bermukim para brahmana 271
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI kerajaan, yang sampai sekarang keberadaannya masih nyata. Para keturunan brahmana yang tinggal di griya-griya memiliki fungsi yang berbeda pada masa sekarang, yaitu lebih melayani kepentingan para krama desa secara umum di bidang agama dengan menjadi pendeta (pedanda) di pura-pura yang ada di desa. Ketimbang, misalnya, hanya melayani kepentingan terkait agama dari keluarga Puri Sidemen, seperti halnya di masa lampau. Sampai saat ini, pelayanan kepada Puri Sidemen tentu saja masih berjalan, terutama pada upacara-upacara tertentu yang dianggap penting oleh Puri Sidemen. Pelayanan ini sekaligus sebagai bagian dari melestarikan tradisi yang sudah lama ada dan hidup dikalangan keluarga Griya dan Puri Sidemen. Sebagai contoh, menurut Cokorda Gde Dangin, pelingsir Puri Sidemen, keluarga puri masih berhubungan erat dengan keluarga di griya, khususnya menyangkut pelaksanaan berbagai upacara adat dan agama yang diselenggarakan oleh keluarga puri. Sebagai gambaran, bila keluarga Puri Sidemen menyelenggarakan sesuatu upacara di Pura keluarga, maka pemimpin upacaranya adalah para pendeta yang berasal dari golongan brahmana yang tinggal di Sidemen. Jadi tidak boleh sembarang pendeta, seperti misalnya para mangku (pendeta yang bukan dari golongan brahmana). Dalam konteks ini, soal realitas wangsa (kasta) masih berlaku secara ketat. Misalnya saja, upacara yang diselenggarakan oleh golongan bangsawan/ksatria tinggi umumnya harus melibatkan para pendeta dari golongan brahmana. Di luar keluarga puri dan keluarga brahmana yang tinggal di Sidemen masih terdapat para keluarga dari golongan bangsawan (ksatria) lainnya, yang di masa lalu dalam sejarahnya berperan sebagai “pengiring” para raja dan keluarganya. Pengiring di sini berarti pengikut, pengawal, panglima pasukan, yang semuanya itu berasal dari golongan bangsawan (ksatria). Keberadaan para keturunan bangsawan “pengiring” keluarga puri ini sampai sekarang masih berbekas nyata, dan para keturunannya sampai sekarang bahkan masih membanggakan diri bahwa nenek moyangnya dulu adalah “pengiring” raja. Terkait hal ini perlu disinggung bahwa bagi orang Bali, realitas sejarah keluarga di masa lalu memiliki arti sangat penting, dan malah 272
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN sedikit banyak berpengaruh dan ikut menentukan keberadaan identitas keluarga mereka pada masa sekarang. Realitas sejarah di masa lalu yang menentukan keberadaan identitas keluarga mereka di masa kini ini dikenal sebagai konsep “kawitan”. Sebagai contoh, dalam menjelaskan mengenai identitas keberadaan keluarga Puri Sidemen, misalnya, Cokorda Gde Dangin, penglingsir selalu mengacu pada sejarah masa lalu keluarga, seperti yang tertuang dalam naskah Babad Dalem Anom
Pemahyun. 12
Sementara para keluarga yang leluhurnya termasuk pengiring raja Sidemen, juga menggunakan sumber yang sama dalam menjelaskan identitas keberadaan keluarganya. Misalnya, dalam suatu wawancara, Ketut Sukayasa, Ketua Dadya (kelompok keluarga) Kanuruhan menjelaskan bahwa keluarganya sebenarnya adalah keturunan bangsawan dari golongan para arya yang dahulu kala menjadi “pengiring” raja yang memerintah di Puri Sidemen. Selanjutnya ia menerangkan bahwa namanya sekarang (Ketut) tidak mencerminkan keturunan arya (bangsawan), mungkin karena pada suatu waktu tertentu leluhurnya berbuat kesalahan terhadap raja sehingga kastanya diturunkan, atau dalam istilah Bali disebut “nyerod”. Meskipun demikian ia percaya – berdasarkan babad yang sama – bahwa leluhurnya adalah bangsawan. Sekarang ia menjadi ketua dari Dadya Arya Kanuruhan, yang memiliki Pura Dadya sendiri yang letaknya persis disamping rumahnya, membuktikan bahwa dirinya adalah keturunan arya atau golongan bangsawan pengikut raja. 13 Terkait dengan konsep kawitan ini, menarik juga untuk memperhatikan apa yang dikemukakan Nordholt (2002: 77) dalam tulisannya berjudul “Kawitan, Keturunan, dan Kehancuran: Teks dan Konteks Dalam Gambaran Orang Bali Tentang Masa Lampau”: “Asal-usul dan keturunan di Bali merupakan konsep dinamis yang digunakan untuk mengatur susunan politik dan mengartikulasikan diferensiasi sosial. Jika orang Bali ditanyai Op. Cit. Babad Dalem Anom Pemahyun. Wawancara dengan Ketut Sukaya, mantan Perbekel Desa Telagatawang dan Penyarikan Desa Pakraman Tabola. Banjar Kebon, Desa Telagatawang, Kecamatan Sidemen, 23 Desember 2009. 12 13
273
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI siapa dirinya, pertama-tama ia mungkin mulai dengan menjelaskan kedudukannya atau linggihnya, dengan menyebut kelompok keturunannya. Orang Bali mengidentifikasikan diri mereka umumnya dengan mengadakan rujukan berkenaan dengan waktu dan tempat pada salah seorang nenek moyangnya pada masa dahulu kala, serta sebuah titik asal (kawitan) yang sering dinyatakan dalam sebuah tempat keramat di pura. Kalau orang Bali tidak tahu tempat kawitannya, otomatis dia tidak tahu siapa nenek moyangnya. Oleh karena itu dia juga tidak tahu apa dan siapa dirinya. Dengan begini posisinya dalam hirarki sosial juga tidak jelas dan ia merasa kehilangan orientasi dan bahkan menjadi ‘sakit keras’. Dalam hal ini kawitan menjadi titik rujukan dalam kehidupannya karena pada tempat inilah keturunan bertemu dengan nenek moyang, dan tempat mereka dalam kehidupan ini dengan mantap berlabuh dalam masa lampau.”
Selanjutnya, di luar alasan formal tentang dimasukkannya lembaga “pingajeng” dalam awig-awig seperti disebutkan di atas, alasan lainnya adalah adanya keinginan dari kelompok-kelompok elit lama (tradisional) Desa Pakraman Tabola untuk tetap mempertahankan dan memperkokoh pengaruhnya di desa adat/pakraman. Kelompok elit tradisional itu tidak lain adalah para keluarga dari golongan puri, dan juga golongan bangsawan lainnya yang leluhurnya terkait erat dengan keberadaan Puri Sidemen. Lalu ditambah golongan brahmana yang sejak dahulu kala memiliki otoritas di bidang spiritual keagamaan, baik untuk melayani puri ataupun masyarakat desa yang lain. Golongan satria tinggi dan brahmana ini merasa memiliki tugas sejarah memelihara dan mengembangkan warisan adat dan budaya (dan tentu saja agama, karena adat dan budaya di Bali tidak bisa dipisahkan dari agama Hindu Bali), khususnya di desa pakraman. Sehingga ada dorongan kuat dari kelompok mereka ini untuk bisa terlibat aktif (kalau tidak bisa dikatakan “mendominasi”) dalam urusanurusan desa adat/pakraman. Maka bukan kebetulan kalau para inisiator paling giat dalam “penyuratan” awig-awig adalah mereka yang diasosiasikan dengan keluarga golongan elit tradisional ini. Sehingga dalam proses “penyuratan” awig-awig, gagasan menstrukturkan kelembagaan “pingajeng” dalam desa pakraman menjadi lebih mudah terwujud. 274
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN Masuknya kelembagaan “pingajeng” dalam struktur organisasi desa pakraman sebagaimana diatur dalam ketentuan awig-awig boleh dikatakan memang berjalan mulus, hampir tanpa mengundang perdebatan yang kontraversial. Meskipun kelak kemudian, keberadaan lembaga “pingajeng” itu dipersoalkan kembali dan dianggap tidak sejalan dengan keinginan masyarakat desa pada umumnya, khususnya setelah terjadinya pergolakan kekuasaan di Tabola yang memuncak pada pelengseran Bendesa Desa Pakraman Tabola yang lama pada akhir tahun 2008. Sejalan dengan pemikiran Schulte-Nordhlot (1971), kontraversial yang muncul ini merupakan wujud dari apa yang disebut kontradiksi dalam struktur sosial, yang kelak kemudian, sekali lagi, mendorong terjadinya perubahan struktur baru (perubahan ke-2) Desa Pakraman Tabola sejak memasuki era reformasi. Bagaimanapun kalau mengacu pada ketentuan dalam awigawig, posisi lembaga “pingajeng” ini cukup penting dan menentukan
dalam keseluruhan struktur organisasi Desa Pakraman Tabola. Misalnya saja, kalau dilihat dari kewajibannya (Catra 2003), disebutkan: “Pingajeng Desa Pakraman Tabola ikut serta memikirkan serta mengusahakan, berembuk dan memberi pertimbangan, dalam hal membangun desa, bagaimanapun beratnya, berdasarkan permohonan prakangge desa (pengurus desa), agar dapat mencapai kesentosaan desa”. Selain kewajiban tersebut, Pingajeng Desa Pakraman Tabola memiliki fungsi dalam pemilihan prakangge (pengurus) desa, yaitu bahwa “pada saat pasamuhan (pertemuan musyawarah) desa akan membentuk prakangge desa yang baru (pengurus desa yang baru), maka pesamuhan itu diemban pelaksanaannya oleh pingajeng desa hingga selesai”.
Dengan ketentuan ini berarti pingajeng desa memiliki fungsi yang penting, dan bahkan bisa menentukan, proses pemilihan prakangge (pengurus) desa yang baru karena pingajeng desalah yang memimpin proses pelaksanaan pemilihan dalam pesamuhan desa. Menyimak ketentuan seperti ini, memang hal itu dimaksudkan agar pengurus desa yang akan terbentuk dalam proses musyawarah desa, setidak-tidaknya diharapkan (secara politik) sejalan dengan pikiran 275
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI
pingajeng desa. Kedudukan yang “istimewa” seperti inilah yang kelak kemudian dipersoalkan oleh pengurus Desa Tabola yang baru paska pelengseran pengurus lama, dan dianggap sebagai menumbuhkan feodalisme baru dalam tatanan masyarakat desa pakraman yang arahnya sekarang justru dinilai semakin terbuka. 14
Dalam soal lembaga pingajeng ini, I Wayan Suartana, salah seorang pengurus Desa Pakraman Tabola yang baru paska pelengseran pengurus desa yang lama, menyatakan: ”Pingajeng itu bukan hanya penasehat. Makanya (istilah) pingajeng itu berlebihan, sebab pingajeng itu kan bisa diartikan dialah yang paling berkuasa, paling menentukan, apapun harus dia yang menyelesaikan, memutuskan. Tanpa dia, tidak boleh”. 15
Lalu kira-kira sejak pertengahan tahun 2008, di Desa Pakraman Tabola mulai mencuat aksi-aksi ketidakpuasan masyarakat desa terhadap prakangge desa (pengurus desa). Masalahnya dipicu oleh kenaikan layanan tarif langganan air minum yang disediakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Pemerintah Kabupaten Karangasem. PDAM telah menaikkan tarif langganan lebih dari 100% dari tarif sebelumnya. Masyarakat menganggap kenaikan tarif yang tinggi itu keterlaluan karena sumber air yang dikelola oleh PDAM itu adalah milik desa, sebagaimana ditegaskan dalam awig-awig desa. Kekesalan masyarakat ini pada akhirnya ditumpahkan pada pengurus desa pakraman, khususnya Bendesa Desa Pakraman Tabola. Pasalnya, penyaluran air minum yang semula dilakukan oleh desa, tiba-tiba (dalam pandangan masyarakat) dialihkan ke PDAM Kabupaten Karangasem. Sebagian masyarakat desa menganggap proses pengalihan yang terjadi pada tahun 2006 itu hanya melibatkan segelintir pengurus desa, tanpa mengajak masyarakat untuk bermusyawarah. Langkah itu dianggap sebagai tindakan sewenangwenang yang akhirnya menyulitkan masyarakat ketika PDAM dengan sewenang-wenang pula menetapkan kenaikan tarif baru langganan air 14 Wawancara dengan Bendesa Desa Pakraman Tabola periode 2009-2014, I Gusti Lanang Sidemen. Sidemen, 2 januari 2010. 15 Wawancara dengan I Wayan Suartana. Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola, Sidemen, 29 Oktober 2010.
276
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN minum yang “mencekik leher. 16Atas dasar itu, masyarakat melancarkan protes kepada para pengurus desa, khususnya kepada Bendesa Desa Pakraman Tabola, I Gusti Lanang Gita, dan tokoh pingajeng desa, Cokorda Gde Dangin. Karena protes tersebut tidak direspon secara memadai, maka sebagian tokoh masyarakat Tabola membentuk suatu forum bersama, yang diberi nama Forum Peduli Desa Adat Tabola (FPD-Adat Tabola), yang kemudian dijadikan sebagai wahana untuk melakukan perlawanan terhadap pengurus desa. Sejak itu, protes-protes mulai berubah menjadi aksi perlawanan, apalagi PDAM enggan menyesuaikan kembali tarif layanan/langganan air minum sesuai tuntutan masyarakat. Masyarakat desa, melalui FPD akhirnya menuntut penarikan kembali asset desa dari PDAM, dan menuntut pengurus desa bertanggungjawab atas penyerahan asset desa kepada PDAM selama ini. Puncaknya terjadi demonstrasi warga dari 12 perwakilan banjar adat atau seluruh perwakilan banjar adat yang ada di Desa Pakraman Tabola. Ujungnya, mereka melengserkan pengurus desa lama, dan secara sepihak tanpa melibatkan pengurus lama, melakukan pemilihan pengurus desa yang baru. Setelah melalui proses yang berliku-liku maka awal tahun 2009 mulai terbentuk pengurus desa Tabola yang baru, dengan diketuai oleh I Gusti Lanang Sidemen, salah satu tokoh kunci dalam aksi perlawanan untuk menarik kembali pengelolaan asset desa berupa sumberdaya air minum/air bersih dari PDAM ke Desa Pakraman Tabola. Segera setelah terpilih pengurus (inti) desa yang baru maka dibentuk struktur organisasi desa yang baru dengan mengubah bentuk struktur organisasi desa yang lama. Perubahan bentuk struktur ini dianggap sebagai bagian dari koreksi terhadap bentuk struktur desa yang lama; yang meskipun sesuai dengan ketentuan dalam awig-awig tetapi dianggap (oleh pengurus desa yang baru) kurang mencerminkan perkembangan situasi jaman yang lebih terbuka dan demokratis. Terkait dengan hal ini, perubahan yang paling menyolok adalah menghapuskan unsur kelembagaan “pingajeng desa” dalam struktur 16
Lihat Bali Post, Sabtu 1 November 2008, “Soal Demo Air Minum Sidemen. Prajuru
Desa Tuding Forum Salah Alamat”.
277
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI organisasi desa. Sebagai gantinya, dimasukkan unsur baru yang disebut “pengrajeg” desa. Istilah pengrajeg itu adalah istilah dalam bahasa Bali, yang asal katanya dari kata “rajeg” yang artinya kurang lebih tegak, teguh. Sehingga kata pangrajeg kurang lebih memiliki arti penegak, peneguh; dan dalam konteks struktur organisasi desa maknanya adalah unsur yang bisa membuat bendesa tetap tegak atau teguh. Dan disini yang bisa membuat bendesa bisa tetap tegak atau teguh adalah adalah penasehat, sehingga pengrajeg kurang lebih memiliki fungsi sebagai penasehat. Tentu saja, istilah pengrajeg memiliki arti yang berbeda dengan istilah pingajeng. Istilah “pengajeng” berasal dari kata ajeng yang artinya depan; sehingga kata pingajeng memiliki makna sebagai ‘yang paling depan’, primus interpares. Oleh karena itu dalam struktur organisasi desa, pingajeng, sesuai arti katanya, memiliki kedudukan yang kuat, bahkan “mengatasi” kedudukan klian desa atau bendesa. Sedangkan sebaliknya, unsur “pengrajeg” posisinya secara konsepsional tidak sekuat pingajeng, posisinya dalam struktur organisasi desa berada di samping klian desa atau bendesa, dengan fungsi lebih sebagai penasehat. Jadi dengan demikian struktur paling atas adalah klian desa atau bendesa, dengan didampingi (disampingnya) adalah pengrajeg sebagai penasehat. Di bawah bendesa adalah wakil bendesa atau disebut pemaden; sementara struktur di bawah bendesa dan pemaden terdapat penyarikan I & II (sekretaris), pasedahan I & II (bendahara) serta patangan (pembantu umum). Di bawah pengurus inti itu, masih terdapat beberapa kelompok pengurus desa lagi, seperi klian-klian banjar (di Tabola jumlahnya ada 12 banjar adat), dang kahyangan (pengurus Pura), pekaseh (pengurus subak), pengurus yang mewakili desa (petajuh) dalam bidang kahyangan, pelemahan, dan pawongan, dan terakhir adalah pengurus yang mewakili apa yang disebut sebagai kelompok desa sesabu dan dura desa. Yang menarik untuk dicermati di sini adalah bahwa organisasi baru itu strukturnya lebih gemuk ketimbang struktur lama yang sifatnya ramping dan sederhana (lihat gambar). Struktur yang lebih 278
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN gemuk ini, sebagaimana diungkapkan oleh Bendesa Desa Pakraman Tabola, I Gusti Lanang Sidemen dalam wawancara, didasari oleh pemikiran untuk mengakomodasi lebih banyak lagi unsur kelompokkelompok dalam desa pakraman. Hal demikian dimaksudkan untuk lebih memperluas keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat dalam urusan desa adat/pakraman. Pemikiran seperti ini dilandasi oleh pengalaman dan penilaian mereka (pengurus baru) selama ini yang melihat bahwa desa mereka seolah-olah dikelola oleh kelompok kecil elit desa saja. Sehingga terjadilah apa yang mereka sebut sebagai kesewenang-wenangan dalam pengelolaan sehari-hari desa pakraman. Sebagaimana mereka kemukakan bahwa aksi demo yang berujung pada pelengseran pengurus desa yang lama, sesungguhnya adalah puncak dari ketidakpuasan dan ketidakpercayaan atas cara pengelolaan desa pakraman selama ini. Terkait dengan penyusunan struktur organisasi desa yang ‘gemuk’ itu, maka dalam struktur petajuh, misalnya, dibuat pembagian bidang atau urusan yang mencerminkan Tri Hita Karana, yaitu petajuh parhyangan, pelemahan dan pawongan. Langkah seperti ini merupakan bagian dari upaya untuk melakukan perubahan dengan mengacu (lebih tepatnya memberikan penafsiran) pada gagasan Tri Hita Karana, dan ini sekaligus membuktikan bagaimana gagasan Tri Hita Karana telah menjadi bagian dari kehidupan organisasi desa (habitus desa). Masingmasing bidang petajuh itu diisi oleh dua belas anggota yang diambil dari masing-masing banjar yang ada di Desa Pakraman Tabola. Ini di luar perwakilan dari 12 banjar adat, yaitu para Klian-Klian Banjar Adat Tabola. Begitu pula dalam struktur dimasukkan perwakilan kelompokkelompok lain seperti desa sesabu dan dura desa, yang semuanya itu belum pernah ada dalam struktur organisasi Desa Pakraman Tabola. Yang dimaksudkan dengan desa sesabu menurut Awig-awig Desa Pakraman Tabola adalah siapapun mereka yang karena memegang, menempati, menggarap, tanah-tanah Pelaba Pura Puseh Tabola, Tanah Ayahan Desa Tabola sesuai dengan dresta kuno (aturan yang telah berlaku sejak jaman dahulu kala) dan sesuai dengan surat menyurat (catatan). 279
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Berikut gambar struktur organisasi Desa Pakraman Tabola paska pelengseran Klian Desa atau Bendesa Tabola periode 2002 – 2008. Gambar 20: Struktur Organisasi Desa Tabola (setelah 2009)
Memang struktur organisasi yang gemuk belum tentu menjamin pengelolaan desa pakraman yang lebih berhasil. Tetapi dari hasil wawancara dengan beberapa pengurus desa, termasuk dengan bendesa, memang terkesan kuat adanya semangat untuk membangun lebih luas lagi partisipasi kelompok-kelompok masyarakat yang ada di Desa Pakraman Tabola. Sehingga karena itu terbentuk struktur organisasi yang cenderung lebih gemuk. Terlepas apakah struktur yang ada sekarang bisa menggerakkan suatu aktivitas yang lebih efektif atau tidak, tetapi yang jelas kalau kita lihat situasi internal Desa Pakraman Tabola sendiri dari waktu ke waktu memang terdapat perubahan struktur organisasi desa. Kalau dicermati, perubahan struktur itu mencerminkan berlangsungnya dinamika sosial-politik di dalam desa, sebagaimana yang telah dibahas 280
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN diatas. Dan dinamika sosial-politik itu, sesungguhnya menggambarkan dengan terang sekali lagi apa yang disebut sebagai suatu fenomena perubahan sosial di Tabola. • Desa Tabola Mengkonsolidasi Diri Segera setelah kepengurusan baru terbentuk di awal tahun 2009, Desa Pakraman Tabola mulai berbenah diri, dengan mengkonsolidasikan kembali pengelolaan asset-asset yang menjadi milik desa, sebagaimana tertuang dalam awig-awig desa. Di antara asset-asset milik desa yang sekarang sudah tercatat secara resmi dalam awig-awig desa antara lain: Pura Kahyangan Tiga Desa Tabola (tanah dan bangunan), yang terdiri dari pura puseh, pura desa atau balai agung dan pura dalem; pura-pura kahyangan yang lain yang ada di wilayah Desa Pakraman Tabola (jumlahnya puluhan). Selain itu juga tanah-tanah yang dipergunakan sebagai pekarangan pemukiman, serta telajakan (tanah sisa pada pinggiran pekarangan); tanah-tanah yang direlakan (diijinkan) pemakaiannya pada mereka yang beragama Islam (di Kampung Sindu, Puniya, termasuk kuburan muslim); tanah-tanah yang dipergunakan sebagai jalan, lorong-lorong, saluran air (parit) dalam Desa Tabola; banjar papatusan (khususnya balai banjar), Pasar Desa Sidemen; tanah-tanah pelaba pura dan ayahan desa, sesuai dengan surat kepemilikan tanah (sertifikat atau yang sejenis); semua mata air, sumber air yang lain (toya anakan, tihisan) yang dapat digunakan sebagai tempat “pasucian batara”, yang dapat digunakan sebagai tempat pemandian serta airnya dapat diambil oleh masyarakat desa, juga dapat disalurkan ke dalam desa pakraman; lembaga perkreditan desa (LPD); dan perusahaan air minum. Sejalan dengan masalah yang ada di depan mata, konsolidasi asset milik desa yang pertama dilakukan adalah mengambil alih kembali pengelolaan air minum milik desa yang sejak tahun 2006 dialihkan pengelolaannya ke Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Karangasem. Proses pengambilalihan ini tidak mudah, 281
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI karena pihak pengurus desa harus menyusun kronologi peristiwa yang terjadi selama ini, mulai dari awal pembangunan infrastruktur pipanisasi hingga sumber air bersih yang ada di desa bisa disalurkan ke rumah-rumah penduduk, kemudian diambil alih oleh PDAM Kabupaten Karangasem. Penyusunan kronologi itu bahkan melibatkan suatu Yayasan dari Swiss, Zollikon Foundation, yaitu yayasan yang pertama kali membantu pendanaan proyek pembangunan infrastruktur pipanisasi di Desa Tabola sejak tahun 1990. 17 Bantuan dana itu sendiri dilakukan dalam rangka mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi masyarakat Desa Tabola pada waktu itu, khususnya wabah penyakit muntaber karena minimnya ketersediaan air bersih. Dari kronologi itu, pihak pengurus desa yang baru mempunyai bukti kuat untuk berusaha menarik kembali hak pengelolaan air minum desa dari PDAM. Apa yang dilakukan oleh pengurus baru Desa Pakraman Tabola itu, tentu saja merupakan sesuatu hal yang sulit dibayangkan terjadi pada masa lalu, masa sebelum bergulirnya jaman reformasi. Sebab memang sulit membayangkan sebuah desa adat atau pakraman menuntut balik haknya yang telah diserahkan kepada pemeritah supradesa, yaitu dalam hal ini Pemerintah Kabupaten. Ibaratnya, jangankan melakukan perlawanan (hukum) kepada Pemerintah Kabupaten, menentang kehendak pemerintahan desa dinas saja, sudah merupakan bentuk tindakan yang sulit dibayangkan ketika itu. Tetapi inilah salah satu buah dari “kebebasan” yang lahir karena proses reformasi yang semakin merasuk ke alam pikiran masyarakat desa adat atau pakraman. Mereka berani menuntut apa yang sudah dianggap menjadi hakhaknya.
17 Terkait hal ini, pihak Zollikon Foundation di Swiss, merespon surat pengurus Desa Pakraman Tabola yang baru, mengirimkan surat yang berisi latar belakang mengapa mereka membantu pendanaan dalam rangka mengembangkan infrstruktur air bersih di Tabola. Dalam surat itu disebutkan secara ekplisit bahwa bantuan yang mereka berikan ditujukan untuk masyarakat Desa Tabola, bukan untuk yang lainnya. Sehingga atas dasar surat ini maka menjadi jelas bahwa infrastruktur air bersih yang dibangun di Desa Tabola adalah milik masyarakat Desa Tabola (Dokumen surat dari Zollikon Foundation, Swiss, kepada Bupati Karangasem, dengan tembusan kepada I Gusti Lanang Sidemen/Bendesa Desa Tabola, tanggal 6 Juli 2009)
282
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN Pada akhirnya Desa Pakraman Tabola berhasil memperoleh kembali hak pengelolaan usaha air minum desa. Tetapi keberhasilan ini harus dibayar mahal karena Pemerintah Kabupaten Karangasem, melalui PDAM, menuntut penggantian biaya atas investasi yang telah dilakukan selama mengelola sumberdaya air minum desa. Sebagai kompensasinya, pihak Desa Pakraman Tabola diwajibkan membayar (dengan mencicil) kepada PDAM kurang lebih sebesar Rp536,85 juta. Pihak Desa Pakraman setuju untuk memberikan kompensasi atas pengambilalihan pengelolaan itu, karena menganggap sudah tidak ada jalan lain (yang lebih baik) bagi desa. Atas pertimbangan bahwa kalau dikelola sendiri dengan baik, usaha air minum desa akan memberikan pendapatan yang lumayan bagi desa, maka usulan PDAM untuk memberikan kompensasi sebesar setengah milyar itupun akhirnya disepakati. Meski sebagaimana akan digambarkan dalam bagian berikutnya dari tulisan ini, pihak desa tidak kenal menyerah mengupayakan keringanan pembayaran kompensasi itu. Termasuk nantinya mengkaitkan kewajiban membayar kompensasi itu dengan masalah dukungan politik desa terhadap salah satu calon Bupati (incumbent) dalam Pilkada di Karangasem (lihat Bab VII). Apa yang terjadi ini merupakan salah satu bukti betapa dinamisnya fenomena sosial, ekonomi dan politik di Desa Pakraman Tabola. Selain soal pengelolaan usaha air minum desa, hal lain terkait asset desa yang dikonsolidasi oleh pengurus baru Desa Pakraman Tabola adalah pengelolaan Pasar (Desa) Sidemen. Pasar Sidemen milik Desa Pakraman Tabola ini merupakan pasar desa, yang kalau dilihat dari segi ukuran pasar pada tingkat desa tergolong cukup besar dan ramai. Lokasinyapun juga cukup strategis karena berada di tengahtengah pusat Ibukota Kecamatan Sidemen. Di lokasi sekitar pasar, yang sudah berdiri sejak tahun 1971 itu, terdapat berbagai kios atau toko, yang sebagian besar di antaranya berdiri di atas tanah yang dimiliki oleh desa Tabola. Sejak beberapa tahun sebelumnya, pengelolaan pasar desa ini, seperti halnya pengelolaan usaha air minum desa, diserahkan ke pihak luar. Beberapa waktu sebelum dilengserkan, Bendesa Desa Pakraman 283
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Tabola, dalam suatu wawancara sempat menyatakan bahwa alasan diserahkan pengelolaan pasar ke pihak luar desa karena selama dikelola sendiri oleh desa, hasilnya terlalu minim. 18 Akhirnya diambil suatu keputusan untuk menyerahkan pengelolaan pasar desa ke suatu koperasi, bernama Koperasi Rambut Sedana, yang berkedudukan di Amlapura, Ibukota Kabupaten Karangasem. Rambut Sedana adalah bahasa Bali, yang kira-kira artinya harta, kekayaan atau uang. Ini dihubungkan dengan arti kata Sedana itu sendiri yang adalah nama salah satu dewa yang dipercaya di Bali sebagai dewa yang menguasai harta. Dengan mengelola pasar desa itu, maka setiap bulan Desa Pakraman Tabola mendapatkan imbalan bagi hasil dari Koperasi Rambut Sedana sekitar Rp1,5 juta per bulan. “Itu lebih besar dari dikelola sendiri, karena kalau dikelola sendiri desa hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp800 ribu,” demikian menurut I Gusti Lanang Gita. Sementara pengelolaan sewa kios-kios yang ada di sekitar pasar desa dikelola sendiri oleh desa. Kios-kios itu berdiri di atas tanah milik desa, sedangkan bentuk fisik kiosnya dibangun sendiri oleh yang menempati. Sewa tanahnya sendiri pada saat itu (sampai Mei 2008) dibayar dengan ukuran natura, yaitu setiap 1 meter persegi (m²) tanah harus membayar iuran ke desa sebesar 2 kg beras/tahun. Jadi kalau kios berukuran 20 m², maka setiap tahun membayar ke desa sebesar 20 kg beras, atau kalau satu kg beras harganya Rp5.000, berarti sewanya sebesar Rp100.000. Ini di luar kontribusi untuk iuran sehari-hari yang harus dibayarkan ke koperasi karena arealnya termasuk areal pasar yang dikelola koperasi. Lalu sejak terbentuk pengurus desa yang baru pada awal Januari 2009, pihak desa memutuskan mengakhiri kontrak pengelolaan 18 Wawancara dengan Mantan Bendesa Desa Pakraman Tabola periode 2002 – 2008, I Gusti Lanang Gita. Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola, Sidemen, Mei 2008. I Gusti Lanang Gita, yang sebelumnya adalah Perbekel Sidemen, pertama kali terpilih sebagai Bendesa Desa Pakraman Tabola untuk periode 2002-2007. Tahun 2008, sebelum sempat menyelenggarakan pemilihan Bendesa untuk periode berikutnya, dia telah dilengserkan masyarakat dari 12 Banjar dengan alasan tidak merespon secara memadai tuntutan masyarakat, khususnya soal masalah pengelolaan air minum desa oleh PDAM yang dianggap tarifnya semakin “mencekik leher”.
284
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN pasar desa dengan pihak Koperasi Rambut Sedana. Alasan formalnya, pihak koperasi dianggap tidak bisa memenuhi kewajiban, khususnya ketentuan bahwa kalau tidak dibayar berturut-turut sampai tiga kali maka kontrak dibatalkan. Tetapi masalah sesungguhnya lebih dari sekedar alasan formal. Pemutusan kontrak dilakukan karena pihak pengurus baru sesungguhnya tidak percaya lagi dengan cara pengelolaan yang dilakukan oleh pihak koperasi. Hal ini, antara lain juga terkait dengan ketidakpercayaan pengurus desa yang baru terhadap mekanisme pengelolaan administrasi keuangan oleh pengurus desa sebelumnya. Inilah sebenarnya salah satu sumber penyebab lebih mendasar dari pergolakan di Tabola yang berujung pada pelengseran pengurus atau prakangge Desa Pakraman Tabola. Masalah pengelolaan air minum desa oleh PDAM, sesungguhnya hanya pemicu dari meledaknya berbagai permasalahan yang sudah menumpuk lama tetapi terpendam di dalam. Desa yang selintas kelihatan harmonis itu ternyata menyimpan potensi konflik internal, yang hal itu timbul dari berbagai persoalan yang tidak mampu diselesaikan pada waktunya. Setelah kontrak pengelolaan pasar dengan Koperasi Rambut Sedana dibatalkan, maka pengurus baru desa membuat penawaran baru (tender) kepada pihak-pihak yang berminat melakukan pengelolaan pasar desa. Akhirnya pilihan jatuh pada pihak perorangan (krama desa) yang bersedia memberikan imbalan Rp2,5 juta per bulan, atau lebih besar Rp1 juta per bulan dibandingkan dengan bagi hasil yang diberikan Koperasi Rambut Sedana. Dengan cara itu, maka konsolidasi asset desa, khususnya pasar desa selesai karena sejak saat itu pengurus desa yang baru mengendalikan sepenuhnya pengelolaan pasar desa (melalui pengelolaan oleh pihak perorangan krama desa). Bagaimanapun, pasar desa merupakan sumber keuangan Desa Tabola yang likuid, sehingga pihak desa merasa perlu mengkonsolidasikan mekanisme pengelolaan yang lebih menguntungkan dari sisi pemasukan bagi desa. Tidak selesai dengan mengkonsolidasi pasar desa, pengurus desa pakraman Tabola yang baru selanjutnya berusaha menata kembali 285
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI Lembaga Perkreditan Desa (LPD) milik Desa Pakraman Tabola. LPD milik desa pakraman yang mulai beroperasi tahun 1980-an itu pernah berkembang baik, dan mendapat kepercayaan masyarakat desa sebagai lembaga simpan pinjam di perdesaan. 19 Salah satu faktor penentu mengapa LPD Tabola waktu itu mendapatkan kepercayaan masyarakat desa karena kepemimpinan LPD yang terpercaya. Namun dalam perkembangannya kemudian peran LPD di mata masyarakat berangsur-angsur merosot, dan malah sejak beberapa tahun terakhir sebelum terbentuknya kepemimpinan desa yang baru, kondisinya dinilai semakin memburuk. Keadaan inilah yang mendorong pihak pengurus desa yang baru turun tangan untuk mengkonsolidasikan kembali lembaga yang dulu pernah berjalan baik itu. Sebagaimana dikemukakan oleh I Wayan Suartana, Bendahara Desa Pakraman Tabola (pengurus desa yang baru): “Sekarang ini (oktober 2010) kami baru mulai menata. Kalau dulu nggak jalan sama sekali…hancur banget”. 20 Dalam pandangan Bendesa Desa Tabola yang baru, I Gusti Lanang Sidemen, LPD menghadapi kesulitan karena pengawasan dari pihak desa lemah, padahal LPD itu lembaga keuangan milik desa pakraman. Selain itu diduga ada pengurus desa yang memanfaatkan dana LPD secara kurang tepat di luar kepentingan desa. Karena itulah, langkah konsolidasi pertama yang dilakukan adalah mengganti ketuanya (LPD), yang kebetulan saat itu telah terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Karangasem (hasil Pemilu 2009). Dari penjelasan bendesa, dalam waktu kurang dari setahun sejak dilakukan konsolidasi, kegiatan LPD yang semula seperti ‘hidup segan mati tak mau’ itu mulai menggeliat lagi. Terkait hal ini, Bendesa Desa Tabola, I Gusti Lanang Sidemen, yang mantan pensiunan guru 19 Lihat hasil penelitian: Gorda, I Gusti Ngurah. Pengaruh Perilaku Pemimpin Terhadap Kepercayaan Deposan Pada Lembaga Perkreditan Desa. Kasus LPD Tabola,
Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem. Artha Satya Dharma, Volume I, No 1, November 1996 – April 1997. Dalam penelitian itu diungkapkan bahwa LPD Sidemen mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat desa sehingga lembaga perkreditan desa itu bisa berkembang baik (pada waktu penelitian dilakukan). 20 Wawancara dengan I Wayan Suartana, Banjar Tabola, Desa Pakraman Tabola, Oktober 2010.
286
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN sekolah negeri itu mengungkapkan: 21 “Setelah kita buat aturan baru dan pengawasan yang lebih ketat dari desa, sekarang mulai tumbuh lagi kepercayaan masyarakat. Kalau aktiva sebelum kita benahi tinggal Rp150 juta, sekarang sudah bisa meningkat lebih dari tiga kalinya, yaitu hampir Rp460 juta (per September 2010)”.
Sekali lagi, masalah LPD di mata I Gusti Lanang Sideman, disebabkan karena salah kelola, khususnya di bidang administrasi keuangan. Demikianlah, kalau ditelusuri memang umumnya masalah yang dihadapi oleh pengurus baru Desa Pakraman Tabola adalah masalah manajemen (keuangan) desa yang kurang terkontrol rapi pada saat kepengurusan desa sebelumnya. Dalam pandangan I Gusti Lanang Sidemen, semuanya ini akibat kekuasaan desa yang terpusat pada beberapa pengurus desa, utamanya pada pingajeng dan bendesa. Ini yang kemudian mendorong munculnya rasa ketidakpuasan masyarakat desa, terutama setelah kondisinya menjadi semakin terbuka. Dalam konteks ini, suatu lapisan elit baru yang sedang tumbuh di desa, menangkap situasi keterbukaan itu sebagai dorongan untuk memperbaiki keadaan. Inilah awal dari munculnya gejolak di Tabola yaitu sebagai dampak dari tabrakan kepentingan, antara elit lama yang secara tradisi memiliki pengaruh kuat di desa adat dan elit baru yang melihat tumbuhnya kesempatan untuk melakukan perubahan dengan memanfaatkan perkembangan keterbukaan dan demokrasi yang semakin menancap tajam dalam alam pikiran masyarakat desa di Bali, khususnya di Tabola. Apa yang bisa dipelajari di sini adalah bahwa tumbuhnya iklim keterbukaan dan demokrasi telah mendorong munculnya pikiranpikiran baru yang pada gilirannya telah memunculkan kotradiksikontradiksi internal dalam struktur sosial organisasi Desa Pakraman Tabola. Pikiran-pikran baru itu pada dasarnya mempertanyakan kembali dasar berbagai kebijakan pengurus desa yang lama, yang sebelumnya dianggap wajar. Dalam pandangan Schulte-Nordhlot 21 Wawancara dengan I Gusti Lanang Sidemen, Bendesa Desa Pakraman Tabola yang baru, periode 2009 – 2014. Banjar Budha Manis, Desa Pakraman Tabola, Oktober 2010.
287
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI (1971: 10-18), apa yang dilakukan oleh lapisan elit baru yang mempertanyakan dasar kebijakan elit lama (pengurus desa yang lama) tidak lain adalah menggugat apa yang dinamakan structural principles lama yang dampaknya memunculkan kontradiksi dalam struktur sosial lama. Kontradiksi-kontradiksi inilah yang kemudian mendorong terjadinya perubahan sosial, dalam bentuk perubahan struktur organisasi Desa Tabola sebagaimana dikemukakan di atas. Rangkuman Desa Tabola yang dari permukaan kelihatan tenang dan harmonis, sesuai dengan keadaan lingkungan alam sekitarnya, di dalamnya ternyata berlangsung suatu proses perkembangan sosialpolitik yang sangat dinamis. Kalau dicermati, dinamika sosial-politik yang berlangsung di desa yang terletak di kaki Gunung Agung Bali itu dalam dirinya membawa berbagai gejala perubahan sosial. Suatu contoh, sejak memasuki jaman reformasi, misalnya, relasi antara desa dinas dengan desa adat, yang sebelumnya hubungannya lebih banyak di dominasi oleh desa dinas, pada akhirnya telah mengalami proses perubahan. Dalam proses perubahan itu, relasi yang lebih baru menempatkan desa adat atau yang sekarang disebut sebagai desa pakraman, pada kedudukan yang lebih kuat dibandingkan pada relasi sebelumnya. Dalam relasi baru itu, desa adat tidak lagi bisa dipandang sebagai sub-ordinasi desa dinas; bahkan sebaliknya desa dinas dalam beberapa hal menjadi lebih tergantung kepada desa adat/pakraman. Ini khususnya ketika desa dinas harus melaksanakan berbagai program, yang praktiknya membutuhkan dukungan partisipasi masyarakat desa. Dalam soal seperti ini, desa adat/pakraman yang lebih mampu menggerakkan partisipasi masyarakat desa, karena memang masyarakat desa, umumnya lebih patuh terhadap desa adat/pakraman. Di luar relasinya dengan desa dinas yang telah berubah itu, di internal desa adat/pakraman juga terjadi perubahan dalam hal struktur organisasi desa dari waktu ke waktu. Perubahan struktur organisasi itu mencerminkan perubahan dinamis di dalam organisasi desa 288
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN adat/pakraman karena berbagai sebab, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Misalnya, struktur organisasi desa adat/pakraman berubah setelah lahirnya awig-awig desa yang baru, dan hal itu didorong oleh adanya ketentuan baru dalam awig-awig desa itu sendiri, yang di masa sebelumnya, hal demikian itu belum diatur. Gambar 21: Perubahan Relasi antara Desa Dinas dengan Desa Adat/Desa Pakraman Koordinasi (Relasi Baru) Desa Dinas Sidemen
Sub-Ordinasi (Relasi Lama)
Desa Pakraman Tabola
Desa Adat Tabola
Dalam konteks ini, substansi awig-awig Desa Pakaraman Tabola yang menjadi dasar dari perubahan struktur organisasi desa, sejalan dengan pemikiran Schulte-Nordhlot (1971), bisa digolongkan sebagai structural principles, atau prinsip dasar yang menopang keberadaan suatu struktur sosial. Sedangkan perubahan struktur organisasi desa itu sendiri bisa dikatagorikan sebagai gejala perubahan sosial; tetapi lebih dari itu, perubahan struktur organisasi itu pada akhirnya mengubah pola relasi kekuasaan antara kelompok-kelompok elit di desa, yang hal itu juga pada dasarnya adalah gejala perubahan sosial penting. Di Tabola, perubahan pola relasi kekuasaan antar kelompokkelompok elit di desa bahkan telah menimbulkan konflik dan gejolak 289
PERUBAHAN SOSIAL DI PERDESAAN BALI politik setempat (desa), yang berujung pada lengsernya kepemimpinan lama. Tetapi yang menarik, pada saat yang sama, terjadi upaya-upaya dari kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik, lewat suatu penyelesaikan yang dianggap tidak mempermalukan kedua belah pihak. Dalam beberapa kesempatan wawancara, para tokoh kedua belah pihak secara implisit menyampaikan sinyal keinginan untuk memulihkan kembali situasi desa yang harmonis dengan dasar alasan yang sama: ingin melaksanakan ajaran Tri Hita Karana. Dalam konteks ini, Tri Hita Karana, yang merupakan suatu nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi dan dijiwai dalam praktik kehidupan sehari-hari oleh krama desa (elit dan masyarakat desa biasa) telah ikut memberikan pengaruh yang cukup kuat dalam proses perubahan yang melibatkan konflik di antara para elit desa tersebut. Bagaimanapun, dalam kehidupan di Desa Pakraman, nilai-nilai Tri Hita Karana, khususnya keingingan untuk membangun kehidupan harmoni, boleh dikatakan telah menjadi salah satu habitus desa. Memang, menurut pengamatan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa di Bali, hampir sulit ditemukan aspek tindakan/kegiatan krama desa yang tidak mengacu pada nilai-nilai Tri Hita Karana tersebut. Pertanyaannya: apakah Tri Hita Karana bisa dikatakan sebagai landasan nilai dari suatu mekanisme (instrumen) internal yang ada di masyarakat desa Bali untuk memulihkan situasi konflik ke situasi harmonis? Peneliti menduga demikian, mengingat begitu kuat dan lekatnya pemahaman masyarakat desa di Bali terhadap konsep Tri Hita Karana, yang pada intinya mengajarkan manusia untuk “hidup harmonis”. Dalam suatu kesempatan wawancara, Bendesa Desa Tabola yang lama, I Gusti Lanang Gita, sempat mengemukakan bahwa dia sangat tidak senang dan risau dengan timbulnya konflik. Oleh karena itu ketika konflik memuncak, dia mengambil keputusan untuk segera mengundurkan diri, begitu juga disusul oleh pingajeng desa, Cokorda Gde Dangin. Sebagaimana diakuinya, mereka berdua melakukan hal itu untuk mencegah berlarutnya konflik, dan berharap situasi segera pulih kembali. Sejak mengundurkan diri, keduanya sepakat untuk menahan 290
BAB 6 TABOLA MERESPON PERUBAHAN JAMAN diri untuk tidak melakukan respon terkait permasalahan desa, yang bisa kembali menyulut kembali konflik. Sebaliknya Bendesa Tabola yang baru, I Gusti Lanang Sidemen, secara terus terang mengakui bahwa yang penting masalah yang dihadapi oleh masyarakat desa, terutama masalah terkait pengelolaan air minum desa selesai. Ini karena disadari bahwa masalahnya memang tidak ringan, dan air minum (air bersih) sudah menjadi kebutuhan utama masyarakat Tabola. Pembenahan-pembenahan yang lainnya terkait permasalahan desa secara lebih luas, menurutnya, akan dilakukan secara bertahap, sambil menunggu situasi konflik mereda dan tenang kembali. Bahkan terkait hal itu, penyusunan struktur kepengurusan desa yang baru secara lengkap memerlukan waktu yang cukup lama (hampir setengah tahun), dan tidak segera setelah pengurus inti terbentuk pada awal tahun 2009. Sebagaimana diakui oleh Bendesa Tabola, tujuannya untuk mengakomodasi seluas-luasnya berbagai kepentingan masyarakat desa Tabola sehingga diharapkan terbangun situasi yang harmonis karena berbagai pihak dilibatkan dalam mengelola permasalahan desanya. Dalam konteks ini, sekali lagi, konsep Tri Hita Karana, menjadi acuan penyusunan struktur organisasi desa yang baru, sebagaimana terbukti bahwa secara eksplisit dalam kepengurusan baru susunannya menyertakan tiga konsep yang terkandung dalam Tri Hita Karana, yaitu kahyangan (dang kahyangan dan petajuh kahyangan), pawongan (petajuh pawongan) dan palemahan (petajuh palemahan) – lihat kembali struktur organisasi Desa Pakraman Tabola (halaman 223).
291