PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 71
BAB 3
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA
Si
stem organisasi sosial suatu komunitas sangat menentukan siapa pelaku dan penonton sebuah tari komunal. Alasanalasan penentuan susunan berlapis dalam sebuah komunitas (seperti kualitas dan kepandaian, tingkat umur dan kesenioran, sifat keaslian, keanggotaan kaum kerabat tokoh masyarakat, pengaruh dan kekuasaan, dan kekayaan harta benda), turut menentukan siapa yang boleh turut menari dan menonton atau yang boleh menyelenggarakan tarian tersebut. Hal ini juga merujuk pada kedudukan sosial si penari, peranannya, dan proses sosial yang terjadi dalam penyelenggaraan tari komunal tersebut. Tari komunal pada umumnya dilakukan oleh anggota dari suatu komunitas atau kelompok sosial. Keanggotaan tari komunal bisa jadi tidak formal secara administratif masuk dalam salah satu wilayah seperti kampung, desa, nagari, kecamatan, dan lain-lain; tetapi bisa juga atas dasar hubungan kesukuan, keturunan, marga, dan keagamaan. Ada jenis tari komunal yang hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, perempuan atau hanya oleh waria (banci). Ada juga yang hanya boleh ditarikan oleh anak-anak, remaja, atau orang dewasa. Bila melihat siapa pelakunya, maka tari komunal dapat dipilah berdasarkan persepsi usia, jender, tingkat kemampuan, dan jumlah penarinya. Uraian tentang itu dapat diikuti di bawah.
72 | TARI KOMUNAL
Namun sebelumnya akan diuraikan secara berturut-turut tentang: masyarakat pendukung, penonton, dan sifat interaksi antara penon ton dengan yang ditonton. Bab ini akan diakhiri dengan uraian mengenai penyelenggaraan peristiwa tari komunal. 3.1 MASYARAKAT PENDUKUNG Pendukung yang dimaksud di sini adalah komunitas atau ke lompok masyarakat yang menjadi pelindung, penikmat, pelaku, penyelenggara atau penanggung jawab dari tari komunal. Sebagai suatu perwujudan seni kemasyarakatan, yang telah tumbuh menjadi suatu tradisi, tari komunal diikat oleh nilai-nilai budaya masyarakat bersangkutan. Karena itu, tari komunal dimiliki dan didukung, bahkan mungkin dijadikan identitas atau simbol kebanggaan suatu komunitas. Masyarakat pendukung dapat dikategorikan menjadi dua, yakni masyarakat umum, yang sifatnya terbuka bagi siapa saja, dan grup-grup khusus yang terdiri dari orang-orang pilihan atau yang ditunjuk secara khusus. 3.1.1 Masyarakat Umum
Masyarakat umum yang menjadi pendukung tarian komunal bisa bermacam-macam tingkatan status sosial atau karakteristik nya. Untuk peristiwa tari dangdut, umpamanya, tidak ada larangan bahwa orang tua (katakanlah di atas 70 tahun) turut menari bersama anak-anak muda. Jika terjadi seorang kakek atau di nenek menari bersama-sama, mungkin hal itu hanya diangap aneh. Mereka tidak akan mendapat umpatan, atau sanksi sosial yang serius. Keterlibatannya mungkin hanya menjadi bahan tertawaan atau sesuatu yang “lucu” . Peristiwa dangdut dalam forum seperti itu dapat kita sebut sebagai tari komunal yang terbuka. Umum boleh turut menari. Demikian pula untuk pertunjukan-pertunjukan tari yang lebih memiliki kaidah lokal, seperti misalnya jaipongan atau bajidoran di wilayah utara Jawa Barat, tari yosim pancar (yospan) di Papua, poco-poco di Ambon, Mandao, dan sebagainya. Untuk peristiwa
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 73
seperti itu, tentu saja ada norma-norma kelayakan sosial, namun tidak disyaratkan secara formal, dan jika ada terjadi keterlibatan pihak yang “kurang umum” kemungkinan tidak akan menjadi gangguan jalannya peristiwa. Forum pertunjukan seperti itu menjadi forum kebersamaan sosial, yang disepakati bersama. Para penari satu sama lain bisa mengekspresikan personal masing-masing, yang sekaligus juga sebagai ekspresi sosial, karena semua berdasar pada ikatan ruang (tempat: panggung, halaman, lapangan, stadion), waktu (selama acara berlangsung), dan situasi atau suasana saat itu. Sepanjang ke terlibatan setiap orang untuk tujuan kebersamaan itu, bukan untuk mementingkan diri sendiri dengan mengganggu yang lain, apapun yang diperbuatnya akan dapat diterima oleh pihak-pihak lainnya.
Gbr. 3.1: Seperti halnya dalam dangdut, ketika dipertunjukkan musik Turki, para penonton bisa masuk kalangan untuk menari, dalam suatu festival di Selandia Baru.
74 | TARI KOMUNAL
Gbr. 3.2: Walau perlu latihan dalam suatu grup, masyarakat umum bisa bergabung turut menarikan awi alu dari Flores.
Gbr. 3.3: Penonton bebas datang dalam perayaan alek nagari. (pesta nagari atau “desa”).
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 75
3.1.2 Kalangan Terbatas/Terseleksi
Tidak sedikit pertunjukan tari komunal yang hanya boleh diikuti oleh warga desa atau segmen masyarakat tertentu. Mereka yang berasal dari luar desa atau segmen masyarakat bersangkutan, secara umum tidak dibolehkan ikut berpartisipasi. Tari perang pandan di desa Tenganan (Karangasem, Bali) hanya boleh diikuti oleh para remaja dari desa Tenganan sendiri. Orang luar desa mungkin boleh menonton, namun mereka tidak boleh atau jarang sekali diijinkan ikut terlibat dalam peristiwa ritual ini. Dalam acara ritual Parmalim di Batak Toba, untuk tarian-tarian khusus, yang boleh menari hanyalah orang-orang tertentu dari kalangan umatnya. Ada juga tarian komunal yang para pelakunya terdiri dari orangorang yang dipilih oleh warga masyarakatnya. Hal ini mungkin karena dalam tarian tersebut melekat aturan-aturan atau persyaratan khusus, yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya atau kepercayaan yang diyakininya. Tari seblang di Banyuwangi, sanghyang di Bali, Cupak-Gurantang di Lombok (untuk upacara Maulid), tari-tarian untuk alek nagari (“pesta desa”) di Minangkabau, dan lain-lain, pelakunya adalah orang-orang khusus, walaupun tari-tarian itu bertujuan untuk kepentingan suatu komunitas. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang diperlukan tetap akan disediakan dengan cara gotong royong oleh seluruh anggota masyarakatnya. Di Bali, hampir semua jenis tarian menjadi tanggung jawab warga banjar atau desa, walaupun pelaksanaannya bisa saja diserahkan kepada suatu kelompok kecil yang disebut sekaa (semacam organisasi profesi). Demikian juga untuk pertunjukan topeng dalam upacara ngunjung, ngarot, bersih desa, dan sebagainya, pelakunya adalah seniman khusus tapi ditujukan untuk kepentingan warga masyarakat. Di tempat lain ada pula tarian yang dilakukan atas dukungan kelompok-kelompok kecil yang ada dalam suatu masyarakat. Ke lompok-kelompok ini bisa berupa anggota keluarga batih tertentu, anggota suatu marga tertentu, atau kelas tertentu, yang sifatnya le bih mengkhusus. Segala pembiayaan yang dibutuhkan untuk meng adakan tarian ini akan menjadi tanggungan dari kelompok kecil ini. Namun demikian, konteks sosial seperti itu pun bisa berubah
76 | TARI KOMUNAL
dari waktu ke waktu. Belakangan ini, setelah banyak munculnya sanggar-sanggar seni, semakin banyak aktivitas tari yang didukung oleh kumpulan perorangan yang datang dari warga masyarakat yang berbeda-beda. Tari joged bumbung di Bali, yang dahulunya didukung oleh warga masyarakat yang berasal dari satu desa, belakangan ini sudah bergeser ke sanggar. Karena itu, anggotanya berasal dari berbagai desa atau kabupaten. Penyelenggaraan suatu tari komunal, seperti cakalele di Sulawesi Utara, tari adat di Flores, telah biasa pula dilaksanakan dengan permintaan dan dukungan dari suatu kelompok kecil, baik dari wilayah dekat maupun jauh.
Gbr. 3.4: Tarian sikere di Mentawai hanya dapat dipertunjukkan oleh orang-orang yang dipercayai telah memiliki kemampuan (penyembuhan) spiritual.
Gbr. 3.5: Tari Cakalele dari Sulawesi Utara, dilakukan oleh orang-orang tertentu, untuk berbagai upacara kebesaran publik, di antaranya pernikahan.
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 77
Gbr. 3.6: Silek (silat) Minang dalam acara ulu ambek, dilakukan oleh orang-orang yang memiliki tingkatan kepandaian tertentu.
Gbr. 3.7: Untuk menari dalam dabuih (dabus), yang mempertunjukkan kekebalan tubuh, hanya orang tertentu saja yang mampu melakukannya.
Gbr. 3.8: Tarian perempuan dari Kerinci, Jambi, mempertunjukkan kekuatan khusus, menginjak pecahan kaca dan menusuk diri dengan keris.
3.2 INTERAKSI PENONTON Suatu pertunjukan tari komunal ada yang hanya dihadiri oleh para anggota keluarga inti atau yang berasal dari satu nenek moyang. Namun ada juga yang dihadiri oleh seluruh warga kampung, warga suatu wilayah kecamatan, atau bahkan sejumlah anggota dari seluruh pulau atau negeri. Kecil ataupun besar, semua itu bisa disebut “kesatuan sosial,” seperti telah dikatakan dalam Bab 2 mengenai pengertian “komunitas.” Di Indonesia, hingga kini masih terasa adanya sesuatu yang
78 | TARI KOMUNAL
mewarnai gaya hidup sebagian besar dari warganya, sebagai ma syarakat agraris. Keberhasilan usaha pertanian, seperti pada masa panen, merupakan saat-saat yang menggembirakan. Untuk men syukuri karunia ini, dan untuk menunjukkan rasa suka cita mereka, banyak warga masyarakat yang mengadakan pertunjukan tarian, atau jenis-jenis kesenian lainnya. Pada peristiwa itu, seseorang atau sekelompok masyarakat berkomunikasi, baik secara horizontal (an tara sesama manusia) maupun secara vertikal (dengan para leluhur dan Tuhan). Komunikasi horizontal terjadi bukan hanya ketika mereka menari bersama saja, melainkan sejak mereka melakukan persiapan sampai pementasannya telah usai. Komunikasi vertikal terjadi ketika tarian itu sendiri, doa, atau sesaji yang berupa makan an dan minuman, merupakan wujud dari ungkapan rasa terima kasih atas segala limpahan nikmat yang telah diberikanNya. Komunikasi ini bisa bersifat fisik, yang terlihat secara visual se perti layaknya orang berinteraksi satu sama lain. Namun komunikasi bisa juga secara tersembunyi melalui komunikasi rasa dan jiwa, yang terungkapkan dalam bahasa kesenian, seperti misalnya melalui suara musik, tari, sastra dan rupa. Tari komunal seringkali terjadi karena adanya dorongan untuk mencetuskan perasaan gembira, memperlihatkan rasa solidaritas, dan untuk menunjukkan rasa bakti atau rasa hormat (loyalitas). Sejalan dengan ini, komunikasi, partisipasi, dan interaksi adalah tiga hal penting dalam tarian komunal, yang dapat dikatakan sebagai jiwa dari tarian ini. Oleh sebab itu, yang umum mewarnai tarian komunal adalah keakraban dan persaudaraan dari para partisipannya. Pergelaran nya lebih merupakan sebuah ajang interaksi sosial antarwarga masyarakat yang ditujukan untuk kepentingan bersama, daripada untuk mempertontonkan kemahiran menari kepada penonton. Walaupun demikian, ini bukan berarti bahwa sajian tari komunal tidak memp erhatikan unsur estetis, hanya saja kenikmatan kebersamaan lebih diutamakan oleh warga masyarakat dalam suatu peristiwa sosial. 3.3 PENGGOLONGAN TARI KOMUNAL BERDASAR KAN PELAKUNYA
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 79
Gbr. 3.9: Situasi pertunjukan tarian dari kepulauan Guam, Samudra Pasifik untuk anak sekolah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat: sebelum pertunjukan, di panggung, dan situasi penontonnya.
Gbr. 3.10: Penonton anak-anak tari topeng di Cirebon, yang bergairah menyukai gurauan pelawaknya, sehingga mereka seperti menjadi bagian dari pertunjukan.
Gbr. 3.12: Anak-anak, bahkan bayi sekalipun bisa hadir dalam kalangan tari adat, walau tidak berperan sebagai penonton ataupun yang ditonton.
Gbr. 3.13: Tarian anak-anak yang disertai sambutan dan partisipasi intim dari para guru, saudara, atau orang tuanya.
Gbr. 3.11: Dalam pertunjukan wayang golek Sunda, wayang biasa mengadakan dialog dan bergurau dengan penonton.
80 | TARI KOMUNAL
3.3.1 Usia 3.3.1.1 Anak-anak
Di banyak daerah anak-anak dianggap sebagai sosok suci, yang belum terpengaruh oleh nafsu keduniawian. Oleh sebab itu mereka sering kali diperlakukan secara istimewa, kualitas kesuci annya dianggap memiliki kemampuan menangkap signal suci dari yang di atas. Atas dasar itu banyak tarian komunal, terutama yang bersifat religius, yang hanya boleh ditarikan oleh anak-anak (ber umur sekitar lima sampai dua belas tahun). Di Bali, tari sanghyang dedari yang disakralkan hanya boleh ditarikan oleh gadis-gadis yang belum menginjak fase mensturasi. Untuk menjadi penari tari kerawuhan ini mereka harus diupacarai terlebih dahulu. Selama menjadi penari mereka harus tinggal di pura, tempat tari sanghyang dilakukan. Tari rejang dewa adalah jenis tarian upacara keagamaan Hindu Bali yang biasanya juga dilakukan oleh remaja putri. Kedua contoh tarian di atas, menunjukkan betapa dunia anak diakui, dihormati, bahkan dipuja. Mereka diperlakukan sebagai bagian tersendiri dalam kosmos, yang memiliki peran khusus dalam membangun keseimbangan alam, budaya, sosial, dan spiritual. Anak-anak tidak dianggap sebagai manusia yang “belum-jadi”. Bahkan justru sebaliknya, tanpa anak-anak kedua tarian tersebut tidak bisa dilakukan. Hal ini menegaskan bahwa tarian anak-anak bukan merupakan tarian dewasa yang dilakukan oleh anak-anak. Ada suatu tarian yang dilakukan oleh empat anak perempuan berusia sekitar 3 atau 4 tahun dalam sebuah ritus desa di propinsi Fukui Jepang. Mereka menari di atas panggung pendek (50 cm), diiringi nyanyian koor orang tua berusia sekitar 60-an tahun yang duduk syahdu di lantai mengelilingi panggung tersebut. Demikian juga dalam ritus-ritus tahunan lainnya di Jepang, misalnya hana matsuri (upacara “air panas,” waktu musim dingin), pada saat pertunjukan tarian anak-anak selalu hadir. Seperti halnya tari sanghyang dedari dan rejang dewa di Bali, pertunjukan yang dimainkan oleh anak-anak ini justru menjadi bagian inti dari
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 81
upacara, dan bukan sebagai pelengkap.
Bentuk yang lain, ada pula tarian anak-anak yang menyatu dengan permainan sesuai dengan dunia kehidupan anak-anak itu sendiri. Tarian seperti kucing-kucingan, ular-ularan, kudakudaan, dan sebagainya, terdapat di berbagai tradisi. Selain sebagai permainan, sering kali tarian itu pun menyatu dengan latihan keterampilan fisik, seperti loncatan atau gerakan akrobatis lain yang memang cocok bahkan dianggap baik untuk perkembangan fisik anak. Sepak rago di Minangkabau, menyepak bola rotan sambil melingkar tanpa membiarkan bola jatuh di tanah, seperti sepak takraw di Melayu, sepa’ raga di Bugis dan Makassar, misalnya adalah salah satu jenis permainan anak seperti di atas. Tarian sambil loncat-loncat di antara galah yang diadukan secara berirama oleh sepasang pemain, merupakan bagian dari keterampilan memahami dan mengikuti irama. Jika salah loncat, kaki penari akan terjepit. Tarian atau permainan seperti ini terdapat di banyak tempat, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di Filipina, Kamboja, Vietnam. Di Sikka (Fores) misalnya, disebut awi alu dan magemot; di Maluku disebut sau reka-reka dan gaba-gaba; di Filipina disebut tinikling. Jadi, dalam realitas, batasan antara tari olah-raga, akrobat, dan gerak keseharian itu tidak selamanya jelas. Gbr. 3.14: Tarian anak-anak sebagai bagian dari hana matsuri (“upacara air panas”) di suatu kampung wilayah Toeicho, Jepang.
Ada pula tarian atau permainan anak-anak yang sesuai dengan lingkungan tertentu, seperti misalnya di sawah, di ladang, di hutan,
82 | TARI KOMUNAL
Gbr. 3.15: Tarian ulo alu dari Buton, Sulawesi Tenggara, yang menampilkan kegesitan anak-anak, dalam suatu perayaan.
di tempat peribadatan, dan lain-lain. Pada masa lalu, tari piring, indang, randai, sangat umum dipelajari dan dipertunjukkan di surau-surau di Sumatera Barat; rudat merupakan tarian khas lingkungan mesjid atau pesantren di berbagai wilayah di Jawa, dan lain sebagainya. Aktivitas kesenian serupa itu, juga merupakan ajang komunikasi bersama antaranak-anak, remaja, dan orang tua, sehingga penerusan budaya dapat berlangsung secara alamiah. Dalam kesenian indang di Minangkabau, ketiga tingkatan usia (anak, pemuda, orang tua) itu justru bercampur, main bersamasama: anak sebagai bagian dari koor tari dan musik (anak indang), pemuda (20-40 tahun) sebagai pemimpin irama dan syair (tukang aliah), dan orang tua ini (di atas 40 tahun) sebagai tukang dikie. Para orang tua ini memberikan penalaran atau pertanyaan-pertanyaan filosofis kepada penonton atau grup yang akan main berikutnya berpesan melalui syairnya indang biasa dimainkan oleh tiga grup bergantian dalam suatu peristiwa seperti alek nagari (“pesta desa”). Di Flores terdapat gawi, yang ditarikan sambil menyanyi dengan melibatkan penari-penari dari berbagai usia dan jenis kelamin. Hal ini terjadi juga dalam modero di Sulawesi Selatan dan molulo di Sulawesi Tenggara. Di Jawa, pernah berkembang tarian anak di kala terang bulan, disebut jamuran. Dalam tarian itu anak-anak bermain sambil
PELAKU, PENONTON, DAN PENYELENGGARA | 83
Gbr. 3.16: Baindang dimainkan oleh segala umur: yang di tengah (berkumis) adalah tukang aliah, dan bapak berkopiah (di belakang) adalah tukang dikie.
Gbr. 3.17: Baindang (pertunjukan tari/musik indang) yang dimainkan oleh anak-anak SD Muhammadiyah di Pariaman, Sumatera Barat.
menari berputar-putar sambil bertepuk tangan yang dilakukan secara serentak. Pada masa lalu terang bulan merupakan suatu hal yang istimewa karena suasana malam di luar rumah yang biasanya gelap menjadi benderang. Banyak wilayah masyarakat desa memaknai purnama sebagai saat penting. Bahkan ada kelompok budaya yang menganggap purnama sebagai saat sakral dalam siklus waktu, bukan semata karena cahayanya. Berbeda dengan sekarang, di kota bahkan juga desa, listrik telah menerangi halaman dan jalan-jalan yang melebihi kekuatan cahaya bulan, sehingga purnama menjadi kurang atau tidak bermakna. Dengan merebaknya media elektronik (terutama televisi), yang me nyebar ke berbagai pelosok pedesaan, bermain di luar rumah kala terang bulan jarang sekali dilakukan, bahkan mungkin tidak lagi dilakukan anak-anak. Terlebih lagi di kota-kota yang makin lama makin kehilangan ruang-ruang publik kepemilikan tanah makin terbatas, kompleks pemukiman baru umumnya tanpa halaman dan ruang publik yang memadai dunia permainan anak di luar rumah makin cepat menghilang. Kesenian memang berubah mengikuti perkembangan jaman. Di kraton Yogyakarta, pada masa lalu ada tari Srimpi Renggawati yang diadakan oleh Sultan. Tarian itu merupakan ritus transisi dari anak-anaknya yang menginjak usia remaja. Penari utamanya, Renggawati, adalah putri Sultan yang belum mengalami mensturasi. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian, tarian ini menjadi
84 | TARI KOMUNAL
tari tontonan yang tidak lagi memiliki fungsi ritual seperti pada awalnya. Dengan adanya perubahan fungsi, ketentuan akan peran Renggawati harus anak Sultan, dan belum mensturasi, pun menjadi pudar. Dengan contoh-contoh ini, jelaslah bahwa kesenian berubahubah dari masa ke masa, sesuai dengan perubahan situasi, teknologi, maupun ideologi masyarakatnya. 3.3.1.2 Remaja
Secara umum penari remaja (usia antara 13 20 tahun, atau yang
Gbr. 3.18: Dalam suatu tontonan, seorang anak menari gaya dangdutan di atas panggung.
Gbr. 3.19: Tari baris dari Bali, yang dianggap sebagai dasar tari putera, sehingga anak laki-laki hampir selalu mulai belajar dengan tarian ini.
Gbr. 3.20: Sekelompok anak menggunakan kostum daun pisang bekas orang dewasa menari hudoq Dayak Modang. Mereka mereka menari-nari menirukan tarian hudoq orang dewasa.