BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan sektor perekonomian nasional tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan dan perkembangan para pelaku ekonomi dapat terjadi karena tersedianya beberapa faktor penunjang serta iklim berusaha yang bagus sebagai salah satu faktor yang dominan. Salah satu faktor yang relatif sangat penting yang harus tersedia yaitu tersedianya dana dan sumber dana, karena dana merupakan motor bagi kegiatan dunia usaha pada umumnya. Setiap organisasi ekonomi dalam bentuk apapun atau dalam skala apapun selalu membutuhkan dana yang cukup agar laju kegiatan serta perkembagannya dapat diharapkan terwujud sesuai dengan perencanannya. Kebutuhan dana, ada kalanya dapat dipenuhi sendiri (secara internal) sesuai dengan kemampuan, tetapi ada kalanya tidak dapat dipenuhi sendiri. Untuk itu diperlukan bantuan pihak lain (eksternal) yang bersedia membantu menyediakan dana sesuai dengan kebutuhan dengan cara meminjam atau berhutang kepada pihak lain. Hukum perusahaan sebagai bagian dalam hukum bisnis semakin terasa dibutuhkan lebih-lebih pada awal abad 21 ini dengan prediksi bisnis internasional yang tidak terelakkan lagi, dimana Indonesia berada di tengah
1
kancah perdagangan bebas, dengan segala konsekuensinya termasuk tuntutan daya saing yang semakin berat. Bentuk-bentuk badan hukum yang dikenal dalam sistim hukum dagang Indonesia adalah Perseroan Firma (Fa), Persekutuan Komanditer (CV), dan Perseroan Terbatas (PT). Bentuk ini diatur dalam Buku Kesatu Bab III Bagian I Kitab Undang-undang Hukum Dagang (disingkat KUHD). Selain itu, masih ada bentuk badan hukum lain yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang disebut dengan Maatschap atau persekutuan.1 Dalam praktek sangat banyak kita jumpai perusahaan berbentuk perusahaan terbatas. Bahkan, berbisnis dengan membentuk perseroan terbatas ini, terutama untuk bisnis yang serius atau bisnis besar, merupakan model berbisnis yang paling lazim dilakukan, sehingga dapat dipastikan bahwa jumlah dari perseroan terbatas di Indonesia jauh melebihi jumlah bentuk bisnis lain, seperti Firma, Perusahaan Komanditer, Koperasi, dan lain-lain. Perseroan Terbatas merupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang paling diminati saat ini, di samping karena pertanggung jawabannya yang bersifat terbatas, Perseroan Terbatas juga memberikan kemudahan bagi pemegang saham untuk mengalihkan perusahaannya kepada setiap orang dengan
menjual
seluruh
saham
yang
dimilikinya
pada
perusahaan
tersebut.2Kata “perseroan” menunjukkan kepada modalnya yang terdiri atas sero (saham), sedangkan kata “terbatas” kepada tanggung jawab pemegang saham yang tidak melebihi nilai nominal saham yang diambil bagian dan 1
Sri Redjeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, Majalah Hukum Nasional, Nomor 2 Tahun 2000, hal. 20. 2 Ibid.
2
dimilikinya. Kata perseroan dalam arti umum adalah perusahaan atau organisasi usaha sedangkan Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk organisasi usaha atau badan usaha yang ada dan dikenal dalam sistim hukum dagang indonesia. Kegiatan perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Nama Perseroan Terbatas (PT) dan bentuk PT di Indonesia diambil dari Hukum Dagang Belanda (WvK), dengan singkatan NV atau Naamlooze Vennootschap, yang singkatannya juga lama digunakan di Indonesia sebelum diganti dengan singkatan PT. Sebenarnya bentuk ini berasal dari Perancis dengan singkatan SA atau Societe Anonyme yang secara harfiah artinya “perseroan tanpa nama”. Maksudnya adalah bahwa PT tidak menggunakan nama salah seorang atau lebih diantara para pemegangsahamnya, melainkan memperoleh namanya dari tujuan perusahaan saja.3 Terhadap perseroan terbatas ini di dalam beberapa bahasa disebut sebagai berikut: -
Dalam bahasa Inggris disebut dengan
Limited (Ltd.) Company,
atau
Limited Liability Company, ataupun Limited (Ltd.) Corporation. -
Dalam bahasa Belanda disebut dengan Naamlooze Vennootschap atau yang biasa sering disebut NV saja. Dalam bahasa Jerman disebut dengan Gesselschaft mit Beschrankter Haftung.
3
I.G Rai Widjaja, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Megapoin, Jakarta, 2000,
hlm.1.
3
Utang dalam dunia usaha adalah suatu hal yang biasa dilakukukan oleh pelaku usaha perorangan maupun perusahaan. Para pelaku usaha yang masih dapat membayar kembali utang-utangnya biasa disebut pelaku usaha yang “solvable”, artinya pelaku usaha yang mampu membayar utang-utangnya. Sebaliknya pelaku usaha yang sudah tidak bisa membayar utang-utangnya disebut “insolvable”, artinya pelaku usaha tidak mampu membayar utangutangnya. Suatu usaha tidak selalu berjalan dengan baik dan lancar, tidak jarang keadaan keuangan pelaku usaha tersebut sudah sedemikian rupa sehingga sampai pada keadaan berhenti membayar, yaitu suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mampu lagi membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Para kreditur yang mengetahui bahwa debitur tidak mampu lagi membayar utang-utangnya dapat mengajukan gugatan terhadap kreditur tersebut melalui lembaga kepailitan, disertai dengan permohonan sita jaminan untuk menjamin agar debitur tidak mengalihkan harta bendanya sebelum keputusan pailit dijatuhkan. Menurut Sri Rejeki Hartono: “Lembaga kepailitan memberikan suatu solusi terhadap para pihak apabila debitur dalam keadaan berhenti membayar atau tidak mampu membayar. Lembaga kepailitan mencegah atau menghindari suatu hal tersebut, yang keduanya merupakan tindakan-tindakan yang tidak adil dan dapat merugikan semua pihak, yaitu: menghindari eksekusi masal oleh debitur atau kreditur dan mencegah terjadinya kecurangan oleh debitur sendiri”.4 Dalam dunia usaha, suatu perusahaan tidak selalu berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup
4
Ibid, hal. 22.
4
membayar hutang-hutangnya. Hal demikian dapat pula terjadi terhadap perorangan yang melakukan suatu usaha. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan suatu perusahaan dapat saja dalam kondisi untung atau keadaan rugi. Kalau keadaan untung, perusahaan berkembang dan berkembang terus, sehingga menjadi perusahaan raksasa. Sebaliknya, apabila kondisi perusahaan menderita rugi, maka garis hidupnya menurun. Kepailitan perusahaan merupakan suatu fenomena hukum perseroan yang sering sangat ditakuti, baik oleh pemilik perusahaan atau oleh manajemennya. Karena dengan kepailitan perusahaan, berarti perusahaan tersebut telah gagal dalam berbisnis atau setidak-tidaknya telah gagal dalam membayar hutang atau hutang-hutangnya. Keadaan sebagaimana tersebut di atas pernah dialami oleh hampir sebagian besar para pelaku usaha di Indonesia. Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian nasional khususnya dunia usaha. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan kegiatannya menjadi sangat terganggu, terutama untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang mereka. Keadaan ini telah melahirkan akibat berantai, dan apabila tidak segera diselesaikan akan menimbulkan dampak yang lebih luas, antara lain hilangnya kesempatan kerja dan timbulnya kerawanan sosial lainnya. Akibat lainnya banyak perusahaan Indonesia yang terpaksa berutang kepada kreditor luar negeri, tetapi perusahaan tersebut ternyata tidak mampu membayar hutang kepada krediturnya saat jatuh tempo.
5
Suatu perusahaan dikatakan pailit atau istilah populernya adalah bangkrut manakala perusahaan atau orang pribadi tersebut tidak sanggup atau tidak mau membayar hutang-hutangnya. Oleh karena itu, untuk mencegah pihak kreditur ramai-ramai menagih debitur dan saling berebutan harta debitur tersebut maka hukum memandang perlu mengaturnya, sehingga hutang-hutang debitur dapat dibayar secara tertib dan adil. Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menegaskan bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu, sementara Abdul R. Sulaiman mengatakan pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masingmasing dengan tidak berebutan.5 Kepailitan pada hakikatnya akan menyangkut status hukum dari subjek hukum yang bersangkutan baik subjek hukum pribadi maupun subjek hukum 5
Abdul R. Sulaiman, Esensi Hukum Bisnis Indonesia Teori dan Praktek, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.1.
6
badan hukum/bukan badan hukum, maka harus mengikuti syarat dan prosedur tertentu sehingga dapat dinyatakan pailit dengan berdasarkan suatu keputusan hakim. Kepailitan kini menjadi tren penyelesaian sengketa utang piutang yang paling banyak diminati karena dirasa lebih cepat sehingga hak para kreditor lebih terjamin. Di Indonesia peraturan mengenai kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau lebih dikenal dengan Undang- Undang Kepailitan (UUK). Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Undang-Undang tersebut perlu dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif. Dalam Undang-Undang tersebut kepailitan diartikan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.6 Disaat industri penerbangan Indonesia tengah mengalami pertumbuhan yang positif, ada kabar menyedihkan mengenai kepailitan salah satu maskapai penerbangan Indonesia, yaitu Batavia Air. Di tengah industri transportasi udara Indonesia yang sedang tumbuh dengan cepat, Batavia Air justru terpuruk.
6
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
7
Pasalnya, maskapai penerbangan ini dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas permohonan salah satu kreditur Batavia Air, yaitu International Lease Finance Corporation (ILFC). Tanda-tanda kepailitan tersebut adalah maskapai Batavia Airline telah memangkas frekuensi penerbangan dari semula 64 penerbangan sehari menjadi hanya 44 penerbangan sehari. Ini membuktikan bahwa ada rute yang tidak produktif sehingga memilih untuk tidak memakai rute tersebut Selain itu, rute dari Indonesia ke China atau sebaliknya juga ditutup. Pihak maskapai malah tidak memberikan alasan yang jelas terkait penutupan rute tersebut, padahal rute ini juga cukup diminati karena harga tiket Batavia yang kompetitif.7 Di sisi lain, terjadi ketidakmampuan manajemen untuk mengelola keuangan, khususnya dalam hal sewa pesawat. Dari 14 pesawat yang dimilikinya akhir 2012, ternyata hanya tujuh pesawat yang dipakainya. Menurut Pengamat penerbangan Dudi Sudibyo, "Ini jelas salah manajemennya tidak mampu mengelola uang untuk sewa pesawat, sekaligus akan melayani rute mana saja yang akan menopang pendapatan perseroan." Hal ini memperlihatkan bahwa manajemen tidak memiliki upaya untuk bisa menaikkan pendapatan meski pesawat Batavia Air ini dibeli dengan sistem sewa (leasing). Tidak seperti maskapai lain yang sudah bisa menghitung rute mana saja yang akan dilalui dan kebutuhan untuk menaikkan jumlah pesawatnya.
7
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/02/01/0542105/Kepailitan.Batavia.Sudah.Di prediksi.sejak.Lama diakses tanggal 10 Februari 2013
8
Maskapai penerbangan PT Metro Batavia (Batavia Air) diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada hari Rabu tanggal 30 Januari 2013. Pengadilan memutuskan pailit Batavia Air karena dinilai tak mampu membayar utang perjanjian sewa-menyewa pesawat dengan International Lease Finance Corporation (ILFC) sebesar 4,69 juta dollar AS. Utang yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012 tersebut tak kunjung dibayarkan oleh PT Batavia Air.8 Implikasi dari putusan pailit Batavia Air ini, banyak mengakibatkan kerugian, baik dari pembatalan penerbangan yang berakibat pada kerugian konsumen, dan banyak travel agent yang menanggung kerugian yang cukup besar. Hal ini menarik untuk diteliti, karena kepailitan Batavia Air ini membawa dampak yang cukup besar. Kerugian yang cukup besar baik ditinjau dari segi perusahaan, tenaga kerja, konsumen, ataupun lembaga-lembaga yang terkait dengan kepailitan dari Batavia Air, seperti travel agent. Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara lain Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Sirait, dan Alba Sumahadi. Dalam hal Kepailitan Kurator memiliki tugas utama yakni membereskan harta pailit sampai tuntas, baik itu menghitung
kewajiban
debitur
pailit,
membuat
pengumuman
dan
pemberitahuan, menjual aset dan membagi-bagikan kepada para kreditur. Dalam melaksanakan Tugasnya Kurator dapat bekerja tanpa ada persetujuan
8
Ibid
9
dari kreditur, walaupun dalam beberapa hal izin dari beberapa pihak tetap diperlukan tergantung dari jenis tugas yang di lakukan. Sejak Pengadilan Negeri Niaga menyatakan suatu perusahaan pailit maka sejak saat itu pula kurator berwenang untuk melaksanakan tugasnya, meskipun terhadap putusan tersebut pihak yang dinyatakan pailit mengajukan kasasi atau peninjauan kembali, selanjutnya apabila peryataan pailit tersebut dinyatakan batal sebagai akibat dari kasasi atau peninjauaan kembali, maka segala yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan tersebut tetap sah dan mengikat debitur. Permasalahan terjadi ketika tiga hari sebelum PT Metro Batavia diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 30 Januari 2013, ternyata perusahaan telah menjual asetnya. Kuasa Hukum pekerja dan karyawan Batavia menemukan adanya aset berupa kantor pusat Batavia yang dijual sebelum putusan pailit. Mengetahui bahwa beberapa aset Batavia telah dijual / dipindah tangankan, kemudian Tim Kurator mengajukan gugatan hukum terhadap Presiden Direktur Batavia, Yudiawan Tansari. Gugatan yang diajukan adalah gugatan actio pauliana yang telah didaftarkan di Panitera Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak 20 Maret 2014. Gugatan ini dipisah menjadi dua bagian, yaitu gugatan dengan nomor perkara 01/Pdt.Sus.Actio Pauliana/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst dan 02/Pdt.Sus.Actio Pauliana/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst. Pada gugatan pertama yang bernomor 01, tim
10
kurator tidak hanya menggugat Presdir Batavia, tetapi juga menyeret Riana Tansari dan Ignatius Vendy sebagai para tergugat. Sedangkan perkara nomor 02, tim kurator mendudukkan Rio Sulysto, PT Putra Bandara Mas, dan Harun Sebastian sebagai para tergugatnya. Adapun alasan hukum tim kurator mengajukan actio pauliana lantaran Yudiawan dituding telah merencanakan pengalihan gudang penyimpanan logistik atau dikenal dengan Gudang Bandara Mas beserta tanahnya di Jalan Marsekal
Surya
Darma,
Tangerang
kepada
Riana
Tansari,
saudara
kandungnya. Upaya pengalihan ini baru diketahui tim kurator melalui surat Riana Tansari kepada tim kurator pada 26 November 2013 lalu. Isinya adalah agar gudang tempat penyimpanan logistik ini harus dikosongkan sebelum tanggal 16 Desember 2013 karena Riana ingin mengalihkannya kembali kepada Ignatius Vendy berdasarkan Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tertanggal 1 November 2013. Melalui PPJB tersebut, diketahui pula harga jual aset tersebut senilai Rp21,2 miliar yang pembayarannya dilakukan secara bertahap. Selain menemukan aset berupa Gudang Bandara Mas beserta tanah, tim kurator juga menemukan boedel pailit (harta pailit) lainnya yang juga dialihkan Yudiawan, yaitu bangunan beserta tanah di Jalan Juanda, Jakarta Pusat yang dikenal sebagai kantor Batavia. Yudiawan dianggap telah mengalihkan bangunan dan tanah kantor Batavia sejak 28 Desember 2012 lalu kepada Rio
11
Sulysto, keponakan kandung Yudiawan yang juga menjabat sebagai Direksi pada PT Putra Bandara Mas. Pengalihan ini dilakukan kembali oleh Rio kepada Harun Sebastian tepat dua hari menjelang Batavia dinyatakan pailit, yaitu 30 Januari 2013 melalui Surat Perjianjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tertanggal 28 Januari 2013. Kantor Batavia tersebut diperjanjikan akan dijual senilai Rp67,5 miliar. Namun, pelunasan baru dilakukan sebanyak Rp27,5 miliar dan sisanya akan dilakukan pada 18 Februari 2013. Dengan fakta tersebut di atas penulis tertarik untuk menulis tentang
upaya hukum
Actio Pauliana guna melindungi budel pailit dari
perbuatan debitor yang dapat merugikan kreditor, karena berdasarkan fakta yang ada bahwa Kurator memiliki wewenang untuk mengajukan gugatan tersebut. Kurator wajib membuktikan bahwa harta tersebut merupakan aset perusahaan dan masuk dalam bedoel pailit, selain itu pembuktian dalam gugatan tersebut tidaklah mudah meski telah diatur didalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah sistem pembuktian terhadap suatu tindakan debitur dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat berlakunya Actio Pauliana?
12
2. Apa yang menjadi kelemahan-kelemahan actio pauliana dalam memberikan perlindungan hukum kepada Kreditur?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian mengenai topik di bidang kepailitan pada institusi penerbangan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui sistem pembuktian terhadap suatu tindakan debitur dapat dinyatakan memenuhi syarat-syarat berlakunya Actio Pauliana 2. Untuk
mengetahui
kelemahan-kelemahan
actio
pauliana
dalam
memberikan perlindungan hukum kepada Kreditur.
D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan : a. Sebagai masukan dan sumbangan untuk keperluan pendidikan hukum dan bahan bacaan/referensi kepustakaan bagi mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada khususnya. b. Sebagai sumbangan bagi khasanah ilmu pengetahuan hukum di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan aspek hukum di bidang perlindungan hukum berkaitan dengan pelanggan Batavia Air yang dipailitkan pada khususnya.
13
c. Sebagai bahan bacaan lebih lanjut bagi siapa saja yang berminat meneliti lebih lanjut dalam masalah yang serupa. 2. Kegunaan Praktis Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi pihak-pihak yang terlibat dalam merancang UndangUndang dan Kepailitan.
14