Resensi Buku ISSN: 0852-8489 e- ISSN: 2460-8165
Tabola, Perubahan Sosial, dan Bali Kini Penulis: Ni Made Purnama Dipublikasikan oleh: LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi FISIP-UI Diterima: Juli 2016; Disetujui: Agustus 2016
MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Untuk kriteria dan panduan penulisan artikel maupun resensi buku, silahkan kunjungi tautan berikut: www.journal.ui.ac.id/mjs
Untuk mengutip artikel ini (ASA Style): Ni Made, Purnama. 2016. “Tabola, Perubahan Sosial, dan Bali Kini.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21(1):133-138.
SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012
Resensi
Tabola, Perubahan Sosial, dan Bali Kini Ni Made Purnama Sari Magister Manajemen Pembangunan Sosial, Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Email:
[email protected]
Gunawan, Daddi Heryono. 2014. Perubahan Sosial di Pedesaan Bali: Dualitas, Kebangkitan Adat, dan Demokrasi Lokal. Tangerang Selatan: Marjin Kiri. xxii + 367 halaman. Di tengah kenyataan Bali yang telah mendunia di mata publik, kehadiran masyarakat lintas bangsa di Bali justru terbukti berpengaruh terhadap dinamika sosial-kultural di segala lini, berikut globalisasi yang merasuk hingga ke ruang-ruang pribadi melalui aneka sarana teknologi. Gejala demikian memunculkan sejumlah pertanyaan penting. Sejauh manakah pentingnya bahasan atas eksistensi dan perubahan pedesaan di Bali pada masa sekarang ini? Pada sisi yang berbeda, ketika penduduk berduyun menuju kota sebagai konsekuensi pembangunan ekonomi maupun pariwisata yang berimplikasi pada peralihan kultur agraris ke era industri jasa turistik ataupun sektor modern lainnya, apakah pedesaan (khususnya desa adat) beserta masyarakat di dalamnya kemudian menjadi tertinggal, terlokalisasi dan tertutup, melulu mewakili alam tradisi yang seolah selalu mengalami stagnansi, sehingga kita pun memandangnya sebagai entitas yang terpinggirkan? Dalam buku Perubahan Sosial dan Pedesaan di Bali: Dualitas, Kebangkitan Adat, dan Demokrasi Lokal (2014), Daddi Heryono Gunawan mencoba menjawab masalah-masalah tersebut. Berdasarkan studi lapangannya di Desa Pakraman Tabola, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, dia sampai pada kesimpulan bahwa kendati seakan termarginalkan, desa di Bali sebenarnya tidak pernah tumbuh dan berdiri sendiri. Realitas politik dalam lingkup makro, semisal peran negara melalui regulasi atas desa berikut kebijakan hajat hidup penduduknya (tarif PDAM, pembangunan jalan, dan
13 4 |
NI MADE PURNAMASARI
sebagainya), berkait-kelindan dengan kepentingan politik lokal yang terepresentasikan melalui Puri Sidemen. Dalam tuturannya yang mengalir, pembaca memperoleh gambaran betapa masyarakat desa pakraman ini selalu berada dalam pusaran arus perubahan sosial yang tidak jarang berujung pada konflik dualitas yang membutuhkan penyikapan jernih sebagai entitas bersama, seperti persoalan eksistensi desa dinas dan desa adat, simpang pilihan untuk tetap mengacu pada tradisi atau ikut perubahan kini, hingga permasalahan sosio-politik yang bermuara pada lengsernya kepengurusan desa pakraman tersebut. Gunawan terbilang peka untuk menjadikan penulisan naskah awigawig atau peraturan desa sebagai pintu masuk memotret perubahan sosial di Desa Pakraman Tabola. Diawali dengan penjelasan sosiohistoris yang rinci perihal desa-desa di Bali, pembaca dengan mudah memahami bahwa meskipun awig-awig itu merupakan warisan penting para pendahulu, ternyata isinya sangat perlu disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan sekarang. Beberapa contohnya, penetapan status kependudukan yang menambah klausul perihal kewajiban bagi warga rantauan, yakni mereka yang hijrah mukim ke kota (hal yang pada masa lalu tentu belum terjadi); tata aturan cuntaka (masa berkabung) yang dipersingkat mengingat tingginya mobilitas masyarakat era kini; ketentuan perkawinan; hingga penataan struktur kepengurusan desa pakraman yang keputusannya tidak lepas dari tarik-menarik kepentingan politik elit lokal atau puri. Sesuai Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2011 tentang Desa Pakraman yang di dalamnya mengamanatkan pula perihal hak tiap desa pakraman untuk mengurus rumah tangganya sendiri, warga Desa Pakraman Tabola melakukan penulisan ulang awig-awig mereka dengan beberapa perubahan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Hanya saja, terlihat nyata bagaimana usaha kaum puri untuk terus memegang kendali dalam struktur sosial-politik desa pakraman, yaitu dengan menyertakan dalam awig-awig klausul kewenangan pingajeng atau pinih sepuh/pimpinan desa—terdiri dari beberapa kalangan dari Puri Sidemen. Konsep pingajeng ini, yang lentur kewajibannya, seolah dibutuhkan hanya dalam kondisi di luar kendali, namun secara sah berhak dalam menentukan struktur kepengurusan (prakangge) desa pakraman. Tindakan Puri Sidemen ini merupakan cerminan dari kenyataan transformasi masyarakat tradisi Bali. Puri yang semula mengendalikan tanah dan warga (parekan), termasuk memiliki legitimasi pemerintahan M A S YA R A K AT: Ju rna l Sosiolog i Vol. 21, No. 1, Ja nu a ri 2016: 133 -138
TABOL A, PERUBAH AN SOSI A L, DAN BA LI K INI
| 135
suatu wilayah secara turun-temurun, mengalami perubahan yang signifikan: acap mereka hanya sebagai simbolisasi tanpa kewenangan apapun dalam konteks masyarakat demokrasi kini. Belakangan, tahun 2008, konsep pingajeng ini pun menuai tantangan di Desa Pakraman Tabola yang memandang konsep ini sebagai bentuk feodalisme baru. Terpicu kenaikan tarif PDAM, sekelompok penduduk menyampaikan ketidakpuasan mereka terhadap pengurus dan pingajeng desa—berakhir kepada pergantian pengurus serta dihapuskannya istilah pingajeng. Posisi penasihat desa dibuat menjadi setara dengan Kepala Desa, dengan nama pengrajeg. D ok um e n t a si d a n K a t a l i sa si Lebih jauh, Gunawan sekaligus juga melakukan sebentuk dokumentasi terhadap kebudayaan Bali. Keyakinan orang Bali atas masih kokohnya religi dan kehidupan kulturalnya, yang nilai-nilainya diterjemahkan ke dalam laku sehari-hari secara kebersinambungan sekaligus menunjang eksistensi masyarakat pulau ini, berakibat pada—dalam beberapa sisi—terkesampingkannya usaha merawat dan menuangkan memori kebudayaan ke dalam catatan rinci sebagai warisan pengetahuan masa depan. Untuk itulah, apa yang dilakukan oleh Gunawan, dengan menampilkan data lapangan secara kaya atas kondisi salah satu desa di Kabupaten Karangasem—yang sebagian besar mencerminkan pula sifat dan bentuk pedesaan lainnya di Bali— termasuk tinjauan historis sejak masa prakolonial, era kolonial, pasca kemerdekaan hingga sesudah reformasi, menjadi perlu disimak. Selama ini, studi atas pedesaan (belum termasuk perubahan sosial di dalamnya) cukup sporadis diterbitkan. Sebut saja di antaranya, Dharmayuda perihal Desa Adat dan Kesatuan Hukum Adat, beberapa tulisan dari IG Parimartha (sejarawan), Wayan P. Windia (Pakar Hukum Adat dan Pedesaan Bali), atau tersebar dalam tinjauan pertanian (persubakan), birokrasi desa, maupun kepariwisataan, di samping ulasan para antropolog luar semisal Margaret Mead, Adrian Vickers, Michel Picard, Henk S. Nordholt, dan sebagainya. Buku ini pun dapat dipandang sebagai hasil studi yang memperkaya sekaligus melengkapi kajian-kajian pedesaan di Bali tersebut. Sebenarnya masih ada satu pertanyaan lain yang perlu diajukan seputar kehadiran desa adat dan perubahan sosial yang berlangsung di dalamnya. Kenyataan atas makin terbukanya Bali, baik di sisi mobilitas M A S YA R A K AT: Ju rna l Sosiolog i Vol. 21, No. 1, Ja nu a ri 2016: 133 -138
13 6 |
NI MADE PURNAMASARI
geografis, demografis, teknologis, maupun kultural, kian lama makin memperteguh tumbuhnya semangat Ajeg Bali yang terkesan ingin menarik batas terhadap “luar” atau “liyan” itu. Siapa yang dimaksud dengan “luar” atau “liyan”? Konsep ini seringkali mengarah kepada pendatang, dauh tukad, atau non-Bali, sebagai muara dari meruncingnya persaingan ekonomi, tendensi kedaerahan, hingga soal ancaman atas eksistensi Bali itu sendiri. Bagaimana kemudian desa adat memainkan perannya dalam menyikapi fenomena seperti ini? Mampukah misalnya institusi ini melakukan katalisasi dari arus ketegangan lokal-pendatang, simpang tradisi-modern, merawat pluralisme, dan semangat multikultur seraya tetap melestarikan nilai budaya luhur yang menjadi warisan “sang sejarah”? Buku ini agaknya belum sampai membahas hal tersebut. Barangkali, untuk menjawabnya dibutuhkan studi-studi lanjutan yang lebih menyeluruh. Bagaimanapun, penting bagi kita untuk mengapresiasi terbitnya buku ini, yang dengan menyimaknya pembaca mendapatkan refleksi yang utuh bahwa desa, ditilik dari sisi sosial dan politik, merupakan sebentuk entitas yang unik serta tetap penting untuk dikaji dalam konteks kekinian dengan bahasan yang tidak terbatas pada struktur internal berikut posisi-peran setiap komponen di dalamnya, namun lebih jauh lagi, menelaah pengaruh kondisi historis maupun relasi yang meluas darinya.
M A S YA R A K AT: Ju rna l Sosiolog i Vol. 21, No. 1, Ja nu a ri 2016: 133 -138