Bab 4 Simpulan
4.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis pelafalan bahasa Jepang yang dilakukan responden yang berbahasa ibu bahasa Indonesia, penulis menemukan hal yang sama seperti yang telah dikemukakan para ahli, bahwa saat seseorang mempelajari bahasa asing yang bukan bahasa yang biasa dipakai oleh orang tersebut, terdapat kecenderungan terjadi suatu penyimpangan yang disebabkan oleh penerapan kaidah-kaidah bahasa ibu orang tersebut pada bahasa asing yang dipelajarinya. Berbagai macam gangguan dapat terjadi, yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kesalahan pada bahasa yang dipelajarinya. Contohnya gangguan pengucapan bahasa kedua yang dipelajari orang tersebut. Biasanya gangguan ini timbul karena orang tersebut menerapkan kaidah pelafalan bahasa ibunya pada bahasa kedua/ bahasa sasaran, yang disebabkan oleh adanya perbedaan perbendaharaan vokal dan konsonan pada kedua bahasa. Jika pada bahasa ibu tidak memiliki suatu vokal atau konsonan tertentu, maka saat penutur melafalkan suatu kata yang mengandung vokal atau konsonan yang tidak terdapat dalam bahasa ibunya, ia cenderung mengganti atau melakukan penyesuaian vokal atau konsonan tersebut dengan vokal atau konsonan yang ada dalam bahasa ibu dan memiliki kedekatan bunyi. Hal seperti inilah yang disebut interferensi. Kesalahan-kesalahan yang dilafalkan oleh responden dalam mengucapkan kata-kata dalam bahasa Jepang disebabkan oleh adanya tumpang tindih sistem bunyi bahasa Indonesia yang diterapkan pada bahasa Jepang.
41
Berdasarkan bunyi-bunyi konsonan bahasa Jepang yang penulis pilih untuk diteliti, yaitu bunyi konsonan [ʃi], [tsɯ], dan [zɯ] atau [dzɯ], dikelompokkan lagi menurut jenis kesalahannya berdasarkan pembagian interferensi bunyi bahasa menurut Weinreich. Adapun yang responden yang diteliti dalam penelitian ini merupakan responden yang salah melakukan pelafalan, sedangkan yang dapat melakukan pelafalan dengan benar tidak penulis teliti. Dari empat jenis gejala interferensi bunyi bahasa yang diuraikan oleh Weinreich, penulis memperoleh dua gejala interferensi yang terjadi pada responden yang melakukan kesalahan bunyi konsonan [ʃi], [tsɯ], dan [zɯ] atau [dzɯ], yaitu: 1) Pembedaan fonem yang berkekurangan Gejala interferensi ini terjadi karena dua bunyi yang berbeda dalam bahasa kedua/ bahasa sasaran (bahasa Jepang) tidak dibedakan dalam bahasa pertama (bahasa Indonesia). Kesalahan yang termasuk dalam kelompok jenis gejala interferensi ini yaitu kesalahan pelafalan bunyi konsonan [ʃi] menjadi [si], kesalahan pelafalan bunyi konsonan [tsɯ] menjadi [sɯ], dan kesalahan pelafalan bunyi [zɯ] atau [dzɯ] menjadi [sɯ] serta kesalahan pelafalan bunyi [dzɯ] menjadi [zɯ]. Alasan kesalahan pengucapan bunyi-bunyi tersebut dikelompokkan dalam gejala interferensi ini karena bagi responden antara bunyi bahasa kedua (bahasa Jepang) dan bunyi yang diucapkan terdapat kemiripan bunyi, sehingga kemiripan tersebut digunakan sebagai akibat dari fonem dalam bahasa Indonesia tidak mengenal bunyi bahasa Jepang
42
tersebut. Dan kemiripan bunyi tersebut tidak dianggap berbeda dalam bahasa Indonesia. a) Kesalahan pelafalan bunyi konsonan [ʃi] dalam bahasa Jepang yang dilafalkan menjadi [si] b) Kesalahan pelafalan bunyi konsonan [tsɯ] dalam bahasa Jepang yang dilafalkan menjadi [sɯ] c) Kesalahan pelafalan bunyi konsonan [zɯ] atau [dzɯ] yang dilafalkan menjadi [sɯ] (5 kesalahan pada 3 orang) serta kesalahan pelafalan bunyi [dzɯ] pada awal kata menjadi bunyi [zɯ] 2) Penggantian bunyi Gejala interferensi ini terjadi jika terdapat bunyi-bunyi yang tampak sama dalam kedua bahasa, tetapi dalam kenyataannya dilafalkan dengan cara yang berbeda. Kesalahan yang termasuk dalam gejala interferensi ini yaitu kesalahan pelafalan bunyi [tsɯ] menjadi [tʃɯ] dan kesalahan pelafalan bunyi [tsɯ] menjadi [zɯ]. Alasan kesalahan pengucapan bunyi-bunyi tersebut dikelompokkan dalam gejala interferensi ini karena bunyi yang diucapkan oleh responden benar-benar berbeda dari bunyi seharusnya, tetapi karena dalam bahasa Indonesia tidak mengenal bunyi yang seharusnya, maka responden mencari bunyi terdekat untuk pengganti bunyi tersebut. a) Kesalahan pelafalan bunyi [tsɯ] yang dilafalkan menjadi [tʃɯ]
43
b) Kesalahan pelafalan bunyi [tsɯ] yang dilafalkan menjadi [zɯ] Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1) Distribusi konsonan bahasa Jepang yang tidak terdapat dalam bahasa Indonesia seringkali menyulitkan responden dalam melafalkan konsonan-konsonan tersebut. 2) Kesalahan dapat juga ditimbulkan oleh kesalahan pembacaan kata yang dilakukan responden saat membaca bahasa Jepang dengan aksara-aksara yang tidak biasa digunakan dalam bahasa Indonesia. 3) Dari ketiga bunyi bahasa Jepang yang diteliti, yaitu し (shi), つ (tsu), dan ず/づ (zu), diketahui bahwa ketiga bunyi tersebut masih sering dilafalkan secara salah. 4) Kesalahan bunyi-bunyi yang diucapkan responden merupakan bunyi yang mendekati dengan bunyi bahasa Jepang yang tidak ada dalam bahasa Indonesia dan responden melakukan penyesuaian pelafalan. 5) Pada umumnya responden mengucapkan bunyi-bunyi konsonan bahasa Jepang yang tidak terdapat dalam bunyi bahasa Indonesia berdasarkan bunyi yang mereka kenal dari bahasa Indonesia dan melakukan penyamarataan bunyi-bunyi tersebut, sehingga menimbulkan bunyi yang berbeda di telinga orang Jepang. 6) Kesalahan pelafalan yang dilakukan oleh responden dapat menyebabkan kesalahpahaman atau bahkan ketidakpahaman pendengar akan bunyi yang diucapkan, karena bunyi yang diucapkan menjadi berbeda dan pada beberapa kata dapat menimbulkan perbedaan makna.
44
4.2. Saran Skripsi ini merupakan kajian awal mengenai interferensi bunyi bahasa Indonesia terhadap bahasa Jepang yang dilakukan oleh penutur berbahasa ibu bahasa Indonesia yang ditinjau dari segi linguistik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, maka masih sangat terbuka bagi peneliti lain yang ingin meneliti hal-hal mengenai interferensi bunyi bahasa dengan lebih mendalam. Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah mencari penyebab terjadinya kesalahan pengucapan bunyi konsonan shi, tsu, dan zu dalam bahasa Jepang, yang lebih lanjut ditujukan bagi pemelajar bahasa Jepang agar lebih memperhatikan bunyi-bunyi konsonan bahasa Jepang, terutama ketiga bunyi yang masih sering salah dalam pelafalannya ini. Sehingga semakin banyak pemelajar bahasa Jepang yang dapat melafalkan bunyi bahasa Jepang dengan benar. Penulis berpendapat bahwa akan sangat menarik jika kita dapat meneliti bunyi bahasa Jepang apa lagi yang sampai sekarang masih sering salah diucapkan oleh pemelajar bahasa Jepang berbahasa ibu bahasa Indonesia. Penelitian lain yang menurut penulis menarik untuk dilakukan yaitu apabila kesalahan pelafalan yang terjadi dihubungkan dengan pengaruh bahasa daerah dari seorang penutur bahasa Jepang.
45