PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN LAMALERA (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi)
FEBRINA DESRIANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan Lamalera (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2011
Febrina Desrianti NRP: I 353070101
ABSTRAK FEBRINA DESRIANTI. Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan Lamalera (Sudut Pandang Sosiologi, Ekonomi dan Ekologi). Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan ARIF SATRIA.
Berburu dan menikam mamalia laut dan ikan besar lainnya seperti manta dan hiu merupakan inti kebudayaan bagi masyarakat nelayan Lamalera. Perubahaan inti kebudayaan dapat terjadi salah satunya didorong oleh perubahan teknologi yang diadopsi oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keberlangsungan atau persistensi aktivitas berburu dan menikam ikan mamalia laut dan ikan besar sebagai inti budaya masyarakat Lamalera serta pengaruh kebijakan konservasi laut terhadap sistem sosial yang ada. Hasil penelitian menunjukan perubahan teknologi produksi pada masyarakat Lamalera diinisiasi oleh adanya motorisasi yang diperkenalkan oleh FAO. Hal ini telah menciptakan sistem ekonomi produksi baru di Lamalera yaitu sistem pukat yang berbeda dengan sistem ekonomi tradisional yaitu sistem tikam. Perubahan ini secara simultan mempengaruhi sistem kehidupan lainnya seperti pola distribusi dan pertukaran, kelembagaan sosial, sistem keagaamaan dan norma. Disamping itu masyarakat Lamalera juga dihadapkan pada diskursus konservasi laut yang dikenalkan oleh LSM konservasi internasional. Kedua faktor eksternal tersebut mempengaruhi pengelolaan ekonomi tradisional masyarakat Lamalera yang pada mulanya berdasarkan pada inti budaya. Perubahan ini pada akhirnya menciptakan polarisasi dalam masyarakat Lamalera, menciptakan kelas sosial baru, dan menghilangkan jaminan sosial bagi masyarakat miskin, orang tua, janda dan anak yatim. Kata kunci: Lamalera, inti budaya, motorisasi perikanan, wacana konservasi.
ABSTRACT FEBRINA DESRIANTI. Social Change in Fishing Community of Lamalera (Perspectives of Sociology, Economics and Ecology). Under supervision of SOERYO ADIWIBOWO and ARIF SATRIA.
Hunting and stabbing cetaceans and other big fishes such as manta rays and sharks has become the cultural core for fishing community of Lamalera. Changing in cultural core can occur promoted by technological change as one of driven factors. This research has purposes to analysis the persistence of hunting and stabbing activities of cetaceans and big fishes as cultural core of Lamalera’s community and the influences of marine conservation policy on the existing social system. The results show that the change of production technology in Lamalera’s community was initiated by motorization introduced by FAO. This change has created a new system of production economy in Lamalera that is trawl system which is completely different from the traditional system that is stabbing system. Simultaneously it has determined other systems in society such as distribution and exchange pattern, social institutions, religion system and norms. In addition, Lamalera’s community is also acquainted by marine conservation discourses introduced by an international NGO for conservation. Both external factors have deteriorated the traditional economic management of Lamalera’s community which was initially based on the cultural core. Eventually these changes create polarization and new social classes in the community and eliminate social assurance for poor people, elders, widows and orphans. Keywords: Lamalera, cultural core, motorized fishing, conservation discourse.
RINGKASAN FEBRINA DESRIANTI. Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan Lamalera (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi). Dibimbing oleh SOERYO ADIWIBOWO dan ARIF SATRIA.
Manusia dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan. Hubungan antara kebudayaan manusia dan alam tampak sangat jelas pada komunitas tradisional pemburu ikan dan mamalia laut Lamalera. Secara tradisional kegiatan berburu dilakukan pada siang hari dengan seperangkat alat tangkap sederhana tanpa menggunakan peralatan modern. Tenalaja (perahu layar) adalah alat produksi utama, yaitu perahu tradisional dengan layar dan seperangkat tali serta tombak bambu yang digunakan untuk menikam ikan. Saat ini, tenalaja bukan satu-satunya alat produksi. Beberapa pergeseran mulai terjadi ketika nelayan Lamalera dikenalkan dengan mesin (disebut johnson) pada tahun 1973 oleh FAO. Teknologi mesin menandai permulaan terjadinya beberapa pergeseran pada sistem produksi. Di samping menghadapi perubahan karena motorisasi, nelayan Lamalera juga dihadapkan pada diskursus konservasi keanekaragaman hayati yang muncul dalam kebijakan penetapan kawasan konservasi laut (KKL). Konservasi dikontradiksikan dengan budaya berburu peninggalan leluhur. Setidaknya Lamalera terseret dalam konstelasi diskursus konservasi karena dua alasan, pertama secara geografis posisinya terletak di pesisir Laut Sawu, kedua jenis mamalia laut buruan nelayan Lamalera dipersoalkan sebagai cetacean yang perlu dijaga kelestariannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sistem sosiokultur masyarakat Lamalera dalam perspektif ekologi dan mengetahui sejauh mana terjadi perubahan pada sosiokultur masyarakat nelayan Lamalera sebagai akibat program-program pembangunan kelautan dan konservasi. Penelitian ini dibingkai dengan pendekatan ekologi budaya, pendekatan materialisme pada perubahan sosial dan dan diskursus konservasi keanekaragaman hayati. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Data yang dikumpulkan dengan metode observasi (berperan serta) dan wawancara mendalam terkait dengan teknologi produksi dan perubahan-perubahannya, perilaku pemamfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan ekonomi, kelembagaan sosial, sistem nilai dan religi, pola pemukiman, sistem tenurial dan karakter lingkungan. Wawancara dilakukan dengan nelayan, anggota lembaga adat, pemilik perahu dan tena laja, ibu rumah tangga dan aparat pemerintah desa. Data mengenai konservasi dikumpulkan melalui wawancara dengan masyarakat Lamalera yang menolak dan mendukung kegiatan konservasi, WWF, LSM lokal dan Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan berburu ikan-ikan besar adalah budaya dasar yang menjadi landasan bagi berdirinya sistem sosiokultur yang utuh di Lamalera. Sebagaimana dikemukakan Steward, bahwa adaptasi terhadap lingkungan dilakukan dengan menciptakan teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya alam merupakan penekanan pada inti budaya, maka di Lamalera, sebuah teknologi dasar perahu tradisional dengan rancangan spesifik untuk menikam adalah unsur utama sistem sosialnya. Dari inti budaya menikam ikan besar tersebut, terbentuk sistem pengelolaan ekonomi (teknologi produksi,
pola distribusi dan pola pertukaran), sistem kelembagaan, religi, dan sistem norma yang adaptif dengan sistem lingkungan setempat. Perubahan perlahan-lahan terjadi dengan masuknya mesin jhonson dan diikuti oleh jaring pukat serta perahu sampan seukuran tena laja. Mesin dengan bahan bakar minyak tanah dan bensin ini dipasang pada sampan besar berisi pukat sehingga melahirkan sistem produksi yang berbeda dengan sistem tradisional tikam, yaitu sistem pukat. Pergeseran moda produksi terjadi dari sistem tikam ke sistem pukat. Sistem tikam dicirikan dengan pemakaian teknologi komunal milik suku yaitu tenalaja yang berasosiasi dengan lango bella (rumah besar). Fungsi utama tena laja adalah sebagai alat produksi yang dioperasikan sendiri oleh pemiliknya. Sistem tikam dilakukan dalam tiga musim yang masing-masing memiliki kekhasan yaitu musim lefa (berlangsung dari Mei hingga September), rai Lewotobi dan rai Duli (sebulan sebelum lefa berakhir) serta baleo (mengejar paus saat ketika terlihat dari daratan). Tiga musim ini dapat dijadikan acuan untuk menggambarkan aktifitas produksi masyarakat Lamalera, menjadi penopang kebutuhan subsistensi masyarakat dan menyediakan simpanan pangan pada musim tidak melaut. Pengelolaan ekonomi sistem tikam dikendarai oleh organisasi ekonomi yang disebut uma alep. Keanggotaan dalam uma alep diperoleh melalui kontribusi dengan menyumbangkan bahan-bahan serta ikut terlibat dalam pembuatan perahu. Bagian ikan yang menjadi hak uma alep dikelola bersama. Pengolahan ikan dilakukan di belappa lolo (tempat menjemur daging ikan), lalu ikan kering disimpan di lango bella (rumah besar). Pada akhir musim leffa anggota uma alep akan berkumpul di lango bella dan membagi secara adil hasil tikaman pada satu musim leffa itu. Selain membagi kepada semua anggota uma, bagian-bagian tertentu juga disisihkan untuk perbaikan tena laja. Sistem pukat ditandai dengan tiga alat produksi yaitu mesin (motor tempel termasuk ketinting), perahu sampan dan jaring pukat. Alat produksi ini tidak memiliki asosiasi dengan rumah besar. Beberapa alat produksi dimiliki secara perseorangan atau keluarga besar. Kepemilikan oleh keluarga besar memang merunjuk pada hubungan kekerabatan, akan tetapi tidak seluas relasi kepemilikan komunal suku pada tena laja. Terlepas dari itu, hubungan antara alat-alat produksi dalam sistem pukat dengan rumah besar bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Karena tidak ada asosiasi antara alat produksi dengan rumah besar maka pengelolaan ekonomi komunal dalam sistem pukat hilang. Kegiatan ekonomi pukat tidak didasari untuk memenuhi kebutuhan bersama dalam suku melainkan kebutuhan keluarga inti atau keluarga besar. Pola distribusi mengecil pada sedikit orang yaitu pada pemilik alat tangkap dan meing yang terlibat. Bagian uma yang dibagi rata kepada sekelompok orang dalam sistem tikam, didominasi oleh satu orang atau satu keluarga pemilik pukat saja. Diskursus konservasi berkembang disaat perubahan pengelolaan ekonomi terjadi. Masyarakat Lamalera memiliki kearifan tradisional sendiri yang didasarkan pada pemanfaatan dan pelestarian. Terlepas dari kearifan tradisional tersebut, pemanfaatan hasil laut berupa ikan-ikan besar (beberapanya termasuk dalam daftar IUCN) telah menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Diskursus konservasi laut khususnya yang terkait dengan perlindungan cetacean menjadi dasar inisiatif awal pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah SolorLembata-Alor (KKLD-Solar). Inisiatif KKL ini dimulai sejak tahun 2001 lewat
ekspedisi Solor-Alor yang dilakukan oleh WWF, TNC Dan APEC. Dikukuhkan pada tahun 2006 menjadi KKL Solar melalui SK Gubernur NTT. WWF adalah LSM yang dari awal fokus dengan KKL Solar dan menjalankan programnya sampai saat ini. Untuk menunjang KKL Solar, maka WWF menggalang dukungan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati di perairan Solar. Diskursus konservasi mendapat dukungan dari dua kepentingan besar yaitu CTI (Coral Triangel Initiative) dan target 10 juta Ha Kawasan Konservasi Perairan (KKP) pada tahun 2010 oleh DKP-RI. Tiga kepentingan ini kemudian diikat dalam pencadangan Laut Sawu sebagai KKPN seluas 4,9 juta Ha pada awal tahun 2009 yang terdiri atas 3 zona. Aksi penolakan oleh masyarakat Lamalera telah menggagalkan zona II masuk dalam KKPN Sawu sehingga deklarasi penetapan kawasan konservasi Laut Sawu pada Mei 2009 menjadi 3,5 juta Ha yang terdiri atas 2 bagian yaitu wilayah perairan Selat Sumba dan sekitarnya dan wilayah perairan Pulau Sabu-RoteTimor-Batek dan sekitarnya. Kawasan ini ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu. Baik perubahan maupun konservasi digerakkan oleh aktor luar yaitu FAO, Pemerintah dan WWF. Hal ini telah mendesak eksistensi sistem produksi tradisional tikam yang merupakan landasan bagi sistem sosiokultur di Lamalera. Beberapa implikasi sosial terjadi karena pergeseran pola distribusi yang tidak merata dari sistem tikam ke sistem pukat. Dua perubahan ini (motorisasi dan konservasi) telah menimbulkan akibat pada tiga hal yaitu: pertama, dampak terhadap stratifikasi sosial dan polarisasi. Kedua, menghilangkan jaminan sosial seiring tidak adanya organisasi ekonomi uma alep. Ketiga, menciptakan ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial mulai terlihat karena akses untuk memanfaatkan sumberdaya laut terbatasi oleh kepemilikan alat produksi. Apabila fenomena-fenomena tersebut terus berlangsung, maka akan memicu konflik laten dalam masyarakat.
(c) Hak Cipta milik IPB , tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN LAMALERA (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi)
FEBRINA DESRIANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA
Judul Tesis
: Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan Lamalera (Sudut Pandang Sosiologi Ekonomi dan Ekologi)
Nama
: Febrina Desrianti
NRP
: I 353070101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, M.S Ketua
Dr. Arif Satria, SP., M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc., Agr.
Tanggal Ujian: 6 Juli 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc., Agr.
Tanggal Lulus: 12 Agustus 2011
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya karya ini telah diselesaikan dengan baik. Tesis ini mengambil topik tentang perubahan sosial pada masyarakat nelayan pemburu paus Lamalera. Perubahan sosial tersebut dipicu oleh perubahan pada teknologi eksploitasi yang dibawa oleh pihak luar. Di samping perubahan tersebut, nelayan Lamalera juga dihadapkan pada diskursus konservasi. Dua hal diatas kemudian mendesak eksistensi sistem tradisional yang ada. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir Soeryo Adiwibowo, M.S dan Bapak Dr. Arif Satria SP., M.Si selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A selaku penguji luar komisi. Ketiganya sangat berjasa selama proses penyusunan tesis melalui diskusi, kritik, dan sarannya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Kakanda Eva Anggraini yang telah mendukung penulis selama menjalankan masa studi di Sekolah Pasca Sarjana, adik penulis Dony Saputra dan Retia Revani yang membantu penulis selama pengerjaan tesis ini. Tidak terkira dukungan dan doa yang diberikan oleh orang tua, untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada keluarga Bapak Pieter Tedu Bataona dan keluarga Bapak Gregorius Tapoona yang telah mengijinkan penulis untuk tinggal bersama keluarga mereka selama melakukan penelitian di Lamalera. Tentunya di sana sini masih terdapat kekurangan sehingga penulis membuka diri untuk kritik dan saran untuk penelitian-penelitian di masa mendatang. Terakhir, semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2011
Febrina Desrianti
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar pada tanggal 30 Desember 1980 dari pasangan Montan dan Rosnaini. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara.Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Sosiatri, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, lulus tahun 2005. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan magister di Program Studi Sosiologi Pedesaan pada Sekolah Pascasarjana IPB. Saat ini penulis bekerja sebagai konsultan sosial di PT. Environmental Resources Management (ERM) Indonesia.
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL DAFTAR ISI ..............................................................................................
i
DAFTAR TABEL ......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
vi
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1.1. Latar Belakang Penelitian................................................................. 1.2. Pertanyaan Penelitian ...................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................
1 1 9 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 2.1. Teori Ekologi Budaya ..................................................................... 2.1.1. Pendekatan Evolusi Multilinier Sebagai Landasan bagi Teori Ekologi Budaya ..................................................................... 2.1.2. Penerapan dan Pengembangan Teori Ekologi Budaya serta Beberapa Kritik ..................................................................... 2.2. Pendekatan Materialisme Pada Perubahan Sosial ............................. 2.2.1. Perubahan Sosial Hingga Dikotomi Pada Sistem Sosiokultur ............................................................................ 2.3. Teori Diskursus ............................................................................... 2.3.1. Diskursus Konservasi Lingkungan .......................................... 2.3.2. Konservasi Sebagai Konstruksi Sosial/Konservasi Tradisional ............................................................................ 2.3.3. Konservasi Keanekaragaman Hayati/Konservasi Modern ....... 2.4. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 2.5. Hipotesa Pengarah ...........................................................................
11 13
37 40 42 43
III. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... 3.2. Pengumpulan Data .......................................................................... 3.3. Analisa Data ....................................................................................
44 44 45 47
IV. SISTEM SOSIOKULTUR KOMUNITAS NELAYAN LAMALERA ........................................................................................ 4.1. Ekosistem Laut Sawu dan Pulau Lembata ....................................... 4.2. Sejarah Terbentuknya Lefo Lamalera .............................................. 4.3. Berburu dan Menikam Mamalia Laut dan Ikan Besar ...................... 4.3.1. Alat Produksi Tena Laja ........................................................ 4.3.2. Tena Laja dan Koteklema ...................................................... 4.3.3. Musim Berburu di Lamalera ..................................................
49 51 53 57 58 63 64
i
17 22 24 29 32 33
4.4. Sistem Sosiokultur Lamalera dalam Sudut Pandang Ekologis Budaya ............................................................................................
69
V. PENGARUH MOTORISASI TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA ...................................................... 75 5.1. Sistem Tikam ................................................................................... 77 5.1.1. Tena laja Sebagai Alat Produksi Utama Pada Sistem Tikam .. 78 5.1.2. Pergeseran Pada Sistem Tikam ............................................... 79 5.2. Sistem Pukat ................................................................................... 86 5.2.1. Alat Produksi pada Sistem Pukat ............................................. 86 5.2.2. Variasi Penerapan Teknologi Jaring Pukat ............................... 87 5.3. Perubahan Pengelolaan Ekonomi...................................................... 90 5.3.1. Ekonomi komunal ................................................................... 91 5.3.2. Ekonomi Kepentingan ............................................................. 97 5.4. Dampak Perubahan Pengelolaan Ekonomi Terhadap Aspek Sosiokultur Lainnya ........................................................................ 103 VI. LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI........................ 6.1. Kearifan Tradisional Masyarakat Lamalera ...................................... 6.2. KKLD Solar dan KKPN Laut Sawu ................................................. 6.3. Dinamika Penetapan Konservasi laut di Lamalera ............................
112 112 114 118
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 127 7.1. Kesimpulan ..................................................................................... 127 7.2. Saran ............................................................................................... 129 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 131 LAMPIRAN
ii
DAFTAR TABEL
1. Kerangka Pemikiran Pengelolaan Kawasan Konservasi ............................ 35 2. Metode, Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................... 46 3. Asal-usul Suku-suku di Lamalera dan Rumah Besar ................................ 55 4. Ikan dan Mamalia Laut Tikaman Nelayan Lamalera ................................ 66 5. Tena Laja dan Mesin Johnson ................................................................... 84 6. Perubahan Moda Produksi di Lamalera dan Pengaruhnya pada Sistem Sosiokultur Lain ........................................................................................ 104
iii
DAFTAR GAMBAR 1. Teori Ekologi Manusia: Hubungan antara Lingkungan Biofisik dan Elemen Sistem Sosiokultur .................................................................... 2. Level amalisa pada Pengetahuan Ekologi Tradisional dan Sistem Manajemennya ....................................................................................... 3. Kerangka Pemikiran Perubahan Sosial Pada Masyarakat Nelayan Lamalera ................................................................................................ 4. Peta Lokasi Penelitian ............................................................................ 5. Sistem Sosiokultur Komunitas Nelayan Lamalera ditinjau dari Perspektif ekologi budaya ...................................................................... 6. Pembagian Hasil Tikaman koteklema ..................................................... 7. Pembagian Ikan Pari ............................................................................... 8. Peta Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur ..................................................................................... 9. Peta Konflik Konservasi di Lamalera ...................................................... 10. Peta Usulan Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu ............................
iv
27 38 42 45 70 72 101 117 122 125
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Istilah kebudayaan (culture) biasanya digunakan untuk menyebut seluruh cara hidup suatu masyarakat yang dipandang sebagai sebuah keutuhan (Sanderson 2000: 51). Adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang berbeda telah menjadi tema yang diperdebatkan dalam ilmu antropologi. Dua penjelasan yang dikemukakan untuk menjawab gejala persamaan unsur-unsur
kebudayaan,
yaitu:
pertama,
disebabkan karena
persebaran atau difusi. Anggapan dasar pemikiran ini adalah kebudayaan manusia berpangkal di satu tempat tertentu (dikatakan dengan kebudayaan induk), yang berkembang, menyebar dan pecah ke dalam banyak kebudayaan baru karena pengaruh keadaan lingkungan dan waktu. Cara pikir kedua dalam melihat persamaan-persamaan ini disebabkan karena tingkat-tingkat yang sama dalam proses evolusi kebudayaan di berbagai daerah1. Menurut pandangan evolusi, kebudayaan telah lahir dengan sendiri-sendiri dan mengalami perkembangan sebagai hasil adaptasi terhadap tantangan lingkungan alamiah. Pengaruh lingkungan terhadap kebudayaan, sebagai sebuah kajian lahir atas kritik terhadap pandangan bahwa kebudayaan berasal dari kebudayaan. Montesquieu dalam On the Spirit of Laws (1748) berupaya memberikan penjelasan mengapa masyarakat berbeda satu sama lainnya dengan menyatakan bahwa variabel-variabel seperti tanah, iklim dan lingkungan merupakan faktorfaktor yang ikut berpengaruh dalam membentuk kelembagaan masyarakat. Pemikiran tentang hubungan antara manusia, budaya dan lingkungan serta bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, muncul kembali pada abad ke 19. Teori-teori ini hadir untuk menjelaskan perbedaan kebudayaan sebagai
suatu
proses
evolusi
dan
menempatkan kelompok masyarakat pada kategori-kategori yang ditentukan berdasarkan teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di lingkungannya (Christensen dan Levinson 2003: 360). 1
Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (2007).
2
Manusia dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan. Aktivitas manusia mempengaruhi dan mengakibatkan perubahan pada lingkungan. Perubahan tersebut akan berbalik mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungan. Dengan sifat dasar manusia yang sadar diri, memiliki kemampuan teknologis dan sangat sosial, maka interaksi manusia dengan lingkungan menjadi hal kompleks dan menarik. Hubungan antara kebudayaan manusia dan alam tampak sangat jelas pada masyarakat tradisional pemburu mamalia laut dan ikan Lamalera. Komunitas adat ini dikenal dengan budaya mereka menikam paus, lumba-lumba dan ikan-ikan besar seperti pari dan hiu. Nelayan Lamalera memburu dan menikam ikan-ikan besar, namun secara spesifik perburuan paus yang membuat mereka dikenal dunia. Perburuan paus paling tidak telah dilakukan pada sekitar tahun 1643, sebagaimana tercatat dalam sebuah dokumen Portugis. Pada laporan ini ditegaskan bahwa perburuan paus oleh masyarakat Lamalera adalah budaya tua yang telah dilakukan jauh sebelum kedatangan pemburu paus dari Amerika dan Inggris di perairan timur Indonesia (Barnes 1996: 323). Terletak di pesisir selatan Pulau Lembata, desa ini sangat minim lahan subur yang dapat ditanami. Tidak heran apabila kegiatan ekonomi masyarakat hampir sepenuhnya bertopang pada hasil laut. Walaupun demikian, menurut sejarah bukan keterbatasan lahan subur yang membuat masyarakat Lamalera melaut, tetapi karena sebagian besar nenek moyang masyarakat desa ini merupakan pelaut yang dahulu melakukan perjalanan eksodus meninggalkan daerah asal mereka di pesisir Sulawesi. Penangkapan ikan dengan berburu dan menikam yang masih dilakukan hingga saat ini merupakan cara yang diwarisi dari leluhur. Kegiatan berburu dilakukan pada siang hari dengan seperangkat alat tangkap sederhana yang terbuat dari bahan-bahan yang ada di lingkungan setempat dan tanpa menggunakan peralatan modern. Tenalaja atau perahu layar 2 adalah salah satu unit penangkapan ikan utama, yaitu perahu tradisional dengan layar dan seperangkat tali serta tombak bambu yang digunakan untuk menikam ikan. Saat ini, tenalaja bukan satu-satunya alat produksi. Untuk jenis ikan seperti pari, hiu dan lumba-lumba 2
Tenalaja juga biasa disebut dengan peledang.
3
yang ukurannya relatif lebih kecil, sampan besar bermesin biasa digunakan. Namun demikian, hal itu tidak berlaku untuk paus sperma (Physeter macrocephalus) yang dalam bahasa lokal disebut koteklema. Dengan rancangan khusus dan seperangkat kepercayaan terhadap laut, maka hanya dengan tenalaja, koteklema bisa dan boleh ditikam. Beberapa pergeseran mulai terjadi ketika nelayan Lamalera dikenalkan dengan mesin. Perlahan-lahan setelah mengenal mesin tempel yang mereka sebut johnson pada tahun 1970an melalui program FAO, aktivitas melaut di Lamalera mulai mengalami pergeseran. Kegiatan mendayung perahu sambil bersenandung digantikan oleh tenaga mesin atau menarik tenalaja dengan sampan besar yang dipasangi mesin johnson pada saat mengejar koteklema. Suasana semarak mendorong perahu turun ke laut di pagi hari pada musim lefa (musim berburu) digantikan dengan kesibukan menata pukat pada sore hari. Nelayan Lamalera yang akrab dengan lautnya hanya pada siang hari juga mulai terbiasa menunggu ikan menyentuh pukat yang di tebar pada malam hari. Masuknya teknologi mesin menandai permulaan terjadinya beberapa pergeseran pada sistem produksi di desa pemburu ikan dan mamalia laut ini. Jauh sebelum introduksi teknologi, faktor-faktor seperti misi Katolik, pendidikan dan masuknya sistem pemerintahan desa telah lebih dulu membawa perubahan ke Lamalera. Pertama misi Katolik menggeser sistem religi animisme kepada kepercayaan terhadap gereja serta mengenalkan pendidikan yang dikemudian hari memacu tingkat migrasi penduduk usia muda meninggalkan desa untuk melanjutkan sekolah. Kedua masuknya sistem pemerintahan desa di masa pemerintahan kolonial membagi masyarakat dengan satu kultur ini secara administratif menjadi dua desa. Perubahan sosial yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah perubahan oleh pergeseran adat produksi. Munculnya teknologi modern penangkap ikan telah
melahirkan
pergeseran
berarti
karena
memunculkan
pengelolaan
perekonomian masyarakat yang berbeda meski tidak bisa dikatakan meninggalkan pola sosiokultur aslinya. Saat ini, kegiatan produksi dengan perahu mesin berpukat lebih mendominasi perekonomian di Lamalera, sementara aktivitas
4
berburu masih dilakukan apabila melihat segerombolan paus atau lumba-lumba melintas di depan kampung mereka. Introduksi teknologi modern menghasilkan cara pemanfaatan sumberdaya laut yang baru pula. Jumlah tenalaja sebagai alat produksi utama mulai berkurang seiring dengan bertambahnya jumlah sampan besar yang menggunakan mesin johnson dengan gulungan jaring pukat di dalamnya. Melihat Lamalera saat ini dengan mengidentifikasi sistem sosiokulturnya sebagai hasil adaptasi terhadap lingkungan, maka pemakaian mesin dan alat tangkap pukat menjadi lebih dari sekedar perubahan alat produksi. Hal ini menunjuk pada satu gejala munculnya sistem sosiokultur baru yang berbeda dengan sistem sebelumnya. Seperti apa yang dikatakan Barnes, Lamalera is a community which straddles several dichotomies (1996: 341). Meskipun Barnes tidak secara terperinci menggambarkan bagaimana bentuk dikotomi tersebut, namun dikotomi ini mendekati konsep dualisme ekonomi Boeke yang digambarkan seperti sistem ekonomi-prakapitalis yang didampingi oleh ekonomi kapitalis, dimana kedua sistem ini saling mempengaruhi (Sajogyo 1985: 36, Barnes 1996: 341)3. Sejauh apa dikotomi itu membelah masyarakat Lamalera? Bagaimana dan seperti apa pergeseran sosiokultur di Lamalera menjadi salah satu pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini. Pertanyaan diatas diperlukan dalam mengkaji persoalan selanjutnya terkait kebijakan konservasi Laut Sawu, khususnya Laut Lembata4. Mengemukanya wacana konservasi laut inilah sebenarnya yang menghantarkan saya melakukan penelitian di Lamalera. Di samping menghadapi perubahan-perubahan dalam sistem produksinya, masyarakat Lamalera juga dihadapkan pada wacana konservasi keanekaragaman hayati yang muncul dalam kebijakan penetapan kawasan konservasi perairan. Isu konservasi dikontradiksikan dengan budaya berburu peninggalan leluhur masyarakat Lamalera. Setidaknya Lamalera terseret dalam konstelasi politik konservasi ini karena dua alasan pertama karena secara geografis posisinya yang terletak di pesisir Laut Sawu, kedua karena jenis
3
Penelitian Barnes di Lamalera tidak untuk melihat dikotomi ekonomi seperti paparan Dualisme Ekomoni Boeke (1953). Tetapi ia menguraikan fakta bahwa perubahan ekonomi dan sosial telah mendorong dikotomi dalam aktivitas-aktivitas produksi dan pola konsumsi individu dalam komunitas tersebut (hal. 341) 4 Konservasi Laut Solor-Lembata-Alor (SOLAR)
5
mamalia laut buruan orang Lamalera dipandang sebagai jenis cetacean yang perlu dijaga kelestariannya. Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah perairan penting untuk mamalia laut di Indonesia yang diperkirakan terdapat 30 spesies cetacea5 yang dapat ditemui di Laut Sawu seperti paus, lumba-lumba dan duyung. Dari 30 spesies catecea tersebut, beberapa jenis diantaranya adalah paus-paus besar yang terancam punah yaitu paus biru, paus sei dan paus fin. Selain itu, juga banyak ditemukan paus sperma yang berdasarkan data IUCN termasuk ke dalam spesies yang rentan mengalami kepunahan (Mustika, 2006: 1). Paus adalah salah satu mamalia laut yang bermigrasi secara musiman untuk mencari makan, menuntun anaknya ke perairan yang lebih hangat serta mencari daerah untuk membesarkan anaknya. Laut Sawu adalah laut dalam yang dibatasi oleh Pulau Flores, Timor dan Sumba. Terusan kecil antara Solor dan Alor di Laut Sawu merupakan tempat mencari makan serta koridor migrasi bagi paus dan catecea lainnya. Pada awalnya, Konservasi Laut Sawu yang menempatkan perairan Lembata dalam zona II kawasan tersebut ditolak oleh masyarakat Lamalera. Upaya advokasi dan menggalang dukungan dilakukan dengan mengangkat kasus ini di berbagai media. Penolakan masyarakat terhadap pencadangan Zona II dalam konservasi Laut Sawu tidak lagi menjadi isu lokal, setelah beberapa media lokal dan nasional memberitakan kekhawatiran dan penolakan masyarakat terhadap kebijakan ini. 6 Penolakan tersebut didasari oleh pemahaman bahwa cepat atau lambat, konsekuensi yang akan dihadapi dengan masuknya zona II dalam wilayah konservasi Sawu adalah pelarangan untuk meneruskan tradisi mereka berburu paus.7 Setiap jawaban klarifikatif yang disampaikan oleh para pihak yang
5
Cetacean adalah sebutan umum bagi mamalia laut dari Ordo Cetacea, antara lain paus, lumbalumba, dan pesut. Seperti mamalia laut yang pada umumnya hidup di darat, di dalam air, cetacean juga bernapas menggunakan paru-paru dan bereproduksi dengan cara melahirkan. Sebagian besar cetacean hidup di laut, tetapi ada juga beberapa jenis yang hidup di air tawar, yaitu dari jenis lumba-lumba. Mead, J. G. dan J. P. Gold. Whales and dolphins in question. 2002. 6 Diberitakan dalam beberapa media online. Lihat http://www.suarapembaruan.com/News/2009/03/23/Kesra/kes05.htm http://female.kompas.com/read/xml/2009/03/23/17273043/masyarakat.lamalera.tolak.konservasi.p aus 7 Media Indonesia.com memberitakan bahwa masyarakat Lamalera menolak konservasi Zona II Laut Sawu karena dipandang akan memicu pelarangan tradisi penangkapan paus di daerah itu.
6
berwenang dan memiliki kepentingan (Dinas Perikanan Kelautan Lembata, WWF dan pihak lainnya) tidak berhasil merubah perspektif masyarakat. Dengan nama apapun, baik itu Kawasan Konservasi Laut (KKL), Kawasan Konservasi Perairan (KKP), Taman Laut, dan sebagainya dipandang akan memberikan konsekuensi yang sama dan menjauhkan mereka dengan para leluhur serta menghentikan tradisi berburu koteklema. Paus sperma merupakan salah satu mamalia laut buruan nelayan Lamalera. Secara umum, paus merupakan cetacean yang masuk dalam daftar spesies yang terancam punah. Hal ini mendorong kelompok pecinta lingkungan hidup semakin aktif menyerukan penyelamatan paus. Pada tahun 1986 kesepakatan internasional mengenai moratorium penangkapan paus telah menetapkan pelarangan perburuan paus untuk tujuan komersial dan mengizinkan sebagian masyarakat asli memburu sejumlah terbatas paus berdasarkan izin penangkapan paus untuk mencari nafkah. International Whale Commision (IWC) mengakui bahwa perburuan paus oleh masyarakat tradisional berbeda dengan perburuan paus untuk keperluan komersial. Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan Paus tahun 1931 menetapkan bahwa masyarakat tradisional yang diperbolehkan menangkap paus adalah masyarakat yang hanya menggunakan kano, perahu atau alat tangkap lokal yang menggunakan dayung dan layar, tidak menggunakan senjata api, dilakukan sendiri oleh masyarakat asli dan tidak terikat kerjasama dengan pihak ketiga untuk menerima hasil tangkapan (Revees 2002). Dalam kategori yang ditetapkan IWC, penangkapan paus di Lamalera tergolong pada subsistence whaling, karena penangkapan paus dilakukan dalam skala kecil, berkesinambungan dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal serta tidak ada tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan perburuan tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan kategori yang ditetapkan oleh IWC, maka masyarakat nelayan Lamalera termasuk dalam kategori masyarakat adat yang tidak menjadi subjek pengawasan IWC. Beberapa orang Lamalera terutama yang berada di perantauan mengetahui kategorisasi yang ditetapkan oleh IWC. Bagi mereka, benar salahnya kegiatan berburu yang mereka lakukan tidak perlu lagi diperdebatkan. Tetapi keresahan http://www.mediaindonesia.com/read/2009/05/03/72784/89/14/Warga-Lamalera-TolakKonservasi-Paus
7
yang berkembang di dalam lefo tidak dapat diabaikan. Kekhawatiran dijauhkan dari tradisi leluhur, ketidakharmonisan karena saling berprasangka terhadap pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dari rencana penetapan kawasan konservasi berkembang di lefo Lamalera. Isu konservasi dan larangan berburu menyebabkan masyarakat Lamalera di lefo dan di luar lefo menggalang suara untuk menolak dimasukkannya Zona II dalam Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu (KKPN Laut Sawu). Penolakan yang dilakukan memberikan hasil seperti yang mereka harapkan, yaitu dikeluarkannya zona II dari KKPN Laut Sawu. Zona II memang telah keluar dari KKPN Laut Sawu. WWF beserta LSM lingkungan lain yang pernah melakukan kegiatan di Lamalera dilarang masuk ke kampung itu. Di Lamalera, berdasarkan kesepakatan bersama maka sejak bulan Mei 2009 semua pembicaraan tentang konservasi dihentikan. Sementara itu, upaya mengembangkan kegiatan di perairan Lembata masih dilakukan. WWF sebagai satu-satunya LSM internasional disana masih melanjutkan kegiatan di Lembata dan dua pulau lainnya (Solor dan Alor). Pertanyaan utama disusun untuk mengetahui bagaimana program-program kelautan dan konservasi mempengaruhi sistem bermasyarakat di Lamalera. Dengan perubahan dalam sistem produksi yang sedang berjalan di Lefo disana, apakah kebijakan konservasi ini akan mempengaruhi sistem sosiokultur masyarakat Lamalera? Penelitian tentang masyarakat pemburu ikan-ikan besar terutama paus di Lamalera masih terbatas. Sejumlah hasil studi yang peneliti temukan yaitu penelitian etnografis Barnes (1996) yang memberikan gambaran mengenai organisasi sosial dan budaya dengan memfokuskan pada organisasi ekonomi di Lamalera. Barnes menuliskan secara mendetail mengenai desa, masyarakat dan aktivitas non-maritim yang dilakukan oleh masyarakat Lamalera pada bagian awal serta memaparkan mengenai laut serta segala hal yang terkait dengan itu pada bagian utama bukunya. Studi komparatif pada masyarakat pemburu cetacean di Lamalera, Lamakera, Alor dan Rote juga pernah dilakukan oleh Mustika (2006). Penelitian ini melihat status tradisi perburuan paus di Laut Sawu dalam konteks konservasi mamalia laut.
8
Beberapa penelitian yang ditemukan dalam bentuk artikel jurnal dilakukan oleh Anita Lundberg dan David A. Nolin. Anita Lundberg (2003) dalam Time Travels in Whaling Boats8 memberikan gambaran etnografis dan arkeologis tentang bentuk dan konstruksi perahu layar tradisional nelayan Lamalera. Artikel lainnya Voyage of the Ancestors9 (2003), dimana Lumberg membaca ulang teksteks yang membawa Lamalera kembali ke awal sejarahnya. Lundberg menyusuri mitos-mitos secara simultan untuk mencari asal-usul perjalanan leluhur Lamalera dari Pulau Lembata, ke tanah Lepan Batan, melalui Maluku dan kembali ke pesisir Sulawesi. Masih dengan studi etnografi, Nolin (Smith 2010) melaporkan estimasi kuantitatif transmisi antar generasi dan ketidaksetaraan untuk mengukur kesejahteraan dalam populasi masyarakat pemburu dan peramu. 10 Penelitian dilakukan di lima populasi sampel, salah satunya masyarakat pemburu Lamalera. Indikator yang digunakan untuk menggukur tingkat kesejahteraan di Lamalera yaitu kesejahteraan kehidupan rumah tangga, ikatan jaringan bagi hasil, kepemilikan perahu dan keberhasilan reproduksi. Penelitian ini mengambil fokus yang berbeda dengan penelitian-penelitian di atas yaitu mencoba menggabungkan pendekatan ekologi budaya dengan kepentingan konservasi terhadap KKPN Laut Sawu. Penelitian ini berada dalam posisi menggabungkan teori antropologi lingkungan, mengkaji perubahanperubahan sistem sosiokultur dalam koridor ekologi serta memberikan gambaran deskriptif tentang bagaimana kebijakan lingkungan disikapi dan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat di Lamalera. Lalu bagaimanakah kebijakan lingkungan ini memposisikan masyarakat tradisional Lamalera. Pendekatan baru dalam kajian antropologi lingkungan telah mengkritik pendekatan lama dalam melihat masyarakat pada skala lokal saja dan mengabaikan faktor-faktor luar sebagai konsekuensi dari kehidupan yang terintegrasi dengan sebuah negara serta pengaruh globalisasi yang lebih luas. Sebagaimana pendekatan baru tersebut, penelitian ini juga memperluas perspektif dalam melihat interaksi antara masyarakat lokal dan lingkungannya dengan tidak 8
Downloaded from http://jsa.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009 Downloaded from http://cgj.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009 10 Eric Alden Smith, Wealth Transmission and Inequality among Hunter-Gatherers (2010). http://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/648530?journalCode=ca. Didownload pada tanggal 4 april 2010. 9
9
membatasi cara pandang pada perspektif lokal semata, tetapi juga memberikan perhatian terhadap tekanan-tekanan dari luar yang mengintroduksir pola hidup komunitas tradisional.
1.2. Pertanyaan Penelitian Sistem sosiokultur masyarakat Lamalera dihadapkan pada dua tantangan. Pertama perubahan cara pemanfaatan sumberdaya. Introduksi teknologi telah menggeser cara masyarakat Lamalera dalam memamfaatkan sumber daya ikan. Dalam perspektif ekologi, baik perubahan teknologi eksploitasi maupun perubahan pada kondisi lingkungan berpeluang merubah unsur-unsur lain dalam sebuah sistem sosiokultur. Ada dualisme pola pemamfaatan sumber daya di Lamalera saat ini yaitu pola berburu dan manikam yang biasanya dilakukan pada musim lefa (musim ke laut), berlangsung dari bulan Mei sampai Oktober setiap tahun. Selain itu dilakukan juga dalam saat-saat baleo, yaitu saat mereka melihat koteklema atau lumba-lumba dan jenis paus lain melintas di sepanjang pantai desanya. Pola baru yang muncul belakangan ini adalah berpukat. Sebagaimana banyak dilakukan oleh nelayan-nelayan di berbagai daerah di Indonesia. Pemakaian jaring pukat menuntut nelayan untuk keluar melaut malam hari dan biasanya kembali ke daratan pagi harinya. Kegiatan berburu dan menikam masih dilakukan, tetapi aktivitas berpukat malam telah mendominasi pola produksi para nelayan Lamalera. Tantangan kedua adalah pencadangan KKPN Laut Sawu. Mungkin terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa kebijakan konservasi ini akan menjadi tantangan antropologis bagi masyarakat lokal Lamalera. Akan tetapi beberapa kasus menunjukan hal serupa itu. Manusia dipandang sebagai ancaman besar terhadap keberlangsungan keanekaragaman hayati. Ada prasangka bahwa manusia tidak lagi bertahan dengan ekonomi subsisten dan pola konsumsi sudah melebihi yang dibutuhkan. Prasangka tersebut tidak memandang batas wilayah, maka masyarakat tradisional pun seringkali dilihat sebagai ancaman bagi lingkungan mereka sendiri yang bernilai biodivesiti tinggi. Perubahan sosial menjadi titik tolak melihat sebuah kebijakan konservasi. Perburuan paus di Lamalera dibolehkan oleh IWC karena masuk dalam kategori
10
subsisten whaling. Apakah pola subsistensi tersebut masih berjalan? Dalam ruang kajian pemanfaatan sumber daya, apabila merubah perilaku konsumsi masyarakat maka merupakan satu hal penting melihat kembali relasi antara masyarakat dan lingkungan. Di sisi lain, menghargai sistem sosiokultur sebuah komunitas merupakan kemestian. Oleh karena itu penetapan wilayah konservasi harus memperhatikan aspek sosial budaya yang memadai. Kita tentu saja tidak boleh menutup mata pada salah satunya. Menjaga kelestarian dan keseimbangan alam di satu sisi dan mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat di sisi lain tanpa menkontradiksikan keduanya. Permasalahan yang akan dijawab oleh penelitian ini adalah bagaimana program-program kelautan dan konservasi laut mempengaruhi sistem sosiokultur masyarakat tradisional Lamalera? Pertanyaan ini akan dijawab dengan mengurainya menjadi beberapa pertanyaan yaitu : 1. Bagaimana sistem sosiokultur masyarakat nelayan Lamalera dalam perspektif ekologi? 2. Sejauh mana terjadi perubahan-perubahan sosiokultur pada masyarakat nelayan Lamalera sebagai akibat adanya program-program pembangunan kelautan dan konservasi?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meluaskan perspektif dalam melihat relasi antara masyarakat lokal dan lingkungan yang akan selalu bergulat dengan kompleksitas, perbandingan dan perubahan. Perubahan ada di depan sebuah sebuah sistem sosiokultur yang diwariskan. Kombinasi studi antropologi lingkungan, perubahan dan politik ekologi dilakukan untuk melihat semuanya dalam skala yang lebih luas. Dengan bertahap penelitian ini bertujuan untuk mengenali sistem sosiokultur masyarakat Lamalera dalam perspektif ekologi dan mengetahui perubahan sosial sebagai akibat terjadinya perubahan pada infrastruktur material. Tujuan akhir penelitian ini adalah mengkaji sejauh mana kebijakan pembangunan kelautan dan konservasi berpengaruh pada sistem sosiokultur masyarakat Lamalera.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Konservasi keanekaragaman hayati merupakan sebuah proses yang memberikan implikasi secara sosial dan politik 11. Oleh karena itu, konservasi tidak bisa dibatasi pada pendekatan teknis tetapi juga dikembangkan dalam pembahasan ilmu sosial. Ben Orlove meletakkan landasan teoritik untuk kajiankaijan seperti ini dengan memberikan catatan mengenai perlunya pandangan politik ekonomi dalam kajian-kajian ekologi (Haenn and Wilk 2006: 203). Fakta empiris menunjukkan pengelolaan lingkungan dengan pendekatan teknis telah menimbulkan banyak konflik dan memicu munculnya persoalan-persoalan yang berdampak buruk terhadap manusia dan lingkungan. Di beberapa negara berkembang, kerusakan lingkungan kerap diperparah oleh kebijakan lingkungan yang ditetapkan secara sepihak. Pada beberapa kasus seperti deforestasi, kerusakan lingkungan adakalanya dipicu karena penebangan hutan oleh masyarakat pinggir hutan sebagai manifestasi rasa tidak setuju dan tidak puas dengan kebijakan pemerintah. Di sisi yang berseberangan, upaya penyelamatan lingkungan dengan menetapkan kawasan perlindungan, suaka alam dan taman nasional membawa petaka sendiri bagi masyarakat yang telah turun-temurun menggantungkan hidupnya pada lingkungan tersebut. Dilihat sebagai ancaman bagi keanekaragaman hayati, maka masyarakat lokal dijauhkan dari teritorial tradisional mereka. Salah satu konsekuensi memasukkan perspektif sosial pada studi ekologi terhadap kajian ekologi manusia adalah memperluas skala kajian dari lokal ke regional dan global. Konteks lokal diperlukan untuk mengenali sistem sosiokultur sebuah komunitas, mendalami hubungannya dengan lingkungan, mengenali upaya coping terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan biofisik serta mengenali sistem manajemen lingkungan lokal yang dimiliki komunitas tradisional. Kontek regional dan global perlu ditinjau untuk mendalami kebijakan pengelolaan lingkungan. Kebijakan manajemen sumberdaya sering kali bukan 11
Steven R. Brenchin, et al. Beyond the Square Wheel: Toward a More Comprehensive Understanding of Biodiversity Conservation as Social and Political Process (2002).
12
kebijakan yang diinisiasi dari bawah. Hubungan dengan negara maju atau lembaga internasional kerap mempengaruhi kebijakan yang dibuat pemerintah di negara berkembang. Perubahan merupakan satu faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Perubahans pada lingkungan bisa melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Begitu pula intervensi pemerintah dalam mengelola lingkungan dapat merubah pola interaksi antara masyarakat dan lingkungan. Ditingkat lokal, perubahan dapat terjadi pada lingkungan biofisik dan pada cara pemanfaatan lingkungan oleh masyarakat. Memperhatikan dinamika kehidupan masyarakat lokal diperlukan untuk keluar dari cara pandang lama dalam melihat masyarakat dan lingkungannya. Penelitian ini dilakukan pada saat pola produksi masyarakat Lamalera berubah, kebijakan konservasi keanekaragaman hayati berkembang dan masyarakat nelayan Lamalera menolak kebijakan tersebut. Masyarakat Lamalera menolak dijauhkan dari tradisi leluhur, sementara dalam lingkungan internal mereka melakukan pergeseran-pergeseran kecil yang mendasar dan berbeda dengan sistem sosiokultur warisan leluhurnya. Penelitian akan diawali dengan tinjauan literatur berupa teori dan fakta empiris mengenai interaksi antara sistem sosiokultur dan lingkungan, perubahan sosial serta perspektif sosial terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Kajian teoritis ini diperlukan untuk menyusun hipotesa pengarah (guiding hypotheses) mengenai sistem sosiokultur masyarakat nelayan Lamalera dan reaksi mereka atas pencadangan Laut Lembata dalam zona II wilayah KKPN Laut Sawu. Pola adaptasi yang dibangun oleh masyarakat Lamalera dengan laut selatan Pulau Lembata serta habitat cetacea yang setiap tahun bermigrasi melewati Laut Sawu dan sumberdaya ikan-ikan besar lainnya mendapat perhatian dalam studi ekologi manusia terutama pada ragam kajian antropologi lingkungan. Disiplin ini merupakan cabang ilmu antropologi yang menelaah hubungan antara masyarakat dan lingkungannya dari titik pandang masyarakat setempat (the native point of view) (Adiwibowo 2007). Secara terarah, penelitian ini merujuk pada salah satu pendekatan dalam ilmu antropologi ekologi yaitu teori ekologi budaya. Studi ekologi budaya pada masyarakat Lamalera akan dijadikan titik tolak untuk
13
memahami reaksi masyarakat nelayan Lamalera yang menolak Laut Lembata masuk dalam wilayah konservasi Laut Sawu.
2.1 Teori Ekologi Budaya Ekologi budaya merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan perbedaan kebudayaan yang bersifat evolusioner dan menempatkan kelompok manusia pada kategori-kategori berdasarkan keefektifan teknologi yang mereka gunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Pendekatan ekologi budaya dikembangkan oleh Julian H. Steward yang dipandang sebagai antropolog pertama yang memasukkan kajian tentang hubungan budaya dengan lingkungan di dalam bidang kajian ekologi. Dalam ranah kajian ilmu sosial, ekologi budaya termasuk ke dalam rumpun studi antropologi ekologi. Kelompok ilmu antropologi merupakan rumpun ilmu sosial yang pertama memberikan perhatian kepada hubungan antara manusia dan alam. Kedekatan kajian antropologi dan ekologi terlihat dengan banyaknya penjelasan mengenai kebudayaan yang terbentuk dari interaksi manusia dengan alam. Sebagai sebuah konsep, ekologi melingkupi dua subyek yaitu manusia dan lingkungannya. Namun sebagai sebuah bidang ilmu, ekologi mengilustrasikan hubungan yang terbentuk dari interaksi antara manusia dengan spesies lainnya. Bennet (dikutip dalam Adiwibowo 2007) mendefinisikan antropologi ekologi sebagai studi tentang bagaimana penggunaan sumberdaya alam oleh manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh organisasi sosial dan nilai budaya. Dalam antropologi ekologi terdapat dua perspektif pokok yaitu perspektif fungsionalisme ekologi dan perspektif environmentalisme atau yang sering disebut dengan perspektif action oriented. Perspektif fungsionalisme ekologi melihat perubahan sistem sebagai perubahan alamiah dalam proses mencari keseimbangan. Perspektif ini mengaitkan berbagai gejala dan komponenkomponen dalam sistem ekologi. Kelemahan mendasarnya adalah karena mengabaikan aspek historis dari perubahan sistem tersebut. Pendekatan yang tergolong dalam fungsionalisme ekologi yaitu pendekatan ekologi budaya, pendekatan
ekosistem
dan
pendekatan
sistem.
Sebaliknya,
perspektif
environmentalisme atau action oriented lemah dalam menjelaskan keterkaitan
14
antar komponen-komponen sistem ekologi, namun sangat kuat dalam menjelaskan aspek historis dan tindakan-tindakan individual yang menekankan pada proses. Kombinasi dua persektif ini seringkali dilakukan untuk menutupi kelemahan masing-masing pendekatan. Dalam menggambarkan sistem sosiokultur masyarakat pemburu dan menikam ikan di Lamalera, peneliti menggunakan perspektif fungsionalisme ekologi dengan pendekatan ekologi budaya. Heider mengemukakan bahwa ekologi kebudayaan pada intinya memahami hubungan antara masyarakat, subsistensi, dan lingkungannya (Lobja 2003: 26). Penekanan dalam ekologi kebudayaan adalah aktivitas subsistensi, dimana yang diperhatikan adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik, teknologi dan organisasi sosialnya. Secara lebih spesifik dalam memahami ekologi budaya, Satria (Adiwibowo 2007) mengutip karya Netting (1993) mengatakan bahwa ekologi budaya memfokuskan diri pada “particular circumstances of geography, demography, technology, and history that result in a splendid variety of cultural values, religion, kinship systems, and political structures in local environmental strategies”. Karakteristik pokok pada pendekatan ini adalah pandangan bahwa lingkungan alamiah memiliki keteraturan secara homeostatik dengan masyarakat sekitarnya. Sebelum ekologi budaya diuji sebagai sebuah pendekatan untuk menggambarkan interaksi manusia dengan lingkungan, beberapa pendekatan konseptual lain telah lebih dulu mengawali meskipun pada perkembangannya didiskreditkan oleh banyak ilmuan sosial (Rambo 1981: 1). Teori determinisme mengawali dengan cara pandang bahwa kebudayaan manusia adalah produk dari lingkungannya.
Dalam
tahapan
hubungan
manusia
dengan
lingkungan,
ditunjukkan bahwa seluruh aspek budaya, perilaku bahkan ‟nasib‟ manusia dipengaruhi, ditentukan, dan tunduk pada lingkungan (Susilo 2008: 30). Premis bahwa aspek budaya dan perilaku manusia semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan telah menyederhanakan keberagaman kebudayaan sebagai hasil pengaruh dari kondisi-kondisi lingkungan seperti iklim, sumberdaya alam, topografi dan kondisi geografis. Sekalipun beranjak dari premis tersebut, variasivariasi pada kebudayaan dianggap sebagai akibat dari kebetulan saja (Geertz
15
1983: 2). Teori ini dipandang sebagai permulaan yang salah yang memperlambat perkembangan teori-teori ekologi budaya selanjutnya. Berbeda dengan determinisme yang meletakkan lingkungan sebagai penyebab langsung (direct causes), teori posibilisme berkeyakinan bahwa lingkungan memiliki sifat yang relatif. Artinya, pada saat tertentu lingkungan berperan penting dalam menjelaskan kecocokan dengan budaya tertentu, tetapi pada sisi lain lingkungan tidak cocok dengan budaya tertentu tersebut. Dengan kata lain, kondisi lingkungan yang sama tidak menjamin akan munculnya budaya yang sama (Susilo 2008: 44). Faktor-faktor spesifik pada lingkungan dilihat sebagai pembatas atau penyeleksi. Kelompok posibilisme lingkungan mengenali keterbatasan pada lingkungan sama baiknya dengan peluang yang mungkin direalisasikan dengan penemuan-penemuan mekanis, peralatan dan keahlian yang dapat meningkatkan kemampuan manusia untuk mendapatkan tujuan-tujuannya dan keluar dari keterbatasan lingkungan. Forde mengatakan diantara lingkungan fisik dan aktivitas manusia selalu ada penengah, yaitu sekumpulan tujuan spesifik dan nilai-nilai, pengetahuan dan kepercayaan yang dalam bahasa lain disebut dengan pola kebudayaan (Netting 1986: 4). Sama halnya dengan determinisme lingkungan, posibilisme mulai ditinggalkan karena gagal menjelaskan mengapa kondisi alam yang sama tidak menciptakan pola kebudayaan yang relatif sama pula. Kegagalan kedua teori diatas, membuat banyak antropolog meninggalkan kajian mengenai interaksi antara manusia dengan lingkungan dan kembali memusatkan perhatian pada studi mengenai struktur internal dan fungsi sistem sosial dan budaya. Baru pada tahun 1950an kajian mengenai hubungan manusia dengan lingkungan muncul kembali dibawah pengaruh konsep Steward dengan teori ekologi budaya. Steward sendiri pernah menjadi murid A.L.Kroeber seorang penganut posibilisme dan dididik dalam pemikiran difusionisme. Konsep ekologi budaya merupakan hasil dari penelitian lapangan yang dilakukannya. Konsep ini telah menyanggah pandangan difusionisme dengan mengatakan bahwa adaptasi terhadap lingkungan juga memiliki peran yang sama signifikannya dengan difusi dalam membentuk pola kebudayaan.
16
Adaptasi lingkungan merupakan kata kunci yang menjadi dasar landasan teori ekologi budaya. Steward mendefinisikan ekologi budaya sebagai studi mengenai proses-proses adaptasi dimana masyarakat dan beberapa unsur dalam kebudayaan manusia dipengaruhi oleh penyesuaian diri yang mendasar atas upaya manusia memanfaatkan lingkungan (Netting 1986: 6). Kultur dilihat sebagai kesatuan yang mempunyai ciri-ciri berlainan yang ditemukan diberbagai lingkungan ekologis. Kultur mendapat bentuk yang berbeda karena beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berbeda (Sztompka 2007: 135). Konsep adaptasi sendiri telah menjadi perdebatan dalam kajian sosial karena secara inheren, konsep ini sangat fungsionalis. Cara Steward mengembangkan teori ekologi budaya merujuk pada pemahaman konsep fungsionalis adaptasi. Konsep ini bisa dipakaikan dalam melihat asal-usul sistem sosiokultur. Adaptasi lingkungan juga menjadi dasar penjelasan yang digunakan Steward untuk memberikan jawaban atas kritik yang disampaikan terhadap teori evolusi unilinear yang mengemukakan bahwa evolusi sosial berlaku secara menyeluruh. Evolusi unilinear berpendapat bahwa ada satu proses evolusi yang melalui tingkat-tingkat yang seragam dan harus dilalui semua bangsa di dunia secara mutlak. Pendekatan yang didominasi oleh pemikiran Spencer, Tylor, dan Morgan secara umum mengatakan (a) bahwa semua perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan atau masyarakat-masyarakat khusus berarti kemajuan, (b) bahwa semua masyarakat dalam derap majunya melalui tingkat-tingkat yang sama, dan karena itu (c) masyarakat di dunia sekarang yang paling sedikit kemajuannya dapat dibandingkan dengan tahap-tahap yang telah dilalui oleh masyarakat yang lebih maju. 12 Asumsi-asumsi
kaku
yang
dikembangkan
evolusi
klasik
mulai
ditinggalkan. Neoevolusionisme mengembangkan pandangan baru evolusi dari kritik yang disampaikan terhadap teori tersebut. Dalam kajian antropologi sosial kemudian muncul dua pendekatan baru evolusi yaitu evolusi universal dan evolusi multilinear. Yang terakhir merupakan gagasan teori ekologi budaya Steward. 12
W.F. Wertheim. Gelombang Pasang Emansipasi ‘Evolusi dan Revolusi’ yang Diperbaharui (1976) hal.9. Sztompka dalam Sosiologi Perubahan Sosial (2007) menyimpulkan asumsi-asumsi umum yang dikembangkan teori evolusi klasik beserta kritik-kritik yang disampaikan. Sementara pentahapan masyarakat dikembangkan oleh Morgan (Bohannan and Glazer 1988, Sztompka 2007, Steward 1955, Koentjaraningrat 2007.
17
Evolusi universal melihat peristiwa-peristiwa perubahan besar dalam sejarah kebudayaan manusia pada umumnya bersifat universal. Pendekatan ini merupakan warisan dari pemikiran evolusionisme unilinear terutama pemikiran Morgan. Evolusi universal terutama yang dikembangkan oleh Leslie White dan V. Gordon Childe
berusaha
mempertahankan
konsep
tahapan
kebudayaan
dengan
menghubungkan tahapan-tahapan tersebut dengan kebudayaan manusia secara keseluruhan (Steward 1955: 16). Semua bagian dalam kebudayaan saling berhubungan akan tetapi peran utama dimainkan oleh sistem teknologi (Sztompka 2007: 135).
2.1.1 Pendekatan Evolusi Multilinear sebagai Landasan Bagi Teori Ekologi Budaya Berbeda dengan evolusi unilinear dan universal, evolusi multilinear secara umum memandang evolusi sebagai suatu gejala yang hanya mempunyai pertalian dengan suatu kebudayaan tertentu, atau setidak-tidaknya pada suatu tipe kebudayaan tertentu (Wertheim 2007: 16). Tidak semua unsur kebudayaan mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur-unsur kebudayaan yang berkembang sejajar di dunia, dan ada pula yang tidak. Proses-proses evolusi kebudayaan tergantung dari lingkungan-lingkungan ekologi tertentu, ada unsurunsur dalam kebudayaan-kebudayaan yang berevolusi seragam, sehingga proses evolusi ini disebut multilinear (Koentjaraningrat 1990: 116). Evolusi meliputi semua kesatuan kultur konkret. Setiap kultur atau setiap aspek kultur tertentu berkembang secara berbeda dan mengikuti mekanisme sendiri. Karena itu evolusi harus dianggap bersifat multilinear menurut dua arti. Pertama, dari sudut antarmasyarakat: evolusi di berbagai masyarakat mengikuti jalan yang berbeda karena menghadapi kondisi yang berbeda. Kedua, dari sudut masyarakat tertentu: evolusi berbagai bidang kehidupan sosial (kultur, ekonomi, politik, dan sebagainya) mengikuti jalan dan mekanisme yang berbeda. Penyebab perubahan evolusioner bermacam-macam, namun ada beberapa faktor mendasar yang lebih umum. Faktor tekno-ekonomi berperan strategis dalam setiap masyarakat (Sztompka 2007:136).
18
Multilinear evolution yaitu proses-proses perkembangan yang berjalan lambat dari kebudayaan-kebudayaan yang berlainan dan yang hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, tetapi yang secara garis besar menunjukkan persamaan dalam proses-proses evolusi kebudayaan manusia dalam unsur-unsur primernya, tetapi menunjukkan perbedaan besar dalam unsur-unsur sekundernya (Koentjaraningrat 1990: 130). Tujuan utama teori evolusi ini justru untuk memberi penjelasan mengenai gejala keaneka-ragaman kebudayaan evolusi setiap kebudayaan khusus dari tipe kebudayaan dijelaskan dalam artian peningkatan penyesuaian suatu kebudayaan pada lingkungan alamnya (Wertheim 2007: 16). Perhatian utama kelompok ilmuan multilinear ditujukan pada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat khusus. Dalam pandangan yang menyeluruh, semua aspek kebudayaan secara fungsional saling tergantung. Derajat ketergantungan antara semua aspek tidak sama satu dengan lainnya. Dalam hal ini, Steward mengembangkan konsep inti budaya, yaitu serangkaian unsur-unsur yang berkaitan erat dengan aktivitas subsistensi dan pengelolaan ekonomi. Inti budaya melingkupi pola-pola politik, sosial dan keagamaan yang ditentukan secara empiris memiliki hubungan yang dekat dengan pengelolaan ekonomi. Unsur-unsur kebudayaan lain lebih beragam sifatnya karena tidak begitu erat terikat dengan inti. Unsur-unsur yang sekunder itu agak banyak ditetapkan oleh faktor-faktor kultural historis – dengan inovasi secara acak atau dengan difusi – unsur-unsur ini memberikan perbedaan wajah berbagai kebudayaan yang berinti sama. Berdasarkan analisis empiris telah dibuktikan bahwa unsur-unsur yang paling erat hubungannya dengan pemanfaatan lingkungan menurut cara-cara kebudayaan merupakan pusat perhatian ekologi kebudayaan (Steward 1955: 37). Koentjaraningrat (1997: 2) menjelaskan konsep kebudayaan dengan memecahnya menjadi unsur-unsur kebudayaan universal yang pasti bisa ditemukan disemua kebudayaan di dunia mulai dari masyarakat kecil di daerah terpencil sampai ke masyarakat perkotaan yang besar dan komplek. Unsur-unsur universal itu, yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah: 1) sistem religi dan upacara keagamaan, 2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, 3) sistem pengetahuan, 4) bahasa, 5) kesenian, 6)
19
sistem mata pencarian hidup, 7) sistem teknologi dan peralatan. Urutan susunan unsur kebudayaan tersebut dibuat berdasarkan tingkat kesulitannya berubah karena pengaruh kebudayaan lain, walaupun tidak berlaku mutlak. Merujuk pada uraian Koentjaraningrat mengenai konsep inti kebudayaan ini maka yang termasuk pada kategori inti kebudayaan adalah unsur-unsur kebudayaan primer seperti unsur politik, sosial dan keagamaan. Ekologi budaya memberikan perhatian utama untuk unsur-unsur tersebut yang dalam analisis empiris menunjukkan keterlibatan yang paling dekat dengan pemanfaatan lingkungan dengan cara-cara budaya yang ditentukan (Steward 1955: 37). Adaptasi memiliki peran penting untuk melihat proses perkembangan kebudayaan yang sangat beragam. Dari variasi perkembangan sistem sosiokultur yang banyak, tampak beberapa proses perkembangan yang sejajar. Kesejajaran ini terutama tampak dalam beberapa unsur kebudayaan yang universal atau unsur primer, seperti sistem mata pencaharian hidup, organisasi sosial, dan sistem religi. Unsur-unsur kebudayaan lain yang tidak primer, seperti teknologi sistem pengetahuan dan kesenian, tidak akan menampakkan evolusi sejajar dalam berbagai kebudayaan (Koentjaraningrat 1990: 125) Sebagai penggagas pendekatan ekologi budaya, Steward memfokuskan perhatiannya terhadap adaptasi kebudayaan pada kondisi lingkungan yang spesifik. Teori kultural ekologi, dikembangkannya dari penelitian yang dilakukannya pada masyarakat berburu dan meramu Shoshone, di Amerika Utara. Dalam penelitian tersebut Steward menemukan bahwa adaptasi ekologi telah memainkan peranan signifikan pada susunan kebudayaan masyarakat Shoshone. Steward juga menjelaskan kehadiran sejumlah aspek struktural dari kebudayaan Shoshone dalam terminologi sumberdaya yang ada untuk mendukung kehidupan habitat semi gurun yang sangat miskin. Rambo (1981) menyimpulkan bahwa pada etnografi terbaik Steward yang pernah dipublikasikan tersebut, tingkat kepadatan penduduk yang rendah, angka pengusiran populasi yang tinggi, organisasi keluarga kecil yang dipadu dengan pola-pola tempat tinggal yang fleksibel, kekurangan daerah pemukiman, serta kekurangan pemimpin yang kuat, semua faktor tersebut merefleksikan ketidakmampuan teknologi masyarakat
Shostone
yang sederhana untuk
20
mengambil persediaan makanan yang besar dan stabil dari sumberdaya yang sangat tipis tersebar dan sporadis dari lingkungan mereka yang kering dan gersang. Dalam pandangan Steward, tidak semua aspek dari budaya Shoshone dapat dijelaskan dalam terminologi ekologi – banyak dari ciri-ciri pembawaan mereka yang ditunjukkan sebagai hasil dari penyebaran kebudayaan yang sederhana dan secara kebetulan, tetapi hal itu hanya pada beberapa elemen, yang ia beri nama sebagai inti budaya. Rambo mengatakan, secara khusus Steward menentukan bahwa teknologi, ekonomi, populasi dan organisasi sosial sepertinya adalah bagian dari inti kebudayaan. Untuk menjelaskan unsur-unsur “inti kebudayaan”, Steward menguraikan bahwa kesalingterhubungan aspek-aspek kebudayaan pada masyarakat tidak sama tingkat dan macamnya. Untuk itu perlu mengisolasi aspek-aspek tertentu dari kebudayaan, dimana hubungan aspek kebudayaan tersebut dengan lingkungannya secara fungsional terlihat sangat eksplisit. Biasanya aspek itu bersifat peripheral, di pinggiran inti kebudayaan seperti aspek tekno-ekonomi. Hubungan pola-pola kebudayaan dengan organisme lingkungan hidup sangat kentara. Bila inti kebudayaan itu meliputi pola-pola sosial, politik dan agama yang secara empiris mempunyai hubungan erat dengan penyusun-penyusunnya, maka ekologi kebudayaan memusatkan perhatian pertama-tama pada unsur-unsur yang dari analisis empiris telah terbukti paling erat bersangkutan dengan pemanfaatan lingkungan menurut cara-cara yang dipastikan secara kebudayaan (Laksono 2000). Dalam bukunya „Evolution and Ecology‟ (1977), Steward mengatakan bahwa lingkungan itu sangat ditentukan oleh bagaimana organisasi produksi masyarakat dilaksanakan. Artinya, bahwa tindakan sosial ekonomi masyarakat terhadap sumberdaya alam sangat ditentukan oleh bagaimana pola-pola konsumsi dan kebutuhan akan barang dan jasa oleh masyarakat tersebut (Lobja 2003). Dalam hal ini Steward cenderung untuk memberikan penekanan terhadap hubungan antara teknologi dan lingkungan dalam model ekologi kebudayaannya. Penelitian ini mengacu pada pemikiran Steward yang dipandang sebagai ilmuan sosial pertama yang memulai kajian yang mengaitkan antara manusia dengan alam. Dalam buku Theory of Cultural Change (1955), Steward
21
mengembangkan perspektif ekologi budaya dengan memberikan penekanan pada teknologi. Sifat inti budaya akan ditentukan oleh teknologi dan pengelolaan sistem ekonomi produksi. Adapun metode yang dikembangkan dari teori ekologi budaya ini mencakup tiga aspek atau prosedur dasar untuk dianalisa. Pertama, menganalisa hubungan antara teknologi produksi atau teknologi eksploitasi dengan lingkungan. Teknologi eksploitasi mencakup budaya material dalam suatu masyarakat. Tidak semua budaya material sama pentingnya. Dalam masyarakat primitif, peralatan-peralatan subsistensi menjadi hal yang mendasar seperti senjata serta peralatan berburu dan memancing, alat penampung hasil tangkapan, serta peralatan transportasi yang digunakan di darat dan di laut. Sementara itu bagi masyarakat yang lebih berkembang, pertanian, teknik peternakan dan bangunan menjadi hal yang utama. Lain halnya, bagi masyarakat industri dimana modal, pengelolaan kredit dan teknik perdagangan merupakan hal mendasar. Menurut Steward, masyarakat yang sederhana lebih terkondisikan oleh lingkungan dari pada masyarakat yang lebih maju. Kondisi lingkungan tergantung pada kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan yang relatif sederhana akan lebih terkondisikan oleh lingkungan dari pada kebudayaan yang lebih maju. Secara umum iklim, topografi, tanah, hydrografi, tutupan vegetasi, dan fauna adalah krusial, tetapi beberapa kondisi lingkungan mungkin lebih penting mempengaruhi kebudayaan dari pada lainnya. Kedua, menganalisa pola perilaku manusia dalam mengekploitasi lingkungannya dengan teknologi tertentu. Beberapa pola subsisten menentukan batasan yang sangat sempit pada moda kehidupan sementara yang lain memberikan ruang yang lebih leluasa. Sementara penggunaan teknik tidak semata tergantung pada sejarah budaya (penemuan perangkat teknologi dan difusi) yang membuat metode itu memungkinkan tetapi juga ditentukan oleh lingkungan, hewan dan tumbuhannya. Pola ekploitasi ini tidak hanya tertuju pada kegiatan memproduksi makanan dan peralatan secara langsung tetapi termasuk juga didalamnya
fasilitas
yang
digunakan
oleh
masyarakat
tersebut
untuk
mendistribusikan makanan dan sumberdaya. Dua prosedur sebelumnya dilakukan dengan tujuan untuk memahami hubungan teknik-teknik produksi elemen-elemen kebudayaan lainnya. Pola
22
perilaku dalam pemanfaatan sumberdaya mempengaruhi aspek-aspek kebudayaan lain. Dari metode yang dikembangkan ini terlihat jelas bahwa Steward memberikan penekanannya terhadap aktivitas produksi yang mempengaruhi sebuah kebudayaan sebagai sebuah masalah empiris.
2.1.2 Penerapan dan Pengembangan Teori Ekologi Budaya serta Beberapa Kritik Hanya ada satu cara untuk menjelaskan apa yang disebut dengan ekologi budaya yaitu dengan memperlihatkan apa yang telah dilakukan (Netting 1986: 8). Sejak dirumuskan oleh Steward, teori ekologi budaya telah banyak diterapkan untuk mengenali interaksi antara manusia dan lingkungan serta berkembang melalui kondisi empiris penelitian lapangan yang terus dilakukan. Teori ini tidak lagi berkembang di kalangan antropolog tapi juga dalam studi geografi manusia dan studi ekologi manusia secara umum. Di Indonesia, penelitian yang mengaplikasikan konsep ekologi budaya Steward pernah dilakukan oleh Clifford Geertz. Pada penelitiannya dikatakan bahwa cara analisis ekologi budaya lebih memusatkan perhatian terhadap sifatsifat perembesan dari suatu sistem atas sistem lain (struktur sistem, keseimbangan sistem, perubahan sistem) dari pada terhadap hubungan pokok demi pokok antara pasangan-pasangan berbagai variable kebudayaan dengan alam. Menurut Geertz pertanyaan pokok yang hendak dijawab dengan menggunakan analisis ekologi budaya berbunyi: “Apakah kondisi habitat itu (sedikit banyak atau sepenuhnya) menimbulkan kebudayaan ataukah kondisi itu hanya membatasinya saja” (Geerlz 1983: 10). Dengan menggunakan pendekatan ekologi budaya, Geertz menjelaskan perbedaan-perbedaan antara Indonesia dalam (Jawa) dan Indonesia luar (pulaupulau di luar Jawa). Geertz menyimpulkan bahwa perbedaan kepadatan penduduk, cara penggunaan tanah dan produktifitas pertanian merefleksikan perbedaan penyesuaian pola pertanian yang dilakukan di dua daerah tersebut. Perbedaan pola agrikultur
terjadi
karena
ada
perbedaan-perbedaan
yang
berarti
pada
lingkungannya. Pertanian Jawa didominasi oleh sawah beririgasi sementara berladang banyak dilakukan di luar Jawa. Menurut Geertz dua sistem pertanian
23
yang diterapkan di kondisi ekosistem yang berbeda inilah yang bisa memberikan penjelasan mengenai distribusi penduduk yang tidak merata di Indonesia, serta keruwetan sosial dan kebudayaan yang tidak terhindarkan sebagai akibat distribusi yang demikian itu. Konsep Steward mengenai ekologi kebudayaan telah terbukti menjadi strategi yang sangat efektif bagi penelitian ekologi manusia, karena menawarkan pengertian baru tentang bagaimana masyarakat tradisional beradaptasi secara efektif dengan lingkungan mereka. Kelemahan konsep Steward adalah kesulitan teori ini untuk digunakan pada masyarakat modern yang komplek dalam jumlah populasi yang besar dan mengalami perubahan yang cepat. Kelemahan lain adalah teori ini mengabaikan kenyataan yang teramat penting dalam sejarah umat manusia, yaitu pertumbuhan berkelanjutan pengetahuan manusia dan perbaikan yang berkelanjutan pula teknik manusia, maupun bentuk-bentuk organisasi untuk mengendalikan kehidupan ekonomi kita (Wertheim 1976: 17). Geertz
juga
memberikan
catatan
bahwa
proses
ekologis
yang
mempengaruhi pertumbuhan kebudayaan dan masyarakat Indonesia di masa lampau, dan keadaannya dewasa ini adalah sesuatu yang harus ditentukan pada akhir penelitian, bukan pada awal penelitian. Oleh karena perkembangan politik, pelapisan masyarakat, perdagangan, dan intelektual kelihatannya merupakan proses penata atau penertib yang penting dalam sejarah Indonesia, maka ternyata perkembangan ekologis itu tidak seberapa penting. Menurut Anthony Smith lebih besarnya keragaman kebudayaan antaramasyarakat dibanding dengan keragaman kondisi lingkungan alam menunjukkan bahwa kelebihan keberagaman kebudayaan itu tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada mekanisme adaptasi tetapi harus mengacu pada mekanisme perkembangan otonom di dalam budaya yang bersangkutan. Selain itu, kekuatan yang ditentukan oleh faktor ekologi atau tekno-ekonomi tergantung pada fase evolusi: di fase awal ia sangat kuat sedangkan di fase yang berikutnya faktor politik atau ideologi jauh lebih menentukan. Bentuk pemerintahan, agama dan seni mungkin mendapat peran makin otonom. Makin berkembang masyarakat membuat faktor lingkungan makin membatasi variasi dan perubahan kultural ketimbang mendorong unit-unitnya ke arah perubahan (Sztompka 2007: 137).
24
Kelemahan ini juga terlihat dengan dikembangkannya pendekatan lain oleh Marvin Harris dengan asumsi bahwa teknologi yang diciptakan dalam adaptasi terhadap lingkungan merupakan penggerak utama evolusi kebudayaan. Harris berpendapat bahwa semua aspek kebudayaan ditentukan oleh hubungan antara teknologi dengan lingkungan. Pemikiran Harris ini dikenal dengan Cultural Materialisme yang dikembangkan dengan mengusut akar pemikiran ilmuan sosial di abad 19 yaitu Karl Marx dan pemikiran Steward sendiri. Prinsip yang mengarahkan pengembangan teori dan strategi cultural materialism yang dikembang Harris berangkat dari pandangan Marx bahwa moda produksi dalam kehidupan material menentukan karakter umum pada proses sosial, politik dan spiritual di kehidupan. Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, melainkan eksistensi sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka. Harris tidak mencoba untuk menjelaskan bagaimana kultur itu disusun sebagaimana digagas oleh Steward. Harris lebih tertarik untuk menggali dan menemukan jawaban untuk pertanyaan seperti “why don’t Indians eat cows?” (Bohannan dan Glazer 1988: 378). Dia lebih cenderung untuk menguraikan perkembangan sebuah budaya khusus yang ada dalam sebuah masyarakat dengan menggunakan pendekatan etik dan aplikasi kultural materialisme.
2.2 Pendekatan Materialisme Pada Perubahan Sosial Ekologi budaya memberikan perhatian pada adaptasi ekologi untuk memahami sistem sosiokultur. Teori ini melihat proses evolusi itu pada hakikatnya berarti suatu penyesuaian yang terus semakin disempurnakan pada lingkungan fisik. Steward memandang setiap wilayah kebudayaan geografis sebagai suatu kesatuan tersendiri dan mencoba menjelaskan perubahan kultural dengan menunjukkan bahwa perubahan itu adalah hasil dari penyesuaian secara bertahap suatu kebudayaan pada lingkungan alamiahnya. Setiap kebudayaan menurut pendapat ini mencari suatu keseimbangan yang serasi dengan alam yang mengelilinginya (Wertheim 1976: 42). Sifat fungsionalis teori ini dilihat sebagai titik kelemahan yang mengundang banyak kritik. Tetapi diakui telah memberikan sumbangan metodologis untuk memahami sistem sosiokultur suatu masyarakat pada permulaannya atau pada fase awal evolusi. Hal ini masih bisa dilacak dengan
25
mudah pada masyarakat tradisional. Perkembangan sistem sosiokultur tidak bisa dilihat semata pada perkembangan ekologis, karena banyak faktor lain perlu dipertimbangkan. Begitu pula halnya dalam perkembangan kebudayaan di Lamalera selanjutnya. Teori fungsionalis merupakan warisan pemikiran Durkheim. Mereka berasumsi bahwa kehidupan manusia dalam sistem sosiokultur, sama halnya semua sistem lain, memiliki bagian atau sub-sistem yang berfungsi untuk membuat keseluruhan sistem berfungsi. Fungsionalis mengenali institusi-institusi sosial sebagai struktur-struktur relevan yang membawa proses-proses fungsional. Lebih lanjut ditekankan bahwa sejalan dengan cara fungsionalisme dipahami pada tahun 1950an, sebuah hubungan yang berkelanjutan antara manusia dengan lingkungan biofisiknya bukan merupakan bagian dari proses fungsional ini. Alam hanya dilihat sebagai „sesuatu diluar‟ sebagai sebuah sumber untuk fungsi ekonomi (Harper 2004: 69). Penganut pendekatan fungsionalisme lainnya, Dunlap dan Catton berusaha memperbaiki pandangan ini dengan mengelaborasi tiga fungsi lingkungan bagi kehidupan manusia. Lingkungan biofisik berfungsi sebagai gudang persediaan untuk kebutuhan nafkah material manusia. Lingkungan berfungsi sebagai tempat pembuangan sampah dan polusi manusia. Sekaligus, lingkungan berfungsi sebagai ruang tinggal untuk semua aktivitas, dan semua penggunaan yang berlebihan dari fungsi-fungsi ini menghasilkan kesesakan, kemacetan dan kerusakan habitat bagi spesies lainnya. Penggunaan salah satu fungsi secara berlebihan akan mengganggu fungsi lainnya, dan secara luas akan menjadi disfungsi bagi kehidupan manusia. Moran (Haenn and Wilk 2006: 203) memiliki cara pandang yang sedikit berbeda dalam melihat fungsionalis Steward. Bagi Moran, Steward memandang institusi-institusi sosial memiliki kesatuan fungsi yang memberikan solusi untuk masalah subsistensi. Penggunaan pendekatan fungsionalisme oleh Steward dipusatkan pada pemakaian sebuah variabel dalam kaitannya dengan sekumpulan variabel yang terbatas., tidak dalam hubungan dengan keseluruhan sistem sosial, sehingga tidak terjatuh pada kelemahan arus fungsionalisme Inggris. Fungsionalis Inggris menekankan peran kelembagaan sosial untuk memelihara keseimbangan
26
kultural. Sementara Steward mengarahkan ekologi budaya pada bagaimana sebuah sistem tunggal berubah dan bagaimana hubungan kausalitas dalam sistem tersebut mampu membawa perubahan. Pendapat ini dipertegas oleh Geertz (1968: 7) dengan memaparkan perbedaan pokok antara ekologi budaya dengan pendekatan lainnya ialah bukan pada seluruh kehidupan manusia secara luas dan besar, melainkan dalam kecocokan menerapkan konsep dan asas ekologi itu pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial dan kebudayaan manusia. Geertz juga menegaskan perbedaan cara pandang ekologi budaya dengan antropologi holisme, karena pendapat Steward berbeda dengan anggapan bahwa segala aspek kebudayaan itu saling berhubungan secara fungsional. Bagi Steward tingkat dan macam hubungan aspek kebudayaan beranekaragam. Dia berusaha mengisolasi aspek-aspek tertentu dari kebudayaan yang sedang dianalisisnya. Ikatan fungsional dengan alam sekitarnya dari aspek-aspek ini tampak sangat eksplisit. Selain itu kesalingtergantungan antara pola-pola kebudayaan dan hubungan organisme lingkungan hidup tampak jelas dan sangat penting. Aspek-aspek kebudayaan yang lebih luas ini dinamai dengan inti kebudayaan. Analisis ekologis Steward hanya berlaku pada inti kebudayaan saja. Dalam pendekatan ekologi budaya, perubahan evolusioner besar hanya akan dapat dilihat bila terjadi perubahan inti tekno-ekonomi dan tipe kultur baru akan muncul. Setelah ribuan tahun, kultur dalam lingkungan yang berbeda-beda mengalami perubahan besar dan perubahan itu pada dasarnya merupakan penemuan cara adaptasi baru yang dikehendaki oleh teknologi dan tatanan produksi yang berubah (Sztompka 2007: 136). Merujuk pada uraian Stompka tersebut, dapat disimpulkan bahwa pergeseran teknologi pemanfaatan lingkungan akan menimbulkan perubahan pada unsur-unsur kebudayaan primer. Sebagaimana dijelaskan juga oleh Steward bahwa ketika inovasi teknologi meningkatkan kemampuan manusia untuk mengendalikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan, serta sejarah pola perilaku diperkenalkan, signifikansi lingkungan dan kebudayaan telah diubah dan proses adaptif tidak hanya menjadi lebih komplek tetapi juga memperoleh kualitas baru. Begitu pula ketika budaya menyediakan teknik yang lebih efisien untuk kelangsungan hidup, fakta-fakta
27
penting biologis manusia seperti jenis kelamin, usia, dan hubungan kekerabatan terus mempengaruhi sifat masyarakat tetapi berpola dalam berbagai cara oleh adaptasi ekologis budaya (Steward 1968). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, Steward mengemukakan tiga prosedur fundamental untuk mengaplikasikan ekologi budaya dalam berbagai kondisi budaya dan lingkungan. Ketiga prosedur tersebut cenderung menunjukkan bahwa Steward memiliki pemahaman yang dekat dengan dialektika marxian. Dengan cara pandang materialime, Steward meyakini bahwa tipe-tipe masyarakat tertentu sangat mungkin terbentuk di bawah kondisi teknologi dan lingkungan tertentu. Perhatian Steward tertuju pada proses teknologis dimana manusia mengeksploitasi lingkungan mereka, dan analisanya difokuskan pada bagaimana strategi subsistensi yang berbeda-beda menghasilkan struktur sosial yang berbeda juga (Aguilar 2000: 6). Lingkungan fisik mempunyai efek interaksi langsung hanya pada inti kebudayaan, dan berpengaruh tidak langsung dengan elemen lain dalam sistem kehidupan manusia (Harper 2004: 52). Harper mempertegas bahwa relasi tersebut merupakan dua arah yang interaktif dengan umpan balik atau cybernetic. Lingkungan biofisisk
Inti budaya, Infrastruktur material
Organisasi sosial Struktur sosial
Kultur simbolik, pandangan hidup, ideologi
Gambar 1. Teori Ekologi Manusia: Hubungan antara Lingkungan Biofisik dan Elemen Sistem Sosiokultur (Harper 2004: 52) Beberapa literatur mengatakan bahwa Steward terpengaruh dengan pemikiran Marx13, tetapi peneliti cenderung mengikuti cacatan lain yang mengatakan bahwa fokus Steward terhadap teknologi (dimaksud sebagai infrastruktur material) merupakan pengaruh dari pemikiran evolusi materialis (evolusi teknologi) Hendry L. 13
Morgan14. Steward mengkritisi evolusi linear
Mila D. Aguilar, 2000 dalam Paper Seminar Cultural Ecology and Neo-Evolutionary Thought. Lihat Political Ecology A Critical Introduction. Paul Robbins 2004:32. Pemikiran Morgan dalam bukunya Ancient Society juga diiktisar oleh Engels dalam tulisannya mengenai evolusi masyarakat manusia. Lihat Koentjaraningrat 2007: 46, Bohannan dan Glazer 1988: 31. Ada kemungkinan keduanya, baik Engels dan Marx serta Steward mendapatkan pengaruh dari pendekatan evolusi teknologi L.H. Morgan. 14
28
Morgan terutama uraiannya mengenai teori evolusi masyarakat dan kebudayaan yang melewati delapan tahapan tingkat evolusi. Tetapi cara pandang materialis terhadap evolusi Morgan telah mempengaruhinya. Kajian empiris yang meletakkan teknologi dalam melihat adaptasi masyarakat dan lingkungan merupakan pandangan yang berkembang dalam pendekatan materialisme. Pendekatan ini berusaha menjelaskan ciri-ciri dasar kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan kondisi praktis-material dari eksistensi manusia. Kondisikondisi ini meliputi sifat lingkungan fisik, tingkat teknologi dan sistem organisasi ekonomi. Bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah adaptasi terhadap lingkungan fisik, dan ini harus dilakukan dengan menciptakan teknologi dan sistem ekonomi. Sekali teknologi dan sistem ekonomi diciptakan, maka ia akan menentukan sifat pola-pola sosial lain yang dilahirkan masyarakat manusia. Jenis teknologi dan sistem ekonomi yang berbeda akan melahirkan jenis pola-pola sosial yang berbeda pula (Sanderson 2000: 7). Pengembangan pendekatan materialis muncul dalam karya Marx dan Engels mengenai konsepsi materialis tentang sejarah. Marx dan Engels membagi masyarakat manusia ke dalam dua komponen pokok yaitu infrastruktur (kekuatankekuatan produksi dan hubungan-hubungan produksi) dan suprastruktur (politik, hukum, kehidupan keluarga, agama serta gagasan). Baik infrastruktur dan suprastruktur, keduanya saling berkaitan. Arus utama hubungan kausalitasnya bergerak dari infrastruktur ke suprastruktur. Marx dan Engels percaya bahwa pola-pola pikiran dan tindakan manusia yang terdapat dalam suprastruktur masyarakat pada umumnya terbentuk dari ciri-ciri infrastruktur masyarakat tersebut. Mereka juga memandang bahwa perubahan sosial dalam suprastruktur terjadi karena adanya perubahan yang telah terjadi di dalam infrastruktur masyarakat. Inilah esensi materialisme mereka (Sanderson 2000: 8) Ada afinitas yang sama antara teori ekologi budaya dengan pendekatan materialisme Marx ini. Dalam sudut pandang Steward, efek hubungan langsung antara lingkungan biofisik dengan inti kebudayaan (mengacu pada infrastruktur material) dan secara tidak langsung mempengaruhi struktur sosial hingga ke pandangan hidup dengan pola hubungan timbal balik atau cybernetic (Gambar 1).
29
Materialis memandang variabel-variabel infrastruktur lebih utama karena ia membantu cara-cara dasar di mana manusia memecahkan problem kehidupannya yang paling dasar. Sanderson (2000: 60) mengatakan bahwa infrastruktur material berisi bahan-bahan baku dan bentuk-bentuk sosial dasar yang berkaitan dengan usaha manusia mempertahankan hidup dan berdaptasi dengan lingkungannya. Infrastruktur dibagi menjadi 4 sub unit dasar: 1. Teknologi yang terdiri dari informasi, peralatan dan teknik yang dengannya manusia beradaptasi dengan lingkungan fisiknya. 2. Sistem ekonomi yang teratur dimana barang dan jasa dihasilkan, didistibusikan dan dipertukarkan diantara para individu dan masyarakat. 3. Ekologi meliputi seluruh lingkungan fisik yang terhadapnya manusia harus beradaptasi. 4. Faktor demografis yang meliputi sifat dan dinamika penduduk manusia. Dalam perhatiannya terhadap teknologi produksi pada pusat ‟inti kebudayaan‟ Steward cukup dekat mengartikulasikan pendekatan materialis dalam kebudayaan, yang merupakan sebuah gagasan fundamental moda produksi Marxian. Afinitas kedua teori ini terletak pada pendekatan materialis yang digunakan untuk melihat perkembangan masyarakat15. Perbedaan pendekatan Steward dan Marxian terdapat pada cara Steward memfokuskan keterhubungan antara teknologi, lingkungan dan masyarakat, sebagaimana secara spesifik menjadi uraian pada tiga prosedur dasar metodologi ekologi budaya yang dikembangkannya. Steward tidak melihat sebagaimana karateristik Marxis melihat konflik sebagai penggerak evolusi.
2.2.1. Perubahan Sosial hingga Dikotomi pada Sistem Sosiokultur Sebuah catatan dari tulisan Barnes, Sea Hunters of Indonesia (1996) yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah mengenai dikotomi pada sistem sosial di Lamalera. Barnes mengatakan bahwa dari sudut pandang kategorikategori antropologis, Lamalera bisa digambarkan memiliki sebentuk sistem ekonomi campuran yang terbagi atas ekonomi subsisten dan ekonomi pasar, 15
Dengan mengelaborasi dua akar teori Steward dan Marxian serta pemikiran White, telah menyebabkan munculnya sudut pandang cultural materialism. Lihat Marvin Harris. Culture, People, Nature. An Introduction to General Anthropology (1993).
30
walaupun batasan antara kedua sistem tersebut dapat ditembus. Bisa juga dikatakan mengalami dualisme ekonomi internal terhadap perekonomiannya sendiri. Kategori apapun yang diterapkan ke Lamalera, satu sisi kehidupan di desa ini sangat signifikan menunjukkan jati diri masyarakat sehingga seringkali disayangkan bila digantikan oleh pola-pola pekerjaan yang sesuai dengan perekonomian nasional atau internasional. Tekanan-tekanan serupa ini mungkin juga akan ditemukan pada semua sisi kehidupan masyarakat Lamalera, termasuk dalam kehidupan agama, keluarga, ekonomi dan politik (Barnes 1996: 5). Kondisi dikotomi yang digambarkan oleh Barnes mengenai kehidupan masyarakat Lefo Lamalera juga merupakan gambaran desa-desa di Indonesia secara umum. Jauh pada masa kolonial, J. H. Boeke seorang ahli antropologi ekonomi telah mengemukakan konsep dualisme dalam sistem sosial di masyarakat16. Boeke (Sajogjo 1982: 1) mengatakan, apabila dalam waktu yang sama terdapat dua atau lebih sistem sosial, dan masing-masing sistem sosial ini jelas berbeda satu sama lain dan masing-masing menguasai bagian tertentu dari masyarakat yang bersangkutan, disitu kita berhadapan dengan masyarakat ganda (dual) atau jamak (plural society). Penekanan konsep dualisme Boeke diletakkan pada aspek ekonomi, untuk menggambarkan kondisi perekonomian di Indonesia dengan dua sistem ekonomi yang berjalan sekaligus yaitu sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi tradisional. Dualisme akan muncul pada masa-masa peralihan seperti pada masa pra-kapitalisme atau kapitalisme awal (early capitalism). Dalam masyarakat ganda, biasanya salah satu sistem sosial (yang termaju) merupakan sistem sosial yang diimpor dari luar dan hidup dalam lingkungan yang baru tanpa berhasil menyingkirkan atau menyerap sistem sosial lain yang telah lama hidup disitu. Menurut Boeke sifat sosial ganda adalah pertarungan antara sistem sosial impor dari luar lawan sistem sosial asli yang bergaya tersendiri. Sistem sosial impor biasanya merupakan sistem kapitalisme tinggi. Teori ekonomi ganda yang dimaksudkan Boeke adalah adalah tiga teori ekonomi yang menjadi satu, terdiri dari 1) teori ekonomi masyarakat pra-kapitalis, biasanya disebut ilmu ekonomi 16
Pandangan ini banyak mendapat kritik terutama dalam pandangannya yang terlalu menekanan perbedaan antara tata sosial kapitalis dan pra-kapitalis, antara motif ekonomi modern barat dan pribumi.
31
promitif, 2) teori ekonomi masyarakat kapitalis atau sosialis, biasanya disebut teori ekonomi umum atau ringkasnya teori ekonomi sosial dan, 3) teori ekonomi dari hubungan antara dua sistem sosial yang berbeda dalam satu lingkungan masyarakat (Sajogjo 1982: 3). Boeke mencoba menggambarkan sifat ganda dalam beberapa ungkapan seperti timur-barat (eastern-western), kota-desa (town-village), asli-asing (nativeforeign) ataupun dengan ungkapan ekonomi tanah jajahan (colonial economy) dan ekonomi daerah berilim panas (tropical economy). Tetapi ungkapan yang dipandang meyakinkan untuk menyampaikan gagasannya adalah kata kapitalis dan bukan kapitalis atau pra-kapitalis. Boeke mempertegas penggunaan kapitalis dalam arti materialis. Kapitalisme adalah pandangan hidup. Menurut Boeke ekonomi pra-kapitalis dicirikan dengan ikatan komunal (communalism); ikatan sosial organik yang asli; Gemeinschaft; pembagian masyarakat atas kelas-kelas tradisional; kebutuhan, paling tidak kebutuhan rakyat banyak, yang terbatas dan sederhana; jual beli tidak ada atau sedikit sekali; yang diproduksi adalah barang pemuas kebutuhan bukan barang dagang; produksi dilakukan dalam dan untuk keperluan rumah tangga; kalau ada produksi untuk pasar, tidak ada pembedaan tajam antara kegiatan usaha dan rumah tangga; tidak ada orang yang pekerjaannya khusus berdagang; keluarga atau keluarga besar dalam produksi dan konsumsi adalah satuan dasar; orang mungkin bekerja bersama-sama, tetapi pembagian kerja sedikit; organisasi ekonomi hampir tidak ada; dan akhirnya, dorongan ekonomi dan bukan-ekonomi campur aduk, ekonomi menduduki tempat lebih rendah, tunduk pada ketentuan agama, tata susila dan tradisi (Sajogjo 1982:12). Sementara kapitalisme terwujud dalam rasionalitas; berkecenderungan memiliki kepentingan pribadi; tingkat kebutuhan yang terus bertambah tanpa batas; jual beli; kegiatan industri dengan modal sebagai landasan dan laba sebagai tujuan; perbedaan tajam antara kegiatan usaha dan rumah tangga; semua hasil produksi untuk diperdagangkan; pembagian kerja; organisasi dan perencanaan; kontrak dan dalam bentuk perusahaan. Kapitalisme tumbuh berangsur-angsur dari kapitalisme awal hingga kapitalisme akhir. Perkembangan keduanya sangat bergantung pada kapitalisme barat yang berkembang penuh. Pada puncak
32
perkembangannya kapitalisme tinggi memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: penggunaan mesin di bidang industri dan angkutan sangat maju; perusahaan tersusun rapi dan terpusat; produksi besar-besaran (Sajogjo 1982:11). Meskipun memberikan penekanan terhadap aspek ekonomi, akan tetapi Boeke menyadari bahwa pertarungan antara dua tahap sosial itu sebenarnya adalah gejala kejiwaan, yang tercermin juga dalam segi-segi kehidupan lain yaitu dalam bidang perundang-undangan dan pemerintahan, hukum dan peradilan, organisasi sosial, dan juga dalam pandangan manusia mengenai kebutuhannya, penilaian terhadap peristiwa-peristiwa, dalam kerja, agama dan tata susila (Sajogjo 1982: 13). Pada penelitian ini, dikotomi masyarakat serta dualisme sistem ekonomi menjadi perhatian terutama dalam melihat proses adaptasi terhadap lingkungan. Sistem sosiokultur asli di Lefo Lamalera lahir atas adaptasi terhadap lingkungan biofisik Laut Sawu melalui proses migrasi dan sosialisasi yang panjang dengan masyarakat gunung di daratan Lembata. Sementara itu sistem baru muncul melalui introduksi teknologi. Masih dalam kerangka adaptasi terhadap kondisi ekologis, cara-cara yang lebih efektif dalam mengeksploitasi sumberdaya dilakukan dengan menggunakan teknologi baru sehingga akhirnya mempengaruhi elemen-elemen sosiokultur lain serta melahirkan sistem pengelolaan ekonomi yang berbeda dari bentuk awal yang dibangun di sejarah masyarakat Lamalera.
2.3. Teori Diskursus Diskursus diartikan sebagai cara untuk mengkomunikasikan gagasangagasan. Michel Foucault, pemikir Perancis, menggunakan terminologi ini sebagai dasar teorinya mengenai kekuasaan dan struktur sosial. Bagi Foucoult kekuasaan dan pengetahuan tidak hanya terkait erat, tetapi juga tidak terpisahkan. Bukan hanya tentang kekuasaan pengetahuan tetapi juga mengenai kekuasaan yang mengontrol pengetahuan (Slattery 2003: 208). Dalam pandangannya, siapapun yang memiliki kekuasaan mempunyai kapasitas untuk medefinisikan dan mengontrol pengetahuan dalam wilayah kekuasaannya. Foucault mengembangkan ide bahwa pengetahuan berperan penting menciptakan kebebasan. Bahkan pengetahuan dianggap sebagai basis yang
33
berfungsi sebagai alat baru untuk kontrol sosial (Jary and Jary 1991: 236). Menurut Adger (2001) diskursus merupakan pemaknaan terhadap sebuah fenomena oleh kelompok-kelompok baik besar maupun kecil di tingkat lokal sampai global. Para aktor terlibat dalam derajat yang berbeda-beda dalam memproduksi atau mereproduksi dan memformulasi diskursus melalui tulisan maupun pernyataan lisan. Sebuah diskursus bisa menghegemoni ketika dominasi pemikirannya diterjemahkan dalam kebijakan institusional.
2.3.1. Diskursus Konservasi Lingkungan Dalam menganalisa isu-isu lingkungan, Adger membagi menjadi dua diskursus yaitu diskursus manajemen lingkungan global (Global Environmental Management–GEM) yang merupakan representasi dari pandangan atau paradigma teknosentris dengan cetak biru yang didasarkan kepada intervensi kebijakan eksternal yang dianggap dapat menyelesaikan dilema lingkungan global dan diskursus populis yang menggambarkan aktor-aktor lokal sebagai korban dari intervensi eksternal yang mengakibatkan degradasi lingkungan dan eksploitasi. Diskursus manajemen lingkungan global mendominasi banyak kebijakan lingkungan. Solusi yang ditawarkan oleh diskursus ini dalam mengatasi krisis lingkungan adalah solusi-solusi yang bersifat global, top-down, intervensionis dan teknosentris. Karena solusi yang diberikan berada di tingkat global, oleh karena itu tindakan-tindakan yang bersifat internasional dipandang perlu. Tindakan ini harus berkoordinasi dengan lembaga-lembaga multi-lateral dan kerangka regulasi. Meskipun pelaksanaan diskursus manajemen global terletak pada peran negara, namun secara esensial solusi yang dijalankan berorientasi pada pasar. Berbeda dengan sebelumnya, diskursus populis lebih memberikan perhatian terhadap pengaruh negatif dalam skala lokal atas campur tangan aktor-aktor luar seperti konservasi dan penggunaan sumberdaya alam. Relasi ekonomi internasional termasuk pembangunan internasional dipandang sebagai gambaran intervensi negatif dan disebut sebagai neo-kolonialisme dan bukan sebagai peluang mengembangkan perdagangan, meningkatkan pendapatan ataupun konservasi. Pengetahuan lokal dan tradisional dilihat sebagai wadah praktek yang
34
berkelanjutan dan masyarakat lokal akan menjadi lebih baik tanpa campur tangan dari luar (Adger 2001: 703). Salah satu alasan keanekaragaman hayati menjadi isu lingkungan adalah karena terjadi kelangkaan pada beberapa jenis spesies binatang dan tumbuhan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dibandingkan kelangkaan yang terjadi secara alamiah. Dalam argumentasi ini, pengrusakan lingkungan oleh manusia dipicu cara pandang antroposentrisme yaitu sebuah etika yang melihat manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Pandangan antroposentris menjadi alasan dibuat sebuah kebijakan yang membatasi manusia dengan lingkungannya. Pandangan yang melihat manusia dan kepentingannya sebagai nilai tertinggi merupakan ancaman kerusakan lingkungan dan kepunahan pada beberapa keanekaragaman hayati yang ada. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menghindari ancaman kepunahan adalah dengan melakukan konservasi pada habitat spesies yang terancam punah tersebut. Konservasi merupakan sebuah filosofi tentang pengelolaan lingkungan dengan tujuan menghindari pengrusakan serta kepunahan keanekaragaman hayati (Jordan 1995). Wittmer dan Bitmer (2005) membagi pemikiran yang mewacana dalam konservasi sumberdaya alam atas tiga aliran yaitu, konservasionisme, eko-populis dan developmentalisme. Pemikiran pertama berargumentasi bahwa diperlukan kawasan yang dilindungi secara hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia untuk mewujudkan keseimbangan ekologi termasuk fungsi hidrologi dari sumberdaya hutan. Pada dasarnya, aliran pemikiran
ini menganggap bahwa
penduduk setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi sumberdaya alam. Aliran ini berkeyakinan bahwa ilmu-ilmu alam tidak lagi perlu diperdebatkan. Pemikiran kedua berpendapat bahwa masyarakat adat dan lokal adalah penanggung risiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka juga mempunyai kemampuan untuk melakukan konservasi sumberdaya alam lebih baik daripada pemerintah. Aliran ini menolak kehadiran swasta dan para pelaku konservasi yang menafikan masyarakat adat dan lokal. Pandangan mereka didasarkan pada ketidaksetujuan terhadap pandangan ortodok mengenai ilmu-ilmu sosial dan ilmu alam, tetapi lebih mendukung penghargaan terhadap pengetahuan lokal.
35
Developmentalisme mempunyai anggapan bahwa kerusakan sumberdaya alam ditimbulkan oleh kemiskinan. Mereka memandang bahwa kaum eko-populis terlalu
romantis
dan
memperalat
masyarakat
lokal,
sedangkan
kaum
konservasionis dianggapnya tidak memperhatikan persoalan kemiskinan (lihat Tabel 1)
Tabel 1. Kerangka Pemikiran Pengelolaan Kawasan Konservasi TOPIK
Konservationis
Kerangka Pemikiran Eko-populis
Developmentalis Didasarkan pada keunikan kawasan sehingga perlu dipisahkan dari kegiatan eksploitasi sumberdaya alam
Keberadaan Kawasan Konservasi
Didasarkan pada fungsi flora, fauna, landscape bagi keberlangsungan fungsi ekologi
Didasarkan pada kepentingan langsung masyarakat baik untuk kehidupan sehari-hari maupun jangka panjang
Penetapan Kawasan Konservasi
Suatu keharusan karena ilmu pengetahuan yang menjelaskan pentingnya fungsi ekologi tidak perlu diperdebatkan lagi
Suatu yang penting dan perlu dikaitkan dengan sistem penguasaan dan pemilikan sumberdaya secara adil
Sejalan dengan fungsi kawasan dan sesuai dengan hukum yang berlaku
Rumusan Masalah
Sumberdaya alam rusak karena gangguan pihak lain
Sumberdaya alam rusak karena tidak ada keadilan dalam pemanfaatannya
Sumberdaya alam rusak karena kemiskinan
Orientasi Kebijakan
Bersifat instruksional, pengawasan dan penegakan hukum
Penataan penguasaan dan pemilikan sumberdaya alam
Investasi untuk menampung pengangguran
Sumber : Wittner dan Bitner 2005.
Pelaksanaan konservasi di Indonesia masih didominasi oleh pemikiran pertama, meskipun perdebatan antara tiga pemikiran tersebut belum ada titik temunya. Isu keanekaragaman hayati dipertajam oleh LSM Lingkungan, yang berkembang di negara maju pada tahun 1960 – 1970an. Keprihatinan awal organisasi-organisasi ini tertuju pada isu-isu yang berkaitan dengan satwa langka
36
(seperti perburuan paus dan pembunuhan anjing laut) dan polusi industri yang menyusul menjadi perhatian para pendukungnya di negara dunia pertama (Bryant and Bailey 1997: 137). Untuk menjaga keanekaragaman hayati, konservasi seringkali dilakukan secara berlebih-lebihan. Penetapan kawasan konservasi lebih banyak dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek biologis namun mengesampingkan aspek sosial budaya, politik dan ekonomi. Sementara itu, dalam kenyataannya konservasi bukan menyangkut persoalan teknis semata, akan tetapi memiliki nuansa sosial politik yang komplek antara para pihak yang terlibat. Kegiatan konservasi dijalankan oleh organisasi-organisasi konservasi yang komitmennya terikat kepada lembaga donor serta pemerintahan nasional. Ikatan komitmen ini membuat organisasi konservasi bergerak dengan pola dan jalan yang diinginkan oleh lembaga yang mendukung kegiatan mereka. Oleh karena itu, pembuatan keputusan dalam kegiatan konservasi lebih banyak bersifat global, karena ada kepentingan-kepentingan dari penyandang dana yang harus difasilitasi. Dengan sistem yang seperti ini, maka banyak upaya konservasi terutama yang berlangsung di negara berkembang mengalami kegagalan. Kegiatan konservasi mengabaikan kehidupan sosial yang menyatu pada lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa konservasi tidak bisa mengabaikan proses-proses sosial untuk mencapai tujuan menjaga keanekaragaman hayati, sehingga baik informasi biologis, sosial budaya maupun politik menjadi penting dalam pengambilan keputusan terhadap penetapan kawasan konservasi. Pentingnya cara pandang global dan lokal mengenai konservasi untuk menghindari permasalahan yang kerap kali muncul, diejawantahkan oleh Janis Alcorn (Brosius 2005) dengan mengelompokkan dua jenis konservasi, yaitu konservasi besar (big conservation) dan konservasi kecil (little conservation). Konservasi besar merupakan program-program konservasi dijalankan oleh lembaga-lembaga konservasi besar dari negara-negara Utara. Konservasi besar bersifat global, merupakan organisasi dan institusi besar yang dijalankan dari kota. Konservasi merupakan fokus dari lembaga-lembaga yang termasuk dalam konservasi besar. Mereka didominasi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan untuk memelihara lingkungan, didanai secara besar-besaran dan
37
sering kali tidak tertarik dengan keadilan sosial dalam pengelolaan sumberdaya. Sedangkan konservasi kecil merupakan aktivitas konservasi yang dijalankan oleh masyarakat pribumi, di utara dan selatan, lebih dekat dengan kebudayaan, perilaku, konvensi sosial akan akses sumberdaya serta lebih paham akan fungsi alam dan komunitas. Konservasi kecil juga mencakup tataran pilihan hidup individu yang bersatu dengan lingkungan, pengetahuan ekologi lokal dan kemahiran mereka dalam memanfaatkan serta menjaga kestabilan ketersediaan sumberdaya. Merujuk pada klasifikasi yang dibuat oleh Alcorn, penetapan kawasan konservasi Laut Solor, Lembata dan Alor, termasuk pada konservasi besar yang digerakkan oleh organisasi internasional. Sementara itu masyarakat nelayan Lamalera memiliki aturan-aturan serta cara pengelolaan sumberdaya sendiri sehingga tergolong pada konservasi kecil. Dengan mengelompokkan dua konservasi ini, Alcorn juga berusaha menjelaskan bahwa tidak sinergisnya kedua kelompok ini akan menimbulkan potensi konflik serta mengancam eksistensi konservasi kecil. Dalam tradisi Barat, ada dua jenis konservasi yang berbeda secara fundamental yaitu konservasi dengan pemamfaatan yang bijak (wise use conservation) dan pengawetan (preservation). Perbedaan mendasar ini ditengahi oleh konservasi modern yang berbeda dengan wise use conservation serta tidak melihat alam sebagai komuditas dan berbeda dengan preservation karena tidak menjauhkan alam dari campur tangan manusia (Berkes 2008: 233). Konservasi tradisional sendiri adalah konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap alam dan cara mereka dalam memanfaatkannya. Dan konservasi ini memiliki bentuk yang berbeda pada setiap masyarakat.
2.3.1. Konservasi Sebagai Konstruksi Sosial/ Konservasi Tradisional Konservasi tradisional atau konservasi oleh masyarakat asli (indigenous conservation) merupakan sebutan lain untuk konsep konservasi kecil yang diutarakan Alcorn. Menggunakan konsep konservasi tradisional berarti melihat masyarakat asli sebagai konservasionis yang memiliki pengetahuan ekologi lokal dalam memanfaatkan secara bijaksana sumberdaya alamnya. Pengetahuan
38
ekologis tradisional (Traditional Ecological Knowledge–TEK)17 didefinisikan sebagai sekumpulan pengetahuan, praktek, dan kepercayaan, yang berkembang dengan proses adaptasi dan diturunkan dari generasi ke generasi dengan transmisi kebudayaan, tentang hubungan antar makhluk hidup (termasuk manusia) satu dengan lainnya dan dengan lingkungannya. Pengetahuan ekologi tradisional adalah cara untuk mengetahui, ia bersifat dinamis, dibangun di atas pengalaman dan adaptif terhadap perubahan (Berkes 2008: 7). TEK dideskripsikan sebagai pengetahuan–praktek–kepercayaan yang kompleks. Dalam analisis, beberapa ilmuan menyusun TEK atas beberapa level yang saling berhubungan (Gambar 2).
World view Social institutions Land and resource management systems Local knowledge of land, animals
Gambar 2. Level analisa pada Pengetahuan Ekologi Tradisional dan Sistem Manajemennya, Berkes 2008. Pertama, terdapat pengetahuan lokal dan empiris mengenai binatang, tumbuhan, tanah dan lansekap. Pengetahuan di tingkat ini mencakupi informasi mengenai identifikasi spesies dan taksonomi, sejarah hidup, distribusi dan pola 17
Pengetahuan ekologi tradisional berbeda dengan pengetahuan indijenus yang lebih luas cakupannya. Pengetahuan indijenus merupakan pengetahuan yang khas pada masyarakat tertentu. Pengetahuan indijenus merupakan susunan pengetahuan yang terbentuk secara historis (emik) dalam proses adaptasi jangka panjang dari sekelompok manusia pada lingkungan biofisik tertentu. Ellen (1998) secara detail mencirikan pengetahuan indijenus ini sebagai berikut: ia bersiat lokal, ditransmisikan secara oral, merupakan hasil dari pergumulan praktis yang diperkuat oleh pengalaman dan rangkaian percobaan dan kegagalan, bersifat empiris ketimbang teoritis, repititif, cair dan bisa dinegosiasikan, dimiliki bersama namun terdistribusikan secara asimetris, sebagian besarnya bersifat fungsional, dan tertanam dalam suatu matrik budaya yang lebih luas (dalam Shohibuddin 2003: 9).
39
perilaku. Berdasarkan observasi empiris, semua informasi ini memiliki nilai-nilai survival yang jelas dan dapat diterima lintas budaya. Level analisis kedua yaitu terdapat sistem manajemen sumberdaya, yang menggunakan pengetahuan lingkungan lokal dan juga mencakup seperangkat praktek, peralatan, dan teknik yang sesuai. Praktek-praktek ekologis ini memerlukan sebuah pemahaman mengenai proses-proses ekologis, seperti hubungan fungsional antara spesies kunci dan pemahaman mengenai suksesi hutan. Ketiga, sebuah manajemen sistem tradisional yang disesuaikan dengan institusi-institusi sosial, seperangkat peraturan dalam pemamfaatan, norma-norma dan kode-kode dalam hubungan sosial. Pada msekelompok masyarakat pemburu, nelayan, petani yang saling berhubungan, untuk mengekfektifkan fungsi-fungsi ini didukung dengan sebuah organisasi sosial untuk koordinasi, kerjasama dan membuat peraturan. Institusi sosial mencakup institusi-institusi pengetahuan yang membingkai proses-proses sosial. Level terakhir yaitu pengenalisa pandangan hidup (worldview) yang mempertajam persepsi lingkungan dan memberikan arti terhadap observasi lingkungan. Level analisis ini mencakupi agama, etika-etika dan sistem kepercayaan secara umum. TEK berbeda dengan pengetahuan ekologis barat karena memiliki latar belakang filosofis dan antropologis, serta berkembang dalam konteks etika dan moral yang tidak membedakan antara alam dengan kebudayaan. TEK merupakan bagian dari kearifan tradisional masyarakat asli. Keraf (2006: 289) mencirikan kearifan tradisional dengan: 1. adalah milik komunitas yang muncul dalam shared collective, and communal wisdom, 2. juga berarti pengetahuan tradisional, lebih bersifat praksis, atau “pengetahuan bagaimana”: bagaimana hidup secara baik dalam komunitas ekologis, bagaimana berhubungan secara baik dengan semua isi alam, bagaimana memperlakukan setiap bagian alam dengan baik untuk mempertahankan kehidupan masing-masing spesies maupun untuk mempertahankan seluruh kehidupan di alam. 3. bersifat holistik karena menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.
40
4. memahami bahwa semua aktivitas adalah aktivitas moral. 5. bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkret. Kendati tidak memiliki rumusan universal sebagaimana ilmu pengetahuan modern, dia menjadi universal bagi dirinya sendiri. Pada pelaksanaan konservasi tradisional yang didukung dengan TEK dan mengandung nilai-nilai kearifan lokal, melindungi keanekaragaman hayati berarti menghindari kerusakan dalam skala besar dan mengkonservasi beberapa jenis keanekaragaman hayati. Konservasi keanekaragaman hayati, hanya dilakukan pada beberapa jenis, tidak secara keseluruhan, karena pemamfaatan tetap dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi. Oleh karena itu, setiap masyarakat biasanya memiliki aturan-aturan dalam pemamfaatan sumberdaya.
2.3.2. Konservasi Keanekaragaman Hayati/ Konservasi Modern Berdasarkan Kamus Inggris Oxford, konservasi adalah 1. tindakan konservasi, pelestarian dari pengaruh-pengaruh destruktif, kerusakan atau limbah; pelestarian dalam keberadaan, kesehatan dan lain-lain, 2. biaya resmi dan perawatan sungai, saluran air, hutan, serta pemeliharaan (Radcliffe 2002: xv). Pengelolaan konservasi yang ditujukan untuk konservasi biologi biasanya dianut oleh para ilmuwan biologi yang lazim disebut sebagai pendekatan konservasionis (conservationist)18. Keanekaragaman hayati merupakan konsep yang yang berakar di bidang konservasi biologi. Adiwibowo (2005: 32) memaparkan tiga peristiwa yang mendorong munculnya wacana konservasi pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Pertama, Forum Nasional Keanekaragaman Hayati yang diadakan pada tahun 1986 di bawah naungan National Academy of Science, Amerika Serikat. Forum ini menghasilkan Keanekaragaman Hayati yang menjadi buku paling berpengaruh pada saat itu. Kedua, penciptaan jejaring keanekaragaman hayati yang bertujuan untuk menstabilkan jaringan untuk pergerakan objek, sumberdaya, pengetahuan, dan materi yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati. Jejaring ini berperan penting dalam mempercepat kepedulian global dan membangkitkan kepentingan 18
Dikenal juga dengan aliran eco-imperialism, mencoba memaksakan ide konservasi yang berorientasi pada aspek bio-ekologi.
41
aktor-aktor
global,
nasional dan lokal
sehubungan dengan kehilangan
keanekaragaman hayati. Hal ini selanjutnya diartikulasikan dalam narasi besar krisis biologis dan diluncurkan secara global. Ketiga, sebagai tanggapan terhadap meningkatnya keprihatinan terhadap konservasi dan sebagai kelanjutan dari ide-ide yang telah dimulai sebelumnya, IUCN, UNEP and WWF, pada tahun 1991, sangat mendukung pembangunan berkelanjutan melalui Caring for the Earth: a Strategy for Sustainable Living, dan selanjutnya menjadi perhatian dari banyak pihak yang berkepentingan serta memunculkan projek-projek bilateral dan multilateral. Semua kegiatan tersebut telah
memproduksi
pengetahuan
keanekaragaman
hayati,
wacana
dan
mendefinisikan jenis-jenis kekuasaan – yang saling terhubung satu sama lainnya melalui strategi dan program-program yang nyata – dan kemudian membuka jalan ke “transnation state” meeting: pada 1992; the Rio Summit that resulted in the Convention on Biological Diversity. Keanekaragaman hayati disini didefinisikan sebagai keragaman makhluk hidup dari semua sumber baik darat, laut, maupun ekosistem air dan kompleks ekologi dimana mereka menjadi bagian; keragaman ini mencakup keanekaragaman di dalam spesies, antara spesies dan ekosistem (Stott & Sullivan 2000: 180). Zerner
berpendapat
bahwa
konservasi
keanekaragaman
hayati
sebagaimana yang dikonstruksi oleh ilmu-ilmu alam sering dibenarkan sebagai tindakan penembusan; upaya untuk melindungi zona-zona non manusia yang dilukiskan sebagai zona yang utuh, murni dan tidak tersentuh (Stott & Sullivan 2000: 180). Kebijakan konservasi keanekaragaman hayati didorong oleh politik internasional. Lembaga-lembaga yang dominan seperti Bank Dunia dan LSM lingkungan di negara maju serta negara G-7, menawarkan konservasi dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan untuk menjawab ancamanancaman terhadap keanekaragaman hayati, serta menyarankan mekanisme untuk manajemen keanekaragaman hayati (Escobar 1998: 53). Pada kenyataannya, konservasi merupakan sebuah proses sosial dan politik yang tidak hanya melibatkan kepentingan lingkungan dan ekonomi global tapi juga
bersinggungan
dengan
kepentingan-kepentingan
lokal.
Kemauan
konservasionis untuk mengembangkan konservasi keanekaragaman hayati harus
42
memilih di antara pilihan-pilihan yang nyata, bukan pada tataran pilihan ideal akademis semata (Alcorn 1993: 424). Sehingga upaya-konservasi tidak memarginalkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu. 2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian ini berangkat dari suatu pemikiran bahwa setiap komunitas memiliki sistem sosiokultur yang merupakan hasil dari proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya yang terbangun dalam rentang waktu yang panjang. Basis dari sebuah sistem sosiokultur terletak pada aspek material teknologi eksploitasi yang dikembangkan berdasarkan karakter-karakter khusus di lingkungan mereka. Perubahan atas teknologi eksploitasi akan mempengaruhi dan ikut merubah komponen sistem sosiokultur lainnya yaitu pengelolaan ekonomi, kelembagaan serta sistem sosial
lainnya.
Dalam konteks pemanfaatan
sumberdarya alam, salah satu perubahan digerakkan oleh kepentingankepentingan
dalam
pengelolaan
lingkungan
seperti
gagasan
konservasi
keanekaragaman hayati.
Perubahan Infrastruktur Material
Diskursus Konservasi
Sistem Sosiokultur
Konservasi Tradisional
Lingkungan
Introduksi Teknologi
Inti kebudayaan
-
Teknologi
Pengetahuan lokal Manajemen sumberdaya Institusi sosial Pandangan hidup (World view)
Pengelolaan Ekonomi
Pengelolaan Ekonomi
Kelembagaan (Pranata sosial, sistem nilai, norma, organisasi, kelompok sosial, dll)
Kelembagaan (Pranata sosial, sistem nilai, norma organisasi, kelompok sosial, dll)
Asosiasi Sosial kekerabatan
Sistem Religi
Asosiasi Sosial Kekerabatan
Konservasi Moderen -
Pengetahuan Kekuasaan Aktor Kepentingan Praktek - praktek
Sistem Religi
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Perubahan Sosial pada Masyarakat Nelayan Lamalera
43
2.5. Hipotesa Pengarah Berdasarkan uraian-uraian teoritis di atas, dirumuskan hipotesa pengarah mengenai perubahan sosial pada masyarakat nelayan Lamalera, yang menjadi penuntun peneliti dalam bekerja: 1. Sistem sosiokultur komunitas Lamalera terbangun dari inti budaya berburu ikan besar seperti paus, pari manta, lumba-lumba dan hiu. 2. Program-program pembangunan kelautan yang diperkenalkan pemerintah dan program konservasi yang dibawa oleh LSM konservasi internasional berpengaruh terhadap sistem sosiokultur komunitas Lamalera termasuk timbulnya polarisasi, hilangnya jaminan sosial dan terjadi ketidaksetaraan (inequality).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Lamalera di Pulau Lembata yang merupakan salah satu desa nelayan tradisional dengan sistem sosiokultur yang terbentuk dari adaptasi terhadap lingkungan. Desa ini dihadapkan pada kebijakan konservasi. Di Lamalera terdapat komunitas masyarakat tradisional yang memiliki kebudayaan berburu di laut. Teknologi perburuan faktor penentu unsur-unsur kebudayaannya,
oleh
karena
itu
berubahnya
cara
masyarakat
dalam
memanfaatkan sumberdaya ataupun ada intervensi dari luar yang menyinggung teknologi pemanfaatan sumberdaya laut disana dapat mengakibatkan perubahan pada tatanan sosial masyarakatnya. Desa Lamalera menjadi lokasi penelitian untuk melakukan observasi, mengumpulkan data yang terkait dengan aktivitas berburu-manikam mamalia laut dan ikan besar terutama paus sperma serta pengaruhnya terhadap komponen kebudayaan lain. Pengumpulan data juga meliputi perubahan-perubahan dalam pengelolaan ekonomi serta pengaruhnya terhadap aspek-aspek kebudayaan lain dengan dibingkai oleh metode penelitian ekologi budaya. Dalam sub-topik konservasi keanekaragaman hayati, pengambilan data meliputi dinamika di masyarakat terhadap pencadangan Laut Lembata (termasuk dalam satu KKLD Solar) dalam penetapan KKPN Laut Sawu baik berupa keputusan, aksi dan praktek-praktek penolakan ataupun persetujuan terhadap kebijakan tersebut. Pengumpulan data juga dilakukan di Kabupaten Lembata yaitu terhadap Pemerintah Daerah serta beberapa LSM yang bergerak di lingkungan yang ikut mendukung ataupun penolak kebijakan konservasi laut Solar. Peneliti juga melakukan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh masyarakat Lamalera yang berdomisili di luar Desa Lamalera terkait dengan penetapan kawasan konservasi Laut Sawu dan pengaruh yang mungkin muncul dengan kebijakan ini. Penelitian dilakukan selama tiga bulan di Desa Lamalera. Dimulai pada 13 Juni 2009 sampai dengan 2 September 2009. Di Lamalera dalam rentang waktu ini (biasanya setiap Mei sampai dengan September) merupakan waktu resmi
45
berburu ikan atau lefa nuang. Dalam masa penelitian di Lefo Lamalera, pengambilan data baik berupa wawancara dan pengumpulan data sekunder dilakukan dalam beberapa kali kunjungan ke Loweleba, ibu kota Kabupaten Lembata. Penelitian dilanjutkan di Kupang, terutama untuk mencari data dan informasi terkait dengan konservasi, baik dari pihak LSM yang mengampu program ini maupun dari masyarakat Lamalera dan simpatisan yang melakukan aksi penolakan pencadangan perairan Lembata ke dalam Kawasan Konserasi Perairan Nasional Laut Sawu (KKPN-Laut Sawu). Beberapa kebutuhan data yang sama mengenai aksi penolakan ini juga dilakukan dari orang Lamalera yang ada di Jakarta.
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
3.2. Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif secara inheren merupakan multi-metode di dalam satu fokus, yaitu yang dikendalikan oleh masalah yang diteliti (Salim 2001: 6). Multi-metode merupakan upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena yang diteliti.
46
Dalam penelitian ini, pemahaman terhadap sistem budaya dilakukan dengan mengumpulkan data-data terkait dengan kebudayaan berburu ikan besar di Lamalera, peneliti melakukan pengamatan atau observasi dan berperan serta dalam beberapa kegiatan harian masyarakat Lamalera. Pengamatan berperan serta membantu peneliti dalam mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subyek penelitian. Peneliti juga melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran sebuah kebudayaan yang utuh, yaitu kebudayaan dari masyarakat yang merupakan hasil konstruksi peneliti dari berbagai informasi yang diperoleh selama melakukan penelitian di lapangan dengan fokus permasalahan tertentu. Penelitian kualitatif mengarahkan peneliti untuk untuk membangun suatu pengertian yang sistemik mengenai kebudayaan masyarakat Lamalera dari perspektif masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut.
Tabel 2. Metode, Waktu, dan Lokasi Penelitian Metode
Kualitatif
Waktu
13 Juni 2009- 8 September 2009 Oktober 2009 Lamalera, Lewoleba, Kupang, Jakarta
Lokasi Penelitian Subyek Penelitian
Data yang dikumpulkan
Teknik Pengumpulan Data
Analisa Data
Masyarakat Lefo Lamalera Dinas Kelautan Perikanan Kab. Lembata World Wide Fund (WWF) LSM lokal terkait Orang Lamalera di Lewoleba, Kupang dan Jakarta Tim KKL Sawu, Kupang Sistem sosiokultur, perubahan sosial, pandangan dan aksi terhadap diskursus konservasi, Kebijakan Konservasi Laut Sawu. Observasi (berperan serta), wawancara mendalam, Pendokumentasian data sekunder Klasifikasi data Validasi data Analisa data Penulisan laporan
47
Teknik pengumpulan data utama dalam penelitian ini adalah pengamatan partisipatif. Peneliti hidup diantara subyek yang diteliti dalam waktu yang relatif cukup. Dalam pengamatan partisipatif, peneliti bukan hanya mengamati gejalagejala yang ada dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti, tetapi juga melakukan wawancara, mendengarkan, merasakan dan pada batas-batas tertentu melakukan kegiatan yang dilakukan oleh subyek penelitian. Wawancara yang diharapkan adalah wawancara yang terwujud secara dialog yang spontan berkenaan dengan topik penelitian. Karena setiap orang yang diwawancarai adalah orang yang memiliki emic (pandangan dari kebudayaan itu sendiri), pengetahuan kebudayaan pribumi (dalam berbagai tingkat kemampuan artikulasi, maka peneliti tidak menentukan sebelumnya, respon apa yang hendak diperoleh pada wawancara. Adapun data yang dikumpulkan dengan metode kualitatif yaitu mencakup data mengenai teknologi produksi masyarakat
nelayan Lamalera, pola
pemamfaatan sumberdaya serta kaitan atau pengaruh teknologi memanfaatkan sumberdaya tersebut terhadap aspek-aspek kebudayaan seperti sistem sosial politik, kepemimpinan, religi dan sistem ekonomi di masyarakat Lamalera. Wawancara secara mendalam diterapkan kepada tokoh-tokoh utama baik dari maspyarakat Lamalera, Instasi terkait serta pimpinan dan anggota LSM yang bergerak di bidang lingkungan yang ikut terlibat dalam penetapan kawasan konservasi Laut Solor-Lembata dan Alor. Selain melakukan pengumpulan data primer melalui observasi, wawancara mendalam serta dokumentasi, peneliti juga akan mengumpulkan data-data sekunder dan informasi mengenai proses penetapan kawasan konservasi Laut Solor-Lembata dan Alor.
3.3. Analisa Data Data-data penelitian kualitatif kebanyakan adalah data-data yang tidak terstruktur. Analisis data menyangkut interpretasi eksplisit terhadap arti dan fungsi tindakan manusia (berupa deskripsi dan penjelasan verbal). Data yang bersifat kualitatif ini akan diinterpretasi sebagai hasil pengertian bersama antara peneliti dan subyek penelitian. Analisa data akan mulai dilakukan sejak penelitian dilakukan. Analisa data dilakukan malalui beberapa tahapan yaitu pertama
48
mengklasifikasikan data berdasarkan waktu, tempat, nama serta topik pembahasan sesuai dengan kebutuhan analisa data. Tahapan selanjutnya melakukan validasi data dengan melihat kesamaan data dan informasi dari sumber yang berbeda. Langkah terakhir yaitu menganalisa data dengan berpedoman pada teori yang digunakan dan menuliskan laporan penelitian.
BAB IV SISTEM SOSIOKULTUR KOMUNITAS NELAYAN LAMALERA Masyarakat Lamalera membangun permukimannya di sepanjang pesisir pantai yang berbatu karang. Pemukiman penduduk ditata mulai dari bibir-bibir pantai hingga terus menaiki bukit karang. Rumah tinggal dibangun di tanah-tanah yang landai sedekat mungkin dengan pantai. Rumah-rumah dirancang agar bisa memberikan pemandangan yang jelas ke lautan Sawu. Daratan berbatu karang, musim panas yang lebih panjang, sungai-sungai yang hanya terbentuk ketika hujan dan sumber air yang terbatas, tidak memungkinkan tanaman-tanaman pertanian tumbuh dengan baik. Bentangan Laut Sawu yang luas dan kaya dengan ikan, lebih bisa diandalkan untuk menopangkan hidup dari pada mengolah tanah yang miskin. Masyarakat adat Lamalera dalam tatanan administratif pemerintahan dibagi menjadi dua desa, yaitu Desa Lamalera A (Teti Lefo) dan Desa Lamalera B (Lefo Bela). Penamaan A dan B mengacu pada letak pemukiman. A untuk Lamalera Atas karena perumahan penduduk berada di dataran tinggi bagian barat pantai dan B untuk Lamalera Bawah karena awalnya pemukiman terkonsentrasi disekitar pantai, walaupun kemudian perumahan penduduk terus dibangun di lereng-lereng bukit karang. Desa A memiliki wilayah seluas 5,33 km²19, sedangkan luas wilayah Desa B sekitar 6,53 km². Masing-masing desa dibagi atas empat dusun, Desa Atas terdiri atas Dusun Fung-Fukalere, Lefolein, Lefololo dan Lamamanu. Desa Bawah dibagi atas Dusun Krokowolor, Futunglolo, Fusugolo, dan Lewobelen. Secara keseluruhan penduduk Lamalera berjumlah 1.695 jiwa. Sebaran penduduk di dua desa adalah 918 jiwa di Lamalera A dan 777 jiwa di Lamalera B. Desa Atas memiliki kepadatan penduduk lebih tinggi dibanding Desa
19
Luas wialayah ini kemungkinan akan berkurang karena ada rencana pemisahan Dusun Lamamanu dari Desa Lamalera A dan menjadi desa definitif sendiri. Letak Dusun Lamamanu terpisah jauh dari tiga dusun lainya. Ia terletak di daerah ketinggian dengan jarak tempuh sekitar 20 menit berjalan kaki dari tiga dusun lain. Pola kehidupan dan sistem kebudayaan masyarakat Dusun Lamamanu berbeda dengan Desa Lamalera secara umum. Suku yang ada di dusun tersebut juga berbeda dengan suku-suku di Lamalera.
50
Bawah karena penduduk Desa A terkonsentrasi di satu kawasan pemukiman, sementara pemukiman penduduk Desa B lebih tersebar. Bagi masyarakat Lamalera 20, Laut Sawu merupakan ladang kehidupannya. Perekonomian utama masyarakat dua desa ini adalah sebagai nelayan. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki keterlibatan yang besar dalam aktivitas ekonomi ini. Wilayah kerja laki-laki ada di laut dan pesisir pantai mulai dari membenahi perahu, mesin dan jaring pukat sampai ke berburu-menikam ikan dan mamalia laut serta berpukat malam. Sementara perempuan melanjutkannya pekerjaan ditempat kering mulai dengan membawa pulang pembagian hasil tangkapan dari pantai, mengolahnya dengan mengeringkan atau membakar serta melakukan transaksi tukar menukar (barter) dan jual beli terhadap hasil tangkapan tersebut. Selain memanfaatkan hasil laut, aktivitas ekonomi sampingan yang dilakukan di Lamalera adalah membuat garam, kapur sirih, bertanam pohon mete, serta berkebun singkong, jagung dan tanaman kebun lainnya di musim barat. Beternak ayam kampung, kambing dan babi juga dilakukan sebagai usaha sampingan. Pemeliharaan ternak dilakukan dalam skala rumah tangga dan biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan adat seperti upacara kematian, perkawinan dan urusan adat lainnya. Perempuan Lamalera juga mengandalkan hasil tenun untuk menambah penghasilan keluarga. Beberapa orang tua dan orang cacat yang tidak lagi bisa berangkat ke laut membuat anyaman yang dijual di pasar atau kepada wisatawanyang datang berkunjung. Walaupun kehidupan hampir sepenuhnya bertopang dari hasil laut, namun nelayan Lamalera memiliki pesisir pantai yang landai dan berpasir untuk mendukung aktivitas melaut yang sangat terbatas. Pantai utama tempat semua tena laja dan sampan ditambatkan berada di daratan rendah yang strategis antara dua lefo. Kawasan ini disebut Fatta Bela, merupakan pusat aktivitas ekonomi. Fatta Bela adalah pantai yang sangat padat dengan bangsal perahu yang ditata rapi menghadap ke laut. Pesisir pantai kedua yang menjadi tempat tambatan sampan-sampan yaitu Kenafatang terletak di Dusun Futunglolo. Di pantai ini banyak batu-batu besar dan hanya tersisa kurang 3 (tiga) meter pantai berpasir. Lebih sering menjadi 20
Dalam pembahasan di penelitian ini, masyarakat Lamalera tidak termasuk Dusun Lamamanu.
51
tempat disimpannya bero atau sampan kecil yang biasa dipakai untuk mencari ikan-ikan kecil. Sedangkan pantai ketiga, Lamaliong adalah pantai berbatu dan berkerikil, terdapat di Dusun Krokowolor yaitu kampung terakhir yang bergabung dengan Desa Lamalera B. Tidak banyak perahu nelayan yang disimpan di Kenafatang dan Lamaliong, bukan saja terbatas untuk menyimpan perahu tetapi juga tidak leluasa untuk memotong ikan sehingga baik tena laja, sampan besar ataupun sampan kecil berkumpul di pantai Fatta Bela.
4.1. Ekosistem Laut Sawu dan Pulau Lembata Indonesia adalah satu-satunya daerah tropis di dunia tempat terjadinya pertukaran kehidupan antara Laut Hindia dan Pasifik. Perairan Indonesia memiliki kekayaan sumber daya ikan dan keanekaragaman jenis cetacean yang tinggi serta memiliki wilayah terumbu karang yang luas. Perairan timur Indonesia termasuk ke dalam bagian wilayah segitiga terumbu karang (coral triangel)21. Di perairan yang kaya terumbu karang ini, terdapat lebih dari 3.000 spesies ikan, termasuk hiu paus dan coelacanth serta sedikitnya terdapat 30 jenis spesies cetacean menghuni perairan yaitu lebih dari sepertiga 35% dari total 86 jenis cetacean di dunia, termasuk beberapa jenis yang populasinya diklasifikasikan jarang dan dalam keadaan terancam (Khan, 2002). Perairan timur Indonesia, khususnya di beberapa terusan dalam antar pulau berfungsi sebagai pintu masuk jalur migrasi cetacean. Salah satu terusan dalam tersebut adalah Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur. Laut Sawu menjadi habitat yang sangat penting untuk cetacean di perairan Indonesia. Hal ini dicirikan dengan keanekaragaman habitat dan jenis cetacean baik di laut dalam maupun dekat pantainya. Sebaran cetacean besar yang konsisten seperti paus biru (Balaenoptera musculus) dan paus sperma (Physeter macrocephalus) yang relatif dekat dengan pantai, kelimpahan paus biru yang relatif tinggi serta tingkat interaksi yang tinggi antara kelompok yang saling bercampur dan hubungan predator-pemangsaan seperti serangan paus pembunuh (Orcinus orca) – paus sperma menunjukkan pentingnya perairan ini bagi beberapa spesies cetacean. 21
Wilayah segitiga terumbu karang (Coral triangle) yaitu wilayah perairan dimana terdapat hampir 75% dari semua jenis terumbu karang (lebih dari 600 species terumbu karang yang ada di dunia), yang luasnya meliputi lebih dari 6.500.000 km².
52
Laut Sawu memiliki luas sekitar 400 mil atau 650 km. Posisi Laut Sawu sangat strategis karena berada di tepi Samudra Hindia yang menjadi jalur penghubung dengan massa air Samudra Pasifik. Perairan ini sangat kaya dengan nutrient dan memiliki potensi keanekaragaman hayati yang tinggi. Hal ini didukung oleh letaknya yang dikelilingi oleh pulau-pulau sehingga membentuk seperti danau dengan inlet berupa selat-selat kecil yang berarus kuat. Pengaruh iklim yang kuat menyebabkan perairan ini menjadi daerah umbalan untuk menopang sumber daya ikan (upwelling), menjadi daerah pusaran serta menjaga habitat ikan-ikan pelagis. Bagian utara Laut Sawu di batasi oleh gugusan kepulauan yang membentang dari Pulau Flores sampai ke Kepulauan Alor. Lembata merupakan satu pulau yang terdapat diantaranya. Secara geografis Lembata terletak pada posisi 8°10' - 8°11' LS dan 123°12' - 123°57' BT. Pulau ini memiliki beberapa teluk yang dicirikan dengan ketidakteraturan garis pantai sepanjang hampir 500 km. Pantai selatan Lembata adalah pantai yang cukup curam dengan kemiringan melebihi 40º. Secara morfologi, daratan Lembata bisa dibagi atas dua yaitu daerah pedataran dan pegunungan dengan gunung api yang masih aktif (Ile Boleng, Ile Lewotolo, dan Gunung Topaki). Dari luas wilayah sekitar 1300 km2, 12% lahan di daratan Lembata digunakan untuk pertanian, 36% merupakan semak belukar, 33% hutan dan 19% adalah padang rumput. Tanaman pangan utama adalah padi, ubi kayu, ubi jalar, jagung dan kedelai. Sedangkan tanaman pohon utama adalah kemiri, kelapa, jambu mete dan kopi. Iklim di Lembata relatif kering dengan 5-8 bulan menerima kurang dari 100-mm hujan per bulan. Musim hujan berlangsung dari bulan November - April. (Soede, 2002: 8). Lamalera berada di pesisir bagian selatan Pulau Lembata. Seperti daerah lainnya, daratan Lamalera tersusun atas karang batu kapur yang terangkat. Keterbatasan daerah daratan dengan sedikit lapisan tanah di atas batu karang digantikan dengan kekayaan Laut Sawu yang membentang di depannya. Orang Lamalera menyebut Laut Sawu sebagai ladang mereka karena laut inilah yang menjadi penopang kehidupan serta menjadi sentral bagi seluruh aspek kehidupan mereka.
53
4.2. Sejarah Terbentuknya Lefo Lamalera Kebudayaan masyarakat Lamalera terbentuk atas proses asimilasi antara nelayan migran dari Sulawesi dengan penduduk asli di daerah selatan Lembata serta masyarakat pendatang lainnya. Hal ini berkaitan dengan sejarah kedatangan masing-masing suku yang saat ini ada di Lamalera. Berdasarkan asal-usulnya, suku-suku di Lamalera dapat dibagi atas suku-suku yang leluhurnya bermigrasi karena bencana alam di Keroko Pukan atau Lepan Batan ke daerah timur Lambata, kedua suku yang leluhurnya merupakan penduduk asli Lembata serta suku-suku yang leluhurnya datang ke Lamalera dari satu daerah pada suatu waktu di masa lalu (Barnes, 1996: 55). Pemahaman yang sama juga yang diketahui oleh YHS bahwa setiap suku yang ada di Lamalera masing-masing punya asal-usul baik dari timur, barat dan langsung dari gunung (wawancara, 19 Juni 2009). Sumber utama kebudayaan bermula dari kelompok nelayan pendatang dari pesisir Sulawesi. Asal muasal nenek moyang orang Lamalera adalah pelaut dari Luwuk Sulawesi. Studi etnografis Barnes (1996: 56) mengatakan bahwa pelayaran dari Luwuk bergerak ke arah timur menuju Ambon dan Seram terus ke selatan Maluku sampai akhirnya menemukan Lepan dan Batan 22. Pulau ini ditinggalkan karena bencana, sebagaimana dikatakan oleh PHB bahwa nenek moyang mereka bermukim di Lepan Batan sampai seratus tahunan, hingga satu masa bencana air laut naik (tsunami) dan mereka meninggalkan pulau tersebut. Perjalanan meninggalkan Lepan Batan membawa mereka ke Kedang di Lembata, perjalanan dilanjutkan ke arah selatan sehingga mereka menemukan pasisir pantai Lamalera yang ditempati hingga sekarang (wawancara, 14 Juli 2009). Pendatang dari Luwuk merupakan nenek moyang suku-suku utama sekaligus suku pertama yang sampai di Lamalera, yaitu suku Belikololo, Bataona, Lefotuka, Tana Krofa dan Lama Nudek. Tiga suku pertama merupakan keturunan dari Korohama yaitu orang yang memimpin perjalanan migrasi mulai dari tempat terakhir sebelum sampai di Lamalera 23. Belikololo merupakan keturunan dari
22
Setelah bencana tsunami, Lepan dan Batan kini menjadi dua pulau kecil di selat antara Lembata dan Pantar (Barnes, 56). 23 Bedasarkan cerita sejarah, perjalanan bermigrasi dilakukan oleh Korohama, suku Tana Krofa dan suku Lama Nudek. Suku Tana Krofa pada mulanya memimpin perjalanan sampai satu kali salah satu anggota sukunya melakukan kesalahan terhadap masyarakat asli di tempat yang disinggahi. Suku Tana Krofa tidak sanggup membayar denda atas kesalahannya, sehingga
54
putra pertama Korohama, Bataona merupakan suku dari anak keturunan putra kedua dan Lefotuka keturunan putra bungsu. Ketiga suku ini bisa dikatakan sebagai suku inti dalam arti sebagai bangsawan dalam masyarakat. Suku-suku yang berasal dari Luwuk inilah yang membawa keahlian melaut ke Lamalera. Kelompok kedua yang
memberi pengaruh dalam perkembangan
kebudayaan Lamalera yaitu penduduk asli sekaligus tuan tanah di desa ini. Dua suku yang diakui sebagai suku tuan tanah adalah suku Lango Fujjo dan Tufaona. Dua suku tuan tanah ini dahulu dapat dikelompokkan sebagai kelompok masyarakat dari pegunungan. Suku Lango Fujjo dipandang lebih signifikan daripada Tufaona karena lebih berhasil dalam usaha di laut serta mereka memainkan peran penting dalam acara seremonial pembukaan musim berburu tahunan. Kelompok masyarakat lain yang datang setelah suku-suku sebelumnya adalah sekelompok orang yang datang melalui jalur pegunungan yang saat ini ada dalam suku Tapoona. Gelombang pendatang lainnya dari barat yaitu suku Lamakera/Keraf dan suku Hariona serta kelompok pendatang dari daratan Flores, dari satu kampung bernama Soge Paga. Masing-masing suku di Lamalera memiliki rumah besar atau lango bela. Di rumah ini semua urusan adat dan ritualnya dilakukan seperti mengurus kematian, pernikahan serta segala urusan yang berkaitan dengan mata pencaharian (ola ona). Dilihat dari bentuk bangunan lango bela saat ini hampir sama seperti rumah tinggal biasa, tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Lango bela biasanya ditinggali oleh laki-laki dari anak keturunan tertua di setiap suku. Apabila sebagian suku memiliki lebih dari satu rumah besar, ini menunjukan pertambahan jumlah anggota suku sekaligus menandakan bertambahnya jumlah tena laja yang dimiliki suku tersebut. Lango bela juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan tali leo atau tale leo fa, yaitu tali utama di tena laja. Tale leo terbuat dari benang pintalan kapas digunakan dengan disambungkan pada mata tombak atau tempuling. Tale leo merupakan jiwa bagi perahu. Oleh karena dianggap sakral maka apabila perahu tidak berangkat ke laut dalam waktu ynag cukup lama, tale leo disimpan di lango bela. Dalam menyimpan tale leo, tidak diperkenankan untuk menyimpan dua atau lebih tale leo dalam satu lango bela, karena tali leo kemudian ditembus oleh Korohama. Sebagai konsekuensi atas tembusan tersebut kepemimpinan selanjutnya diampu oleh Korohama (Barnes, 1996: 58)
55
yang satu dianggap akan menutup rezeki tali leo yang lainnya. Sehingga untuk menyimpan tale leo baru dibuat pula lango bela baru.
Tabel 3. Asal-usul Suku-suku di Lamalera dan Rumah Besar Suku
Asal-Usul
Rumah Besar (Lango Bela)
Beliko Lolo
Lepan Batan
Teti Nama Papa, Lali Nama Papa
Bataona
Lepan Batan
Kelake Langu, Kifa Langu Java Langu, Ola Langu, Baso Langu
Lewotukan
Lepan batan
Dasi Langu, Keda Langu, Lima Langu, Beraona
Tana Krova
Lepan Batan
Haga Langu, Laba Langu
Lama Nudek
Lepan batan
Kelodo Ona
Tufaona
Daratan Lembata
-
Lango Fujjo
Daratan Lembata
-
Bediona
Lepan Batan
Miku Langu, Muri Langu
Batafor
Lepan Batan
Keda Langu, Kaja Langu
Lelaona Tapoona
Lamakera
Sinu Langu, Belake Langu Daratan Lembata
Musi Langu, Guna Langu
(pegunungan)
Mana Langu, Sola Langu
Soge Paga, Flores
Badi Langu, Lafa Langu Sinu Langu, Perafi Langu
Lamanifak
Soge Paga, Flores
Sulaona
Kebesa Langu, Kelore Langu, Kiko Langu
Ebaona
Soge Paga, Flores
Dae Langu, Guma Langu, Sita Langu
Oleona
-
-
Ata Kei
Kepulauan Kei
-
Hariona
Lamakera, Solor
-
Lefolein
Lefolein, Solor
-
Atagora
-
-
Atafolo
Daratan Lembata
-
Sumber : Barnes (1996) dan data primer diolah (2009).
Proses-proses historis dimana sebuah masyarakat memperoleh banyak sifat-sifat dasarnya dalam ekologi budaya saling melengkapi untuk mempelajari proses-proses adaptif. Proses-proses historis itu mencakup peminjaman terhadap ciri-ciri kebudayaan dan kompleksitas ciri-ciri sumber yang berbeda, migrasi manusia, transmisi warisan kebudayaan kepada generasi selanjutnya, inovasi dan
56
penemuan-penemuan
lokal.
Memahami
proses-proses
historis
ini
tidak
menghilangkan peran lingkungan dalam sebuah praktek kebudayaan, oleh karena itu setiap asal-usul kebudayaan harus dijelaskan dengan sejarahnya. Steward menegaskan bahwa investigasi dalam proses-proses ekologi budaya semestinya mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan bila pola-pola dasar sosiokultur mungkin telah disebarkan atau telah dibawa oleh migrasi dari satu jenis lingkungan ke lingkungan lainnya, tetapi hal ini juga harus diperiksa apakah polapola ini telah dimodifikasi. Penilaian terhadap modifikasi tersebut membutuhkan sebuah pembedaan antara pembubuhan luar kebudayaan seperti elemen-elemen ritual, seni, dan pola arsitektur dengan pola-pola sosial dalam pengelolaan manusia terhadap kebutuhan hidupnya (Steward, 1968). Migrasi merupakan perjalanan yang mengawali sejarah komunitas pemburu ini. Sumbangan para leluhur dari timur yang berlatar belakang pelaut mendominasi bentuk sistem sosiokultur yang kemudian berkembang yaitu kebudayaan yang sangat akrab dengan habitat Laut Sawu. Menurut PHB disebabkan nenek moyang mereka adalah pelaut yang tinggal di pesisir pantai dan tidak memiliki tanah pertanian yang subur dan baik untuk menopang kehidupan maka dalam pelayaran meninggalkan daerah asalnya, di setiap pulau-pulau yang dilalui nenek moyang mereka tidak mencari tanah yang subur untuk bertani akan tetapi mencari daerah pesisir yang menghadap ke laut dan dapat menopang kehidupan mereka (wawancara, 16 Juli 2009). Pada awal tiba di Lamalera, Korohama beserta keluarganya, Tana Krofa dan Lama Nudek tinggal bersama berdekatan dengan tuan tanah Tufaona. Ketika merasa bahwa daerah yang mereka tinggali (sampai saat ini) lebih baik dan mendukung kegiatan melautnya, mereka kemudian meminta ijin untuk menetap kepada tuan tanah Tufaona. Permintaan tersebut pada mulanya ditolak. Tetapi belakangan disetujui dengan menukar sebuah tempat di Desa Atas dengan perhiasan kuningan dan Korohama juga membuatkan perahu untuk tuan tanah yang diberi nama Baka Fai atau sekarang bernama Baka Tena24. Ketika leluhur dari suku Bataona pindah mendekati pantai, mereka menyesuaikan diri dengan tuan tanah yang berbeda dari suku Lango Fujjo. Barnes memberikan catatan 24
Tena laja kepunyaan suku Tufaona.
57
bahwa meskipun berkuasa, masyarakat Lamalera bisa dikatakan hampir tidak memiliki lahan dan tergantung pada suku tuan tanah, bukan hanya untuk tanah yang mereka pertukarkan, tetapi juga terhadap penghargaan yang sangat penting untuk kesuksesan kegiatan melaut yang menjadi gantungan hidup mereka (Barnes; 1996: 60). Proses asimilasi telah melahirkan peran bagi tuan tanah untuk kesuksesan musim berburu (lefa nuang) melalui serangkaian seremonial yang dilakukan oleh suku Lango Fujjo di pembukaan musim lefa.
4.3. Berburu dan Menikam Mamalia Laut dan Ikan Besar Berburu dan menikam mamalia laut dan ikan merupakan warisan keahlian serta cara bertahan hidup dari para leluhur orang Lamalera yang datang dari Lepan dan Batan. Cara ini diakui telah dilakukan sebelum mereka menetap di Lamalera. Argumen ini didukung dengan keterangan mengenai dua tena laja induk yang dibawa sepanjang berjalanan bermigrasi hingga tiba di Lamalera 25. Menurut Mustika (2006: 38), berdasarkan informasi yang didapat dari ADK (Camat Wulandoni ketika itu), nenek moyang orang Lamalera dari Kerajaan Luwuk adalah pemburu laut yang sangat ahli menggunakan tombak untuk menikam ikan. Ketika mereka tiba di Pulau Lepan dan Batan di timur laut Lembata, para pemburu ini melihat lebih banyak target buruan yang lebih menarik yaitu paus. Kemudian mereka mulai belajar untuk memburu paus dengan keahlian menggunakan tombak yang mereka bawa sampai ke Lamalera, sebuah tradisi yang telah dipertahankan sampai saat ini. Aktivitas menikam ikan-ikan besar termasuk koteklema telah dilakukan sejak proses migrasi. Di sepanjang perjalanan bermigrasi dan menemukan ikan besar, mereka memburunya. Koteklema sendiri jarang ditangkap karena menikam paus ini bisa meyebabkan resiko yang besar seperti memutuskan tali tempuling, 25
Meskipun begitu, di Desa Lamalera sendiri berkembang setidaknya dua cerita mengenai sejarah mula leluhur mereka berburu. Pertama bahwa berburu ikan telah dilakukan sepanjang perjalanan bermigrasi. Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa menikam ikan baru dilakukan setelah nenek moyang mereka tiba di Lamalera dan beradaptasi dengan suku tuan tanah. Pendapat kedua lebih bersifat fabel dari beberapa cerita yang salah satunya mengatakan bahwa koteklema adalah penjelmaan sapi peliharaan tuan tanah yang hanyut terbawa air pasang. Pendapat pertama secara materil didukung oleh fakta konstruksi perahu yang dibawa dari daerah asal yang dirancang untuk melakukan penikaman. Sementara pendapat kedua cenderung dikukuhkan melalui ritual-ritual yang dilakukan ketika membuka musim leffa.
58
memecahkan tena laja hingga membahayakan nyawa para meing atau awak kapal. Berburu dan menikam koteklema tidak dilakukan dengan sembarangan, biasanya dilakukan apabila kampung sudah dalam keadaan kelaparan, sementara ikan kecil (pari, hiu dan lumba-lumba) tidak banyak. Dalam keadaan kampung paceklik dan orang-orang lapar, maka mereka yakin bahwa datangnya koteklema melintas di depan lefo merupakan pertanda bahwa nenek moyang datang mengantarkan koteklema untuk memberi makan orang sekampung. Dengan dasar itu, penikaman koteklema selalu dilakukan dengan upacara sebelumnya, disertai doa dan kekhusukan di seluruh lefo. Masyarakat percaya dan banyak peristiwa telah menunjukkan bahwa apabila koteklema tersebut diantarkan oleh para leluhur maka ia jinak dan mudah ketika ditikam. Penikaman mamalia laut dan ikan, terutama koteklema selalu menjadi sakral. Sebuah upacara yang dilakukan sebelum menikam koteklema akan menjinakannya ketika ditikam dan memudahkan segala proses perburuan, hingga hasil tikamam dipotong dan dibagikan kepada kelompok yang memiliki hak (wawancara PHB, 14 Juli 2009). Sebelum agama Katolik masuk, upacara berangkat ke laut dilakukan oleh seorang atamola yang memiliki keahlian khusus untuk berbicara dengan roh-roh nenek moyang tentang kondisi ikan di lautan yang tidak naik sehingga membuat lapar orang-orang di kampung.
4.3.1 Alat Produksi Tena Laja Menikam adalah sistem produksi tradisional masyarakat Lamalera yang berumur ratusan tahun. Telah dilakukan oleh nenek moyang mereka dengan perahu layar sebelum mereka menempati daratan di pesisir selatan Lembata tersebut. Laut Sawu yang membentang di depan Lamalera dengan tena laja adalah jodoh, begitu cara orang Lamalera memaknai budaya material mereka. Tena laja ada di sepanjang sejarah mereka. Tena laja adalah sebuah perahu layar yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan pendukungnya seperti tali, tombak bambu, tempuling dan dayung. Konstruksi tena laja berbeda dengan perahu sampan pada umumnya. Begitu pula perlakuan mereka terhadap tena laja, berbeda dengan perahu sampan lainnya.
59
Tena laja tidak biasa dibiarkan berlabuh lama atau bermalam di laut. Ia hanya akan berada di laut ketika akan digunakan saja. Disebabkan karena kondisi laut yang tidak selalu tenang dengan gelombang dan arus yang kuat serta beberapa kali di setiap tahun selalu ada gelombang besar, maka untuk setiap tena laja selalu dibuatkan rumah atau bangsal yang disebut naje. Setiap hari setelah melaut, tena laja ditarik kembali ke dalam bangsalnya. Susunan naje ini membuat pantai Fatta Bella terlihat sangat khas. Keluar dan masuknya tena laja ke dalam naje dilakukan dengan mendorong bersama-sama. Untuk memudahkan jalannya tena laja, kayu-kayu lagang disusun sebagai alas agar lunas tena laja tidak terjebak di pasir. Meskipun mendorong adalah tugas para meing, tetapi laki-laki yang ada di pantai biasanya akan saling membantu untuk mendorong tena laja yang akan keluar atau disimpan kembali ke dalam naje. Kebiasaan bekerjasama dimulai dari tempat basah tersebut baik ketika dituntut ataupun disaat tidak diperlukan merambah dalam banyak aktivitas, dan inilah salah satu norma yang mereka miliki. Tena laja dibedakan menjadi dua yaitu tena dan sapang. Tena adalah perahu tradisional yang didapat secara turun menurun melalui garis keturunan laki-laki. Sedangkan sapang merupakan perahu baru sebagai akibat pertambahan penduduk dalam satu suku. Di dalam sebuah tena laja dan sapang, semua peralatan yang dibutuhkan untuk menikam telah tersedia, sampai pada tali yang digunakan untuk menarik ikan hasil tikaman pulang. Sapang bisanya dibuat karena terjadi konflik dalam suku dimana orangorang melepas haknya atas tena laja sukunya dan membuat perahu sendiri. Dapat juga terjadi karena perpecahan nama suku-suku kecil. Perbedaan tena dan sapang terletak pada jumlah ruang dalam perahu. Tena memiliki jumlah ruang yang genap dan sapang mempunyai ruang yang berjumlah ganjil. Menghilangkan satu ruang pada sapang disebut dengan smugur bella. Tena laja memiliki keterkaitan dengan suku. Masing-masing suku memiliki tena laja. Fungsi tena laja bagi suku pada mulanya bukan hanya sebagai alat produksi, tetapi sarana untuk segala urusan di laut seperti menjadi alat transportasi. Ketika perahu sampan mulai banyak dibuat, fungsi tena laja dibatasi untuk lefa saja. Tena laja pertama yang dimiliki oleh orang Lamalera yaitu
60
Kepake Puke dan Bui Puke. Kebake Puke merupakan tena laja yang dipakai dalam perjalanan bermigrasi dari Lepan dan Batan yang saat itu juga memuat Bui Puke26. Kebake Puke selanjutnya menjadi perahu suku Bataona dan Bui Puke adalah perahu milik Belikololo. Pembuatan tena laja memperhitungkan jumlah anggota suku yang ada di dalamnya. Jumlah maksimal orang yang menjadi anggota dan memiliki bagian pada satu tena laja adalah 15 orang27. Bila sebuah suku membesar karena banyaknya manusia di dalam suku tersebut, maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat suku secara keseluruhan, alat produksi baru yaitu sebuah tena laja akan dibuat. Sebaliknya, apabila anggota suku semakin berkurang dan jumlah laki-laki dalam suku tertentu tidak memadai untuk mengoperasikan sebuah tena laja maka beberapa kemungkinan bisa terjadi. Pertama tena laja suku tersebut akan jarang difungsikan sampai saatnya harus dibongkar. Kemungkinan lain untuk memiliki kembali tena laja, bagi anggota masyarakat yang sukunya tidak lagi memiliki tena laja akan bergabung dengan suku lain dalam arti mengambil bagian pada tena laja suku lain. Biasanya dilakukan dengan suku-suku yang memiliki ikatan kekerabatan yang dekat baik dalam suku atau paling tidak keluarganya. Tena laja dibuat secara khusus oleh atamola28 (disebut juga laba ketilo alep). Keahlian seorang atamola didapat karena garis keturunan. Menurut adat, atamola terdiri atas dua tingkat yaitu kelapa dan kelepe. Kelapa adalah atamola yang menyandang status lebih tinggi dan berhak memiliki kotak peralatan untuk membuat perahu sekaligus menjadi pemimpin dalam pembuatan sebuah perahu. Kelepe bisa dikatakan sebagai calon atamola yang sedang dilatih keahliannya dengan membantu kelapa. Pada seorang kelepe belum ada kotak peralatan, tetapi hanya mempunyai keranjang dari anyaman untuk menaruh peralatan. Biasanya 26
Ada yang memahami bahwa perahu Kebake Puke memuat perahu Bui Puke yang belum jadi, tetapi ada juga memahami bahwa yang dimuat oleh Kebake Puke adalah lunas perahu Bui Puke. 27 Memiliki bagian di sebuah peledang suku berarti bertanggungjawab terhadap kelangsungan anggota suku dan peledangnya.Dalam beberapa literature, orang yang mempunyai bagian ini disebut dengan orang yang mempunyai saham. Peneliti sendiri cenderung melihat dengan cara yang berbeda, karena terminilogi saham cenderung berkonotasi korporasi untuk mendapatkan keuntungan materiil. Sementara kepemilikan bagian dalam peledang punya makna sosial yang tidak 28 Atamola merupakan orang yang memiliki keahlian khusus baik dalam pembuatan perahu, senjata, rumah, dukun, tabib dan ahli pijat.
61
kelepe adalah keturunan seorang atamola, sehingga kotak peralatan milik kelapa kelak akan diwariskan kepadanya. Selain memiliki hak khusus untuk membuat tena laja, kaitan atamola dengan sebuah tena laja juga menyangkut hak pembagian atas ikan hasil tikaman. Atamola adalah orang yang berhak memberi tanda pada setiap ikan yang akan dipotong dan dibagikan. Oleh karena itu, setiap kali tena laja membawa pulang ikan, para meing harus menunggu atamola menandai ikan, baru kemudian melanjutkan memotong dan membaginya. Atamola mendapatkan bagian tersendiri dari setiap ikan yang ditikam. Karena ada hak atamola dalam setiap ikan hasil, maka mengambil alih pembuatan tena laja oleh orang yang tidak berasal dari keturunan seorang pembuat perahu sekalipun memiliki keahlian, tidak diperkenankan. “Kita atamola turunan memang. Kalau orang lain tidak bisa. Kalau bapak mati, mesti Bapak punya anak, Ondu, tidak boleh orang lain. Itu sudah seperti patokan mulai dari dulu. Kalau orang lain mereka kerja, umpama rampas hak itu pamali. Pamalinya begini, itu dia lama-lama bisa dapat sakit, dia bisa mati. Sebab Bapak punya hak, bukan dia punya nenek punya hak. (NSB. Wawancara, 28 Juni 2009) Membuat tena laja oleh seorang yang bukan atamola akan menimbulkan musibah baik pada tena laja maupun pada orang yang membuat perahu tersebut, karena telah merebut hak atas pekerjaan dan hasil tikaman keturunan atamola. Tena laja dibuat dari bahan-bahan tersendiri. Bagian lunas (keels of the boat) harus menggunakan kayu kepapa. Lunas terdiri dari lima sambungan kayu mulai dari haluan sampai ke buritan. Untuk bodi perahu, dibuat dengan papan kayu jati. Di buritan, di atas kayu lunas terakhir terdapat madi yaitu papan ukir yang menyatukan lambung kiri dan kanan perahu sekaligus sebagai patokan tinggi tena laja. Madi menjadi tempat sandaran bagi juru mudi. Baik kayu lunas maupun papan lambung perahu disambung dengan ketentuan khusus yang tidak boleh salah. Layar dibuat dari pucuk daun gewang yang dianyam. Di bagian depan perahu terdapat susunan papan yang disambungkan dengan bambu sebagai tempat bagi juru tikam. Tombak untuk menikam menggunakan bambu pering, di ujung atasnya ditancapkan tempuling. Dahulu tempuling dibuat dari kayu, setelah kemampuan mengolah besi dikenal, tempuling diganti dengan besi yang ditempa. Satu bagian yang sangat menentukan pada tena laja yaitu tali leo, yang terbagi
62
atas dua jenis yaitu tale leo fa dan tale leo bele. Keduanya dibuat khusus dari kapas yang dipintal. “Tali leo dua-dua yang hitam di perahu itu tidak boleh diganti. Kalau tali yang lain boleh diganti. Dulu tali leo kita pakai gebang. Sekarang tradisinya, leo, leo bele dengan leo fa tidak boleh diganti. Kalau bahasa kita punya bilang tena fuku lai. Leo itu lain. Jadi kalau diganti engkau tidak lihat ikan, tidak dapat ikan. Satu kali Bapak AB, beliau punya perahu Kelulus. Diganti dengan tali plastik, tali di toko. Di pasang di tempuling. Mereka tidak dapat lihat ikan, ikan juga tidak jinak. Pulang kosong, padahal perahu lain tikam pari besar sampai empat, tiga, rame-rame. Perahu semua pakai dayung. Akhirnya mereka tidak kuat lalu pakai layar. Istri anak-anak sudah tunggu bapak mereka di pantai, pulang sana mereka kosong. Itu mereka mau coba ganti tali di leo itu. Lalu semua matros bilang mereka harus ganti lagi leo itu, kalau tidak mereka tidak bawa perahu ke laut. Baru besoknya setelah diganti, mereka tikam dua” (NSB. Wawancara, 28 Juni 2009). Bagian-bagian pada tena laja memiliki hubungan satu dengan lainnya. Tena atau badan perahu harus dipasangkan dengan laja atau layar. Sekalipun layar tidak dipakai karena fungsinya digantikan oleh alat lain (seperti mesin jonson saat ini), tidak berarti layar boleh dilepas dan di tinggal di daratan. Sementara itu tali leo adalah ruh bagi tena laja,
sehingga
tidak diperkenankan untuk
menggantikannya dengan tali dari jenis yang lain. Secara khusus, tena laja dihubungkan dengan koteklema. Keistimewaan ini diejawantahkan dalam beberapa perlakukan khusus yang dipertahankan sampai saat ini. Berdasarkan informasi yang disampaikan Mustika (2006) dari hasil wawancaranya dengan ADK diatas, hal ini menunjukkan bahwa dahulu paus sperma bukanlah target buruan utama. Walaupun begitu perburuan koteklema telah berlangsung ratusan tahun dan mempengaruhi nilai spiritual mereka. Masyarakat Lamalera telah memaknai koteklema berbeda dengan ikan-ikan lainnya, bukan karena ukurannya yang sangat besar sehingga seekor koteklema bisa memenuhi kebutuhan banyak orang dalam kampung. Tetapi koteklema diyakini juga sebagai kiriman nenek moyang pada saat kampung mereka dalam keadaan paceklik, seperti pada saat dulu leluhur mereka bermigrasi dan koteklema dikirim untuk membantu mereka yang bertahan dalam pelayaran yang panjang.
63
4.3.2. Tena laja dan Koteklema Dalam adat di Lamalera, satu-satunya perahu yang diijinkan untuk menikam koteklema adalah tena laja. Sedangkan sampan besar yang saat ini telah banyak dimiliki oleh nelayan tidak diperkenankan untuk menikam koteklema. Meskipun jauh dari kecanggihan teknologi modern, tetapi konstruksi tena laja memang sangat mendukung untuk menikam mamalia laut sebesar itu. Secara konsep, perahu ini memiliki teknologi tinggi dalam perancangannya. Sedangkan pada perahu sampan besar tidak ada fasilitas-fasilitas yang memadai untuk menikam koteklema. Lebih dari masalah teknis tersebut, hubungan antara tena laja dan koteklema dipenuhi dengan nilai-nilai dan keyakinan yang sakral. Konstruksi sebuah tena laja baru dikatakan benar setelah berhasil menikam koteklema. Sebelum diturunkan ke laut, persyaratan yang harus dilewati dalam pembuatan tena laja adalah menguji kebenarannyanya. Pada saat itu, tena laja yang baru dibuat diletakkan di pantai, dan para atamola diundang untuk bersama-sama mengoreksinya. Apa bila ada kesalahan, maka perahu itu harus diperbaiki dan kegiatan mengoreksi perahu di pantai akan dilakukan kembali sampai semua atamola sepakat mengatakan bahwa konstruksi tena laja telah benar. Setalah itu tena laja tersebut diijinkan turun ke laut. Lulusnya sebuah tena laja dari pengujian para atamola tidak berarti konstruksi tena laja tersebut telah benar sepenuhnya. Orang Lamalera menganggap penglihatan manusia dalam hal ini selalu mungkin untuk keliru. Oleh karena itu, proses terakhir yang harus dipenuhi adalah mengujikannya pada koteklema. Tena laja harus berhasil menikam dan membawa pulang koteklema. Sebelum memenuhi syarat itu, tena laja hanya diibaratkan seperti bayi merah, sebagaimana dikatakan oleh ISB, seorang atamola: ”Bila ada kesalahan pada perahu, kalau kita tikam paus maka sementara paus akan kasih tanda, kasih pecah perahu dan papan itu harus kasih patah, atau kah ombak bisa pukul perahu. Tetapi lebih jernih dengan paus saja. Tanda-tanda dan susunan pada perahu harus tepat. Kalau tidak paus akan kasih pukul di situ, tanda bahwa salah.” (wawancara, 28 Juni 2009). Kesalahan di tena laja akan ditunjukkan oleh koteklema, dengan memukul atau memberi tanda pada bagian-bagian yang salah. Baik ikan pari, lumba-lumba atau hiu dan ikan lainnya tidak bisa menunjukkan kesalahan pada konstruksi perahu
64
tersebut. Oleh karena itu, meskipun sebuah tena laja telah berhasil menikam banyak pari, lumba-lumba atau hiu, tidak berarti konstruksi perahu telah tepat sepenuhnya.
4.3.3. Musim Berburu di Lamalera Dengan pengetahuan para nelayan terhadap iklim, arus dan perilaku ikan maka aktifitas menikam dilakukan dalam tiga musim yang masing-masing memiliki kekhasan yaitu musim lefa, rai Lewotobi dan rai Duli serta baleo. Tiga musim ini dapat dijadikan acuan untuk menggambarkan aktifitas produksi masyarakat Lamalera. Ketiga musim tersebut merupakan musim yang menopang kebutuhan subsistensi masyarakat dan penyediaan simpanan pangan pada saatsaat melaut tidak bisa dilakukan. Di luar tiga musim tersebut, nelayan Lamalera juga melaut, tetapi bukan untuk menikam tetapi menangkap ikan-ikan kecil, ikan terbang dengan memancing dan memanah.
a. Lefa Nuang Lefa nuang adalah musim turun ke laut yang dimulai pada pada Mei sampai akhir September. Lefa adalah kata untuk laut dan nuang berarti musim. Dikatakan musim turun kelaut karena pada bulan-bulan ini terdapat banyak ikanikan besar disekitar perairan selatan Lembata. Pada musim lefa hampir setiap pagi di pantai Fatta bella dipenuhi dengan nelayan yang siap menyorong perahunya ke laut dan menjelang sore, satu persatu tena laja itu kembali ke darat. Kecuali pada hari minggu, kegiatan lefa ditiadakan untuk melakukan ibadah gereja. Bagi masyarakat Lamalera, berburu ke laut merupakan aktifitas yang mempertaruhkan keselamatan dan nyawa. Oleh karena itu, biasanya pada hari pertama lefa nuang masyarakat Lamalera melaksanakan seremoni adat dan agama untuk mengharapkan rezeki dan keselamatan bagi para matros. Beberapa seremoni yang dilakukan yaitu : 1. Misa Arwah Bentuk penghormatan dan pengakuan pada arwah leluhur. Misa rawah dilakukan satu hari sebelum Misa lefa. Penyelenggaraan misa arwah dilakukan dengan mengunjungi makam serta membakar lilin di atas
65
pusara. Secara khusus bagi leluhur yang meninggal di laut, misa arwah dilakukan pada sore hari di pantai. Pada saat itu satu persatu anggota keluarga dan suku mendoakan leluhur mereka yang mati di laut. 2. Tobu Nama Fatta Tobu nama fatta berarti duduk, berkumpul di pasir tepi pantai. Semua warga baik di desa atas maupun desa bawah ikut berkumpul di upacara ini. Bisa dikatakan, upacara ini adalah sebuah musyawarah umum yang membicarakan segala hal yang berhubungan dengan laut. Pada tobu nama fatta kegiatan leffa tahun lalu dievaluasi secara bersama-sama serta beberapa aturan disepakati sebagai pedoman pelaksanan musim lefa yang akan berlangsung esok harinya. Pada momen ini serta secara transparan, semua masyarakat saling memaafkan satu sama lainnya. 3. Misa Lefa Misa lefa dimulai dengan memberkati tale leo. Dan dilanjutkan dengan misa yang dipimpin oleh seorang imam di Kapela St. Petrus, yang terletak di pantai. Pada misa ini, para nelayan dan anggota suku berkumpul di naje perahu mereka masing-masing dan diberkati oleh imam dengan memercikkan air berkat dan menandainya dengan tanda salib.
Seremoni membuka musim lefa telah mengalami beberapa kali penyesuaian. Penyesuaian tersebut diantaranya berkaitan dengan hubungan antara orang Lamalera dengan tuan tanah. Pelaksanaan musyawarah di pantai untuk membuka musim lefa baru dimulai pada tahun 1940an. Musyawarah dilakukan dengan pertimbangan bahwa mereka tinggal di wilayah suku tuan tanah, maka sebagai tanda menghormati tuan tanah disepakati untuk melakukan upacara gabungan untuk membuka musim ke laut. Sejak itu maka berlaku upacara ie gerek yaitu upacara sembahyang di gunung yang dilakukan oleh suku tuan tanah. Penyesuaian lainnya dilakukan dengan ajaran Katolik. Seremonial pembukaan musim lefa sekarang adalah percampuran antara adat dan agama dengan dengan pemberkatan dan misa.
66
Berbeda dengan baleo yang akan dibahas berikutnya, ketika lefa nelayan Lamalera khusus turun ke laut untuk menikam ikan-ikan besar seperti pari, hiu, lumba-lumba atau marlin. Apabila pada saat leffa ada nelayan yang melihat koteklema, maka mereka akan berteriak dan memberi tanda kepada peledang lain dan orang di kampung.
Tabel 4. Ikan dan Mamalia Laut Tikaman Nelayan Lamalera. Nama Indonesia Nama Lokal Nama Inggris Nama Latin Pari manta besar Belela Giant manta ray Manta birostris Pari manta abu-abu Bou Shortfin devil ray Mobula kuhlii Pari ekor cambuk Moku Whiptail devil ray Mobula diabolus Paus pembunuh Temu bela False killer whale Pseudorca crasidens Paus pemandu sirip Temu bela Short finned killer Globicephala pendek whale macrorhynchus Lumba-lumba paruh Temu kira Spinner dolphin Stenella longilostris panjang Lumba-lumba abu-abu Temu bura Risco’s dolphin Gramus griseus Paus pembunuh Seguni Killer whale Orcinus orca Hiu bodoh Io kiko Whale shark Rhinchodon typus Hiu ekor panjang Io lado Thresher shark Alopias vulpinus Marlin Ikan raja Marlin Sumber : Adaptasi dari Barnes (1996), Mustika (2006), data primer (2009)
b. Rai Lewotobi dan Rai Duli (Pantar) Menjelang berakhirnya musim lefa beberapa perahu berangkat mencari ikan ke Selat Lewotobi dan sekitar Pulau Pantar, sementara yang lainnya melanjutkan berburu di sekitar laut Lamalera. Mencari ikan di selat Lewotobi dan Pulau Pantar biasanya menghabiskan waktu hingga beberapa bulan. Oleh karena itu setiap meing harus membawa perbekalan yang memadai. Pada masa ini, tangkapan utama adalah ikan pari yaitu belela, bou dan moku. Dalam masa mencari ikan di Lewotobi dan Pantar apabila bertemu dengan koteklema, nelayan akan membiarkannya saja untuk menghindari kerusakan perahu serta resiko lain yang mungkin terjadi. Karena jarak antara Lewotobi dan Pantar dengan lefo jauh, maka mereka akan menghindari resiko kecelakaan ketika itu. Hasil tikaman selama di Lewotobi diolah dan dikeringkan langsung di tempat mereka menginap. Mereka juga bisa menukar ikan dengan hasil panen yang dibawa orang-orang dari gunung seperti jagung, padi ladang dan bahan makanan lain. Ada kalanya ketika bernasib baik dan mendapat banyak hasil
67
tikaman, mereka membawa pulang ikan dan bahan makanan hasil barter dan kembali lagi ke Lewotobi.
c. Baleo Beberapa orang memahami musim baleo berlangsung antara Januari sampai dengan April. Akan tetapi dalam kenyataannya Baleo bisa terjadi kapan pun setiap tahun. Disebut baleo karena tali leo biasanya disimpan di rumah besar, ketika paus melintas di depan lefo Lamalera maka juru tikam akan berlari membawa tali leo dari rumah besar ke tena laja. Musim baleo adalah masa dimana mereka mengejar paus29. Baleo bisa terjadi kapan saja apabila paus melintas di perairan Lamalera. Biasanya diketahui dengan semburan paus yang terlihat dari daratan. Apabila hal itu terjadi maka teriakan baleo dari orang yang melihat pertama kali akan disambung oleh seluruh orang di dalam kampung. Ketika itu pula semua laki-laki menggambil perkakas masing-masing dan berlari menuju pantai. Biasanya, beberapa hari sebelum baleo, alam memberikan isyaratnya. Bataona (2008: 84) mengatakan bahwa masa baleo ditandai dengan munculnya tunas-tunas baru pohon kesambi yang berarti waktu datangnya ikan paus atau masa pembukaan musim lefa sudah mendekat. Masyarakat Lamalera sendiri sangat terbiasa dengan tanda-tanda alam tersebut. Hal itu juga terjadi saat penelitian ini dilakukan. Beberapa hari sebelum baleo 8 Juli 2009, beberapa orang yang peneliti temui saat mengumpulkan data dan observasi mengingatkan agar tidak meninggalkan desa dalam beberapa hari ke depan dengan harapan peneliti bernasib baik bisa ikut baleo. Beberapa nelayan mengatakan bahwa di langit telah kelihatan awan koteklema. Sementara orang-orang tua yang biasa duduk di pantai mengenalinya dari perputaran arus laut. Beberapa orang juga menandai burung elang yang mulai berputar-putar di sekitar pantai. Penghuni rumah besar juga mulai membuka semua pintu dan jendela di siang hari, begitu pula di rumahrumah para lamafa. Di pantai, beberapa paledang yang lama tidak keluar di dok juga mulai dipersiapkan. Sebagaimana orang Lamalera yang meyakini isyaratisyarat alam tersebut, begitu pula yang terjadi pada saat peneliti berada disana. 29
Paus yang paling sering diburu adalah paus sperma, tetapi hampir semua jenis paus ditikam kecuali paus biru.
68
Teriakan ”baleo”
terdengar pada siang hari setelah pemilihan umum 2009.
Beberapa hari sebelumnya, kepada peneliti beberapa nelayan dan keluarga tempat peneliti menginap juga telah mengingatkan tentang hal tersebut. Pada saat laki-laki mengejar koteklema, istri-istri dan anggota keluarga para nelayan duduk menunggu di pantai sampai perahu pulang. Apabila sampai malam, perahu belum juga datang, mereka akan membakar obor dan duduk menunggu di bangsal perahu. Dan bila perahunya telah tiba, baik perempuan dan anak-anak, semua akan bersama-sama menarik perahu ke dalam bangsal. Bekerjasama, saling memberi dan menerima bantuan adalah bagian yang penting pada sistem kerja nelayan berburu Lamalera dalam sistem tikam. Sementara kompetisi, saling memperebutkan juga menjadi ciri mereka di laut. Baik kerjasama maupun kompetisi merupakan tuntutan dari kondisi lingkungan serta sumberdaya yang dimanfaatkan. Bentuk-bentuk ini kemudian muncul atau dilanjutkan dalam kehidupan sosialnya. Bentuk-bentuk kerjasama telah dilakukan mulai dari pantai. Saat menyorong perahu, matros akan dibantu oleh orang yang ada di pantai ketika itu, begitu pula untuk menyimpan perahu kembali ke bangsal. Akan tetapi berkompetisi untuk mendapatkan tikaman juga tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, selalu ada aturan untuk membuat kompetisi antar tena laja sehingga tidak tercipta konflik ketika berburu. Ketika lefa ada beberapa aturan yang mesti dipatuhi oleh setiap awak tena laja. Aturan ini terkait dengan hak untuk mengejar ikan yang mana bagi perahu yang pertama kali melihat ikan seperti pari atau lumba-lumba, maka tena laja tersebut berhak untuk terus memburu dan menikam ikan tanpa diusik oleh tena laja lainnya. Aturan ini menjadi dasar bahwa tidak ada pertikaian antara meing pada tena laja di laut dengan alasan memperebutkan ikan. Aturan yang berbeda berlaku ketika baleo. Dalam berburu koteklema setiap perahu akan terlibat dalam sebentuk kerjasama dan juga kompetisi. Koteklema adalah mamalia yang muncul berkelompok dan liar, berbeda dengan beberapa jenis mamalia laut lain yang lebih tenang seperti paus biru. Oleh karena sifat koteklema tersebut, maka para pemburu ini selain berkompetisi untuk bisa menikam lebih dulu, juga menuntut kerjasama untuk menjaga agar sekelompok koteklema tidak membahayakan bagi setiap perahu.
69
Kompetisi dilakukan dalam memperebutkan koteklema untuk di tikam. Masing-masing tena laja akan berusaha menikam koteklema lebih dulu dari yang lainnya karena dengan demikian, ia memiliki hak untuk mempertahankan koteklema sampai berhasil. Apabila satu koteklema memungkinkan untuk ditikam oleh beberapa tena laja, maka juru tikam yang pertama kali berhasil menancapkan tombaknya ke tubuh koteklema adalah pemiliknya. Dengan begitu, tena laja yang lain tidak diperkenankan untuk terus memburu koteklema tersebut, kecuali sampai pada saat tena laja yang pertama tidak berhasil menjinakan koteklema dan meminta bantuan kepada tena laja yang lain. Kerjasama antara tena laja terjadi dengan tujuan mempertahankan koteklema bisa tetap berada dalam gerombolan sehingga memudahkan untuk menikamnya. Ketika satu koteklema berhasil ditikam maka biasanya koteklema yang tertikam akan dibantu oleh koteklema lain. Apabila yang ditikam adalah koteklema muda maka induk koteklema tersebut akan melindungi anaknya dan ketika itu sikapnya akan terlihat semakin liar. Dalam kondisi seperti ini, kerjasama kembali dibutuhkan untuk saling menjaga agar tena laja tidak dihantam oleh koteklema yang marah.
4.4.
Sistem Sosiokultur Lamalera dalam Sudut Pandang Ekologi Budaya Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan dengan menciptakan teknologi
untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada seperti yang diungkapkan Steward
ketika
mengembangkan
pendekatan
ekologi
budaya.
Adaptasi
dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk bertahan hidup yaitu memenuhi kebutuhan dasar ketersediaan makanan. Dalam pandangan ekologi budaya, sebuah ekosistem menjadi landasan sehingga terbangun sistem kehidupan sebuah masyarakat. Sistem yang dimaksud adalah sebuah pengelolaan kehidupan yang menyeluruh mulai dari pengelolaan ekonomi baik berupa teknologi produksi, distribusi dan pertukaran serta kelembagaan sosial, aturan, norma dan keyakinan. Paparan mengenai lingkungan dan kebudayaan masyarakat Lamalera di atas, akan diurai lebih lanjut dengan teori ekologi budaya Steward. Adaptasi terhadap lingkungan yang berhasil telah mendorong leluhur orang Lamalera mempertahankan keberadaannya mereka di daratan pesisir selatan Pulau Lembata.
70
Keahlian melaut dan teknologi produksi yang yang mereka miliki sesuai dengan ekosistem Laut Sawu yang kaya. Laut ini memberikan jaminan kebutuhan pangan untuk mereka. Ekosistem Laut Sawu merupakan sumberdaya penting yang menentukan sistem sosiokultur masyarakat Lamalera. Sumberdaya ini diolah dengan teknologi sederhana yang terdiri atas peralatan melaut tena laja, kemampuan mengenali spesies ikan dan mamalia yang ada serta keahlian untuk memburu dan menikamnya. Teknologi eksploitasi ini selanjutnya membentuk sistem yang mereka jadikan kerangka dalam kehidupan. Kerangka yang mempertemukan setiap individu dalam suku dan suku dalam komunitasnya. Gambar 5 merupakan bangunan sistem sosiokultur masyarakat Lamalera yang peneliti simpulkan mengacu pada perspektif ekologi budaya
Sistem norma
Sistem Religi Org. Ekonomi
Pola pertukaran Modal Produksi
Pola Distribusi
Teknologi Produksi
Berburu koteklema/paus, lumba-lumba, pari dan hiu dengan sistem tikam
Paus, Pari,Hiu Lumba-lumba
Gambar 5.
Laut dalam (Sawu)
Daratan curam berbatu
Sistem Sosiokultur Komunitas Nelayan Lamalera Ditinjau dari Perspektif Ekologi Budaya
71
Sumberdaya Laut Sawu memiliki makna tersendiri bila digandengkan dengan tena laja. Secara historis tena laja selain menjadi kendaraan dalam masa bermigrasi, juga merupakan teknologi produksi yang memadai. Saat ini, tena laja masih menjadi alat produksi sebagaimana fungsinya dulu. Tena laja dan lautan yang kaya mamalia dan ikan dilihat sebagai pasangan. Tena laja menjadi tumpuan hidup. Di sinilah terletaknya pemaknaan pokok terhadap Laut Sawu dan tena laja, yaitu kepentingan ekonomi bagi seluruh masyarakat Lamalera. Untuk kepentingan dasar ini, segala sistem sosial lainnya baik yang pokok maupun sistem pendukung dikembangkan. Pertama yaitu pengelolaan ekonomi komunal berbasis suku. Tena laja adalah alat produksi bersama yang dimiliki oleh setiap suku. Di dalam masing-masing suku, terdapat kelompok yang mewakili setiap rumah tangga dalam suku untuk mengadakan dan memfungsikan alat produksi ini. Di dalam kelompok yang disebut uma dibuat aturan mengenai pola distribusi hasil tikaman yaitu bagaimana setiap hasil tikaman dapat terbagi secara merata kepada anggota uma serta pihak lain yang berkontrobusi dalam membuat tena laja serta terlibat dalam perburuan. Pola distribusi yang mengakomodasi semua banyak pihak serta memperhatikan anggota suku yang memiliki keterbatasan serta kerabat lain diluar suku. Sebagai contoh adalah pembagian pada hasil tikaman koteklema yang ditampilkan pada gambar 6. Pada koteklema, hasil tikaman dibagi menjadi 21 bagian untuk suku pemilik tena laja, meing atau awak perahu, atamola, lamafa atau juru tikam serta semua pihak yang berkontribusi pada setiap bagian perahu dan proses berburu dan menikam. Pada koteklema, dengan begitu banyaknya orang dan rumah tangga yang mendapat bagian, sehingga tepat bila dikatakan bahwa kebutuhan hidup di dalam lefo terpenuhi. Dengan distribusi hasil tikaman, keterjaminan sosial bagi orang miskin, wanita janda dan anak yatim diakomodir. Pola distribusi ini berlanjut dengan pola pertukaran dengan masyarakat desa sekitar. Barter antara masyarakat Lamalera dengan masyarakat di pegunungan terjadi di desa dan di pasar kecamatan. Potongan ikan kering ditukar dengan sejumlah jagung, padi, sayuran, buah sirih serta hasil kebun lainnya yang tidak diproduksi di Lamalera.
72
Gambar 6. Pembagian hasil tikaman koteklema
Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Leffo Tena alep Baladda/meing Tena alep Leko/bamboo Mima (Uma alep) Novak/lamafa
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Nupo/tkg tempuling Uma meing Uma alep Kefokoseba/uma Labaketilo Tena alep Tilo
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Befana bela Fadar/Tena alep Teba/meing Iku laja/tena alep Iku laja/meing Iting/meing Faij puke/meing
Sistem ekonomi komunal terikat sangat erat dengan sistem kekerabatan. Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang mengatur hubungan antar individu. Laki-laki memiliki peran penting karena mereka yang pertama menggerakkan aktivitas ekonomi ini. Dalam sistem patrilineal, keberlangsungan suku ditentukan oleh ada atau tidaknya laki-laki. Artinya apabila jumlah laki-laki berkurang maka suku tersebut terancam punah dan apabila tidak ada maka suku tersebut dipastikan akan hilang. Di Lamalera keberadaan laki-laki menjadi lebih penting termasuk dalam mereka. Semakin banyak jumlah laki-laki maka akan semakin mudah untuk menggerakkan tena laja. Bahkan terbuka pula kesempatan untuk membuat sapang apabila satu tena laja tidak cukup menampung semua anggota suku. Lain halnya apabila jumlah laki-laki sedikit atau kurang dari jumlah yang dibutuhkan untuk menggerakkan tena laja. Bila ini terjadi, maka dikhawawatirkan
73
tena laja yang ada tidak dapat dioperasikan di musim lefa karena kekurangan tenaga meing. Meskipun dapat dibantu oleh meing dari suku lain, tetapi penggerak utama sebuah tena laja tetaplah meing dari dalam suku tersebut. Saat penelitian dilakukan cukup banyak tena laja yang tidak beroperasi. Beberapa disebabkan karena jumlah laki-laki suku tersebut memang sedikit. Lainnya disebabkan karena banyak laki-laki di suku tersebut yang merantau dan hidup di luar lefo. Di sisi yang lain, karena sistem ekonomi berdasarkan pada kesatuan suku dan tena laja merupakan alat produksi bersama, maka tidak ada kelompok pemilik alat produksi dan pekerja di Lamalera. Setiap orang adalah pemilik sekaligus bekerja pada tena laja suku masing-masing. Meskipun dalam teknisnya pengelolaan tena laja dipercayakan pada satu orang yang disebut tana alep tetapi itu tidak berarti tena alep bisa mengambil keputusan tanpa bermusyawarah dengan uma atau setiap anggota suku yang memiliki hak atas sebuah tena laja. Tidak ada kelas sosial atau stratifikasi ekonomi dimana pembedaan masyarakat berdasarkan pada penguasaan dan pemilikan materi dalam masyarakat tradisional Lamalera. Pengelompokan masyarakat di Lamalera lebih banyak didasari oleh peran dan fungsi masing-masing orang terhadap suku maupun komunitas secara keseluruhan. Selain tiga pemuka suku besar yaitu Bataona, Belikololo dan Lefotukan yang berperan sebagai likatelo atau lembaga kepemimpinan di dalam masyarakat serta 2 (dua) suku tuan tanah, semua masyarakat diposisikan secara sama dan tanpa kelas. Sebuah status yang ditumpangkan kepada seseorang adalah status turunan yang mengampu fungsi dan peran tertentu tetapi tidak bermakna kelas, seperti seorang atamola yang merupakan laki-laki dengan keahlian yang berguna bagi masyarakat. Selanjutnya, sumberdaya laut Sawu dan tena laja mengukuhkan kewibawaan lembaga kepemimpinan likatelo. Karena Laut Sawu dan tena laja merupakan moda produksi bersama, maka likatelo berwenang untuk mengatur setiap hal yang berkaitan dengan penghidupan di laut ini. Likatelo memimpin masyarakat untuk memulai lefa, mencari penyelesaian terhadap masalah dalam masyarakat, berada di depan masyarakatnya dalam melewati masa-masa sulit, paceklik dan ketika menghadapi bencana terutama bencana yang datang dan terjadi di laut.
74
Organisasi ekonomi yang berkembang di Lamalera tidak lepas dari sistem kehidupan lain seperti sistem religi dan norma sosial. Nilai-nilai keyakinan, agama katolik serta etika yang dihidupkan di dalam lefo semua dikembalikan pada ketergantungan dan kebutuhan mereka terhadap laut. Kepercayaan animisme berhubungan dengan jiwa-jiwa nenek moyang mati di laut, misi katolik digandengkan dengan kepercayaan animisme
tersebut.
Sedangkan etika
bermasyarakat, hubungan antar orang, pemaknaan terhadap konflik yang terjadi antara individu dan suku baik yang terlihat ataupun tidak dianggap akan berimbas pada setiap kegiatan di laut. Di atas peneliti telah menguraikan bagaimana kuatnya hubungan budaya di Lamalera dengan ekosistem laut. Laut Sawu, habitat mamalia laut, pari, hiu serta ikan besar lainnya dan daratan berbatu karang telah membangun sebuah sistem sosiokultur dari basis sistem ekonomi berburu dan menikam mamalia laut dan ikan. Semua aspek kehidupan selalu terhubung dengan kebutuhan dan ketergantungan mereka terhadap ekosistem ini. Sistem sosial, kekerabatan dan sistem nilai menjadi pendukung untuk kukuhnya sistem ekonomi yang bertumpu pada sumberdaya laut.
BAB V PENGARUH MOTORISASI TERHADAP SISTEM SOSIOKULTUR DI LAMALERA Masyarakat Lamalera mengalami perubahan, sebagaimana juga pernah dikatakan oleh Barnes (1996). Apa penyebab perubahan tersebut? Bagaimana perubahan yang terjadi dan bagaimana implikasi perubahan tersebut terhadap sistem sosiokultur di Lamalera? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas selanjutnya. Ada dua penjelasan yang dikemukakan untuk menjawab pertanyaan mengenai penyebab perubahan. Pertama perspektif materialisme menganggap bahwa faktor-faktor material merupakan penyebab utama pada perubahan sosial dan budaya. Faktor-faktor material yang dimaksud adalah hal-hal yang berhubungan dengan faktor ekonomi atau teknologi yang terkait dengan ekonomi produksi (Harper 1989: 55). Pemikiran yang berkembang dalam perspektif ini melihat teknologi dan moda produksi (mode of production) menciptakan perubahan dalam interaksi sosial, organisasi sosial, budaya, nilai-nilai serta norma-norma. Kedua, perspektif yang melihat perubahan sosial disebabkan oleh faktor-faktor seperti nilai-nilai, ideologi dan keyakinan. Pemikiran yang memiliki pandangan seperti ini dikelompokkan pada perspektif idealistik. Yang dimaksud dengan ide pada perspektif ini meliputi pengetahuan dan kepercayaan. Sedangkan nilai-nilai diasumsikan sebagai hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan. Ideologi diartikan sebagai penataan gabungan kepercayaan dan nilai-nilai yang diciptakan untuk melegitimasi bentuk-bentuk aksi manusia30. Perubahan menurut teori ekologi budaya berawal dari perubahan dalam budaya material. Penekanannya diletakkan pada teknologi subsistensi, yaitu teknologi dasar yang menopang kebutuhan manusia dalam bertahan hidup. Teknologi ini terdiri atas peralatan, instrumen, teknik dan pengetahuan yang digunakan untuk beradaptasi dengan alam. Teori ekologi budaya memiliki pandangan yang relatif sama dengan pendekatan materialisme dalam melihat perubahan. Dalam evolusi materialisme yang dikembangkan oleh Marx, sistem 30
Harper dalam Exploring Social Change (1989: 58) mengkategorikan demokrasi, kapitalisme dan sosialisme sebagai bentuk ideologi.
76
sosiokultur terdiri atas tiga komponen dengan titik awal pada infrastruktur material, struktur sosial hingga superstruktur ideologis. Para penganut pemikiran Marxian menganggap cara ini yang memungkinkan kita untuk melihat sistem sosiokultur masyarakat secara keseluruhan. Steward melihat hubungan lingkungan dan teknologi sebagai proses adaptasi, sedangkan pendekatan materialisme membagi infrastruktur material atas empat sub-unit dasar yaitu teknologi, ekonomi, ekologi dan demografi. Perubahan bisa bermula dari salah satunya. Sama halnya dengan perspektif materialisme, bagi Steward perubahan lingkungan akan menyebabkan perubahan pada teknologi eksploitasi. Teknologi juga bisa berkembang seiring dengan bertambahnya kemampuan manusia dalam memperbaiki teknik adaptasinya. Bentuk perubahan ini terjadi di Lamalera, dimana telah dikenal teknologi baru yang membantu dan merubah cara nelayan Lamalera memanfaatkan sumberdaya alam mereka. Sistem ekonomi produksi modern telah menggeser sistem ekonomi produksi tradisional yang dalam perspektif ekologi budaya merupakan basis bagi sistem sosiokultur komunitas nelayan Lamalera. Nelayan tradisional Lamalera memiliki teknologi eksploitasi substansial yaitu tena laja atau peledang. Fungsi dasar tena laja adalah untuk menikam mamalia laut dan ikan besar. Tena laja dimiliki oleh suku dan menjadi penopang perekonomian suku atau beberapa keluarga dalam satu suku. Pola Produksi yang dilakukan dengan tena laja adalah sistem tikam dengan buruan utama pari manta, paus, hiu, lumba-lumba dan ikan berukuran besar lainnya. Perubahan yang signifikan terjadi ketika masuk mesin johnson. Mesin yang pada awalnya bagi nelayan Lamalera hanya digunakan untuk membantu transportasi. Perubahan terus terjadi dengan masuknya alat tangkap jaring pukat yang memunculkan inisiatif bagi nelayan Lamalera untuk membuat sampan besar yang sedikit lebih kecil dari tena laja sebagai pasangan jaring pukat ini. Mesin dengan bahan bakar minyak tanah dan bensin ini dipasangkan pada sampan besar berisi jaring pukat sehingga melahirkan sistem produksi yang berbeda dengan sistem tradisional tikam, yaitu sistem pukat. Penggunaan sistem pukat terus diminati oleh sebagian besar nelayan. Walaupun tidak meninggalkan sistem penangkapan tradisional tikam, akan tetapi rendahnya antusias masyarakat untuk
77
menghidupkan lefa umumnya dipengaruhi oleh banyak tenaga meing yang keluar malam untuk berpukat. Jauh sebelum pengoperasian pukat-mesin dan sampan besar, mesin juga telah digunakan untuk membantu tenaga meing untuk menggerak tena laja dan menggunakannya di sampan besar untuk menikam ikan dan mamalia laut selain koteklema.
5.1
Sistem Tikam Sistem tikam adalah pola produksi yang dikaitkan pada penggunaan tena
laja sebagai teknologi dasar. Karakteristik utama sistem tikam adalah pengelolaan ekonomi komunal berbasis suku. Uma sebagai kelembagaan ekonomi di dalam suku merupakan representasi komunalitas tersebut. Tangkapan dengan tikam adalah mamalia laut dan ikan-ikan besar yang bisa dibagi kepada banyak kelompok yang terlibat dalam aktivitas produksi dan berkontribusi terhadap alat produksi. Tangkapan yang besar ini juga adalah jenis ikan yang bisa dikeringkan serta dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Leluhur masyarakat Lamalera tidak hanya meninggalkan keahlian atau teknik berburu dan menikam mamalia laut dan ikan besar, tetapi teknologi eksploitasi ini dilengkapi dengan sistem pengelolaan yang mengedepankan kebersamaan serta kesetaraan antar orang dalam suku dan dalam komunitas. Dengan sistem tikam, maka tidak ada individu dalam setiap suku yang tidak memiliki alat produksi. Karena, apabila satu tena laja tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang di suku, maka sebuah tena laja baru yang disebut sapang dibuat. Menjadi bagian dari uma tidak sulit tetapi selalu ada ketentuan yang harus dikuti. Salah satu yang utama kesamaan suku. Selanjutnya ditentukan oleh kemampuan setiap orang berkontribusi dalam pembuatan tena laja suku mereka. Bagi laki-laki yang berbadan sehat dan kuat dapat berkontribusi dalam hal pengadaan kayu untuk lunas atau badan perahu, para perempuan termasuk perempuan janda dari keluarga tidak mampu dapat berkontribusi untuk membuat tali dari kapas yang dipintal, atau bahkan sekedar menyediakan makanan dan minuman pada saat atamola, kelepe, dan anggota uma mengerjakan pembuatan
78
perahu. Bentuk-bentuk kontribusi tersebut untuk selanjutnya dapat menjadi pegangan hidup bagi setiap anggota uma.
5.1.1 Tena laja sebagai Alat Produksi Utama Pada Sistem Tikam Sistem tikam yang dinyatakan dalam penelitian ini adalah sistem produksi yang dilakukan dengan menggunakan tena laja yaitu perahu tradisional masyarakat Lamalera. Tena laja adalah perahu yang terdiri dari badan perahu, tali leo, bambu dan tempuling, dayung serta layar. Pembuatan perahu ini dipimpin oleh seorang atomola, yaitu tukang perahu yang memiliki keahlian dan kewenangan dari leluhurnya dan dibantu oleh orang-orang yang juga dari keluarga pembuat perahu. Ketentuan-ketentuan dalam membuat tena laja, tidak dapat dilanggar. Upacara-upacara adat harus diikuti. Begitu pun dengan jenis bahan pembuat perahu serta konstruksinya harus sesuai dengan apa yang dulu dikerjakan oleh leluhur mereka. Semua komponen, baik komponen materiil maupun komponen idiil di tena laja telah baku mengacu pada apa yang mereka dapatkan dari nenek moyangnya. Setiap bentuk pelanggaran atau penyimpangan akan selalu mendapatkan konsekuensi yaitu berupa teguran langsung dari alam atau laut beserta isinya. Pada sistem tikam dengan tena laja, kelembagaan likatelo mendapatkan tempat yang paling kuat, yaitu dalam hal pengaturan serta keleluasaannya untuk terlibat dalam segala bentuk pertikaian yang terjadi dalam suku ataupun dalam komunitas yang berkaitan dengan aktivitas melaut. Karena tena laja bukan milik perorangan melainkan adalah perahu yang menjadi gantungan hidup bagi banyak orang. Sebagai alat produksi, tena laja tidak bisa dilihat dari sisi material saja. Ada aspek ideal yang dilekatkan pada tena laja yang mana hal tersebut mempertegas perbedaan antara tena laja dengan perahu sampan lainnya. Di belakang fungsi utamanya sebagai alat produksi komunal, tena laja diikuti dengan peran organisasi ekonomi uma, nilai-nilai spiritual serta pengukuhan bagi status dan kewenangan lembaga adat likatelo. Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya, tena laja merupakan alat produksi yang paling dekat dengan inti budaya di Lamalera.
79
5.1.2 Pergeseran pada Sistem Tikam Kegiatan menikam mengalami beberapa perubahan sebagai bentuk penyesuaian dengan teknologi mesin johnson yang mulai dikenal oleh para nelayan. Keberadaan mesin juga mempengaruhi pola adaptasi dengan lingkungan yaitu dalam hal pemanfaatan hasil laut. Bagi nelayan Lamalera, kehadiran mesin johnson telah memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengoperasikan alat tangkap.
Selain
meringankan nelayan dalam
mendayung
perahu,
juga
memungkinkan berkurangnya jumlah orang yang mengoperasikan perahu, dari yang biasanya 13-15 orang, sekarang tena laja bisa dijalankan oleh 7-10 orang meing saja. Pertama kali masyarakat Lamalera mengenal mesin melalui program kerja FAO pada tahun 1973. FAO datang untuk program penguatan pangan masyarakat. Pada saat itu kepada nelayan Lamalera mesin dikenalkan dalam satu paket dengan pengenalan penangkapan paus menggunaan teknik tembak. Dari program FAO tersebut nelayan Lamalera berhasil menembak banyak ikan. Akan tetapi teknik tersebut ditolak oleh masyarakat. Kelimpahan paus yang dihasilkan dengan teknologi baru yang dibawa FAO, melebihi kebutuhan masyarakat biasanya sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara baik. Masyarakat yang peneliti temui menggambarkan begitu banyaknya hasil tangkapan ketika itu, sehingga nelayan tidak bisa menyelesaikan membaginya dan banyak daging yang tidak dimanfaatkan secara patut. Sebagaimana etika masyarakat pesisir tersebut yang tidak diperkenankan untuk membuang atau menyia-nyiakan hasil laut, maka teknologi tersebut akhirnya tidak dilanjutkan. Beberapa masyarakat bahkan dengan tegas mengatakan bahwa teknik menembak tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan adat yang diyakini orang Lamalera. Bagi masyarakat Lamalera yang memaknai koteklema dengan sangat kompleks, banyaknya jumlah daging yang tidak terolah dengan baik berbalik mendera nilai-nilai ola nua yang mereka miliki. Pada akhirnya teknologi tersebut ditolak oleh masyarakat. Selain alasan di atas, dengan teknologi ini banyak pesan moral, permohonan pada alam serta ikatan terhadap leluhur terhapus. Masyarakat Lamalera ketika itu tidak mengehendaki perubahan-perubahan seperti itu.
80
Dalam salah satu programnya, FAO merekrut sembilan orang nelayan untuk dilatih menggunakan serta memperbaiki jaring pukat. Nelayan juga diajarkan untuk membuat perahu sampan, dengan konstruksi yang berbeda dengan tena laja. Pada saat itu nelayan Lamalera juga dikenalkan pada koperasi, lembaga yang dibentuk untuk melanjutkan kegiatan yang telah dikenalkan kepada nelayan setelah program selesai dilakukan. Keberadaan koperasi tidak berlangsung lama karena timbul banyak kecurigaan dan rasa tidak percaya dalam masyarakat terhadap pengelola koperasi. Selepas program
FAO,
tiga
mesin
johnson
ditinggalkan untuk
dimanfaatkan oleh para nelayan yang dilatih mengoperasikan pukat. Mesin tersebut kemudian rusak. Nelayan tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki sehingga akhirnya tidak bisa digunakan lagi. Sekitar dua tahun selepas kegiatan FAO, pada tahun 1975, pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur memberikan bantuan mesin kepada nelayan Lamalera. Masing-masing desa mendapatkan dua mesin. Ketika itu mesin yang dibagikan digunakan untuk membawa turis yang datang untuk meyaksikan perburuan atau untuk membantu kru televisi yang datang untuk mengambil gambar perburuan paus. Setelah itu penggunaan mesin untuk musim lefa mulai dilakukan oleh beberapa nelayan. Setelah bantuan dari Pemda Flores Timur, kembali nelayan Lamalera mendapatkan mesin dari pengelola TamanWisata Ancol. Mesin didatangkan dari Jakarta untuk menangkap hidup-hidup paus pembunuh (killer whale) yang dikenal orang Lamalera dengan seguni. Ancol ketika itu tidak berhasil mendapatkan paus pembunuh tetapi mesin johnson serta peralatan seperti tali yang digunakan untuk menangkap paus pembunuh ditinggalkan kepada nelayan Lamalera. Setelah mengenal mesin melalui pihak luar, nelayan Lamalera mulai berusaha untuk mengusahakannya sendiri. GDK adalah orang Lamalera yang pertama kali membeli mesin johnson di Maumere diikuti oleh YPB, orang Lamalera yang merantau ke Surabaya dan membelikan mesin johnson untuk keluarganya di Lamalera. Dengan menggunaan mesin dari YPB, maka Java Tena merupakan tena laja pertama yang memiliki dan menggunakan mesin johnson untuk lefa.
81
Bantuan johnson sering diikuti dengan bantuan pukat. Salah satu bantuan pukat yang diterima datang dari PK, orang Lamalera yang menjadi perwakilan masyarakat Lembata di Kab. Flores Timur. Bantuan itu diberikan pada saat Lembata mulai merintis otonomi untuk lepas dari kabupaten Flores Timur. Pemerintahan Bupati pertama Lembata juga memberikan bantuan delapan mesin johnson kepada delapan kelompok yang dibentuk untuk menerima bantuan tersebut. Selanjutnya juga diberikan mesin johnson kepada para janda dan orang jompo dari pemerintah di Kupang. Bantuan terakhir berbeda dengan bantuan mesin sebelumnya adalah dua kapal penangkapan bermesin TS dari Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata31. Pilihan penggunaan johnson selain karena mesin inilah yang pertama kali mereka kenal, juga karena mesin ini sesuai dengan karakter laut dan pesisir pantai di Lamalera. Dengan kondisi arus yang kuat, ombak yang keras dan karakter lingkungan lainnya, mesin yang dibutuhkan oleh nelayan adalah mesin yang bisa disimpan setiap kali mesin tidak digunakan. Atau dengan kata lain mesin yang tidak sulit untuk disimpan, bisa dipasangkan ke dan dilepas dari tena laja atau sampan dengan mudah sehingga mudah pula mendorong kembali tena laja dan sampan ke dalam naje. Saat ini selain mesin johnson, beberapa nelayan juga menggunakan mesin ketingting. Tapi pada dasarnya kedua mesin itu dipilih karena sama-sama mudah dipindahkan, dibawa dan disimpan setelah melaut.
a. Penggunaan Mesin Johnson di Tena laja Tidak sulit bagi nelayan Lamalera untuk mengenal dan mengasah kemampuan mengoperasikan mesin johnson karena dari awal mereka telah didampingi oleh orang-orang yang ahli dalam menjalankan mesin tersebut. FAO datang dengan tenaga ahli dari Norwegia. Sementara itu, meskipun teknik tembak dengan menggunakan harpoon dan koperasi nelayan tidak bertahan lama dalam masyarakat, tetapi kedatangan FAO yang mengenalkan mesin dan pukat meninggalkan pengaruh yang berarti hingga kini. Nelayan 31
Bantuan diberikan masing-masing satu untuk Desa A dan Desa B. Kedua Kapal tidak pernah digunakan disebabkan karena nelayan tidak memiliki kemampuan untuk mengoperasikan, pemberian bantuan yang mengundang pertikaian serta bentuk kapal yang tidak sesuai dengan kondisi laut selatan Lembata. Kapal milik desa A pada akhirnya rusak, sedangkan kapal milik Desa B setelah gagal dioperasikan, diserahkan kembali kepada DKP Lembata.
82
beradaptasi dengan mesin secara bertahap hingga akhirnya menemukan formulasi yang lebih optimal. Setelah FAO meninggalkan Lamalera, mesin johnson digunakan untuk keperluan transportasi terutama oleh gereja. Pater Dupont menggunakan mesin johnson untuk menjalankan misi dan berkoordinasi dengan stasi di desa-desa sekitar.
Selangkah di depan, mesin johnson mulai digunakan untuk
menjalankan tena laja pada musim lefa. Mesin mengantikan fungsi layar sekaligus menggantikan tenaga meing mendayung perahu. Selama memutari lautan untuk mencari ikan di permukaan hingga mengejarnya hampir mutlak mesin digunakan, dan meing cukup duduk, membuang air yang merembes dalam perahu sambil memutar pandangan mencari ikan. Meing hanya sesekali saja mendayung pada saat target tikaman sudah dekat dan lamafa bersiap untuk menikam. Pada saat itu, meing tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga dan itu adalah salah satu keringanan bagi meing. Dalam menggunakan mesin johnson di tena laja, meskipun keberadaannya menjadi sangat membantu, tetapi porsi yang diberikan terhitung sama dengan tenaga satu orang meing. Oleh karena itu, ketika mesin johnson yang digunakan adalah milik perseorangan, maka pembagian hasil yang diperoleh atas mesin johnson yang digunakan sama dengan bagian yang diterima oleh seorang meing. Hitungan ini tidak termasuk pemakaian bahan bakar. Disini bahan bakar terhitung mendapatkan bagian satu orang meing. Apabila mesin johnson adalah milik kelompok maka tena alep memiliki tanggung jawab untuk mengelola, menyisihkan hasil tikaman untuk bahan bakar, perbaikan atau penyusutan mesin dan perbaikan tena laja. Secara teknis, mesin johnson dipasangkan di bagian belakang tena laja, tepatnya sebelah kiri atau kanan madi. Juru mudi atau orang yang bertugas mengemudikan mesin adalah pemimpin perjalanan lefa (lamahuri). Meskipun nelayan menggunakan mesin pada saat lefa, tetapi mereka tidak berani mengambil resiko untuk menggunakan mesin di tena laja untuk mengejar koteklema dan jenis paus besar dan liar lainnya, karena dikhawatirkan bila paus berontak dan memukul perahu, mesin akan rusak atau lebih buruk lagi bisa membuat mesin tenggelam di laut. Kerugian yang cukup
83
besar untuk ditanggung oleh nelayan ini membuat mereka mengambil cara lain yaitu dengan menonda tena laja dengan sampan besar yang dipasangkan mesin johnson.
b. Perahu Sampan dan Mesin Johnson untuk Menonda Tena laja Setelah nelayan Lamalera terbiasa mengoperasikan mesin johnson, mereka secara perlahan-lahan memperbaharui teknik melautnya. Fungsi mesin semakin dimaksimalkan. Pada tahapan ini, mesin dipasangkan dengan sampan besar dan digunakan untuk menarik tena laja selama baleo. Tena laja disambungkan dengan tali tambang plastik ke sampan besar. Dengan demikian laju tena laja bisa mencapai kawanan koteklema lebih cepat. Dengan demikian dapat menghemat banyak waktu dan juga memudahkan para meing mengejar koteklema. Menyadari besarnya resiko dengan membawa mesin johnson pada saat mengejar koteklema, maka tepat pada saat-saat tena laja sudah dekat dengan koteklema, tali yang tersambung ke tena laja dilepaskan. Sampan besar menjauh dari tena laja dan koteklema. Pada waktu yang bersamaan, para meing di tena laja mulai mendayung mendekati koteklema dan mencari posisi yang pas bagi lamafa untuk menikam. Setiap kali koteklema bergerak menjauh dari tena laja, sampan besar akan menghampiri dan melempar tali untuk menarik tena laja menuju koteklema yang mereka incar kembali. Hal seperti ini bisa terjadi berkali-kali selama perburuan dilakukan. Sampan besar tidak boleh mendekati tena laja disaat ia mencoba mencari posisi yang tepat untuk menikam koteklema. Pada saat meing di tena laja berusaha sekuat tenaga untuk menikam koteklema, meing yang ada di sampan besar hanya bisa melihat dari kejauhan. Apabila sebuah tena laja berhasil menikam koteklema. Sampan besar masih belum diperkenankan mendekat sampai koteklema benar-benar menyerah dan tali untuk menarik koteklema ke pantai telah dipasangkan. Setelah mendapat aba-aba dan panggilan dari meing di tena laja, sampan besar baru datang mendekat untuk memberikan tali tonda dan menarik tena laja dan koteklema ke daratan.
84
Tabel 5.
Tena laja dan Mesin Johnson
Tena laja Suku/Rumah Besar Horo Tena Bataona Kifalangu Holo Sapang Bataona Kifalangu Sili Tena Bataona Kifalangu Kebake Puke Bataona Olalangu Tenaona Bataona Klake langu Nara Tena Lamakera Menula Blolo Lamakera Tetiheri Batafor Buipuka Blikololo Demo Sapang Blikololo Bokololo Blikololo Sika Tena Sulaona Dolu Tena Sulaona Boli Sapang Hariona Praso Sapang Lelaona Olemao/Sinu Sapang Lelaona Lela Sapang Lelaona Baka Tena Tufaona Muko Tena Ata Kei Kebala Tena Lefotukan Dato Tena Lamanudek Noto Tena Lamanudek Koppo Pakar Oleona Soge Tena Tapoona Gleko Tena Tapoona Kena Puka Bediona Kelulus Bediona Java Tena Bataona Javalangu Sia Apu/ Tena Tapoona Lamanifak Sumber : Data Primer 2009.
Mesin Ada Tidak Ada Ada Tidak Ada Ada Tidak Tidak Ada Tidak Tidak Tidak Ada Ada Tidak Tidak Tidak Ada Tidak Tidak Tidak Tidak Ada Tidak Ada Ada Tidak Tidak
Keterangan Dibongkar/meing kurang Meing kurang Dibongkar/meing kurang Tidak aktif Tidak aktif Tidak aktif Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang Dibongkar/meing kurang
Tena laja yang berpasangan dengan satu sampan besar akan tetap bersama sampai kembali ke darat. Kebanyakan tena laja dan sampan yang digunakan untuk menonda pada saat baleo adalah milik kerabat dekat tena alep atau milik salah satu anggota kelompok pemilik tena laja. Sedangkan bagi tena laja yang tidak memiliki sampan atau mesin johnson dari kerabat anggota tena laja, tena alep bisa meminta kepada pemilik sampan atau pemilik mesin dari suku lain untuk menonda tena lajanya. Akan tetapi hal ini jarang terjadi, sehingga bisa dipahami ketika pada masa-masa awal dimana tena laja ditonda dengan sampan bermesin johnson, banyak tena laja yang tidak memiliki mesin, sampan atau keduanya memilih untuk tidak ikut baleo, karena mereka akan tertinggal dari tena laja lain yang melaju cepat ditonda oleh sampan bermesin.
85
Karena berburu dan menikam adalah aktifitas yang kompetitif antar tena laja dalam memperebutkan koteklema ataupun ikan lainnya, maka ini menjadi alasan bagi setiap pemilik tena laja untuk berusaha memiliki mesin johnson. Akan tetapi karena harga mesin yang cukup mahal bagi masyarakat Lamalera maka tidak mudah untuk memiliki mesin. Bila tidak karena bantuan dari pemerintah atau dari keluarga yang merantau ke luar daerah, akan sulit bagi mereka untuk mendapatkan masin johnson. Hal ini pula yang menjadi salah satu jawaban mengapa di kemudian hari banyak tena laja yang tidak dioperasikan sehingga lapuk karena lama tersimpan di bangsal sampai akhirnya dibongkar. Tabel 5 menunjukkan beberapa tena laja yang tidak aktif dan dibongkar karena lama tidak dioperasikan karena tidak ada mesin dan beberapa diantaranya tidak aktif lagi karena kekurangan meing.
c. Menikam Dengan Sampan Besar Variasi lain penggunaan mesin johnson yaitu dengan memasangkannya pada sampan besar untuk mencari ikan-ikan berukuran sedang di musim lefa. Untuk berangkat lefa dengan cara seperti ini, jumlah meing dalam sampan tidak terlalu banyak. Lefa bisa dilakukan dengan 4 (empat) atau 5 (lima) orang meing saja. Biasanya sampan besar bisa berangkat lefa tergantung pada ada tidaknya juru tikam dan juru mudi. Orang yang terlibat sebagai meing juga tidak didasari oleh hubungan kekerabatan, tetapi lebih didasari karena relasi dan kerjasama antar meing dan tuan sampan yang baik.
Oleh karena teknik
penangkapan ini yang menggunakan tempuling bambu dan menikam ikan, maka cara yang diikuti untuk mengelola hasil tangkapan dilakukan sebagaimana pada sistem tikam pada umumnya, yaitu dengan membedakan antara bagian meing, kelompok yang memiliki sampan besar atau uma (biasanya berasal dari satu keluarga kecil), atamola dan bagian khusus untuk lamafa.
86
5.2
Sistem Pukat Sistem pukat merupakan sistem produksi baru yang berkembang akhir-
akhir ini di Lamalera. Sistem ini telah menggeser sistem tikam yang dilakukan secara tradisional. Ke depan dengan berkembangnya sistem pukat ini akan banyak terdapat perubahan dari pengelolaan ekonomi secara luas dan berakibat cukup banyak mempengaruhi kehidupan di Lamalera.
5.2.1 Alat Produksi pada Sistem Pukat Sistem pukat ditandai dengan tiga alat produksi yang digunakan bersamaan yaitu mesin (johnson dan ketinting), sampan berukuran sedang hingga besar dan jaring pukat. Mesin johnson telah membuka pintu terhadap munculnya perubahan moda produksi. Mesin memainkan peranan penting baik dalam sistem tradisional tikam maupun pada sistem pukat. Sebagaimana telah diulas sebelumnya, penggunaan mesin johnson di Lamalera didukung oleh karakteristik lingkungan pesisirnya, demikian juga dengan penggunaan mesin ketinting. Johnson dipasangkan pada sampan besar sedangkan ketinting dipasangkan pada sampan berukuran sedang. Berbeda dengan mesin johnson yang bisa digunakan untuk tikam dan pukat, ketinting sampai pada saat penelitian dilakukan hanya digunakan untuk berpukat. Perahu sampan merupakan salah satu alat produksi yang membentuk sistem pukat. Terdapat tiga kategori perahu sampan di Lamalera yaitu sampan besar berukuran lebar 2 meter dengan panjang 8 meter, sampan berukuran sedang dengan lebar 1,5 meter dengan panjang sekitar 6 meter, dan sampan kecil atau bero dengan kapasitas 1 atau 2 orang. Keahlian membuat sampan diajarkan oleh seorang ahli dari FAO. Sebelumnya, selain membuat tena laja, nelayan Lamalaera hanya mengenal sampan kecil yang dibuat dari belahan kayu yang dilobangi bagian isinya. FAO mengenalkan kepada mereka cara membuat kapal dengan menyusun papan, sehingga tidak menghabiskan banyak kayu, teknik yang sebenarnya telah mereka lakukan untuk membuat tena laja. Alat produksi lain yaitu jaring pukat. Alat tangkap ini dikenalkan FAO bersamaan dengan pengenalan terhadap mesin johnson dan teknik menembak koteklema. Sembilan orang nelayan Lamalera dilatih untuk menggunakan dan
87
memperbaiki jaring pukat. Pengenalan jaring pukat pada nelayan tikam Lamalera berhasil, sehingga hampir setiap rumah tangga memiliki jaring nilon untuk menangkap ikan terbang dan ikan-ikan karang. 5.2.2 Variasi Penerapan Teknologi Jaring Pukat Seperti beberapa variasi dalam penerapan teknik tikam atas adaptasi terhadap masuknya mesin johnson, pelaksanaan pukat berlangsung dengan beberapa cara yang terus berkembang seiring kemampuan nelayan untuk mengoperasikannya serta untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
a. Berpukat dengan sampan kecil Melaut dengan menggunakan sampan kecil atau bero adalah teknik pertama yang dilakukan. Bero menampung satu sampai maksimal tiga orang meing. Bero tidak menggunakan mesin tetapi digerakkan dengan dayung menggunakan tenaga meing. Daerah tangkapan bero tidak jauh dari pesisir pantai, dan biasanya nelayan keluar sejalan dengan arah arus, sehingga tidak banyak menyita tenaga nelayan untuk mendayung. Jaring pukat yang dipakai dengan bero berukuran kecil sehingga bisa dikelola oleh 2 orang meing. Bero pada waktu-waktu tertentu juga biasa digunakan untuk membawa jaring nilon ikan terbang. Berpukat dengan bero telah dilakukan cukup lama dan biasanya hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga saja. Hasil tangkapan dengan bero jarang dipertukarkan, sekalipun ada biasanya dilakukan dengan tetangga dekat saja. Hasil tangkapan dari berpukat dengan bero biasanya ikan-ikan kecil seperti tongkol, cakalang dan tuna serta ikan-ikan karang lainnya. Apabila bernasip baik, nelayan bisa mendapat pari. Berangkat pukat dengan bero tidak dilakukan sepanjang malam. Meing biasanya keluar sore hari dan kembali pulang sebelum tengah malam. Apabila hasil yang didapatkan cukup baik, meing akan mebawa pulang hasil dan berangkat melaut lagi.
b. Berpukat dengan johnson dan mesin ketinting Kategorisasi sistem pukat ditandai dengan teknologi ekploitasi jaring pukat yang melembaga dalam pola produksi, distribusi dan pertukaran yang
88
berbeda dengan pengelolaan ekonomi sebelumnya. Pelembagaan ini menguat ketika penggunaan alat produksi digabung jadi satu. Berpukat dengan sampan besar yang dijalankan dengan mesin johnson baru dilakukan selama tiga tahun terakhir tepatnya pada bulan april 2008 atau dalam masa lefa tahun 2008. Pukat yang digunakan ketika itu adalah pukat kecil yang biasa dibawa dengan bero. Kegiatan berpukat ini menggabungkan tiga alat jenis produksi yang telah dimiliki oleh masyarakat. Nelayan yang mencoba pertama kali mengatakan bahwa membawa pukat dengan mesin johnson dilakukan hanya sekedar mencoba saja. Karena hasil yang didapatkan dengan berpukat malam dalam jarak yang lebih jauh dari jangkauan bero sangat baik, beberapa nelayan lain akhirnya mengikuti hal yang sama. Di Lamalera ada dua tipe kegiatan berpukat yang dilakukan berdasarkan peralatannya. Yang banyak dilakukan adalah berpukat dengan mesin johnson berkekuatan 25 atau 40 PK menggunakan sampan besar dan jaring pukat ukuran kecil atau besar. Tipe lainnya yaitu dengan sampan ukuran menengah yang dipasangkan mesin ketinting, biasanya memuat jaring pukat kecil. Ketika penelitian dilakukan, baru ada dua mesin ketinting dan hanya satu mesin yang aktif digunakan untuk berpukat. Pukat sendiri terdiri atas beberapa ukuran, yaitu pukat kecil yang dimiliki oleh kebanyakan nelayan dan pukat besar. Pukat kecil sudah dikenal oleh nelayan. Inilah yang mereka gunakan dengan bero untuk mencari ikan kecil untuk keperluan dapur sendiri. Pukat besar masuk ke Lamalera sebagai bantuan dari Dinas Kelautan dan Perikanan kepada beberapa kelompok nelayan yang dibentuk untuk menerima bantuan pukat tersebut. Banyak nelayan yang berusaha untuk memiliki pukat besar ini karena seringkali hasil tangkapan lebih banyak dibandingkan pukat kecil. Jumlah meing yang dibutuhkan untuk berpukat tidak sebanyak jumlah yang dibutuhkan untuk keluar dengan tena laja. Untuk mengoperasikan jaring pukat kecil, tiga orang meing cukup untuk berangkat melaut. Apabila ada jaring pukat besar yang dibawa, maka setidaknya dibutuhkan 4 – 5 orang meing. Setiap berangkat melaut, jumlah pukat yang dibawa berkisar antara 3
89
sampai 6 unit/pis dengan ukuran yang beragam antara pukat kecil dan pukat besar. Pada ketinting meing yang berangkat biasanya 3 atau 4 orang saja. Berpukat dilakukan pada malam hari. Sampan bertolak sore hari sebelum gelap dan kembali pulang pagi hari. Selama di laut, setiap perahu sampan akan menjaga jarak masing-masing agar pukat yang ditebar tidak ditabrak oleh perahu sampan lain. Sebelum ada nelayan yang berinisiatif membawa senter untuk memberi tanda bagi perahu lain yang sedang berpindah, arah perjalanan setiap perahu yang berangkat ke laut lebih dulu biasanya akan diperhatikan untuk menjadi patokan agar perahu lain berpukat di daerah lainnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari jaring pukat tersangkut perahu sampan yang sedang melintas. Setelah mengalami beberapa kecelakaan karena jaring pukat tersangkut sampan lain, beberapa nelayan mulai berinisiatif untuk membawa senter selama melaut, dan terus berkembang dengan membawa lampu batrey yang bisa menyala sepanjang malam. Apabila di satu area nelayan tidak mendapatkan hasil, mereka akan berpindah ke tempat lain dan ini dilakukan hingga menjelang pagi.
Bahan bakar yang digunakan untuk menjalankan mesin johnson yaitu campuran antara minyak tanah dan bensin. Sekali perjalanan berangkat pukat, bahan bakar yang dibutuhkan antara 7-10 liter bahan bakar. Volume bahan bakar untuk ketinting lebih sedikit dibandingkan mesin johnson. Untuk mendapatkan bahan bakar khususnya bensin, nelayan biasanya membeli ke Larantuka atau Weiwerang. Di Lamalera sendiri ada toko yang menjual minyak tanah tetapi dengan harga yang lebih tinggi. Untuk mendapatkan bahan bakar yang lebih murah, nelayan akan meyediakan waktu satu atau dua bulan sekali untuk membeli bahan bakar. Perawatan mesin johnson tergolong rumit dan mahal, dan hanya ada satu orang yang terlatih memperbaiki mesin ini di Lamalera. Oleh karena itu, ketika melaut, yang dipercaya untuk memegang mesin bukanlah sembarang orang, melainkan orang-orang yang dipercaya oleh pemilik mesin atau pemilik mesin itu sendiri. Seringkali karena kerusakan-kerusakan tertentu yang tidak bisa diperbaiki oleh teknisi lokal, mesin harus disimpan dalam waktu yang lama. Pilihan lain
90
untuk memperbaiki mesin adalah dengan membawa ke Loweleba, Larantuka atau Maumere. Ketiga jenis alat produksi memiliki peran yang sama untuk semakin memperkuat terbangunnya sistem produksi pukat. Mesin johnson yang diperbantukan ke tena laja tidak merubah pengelolaan ekonomi kecuali membantu mobilitas nelayan yang dikompensasi secara biasa. Sampan besar sendiri tanpa digerakkan johnson mungkin tidak akan berarti dalam sistem produksi di Lamalera. Sedangkan pukat, ketika digandengkan dengan bero, sampan dengan kapasitas 2 orang, hanya menjadi ekonomi sampingan dan tidak cukup bermakna secara komunal. Dalam tiga tahun terakhir ini, ketika ide untuk menggunakan sampan besar bersama johnson dan membawa alat tangkap jaring pukat muncul, nelayan pun mencoba mencari bentuk-bentuk pengelolaan ekonomi seperti apa yang akan dikembangkan untuk mengelola hasil tangkapan. Perubahan teknologi membawa perubahan pada banyak aspek kehidupan di Lamalera. Cara pandang ekologi budaya dan materialisme tampak dalam pergeseran-pergeseran tersebut, bahwa perubahan tidak akan berhenti pada perubahan alat produksi semata, tetapi akan menjalar pada bagian pengelolaan ekonomi selanjutnya. Teori ekologi budaya mengatakan bahwa perubahan pengelolaan ekonomi akan merubah sistem sosiokultur lainnya, dalam bahasa lain perspektif materialisme menegaskan bahwa perubahan pada infrastruktur material akan berdampak pada struktur sosial dan suprastruktur di atasnya.
5.3. Perubahan Pengelolaan Ekonomi Setiap masyarakat mempunyai sistem ekonomi yang terjalin sangat dekat dengan pola teknologi subsistensinya. Ekonomi berisi hubungan-hubungan sosial yang mengorganisasikan produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa dalam satu masyarakat. Produksi adalah proses yang diorganisasikan secara sosial di mana barang dan jasa diciptakan. Distribusi adalah proses alokasi barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat. Pertukaran barang dan jasa adalah proses perpindahan sesuatu yang berharga dengan memperoleh pengembalian sesuatu yang lain, misalnya, pertukaran hadiah atau barang jualan di sebuah pasar (Sanderson, 2000: 111).
91
Sistem ekonomi tradisional di Lamalera disusun atas tiga elemen yaitu tena laja, sistem pembagian hasil tikaman dan penetang. Tena laja adalah penopang utama sistem produksi. Teknologi subsistensi ini memiliki asosiasi dengan suku dan rumah besar. Pada sub-bab sebelumnya telah diuraikan secara ringkas mengenai tena laja sebagai sebuah teknologi. Berikut ini adalah uraian mengenai pola kepemilikan tena laja sebagai alat produksi komunal. Distribusi dikelola dalam bentuk pembagian hasil tikaman per jenis ikan yang ditikam. Sedangkan pertukaran dilakukan dengan penetang dan barter. Di sisi lain, sistem pukat juga memiliki elemen-elemen ekonomi yang berbeda dengan pola tradisional yang telah terbangun. Alat produksi pada sistem pukat tidak berasosiasi dengan rumah besar, tetapi lebih kepada keluarga kecil saja. Sedangkan pola distribusi baru dikembangkan dengan mengadopsi metode dan cara lama. Sementara pada pola pertukaran, kontribusi ekonomi uang semakin kuat mendominasi meskipun penetang dan barter tetap berjalan. Dibalik semua pergeseran tersebut, sistem dasar hidup masyarakat tradisional Lamalera masih bergantung pada ikan-ikan besar.
5.3.1 Ekonomi Komunal a. Kelompok Pemilik Tena laja (Uma) Masing-masing suku memiliki paling tidak satu tena laja. Setiap tena laja dimiliki oleh sekelompok orang dalam satu suku dan mereka disebut uma alep. Dalam membuat perahu, uma alep merupakan kelompok orang yang berkontribusi dengan menyumbangkan bahan-bahan serta ikut terlibat dalam pembuatan perahu. Kontribusi tersebut dapat berupa papan, bambu, layar, tombak tempuling atau kapas untuk tali leo. Pada umumnya yang menjadi anggota sebuah tena laja adalah laki-laki di dalam suku. Tetapi tidak tertutup kemungkinan perempuan ikut menjadi anggota uma, dengan menyumbangkan kapas untuk tali leo atau menyediakan makanan dan tuak sebagai santapan selama pembuatan perahu. Sebagai kelompok inti pemilik perahu, uma alep diketuai oleh salah seorang anggotanya yang disebut tena alep. Tuan perahu ini bertanggung jawab serta memimpin pengelolaan perahu. Mulai dari pemeliharaan, memimpin persiapan perahu sebelum berangkat ke laut, ketika perahu berlayar sampai perahu
92
pulang kembali ke najenya serta memimpin pengelolaan hasil tikaman perahu yang menjadi hak uma alep. Hak uma alep terhadap ikan hasil tikaman selain koteklema tidak langsung dibagi kepada setiap anggota yang memakan uma, tetapi di kelola bersama di belappa lolo dari tena laja yang bersangkutan. Pengolahan di belappa lolo dan penyimpanan ikan yang telah selesai dikeringkan dilakukan oleh perempuan penghuni lango bela. Pada akhir musim lefa anggota uma akan berkumpul di lango bela dan membagi secara adil hasil tikaman pada satu musim lefa itu. Selain
membagi kepada semua anggota uma, bagian-bagian tertentu juga
disisihkan untuk tena laja. Bagian itu seperti bagian usus koteklema disimpan atau ditukar untuk keperluan perbaikan tena laja. Menjadi bagian uma alep atau menjadi anggota sebuah tena laja merupakan cara masyarakat Lamalera untuk menjamin keamanan pangan masyarakatnya. Hak uma berlangsung seumur hidup, seumur tena laja. Apabila seorang anggota uma mulai tua dan tidak bisa berangkat ke laut, maka ia akan tetap menerima bagian atau haknya. Ataupun ditemukan beberapa nelayan yang cacat karena melaut, maka mereka masih tetap bisa mengandalkan haknya pada uma untuk meyambung kehidupan. Hak memakan uma juga akan berlanjut pada keluarga anggota tena laja. Ketika masyarakat Lamalera senantiasa bersenandung dengan pengharapan bisa menikam ikan atau koteklema untuk janda dan anak yatim maka, yang dimaksud adalah uma yang menjadi hak suami atau orang tua para yatim yang telah tiada akan diturunkan dan menjadi penjamin kehidupan bagi janda dan anak yatim tersebut. Beberapa pendapat melihat uma alep sebagai sebentuk koperasi atau unit usaha sebagaimana yang banyak berkembang saat ini. Anggota uma juga seringkali diibaratkan sebagai sekelompok orang yang menanamkan sahamnya pada alat produksi itu. Tena laja dan uma alep
tentunya lebih dari sekedar
instumen ekonomi semata, keduanya disatukan dalam ikatan sosial kekerabatan. Fungsi-fungsi sosial mengikat kedua elemen itu dalam satu bangunan sosial masyarakat nelayan Lamalera. Apabila modal kapital adalah alat utama pada sistem ekonomi uang, di Lamalera kontribusi untuk menjadi anggota uma alep tidak bisa digantikan dengan uang, atau sekedar memberi modal untuk membiayai
93
pembuatan sebuah tena laja. Kontribusi berupa barang dasar pembuatan perahu serta ikut terlibat selama pembuatan perahu adalah satu syarat mutlak. Prinsip ekonomi utama pada tena laja dan uma adalah subsistensi. Menyediakan kebutuhan dasar konsumsi sampai pada saat-saat tersulit. Menyimpan bekal untuk melewati musim barat yang menghalangi laki-laki berangkat ke laut dan perempuan berangkat penetang (melakukan tukar-menukar) dengan masyarakat gunung adalah utama. Paling tidak, dengan melewati satu musim lefa, setiap rumah tangga telah menyimpan sedikitnya dua koli (karung) jagung untuk bekal di musim barat yang ditandai dengan hujan angin selama dua sampai tiga bulan. Prinsip subsistensi dan ketahanan pangan (food security) adalah salah satu jawaban atas pilihan jenis-jenis ikan yang ditikam. Jenis ikan seperti paus (koteklema, seguni dan kelaru), pari, dan lumba-lumba adalah tiga jenis ikan dan mamalia laut yang dagingnya bisa bertahan lama ketika disimpan. Dengan cara mengeringkannya dan membuat dendeng (dengan dibaluri air garam dan cuka terlebih dahulu) ketiga daging ikan ini akan bisa disimpan sampai setahun bahkan lebih32. Jenis ikan lain yang cukup bertahan lama untuk disimpan adalah hiu dan marlin. Daging hiu lebih tahan lama dibandingkan dengan ikan marlin. Tapi bila hanya untuk melewati satu musim barat, kedua ikan ini masih bisa diandalkan.
b. Pembagian Hasil Ada tata cara yang khusus dalam membagi ikan hasil tikaman. Pertama, ikan belum boleh dipotong dan dibagi sebelum atamola memberi tanda pada ikan tersebut. Tanda yang digoretkan atamola pada ikan merupakan batasan bagianbagian yang menjadi hak beberapa kelompok orang. Kedua, cara membagi ikan juga berbeda antara jenis paus, lumba-lumba dengan pari, hiu dan ikan marlin. Dua jenis ikan yang dipaparkan sistem pembagiannya pada tulisan ini adalah pembagian koteklema dan pari (belelang, bou dan moku). Pembagian koteklema dengan jenis lumba-lumba lain seperti temu bella, seguni atau lumba-lumba kecil tidak banyak perbedaan. Untuk hasil tikaman koteklema, pembagiannya dibedakan atas tiga kelompok besar yaitu bagian uma 32
Untuk membuat dendeng atau daging ikan kering awet, pada saat di jemur, ikan-ikan tersebut harus dihindari terkena air hujan meskipun sedikit.
94
alep, awak perahu (matros atau meing) dan bagian tuan tanah (tana alep). Ketiga bagian besar kemudian dipecah lagi ke bagian yang lebih kecil yang akan menjadi hak masing-masing orang. Ada nama-nama tradisional untuk masing-masing pembagian. Bagian uma alep dibagi menjadi beberapa bagian yaitu: a. Laba ketilo adalah bagian yang menjadi hak atamola, yaitu orang yang mengawasi pembuatan perahu serta perbaikan-perbaikan besar dalam perahu. Biasanya atamola sekaligus berperan sebagai tena alep. b. Mima yaitu bagian yang diberikan kepada keluarga anggota suku pemilik perahu. c. Tenarap diserahkan bagi keluarga anggota suku. d. Kila adalah bagian keluarga anggota suku. e. Kefoko seba bagian untuk keluarga anggota suku yang bertugas dalam proses pengadaan kayu dan papan untuk pembuatan perahu. f. Laja adalah hak bagi orang yang membuat layar perahu. g. Nupa adalah hak bagi penempa harpun. h. Befana bela yaitu hak orang yang ikut membantu membuat perahu. Bagian meng alep atau meing dibedakan antara hak khusus untuk juru tikam atau lamafa, meing dengan tugas-tugas tertentu dan meing pada umumnya. Bagian untuk lamafa disebut dengan nofek dan separuh bagian kelik untuk ibu lamafa. Bagi meing yang juga merupakan anggota kelompok perahu, maka akan mendapatkan dua bagian sebagai meing dan bagaian sebagai uma alep. Bagian yang menjadi hak tuan tanah adalah bagian kepala koteklema. Dalam hal ini ada ketentuan yang membagi bagian atau hak tuan tana Tufaona dan Lango Fujjo. Setiap kepala koteklema tikaman tena laja dari sebelah barat Kapela St. Pertrus menjadi hak suku Tofaona dan tikaman tena laja dari sebelah timur kapela merupakan hak suku tuan tanah Lango Fujjo. Gambar pembagian koteklema ditamilkan pada bab sebelumnya. Pari merupakan jenis ikan yang hasil tangkapannya di musim lefa dikelola bersama di belappa lolo suku dan dibagi secara adil di akhir musim . Ikan ini lebih tepat dikatakan sebagai andalan untuk perekonomian komunal, karena daging ikan pari yang dikeringkan termasuk tinggi nilai tukarnya. Ikan pari dibagi menjadi lima lima bagian:
95
1. lajja yaitu bagian sayap ikan pari, dibagi kepada semua meing dalam tena laja, 2. uk dan korok yaitu bagian badan (punggung dan dada) ikan pari, menjadi hak uma alep, 3. ang atau ingsang dibari kepada para meing, 4. atte atau hati dibagi dua untuk meing dan uma alep, 5. tai kebotti atau bagian isi perut menjadi hak uma alep yang dibagi pada akhir musim lefa. Sistem pembagian ikan ini (termasuk pembagian koteklema) mengalami perubahan dengan tetap mengacu sistem tradisional yang telah ditetapkan.
c. Penetang dan Barter Pertukaran barang di Lamalera dilakukan dengan penetang. Pada pembagian kerja, penetang adalah pekerjaan pokok yang dilakukan oleh perempuan. Kegiatan ini berlangsung antara masyarakat pesisir Lamalera dengan masyarakat pegunungan sekitar. Proses interaksi antara beberapa desa yaitu desa pesisir dan desa pegunungan yang kehidupannya ditopang oleh dua lingkungan yang relatif berbeda, telah menciptakan sistem perekonomian bersama yang saling melengkapi. Komuditas yang dipertukarkan adalah hasil laut dari pesisir dan hasil pertanian di daerah pegunungan. Sistem pertukaran barang, memenuhi kebutuhan dasar kedua masyarakat. Kebutuhan protein masyarakat gunung dipenuhi dengan potongan ikan kering yang dibawa oleh perempuan Lamalera sedangkan kebutuhan karbohidrat masyarakat pesisir dicukupi oleh hasil panen dari pegunungan. Penetang dilakukan dengan cara membarter potongan ikan kering dengan jagung, padi, umbi-umbian, kacang serta sayuran. Kegiatan penetang dilakukan mulai dari dini hari, dimana biasanya kaum perempuan keluar sekitar pukul 03.00 atau 04.00 subuh dengan berjalan kaki ke desa-desa sekitar. Kegiatan tukar menukar dilakukan dari rumah ke rumah. Biasanya setelah mereka sampai di desa tetangga, mereka menunggu terang dulu baru berjalan ke rumah-rumah menawarkan ikan bawaannya.
96
Penetang telah dilakukan sejak lama. Oleh karena itu, hampir semua perempuan yang melakukan penetang mengenal dengan baik masyarakat desa sekitar mereka. Apa bila dalam satu hari ikan telah tertukar semua, maka biasanya mereka akan kembali pulang ke lefo. Tetapi bila masih banyak barang bawaan yang tersisa, tidak jarang mereka menginap di desa tetangga untuk beberapa malam. Ada kalanya kegiatan penetang juga dilakukan dalam waktu yang lama. Sekitar seminggu atau lebih. Hal ini biasanya dilakukan karena desa tujuan penetang terletak jauh dari Lamalera. Setelah sarana transportasi tersedia, kegiatan penetang dengan berjalan kaki mulai berkurang. Sekaligus memudahkan mereka untuk kembali pulang setelah sehari selesai berpenetang. Berbeda dengan penentang yang dilakukan langsung di desa-desa tetangga dan berjalan dari rumah ke rumah. Pertukaran barang melalui barter secara rutin juga difasilitasi. Dalam satu minggu, diselenggarakan dua kali pasar barter. Pertama pasar barter pada setiap Sabtu di Wulandoni dan kedua pasar barter setiap Rabu di desa Posiwatu. Pasar barter Wulandoni lebih besar dan aktif dibandingkan pasar barter Posiwatu. Pada saat inilah, semua komuditi yang mungkin dipertukarkan bertemu. Terdapat ikan, garam dan kapur kepunyaan masyarakat nelayan, bahan makanan pokok hasil kebun masyarakat pegunungan, sayuran, tuak, buah sirih dan pinang, pisang dan banyak lainnya. Sejarah terjadinya pasar barter Wulandoni pada mulanya untuk memfasilitasi pertukaran barang antara masyarakat desa satu desa dengan masyarakat nelayan Lamalera. Tetapi perkembangannya, pasar ini kemudian menjadi sarana bagi hampir semua desa di kecamatan Wulandoni untuk melakukan transaksi tukar-menukar barang dan jual beli. Saat ini pasar barter Wulandoni dikelola oleh pemerintah kecamatan Wulandoni. Alam Lembata secara umum memang berbeda dengan pulau-pulau di bagian barat Indonesia. Kontur lahan, iklim serta cuaca menuntut masyarakat terutama di daerah pedesaan yang masih sulit kondisi infrastruktur selalu memiliki persediaan cadangan makanan pada musim-musim barat yang ditandai dengan hujan berangin. Dalam kondisi ini, keberadaan pasar barter dan penetang menjadi penting. Bagi orang Lamalera, jauh sebelum datang musim barat perempuan para ibu rumah tangga telah menyicil menyimpan jagung dan beras ladang hasil
97
penetang dan barter untuk bekal di musim barat. Begitupun dilkukan oleh masyarakat pegunungan.
5.3.2. Ekonomi Kepentingan a. Kepemilikan Alat Produksi Tiga alat produksi utama dalam sistem pukat tidak memiliki asosiasi dengan rumah besar. Beberapa alat produksi dimiliki secara perseorangan, ada juga yang dimiliki oleh satu keluarga besar. Kepemilikan oleh keluarga besar memang merunjuk pada hubungan kekerabatan, akan tetapi tidak seluas relasi kepemilikan komunal pada tena laja. Terlepas dari itu, hubungan antara alat-alat produksi dalam sistem pukat dengan rumah besar bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Dari tiga alat produksi yaitu pukat, sampan besar dan mesin, maka pukat merupakan alat produksi yang jumlah kepemilikan perseorangannya relatif besar. Untuk jenis pukat kecil, sebagian nelayan memilikinya dari bantuan-bantuan yang pernah ada, sebagian lainnya didapat dengan membeli sendiri dan atau bantuan dari sanak saudara di perantauan. Sedangkan untuk jenis pukat besar, untuk periode pertama datang dari bantuan pemerintah daerah33. Kepemilikan jaring pukat bantuan merupakan milik kelompok. Akan tetapi kelompok-kelompok yang dibentuk untuk mendapatkan bantuan nyaris merupakan kelompok-kelompok fiktif yang tidak memiliki pemahaman yang sama terhadap bantuan yang diberikan, maka hampir semua bantuan digunakan (baca: dimiliki) oleh perseorangan saja. Dari delapan bantuan pukat besar yang diberikan oleh DKP Lembata, hanya satu pukat saja yang dikelola bersama-sama, yaitu oleh kelompok dari desa Lamalera Atas. Hasil yang memuaskan mengundang keinginan nelayan untuk dapat memiliki pukat besar. Menjelang meninggalkan lokasi penelitian, dua orang nelayan membeli sendiri pukat besar ini ke Jakarta. Sementara itu sampan besar kebanyakan dimiliki oleh keluarga inti dan sebagian kecil lainnya milik keluarga besar. Istilah uma juga dilekatkan pada orang-orang yang memiliki perahu sampan. Namun istilah ini secara tegas 33
Bantuan-bantuan alat tangkap yang diterima nelayan Lamalera kebanyakan adalah bantuan atas kepentingan-kepentingan politik. Hal ini dijelaskan dengan datangnya bantuan dari bakal calon dalam pemiliha=n kepala daerah ataupun anggota legislatif.
98
berbeda dengan uma pada tena laja yang merupakan kelembagaan ekonomi yang mengurus pengelolaan hasil produksi secara bersama-sama. Pada perahu sampan, uma hanya menyangkut masalah kepemilikan dan bagian atas milik tersebut, akan tetapi tidak dalam mengelola hasil untuk dibagi secara merata kepada anggota uma lainnya. Hal yang mendasar dalam hak pembagian pada uma di perahu sampan ialah, hasil yang dibagi atau yang menjadi hak uma sebuah perahu sampan yaitu hasil yang diperoleh dari tikam, tidak untuk hasil yang didapat dari pukat. Bagian untuk uma pada sistem pukat tidak terlembaga. Hanya dari kemurahan hati pengelola perahu sampan kadang kala hasil pukat dibagi kepada anggota uma lainnya. Beberapa mesin johnson didapat dari bantuan pemerintah. Sama halnya dengan pukat, bantuan mesin tidak diberikan kepada perorangan melainkan kepada kelompok yang dibentuk tidak dengan basis kekeluargaan. Dalam pengoperasiannya, mesin kelompok dikelola oleh satu orang anggota kelompok saja. Penggunaan yang dalam waktu lama yang nyaris membuat orang lupa bahwa mesin tersebut bukan milik individu yang bersangkutan. Pemanfaaatan individual terhadap bantuan yangdiberikan semakin kuat karena tidak ada pantauan terhadap bantuan yang digunakan. Mesin juga di dapat dari bantuan oleh keluarga di perantauan. Status kepemilikan mesin seperti ini biasanya menjadi milik keluarga besar, tetapi pengelolaannya diserahkan kepada satu orang anggota keluarga. Hasil dari mesin ini diberikan kepada orang tua yang membelikan mesin, dan sebagian dibagi kepada keluarga lainnya. Hampir semua pemilik mesin memiliki perahu sampan, sekaligus memiliki beberapa jaring pukat. Akan tetapi tidak semua pemilik pukat memiliki mesin dan perahu. Oleh karena itu, bagi pemilik pukat yang ingin jaring pukatnya dibawa melaut oleh satu perahu sampan, perlu meminta kesediaan dari tuan perahu. Ada kalanya, agar pukatnya dibawa serta melaut pada satu perahu sampan, pemilik pukat juga ikut menjadi meing di sampan yang bersangkutan. Relasi kerja dalam sistem pukat berbeda dengan relasi kerja yang ada pada sistem tikam (terutama ketika berlangsung musim lefa dan rai Lewotobi dan rai Duli). Di tena laja, meing adalah stakeholder. Meing bukan tenaga kerja melainkan pemilik sekaligus orang yang menjalankan alat produksi. Istilah meing
99
pada asalnya tidak yang merujuk pada tenaga kerja yang dipisahkan dengan pemilik moda produksi. Relasi kerja pada sistem ekonomi tradisional orang Lamalera tidak mengenal tenaga kerja atau dengan kata lain, orang yang bekerja dengan orang lain. Melainkan bahwa setiap meing bekerja pada alat produksi milik sukunya. Relasi ini berbeda dengan pukat. Pemilik alat produksi di satu sisi berbeda dengan meing. Setiap alat produksi, baik perahu sampan, mesin atau jaring pukat ada pemiliknya masing-masing. Meing yang tidak memiliki alat produksi dan semata mengandalkan tenaga saja juga ada. Singkat kata pergeseran alat produksi telah menggeser relasi kerja di Lamalera yaitu dengan terbentuknya kelompok pemilik alat produksi dan kelompok pekerja (owners-workers). Terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat berbasis ekonomi ini sedikit demi sedikit merubah pola perilaku setiap individu dalam hubungan sosial di masyarakat. Hubungan kerja antara meing dengan pemilik perahu sampan bukanlah relasi yang kuat mengikat kedua belah pihak. Meing bisa leluasa untuk berangkat atau tidak berangkat pada waktu-waktu yang diinginkannya. Meing juga bisa berpindah dari satu perahu ke perahu yang lain, apa bila memungkinkan. Keputusan untuk berangkat dengan sebuah perahu sampan cenderung karena ada kecocokan dan rasa nyaman untuk bekerja bersama dengan tuan perahu yang bersangkutan. Antara meing dengan pemilik perahu saling membutuhkan satu sama lainnya. Rasa saling membutuhkan ini mempengaruhi etika perilaku antara keduanya. Keikutsertaan ke laut berpukat tidak selalu dilakukan setiap hari. Pada musim-musim yang baik, setidaknya sehari dalam seminggu meing memilih untuk beristirahat dan tidak melaut. Absen ke laut juga disebabkan karena adanya kegiatan adat yang harus diikuti. Dengan kondisi-kondisi tersebut, maka jumlah meing yang aktif dalam satu masa bisa sangat berfluktuatif. Ada masanya jumlah meing banyak, melebihi jumlah yang dibutuhkan dari setiap perahu. Adakalanya juga jumlah meing sedikit, sehingga tuan perahu harus berusaha mencari dan meminta orang untuk ikut berpukat dalam perahunya. Untuk mempertahankan meing yang memiliki kinerja baik, pemilik perahu harus bisa memperlakukan para meing dengan baik pula sehingga mereka betah
100
untuk berpukat bersama dan tidak pindah ke perahu sampan lain. Meing pun harus bisa menjaga perilaku dan kinerjanya agar ketika jumlah meing yang berangkat ke laut sedang banyak, tuan perahu tetap mengajaknya untuk ikut serta. Ketika jumlah meing banyak, maka pemilik alat tangkap seperti pukat ataupun perahu sampan dan mesin johnson tidak ikut serta ke laut tetapi memberikan kesempatan kepada meing yang tidak memiliki alat tangkap. Sikap ini didasarkan karena ada etika untuk berbagi hasil kepada orang lain.
b. Perubahan Pembagian Hasil Sampai saat ini dalam pola produksi di Lamalera tidak berlaku sistem upah. Mereka masih mengadopsi sistem lama yaitu bagi hasil tangkapan. Cara bagi hasil diadopsi dari sistem yang ada sebelumnya. Hasil dibagi kepada jumlah meing yang ikut berangkat pukat dan mesin johnson, bahan bakar, perahu sampan dan bagian pukat yang berhasil menjaring ikan. Jaring pukat yang tidak mendapatkan ikan tidak mendapatkan bagian kecuali apabila pemilik pukat ikut sebagai meing, maka bagian yang diterimanya adalah bagian sebagai meing. Jenis hasil tangkapan dari pukat beraneka macam, tetapi kebanyakkan ikan yang didapat yaitu tuna, tongkol, cakalang, pari, marlin hiu, dan lumba-lumba. Untuk ikan-ikan kecil seperti tuna tongkol dan cakalang, hasil pukat dibagi sama rata antara semua komponen yaitu meing, perahu, mesin dan pukat. Sedangkan pembagian ikan pari, hiu, marlin dan lumba-lumba dibagi dengan beberapa aturan. Untuk pari, bagian ûk yang merupakan bagian uma pada sistem tikam, disini menjadi hak pukat. Dua sayap, bagian kepala dan ingsang dibagi kepada meing, mesin, minyak dan perahu. Bagi hasil untuk hasil ikan hiu, marlin dan lumbalumba, bagian badan dari sirip bagian atas sampai ke ekor merupakan milik pukat. Pukat juga mendapat bagian kelik, nopo, novok dan bagian mimo. Yang lainnya dibagi rata kepada meing, mesin, bahan bakar dan perahu sampan.
101
Gambar 7. Pembagian Ikan Pari (sumber: data diolah, 2009)
Nama bagian Uk Futu Topo Lei nake Bekat Madda Ang Tukang gayung
Tikam Uma Meing Lamafa Meing Tempuling Tena alep Meing Tukang gayung
Pukat Pemilik Pukat Meing, minyak, mesin, perahu, pukat Minyak Pukat Meing, perahu, minyak, mesin, pukat Minyak Meing, perahu, minyak, mesin, pukat Meing, perahu, minyak, mesin, pukat
Cara bagi hasil yang diterapkan kepada hasil pukat sangat menguntungkan bagi pemilik jaring pukat. Tanpa ikut melaut, pemilik pukat bisa mendapatkan bagian yang banyak, apalagi bila ikut serta kelaut maka hasil yang didapat ditambah dengan bagian sebagai meing. Atas pertimbangan bagi hasil yang didapatkan oleh setiap meing pula, maka jumlah meing yang ikut berpukat malam dibatasi. Jumlah meing dipertimbangkan antara efektifitas kerja setiap meing selama berpukat, jumlah pukat yang dibawa dan jumlah bagian yang akan dibawa oleh setiap meing nantinya.
102
c. Jual Beli dan Tukar Menukar Dengan berkembangnya sistem pukat, masyarakat Lamalera dan sekitarnya semakin terbiasa dengan pereonomian uang. Pertukaran barang dengan sistem barter masih dilakukan. Tetapi perekonomian uang juga banyak ditemukan. Menguatnya perekonomian uang selain dipacu karena munculnya kebutuhankebutuhan yang hanya bisa dipenuhi dengan membeli atau membayar juga karena sistem produksi pukat sendiri membutuhkan uang. Kebutuhan bahan bakar tidak bisa didapatkan dengan pertukaran. Pemilik mesin harus memiliki perhitungan yang baik agar kegiatan berpukat tetap bisa dilanjutkan yaitu dengan mengelola pertukaran hasil melalui barter dan diperjualbelikan. Jual beli ikan dengan pedagang dari pegunungan juga mulai terjadi. Pedagang bersepeda motor datang ke Lamalera untuk membeli ikan-ikan segar dan dijual di pegunungan. Pedagang datang dari Desa Boto dan Posiwatu, yaitu desa-desa yang terletak di daratan. Ikan yang dibeli yaitu tuna ekor kuning, tongkol atau cakalang. Jual beli berlangsung pagi hari di pantai, pedagang langsung datang langsung kepada nelayan yang baru datang dan menawar ikan yang dihendaki. Dari Lamalera sendiri juga mulai ada inisiatif untuk menjual ikan-ikan kecil ini ke luar kampung. Saat penelitian, keluarga AB salah seorang pemilik perahu sampan, mesin dan pukat telah menjual sendiri ikan-ikan kecil hasil berpukat perahunya ke desa-desa sekitar Lamalera. RB anak dari AB hampir setiap pagi mengambil ikan-ikan kecil yang merupakan bagian keluarganya dan dengan motor menjual ke pedalaman. AB pun pernah melakukan beberapa terobosan dalam pemasaran, yaitu ketika ikan tuna yang didapat berukuran besar dan banyak, AB menjual langsung ikan tersebut kepada kapal penampung di Larantuka dan Weiwerang. Pada saat penjualan tersebut itulah diketahui bahwa untuk ikan tuna ekor kuning yang tidak rusak dengan berat 35 kg bisa dijual ke kapal penampungan dengan harga 75.000/kg. Ketika hasil cukup baik dengan mendapat ikan tuna sirip kuning yang besar dan tidak rusak, perahu sampan lain juga mulai melakukan hal tersebut. Nilai uang dari hasil pukat berupa ikan-ikan kecil telah memancing pikiran-pikiran untuk menjual ikan-ikan kecil tersebut. Ide untuk menjual ikan ke Loweleba terkendala oleh infrastruktur jalan dan sarana transportasi yang tidak
103
mendukung. Disamping dibutuhkan beberapa perlengkapan seperti cool box dan es untuk membuat ikan tetap awet. Sementara itu, di desa pedalaman daya beli masyarakatnya masih rendah. Situasi-situasi seperti ini memerlihatkan hasil tangkapan dengan pukat adakalanya menguntungkan bila ikan-ikan kecil yang banyak di dapat bisa dijual langsung, tetapi menjadi beban juga apabila tidak bisa dijual. Beban ini kerap peneliti temukan di pantai, ketika hasil yang didapat pukat kebanyakan adalah ikan kecil, pekerjaan ibu-ibu rumah tangga akan bertambah berat yaitu membakar ikan dan berangkat penetang malam atau esok harinya. Tidak jarang karena banyaknya ikan kecil yang didapatkan, para meing akhirnya membagi secara cuma-cuma ikan tersebut kepada orang-orang di pantai dan kepada tetangga mereka. Dilematika dalam mengolah dan mempertukarkan ikan-ikan kecil menjadikannya nilai ikan kecil dipandangan masyarakat pesisir ini rendah. Sepulang dari pukat, maka dikatakan ‘hasil’ apabila ada pari, hiu atau lumbalumba yang didapatkan. Nilai ikan tertinggi oleh keseluruhan meing ada pada pari, sedangkan nilai tangkapan ikan bernilai tinggi oleh pemilik jaring pukat adalah ikan hiu, karena satu set sirip hiu menjadi milik pukat. Sirip hiu yang bisa dijual dengan harga 175.000/set. Sedangkan dengan hasil tangkapan berupa tuna, tongkol, cakalang yang banyak sekalipun sering disebut dengan kosong karena nilai ikan rendah. Rendah atau tingginya nilai ikan dalam masyarakat Lamalera ditentukan oleh bisa atau tidaknya daging ikan tersebut diawetkan. Daging ikanikan kecil sendiri tidak bisa disimpan lama, harus segera diolah, dijual atau dikonsumsi.
5.4. Dampak Perubahan Pengelolaan Ekonomi Terhadap Aspek Sosiokultur Lainnya Kehidupan masyarakat Lamalera, hampir di segala aspek tidak bisa lepas atau selalu berhubungan dengan laut. Peneliti akan untuk memaparkan kaitankaitan ini dalam metode yang dikembangkan Steward. Ketika proses adaptasi dengan lingkungan melahirkan teknologi pemamfaatan dan menciptakan sistem perekonomian
masyarakat,
kemudian
pengelolaan
ekonomi
tersebut
104
mempengaruhi aspek lain dalam sistem sosiokultur, maka disana ranah studi ekologi budaya bisa dikembangkan. Pengaruh pengelolaan ekonomi tersebut akan terlihat terutama pada elemen-elemen dasar struktur masyarakat seperti sistem sosial, politik dan agama.
Tabel 6. Perubahan Moda Produksi Di Lamalera dan Pengaruhnya pada Aspek Sistem Sosiokultur Lain. Aspek-aspek Sistem Sosiokultur Teknologi eksploitasi Pengelolaan Ekonomi Pola Produksi - Kepemilikan alat produksi - Organisasi Ekonomi - Relasi kerja Pola distribusi
Pola Pertukaran
Lembaga adat Lika telo
Aspek lain
kelembagaan
Sistem Religi
Sistem Norma
Sistem Kekerabatan
Sistem Tikam
Sistem Pukat
Tena laja
Sampan besar, mesin jhonson, jaring pukat
Komunal/suku atau sub-suku
Personal atau keluarga besar
Uma / kelompok pemilik tenalaja) Pemilik sebagai penggerak usaha
Usaha perorangan/keluarga
Pembagian hasil tikaman berdasarkan baku yang ada, ditandai oleh atamola Penetang dan barter dan jual beli
Lika telo mengatur dan memiliki wewenang menjaga kelancaran kegiatan menikam dan segala urusan kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan laut. Tobu nama fatte, yaitu musyawarah umum di pantai sebelum memulai leffa, mengevaluasi dan membuat aturan untuk leffa yang akan berlangsung. Selalu disertai dengan upacara adat dan ritual agama (gereja dan keyakinan animisme) - Banyak aturan sakral yang mengikat nelayan di laut dan keluarga yang menetap di darat. - Sistem regulasi non formal untuk menjaga stabilitas sosial ada seiring berlangsungnya kegiatan di laut (menikam) Asosiasi yang kuat dengan suku dan rumah besar
Sumber: Data Primer (2009)
Pemilik alat produksi dan matros sebagai tenaga kerja. Pembagian hasil dengan mengadopsi sistem tikam. Penetang, barter, semakin menguatnya jual beli (ekonomi uang) Lika telo tidak memiliki wewenang mengatur kegiatan berpukat karena pukat merupakan alat tangkap milik perorangan bukan milik bersama. Tidak ada kelembagaan yang mengatur.
Relasi antara kegiatan ekonomi pukat dengan agama semakin longgar. Ibadah dilakukan secara perseorangan saja. Terjadi pelonggaran normanorma sosial.
Lingkup kekerabatan menyempit dalam keluarga kecil dan keluarga besar.
105
Perubahan pada teknologi pemamfaatan sumberdaya berimbas pada pengelolaan ekonomi. Pergeseran ini sedikit banyaknya juga berpengaruh ada sistem sosiokultur lainnya. Berikut dipaparkan bagaimana pola teknologi eksploitasi, dan pengelolaan ekonomi mempengaruhi elemen-elemen sistem sosial lainnya.
a. Dampak Perubahan Pengelolaan Ekonomi Terhadap Lembaga Adat Likatelo Satu hal penting dalam kehidupan bermasyarakat adalah adanya kelembagaan lokal yang kuat. Umumnya, kelembagaan sering diartikan sebagai organisasi, yang dalam banyak hal dapat merancukan pengertian yang sebenarnya dari kelembagaan tersebut. Schmid (1987) mengartikan kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentuk-bentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggung jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan/atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemamfaatan sumberdaya alam tertentu (Nasdian, 2004: 5). Dalam perspektif sosiologis, kelembagaan dipandang sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak. Wujud kongkrit dari kelembagaan adalah kelompok-kelompok dan organisasi sosial dan pola hubungan antarkelompok atau antar organisasi. Di Lamalera wujud kongkrit kelembagaaan diejawantah dalam sebuah lembaga adat Lika telo. Lembaga ini digerakkan oleh tiga suku yaitu Belikololo, Bataona dan Lefotukan. Tiga suku yang merupakan keturunan dari Korohama. Dalam kelembagaan Lika telo, Belikololo berperan sebagai pengatur urusan adat seperti menyangkut kematian, perkawinan urusan adat antar suku dan urusan adat dengan masyarakat di luar Lamalera. Bataona sebagai putra tengah berperan sebagai pihak yang mengurus masalah penghidupan ola nua (pencarian di laut). Perannya dikukuhkan terhadap segala urusan yang berhubungan dengan laut dimulai dengan pengadaan upacara membuka musim lefa, melakukan segala ritual yang berkaitan dengan dengan laut pada saat ada
106
masalah dan bencana yang menimpa masyarakatnya. Sedangkan Lefotukan berperan dalam urusan pemerintahan. Peran ini dikukuhkan pada masa kolonial Belanda dengan mengangkat ketua suku Lefotukan sebagai Kakang (pemimpin pemerintahan sebuah distrik). Kelembagaan lika lelo merupakan institusi lokal yang lahir dari sebuah hubungan kekerabatan. Kelembagaan ini juga mempengaruhi pola pemukiman di Lamalera pada masa awal-awal kedatangan mereka di pesisir Lembata yaitu dengan menempatkan rumah besar anak sulung dan anak bungsu di dataran tinggi. Rumah besar kedua dibangun didekat pesisir pantai karena ditugaskan untuk menjaga pantai. Sekarang rumah besar Belikololo dan Lefotukan masuk dalam wilayah administratif Desa Atas sedangkan rumah besar Bataona terletak di Desa Bawah. Urusan bersama, yang melibatkan masyarakat satu lefo pertemuanpertemuan seperti musyawarah bahkan ritual-ritual magis banyak diselenggarakan di dua rumah rakyat ini, yaitu rumah besar Belikololo dan rumah besar Kelake Langu Bataona (PHB 14 Juli). Dalam stratifikasi masyarakat, keturunan tiga suku ini tergolong ke dalam kelompok bangsawan. Dalam kehidupan demokrasi di Lamalera, maka anak keturunan dari tiga suku ini memiliki hak utama untuk memberikan suara pada urusan-urusan bersama. Lika telo adalah tempat kemana masyarakat mengadukan persoalan kampungnya. Dalam banyak hal, ketika lefo dihadapkan pada masalah maka, Lika telo menjadi pintu untuk memulai berbagai usaha dalam menyelesaikannya. Salah satu urusan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Lamalera adalah mengenai ola nua. Ketika lefo dihadapkan pada kondisi paceklik dengan hasil tangkapan yang sangat sedikit, maka pada situasi seperti ini koteklema akan diundang untuk datang ke lefo dan memberi makan kepada para janda dan anak yatim dan seluruh kampung. Masyarakat yang mulai merasa cemas, akan mungadukan persolan ini ke Lika telo. Pada kebiasaan masyarakat yang menyelesaikan beberapa masalah dengan ritual magis, maka satu tindakan dari Lika telo untuk membicarakannya dan menemui tuan tanah yang juga dipercaya memiliki keistimewaan untuk berinteraksi dengan para leluhur menjadi jalan untuk menyelesaikan masa-masa sulit seperti ini.
107
b. Animisme dan Agama Gereja Masyarakat Lamalera seluruhnya beragama Katolik. Misionaris pertama dikirim ke Lamalera pada tahun 1627, namun tidak ada catatan yang memadai mengenai misi ketika itu. Pertumbuhan misi Katolik di Lamalera ditandai dengan beberapa peristiwa penting yaitu pertama membaurnya misi Katolik dalam kehidupan masyarakat Lamalera ketika dilakukan pemandian (pembabtisan) terhadap masyarakat dan anak-anak pada pada 8 – 9 Juni 1886 di Lamalera Bawah dan pada Lamalera Atas. Kedua dikirimnya Pater Bernhard Bode SVD sebagai pastor pertama di Lamalera pada 25 September 1920, yang mana pada masa kepemimpinan pastor Bode didirikan gereja di Lamalera. Dan dibukanya sekolah Katolik pertama di Lamalera (sekaligus pertama di Lembata) pada tahun 1913 di bawah pimpinan Pastor Hoeberechts SY (Beding SVD, 1986). Sebelum Katolik masuk, masyarakat Lamalera adalah penganut animisme yang mengagungkan para leluhur mereka. Wujud tertinggi dalam keyakinan animisme Lamalera adalah ”Ama Lera Wulan” (Bapak Matahari dan Bulan) dan ”Ina Tanah Ekan” (Ibu Tanah dan Bumi) yang diyakini sebagai pengatur, pemberi dan penata hidup manusia (Helan 2006: 16). Arwah para leluhur mereka dipandang sebagai perantara antara manusia dengan wujud tertinggi. Meski mengakui eksistensi Tuhan sebagai wujud tertinggi, tetapi manifestasi kepecayaan terhadap kekuatan-kekuatan para leluhur lebih terasa di Lamalera. Arwah leluhur hadir dalam setiap permohonan, dalam menghadapi bencana dan kemalangan, terutama dalam hal penghidupan (ola nua). Keberhasilan dan keselamatan atas pekerjaan mereka di laut diserahkan kepada penjagaan oleh nenek moyang. Agama Katolik merombak kepercayaan animisme di Lamalera secara perlahan-perlahan dengan menggantikan ritual-ritual animisme yang biasa dilakukan sebelum berangkat ke laut dengan misa kudus. Hal ini sebagai mana tuliskan Pastor Alex Beding SVD, menurut kebiasaan orang yang mati dikuburkan di antara rumah-rumah. Sesudah beberapa lamanya keluarga keluarga mengangkat tengkorak si mati itu dan meletakkan bersama tengkorak-tengkorak para leluhur dalam rumah kecil yang disediakan oleh tiap suku/keluarga. Pada waktu tertentu tengkorak-tengkorak itu dicuci atau dimandikan dalam suatu upacara, misalnya bila tiba musim bagi peledang-peledang untuk keluar ke laut menangkap ikan,
108
atau ketika mereka mengalami musim paceklik. Perlahan-lahan ritual animisme itu digantikan dengan misa kudus yang dirayakan di pantai untuk memohon berkat atas pekerjaan para pelaut dan dihadiri oleh seluruh umat. Peledang-peledang diberkati dan dihiasi dengan nama-nama orang kudus atau slogan kristiani di haluannya (1986: 46-47). Begitu pula yang dilakukan terhadap batu-batu berhala, dikumpulkan dan dikubur menjadi pondasi bangunan gereja. Pada kenyataannya agama Katolik tidak bisa menggeser keyakinan animisme tersebut. Semua tersisa dalam berbagai praktek sinkretisme. Banyaknya pensakralan, pantangan dan etika-etika dalam berinteraksi dengan alam. Setiap yang terjadi di daratan dan lautan selalu ditafsirkan sebagai reaksi para leluhur atas tindakan-tindakan manusia. Kegagalan dan bencana di laut diyakini sebagai kesalahan yang terjadi di daratan dan sikap-sikap meing yang salah di laut. Sebagaimana para leluhur mengingin satu lefo berada dalam keharmonisan, maka berbagai bentuk ketidakharmonisan dalam rumah besar, antara keluarga, dan dalam masyarakat akan berdampak pada kegagalan di laut. Nilai spiritualitas ini sangat terasa bahkan sampai lebih seabad agama Katolik masuk ke Lamalera. Pemaknaan terhadap laut dan kekayaannya juga mendasar dalam keyakinan orang Lamalera. Salah satu etika adalah haram untuk membuang bagian sisa-sisa potongan ikan yang tidak dimamfaatkan, menjatuhkan ikan (termasuk tidak sengaja menjatuhkan). Dalam kasus-kasus seperti ini, bagi kelalaian-kelalaian dalam menghargai hasil ola nua maka mereka harus mengakuinya dihadapan para meing, memohon pengampunan dan memerciki perahu dengan air berkah sebelum bertolak lagi ke laut. Ajaran Katolik hanya bisa menggantikan ritual-ritual animisme dengan peribadatan-peribadatan gereja. Tetapi tidak bisa menyisihkan ketergantungan keyakinan masyarakat nelayan Lamalera terhadap leluhur serta tidak bisa menghilangkan pengharapan dan permohonan masyarakat kepada leluhur untuk penghidupan mereka.
c. Sistem Kekerabatan Bagi keberlangsungan perekonomian di Lamalera selain tena laja, tenaga manusia menjadi salah satu modal. Untuk menggunakan tena laja, paling sedikit
109
diperlukan 15 orang tenaga laki-laki kuat untuk mendayung dan seorang juru tikam (lamafa). Pada masyarakat nelayan pada umumnya, tenaga laki-laki menjadi penting karena pekerjaan di laut merupakan wilayah kerja laki-laki. Begitu pula bagi nelayan Lamalera, sebelum mengenal mesin paling tidak setiap suku memiliki lima belas orang tenaga produktif yaitu sejumlah tenaga meing yang akan mengoperasikan tena laja. Keberadaan mesin bisa mengurangi kebutuhan tenaga kerja ini. Tetapi tidak cukup banyak tenaga kerja yang bisa dikurangi, untuk berangkat lefa misalkan, dibutuhkan sekurangnya tujuh orang meing dan seorang lamafa. Tidak demikian dengan baleo, karena jumlah meing minimal di tena laja berkisar sepuluh hingga dua belas orang. Di banyak daerah di Indonesia, suku merupakan hal prinsip dalam kekerabatan patrilineal34 (Barnes, 1996: 62). Pentingnya laki-laki dalam suku menjadi salah satu indikator dalam sistem kekerabatan patrilineal. Di Lamalera, faktor produksi dijalankan oleh laki-laki. Sistem kekerabatan, aturan perkawinan serta bentuk pranata reproduksi lain dikembangkan untuk mempertahankan keberadaan laki-laki di dalam suku. Tanpa mengesampingkan posisi perempuan, eksistensi suku pada masyarakat nelayan ini berada di tangan laki-laki. Suku dan keluarga besar adalah unit kekerabatan dominan pada masyarakat tradisional. Pranata ini memegang fungsi-fungsi penting dalam pengorganisasian sosial. Pada masyarakat Lamalera banyak kegiatan-kegiatan
ekonomi, politik, dan agama
dilakukan dalam konteks kekerabatan. Untuk mempertahankan eksistensis suku dan menjalankan aktifitas produksi komunal maka sistem kekerabatan patrilineal dibatasi dengan aturan eksogami suku dan patrilokalitas35. Berbeda dengan beberapa masyarakat patrilineal dimana wanita setelah menikah masih tetap menjadi orang luar bagi kelompok patrilineal suaminya karena ia adalah anggota seumur hidup bagi kelompok patrilineal ayahnya, maka di Lamalera wanita menikah menjadi anggota kelompok patrilineal suaminya. Walau tidak sepenuhnya keluar dari
34
Keturunan ditelusuri hanya melalui laki-laki (yakni, melalui ayah seseorang, ayah dari ayah, ayah dari kakek, dan seterusnya) 35 Eksogami suku yaitu larangan menikah dengan orang di dalam suku atau menikah sesuku. Patrilokalitas yaitu aturan tempat tinggal setelah kawin dimana nikah tinggal dalam rumah tangga si suami.
110
kelompok patrilineal ayah, tetapi ia telah diserahi untuk mengampu tugas-tugas komunal di kelompok patrilineal suaminya. Pada ikatan patrilineal, kontinuitas suku diserahkan pada laki-laki. Oleh karena itu, pewarisan berlangsung dari ayah ke anak laki-laki. Pada masyarakat Lamalera, hal ini bisa diruntut dari awal dimana sebuah rumah besar diwariskan kepada salah seorang anak laki-laki (biasanya anak tertua). Hak kepemilikan alatalat produksi seperti tena laja dan tanah juga diwariskan kepada anak laki-laki.
d. Sistem Nilai dan Norma Turner (dalam Simandjuntak, 2002: 140) menuliskan bahwa celah kehidupan pada hakikatnya, menurut dialektika Simmel, berpotensi menciptakan keteraturan, kekacauan, maupun kestatisan dan perubahan. Dalam kehidupan bermasyarakat
biasanya
terdapat
lembaga
atau
norma
untuk
menjaga
keharmonisan dan stabilitas sosial. Di Lamalera keharmonisan dijaga dengan seperangkat nilai dan etika yang yang membatasi pola perilaku mereka di darat dan di laut terhadap lingkungan alam terutama lingkungan laut dan sesama manusia untuk penghidulan ola nua yang baik. Etika tersebut adalah norma yang dibutuhkan untuk menopang stabilitas kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Lamalera percaya bahwa norma yang dijaga di daratan merupakan sumber keberhasilan dan keselamatan di lautan. Urusan pemenuhan kebutuhan dasar ini menjadi salah satu pilar yang membangun norma. Agar bisa berhasil dan menghindari masalah di laut, maka beberapa norma selalu berupaya dipertahankan. Pertama, kerukunan di dalam kampung harus dijaga. Setiap konflik akan manampakkan wujudnya di laut. Setiap kecurangan dan tindakan asusila akan mendapatkan balasannya. Di laut, semua bentuk ketidakharmonisan akan ditunjukkan. Salah satu contoh, pertikaian antar meing dalam perahu akan diketahui melalui tidak jinaknya ikan ketika ditikam. Perahu tidak akan berhasil menikam ikan selagi pertikaian itu belum diselesaikan. Biasanya, perahu akan didaratkan dahulu, dan meing yang bertikai diminta menyelesaikan pertikaiannya. Setelah konflik antar meing selesai, dengan berdoa dan memercikkan air berkat, tena laja baru bertolak ke laut lagi.
111
Norma ini tidak hanya dijatuhkan pada orang yang berangkat ke laut. Segala pertikaian antara anggota kelompok dalam uma juga akan mendapat resiko serupa. Oleh karena itu, untuk menolak tena laja ke laut, semua masyarakat sadar bahwa tanpa membangun hubungan yang baik dengan sesama orang, tidak melakukan kecurangan, perbuatan asusila atau mengambil hak orang lain, maka perjalanan tena laja hanya akan menghasilkan kesiasiaan atau malah akan menimbulkan malapetaka. Sebagaimana mereka mengibaratkan melaut dan berburu ikan seperti berangkat berperang, maka segala bentuk hiruk pikuk di kampung harus dihindari. Pada masa lefa, dimana banyak perahu bertolak ke laut, maka tidak dibolehkan bagi anak-anak untuk bermain di pantai dan bangsal perahu. Begitu pula tidak diperkenankan suara gaduh di dalam rumah besar. Suasana hikmah, tenang dan tidak ada huru-hara dijaga selama tena laja masih berada di laut.
BAB VI LAMALERA DALAM DISKURSUS KONSERVASI
Pada saat perubahan ekonomi produksi berlangsung, masyarakat Lamalera dihadapkan juga pada diskursus konservasi keanekaragaman hayati melalui dicadangkannya Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu. Sebelum pencadangan KKPN Laut Sawu, laut Lembata telah menjadi bagian dari Kawasan Konservasi Laut Daerah Solor, Lembata dan Alor (KKLD Solar). Penetapan kawasan konservasi ini ditolak oleh masyarakat Lamalera karena menyangkut eksistensi budaya dan menyinggung sistem ekonomi produksi tradisional mereka. Beberapa program yang dilaksanakan oleh WWF dan pemerintah daerah untuk mendukung keberhasilan KKLD Solar dipandang sebagai usaha untuk menjauhkan masyarakat dari budaya leluhur mereka.
6.1.
Kearifan Tradisional Masyarakat Lamalera Konservasi dalam konteks lokal ini tidak diterjemahkan sebagai tindakan
perlindungan
atau
preservasi,
tetapi
bagaimana
masyarakat
tradisional
memanfaatan sumberdaya dengan batasan-batasan yang memperhatikan tingkat keadaan lingkungan, kebutuhan hidup, batasan alam dan batasan-batasan spritual yang dianut. Pemaknaan konservasi seperti ini sangat erat hubungannya dengan kearifan lokal masyarakat tradisional dalam memanfaatkan alam untuk kebutuhan mereka. Masyarakat Lamalera memiliki kearifan tradisional sendiri dalam menggunakan sumberdaya lautnya. Kearifan ini bisa dikategorikan pada bentuk konservasi tradisional yang didasarkan pada pemanfaatan dan pelestarian. Kearifan masyarakat Lamalera ditandai dengan beberapa hal. Pertama teknologi tradisional yang digunakan untuk mengeksploitasi sumberdaya. Sebagaimana yang dikemukakan dalam Konvensi Genewa mengenai Peraturan Penangkapan Paus pada tahun 1931, bahwa penangkapan paus hanya boleh dilakukan pada masyarakat yang menggunakan kano, perahu atau alat tangkap lokal, tidak menggunakan senjata api. Tena laja milik masyarakat Lamalera masuk ke dalam kategori perahu tradisional. Sangat sedikit perubahan di tena laja dan perubahan
113
tersebut tidak merubah dasar konstruksinya. Perubahan yang paling berarti adalah penggunaan mesin di tena laja. Tetapi pada dasarnya mesin di tena laja membawa nilai hanya sebagai alat bantu untuk mempercepat laju perahu saja. Sementara alat tikam masih mamakai tempuling yang terdiri dari mata tombak dan bambu. Kearifan kedua berkaitan dengan teritorial lautnya yang membatasi area penangkapan (fishing ground). Nelayan mengenal beberapa batasan jarak dalam melaut yang disebut kajo. Area penangkapan nelayan Lamalera ditandai dengan 1. koli buka, tanda di bagian barat dengan melihat tanjung sebelah Folofutu 2. penutu buka, tanda di bagian timur dengan melihat tanjung setelah Atadei. 3. kebili bela buka, tanda di bagian timur 4. bobu buka, tanda dibagian timur 5. lambote buka dan, 6. suba duk, batas terluar melaut ke sebelah barat. Semua tanda tersebut menentukan jarak perjalanan yang boleh dilalui selama melaut dilihat dari kampung. Nelayan tidak akan melaut melebihi batas-batas yang ada atau tanda alam yang masih terlihat dan membantu mereka dalam mengenali arah dimana kampung mereka berada. Hingga saat penelitian dilakukan, meskipun sudah menggunakan mesin tetapi jarak melaut dengan tetap mempertimbangkan jarak dengan lefo Lamalera. Bentuk kearifan lain yaitu penetapan musim. Khusus penangkapan mamalia dan ikan besar dibatasi dengan menetapkan masa resmi turun ke laut dan masa selingan. Lefa merupakan saat dimana mereka memang bersama-sama keluar untuk mencari tangkapan yang besar. Di musim lefa juga terdapat masa khusus yang disebut blelagering yaitu saat dimana koteklema dibiarkan dan tidak diburu karena ketika itu ikan pari sedang naik/banyak. Memilih pari lebih diutamakan untuk menghindari kecelakaan dan resiko yang lebih besar ketika berburu koteklema. Pada koteklema, nelayan Lamalera tidak akan memburunya dimanapun mereka menemukannya. Mereka memiliki batasan sendiri dimana dan kapan saja koteklema boleh ditikam. Prinsip utama bagi mereka untuk berburu koteklema adalah keselamatan. Semakin jauh mereka berburu dari lefo, maka akan semakin tidak terjamin keamanan bagi meing yang berburu. Salah satu contoh adalah
114
larangan bagi melayan untuk memburu koteklema dan paus lain di daerah-daerah tertentu seperti di Selat Lewotobi dan Pantar. Nelayan Lamalera mengenal karakter koteklema berbeda dengan banyak mamalia lainnya. Koteklema lebih liar, kuat dan seringkali bergerombol serta setiap individu memiliki solidaritas untuk melindungi kelompok mereka. Karakter koteklema ini juga membatasi nelayan karena tidak diperkenankan satu tena laja memburu koteklema sendiri dan tidak mengabari ke meing yang lain. Lebih penting dari semua aturan-aturan diatas, nilai kearifan nelayan Lamarela terletak pada tata cara mereka menghargai pemberian laut serta ekonomi subsistennya. Masyarakat Lamalera terikat dengan norma yang mengatur tingkah laku mereka dalam memanfaatkan ikan. Salah satu nilai yang ditanamkan pada setiap orang di Lamalera yaitu penghargaan terhadap penghasilan ola nua. Setiap hasil melaut harus dimanfaatkan dengan baik dan tidak boleh ada yang disiasiakan. Etika masyarakat Lamalera mengharamkan mereka untuk dengan sengaja membuang segala rezeki yang diberikan oleh laut. Bahkan tindakan tidak disengaja pun mendapatkan teguran. Pemaknaaan konservasi bagi masyarakat tradisional juga tidak bisa dipisahkan dengan kebutuhan subsisten mereka. Dalam hal ini, perlu dibahas juga bahwa mamalia dan ikan yang diburu oleh masyarakat adalah mamalia dan ikan yang bisa diawetkan. Dalam perekonomian lokal, koteklema bisa menyokong penghidupan sebuah rumah tangga sampai satu bulan, berbeda dengan jenis ikan lainnya seperti pari yang dalam waktu tiga hari barter ke pedalaman bisa habis. Hal ini karena pembagian yang di dapat dari koteklema jauh lebih banyak dibanding pembagian dari pari dan ikan lainnya. Masyarakat juga dapat memanfaatkan kulit dan minyak koteklema yang mengandung banyak lemak untuk digunakan sebagai minyak lentera dan obat.
6.2.
KKLD Solar dan KKPN Sawu Kawasan konservasi laut (KKL) atau marine protected area (MPA)
memainkan peran penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem laut, sama pentingnya dengan kawasan konservasi darat (terrestrial protected area). Kehadiran ekosistem pesisir dan laut dengan terumbu karangnya
115
dan pulau-pulau kecil dalam KKL merupakan nilai penting tersendiri karena selain kaya akan keanekaragaman hayati laut, juga ekosistemnya sangat rentan (fragile) terhadap gangguan dan perubahan. Di sisi lain, akses laut yang relatif terbuka dapat menjadi ancaman yang mengkhawatirkan dalam konteks perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati laut beserta ekosistemnya. Oleh karena itu, KKL dirancang untuk sejumlah alasan, termasuk pengelolaan perikanan, promosi wisata, dan mempertahankan keanekaragaman hayati. KKL didefinisikan dengan banyak istilah di seluruh dunia seperti pencadangan laut, pelindungan laut secara utuh, zona larang ambil, perlindungan laut, taman laut, wilayah laut yang dikelola secara lokal dan sebagainya. Banyak penamaan ini memiliki tingkat perlindungan yang berbeda dalam meletakkan batasan-batasan terhadap aktivitas-aktivitas yang diperbolehkan dan dilarang. WWF menggunakan istilah KKL sebagai gambaran menyeluruh dari area yang dirancang untuk melindungi ekosistem laut, proses-proses, habitat-habitat, dan spesies, yang dapat berkontribusi pada pemulihan dan penambahan sumberdaya untuk pengayaan sosial, ekonomi, dan budaya 36. Definisi lain dari KKL menurut IUCN (2003) adalah perairan pasang surut, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, dan penampakan sejarah serta budaya, yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Wiryawan (2005: 4) mengatakan bahwa kawasan atau wilayah yang akan dikonservasi bisa berupa perairan, atau termasuk juga daratan di kawasan pesisir, yang nantinya akan disahkan dengan aturan formal maupun aturan lain seperti peraturan adat. Di Indonesia komitmen untuk
mewujudkan kawasan konservasi
disampaikan oleh Presiden RI dalam Forum the Conference on Convention on Biological Diversity (CBD) di Brazil pada tahun 2006. Kawasan konservasi yang ditargetkan adalah 10 juta hektar pada tahun 2010 dan 20 juta hektar pada tahun 2020. Untuk menindaklanjuti komitmen pemerintah tersebut, Departemen Kelautan dan Perikanan mengidentifikasi dan menginventarisasi kawasan perairan di Indonesia, salah satunya di perairan Laut Sawu.
36
http://wwf.panda.org/what_we_do/how_we_work/conservation/marine/protected_areas/
116
a.
KKLD Solar Diskursus konservasi laut khususnya yang terkait dengan perlindungan
cetacean menjadi dasar inisiatif awal pembentukan Kawasan Konservasi Laut Solor-Lembata-Alor (KKL-Solar). KKLD Solar mulai diinisasi sejak tahun 2001 oleh WWF danTNC melalui ekspedisi yang dilakukan di Kepulauan Solor dan Alor. Dalam eksedisi tersebut diidentifikasi status lingkungan laut seperti kondisi terumbu karang, distribusi ikan, manta dan organisme laut besar lainnya serta keragaman dan distribusi cetaceans dan lumba-lumba. Ekspedisi tersebut juga mengenali aktivitas masyarakat yang mempengaruhi kehidupan laut di Desa Lamalera dan Lamakera. Dari ekspedisi tersebut disimpulkan bahwa koridor laut tersebut merupakan kawasan yang sensitif dengan intensitas aktivitas perikanan yang dapat berdampak terhadap populasi kehidupan laut. Oleh karena itu, prioritas utama adalah mengelaborasi isu ini kepada pemerintah lokal, regional dan nasional dan meletakkan area ini dibawah perhatian kelompok-kelompok konservasi dan para donor. Hasil ekspedisi digunakan untuk merancang komponen Alor dan Solor untuk program konservasi cetacean Indonesia. Dan kawasan selanjutnya banyak dibicarakan untuk masuk dalam kawasan perioritas di program strategi pengembangan Flores-Banda Marine Ecoregion WWF Indonesia dan dalam marine Program TNC Indonesia (Soede, 2002: 5) Hasil ekspedisi ini menjadi rujukan dalam pembentukan kawasan konservasi Laut Sawu dan Departemen Kelautan dan Perikanan melakukan kajian lebih lanjut tentang potensi Laut Sawu pada tahun 2005. Sebagai bentuk komitmen terhadap program pemerintah pusat maka pada Februari 2006 pemerintah Provinsi NTT membentuk Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut Sawu (PP-KKL) melalui SK Gubernur No. 190/KEP/HK/2006 tentang Pembentukan Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut Sawu, Solor, Lembata, Alor (Solar). WWF adalah LSM yang dari awal fokus dengan KKL Solar dan menjalankan programnya sampai saat ini. Untuk menunjang KKL Solar, maka WWF menggalang dukungan dari masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk
117
melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati di perairan Solar. WWF berhasil menggandeng pemerintah daerah untuk membuat komitmen untuk melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati dalam menunjang pembentukan kawasan konservasi perlindungan laut Solor-Lembata-Alor. Komitmen ini ditandatangani di Lewoleba pada 30 April 2007 oleh Bupati Kab. Flores Timur, Kab. Lembata, Kab Alor, Gubernur NTT, Tim PP-KKL, Program Kelautan TNC dan WWF Indonesia.
b.
KKPN Laut Sawu Sebagian wilayah perairan Laur Sawu dicadangkan sebagai KKPN Laut
Sawu melalui Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No.Kep.38/Men/2009 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi perairan Nasional Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pencadangan ini merupakan hasil dari upaya yang dilakukan baik oleh TNC-Coral Triangel Center (TNC-CTC), WWF ataupun oleh pemerintah.
Gambar 8. Peta Kawasan Konservasi Perairan Nasional Laut Sawu di Provinsi Nusa Tenggara Timur Usulan awal KKPN laut sawu terdiri atas 3 kawasan yang terdiri dari Sawu I seluas 560.606 hektar, Sawu II seluas 1.537.254 hektar dan Sawu II satu
118
seluas 2.763.899 hektar. Penolakan masyarakat nelayan Lamalera berhasil mengeluarkan Sawu II dalam KKPN Laut Sawu sehingga dalam Keputusan Menteri diatas hanya dua kawasan yang ditetapkan sebagai wilayah KKPN Laut Sawu. Usulan KKPN Laut Sawu yang luas salah satunya bertujuan untuk mengelola tekanan-tekanan terhadap cetacean dan satwa laut lain yang besar yang sedang meningkat cepat dan juga untuk melindungi habitat-habitat lain yang saling berhubungan.
6.3.
Dinamika Penetapan Konservasi Laut di Lamalera Ada beberapa daftar ancaman terhadap kawasan Laut Sawu yang diuraikan
oleh aktivis konservasi. Ancaman tersebut adalah penangkapan ikan yang merusak, pencurian ikan oleh kapal asing, degradasi fisik habitat pesisir dan lautan, eksploitasi yang berlebihan untuk beberapa jenis komoditi perikanan yang bernilai tinggi, pencemaran laut oleh jalur pelayaran serta terancamnya berbagai jenis biota laut seperti paus, lumba-lumba, pari dan penyu.
Dengan alasan
ancaman yang diurai di atas, maka kawasan laut sawu perlu dikelola dengan menggenalkan konsep ekologi skala besar. Konsep yang ditawarkan oleh WWF untuk mengelola Laut Sawu adalah konsep kawasan bentang laut yaitu pengelolaan areal laut dan pesisir yang saling berhubungan dari sisi ekologi, oseanologi/pola arus dan genetik biota laut. Adanya kesinambungan yang tinggi antara terumbu karang, bakau dan komponen ekosistem laut di bentang Laut Sawu, maka WWF manyarankan agar bentang laut tersebut dikelola dengan basis ekosistem. Konsep pengelolaan berbasis ekosistem (PBE) berkaitan dengan dua kepemilikan sistem kelola alam: 1) sumberdaya alam yang dieksploitasi berhubungan dengan ekosistem disekitarnya, 2) pemanfaatan sumberdaya alam dapat berpengaruh terhadap sumberdaya lainnya dan aspek ekosistem lain. Dalam pengelolaan ini, Informasi ekologi merupakan sumber utama untuk membuat keputusan personal maupun keputusan sosial. Dengan konsep pengelolaan berbasis ekosistem maka untuk melindungi pokok-pokok ekologi kawasan pesisir, keanekaragaman biologi serta menjamin
kemanfaatan
berkelanjutan
maka
dipromosikan
pemanfaatan
sumberdaya laut yang tepat seperti dengan menggunakan budidaya dan ekowisata.
119
Konservasi dan KKL merupakan wadah dimana kepentingan untuk menjaga keseimbangan lingkungan laut dapat difasilitasi. WWF pada tahun 2006 datang ke Lamalera untuk mengenalkan masyarakat pada konservasi dan KKL. Beberapa keuntungan yang akan didapat dari penetapan KKL menurut WWF, meliputi: 1) memelihara keanekaragaman hayati dan menyediakan tempat perlindungan bagi spesies, 2) melindungi habitat-habitat penting dari kerusakan oleh praktek penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dan kegiatan manusia lainnya dan memungkinkan untuk memulihkan kawasan yang rusak, 3) menyediakan tempat bertelur dan berkembang sampai ukuran dewasa bagi ikan, 4) meningkatkan tangkapan ikan (baik secara ukuran dan kuantitas) di sekitar daerah pemancingan, 5) membangun resiliensi untuk melindungi lingkungan dari dampak-dakpak eksternal, seperti perubahan iklim 6) membantu untuk mempertahankan budaya lokal, ekonomi, dan mata pencaharian yang berhubungan erat dengan lingkungan laut dan, 7) menjadi patokan untuk diganggu, bagi ekosistem-ekosistem alami, yang dapat digunakan untuk mengukur dampak kegiatan manusia di daerah lain, dan dengan demikian bisa membantu meningkatkan manajemen sumberdaya. Pengenalan kepada masyarakat diawali dengan memberikan pengetahuan tentang konservasi dan KKL kepada lima orang kepala suku yaitu Bataona, Belikololo, Lewotukan dan 2 kepala suku tuan tanah Lango Fujjo dan Tufaona. Dalam laporan WWF (2006), disampaikan bahwa pemahaman terhadap konservasi dan KKL dimengerti dengan baik oleh para kepala suku, dan mereka mendukung program MPA karena mereka memahami bahwa perburuan paus akan mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Selain itu mereka juga berpikir bahhwa perburuan tersebut tidak akan mampu mendukung biaya hidup mereka. Dukungan terhadap konservasi ketika itu dikatakan 100 persen. Meskipun dengan beberapa catatan yang ingin dipertahankan apabila konservasi berjalan, seperti 1) mereka ingin tetap memegang tradisi dan budayanya, 2) mereka tidak mau dilarang untuk berburu paus, 3) mereka memerlukan beberapa training perikanan terutama penangkapan tuna, dan 4) menghentikan nelayan-nelayan luar datang menangkap ikan di Lamalera. Ketika pemahaman mengenai konservasi diberikan kepada kaum muda, kebanyakan memahami secara berbeda, dan mereka
120
meyakini bahwa konservasi adalah pelarangan bagi penangkapan ikan atau aktivitas lainnya. Dari sejak awal ini dapat diketahui bahwa penerimaan antar masyarakat terhadap konservasi berbeda. Walaupun memiliki pemahaman yang berbeda, tetapi kehadiran WWF masih diterima dengan baik oleh masyarakat Lamalera. Beberapa program WWF berjalan baik dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Salah satu kegiatan besar adalah program photovoice yang terselenggara atas kerjasama antara WWF dengan National Geographic Indonesia. Photovoice disebut sebagai wadah untuk memberdayakan masyarakat melalui photografi, dengan tujuan memberikan informasi visual kepada orang luar mengenai komunitas Lamalera langsung dari masyarakat Lamalera. Dalam sebuah catatan seorang anggota photovoice dikatakan bahwa photo-photo yang dihasilkan akan membantu WWF, LSM lain serta pemerintah untuk mengembangkan serta mengimplementasikan sebuah rencana pengelolaan area dilindungi. Konflik antara masyarakat Lamalera dengan WWF muncul ketika Agus Darmawan, Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mengatakan "Laut seluas 4,5 juta hektar tersebut akan menjadi satu-satunya kawasan konservasi nasional yang khusus melindungi ikan paus,". Pernyataan itu disampaikan oleh Agus Darmawan di sela acara seminar nasional "Moluska II: Peluang Bisnis dan Konservasi" di Bogor. Pernyataan Agus Darmawan menjadi berita di Antara pada besok harinya. Informasi ini berkembang kemana-mana. Mendengar informasi ini, masyarakat Lamalera yang merantau di Jakarta, Kupang, Labuan Bajo dan Loweleba segera menghubungi sanak keluarga mereka untuk mendapatkan informasi mengenai apa yang sedang terjadi di lefo, kegiatan apa yang dilakukan dan kesepakatan apa saja yang dibuat oleh masyarakat dengan WWF selama ini. Bagi masyarakat di Lamalera, pertanyaan-pertanyaan yang datang dari rantau berbalik menjadi informasi. Walau pernah terlintas pemikiran bahwa konservasi akan berdampak pelarangan untuk berburu paus, tetapi hubungan yang tercipta dengan WWF serta pemahaman mengenai konservasi dan KKL yang
121
diterima tidak pernah sampai pada pelarangan berburu paus, maka masyarakat tidak menolak kedatangan WWF dan bekerjasama secara baik dengan WWF. Kehebohan mulai terjadi lefo Lamalera. Beberapa pihak yang dekat dengan WWF dan dipilih untuk membantu program WWF bertahan untuk membina hubungan baik dengan WWF sementara banyak masyarakat berbalik menentang WWF dan program-programnya.
Narasi berkembang bahwa
konservasi yang dibawa WWF akan melarang mereka untuk berburu paus. Beberapa sosialisasi yang diberikan kembali untuk meluruskan pemahaman pernah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Lembata, tetapi masyarakat Lamalera lebih percaya dengan apa yang dikatakan saudara-saudara mereka diperantauan. Bahwa konservasi kelak akan mengamcam budaya leluhur mereka. Selain WWF, sebenarnya di Lamalera juga pernah kedatangan LSM lain yaitu Whale Dolphin Wacthing Program (WDWP). LSM ini adalah LSM kecil yang digerakkan oleh dua orang pecinta satwa dari Eropa. WDWP dengan jelas memberikan alternatif kegiatan pengganti perburauan paus dengan kegiatan menonton paus (whale wacthing). Sebagai contoh, mereka mengenalkan kepada masyarakat tentang kegiatan Pengintaian Paus dan Lumba-lumba (PPLL) di Kaikora-Selandia Baru. WDWP datang ke Lamalera hanya sebentar saja. Selanjutnya dua aktivis mereka kembali ke Eropa. Mereka mengatakan akan menggalang dana di Eropa untuk menjalankan program di Lamalera. Selanjutnya mereka menggandeng satu LSM lokal untuk tetap membangun interaksi dengan masyarakat sampai nanti mereka kembali lagi ke Lamalera dan melanjutkan programnya. Bagi masyarakat di Lamalera WDWP dianggap sama dengan WWF atau WDWP sebenarnya juga dari WWF. Karena tujuan mereka sama yaitu menghentikan perburuan paus. Aktivis WWF ketika peneliti tanya mengenai WDWP jelas menolak bahwa WDWP adalah WWF. Mereka menyayangkan dugaan yang berkembang di masyarakat. Mereka juga mengatakan bahwa WDWP merusak semua hubungan baik antara WWF dengan masyarakat selama ini. Karena WDWP lah yang berniat untuk menghentikan perburuan paus di Lamalera sedangkan WWF tidak pernah sekalipun mengatakan hal itu kepada masyarakat Lamalera. Whale whacthing adalah ide yang dibawa oleh WDWP. Sedangkan
122
WWF memilih untuk mengenalkan usaha perikanan yang berkesinambungan (sustainable fisheries) untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
WWF
WDWP Masy. Lamalera
PEMDA
Photovoices
: Menunjukkan konflik : Menunjukkan aviliasi Gambar 9. Peta Konflik Konservasi di Lamalera
Kegiatan perikanan berkelanjutan dari WWF dalam bentuk pengenalan rumpon dan penangkapan tuna dengan pancing pada mulanya diikuti dengan baik oleh nelayan Lamalera. Setalah konflik konservasi muncul ke permukaan, program itu dipahami terbalik oleh masyarakat. WWF berusaha merubah pola hidup mereka dengan mengalihkan pencarian masyarakat dari berburu menjadi memancing tuna dan memasang rumpon. Itulah caranya, dimana masyarakat perlahan-lahan dijauhkan dari tradisi berburu sehingga dalam beberapa tahun kemudian generasi yang ada akan lupa bagaimana cara leluhur mereka menikam koteklema. Cara ini adalah sebuah strategi agar WWF tidak perlu secara terbuka menyampaikan kepada masyarakat bahwa berburu paus itu dilarang dan harus dihentikan. Karena masyarakat yakin WWF pasti tahu bahwa masyarakat akan menolak mereka apabila mereka mengatakan secara terang-terangan kepada mereka bahwa konservasi ini jangka panjang bertujuan menghentikan perburuan pada mamalia laut, koteklema. WWF menyangkal semua asumsi itu. Tidak ada keinginan untuk menghentikan perburuan paus. Kepada peneliti, WWF mengatakan bahwa mereka sadar benar bahwa perburuan paus itu tidak mungkin bisa dilakukan. Walaupun demikian mereka juga paham bahwa perburuan paus tidak memberi andil yang
123
signifikan bagi perekonomian masyarakat. Sehingga apabila mereka bertahan berburu paus maka tidak akan membantu penghidupan apalagi dengan tingkat kebutuhan yang tidak bisa terpenuhi lagi dengan barter. Seperti biaya sekolah untuk anak-anak, biaya transportasi yang besar, pengobatan bagi yang sakit dan keperluan lain yang membutuhkan uang. Maka WWF berniat untuk membantu masyarakat Lamalera memiliki akses perekonomian di perikanan tangkap yang lebih menjanjikan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa LSM lingkungan sebesar WWF bertindak seperti LSM yang bergerak di perekonomian masyarakat? Mengapa program-program yang dijalankan adalah program untuk meningkatkan pendapatan masyarakat? Pertanyaan seperti ini muncul dari PT, seorang tokoh masyarakat Lamalera di Jakarta yang pulang ke lefo ketika itu. PT berpendapat bahwa kerancuan itu jelas menjadi bukti bagi masyarakat bahwa mereka WWF memiliki niat lain diluar apa yang mereka katakan kepada masyarakat. Mereka menutupi target kegitan mereka yang kepada masyarakat. BB seorang Lamalera di Jakarta mengatakan bahwa masyarakat telah dibohongi. Tetapi ini bukan kesalahan mereka. Karena masyarakat di lefo memang tidak tahu siapa WWF, apa saja kegiatan mereka, dimana mereka melakukan kegiatan dan apa yang menjadi perhatian besar LSM tersebut. Bagi masyarakat ketika WWF datang dengan bantuan dan perhatian yang baik kepada mereka, sudah pasti diterima dengan baik. Tetapi orang Lamalera yang diluar lefo pastinya akan berpikir berbeda. Karena mereka memiliki akses untuk mencari tahu apa yang diinginkan WWF ke Lamalera. Orang Lamalera diperantauan tidak bisa membiarkan konservasi masuk ke daerah mereka. Oleh karena itu mereka bersepakat untuk menolaknya. Di Lefo Lamalera, masyarakat yang merasa khawatir, tidak berani membuat tindakan tanpa persetujuan dari saudara mereka yang ada di Jakarta, Kupang dan Flores. PKB, orang tua dan tokoh masyarakat Lamalera mengatakan bahwa mereka meminta orang Lamalera di rantau untuk bersama dengan mereka ketika mereka harus berhadapan dengan orang WWF, Pemerintah Lembata dan pihak lain. PKB khawatir apabila masyarakat lefo sendiri menghadapi WWF maka mereka akan
124
dibohongi kembali. Seperti WWF dan WDWP dulu membohongi mereka dengan tidak jujur mengatakan tujuan mereka melakukan program di Lamalera. Orang Lamalera di Jakarta dan Kupang memiliki andil besar dalam penolakan Sawu II menjadi wilayah KKPN Sawu. Hal ini juga tidak terlepas dari kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat di lefo kepada mereka untuk tetap mengambil sikap dan memantau setiap perkembangan yang terjadi. Kepercayaan yang diberikan terlihat sangat berlebihan. Masyarakat bahkan tidak mau membuat keputusan dengan pihak luar tanpa melibatkan saudara-saudara mereka di perantauan. Mereka khawatir akan dibodohi oleh WWF, Dinas Kelautan dan Perikanan, WDWP dan LSM lain yang pernah masuk membawa program ke dalam lefo. Di Jakarta, penolakan terhadap konservasi Laut Sawu mendorong orang Lamalera disana membuat Forum Masyarakat Peduli Tradisi Penangkapan Ikan Paus Lamalera. Forum ini terdiri dari masyarakat Lamalera di Jakarta dan sekitarnya, orang Lembata dan orang Flores yang peduli dengan tradisi ini. Forum ini secara aktif memantau perkembangan di Lamalera. Forum membuat surat pernyataan sikap yang disampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanaan bahwa mereka menolak
rencana Konservasi Laut Sawu khususnya Sawu II.
Forum juga secara aktif mengumpulkan dukungan dari ilmuan yang pernah melakukan studi di Lamalera, para wisatawan yang peduli dengan tradisi mereka serta melakukan advokasi melalui surat kabar. Di Kupang melalui pers, orang Lamalera mengangkat persoalan ini. Mereka juga mengadakan pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan opini yang mendukung penolakan Konservasi Sawu terutama yang berhubungan dengan pelarangan berburu paus. Baik di Kupang maupun Jakarta, beberapa orang Lamalera sendiri aktif bergerak di jurnalisme, sehingga tidak mengherankan pada masa-masa konflik antara masyarakat Lamalera dan WWF terjadi, cukup banyak berita pada surat kabar di Kupang dan Flores mengangkat persoalan ini. Sementara di Jakarta, surat kabar Kompas, Media Indonesia dan Antara beberapa kali memberitakan hal ini.
125
Gambar 10. Peta Usulan Kawasan Konservasi Perairan Laut Sawu.
Sawu II dalam usulan KKP Laut Sawu terdiri dari kawasan pesisir dan perairan di Kab. Flores Timur, Solor, Lembata, Pantar dan Alor. Berdasarkan hasil studi marine biology yang pernah dilakukan dikatakan bahwa wilayah ini merupakan tempat peruaya paus dan lumba-lumba. Arti pentingnya kawasan ini bagi konservasi biota laut menjadi ancaman tersendiri bagi masyarakat Lamalera. Peneliti mengetahui bahwa bagi masyarakat Lamalera berburu paus bukan sebatas kegiatan ekonomi semata, tetapi tradisi yang sarat nilai. Pemaknaan tradisi ini bagi masyarakat Lamalera tentunya lebih dari apa yang peneliti ketahui. Penolakan Sawu II ke dalam KKPN Laut Sawu oleh masyarakat Lamalera dapat dipahami. Usaha mereka untuk menggagalkannya dilakukan di lefo dengan menyampaikan penolakan kepada Bupati Kab. Lembata dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Opini dan dukungan publik didapatkan dengan mengangkat isu ini di surat kabar di Kupang dan Jakarta dan dari Jakarta, BB diutus untuk mengawal World Ocean Conference (WOC) and Coral Triangle Initiative Summit yang dilaksanakan di Manado, Sulawesi Utara pada Mei 2009. Mengutus BB ke WOC di Menado bertujuan untuk memastikan bahwa Sawu II benar dikeluarkan dari KKN Laut Sawu pada saat KKPN ini dideklarasikan. Even ini adalah momen
126
yang paling penting dalam perjuangan masyarakat Lamalera dalam menggagalkan program konservasi di kampung mereka. Lamalera tidak hanya berhasil menolak Sawu II dalam KKPN Laut Sawu tetapi Lamalera juga keluar dari KKLD Solar. Meskipun usaha mereka menolak konservasi telah berhasil, tetapi di dalam lefo sebenarnya telah terjadi ketidakharmonisan. Prasangka antar orang merusak hubungan bermasyarakat. Kecurigaan kepada beberapa orang yang dianggap kaki tangan WWF terus bermunculan. Musyawarah di lefo yang diselesaikan untuk menyelesaikan konflik memutuskan bahwa WWF tidak lagi diijinkan datang ke Lamalera, dan masyarakat dilarang untuk membahas lagi masalah konservasi. Semua pembicaraan mengenai konservasi dihentikan, lefo memutuskan tidak akan pernah menerima program tersebut dan masyarakat diminta untuk kembali menjalankan kegiatan sebagaimana biasanya. Peneliti berada di Lamalera pada saat pembicaraan tentang konservasi tidak boleh lagi dibahas di dalam lefo. Sehingga beberapa informasi kadang kala dikumpulkan secara diam-diam. Memang lefo Lamalera belum tenang sepenuhnya. Ketidakharmonisan dalam masyarakat masih saja ada. Ketika itu musim lefa, musim dimana koteklema paling sering ditemukan bermain diperairan mereka. Di sepanjang tahun ketika lefo dilanda kekacauan, koteklema tidak pernah terlihat. Dalam sistem keyakinannya, masyarakat percaya bahwa ketika lefo dalam keadaan tidak tenang dan tidak harmonis serta rasa percaya dalam msyarakat sangat kurang maka tidak akan pernah berhasil nelayan menikam koteklema. Masyarakat Lamalera harus membayar kekacauan yang terjadi di dalam lefo dengan paceklik dan selama hampir setahun koteklema tidak datang ke kampung mereka.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Perubahan pengelolaan ekonomi dan diskursus konservasi adalah dua topik yang menjadi perhatian dalam penelitian ini. Ada perubahan yang cukup berarti dalam usaha memanfaatkan sumberdaya perikanan di Lamalera saat ini yaitu 1) penggunaan mesin pada tena laja, 2) penggunaan alat tangkap pukat yang mempengaruhi intensitas pengoperasian tena laja. Pada tahun-tahun sebelumnya, di musim lefa hampir semua peledang bertolak ke laut untuk berburu. Akan tetapi di musim lefa tahun ini, setiap harinya rata-rata hanya dua tena laja yang berangkat sementara kegiatan nelayan lainnya beralih ke penggunaan pukat pada malam hari. Orang Lamalera pernah berbeda pendapat dalam merespon pengoperasian pukat.
Kegiatan
berpukat
telah
mengurangi
semangat
nelayan
untuk
menghidupkan lefa. Meskipun khawatir kegiatan ini akan mematikan tradisi lefa tetapi likatelo belum bisa membatasi nelayan berpukat oleh karena pukat adalah salah satu cara bagi nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Alat yang dipakai untuk berpukat sendiri, sampan, pukat, mesin johnson dan minyak adalah milik perorangan. Likatelo tidak memiliki kewenangan untuk mencampuri keputusan pada alat produksi perorangan. Apalagi dengan melihat hasil tangkapan dengan yang diperoleh dari pukat cukup banyak (hasil tangkapan pukat yaitu lumba-lumba, pari, hiu, tongkol, tuna, tenggiri, ikan raja dan ikan-ikan ukuran menengah lainnya), maka akan sulit bagi likatelo untuk melarang atau membatasi nelayan Lamalera menggunakan pukat. Sementara itu program ekonomi perikanan berkelanjutan seperti pancing tuna dengan longline dan rumpon yang diperkenalkan WWF juga mengubah arah pengelolaan produksi nelayan Lamalera. Walaupun konservasi di perairan Lamalera dalam Sawu II dan KKLD Solar berhasil ditolak. Tetapi secara konsep program yang dijalankan oleh WWF memberi ruang terbentuknya jarak antara masyarakat Lamalera dengan tradisi tradisional tikam yang diwarisi dari leluhur mereka.
128
Perubahan-perubahan tersebut, baik pukat maupun pancing longline dan rumpon digerakkan oleh pihak luar yaitu FAO, Pemda kabupaten setempat dan WWF. Pukat serta konservasi telah mendesak eksistensi sistem produksi tradisional tikam yang merupakan landasan bagi sistem sosiokultur di Lamalera. Beberapa implikasi sosial terjadi karena pergeseran pola distribusi yang tidak merata dari sistem tikam ke sistem pukat. Dampak pola distribusi yang diuraikan Borras dalam kajian kebijakan lahan (2008) 37 dapat ditemukan pada masyarakat pesisir Lamalera. Dua perubahan ini (motorisasi dan konservasi) telah menimbulkan akibat pada tiga hal yaitu menimblkan stratifikasi dan polarisasi sosial di masyarakat, menghapuskan sistem asuransi sosial dan, menciptakan ketidakadilan. Kesimpulan ini ditegaskan pula oleh Pastor YPB dalam diskusi peneliti dengan beliau. Pastor YPB mengatakan bahwa perubahan sistem hidup komunitas dari tena laja ke bodi johnson adalah awal bagi sejarah tumbuhnya kapitalisme di Lamalera. Dengan perubahan itu, di Lamalera mulai muncul kelompok masyarakat kaya-miskin sedangkan dulu masyarakat sama rata tanpa kelas. Bagi yang punya uang yang bisa memiliki dan membeli mesin johnson dan pukat. Sedangkan yang tidak memiliki akses terhadap alat tangkap tersebut menjadi buruh bagi kerabatnya sendiri. Berikut uraian tiga dampak yang peneliti sebutkan diatas Pertama, dampak terhadap stratifikasi sosial dan polarisasi.
Stratifikasi sosial tercipta
dengan munculnya kelompok masyarakat pemilik alat tangkap dan kelompok masyarakat yang tidak memiliki alat tangkap. Hal ini tidak ada dalam sistem tikam, karena setiap orang merupakan pemilik dan pekerja di tena laja masingmasing. Pada sistem pukat, pemilik alat produksi di satu sisi berbeda dengan tenaga kerja atau meing. Setiap alat produksi, baik perahu sampan, mesin atau jaring pukat dimiliki individu. Meing merujuk pada tenaga kerja yang semata mengandalkan tenaga dan bukan pemilik alat produksi. Pergeseran alat produksi membangun relasi kerja baru yang terdiri dari pemilik alat dan pekerja (ownersworkers). Munculnya kelompok-kelompok elit yang baru kelak akan semakin 37
Borras (2008) membagi dampak dari kebijakan lahan berbasis hubungan sosial atas empat tipe yaitu redistribusi, distribusi, non-(re)distribusi dan (re)konsentrasi. Di Lamalera, redistribusi yang berkembang dari sistem pukat menimbulkan pola pembagian hasil yang terkonsentrasi pada pihakpihak pemilik alat tangkap, terutama pemilik jaring pukat.
129
tajam menjadi polarisasi sosial. Dugaan kuat peneliti ini didukung oleh kondisi alam di Lamalera, dimana panjang pantai untuk menyimpan tena laja dan perahu sampan sangat terbatas sementara kondisi arus, gelombang dan ombak tidak memungkinkan perahu untuk berlabuh di laut. Ketersediaan tempat merupakan syarat untuk memiliki perahu sampan. Oleh karena setiap jengkal pantai telah dimiliki oleh tena laja masing-masing suku, maka peluang memiliki sedikit ruang di pantai untuk menyimpan perahu sampan perorangan sangat kecil. Kedua, menghilangkan jaminan sosial seiring tidak adanya organisasi ekonomi uma alep. Menjadi uma alep atau menjadi anggota sebuah tena laja merupakan cara masyarakat Lamalera untuk menjamin keamanan pangan masyarakatnya secara merata. Hak uma berlangsung seumur hidup, seumur tena laja. Apabila seorang anggota uma mulai tua dan tidak bisa berangkat ke laut, maka ia akan tetap menerima bagian atau haknya selama tenalaja sukunya digunakan. Ataupun bila ditemukan beberapa nelayan yang cacat karena melaut, maka mereka masih tetap bisa mengandalkan haknya pada uma untuk kebutuhan hidup. Hak memakan uma juga akan berlanjut pada keluarga anggota tena laja. Apabila masyarakat Lamalera senantiasa bersenandung dengan pengharapan bisa menikam ikan atau koteklema untuk janda dan anak yatim maka, yang dimaksud adalah uma yang menjadi hak suami atau orang tua para yatim yang telah tiada akan diturunkan dan menjadi penjamin kehidupan bagi janda dan anak yatim tersebut. Ketiga, menciptakan ketidakadilan sosial. Ketidakadilan sosial mulai terlihat karena akses untuk memamfaatkan sumberdaya laut terbatasi oleh kepemilikan alat produksi (means of productions) atau keberadaan tenaga kerja. Hasil laut yang melimpah tidak dapat dimamfaatkan secara merata melainkan dinikmati oleh kelompok tertentu. Pola produksi baru menimbulkan pola distribusi yang menguntungkan individu atau keluarga pemilik alat tangkap yang merupakan cikal bakal elit-elit baru dalam sistem sosial di Lamalera.
7.2. Saran Cara adaptasi masyarakat Lamalera dengan Laut Sawu mengalami perubahan setelah dikenalkan pada mesin dan pukat oleh FAO. Walaupun tidak
130
meninggalkan sistem tradisional tikam, sistem pukat telah mendominasi kegiatan produksi. Pergeseran pola produksi berpengaruh pada pergeseran pola distribusi, seterusnya berdampak pada pengelolaan ekonomi secara keseluruhan dan sistem sosiokultur lainnya. Selain menghadapi perubahan moda produksi, masyarakat Lamalera juga dihadapkan pada diskursus konservasi yang berdampak konflik. Program ini dibawa oleh WWF dengan mengenalkan pemanfaatan sumberdaya ikan berkelanjutan melalui teknik penangkapan pancing longline dan rumpon. Kedua hal ini karena berjalan bersama-sama sekarang telah mendesak eksistensi pola produksi tradisional tikam. Pergeseran moda produksi menimbulkan beberapa implikasi sosial seperti membentuk stratifikasi berbasis ekonomi, membuka peluang bagi polarisasi sosial, menghilangkan jaminan sosial serta menciptakan ketidakadilan sosial dalam masyarakat. Apabila fenomena-fenomena tersebut terus berlangsung, maka akan memicu konflik laten dalam masyarakat. Kehadiran teknologi produksi baru yang dibawa oleh pihak luar telah menimbulkan dampak sosial. Dampak ini dapat dihindari apabila sistem ekonomi komunal dijadikan acuan. Sistem sosiokultur tradisional masyarakat Lamalera ditandai dengan kehidupan komunal. Komunalitas merupakan tuntutan dari cara adaptasi mereka dengan lingkungan yaitu tuntutan dari kegiatan berburu dan menikam di laut. Hal ini dimulai dengan memiliki alat produksi serta melakukan kegiatan produksi bersama. Selanjutnya, pengelolaan ekonomi komunal merupakan jaminan bagi kesejahteraan masyarakat secara merata. Berbagai perubahan teknologi produksi, akan berhasil baik apabila pengelolaan ekonomi mengacu pada sistem tradisisonal yang bersifat komunal.
DAFTAR PUSTAKA
Adger et al. 2001. Advancing a Political Ecology of Global Enviromental Discourse. Development and Change Vol. 32. Institute of Social Studies. Blackwell Publisher. Adiwibowo, Suryo. 2007. Ekologi Manusia. Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. _______________ . 2005. Dongi-dongi – Culmination of a Multi-dimensional Ecological Crisis: A Political Ecology Perspective. Dissertation. Universität Kassel. Aguilar, Mila D. 2000. Cultural Ecology and Neo-Evolutionary Thought (Seminar Paper). Barnes, Robert H. 1996. Sea Hunters of Indonesia: Fishers and Weavers of Lamalera. Clarendon Press. Oxford Berkes, Fikret. 2008. Sacred Ecology. Routledge. New York and London. Bohannan, Paul and Glazer, Mark. 1988. High Points in Anthropology. Second Edition. Alfred A. Knopf. Borras Jr, Saturnino M. 2008. How Land Policies Impact Land-Based Wealth And Power Transfer. Oslo Governance Centre Brief 3. UNDP. Brosius, J. Peter. Tsing, Anna Lowenhaupt and Zerner, Charles. 2005. Coomunities and Conservation. Histories and Politics of CommunityBased Natural Resources Management. Altamira Press. US of America Bryant, Raymond L. and Bailey, Sinead. 1997. Third World Political Ecology. Routledge. Geertz. Clifford. 1983. Involusi Pertanian. Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Bhratara Karsa Aksara, Jakarta Harper, Charles L. 2004. Environmental and Society. Human Perspective on Environmental Issues. Third Edition. Pearson Prentice Hall _______________. 1989 Exploring Social Change. Prentice Hall Harris, Marvin. 1993. Culture, People, Nature. An Introduction to General Anthropology Jordan, Carl F. 1995. Conservation: Replacing Quantity with Quality as a Goal for Global Management. Wiley&Sons, Inc. United States of America
132
Keraf, Sonny. A. 2006. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Khan, Benjamin. 2002. Alor Rapid Ecological Assessment – Cetacean Component. Technical Report prepared for WWF-Wallacea and TNC Coastal and marine Program/Indonesia. Apex environmental. Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia. ______________. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit Universitas Indonesia. Laksono. P.M. et all. 2000. Perempuan di Hutan Mangrove. Kearifan Ekologis Masyarakat Papua. Kehati dan PSAP-UGM. Yogyakarta Lobja. Erick. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei: Tinjauan Terhadap Praktek Pengelolaan dan Pemamfaatan Lahan Hutan Oleh Masyarakat Tradisional Kei. Debut Press, Yogyakarta Lundberg, Anita. 2003. Time Travels in Whaling Boat. Downloaded from http://jsa.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009 Lundberg, Anita. 2003. Voyage of the Ancestors. Downloaded http://cgj.sagepub.com by Febrina Desrianti on October 20, 2009
from
Mustika, Putu Liza Kusuma. 2006. Marine Mammals in the Savu Sea (Indonesia): Indigenous Knowledge, Threat analysis and Management Options. Thesis for the Degree of Master of Science. James Cook University. Netting, Robert M. 1986. Cultural Ecology. Waveland Pr. Inc. Nora Haenn and Richard R.Wilk. The Environment in Anthropology A Reader in Ecology, Culture, and Sustainable Living. New York University Press. www.nyu press.org. 2006 Oleona, Ambrosius dan Bataona, Pieter Tedu. 2001. Masyarakat Nelayan Lamalera dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus. Penerbit Lembaga Galekat Lefo Tanah. Bogor. Rambo, A. Terry. 1981. Conceptual Approaches To Human Ecology: A Sourcebook on Alternative Paradigms for The Study of Human Interactions With The Environment. Reeves. R. Randall, 2002. The Origins and Character of ‘Aboriginal Subsistence’ Whaling: A Global Review. Mammal Rev. 2002, Volume 32, No. 2, 71– 106. Printed in Great Britain.
133
Robbins, Paul. 2004. Political Ecology. A Critical Introduction. Blackwell Publishing. Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Yayasan Obor Indonesia dan Institut Pertanian Bogor. Sajogyo, Pudjiwati. 1985. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta bekerjasama dengan BKKBN Jakarta. Salim. Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzim Guba dan Penerapannya). Tiara Wacana. Yogyakarta Sanderson, Stephen K. (2000) Makro Sosiologi. PT. Rajagrafindo Persada Jakarta. Shohibuddin, M. 2003. Artikulasi Kearifan Tradisional dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam sebagai Proses Reproduksi Budaya (Studi Komunitas Toro di Pinggiran Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah). Tesis Sekolah Pascasarjana IPB. Slattery, Martin. 2003. Key Ideas in Sociology. Nelson Thornes Ltd. Smith, et al. 2010. Wealth Transmission and Inequality among Hunter -Gatherers. http://www.journals.uchicago.edu/doi/abs/10.1086/648530?journalCode=ca
Spradley, James. 1997. Metode Etnografi. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta Steven R. Brenchin, et al. 2002. Beyond the Square Wheel: Toward a More Comprehensive Understanding of Biodiversity Conservation as Social and Political Process. Patrick C. West. Taylor & Francis. Steward, Julian H. 1955. Theory of Culture Change. The Methodology of Multilinear Evolution. University of Illinois Press. US of America. Stott, Philip and Sullivan, Sian. 2000. Political Ecology. Science, Myth and Power. Arnold. Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. Sosiologi Lingkungan. Rajawali Pres. Jakarta. Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta. Tonny. Fredian. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy (Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam). Pusat studi Pembangunan-Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Patrnership for Governance Reform in Indonesia-UNDP. Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
134
Wertheim, W.F. 1976. Gelombang Pasang Emansipasi ‘Evolusi dan Revolusi’ yang Diperbaharui. Garba Budaya, ISAI dan KITLV Wittmer, Heidi and Bitmer, Regina. 2005. Between Conservationism, EcoPopulism and Developmentalism – Discourses in Biodiversity Policy in Thailand and Indonesia. WWF Report. 2006. Preliminary Process of MPA Program In Sawu Sea SolorLembata-Alor (SOLAR) in NTT Province.
Surat Kabar dan Website Harian Kompas. Sabtu, 9 Agustus 2008. Tiap Tahun 20 Ekor Paus Ditangkap Nelayan Lamalera http://www.suarapembaruan.com/News/2009/03/23/Kesra/kes05.htm http://female.kompas.com/read/xml/2009/03/23/17273043/masyarakat.lamalera.to lak.konservasi.paus http://www.mediaindonesia.com/read/2009/05/03/72784/89/14/Warga-LamaleraTolak-Konservasi-Paus http://wwf.panda.org/what_we_do/how_we_work/conservation/marine/protected_ areas/