Bab 3 Profesionalisme Dan Etika Bekerja
3.1 Pengertian Profesional (1)
Profesionalisme merupakan sikap dari seorang profesional, dan profesional berarti melakukan sesuatu sebagai pekerjaan pokok, yang disebut profesi
(2)
Profesionalisme merupakan pandangan untuk selalu berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja sungguh-sungguh.
(3)
Profesionalisme biasa diartikan secara sederhana adalah suatu pandangan untuk selalu berfikir, berpendirian, bersikap dan bekerja sungguh-sungguh, dengan disiplin, jujur, dan penuh dedikasi untuk mencapai hasil kerja yang memuaskan. Sebagai sebuah konsepsi masyarakat modern, profesionalisme paling tidak memiliki dua karakteristik. Karaketeristik pertama meniscayakan adanya pengetahuan dan ketrampilan spesifik yang terspesialisai, sedang karakteristik kedua bersumber dari integritas moral dan budaya.
Ilmu pengetahuan dan ketrampilan khusus terspesialisasi menjadi prasyarat mutlak yang harus dimiliki oleh para profesionalis. Kemampuan individual ini masih perlu didukung oleh sistem manajemen dan organisasi kerja yang tepat, yang dapat menempatkan individu pada posis yang tepat. Jelasnya, individu yang memiliki ilmu pengetahuan dan ketrampilan khusus terspesialisasi hanya akan menjadi profesional jika ditempatkan pada tugas (job) atau posisi yang tepat (the right man on the right place). Dalam Al Qur‟an Allah berfirman yang artinya katakanlah setiap orang bekerja menurut keadaan masing-masing, maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS. Al Isra‟). Sedangkan karakteristik kedua tentang integritas moral dan budaya, mencakup kejujuran, disiplin, rajin, tepat waktu dan lain-lain. Meruapakan kode etik dan pedoman setiap para profesional dalam bekerja. Kurang lebih lima belas abad yang lalu Islam telah mengajarkan umatnya tentang integritas moral atau kode etik.
3.2 Aspek Profesionalisme Menurut Islam Menurut Islam, Seorang Profesional dalam menjalankan profesinya harus memenuhi aspek- aspek berikut ini [2], yaitu : 1.
Siddiq (jujur) Seorang professional harus memiliki sifat jujur yang melandasi dalam ucapan, keyakinan, dan amal perbuatan atas dasar nilai- nilai yang benar berdasarkan ajaran islam.
ّ )119 : ِ (اىز٘ثخٞاٍْ٘اارق٘اّللا ٗ مّ٘٘ا ٍع اىصبدق ِٖٝبااىذٝأٝ “ Hai orang-orang yang berimnan bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar” ( At-taubah : 119) 2. Istiqamah
Sebagaimana telah dijelaskan dalm etika profesi , Islam pun telah mewajibkan kepada setiap professional untuk konsisten, akan tetapi islam lebih menjabarkan bahwasanya konsisten dalam iman dan nilai – nilai yang baik, meskipun menghadapi berbagai godaan dan tantangan dalam menjalankan profesinya. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus. 3. Fathanah
Fathanah mempunyai arti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Seorang professional harus memahami segala fungsi dan rincian tugas dan kewajibanya dengan baik sehingga ia akan melaksanakan profesinya secara professional dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Sifat ini menumbuhkan kreatifitas dan kemampuan seorang professional sehingga menghasilkan keahlian tertentu dalam melakukan berbagai inovasi yang bermanfaat. Kreatif dan inovatif hanya mungkin dimiliki manakala seorang selalu berusaha dan menambah berbagai ilmu pengetahuan, peraturan dan informasi baik yang berhubungan dengan profesinya, maupun masyarakat secara umumnya.
4.
Amanah Amanah yang dimaksud disini adalah bertanggungjawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban . Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal dan ihsan ( berbuat yang terbaik dalam segala hal). Sifat amanah haarus dimiliki oleh setiap professional , karena ia mempunyai hubungan dengan pelayanan masyarakat.
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q: An-nisa‟ : 58) 5. Tabligh Tabligh berarti menyampaikan nilai- nilai islam dalam profesi yang diembannya. Sehingga seorang professional harus menyampaikannya nilai-nilai islam dalam menjalankan profesinya kepada masyarakat. Tabligh yang disampaikan dengan hikmah, sabar, argumentative dan persuasive akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang semakin solid dan kuat. 3.3 Etika dalam Bekerja Dalam melakukan bisnis atau usaha tentulah seseorang perlu bekerja. Bekerja adalah sebuah aktivitas yang menggunakan daya yang dimiliki oleh manusia yang merupakan pemberian Allah. Secara garis besar ada empat daya pokok yang dimiliki manusia, pertama daya fisik yang menghasilkan kegiatan gerak tubuh dan keterampilan, kedua daya fikir yang mendorong manusia untuk melakukan telaah atas apa yang ada dialam semesta dan menghasilkan ilmu pengetahuan,
ketiga daya Qalbu yang menjadikan manusia mampu berimajinasi, beriman, merasa serta berhubungan dengan manusia lain dan sang Khaliq, dan keempat daya hidup yang mengahasilkan daya juang, kemampuan menghadapi tantangan dan kesulitan. 1.
Bekerja Sebagai Ibadah Bekerja dalam pandangan Islam memilki nilai ibadah, firman allah dalam QS adzDzâriyât/51: :56,
ُ َٗ ٍَب َ يَ ْق ُٗ َ اا ِ ُ َُ ْ جِّٞن ِ َّ ى ِ َٗ َِّ ِ ذ ْاى “Sesungguhnya tidak aku ciptakan Jin dan Manusia kecuaali agar beribadah kepada-Ku”. Kata Li Ya‟budun dalam surat tersbut mengandung arti dampak atau akibat atau kesudahan, bahakan dalam melaksanakan shalat kita selalu bersumpah dan berpasrah bahwa hidupku, matiku lilâhi rabbil „âlamîn. Namun kerja yang diluar ibadah ritual bagaimana yang akan berdampak ibadah? Kerja bernilai ibadah apabila ia didasari keikhlasan dan menjadikan si pekerja tidak semata-mata mengharapkan ibalan duniawi saja tetapi ia juga berharap akan balasan yang kekal diyaumil akhirah. Dengan niatan bahwa ia bekerja untuk mendapatkan harta yang akan ia jadikan sebagai sarana bagi dirinya untuk menyelamatkan dirinya dan keluarganya sehingga dapat melakukan perintah allah yang lain.
2. Bekerja sebagai sebuah Amanah Kata amanah, aman dan iman berasal dari akar kata yang sama. Seorang disebut beriman bila ia telah menunaikan amanat. Tidak disebut beriman orang yang tidak menunaikan amanat. Seorang yang menunaikan amanat akan melahirkan rasa aman bagi dirinya dan orang lain. Di dalam al Qur‟an banyak ayat yang memerintahkan agar manusia menunaikan amanat yang telah dipercayakan kepadanya. Di antaranya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,(QS al Ahzâb/33: 72)
Menurut Murtadha Muthahhari amanat dalam ayat ini artinya taklîf (pembebanan hukum), tanggung jawab dan hukum. Artinya amanat manusia harus dibangun berdasarkan tugas dan tanggung jawab. Pendapat senada dikemukakan juga oleh Muhammad Ali asShabuni, amanah dalam ayat ini adalah taklif syari‟at, keharusan menta‟atinya dan meninggalkan kemaksiatan . Itulah sebabnya, langit dan bumi tidak sanggup menerimanya. Makhluk-makhluk lain selain manusia, diberi oleh Allah instink termasuk bumi dan langit. Dengan instink ini langit dan bumi tidak dapat menerima amanat seperti tersebut diatas. Apabila amanat itu berupa materi mungkin ia dapat menerima, tanpa ada tanggungjawab ia hanya menerima saja. Seperti amanat Allah kepada Matahari agar ia beredar pada porosnya, demikian pula bumi dan bulan.
) َٗ ْاىقَ ََ َز٣٨( ٌِٞ ش ْاى َ ِيٝ َ ِى َُ ْسزَقَزٍّ ىََّٖب َذ ِىَٛٗاى َّش َْنُ رَ ْ ِز ِ)٣٩( ُز ْاى َ ِشٝ ِ ل رَ ْق ٍََْ ُٓقَ َّ رْ َّب ىََٖبَْٜجَ ِغٝ ُاى َّش َْن ٌِٝ ِ َُُ٘ ْاىق ِ َعب َد َم ْبى ُزْ جَّٚبس َه َحز ِ )٤ٓ( ُ ُو َسب ِثْٞ َّك ْاىقَ ََ َز َٗ اىي ُُ٘ َ َ ْسجَحٝ فَيَ ٍلِٜبر َٗ ُم ٌّو ف َ أَُ رُ ْ ِر ِ ََّْٖق اى “Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.” (QS Yâsîn/36: 38-40) Dalam konteks ini, matahari, bumi dan bulan dalam menerima amanah, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka. Ia tidak memunyai pilihan, yang ada hanya instink untuk mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
ض طَ ْ٘ ًعب َ َ ْج ُغٝ ّللا ِ اى َّس ََب َٗاُِٜ٘ َٗىَُٔ أَ ْسيَ ٌَ ٍَِ ف ِ َّ ِٝ ِ َز ِدْٞ أَفَ َغ ِ ْد َٗاألَر ُُ٘ َ ُزْ َجٝ ِٔ ْٞ ََٗ َمزْ ًٕب َٗ ِى “Dan kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS Âli „Imrân/3: 83) Berbeda dengan makhluk Allah SWT yang lain, manusia diberi potensi berupa akal. Dengan akal itu manusia sanggup dan mampu menerima amanat yang ditawarkan kepadanya. Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf bahwa seluruh aktivitas manusia, baik yang berkaitan dengan ibadah, muamalah, jinayat atau berbagai transaksi lainnya memunyai konsekwensi hukum . Dan manusia memunyai hak untuk memilih dan mengikuti atau tidak melaksanakan apa yang ditawarkan kepadanya. Tetapi mengapa manusia saat menerima tawaran Allah berupa amanat disebut sebagai dzaluman Jahula (amat zalim dan bodoh) ? Setelah manusia menerima amanah itu, manusia memunyai tanggung jawab dan konsekuensi hukum dari semua yang diperbuatnya. Apabila ia menunaikan amanat dengan menggunakan akalnya, ia termasuk manusia yang cerdas, tetapi sebaliknya bila ia tidak sanggup menggunakan akal pikirannya untuk menunaikan amanat itu, maka manusia disebut sebagai menzalimi dirinya sendiri dan bersikap bodoh.
ُ٘ َ َُ ْ ِقيٝ َ ِٝ َ ّللا اىصُّ ٌُّ ْاىجُ ْن ٌُ اىَّ ِذ ِ َّ َ ِْ َُّ َ َّز اى َّ َٗاةَّ ِع “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk disisi Allah adalah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mau menggunakan akalnya.” (QS. al-Anfâl/8: 22) Binatang yang paling buruk adalah manusia yang diberi akal dan hati, tetapi ia tidak memahami, diberi telinga, tetapi tidak mendengar dan dibekali mata, namun ia tidak sanggup melihat. Bahkan untuk mereka disediakan neraka Jahanam. Manusia yang tidak pandai memilih kebenaran yang ada dihadapannya, dan tidak sanggup memperjuangkan
keadilan yang didengarnya dan matanya tidak dapat melihat kebenaran yang ada disekelilingnya itulah yang disebut Zhalûman Jahûlan. Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa siapa yang diberi kebebasan dan amanat yang jelas kebaikannya dan ia telah merasakan nikmat dari amanat itu, lalu ia memilih yang tidak sesuai dengan hati nurani, tempat yang layak baginya adalah neraka Jahannam.
ُُ٘ ِثَٖب َ ََٖ ْفقٝ َّ ٌّن ىَُٖ ٌْ قُيُ٘ة ِ َٗ ِِّ ِ زًا ٍِّ َِ ْاىَٞٗىَقَ ْ َذ َر ْأَّب ِى َ ََّْٖ ٌَ َم ِث ِ اا ٌ ُُٗ ِثَٖب َٗىَُٖ ٌْ آ َذ ل َ ُُ٘ ِثَٖب أُ ْٗىَ ِئ َ ََ َ ْسٝ َّ ُا َ ْصز ِ ُجٝ َّ ٌُِ َٞٗىَُٖ ٌْ أَ ْع ُ٘ َ ُل ُٕ ٌُ ْاى َغبفِي َ َِمبألَ ّْ َ ِبً ثَوْ ُٕ ٌْ أَ َ وُّ أُ ْٗىَئ Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka memunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tandatanda kekuasaan Allah), dan mereka memunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A‟râf /7: 179) Para mufassir sepakat bahwa makna amanat dalam ayat ini (QS al Ahzab/33: 72) amanat dalam bentuk spiritual atau immateri. Yakni sebuah takl f atau tanggungjawab yang harus dipikul oleh orang yang diberi amanat dan juga bermakna hukum, yaitu ketentuan yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan. Dalam kontek ini, amanat dapat disamakan dengan imarat al maknawiyah yakni mengisi dan meningkatkan kualitas dan intensitas bekerja sebagai “sebuah gerakan” yang terus menerus, dinamis dan inovatif 3.
Bekerja Dengan Bersungguh-sungguh
ْ َُب قَ ْ٘ ًِ ا ْع ََيٝ ْقُو ُ ُ٘ ٍَِ رَ ُن ُ٘ َ َُ َف رَ ْ ي َ ْ٘ َعب ٍِ ٌو فَ َسِِّّٜ ٌْ ٍَ َنبَّ ِز ُنَٚ٘ا َعي ُ٘ َ َُ ُ ْف ِي ُ اىلَّب ِىٝ َ َُِّّٔ ار ِ ِّ ىَُٔ َعب ِقجَخُ اى
Katakanlah: “Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya, orang-orang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan.” (QS al-An‟âm/6: 135) Ayat diatas menunjukkan kepada kita bahwa dalam melakukan sesuatu haruslah dengan kesungguhan dan kemampuan, hal ini berlaku bukan hanya bagi pribadi namun juga akan berlaku juga dalam kelompok atau dengan kata lain sebuah organisasi atau perusahaan. Sebuah kata bijak (atsar) mengatakan:
ُّ اى َح ًبط ُو ِث ِْلَ ٍب ِ ََ ْغ ِيجُُٔ ْاىجٝ ًق ِث َ ِّلَ ٍب “kebaikan yang tidak terencana/terorganisasi /didasari oleh kemampuan akan dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terencana/ terorganisasi dengan baik”. Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
َُُِْٔ ْزقٝ ُْ َ ُِحتُّ ِ َذا َع َِ َو أَ َح ُ ُم ٌْ َع ََ ً أٝ َٚك َٗرَ َ بى َ ِ َُّ ّللاَ رَجَب َر “Sesungguhnya Allah senang apabila salah seorang di antara kamu mengerjakan suatu pekerjaan, bila dikerjakan dengan baik (jitu).”(HR al-Baihaqi dari „Aisyah r.a., Syu‟ab alÎmân, VII/232, hadis nomor 4929) 4.
Menghargai Waktu Islam sangat istimewa dalam membicarakan tentang waktu, bahkan salah satu surat dalam Al-qur‟an khusus menuliskan bagaiman apabila kita tidak mengahargai waktu, yaitu dalam surat Al-Ashr. Dalam surat ini Allah dengan jelas memperingatkan kepada manusia (pribadi/kelompok) apabila ia tidak betul-betul memperhatikan waktu, dengan ancaman kerugian (dalam hal ini kerugian mencakup secara materi maupun immaterial) dan hal tersbut dapat terhindari apbila ia mampu menjaga komitmen (âmanû) dengan konsekwen menjalankan aturan dan kewajiban („amilû ash-shâlihât) Ali bin Abi Thalib, r.a. mengatakan:
ُ اى َ٘ ْق ل َ َ َ َ ِ ِ ُْ ى ٌَ ْرَ ْق َ ْ ُٔ قْٞ ذ َمبى َّس “Waktu adalah Pedang, apabila ia tidak tepat dimanfaatkan maka ia dapat melukai/membunuh diri sendiri”
5.
Kerjasama Dalam ibadah shalat kita selalu membaca “iyyâka na‟budu….” Ayat tersebut dikemukakan secara jamak yang berati “hanya kepadaMu kami menyembah…”, Islam begitu mengutamakan sesuatu yang dilakukan secara berjamaah. Dalam kesehariannya rasululahpun selalu mengingatkan untuk saling bekerjasama. Pernah pada suatu hari rasulullah dan para sahabat ingin melakukan makan bersama, salah seorang sahabat mengatakan “ aku akan mencari kambingnya”, lalu sahabat kedua mengatakan “saya akan menyembelihnya”, dan sahabat ketiga mengatakan “ saya akan mengulitinya”, dan yang kempat mengatakan “saya akan memasaknya. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda: saya akan mengumpulkan kayu bakarnya. Dalam kisah lain, pada saat membangun masjid nabawi para sahabat menganjurkan Rasulullah untuk beristirahat/tidak perlu ikut turun tangan, namun rasulullah tetap ikut dalam pembangunan masjid tersebut. Dari sini jelaslah bahwa Islam sangat menganjurkan Budaya Bekerjasama dalam hal kebaikan.
ْ ُاُ َٗارَّق ْ َُّٗ َٗ َ رَ َ بَٙ٘ ْاىج ِّز َٗاىزَّ ْقَٚ٘ا َعي ْ َُّٗ َٗرَ َ ب ٘ا ِ َٗ ْ ُ اا ْث ٌِ َٗ ْاى ِ َٚ٘ا َعي َّ َُّ ِ َّللا َّ ة ِ ُ ْاى ِ قَبٝ ِ َ َّللا …dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS al-Mâidah/5:2)
6.
Bekerja Dengan Secara Ilmiah (Dengan Ilmu Pengetahuan) Dalam melakukan sebuah pekerjaan seharusnyalah seseorang memiliki pengetahuan atas apa yang akan ia kerjakan, hal ini akan berdampak pada apa yang akan dihasilkan dari pekerjaan itu.
ل َ ص َز َٗ ْاىفُ َؤا َد ُموُّ أُٗىَ ِئ َ َْن ى َ َل ِث ِٔ ِع ْي ٌٌ ِ َُّ اى َّس َْ َع َٗ ْاىج َ ََٞٗ َ رَ ْق ُ ٍَب ى ً ُ٘بُ َع ُْْٔ ٍَ ْسئ َ َم “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS al-Isrâ/17:36) Dalam surah yang lain allah menjanjikan bahwa orang yang memliki pengetahuan lebih mulia beberapa derajat.
َ َُّٖب اىَّ ِذََٝب أٝ ِ ْاى ََ َ ب ِىٜ َو ىَ ُن ٌْ رَفَ َّسحُ٘ا ِفِٞ آ ٍَُْ٘ا ِ َذا ِقٝ ِ َ ْف َسٝ ن فَب ْف َسحُ٘ا َّ َزْ فَ ِعٝ َو اّ ُش ُشٗا فَبّ ُش ُشٗاّٞللاُ ىَ ُن ٌْ َٗ ِ َذا ِق َّ ِٝ َ ِ آ ٍَُْ٘ا ٍِْ ُن ٌْ َٗاىَّ ِذٝ َ ّللاُ اىَّ ِذ َّ َٗ د ٌزُٞ٘ َ ِج َ ُّللاُ ِث ََب رَ ْ ََي ٍ أُٗرُ٘ا ْاى ِ ْي ٌَ َد َر َجب “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujâdilah/58:11) 7.
Bekerja Dengan Memiliki Keahlian Selain Ilmu yang dimiliki kita juga harus memliki keahlian(spesialisasi) dalam bekerja yang juga akan berdampak pada hasil yang kita dapatkan. Rasulullah s.a.w. bersabda:
َِب َرسُ٘ َه ّللاٝ َ ِ َ ب َعزَُٖبْٞ ذ األَ ٍَبَّخُ فَب ّْزَ ِل ِز اىسَّب َعخَ قَب َه َم ِ َ ِّٞ ُ ِ َذا .َ ِْز أَ ْٕيِ ِٔ فَب ّْزَ ِل ِز اىسَّب َعخٞ َ َٚقَب َه ِ َذا أُ ْسِْ َ األَ ٍْ ُز ِى “Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah saatnya (kehancuran). Abu Hurairah bertanya; “Bagaimana amanat itu disia-siakan wahai Rasulullah?, Beliau menjawab,”Jika suatu urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya (tidak memenuhi syarat).” (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahîh al-Bukhâriy, VIII/129, hadis nomor 6496) 8.
Pengendalian Mutu Setelah pekerjaan dilakukan dengan amanah, berdsarakan ilmu dan keahlian maka tugas terakhir dalam pekerjaan tersebut adalah melakukan pengendalian mutu dari apa yang kita kerjakan.karena hal tersbut harus dipertanggung jawabkan apakah itu kepada manusia lain atu Sang Khâliq.
َّ َٙ َزَٞٗقُ ِو ا ْع ََيُ٘ا فَ َس َُٚٗ ِى َ ُ٘ َٗ َسزُ َز ُّد َ ٍُِْ ّللاُ َع ََيَ ُن ٌْ َٗ َرسُ٘ىُُٔ َٗ ْاى َُ ْؤ ُ٘ َ َُُْجِّئُ ُن ٌْ ِث ََب ُم ْْزُ ٌْ رَ ْ ََيَٞت َٗاى َّشَٖب َد ِح ف ِ ْٞ َعبىِ ٌِ ْاى َغ Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu‟min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.(QS:At-Taubah/9:105) Refferensi: [1] Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari teori ke praktek (Jakarta : Gema Insani,2001) [2] Didin Hafidhuddin, Islam Aplikatif (Jakarta : Gema Insani, 2003)
[3] http://tenggarp.blogspot.co.id/2012/12/etika-profesi-menurut-islam.html
[4] Al-Maktabah asy-Syâmilah [5] http://media.isnet.org [6] http://muhsinhar.staff.umy.ac.id [7] http://qaradawi.net [8] http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/9704/