BAB 3 LANDASAN TEORI
3.1. Persediaan Menurut Reinder dan Heizer (1997, p314) persediaan merupakan salah satu aset yang paling mahal di banyak perusahaan, mencerminkan sebanyak 40% dari total modal yang diinvestasikan. Persediaan adalah setiap sumber yang disimpan dan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pada saat ini atau di masa yang akan datang. Persediaan dapat memiliki berbagai fungsi penting yang menambah fleksibilitas dari operasi perusahaan. Menurut Handoko (1993,p333) persediaaan adalah suatu istilah umum yang menunjukkan segala sesuatu atau sumber daya-sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan. Pengendalian persediaan merupakan fungsi manajerial yang sangat penting, karena persediaan phisik banyak perusahaan melibatkan investasi rupiah terbesar dalam pos aktiva lancar. Sistem persedian adalah serangkaian kebijaksanaan dan pengendalian yang memonitor tingkat persediaan dan menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga, kapan persediaan harus diisi, dan berapa besar pesanan yang harus dilakukan. Sistem ini bertujuan menetapkan dan menjamin tersedianya sumber daya yang tepat dan pada waktu yang tepat. Atau dengan kata lain, sistem dan model persediaan bertujuan untuk meminimumkan biaya total melalui penentuan apa, berapa dan kapan pesanan dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, manajemen pengendalian persediaan yang baik sangatlah penting. Kesulitan yang biasanya terjadi dalam pelaksanaan manajemen
20 persediaan tradisional telah teratasi semenjak dikenalnya suatu pendekatan sistem persediaan yang terperinci dan lebih baik, yang disebut Material Requirement Planning (MRP) sistem ini ditemukan oleh Joseph orilicky dari J.J, Case Company (Schroeder,2000,p335). Model persediaan dibagi menjadi model persediaan untuk permintaan independen dan model persediaan untuk permintaan dependen. Permintaan independen adalah permintaan terhadap material, parts, atau produk, yang bebas atau tidak terkait langsung dengan struktur bill of material
untuk produk akhir atau item tertentu.
Sedangkan permintaan dependen adalah permintaan terhadap material, parts, atau produk yang terkait langsung dengan atau diturunkan dari struktur bill of material (BOM) untuk produk akhir atau item tertentu.
3.1.1
Fungsi Persediaan Menurut Render dan Heizer (1997, p314) persediaan dapat memiliki berbagai
fungsi penting yang menambah fleksibilitas dari operasi suatu perusahaan. Ada enam penggunaan persediaan, yaitu : •
Untuk memberikan suatu stok barang-barang agar dapat memenuhi permintaan yang diantisipasi akan timbul dari konsumen.
•
Untuk memasangkan produksi dengan distribusi. Misalnya bila permintaan hanya tinggi pada musim panas, persediaan dapat diadakan selama musim dingin untuk menghindari biaya kehabisan stok.
•
Untuk mengambil keuntungan dari potongan jumlah, karena pembelian dalam jumlah besar dapat secara substansial menurunkan biaya produksi.
21 •
Untuk melakukan hedging terhadap inflasi dan perubahan harga.
•
Untuk menghindari dari kekurangan stok yang dapat terjadi karena cuaca, kekurangan pasokan, masalah mutu, atau pengiriman yang tidak tepat.
•
Untuk menjaga agar operasi dapat berlangsung dengan baik dengan menggunakan “barang-dalam-proses” dalam persediaannya.
3.1.2
Jenis-jenis Persediaan Menurut jenisnya, persediaan dapat dibedakan menjadi lima (Handoko, 1993,
p334) yaitu : 1. Persediaan bahan mentah (raw materials), yaitu persediaan barang-barang berwujud seperti baja, kayu, dan komponen-komponen lainnya yang digunakan dalam proses produksi. Bahan mentah dapat diperoleh dari sumber-sumber alam atau dibeli dari para supplier dan atau dibuat sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi selanjutnya. 2. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts/components), yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang diperoleh dari perusahaan lain, dimana secara langsung dapat dirakit menjadi suatu produk. 3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies), yaitu persediaan barangbarang yang diperlukan dalam proses produksi, tetapi tidak merupakan bagian atau komponen barang jadi. 4. Persediaan barang dalam proses (Work-in-process – WIP), yaitu persediaan barangbarang yang merupakan keluaran dari tiap-tiap bagian dalam proses produksi atau
22 yang telah diolah menjadi suatu bentuk, tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi barang jadi. 5. Persediaan barang jadi (finished goods), yaitu persediaan barnag-barang yang telah selesai diproses atau diolah dalam pabrik dan siap untuk dijual atau dikirim kepada langganan.
3.1.3
Biaya-biaya Persediaan Menurut Handoko (1993, p336-338) biaya-biaya yang akan mempengaruhi
pembuatan setiap keputusan akan besarnya (jumlah) persediaan adalah : 1. Biaya penyimpanan Biaya penyimpanan (holding costs atau carrying costs) adalah biaya yang dikeluarkan atas investasi dalam persedian dan pemeliharaan maupun investasi saran, fisik untuk menyimpan persediaan yang besarnya bervariasi secara langsung dengan kuantitas persediaan. Biaya penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas bahan yang dipesan semakin banyak, atau ratarata persediaan semakin tinggi. 2. Biaya pemesanan (pembelian) Setiap kali suatu bahan dipesan, perusahaan menanggung biaya pemesanan (order costs atau procurement costs). Biaya pemesanan adalah biaya yang berasal dari pembelian pesanan dari supplier. Biaya pemesanan seperti biaya membuat
daftar
permintaan,
menganalisis
supplier,
membuat
pesanan
pembelian, penerimaan bahan, inspeksi bahan, dan pelaksanaan proses transaksi. Secara normal, biaya per pesanan (di luar biaya bahan dan potongan kuantitas) tidak naik bila kuantitas pesanan bertambah besar.
23 3. Biaya penyiapan (manufacturing). Bila perusahaan memproduksi sendiri bahan-bahan “dalam pabrik”, perusahaan menghadapi biaya penyiapan (setup costs) untuk memproduksi komponen tertentu. Biaya persiapan seperti biaya yang dikeluarkan akibat perubahan proses produksi, pembuatan jadwal kerja, persiapan sebelum produksi, dan pengecekan kualitas. 4. Biaya kehabisan atau kekurangan bahan (stock out cost) Dari semua biaya-biaya yang berhubungan dengan tingkat persediaan, biaya kekurangan bahan adalah yang paling sulit diperkirakan. Biaya ini timbul bilamana persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Kekurangan bahan bisa dari luar maupun dari dalam perusahaan. Kekurangan dari luar terjadi apabila pesanan konsumen tidak dapat dipenuhi. Sedangkan kekurangan dari dalam terjadi apabila departemen tidak dapat memenuhi kebutuhan departemen lain maupun penundaan pengiriman maupun idle kapasitas. Biaya kekurangan dari pihak luar dapat berupa biaya back order, biaya kehilangan kesempatan penjualan, dan biaya kehilangan kesempatan menerima keuntungan.
3.2. Peramalan 3.2.1
Pengertian Peramalan Menurut Makridakis (1999, p15) peramalan merupakan bagian integral dari
kegiatan pengambilan keputusan manajemen. Menurut Gaspersz (2002, p72), aktivitas peramalan merupakan suatu fungsi bisnis yang berusaha memperkirakan penjualan dan penggunaan produk sehingga produk-produk itu dapat dibuat dalam kuantitas yang tepat.
24 Menurut Render dan Heizer (2001, p46), peramalan (forecasting) adalah seni dan ilmu memprediksi peristiwa-peristiwa masa depan. Aktivitas peramalan merupakan suatu fungsi bisnis yang berusaha memperkirakan penjualan dan penggunaan produk sehingga produk-produk itu dapat dibuat dalam kuantitas yang tepat. Peramalan memerlukan pengambilan data historis dan memproyeksikannya ke masa depan dengan beberapa bentuk model matematis. Bisa jadi berupa prediksi subjektif atau intuitif tentang masa depan. Atau peramalan bisa mencakup kombinasi model matematis yang disesuaikan dengan penilaian yang baik oleh manajer. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah tidak boleh mencoba meramalkan hasil-hasil yang dapat direncanakan atau dihitung. Tujuan utama dari peramalan adalah membuat estimasi yang baik dengan melihat atau memperkirakan prospek ekonomi atau kegiatan usaha serta pengaruh lingkungan terhadap prospek tersebut.
3.2.2
Kegunaan dan Peran Peramalan Peramalan merupakan dasar untuk penyusunan rencana. Kegunaan dari
peramalan terlihat pada saat pengambilan keputusan. Peranan peramalan sangat penting, baik dalam penelitian, perencanaan maupun dalam pengambilan keputusan. Baik tidaknya hasil suatu penelitian dalam ekonomi dan dunia usaha, sangat ditentukan oleh ketepatan peramalan yang dibuat. Demikian pula, baik tidaknya keputusan dan rencana yang disususn juga sangat ditentukan oleh ketepatan ramalan yang dibuat. Oleh karena itu, ketepatan dari ramalan tersebut merupakan hal yang penting.
25 Namun pada akhirnya, baik tidaknya suatu ramalan yang disusun sangat bergantung pada orang yang melakukannya, langkah-langkah peramalan yang dilakukan dan metode yang dipergunakan.
3.2.3
Langkah-langkah Peramalan Kualitas atau mutu dari hasil peramalan yang disusun, sangat ditentukan oleh
proses pelaksanaan penyusunannya. Peramalan yang baik adalah peramalan yang dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah atau prosedur penyusunan yang baik. Pada dasarnya ada beberapa langkah peramalan yang penting yaitu: 1. Menganalisa data yang lalu, pada tahap ini berguna untuk pola yang terjadi pada masa lalu. Analisa ini dilakukan dengan cara membuat tabulasi dari data yang lalu. Dengan tabulasi data, maka dapat diketahui pola dari data tersebut. 2. Menentukan metode yang digunakan, masing - masing metode akan memberikan hasil peramalan yang berbeda. Dengan kata lain, metode peramalan yang baik adalah metode yang menghasilkan penyimpangan antara hasil peramalan dengan nilai kenyataan yang sekecil mungkin. 3. Memproyeksikan
data
yang
lalu
dengan
menggunakan
metode
yang
dipergunakan dan mempertimbangkan adanya beberapa faktor perubahan. 4. Penentuan tujuan, tujuan tergantung pada kebutuhan-kebutuhan informasi para manajer. Analis membicarakan dengan para pembuat keputusan untuk mengetahui apa kebutuhan-kebutuhan mereka, dan menentukan : -
Variabel - variabel yang akan diestimasi.
-
Siapa yang akan menggunakan hasil peramalan.
-
Untuk tujuan apa hasil peramalan akan digunakan.
26 -
Estimasi jangka panjang atau jangka pendek yang diinginkan.
-
Derajat ketepatan estimasi yang diinginkan.
-
Kapan estimasi dibutuhkan.
-
Bagian - bagian peramalan yang diinginkan, seperti peramalan untuk kelompok pembeli, kelompok produk, atau daerah geografis.
5. Pengembangan model, merupakan penyajian secara lebih sederhana sistem yang dipelajari. Dalam peramalan, model adalah kerangka analitik yang bila dimasukkan data masukan, menghasilkan estimasi di waktu mendatang (atau variabel apa saja yang diramal). Analis hendaknya memilih suatu model yang menggambarkan secara realistik perilaku variabel-variabel yang di pertimbangkan. Pemilihan suatu model yang tepat adalah krusial. Setiap model mempunyai asumsi-asumsi yang harus dipenuhi sebagai persyaratan penggunaannya. 6. Pengujian model, sebelum
diterapkan,
model
biasanya
diuji
untuk
menentukan tingkat akurasi, validitas, dan reliabilitas yang diharapkan. Ini sering mencakup penerapannya pada data historik, dan penyiapan estimasi untuk tahun-tahun sekarang dengan data nyata yang tersedia. Nilai suatu model
ditentukan
oleh
derajat
ketepatan
hasil
peramalan
dengan
kenyataannya (aktual). Dengan kata lain, pengujian model bermaksud untuk mengetahui validitas atau kemampuan prediktif secara logik suatu model. 7. Penerapan model, setelah pengujian, analis menerapkan model dalam tahap ini, data historik dimasukkan ke dalam model untuk menghasilkan ramalan. 8. Revisi dan evaluasi, ramalan-ramalan yang telah dibuat harus senantiasa diperbaiki dan ditinjau kembali. Perbaikan mungkin perlu dilakukan karena
27 adanya perubahan-perubahan dalam perusahaan dan lingkungannya seperti tingkat harga produk, karakteristik produk, pengeluaran-pengeluaran pengiklanan, tingkat pengeluaran pemerintah, kebijaksanaan moneter dan kemajuan teknologi. Evaluasi, merupakan pembandingan ramalan-ramalan dengan hasil-hasil nyata untuk menilai ketepatan penggunaan suatu metodologi atau teknik peramalan.
3.2.4
Jenis-Jenis Pola Data Menurut Makridakis ( 1999,p21), pola – pola data deret waktu yang umum
terjadi yaitu : 1. Pola Horisontal ( H ) Terjadi bila nilai data berfluktuasi di sekitar nilai rata – rata yang konstan (Deret seperti itu “ Stasioner “ terhadap nilai rata – ratanya). Suatu produk yang tingkat penjualannya tidak meningkat atau menurun selama waktu tertentu termasuk jenis ini. Demikian pula, suatu keadaan pengendalian mutu yang menyangkut pengambilan contoh dari suatu proses produksi berkelanjutan yang secara teoritis tidak mengalami perubahan juga termasuk jenis ini.
Waktu
Gambar 3.1 Gambar Pola Data Horisontal
28 2. Pola Musiman ( S ) Terjadi bila suatu deret dipengaruhi oleh faktor musiman ( misalnya kuartal tahun tertentu, bulanan, atau hari – hari pada minggu tertentu ). Penjualan dari produk seperti minuman ringan, es krim, dan bahan bakar pemanas ruangan, semuanya menunjukkan jenis pola data ini.
Waktu
Gambar 3.2 Gambar Pola Data Musiman 3. Pola Siklis / Cyclical ( C ) Terjadi bila data dipengaruhi oleh fluktuasi ekonomi jangka panjang seperti yang berhubungan dengan siklus bisnis. Penjualan produk seperti mobil, baja, dan peralatan utama lainnya menunjukkan jenis pola ini.
Waktu
Gambar 3.3 Gambar Pola Data Siklis 4. Pola Trend ( T ) Terjadi bila terdapat kenaikan atau penurunan sekuler jangka panjang dalam data. Penjualan banyak perusahaan, produk bruto nasional ( GNP ) dan berbagai
29 indikator bisnis atau ekonomi lainnya mengikuti suatu pola trend selama perubahannya sepanjang waktu.
Waktu
Gambar 3.4 Gambar Pola Data Trend
3.2.5
Jenis-Jenis Peramalan Pada umumnya peramalan dapat dibedakan dari beberapa segi tergantung dari
cara melihatnya. Menurut Render dan Heizer (2001, p46) jika dilihat dari jangka waktu ramalan yang disusun maka peramalan dapat dibedakan atas : 1. Peramalan jangka pendek Rentang waktunya mencapai satu tahun tetapi umumnya kurang dari tiga bulan. Peramalan
jangka
pendek
digunakan
untuk
merencanakan
pembelian,
penjadwalan kerja, jumlah tenaga kerja dan tingkat produksi. 2. Peramalan jangka menengah Biasanya berjangka waktu tiga bulan hingga tiga tahun. Peramalan ini sangat bermanfaat dalam perencanaan penjualan, perencanaan dan penganggaran produksi, penganggaran kas, dan menganalisis berbagai rencana operasi. 3. Peramalan jangka panjang Rentang waktunya biasanya tiga tahun atau lebih, digunakan dalam merencanakan produk baru, pengeluaran modal, lokasi fasilitas, atau ekspansi, dan penelitian serta pengembangan.
30 Menurut Render dan Heizer (2001, p48), terdapat dua pendekatan umum yang digunakan dalam peramalan yaitu : peramalan kualitatif dan peramalan kuantitatif. 1. Metode Kualitatif Metode ini memanfaatkan faktor-faktor penting seperti intuisi, pengalaman pribadi, dan sistem nilai pengambilan keputusan. Ada terdapat lima teknik peramalan kualitatif yang berbeda, yaitu : •
Juri dari opini eksekutif
•
Gabungan armada penjualan
•
Metode Delphi
•
Survei pasar konsumen
•
Pendekatan naif
2. Metode Kuantitatif Peramalan yang didasarkan atas data kuantitatif pada masa lalu. Hasil peramalan yang dibuat sangat bergantung pada metode yang dipergunakan dalam peramalan. Peramalan kuantitatif menggunakan berbagai model matematis yang menggunakan data historis dan atau variabel-variabel kausal untuk meramalkan permintaan. Metode kuantitatif dapat diterapkan jika terdapat tiga kondisi sebagai berikut : -
Adanya informasi tentang keadaan yang lain.
-
Informasi tersebut dapat dikuantifikasi dalam bentuk data numerik.
-
Dapat diasumsikan bahwa pola yang lalu akan berkelanjutan pada masa yang akan datang.
31 Jenis-jenis metode peramalan pada peramalan kuantitatif adalah sebagai berikut: 1. Model seri waktu Memprediksi berdasarkan asumsi bahwa masa depan adalah fungsi masa lalu. Model ini melihat pada apa yang terjadi selama periode waktu dan menggunakan seri data masa lalu untuk membuat ramalan. Terdiri dari : a. Rata-rata bergerak (Moving Averages) b. Penghalusan eksponensial (Exponential Smoothing) c. Proyeksi Trend (Trend Projection) 2. Model Kausal Mengasumsikan bahwa faktor yang diramalkan mewujudkan hubungan sebab akibat dengan satu atau lebih independent variabel. Yang termasuk dalam model kausal ini adalah regresi linear (Linear Regresion).
3.2.6
Metode Peramalan Rata-rata Bergerak Ganda (Double Moving Average) Digunakan istilah nilai rata-rata bergerak karena setiap muncul nilai
pengamatan baru, nilai rata-rata baru dapat dihitung dengan membuang nilai observasi yang paling tua dan memasukkan nilai pengamatan yang terbaru. Ratarata bergerak ini kemudian akan menjadi ramalan untuk periode mendatang. Metode ini digunakan untuk data tidak stationer yang mengandung pola trend, yaitu dengan melakukan Moving Average pada hasil Single Moving Average (SMA) yang dinamakan Double Moving Average (DMA). Jika data stationer maka Single Moving Average cukup baik untuk meramalkan keadaan. Metode ini biasanya digunakan untuk peramalan jangka pendek (Makridakis, 1999, p93-99). Rumus yang digunakan pada DMA adalah sebagai berikut:
32
S 't =
X t + X t −1 + X t −2 + .... + X t − N +1 N
: SMA periode t = MA (N)
S ' 't =
S ' t + S ' t −1 + S ' t −2 +.... + S ' t − N +1 N
: DMA periode t = MA (MxN)
at = S ' t +( S ' t − S ' ' t ) = 2 S ' t − S ' ' t' bt = Ft + m
2 ( S 't − S ' 't ) N −1 = at + bt m
: S ' t − S ' ' t =error(yang akan di-smoothing)
Jadi prosedur peramalan rata-rata bergerak meliputi tiga aspek : 1. Penggunaan rata-rata bergerak tunggal pada waktu t (ditulis S' t ) 2. Penyesuaian yang merupakan perbedaan antara rata-rata bergerak tunggal dan ganda pada waktu t (ditulis S ' t − S ' ' t ), dan 3. Penyesuaian untuk kecenderungan dari periode t ke periode t+1 (atau ke periode t+m jika kita ingin meramalkan m periode ke muka).
3.2.7
Metode Peramalan Double Exponensial Smoothing Dua Parameter dari Holt
Metode pemulusan eksponensial linear dari Holt dalam prinsipnya serupa dengan Brown kecuali bahwa Holt tidak menggunakan rumus pemulusan berganda secara langsung. Sebagai gantinya, Holt memuluskan trend dengan parameter berbeda dari parameter yang digunakan pada deret yang asli. Ramalan dari eksponensial linear Holt didapat dengan menggunakan dua konstanta pemulusan (dengan nilai antara 0 dan 1) dan tiga persamaan : 1. S t = αX t + (1 − α )( S t −1 + bt −1 ) 2. bt = γ ( S t − S t −1 ) + (1 − γ )bt −1 3. Ft + m = S t + bt m
33 Persamaan pertama menyesuaikan St secara langsung untuk trend periode sebelumnya,yaitu bt-1, dengan menambahkan nilai pemulusan yang terakhir,yaitu St-1. Hal ini membantu menghilangkan kelambatan dan menempatkan St ke dasar perkiraan nilai data saat ini. Kemudian persamaan kedua meremajakan trend yang ditunjukkan sebagai perbedaan antara dua nilai pemulusan yang terakhir. Hal ini tepat karena jika terdapat kecenderungan di dalam data, nilai yang baru akan lebih tinggi atau lebih rendah daripada nilai sebelumnya. Karena mungkin masih terdapat sedikit kerandoman, maka hal ini dihilangkan oleh pemulusan γ (gamma) trend pada periode terakhir (St - St1)
dan menambahkannya dengan taksiran trend sebelumnya dikalikan dengan (1 – γ ).
Akhirnya persamaan ketiga digunakan untuk ramalan ke muka. Trend (b1) dikalikan dengan jumlah periode ke muka yang diramalkan (m) dan ditambahkan pada nilai dasar (St). Nilai konstanta pemulusan α
dan γ
yang mendekati optimal biasanya
memerlukan beberapa percobaan trial and error (Makridakis, 1999, p115-117).
3.2.8
Metode Peramalan Triple Exponensial Smoothing Quadratik Satu Parameter dari Brown
Sebagaimana halnya dengan pemulusan eksponensial linear yang dapat digunakan untuk meramalkan data dengan suatu pola trend dasar, bentuk pemulusan yang lebih tinggi dapat digunakan bila dasar polanya adalah kuadratik, kubik, atau orde yang lebih tinggi. Untuk berangkat dari pemulusan kuadratik, pendekatan yang digunakan adalah memasukkan tingkat pemulusan tambahan (pemulusan tripel) dan
34 memberlakukan persamaan peramalan kuadratik. Persamaan untuk pemulusan kuadratik adalah : S ' t = αx1 + (1 − α ) S ' t −1
(pemulusan pertama)
S ' ' t = αS ' t +(1 − α ) S ' ' t −1
(pemulusan kedua)
S ' ' ' t = αS ' ' t + (1 − α ) S ' ' ' t −1 (pemulusan ketiga) at = 3S ' t −3S ' ' t + S ' ' ' t bt = ct =
α 2(1 − α ) 2
[(6 − 5α ) S 't −(10 − 8α ) S ' ' t +(4 − 3α ) S ' ' ' t ]
α2 ( S ' t −2 S ' ' t + S ' ' ' t ) (1 − α ) 2
Ft + m = at + bt m +
1 ct m 2 2
Persamaan yang dibutuhkan untuk pemulusan kuadratik jauh lebih rumit daripada persamaan pemulusan tunggal dan linear. Walaupun demikian pendekatannya dalam mencoba menyesuaikan nilai ramalan hingga ramalan tersebut dapat mengikuti perubahan trend yang kuadratik adalah sama (Makridakis, 1999, p117-121).
3.2.9
Metode Peramalan Regresi Linier
Metode regresi linier didasarkan pada penetapan suatu persamaan estimasi menggunakan teknik least square. Metode regresi adalah metode statistik yang digunakan untuk menentukan hubungan antar paling tidak dua variabel, satu atau lebih variabel bebas (indepentent variables) dan satu variabel bergantung (dependent variable). Tujuannya adalah untuk meramalkan atau memperkirakan atau memperkirakan nilai variabel bergantung dalam hubungannya dengan nilai variabel bebas tertentu
35 Peramalan yang didasarkan regresi menghasilkan fungsi yang dinamakan persamaan regresi. Semakin baik persamaan regresi, semakin baik hasil peramalan yang diperoleh. Model Regresi adalah sebagai berikut : Y = a + bx a=
b=
∑Y ∑ X n∑ X
2
− ∑ X ∑ XY
2
− (∑ X ) 2
n ∑ XY − ∑ X ∑ Y n∑ X 2 − (∑ X ) 2
Dimana : Y = Variabel yang diramalkan X = Waktu/variabel peramal N
= jumlah data
3.2.10 Ketepatan Metode Peramalan 3.2.10.1 Ukuran Statistik Standar
Jika Xt merupakan data aktual untuk periode t dan Ft merupakan ramalan (atau nilai kecocokan/fitted value) untuk periode yang sama, maka kesalahan didefinisikan sebagai :
et = X t − Ft Jika terdapat nilai pengamatan dan ramalan untuk n periode waktu, maka akan terdapat n buah galat dan ukuran statistik standar berikut dapat didefinisikan : •
Nilai tengah kesalahan absolut (mean error) n
ME = ∑ ei / n i =1
36 •
Nilai Tengah Galat Absolut (Mean Absolute Error)
MAE = •
Nilai Tengah Galat Kuadrat (Mean Squared Error)
MSE = •
1 n ∑ et n t =1
1 n et 2 ∑ t =1 n
Deviasi Standar Galat (Standard Deviation of Error) SDE =
1 n et 2 ∑ t =1 n −1
Dua formulasi yang sering digunakan dalam menghitung kesalahan yaitu mean absolute error (yang dalam beberapa buku disebut sebagai mean absolute deviation) dan mean squared error (MSE). Perbedaan keduanya adalah terletak pada bobot kesalahan, satu dalam bentuk angka kesalahan absolut dan yang lainnya dalam bentuk nilai kuadrat. Tujuan optimalisasi statistik seringkali adalah untuk memilih suatu model agar MSE minimal, tetapi ukuran ini mempunyai dua kelemahan. Pertama, ukuran ini menunjukkan pencocokan (fitting) suatu model terhadap data hitoris. Pencocokan seperti ini tidak perlu mengimplikasikan peramalan yang baik. Suatu model terlalu cocok (over fitting) dengan deret data, yang berarti sama dengan memasukkan unsur random sebagai bagian proses bangkitan, berarti tidak berhasil mengenali pola non-acak dalam data dengan baik. Perbandingan nilai MSE yang terjadi selama fase pencocokan peramalan adalah mungkin memberikan sedikit indikasi ketepatan model dalam peramalan. Kedua, sebagai ukuran ketepatan model adalah berhubungan dengan kenyataan bahwa metode yang berbeda akan menggunakan prosedur yang berbeda pula dalam fase pencocokan.
37 Dalam fase peramalan, penggunaan MSE sebagai suatu ukuran ketepatan juga dapat menimbulkan masalah. Ukuran ini tidak memudahkan perbandingan deret berkala yang berbeda dan untuk selang waktu yang berlainan (Makridakis, 1999, p58-61).
3.2.10.2 Ukuran – ukuran relatif
Dengan adanya keterbatasan MSE sebagai suatu ukuran ketepatan peramalan, maka diusulkan ukuran-ukuran alternatif, yang diantaranya menyangkut galat persentase. Tiga ukuran yang sering digunakan (Makridakis, 1999, p61-62) adalah : •
Galat Persentase (Percentage Error)
⎛ X −F ⎞ PE = ⎜⎜ t t ⎟⎟ *100 ⎝ Xt ⎠ •
Nilai Tengah Galat Persentase (Mean Percentage Error) MPE =
•
1 n ∑ PEt n t =1
Nilai Tengah Galat Persentase Absolut (Mean Absolute Percentage Error) MAPE =
1 n ∑ PEt n t =1
3.3. Pengukuran Waktu
Menurut pendapat Sutalaksana (1979, p131) pengukuran waktu adalah pekerjaan mengamati dan mencatat waktu kerja baik setiap elemen ataupun siklus dengan menggunakan alat-alat yang telah disiapkan. Teknik pengukuran waktu terbagi atas dua bagian yaitu secara langsung dan secara tidak langsung. Pengukuran secara langsung adalah pengukuran yang dilakukan secara langsung yaitu ditempat dimana pekerjaan
38 yang bersangkutan dilaksanakan. Cara tidak langsung melakukan perhitungan waktu tanpa harus berada ditempat pekerjaan yaitu dengan membaca tabel-tabel yang tersedia asalkan mengetahui jalannya pekerjaan melalui elemen-elemen pekerjaan atau elemenelemen gerakan. Pengukuran waktu ditujukan untuk mendapatkan waktu baku penyelesaian pekerjaan yaitu waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam sistem kerja terbaik (Sutalaksana, 1979, p117). Waktu baku merupakan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Disini sudah meliputi kelonggaran waktu yang diberikan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pekerjaan yang harus diselesaikan tersebut.
3.3.1
Uji Keseragaman Data
Uji keseragaman data perlu untuk dilakukan terlebih dahulu sebelum menggunakan data yang diperoleh guna menetapkan waktu baku. Uji keseragaman data bisa dilaksanakan dengan cara visual dan/atau mengaplikasikan peta kontrol (control chart). Peta kontrol (control chart) adalah suatu alat yang tepat guna dalam menguji keseragaman data dan/atau keajegan data yang diperoleh dari hasil pengamatan. Uji keseragaman data secara visual dilakukan secara sederhana mudah dan cepat. Disini
kita
hanya
sekedar
melihat
data
yang
terkumpul
dan
seterusnya
mengedentifikasikan data yang terlalu ekstrim. Yang dimaksud dengan data yang terlalu “ekstrim” adalah data yang terlalu besar atau yang terlalu kecil dan jauh menyimpang dari trend rata-ratanya. Data yang terlalu ekstrim ini sebaiknya dibuang jauh-jauh dan tidak dimasukkan ke dalam perhitungan selanjutnya (Wignjosoebroto, 2000, p194-195).
39 Langkah – langkah yang dilakukan untuk menguji keseragaman data adalah : 1.
Hasil pengukuran dikelompokkan ke dalam subgrup-subgrup dan hitung rata-rata dari tiap subgrup : X = k
∑ Xi n
dimana : n = ukuran subgrup, yaitu banyaknya data dalam satu subgrup k = jumlah subgrup yang terbentuk Xi = data pengamatan 2.
Hitung rata-rata keseluruhan, yaitu rata-rata dari rata-rata subgrup :
X = 3.
∑X
k
k
Hitung standar deviasi dari waktu penyelesaian :
σ=
∑ ⎛⎜⎝ Xi − X ⎞⎟⎠
2
N −1
dimana: N = jumlah pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan 4.
Hitung standar deviasi dari distribusi harga rata-rata subgrup :
σ = x
5.
σ n
Tentukan Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB) : BKA = x + ( Z σ x ) BKB = x – ( Z σ x ) Dimana : Z = koefisien pada distribusi normal sesuai dengan tingkat kepercayaan, rumusnya :
⎡1 − β ⎤ Z = 1− ⎢ ⎣ 2 ⎥⎦
40
Jika seluruh rata-rata data waktu subgrup berada di daerah antara BKA dan BKB,
6.
maka data waktu dikatakan seragam.
3.3.2
Uji Kecukupan Data
Aktivitas pengukuran kerja pada dasarnya adalah merupakan proses sampling. Konsekuensi yang diperoleh adalah bahwa semakin besar jumlah siklus kerja yang diamati atau diukur maka akan semakin mendekati kebenaran akan data waktu yang diperoleh. Semakin kecil variasi atau perbedaan data waktu yang ada, maka jumlah pengukuran atau pengamatan yang harus dilakukan juga akan cukup kecil. Sebaliknya, semakin besar variabilitas dari data waktu pengukuran, akan menyebabkan jumlah siklus kerja yang diamati juga akan semakin besar agar bisa diperoleh ketelitian yang dikehendaki (Wignjosoebroto, 2000, p183). Perhitungan uji kecukupan data dapat dilakukan setelah semua harga rata-rata subgrup berada dalam batas kendali. Rumus dari kecukupan data adalah: ⎡K ⎢ N'= ⎢ S ⎢ ⎣⎢
2 ⎤ N ∑ Xj 2 − (∑ Xj ) ⎥ ⎥ ∑ Xj ⎥ ⎦⎥
2
dimana: N’ = jumlah pengamatan yang seharusnya dilakukan N = Jumlah pengamatan yang aktual (setelah dikurangi pengamatan diluar BKA atau BKB) K = bilangan konversi pada distribusi normal sesuai dengan tingkat keyakinan s=
tingkat ketelitian
41 Jumlah pengukuran waktu dapat dikatakan cukup apabila jumlah pengukuran data minimum yang dibutuhkan secara teoritis lebih kecil atau sama dengan jumlah pengukuran pendahuluan yang sudah dilakukan (N’≤ N). Jika jumlah pengukuran masih belum mencukupi, maka harus dilakukan pengukuran lagi sampai jumlah pengukuran tersebut cukup.
3.3.3
Penyesuaian
Penyesuaian adalah proses dimana analisa pengukuran waktu membandingkan penampilan operator (kecepatan atau tempo) dalam pengamatan dengan konsep pengukur sendiri tentang bekerja secara wajar. Ketidakwajaran dapat saja terjadi, misalnya bekerja tanpa kesungguhan, sangat cepat seolah-olah diburu waktu, atau karena menjumpai kesulitan-kesulitan, seperti karena kondisi ruangan yang buruk. Sebab-sebab seperti ini mempengaruhi kecepatan kerja yang berakibat terlalu singkat atau terlalu panjangnya waktu penyelesaian. Andai kata ketidakwajaran ada, maka pengukur harus mengetahuinya dan menilai seberapa jauh hal itu terjadi. Jadi jika pengukur mendapatkan harga rata-rata siklus/elemen yang diketahui diselesaikan dengan kecepatan tidak wajar oleh operator, maka agar harga rata-rata tersebut menjadi wajar, pengukur harus menormalkannya dengan melakukan penyesuaian. Biasanya penyesuaian dilakukan dengan mengalikan waktu siklus rata-rata atau waktu elemen rata-rata dengan suatu harga p yang disebut faktor penyesuaian. Besarnya harga p tentunya sedemikian rupa sehingga hasil perkalian yang diperoleh mencerminkan waktu yang sewajarnya atau yang normal. Bila pengukur berpendapat bahwa operator bekerja di atas normal (terlalu cepat), maka harga p-nya akan lebih
42 besar dari satu (p1); sebaliknya jika operator dipandang bekerja di bawah normal, maka harga p akan lebih kecil dari satu (p). Seandainya pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dengan wajar, maka harga p-nya sama dengan satu (p=1) (Sutalaksana, 1979, p138). Terdapat beberapa metode dalam menentukan faktor penyesuaian (Sutalaksana, 1979, p139-149), yaitu : a.
Metode Persentase Besarnya faktor penyesuaian sepenuhnya dilakukan oleh pengukur melalui pengamatannya selama melakukan pengukuran. Cara ini adalah cara yang paling mudah dan sederhana tetapi cara ini bersifat subyektif, kurang teliti karena kasarnya penilaian.
b.
Metode Shumard Cara ini memberikan patokan-patokan penilaian melalui kelas-kelas performance kerja dimana setiap setiap kelas tersebut mempunyai nilai sendiri-sendiri. Di sini pengukur diberi patokan untuk menilai performansi kerja operator menurut kelas-kelas Superfast +, Fast, Fast -, Excellent, dan seterusnya.
c.
Metode Westinghouse Cara ini mengarahkan penilaian pada 4 faktor yang dianggap menentukan kewajaran atau ketidakwajaran dalam bekerja, yaitu : keterampilan, usaha, kondisi kerja dan konsistensi. Setiap faktor terbagi dalam kelas-kelas dan nilainya masing-masing.
43 d.
Metode Objektif Merupakan metode yang memperhatikan dua faktor, yaitu : kecepatan kerja dan tingkat kesulitan pekerjaan. Kedua faktor inilah yang dipandang bersama-sama untuk menentukan berapa harga penyesuaian untuk mendapatkan waktu normal.
e.
Metode Bedaux dan Sintesa Cara Bedaux tidak banyak berbeda dengan cara Shumard, hanya saja nilai-nilai pada cara Bedaux dinyatakan dalam “B”. Sedangkan cara sintesa waktu penyelesaian setiap elemen gerakan dibandingkan dengan harga-harga yang diperoleh dari tabel-tabel waktu gerakan untuk kemudain dihitung harga rataratanya.
3.3.4
Kelonggaran
Kelonggaran diberikan untuk tiga hal yaitu untuk kebutuhan pribadi, menghilangkan rasa fatique, dan hambatan-hambatan yang tidak dapat dihindarkan. Ketiganya ini merupakan hal-hal yang secara nyata dibutuhkan oleh pekerja, dan yang selama pengukuran tidak diamati, diukur, dicatat ataupun dihitung. Karenanya sesuai pengukuran dan setelah mendapatkan waktu normal, kelonggaran perlu ditambahkan (Sutalaksana, 1979, p149-154). •
Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi Yang temasauk dalam kebutuhan pribadi disini adalah hal-hal seperti minum sekadarnya untuk menghilangkan rasa haus, kekamar kecil, becakap-cakap dengan teman sekerja untuk menghilangkan ketegangan dan kejemuhan kerja. Besarnya kelonggaran yang diberikan untuk kebutuhan pribadi seperti itu berbeda-beda dari
44 satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya karena setiap pekerjaan memiliki karakteristik sendiri-sendiri dengan tuntutan yang berbeda-beda. •
Kelonggaran untuk menghilangkan rasa fatique Rasa fatique tercermin antara lain dari menurunnya hasil produksi baik jumlah maupun kualitas. Salah satu cara untuk menentukan besarnya kelonggaran ini adalah dengan melakukan pengamatan sepanjang hari kerja dan mencatat pada saat-saat dimana hasil produksi menurun.
•
Kelonggaran untuk hambatan-hambatan tak terhindarkan Dalam melaksanakan pekerjaannya, pekerja tidak akan lepas dari berbagai “hambatan“. Ada hambatan yang dapat dihindarkan seperti mengobrol yang berlebihan dan menganggur dengan sengaja ada pula hambatan yang tidak dapat dihindarkan karena berada diluar kekuasaan pekerja untuk mengendalikannya, seperti : menerima atau meminta petunjuk kepada pengawas, melakukan penyesuaian-penyesuaian mesin, mengasah peralatan potong, mengambil alat-alat khusus atau bahan-bahan khusus dari gudang dan lain sebagainya.
3.3.5
Perhitungan Waktu Baku
Perhitungan waktu dilakukan setelah semua data yang diperoleh telah seragam, dan jumlahnya telah memenuhi tingkat ketelitian dan keyakinan yang diinginkan. Langkah-langkah dalam melakukan perhitungan waktu baku adalah sebagai berikut : 1.
Menghitung waktu siklus Wr =
∑ Xi N
dimana : Xi = data yang termasuk dalam batas kendali
45 2.
Menghitung waktu normal
Wn = Wr × p dimana : p adalah faktor penyesuaian 3.
Menghitung waktu baku
Wb = Wn × (1 + a) dimana : a = kelonggaran yang diberikan pekerja untuk menyelesaikan pekerjaannya disamping waktu normal.
3.4. Perencanaan Agregat
Perencanaan agregat (juga dikenal dengan sebutan penjadwalan agregat) menyangkut penentuan jumlah dan kapan produksi akan dilangsungkan dalam waktu dekat, sering kali 3 sampai 18 bulan ke depan. Perencanaan agregat adalah proses perencanaan kuantitas dan pengaturan waktu keluaran selama periode waktu tertentu (biasanya antara 3 bulan sampai 1 tahun) melalui penyesuaian variabel-variabel tingkat produksi, karyawan, persediaan dan variabel-variabel yang dapat dikendalikan lainnya (Handoko, 1993, p234). Perencanaan agregat dilakukan sebelum pembuatan Master Production Schedule dan merupakan dasar pembuatan Master Production Schedule. Jadwal
produksi induk sebagai hasilnya menyajikan rencana menyeluruh dan lebih detail dengan
memperinci
rencana
produksi
dalam
perusahaan-perusahaan
yang
berproduksi untuk persediaan akan berbeda dengan dalam perusahaan-perusahaan yang berproduksi untuk pesanan, karena sumber informasi utama tentang
46 permintaan juga berbeda. Perencanaan agregat memiliki karakteristik sebagai berikut : -
Horison waktu sekitar 12 bulan dengan memperbarui rencana secara berkala (mungkin bulanan).
-
Tingkat agregat permintaan akan produk terdiri dari satu atau beberapa kategori produk.
-
Kemungkinan berubahnya variabel pasokan dan permintaan.
-
Fasilitas dianggap tetap dan tidak dapat diperluas.
3.4.1
Tujuan Perencanaan Agregat
Perencanaan agregat dibuat untuk mencapai sejumlah tujuan tertentu,yaitu: 1. Dapat memenuhi seluruh jumlah permintaan dan persediaan yang telah direncanakan oleh perusahaan. Jika perusahaan merencanakan peningkatan jumlah persediaan, perencanaan harus dapat menentukan jumlah produksi yang tepat. 2. Dapat menggunakan sumber daya perusahaan dengan konsisten sesuai kebijakan perusahaan. Sumber daya yang tidak digunakan dengan maksimal dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Begitu sebaliknya bila sumber daya yang digunakan melebihi batas akan mengakibatkan kerusakan pada sumber daya yang tersedia dan mutu produk yang dihasilkan semakin rendah. 3. Rencana yang dibuat harus konsisten dengan tujuan perusahaan dan kebijakan yang
menyangkut
karyawan
perusahaan.
Perusahaan
seharusnya
mempertahankan stabilitas tenaga kerjanya, terutama tenaga kerja ahli.
bisa
47 3.4.2
Variabel-variabel
dan
Biaya-biaya
yang
Dipertimbangkan
dalam
Perencanaan Agregat
Variabel-variabel keputusan yang terdapat dalam perencanaan agregat adalah : 1. Jumlah tenaga kerja langsung yaitu tenaga kerja yang langsung berpengaruh terhadap kapasitas produksi. 2. Kecepatan produksi yaitu besaran yang menyatakan produk agregat yang dibuat setiap bulan. 3. Waktu lembur (overtime) dibutuhkan bila kecepatan produksi atau jumlah produksi yang akan dibuat jauh lebih besar dari kemampuan pabrik. Ini berarti pabrik berproduksi membutuhkan jam kerja lebih besar dari jam kerja biasa pada bulan tertentu. 4. Jumlah pesanan yang disubkontrakkan. Hal ini terjadi jika kapasitas pabrik termasuk penggunaan waktu lembur tidak mampu melayani pesanan sehingga kelebihan pesanan tersebut disubkontrakkan ke perusahaan lain yang sejenis. 5. Jumlah pesanan yang ditunda waktu penyerahannya. Jika kapasitas yang ada tidak dapat memenuhi semua pesanan pada waktu yang telah dijanjikan maka sebagian permintaan konsumen ditunda waktu penyerahannya. 6. Tingkat persediaan yaitu banyaknya produk yang disimpan dalam bentuk produk jadi yang siap dijual. Secara umum, kriteria perencanaan agregat adalah meminimumkan biaya total produksi selama kurun waktu tertentu. Adapun biaya yang dipertimbangkan adalah : 1. Ongkos buruh langsung, biaya yang dikeluarkan untuk membayar buruh langsung pada jam kerja regular atau biaya bulanan.
48 2. Ongkos produksi, yaitu biaya di luar tenaga kerja untuk tiap unit produk agregat yang meliputi biaya material, persediaan dalam proses, dan produk cacat. 3. Ongkos jam kerja lembur, ongkos lembur di luar jam kerja regular atau ongkos untuk memproduksi produk pada jam lembur. 4. Ongkos persediaan, yaitu jumlah uang yang macet dalam bentuk persediaan barang jadi ditambah dengan ongkos ruangan untuk menyimpan produk, termasuk juga biaya asuransi dan keusangan barang. 5. Ongkos pengangkatan tenaga kerja, ongkos yang dikeluarkan untuk pengangkatan tenaga kerja baru meliputi ongkos tes, interview, latihan dan lain-lain. 6. Ongkos pemutusan tenaga kerja (Fire), yaitu ongkos yang dikeluarkan untuk memberhentikan tenaga kerja. 7. Ongkos penundaan pesanan, meliputi hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari penjualan. 8. Ongkos subkontrak, yaitu total biaya per unit jika produksi dilakukan dengan subkontrak ke sumber lain. 9. Ongkos menganggur, yaitu biaya untuk membayar tenaga kerja dan peralatan ketika fasilitas yang ada dalam perusahaan tidak digunakan sepenuhnya.
3.4.3
Perencanaan Agregat Teknik Matematis
Terdapat beberapa metode dalam teknik matematis diantaranya yaitu metode transportasi, Linear Decision Rules, Management Coefficients Model dan simulasi. Metode transportasi merupakan metode yang paling umum digunakan dalam perencanaan agregat untuk pengalokasian kapasitas operasi untuk memenuhi permintaan yang diperkirakan.
49 Metode transportasi memperkenalkan sebuah pendekatan di mana pendekatan ini merupakan deviasi dari prosedur transportasi yang angka-angka dalam sel-sel sudah dikonversikan dalam bentuk biaya. Metode transportasi dapat digunakan untuk menganalisa efek-efek dari penumpukan persediaan atau backordering, penggunaan overtime maupun subkontrak. Semua ini berlangsung sejalan dengan semakin
banyaknya faktor yang diperkenalkan seperti perekrutan/pemberhentian tenaga kerja, biaya perubahan tingkat produksi dan sebagainya. Metode transportasi menghasilkan rencana yang optimal untuk meminimasi biaya. Metode ini juga fleksibel karena dapat menspesifikasi produksi biasa dan lembur dalam setiap periode waktu, jumlah unit yang akan disubkontrakkan, giliran kerja tambahan, dan persediaan dari satu periode ke periode berikutnya. Metode transportasi mengumpulkan semua informasi biaya kedalam 1 matriks dan merencanakan produksi berdasarkan alternatif biaya terendah. Secara umum bentuk tabel perencanaannya adalah sebagaimana tercantum berikut ini : Tabel 3. 1 Contoh Tabel Perencanaan Agregat Metode Transportasi Periode Produksi
1
1 i
Regular
r
r+h
r + 2h
o
o+h
o + 2h
s
s+h
s + 2h
r+b
r
r+h
o+b
o
o+h
s+b
s
s+h
r + 2b
r+b
r
o + 2b
o+b
o
s + 2b
s+b
s
Lembur
Regular Lembur Subkontrak Regular 3
Selisih Kapasitas
3
Persediaan Awal
Subkontrak
2
Periode Permintaan 2 i+h
Lembur Subkontrak
Permintaan
D1
D2
i + 2h
D3
I R1 O1 S1 R2 O2 S2 R3 O3 S3
50 Dimana : i = inventori h = biaya simpan (Holding Cost) r = biaya produksi reguler o = biaya produksi lembur s = biaya subkontrak b = biaya backorder
3.5. Material Requirement Planning (MRP)
MRP merupakan suatu prosedur logis berupa aturan keputusan dan teknik transaksi berbasis komputer yang dirancang untuk menerjemahkan jadwal induk produksi menjadi “kebutuhan bersih” untuk semua item. Sistem MRP dikembangkan untuk membantu perusahaan manufaktur mengatasi kebutuhan akan item-item dependent secara lebih baik dan efisien (Teguh Baroto, 2002 , p140). MRP (Material Requirement Planning) menurut Gaspersz (2001, p177) adalah metode penjadwalan untuk purchased planned orders dan manufactured planned orders. MRP merupakan metode perencanaan dan pengendalian pesanan
dan inventori untuk item-item dependent demand yaitu bahan baku (raw materials), parts, subassemblies, dan assemblies, yang kesemuanya disebut manufacturing inventories. Beberapa ciri-ciri dependent demand adalah :
-
Ada hubungan matematis antara kebutuhan suatu item dengan item yang lain yang berada pada level yang lebih tinggi
-
Kebutuhan diturunkan dari pemakaian item dalam pembuatan item lain
51 -
Misal kebutuhan akan bahan baku, komponen atau subassembly dalam pembuatan suatu produk jadi
-
Item perlu ada hanya pada saat dibutuhkan
-
Diperlukan MRP untuk menjadwalkan seluruh komponen dependent yang diperlukan dalam rencana MPS/JIP Walaupun mudah untuk dimengerti secara konseptual, MRP dapat digunakan
dalam bermacam cara yang berbeda ini mengakibatkan 3 sistem MRP yang berbeda sebagai berikut : (Schroeder,1996, p320) -
Tipe I : pengendalian inventori, merupakan sistem pengendalian inventori yang mengeluarkan pesanan manufaktur dan pembelian dalam kuantitas yang benar pada waktu yang tepat guna mendukung jadwal induk. Sistem ini mengajukan pesanaan untuk mengendalikan inventori barang dalam proses dan bahan mentah melalui pengaturan waktu yang tepat dalam pengadaan pesanan. Akan tetapi, tipe I ini tidak mencakup perencanaan kapasitas.
-
Tipe II : Sistem pengendalian inventori dan produksi, Sistem MRP II adalah sistem informasi yang digunakan untuk merencanakan dan mengendalikan kapasitas inventori dalam perusahaan manufaktur dalam sistem MRP II, pesanan yang dihasilkan dari pemisahan suku cadang diperiksa untuk mengetahui apakah kapasitas yang memadai tersedia. Jika tidak ada kapasitas yang cukup maka kapasitas atau jadwal induk harus diubah. Sistem MRP II ini memiliki putaran umpan balik (feed back loop) antara pesanan yang dilepasakan dan jadwal induk untuk menyesuaikan
diri dengan ketersediaan kapasitas. Akibatnya sistem ini disebut putaran tertutup (close loop system) yang mengendalikan inventori sekaligus kapasitas.
52 -
Tipe III : Sistem perencanaan sumber daya manufaktur, Sistem MRP III ini digunakan untuk merencanakan dan mengendalikan semua sumber daya manufaktur seperti inventori, kapasitas, kas, personel, dan peralatan modal. Dalam hal ini sistem pemisahan suku cadang MRP juga menggerakkan semua subsistem perencanaan sumber daya lain didalam perusahaan.
3.5.1. Tujuan dan Manfaat Sistem MRP
Sistem MRP adalah suatu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan informasi yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat (pembatalan pesanan, pesan ulang, dan penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan dasar untuk membuat keputusan baru mengenai pembelian atau produksi yang merupakan perbaikan atas keputusan yang telah dibuat sebelumnya. Ada empat tujuan yang menjadi ciri utama sistem MRP (Teguh Baroto, 2002,p142) yaitu sebagai berikut : 1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat Menentukan secara tepat kapan sutu pekerjaan harus selesai (atau meterial harus tersedia) untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah direncanakan dalam jadwal induk produksi (JIP). 2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item Dengan diketahuinya kebutuhan akhir, sistem MRP dapat menentukan secara tepat sistem penjadwalan untuk memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item. 3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat pada pabrik sendiri.
53 4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka sistem MRP dapat memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistik. Jika penjadwalan ulang ini masih tidak memungkinkan untuk memenuhi pesanan, maka pembatalan atas suatu pesanan harus dilakukan. Beberapa manfaat/keuntungan dari MRP adalah : -
Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen
-
Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja
-
Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik
-
Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar
-
Tingkat persediaan menurun tanpa mengurangi pelayanan kepada konsumen
3.5.2. Syarat-syarat dalam Pembuatan MRP
Syarat-syarat pendahuluan dalam pembuatan sistem MRP adalah sebagai berikut: 1. Harus ada MPS/JIP Rencana produksi yang menentukan jumlah dan waktu suatu produk akhir harus tersedia selama periode perencanaan. 2. Harus ada identifikasi khusus bagi setiap item persediaan Klasifikasi atas bahan, bagian komponen, perakitan setengah jadi, dan produk akhir harus jelas.
54 3. Harus ada struktur produk yang jelas Gambar tentang langkah-langkah atau proses pembuatan produk, mulai dari bahan baku sampai produk akhir 4. Harus ada catatan tentang persediaan untuk semua item, baik keadaan persediaan saat ini maupun yang direncanakan.
3.5.3. Asumsi-asumsi untuk Pengoperasian MRP
Menurut Teguh Baroto (2002, p148), asumsi-asumsi yang diperlukan untuk mengoperasikan MRP adalah: 1. Tersedia data file terintegrasi yang berisi data status persediaan dan data tentang struktur produk. Harus teliti, lengkap dan up to date. 2. Lead time untuk semua item diketahui atau dapat diperkirakan. 3. Terkendalinya setiap item persediaan. Setiap tahapan proses yang dialami setiap item dapat dimonitor. 4. Tersedianya semua komponen untuk suatu perakitan, pada saat pesanan untuk perakitan tersebut dilakukan. Maksudnya agar jumlah dan waktu kebutuhan kotor dari perakitan tersebut dapat ditentukan. 5. Pengadaan dan pemakaian terhadap komponen bahan bersifat diskrit. 6. Proses pembuatan suatu item bersifat independen terhadap proses pembuatan item lainnya.
55 3.5.4. Input MRP
Ada tiga input yang dibutuhkan oleh sistem MRP (Teguh Baroto, 2002, p143). Ketiga input itu adalah sebagai berikut : -
Jadwal induk produksi
-
Catatan Keadaan Persediaan
-
Struktur produk
Di samping ketiga input diatas, sistem MRP memerlukan input lain sebagai berikut : -
Pesanan komponen perusahaan lain
-
Peramalan atas item yang independen Peramalan Permintaan Independen
Catatan Persediaan
Jadwal Induk Produksi
SISTEM MRP
Pesanan Komponen dari Luar
Struktur Produk
Output : - Apa yang dipesan/diproduksi - Berapa jumlahnya - Kapan dipesan/diproduksi
Gambar 3.5 Input Sistem Material Requirement Planning
3.5.4.1 Jadwal Induk Produksi
Jadwal induk produksi (JIP) atau yang dikenal dengan Master Production Schedule (MPS) merupakan suatu set perencanaan yang menggambarkan berapa jumlah
yang akan dibuat untuk setiap end item pada perencanaan periode tertentu . Menurut Gaspersz (1998, p141-144) pada dasarnya jadwal produksi induk (Master Production Schedulling = MPS) merupakan suatu pernyataan tentang produk akhir (termasuk parts
56 pengganti dan suku cadang) dari suatu perusahaan industri manufaktur yang merencanakan memproduksi output berkaitan dengan kuantitas dan periode waktu. Penjadwalan produksi induk pada dasarnya berkaitan dengan aktifitas melakukan empat fungsi utama berikut : 1. Menyediakan atau memberikan input utama kepada sistem perencanaan kebutuhan material dan kapasitas (material and capacity requirements planning = M&CRP). 2. Menjadwalkan pesanan-pesanan produksi dan pembelian (production and purchase orders) untuk item-item MPS.
3. Memberikan landasan untuk penentuan kebutuhan sumber daya dan kapasitas. 4. Memberikan basis untuk pembuatan janji tentang penyerahan produk (delivery promises) kepada pelanggan.
MPS bertujuan untuk : 1. Memenuhi target tingkat pelayanan terhadap konsumen. 2. Efisiensi penggunaan sumber daya produksi. 3. Mencapai target tingkat produksi tertentu. Kriteria item dalam penyusunan MPS adalah : 1. Jenis item tidak terlalu banyak 2. Kebutuhannya dapat diramalkan 3. Mempunyai BOM (Bill Of Material) sehingga kebutuhan komponennya dapat dihitung 4. Dapat diperhitungkan dalam penentuan kapasitas 5. Menyatakan konfigurasi produk yang dapat dikirim
57 Komponen perhitungan dari MPS adalah sebagai berikut seperti tampak pada tabel berikut ini : Tabel 3.2 Master Production Schedule Item No Lead Time On Hand
: : : Period
Past Due
Description Safety Stock Demand Time Fences Planning Time Fences 1 2 3
: : : : 4
5
6
Forecast Actual Order (AO) Project Available Balance (PAB) Available to Promise (ATP) Master Schedule (MS)
Keterangan untuk tabel diatas adalah sebagai berikut 1. Item No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit. 2. Lead Time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau memanufaktur suatu end item. 3. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan sebagai antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang. 4. Description menyatakan deskripsi material secara umum. 5. On-Hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode sebelumnya. 6. Demand Time Fences (DTF) merupakan batas waktu penyesuaian pesanan permintaan. Panjangnya = assembly lead time. PAB dihitung dari aktual demand. Disini perubahan demand tidak akan dilayani. 7. Planning Time Fences (PTF) merupakan batas waktu penyesuaian perencanaan pesanan dimana demand masih boleh berubah. Perubahan masih akan dilayani
58 sepanjang material dan kapasitas tersedia. Panjangnya = kumulatif lead time antara procurement lead time (waktu untuk mendapatkan material), fabrication lead time,
dan assembly lead time. 8. Forecast merupakan hasil peramalan sebelumnya sebagai hasil dari perencanaan agregat. 9. Actual Order ( AO ) merupakan jumlah order yang sudah diterima sebelumnya. 10. Projected Available Balance ( PAB ) merupakan perkiraan jumlah sisa produk pada akhir periode. PAB dihitung dengan rumus : PABt ≤ DTF = PABt-1 + MSt - AOt PABDTF ≤ t ≤ PTF = PABt-1 + MSt -AOt atau Ft (pilih yang paling besar)
11. Available To Promise (ATP) memberikan informasi berapa banyak item atau produk tertentu yang dijadwalkan pada periode waktu itu tersedia untuk pesanan pelanggan, sehingga berdasarkan informasi ini bagian pemasaran dapat membuat janji yang tepat kepada pelanggan atau dengan kata lain ATP merupakan jumlah material on hand pada inventori yang sebenarnya. ATP dapat dihitung dengan menggunakan rumus : ATP = ATPt-1 + MSt - AO sampai pada periode yang sudah dijadwalkan
pada master scheduled. ATP tidak boleh minus. Jika hal ini terjadi maka akan terjadi lost sales karena permintaan berarti tidak dapat terpenuhi. 12. Master Schedule (MS) merupakan hasil disagregasi dari perencanaan agregat yang akan diproduksi.
59 3.5.4.2 Catatan Keadaan Persediaan
Catatan keadaan persediaan menggambarkan status semua item yang ada dalam persediaan. Setiap item persediaan harus didefinisikan untuk menjaga kekeliruan perencanaan. Catatan keadaan persediaan ini harus dijaga agar tetap up to date, dengan selalu melakukan pencatatan pada setiap transaksi yang terjadi, yaitu penerimaan, pengeluaran, produk gagal, dan lain-lain. Catatan persediaan juga berisi data mengenai lead time, teknik ukuran lot yang digunakan, persediaan pengaman, dan catatan-catatan penting lainnya dari semua item.
3.5.4.3 Struktur Produk
Struktur produk atau bill of materials (BOM) didefinisikan sebagai cara komponen-komponen itu bergabung ke dalam suatu produk selama proses manufakturing. Struktur produk typical akan menunjukkan bahan baku yang dikonversi ke dalam komponen-komponen fabrikasi, kemudian komponen-komponen itu bergabung secara bersama untuk membuat subassemblies, kemudian subassemblies bergabung membuat assemblies, dan seterusnya sampai produk akhir. Struktur produk sering ditampilkan dalam bentuk gambar (chart format). Definisi BOM menurut Schroeder (1997, p56) adalah daftar terstruktur dari semua bahan yang diperlukan untuk membuat barang jadi, rakitan, subrakitan, bagian yang akan dibuat, atau bagian-bagian yang dibeli. MRP menggunakan BOM sebagai basis untuk perhitungan banyaknya setiap material yang dibutuhkan untuk setiap periode waktu. Bagan bahan dalam komputer harus selalu benar dan dapat menggambarkan bagaimana produk itu dibuat.
60 3.5.5. Mekanisme Dasar dari Proses MRP
Tabel 3.3 Material Requirement Planning part no : unit material : lead time : Safety stock : Period gross requirement scheduled receipts projected available balance 1 net requirement planned order receipts planned order release projected available balance 2
past due
description: on hand : order policy : lot size : 1 2 3 4 5 6 7 8
Keterangan untuk tabel di atas adalah sebagai berikut : 1. Part No. menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit. 2. BOM UOM menyatakan satuan komponen atau material yang akan dirakit. 3. Lead Time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk merilis atau mengirim suatu komponen. 4. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada sebagai antisipasi kebutuhan dimasa yang akan datang. 5. Description menyatakan deskripsi material secara umum. 6. On Hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa periode sebelumnya. 7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan yang digunakan untuk menentukan ukuran lot yang dibutuhkan saat memesan barang. 8. Lot Size menyatakan penentuan ukuran lot saat memesan barang.
61 9. Gross Requirement menyatakan jumlah yang akan diproduksi atau dipakai pada setiap periode. Untuk item akhir (produk jadi), kuantitas gross requirement sama dengan MPS (Master Production Schedule). Untuk komponen, kuantitas gross requirement diturunkan dari Planned Order Release induknya. 10. Scheduled Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima pada periode tertentu. 11. Projected Available Balance I ( PAB I ) menyatakan kuantitas material yang ada di tangan sebagai persediaan pada awal periode. PAB I dapat dihitung dengan menambahkan material on hand periode sebelumnya dengan Scheduled Receipts pada periode itu dan menguranginya dengan Gross Requirement pada periode yang sama. Atau jika dimasukkan pada rumus adalah sebagai berikut : PAB I = (PAB II)t-1 - (Gross Requirement)t + (Scheduled Receipts)t
12. Net Requirements menyatakan jumlah bersih (netto) dari setiap komponen yang harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya atau untuk memenuhi Master Production Scheduled. Net Requirements sama dengan nol jika Projected Available Balance I lebih besar dari nol dan sama dengan minus jika Projected Available Balance I kurang sama dengan dari nol. Net Requirement = -(PAB I)t + Safety Stock
13. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pemesanan yang dibutuhkan pada suatu periode. Planned Order Receipts muncul pada saat yang sama dengan Net Requirements, akan tetapi ukuran pemesanannya (lot sizing) bergantung kepada Order Policy-nya. Selain itu juga harus mempertimbangkan Safety Stock juga.
14. Planned Order Release menyatakan kapan suatu pesanan sudah harus dilakukan atau dimanufaktur sehingga komponen ini tersedia ketika dibutuhkan oleh induk
62 itemnya. Kapan suatu pesanan harus dilakukan ditetapkan dengan periode Lead Time sebelum dibutuhkan.
15. Projected Available Balance II ( PAB II ) menyatakan kuantitas material yang ada di tangan sebagai persediaan pada akhir periode. PAB II dapat dihitung dengan cara mengurangkan Planned Order Receipts pada Net Requirements. PAB II = (PAB II) t-1 + (Schedule receipt) t – (Gross Requirement) t + (Planned Order Receipt) t
Atau dapat disingkat : PAB II = (PAB I)t + (Planned Order Receipt)t
3.5.6. Prosedur Sistem MRP
Sistem MRP memiliki empat langkah utama yang selanjutnya keempat langkah ini harus diterapkan satu per satu pada periode perencanaan dan pada setiap item (Teguh Baroto,2002 , p149-153). Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut : -
Netting : Perhitungan kebutuhan bersih.
-
Lotting : Penentuan ukuran lot.
-
Offsetting : Penetapan besarnya lead time.
-
Explosion : Perhitungan selanjutnya untuk item level di bawahnya.
3.5.6.1 Netting
Netting adalah proses perhitungan untuk menetapkan jumlah kebutuhan bersih,
yang besarnya merupakan selisih antara kebutuhan kotor dengan keadaaan persediaan (yang ada dalam persediaan dan yang sedang dipesan). Data yang diperlukan dalam proses perhitungan kebutuhan bersih ini adalah :
63 1. Kebutuhan kotor untuk setiap periode. 2. Persediaan yang dipunyai pada awal perencanaan. 3. Rencana penerimaan untuk setiap periode perencanaan.
3.5.6.2 Lotting
Lotting adalah suatu proses untuk menentukan besarnya jumlah pesanan optimal
untuk setiap item secara individual didasarkan pada hasil perhitungan kebutuhan bersih yang telah dilakukan. Ukuran lot menentukan besarnya jumlah komponen yang diterima setiap kali pesan. Penentuan ukuran lot ini sangat tergantung pada besarnya biaya-biaya persediaan, seperti biaya pengadaan barang, biaya simpan, biaya modal, dan harga barang itu sendiri. Ada banyak alternatif metode untuk menentukan ukuran lot. Beberapa teknik diarahkan untuk meminimalkan total ongkos set-up dan ongkos simpan. Beberapa teknik yang digunakan dalam lotting adalah sebagai berikut : 1. Economic Order Quantity (EOQ) Dalam teknik ini besarnya ukuran lot adalah tetap. Penentuan lot berdasarkan biaya pesan dan biaya simpan, dengan formula seperti berikut : EOQ =
2 AD H
dimana : EOQ = jumlah pemesanan yang ekonomis D = Demand rata-rata per horison A = biaya pesan bahan baku H = biaya simpan bahan baku dalam suatu periode
64 Metode EOQ ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama satu tahun sebesar 12 bulan. Metode EOQ baik digunakan bila semua data konstan dan perbandingan biaya pesan dan simpan sangat besar. 2. Period Order Quantity (POQ) Metode ini menggunakan tipe yang sama dengan alasan ekonomis yang sama dengan EOQ, namun menitikberatkan pada jumlah periode yang harus dipenuhi daripada jumlah unit yang harus dipesan. Hasil dari metode ini adalah siklus pemesanan yang tetap, hal ini berlawanan dengan EOQ yang menghasilkan kuantitas pemesanan yang tetap. POQ baik digunakan jika permintaan relatif stabil. Rumus yang digunakan dalam POQ adalah : t* (t* - 1) ≤ 2 k /hr dimana : t = periode pemesanan k = biaya pesan h = biaya simpan r = kebutuhan rata-rata 3. Lot-For-Lot (LFL) Tekik penetapan ukuran lot dilakukan atas dasar pesanan diskrit. Di samping itu, teknik ini merupakan cara paling sederhana dari semua teknik ukuran lot yang ada. Teknik ini selalu melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis) terutama apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik ini bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan, sehingga dengan teknik ini ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena itu sering digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya simpan per unit sangat mahal.
65 3.5.6.3 Offsetting
Langkah ini bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan rencana pemesanan dalam rangka memenuhi tingkat kebutuhan bersih. Rencana pemesanan diperoleh dengan cara mengurangkan saat awal tersedianya ukuran lot yang diinginkan dengan besarnya lead time. Lead time adalah besarnya waktu saat barang mulai dipesan atau diproduksi sampai barang tersebut selesai dan diterima siap untuk dipakai.
3.5.6.4 Explosion
Proses explosion adalah proses penghitungan kebutuhan kotor untuk tingkat item/komponen yang lebih bawah. Perhitungan kebutuhan kotor ini didasarkan pada rencana pemesanan item-item produk pada level yang lebih atas. Dalam proses ini, data mengenai struktur produk harus tersedia secara akurat. Ketidakakuratan data struktur produk akan mengakibatkan kesalahan pada perhitungan. Atas dasar struktur produk inilah proses explosion dibuat. Dengan data struktur produk dapat ditentukan kearah komponen mana harus dilakukan explosion. Struktur produk juga harus langsung dimodifikasi bila ada perubahan pada cara produksi atau perakitan.
3.5.7
Output Sistem MRP
Output dari sistem MRP adalah berupa rencana pemesanan atau rencana
produksi yang dibuat atas dasar lead time. Rencana pemesanan memiliki dua tujuan yang hendak dicapai. Kedua tujuan tersebut adalah : -
Menentukan kebutuhan bahan pada tingkat lebih bawah
-
Memproyeksikan kebutuhan kapasitas
66 Rencana pemesanan dan rencana produksi dari output sistem MRP selanjutnya akan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut : -
Memberikan
catatan
tentang
pesanan
penjadwalan
yang
harus
dilakukan/direncanakan baik dari pabrik sendiri maupun pemasok. -
Memberikan indikasi untuk penjadwalan ulang.
-
Memberikan indikasi untuk pembatalan pesanan.
-
Memberikan indikasi untuk keadaan persediaan.
Output dari sistem MRP dapat pula disebut sebagai suatu aksi yang merupakan tindakan
pengendalian persediaan dan penjadwalan produksi (Teguh Baroto,2002 , p145).
3.5.8
Faktor Penyebab Kesulitan Dalam Sistem MRP
Menurut Teguh Baroto (2002 ,p155-161), dalam sistem MRP terdapat lima faktor yang menyebabkan kesulitan dalam proses perhitungan. Kelima faktor tersebut adalah sebagai berikut : 1. Struktur Produk Struktur produk yang rumit dan banyak levelnya akan membuat perhitungan semakin kompleks terutama dalam proses explosion. Struktur produk dengan jumlah level yang besar akan membuat proses MRP yang berulang-ulang dilakukan satu per satu dari atas ke bawah level demi level dan periode demi periode. Sehingga dengan semakin kompleksnya srtuktur produk akan membuat perhitungan proses MRP semakin rumit. 2. Ukuran Lot Dalam sistem MRP dikenal berbagai macam teknik penentuan lot. Kompleksnya masalah akan dirasakan pada tahap penentuan ukuran lot di setiap tingkat produksi.
67 3. Lead Time yang berbeda-beda Salah satu data yang erat kaitannya dengan waktu adalah lead time, dimana lead time akan mempengaruhi proses offsetting. Suatu perakitan tidak dapat dilakukan
apabila komponen-komponen pembentuknya belum siap tersedia. Lead time produksi bergantung pada berapa banyak jumlah yang akan diproduksi. 4. Perubahan kebutuhan terhadap produk akhir dalam horizon perencanaan. Sistem MRP dirancang untuk menjadi sistem yang fleksibel terhadap perubahan, baik dari luar (permintaan) maupun dari dalam (kapasitas). Perubahan kebutuhan akan produk akhir tidak hanya berpengaruh pada penentuan rencana pemesanan namun mempengaruhi pula penentuan jumlah kebutuhan yang diinginkan. 5. Komponen-komponen yang bersifat umum (commonality). Komponen umum berarti komponen tersebut dibutuhkan oleh lebih dari satu induk item-nya. Komponen umum ini akan menimbulkan kesulitan pada proses netting dan lotting. Kesulitan juga akan bertambah apabila komponen-komponen umum tersebut ada pada level yang berbeda, baik dalam satu struktur produk yang sama maupun struktur yang berbeda.
3.6. Sistem Informasi
Menurut McLeod (2001, p11), sistem adalah sekelompok elemen-elemen yang terintegrasi dengan maksud yang sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Definisi ini cocok untuk suatu organisasi seperti suatu perusahaan atau bidang fungsional lainnya. Sebuah sistem terdiri dari bagian-bagian saling berkaitan yang beroperasi bersama untuk mencapai beberapa sasaran atau maksud.
68 Berdasarkan pendapat McLeod (2001, p15), informasi adalah suatu data yang telah diproses, atau data yang telah memiliki arti atau data siap pakai. Sedangkan menurut O’Brien (2002, p13), informasi adalah data yang telah dikonversikan menjadi bentuk yang bermakna dan berguna bagi pengguna akhir. Terdapat empat dimensi informasi menurut Raymond McLeod, Jr (2001, p145), yaitu: -
Relevansi Informasi disebut relevan jika informasi tersebut berkaitan langsung dengan masalah yang sedang dihadapi. Manajer harus mampu memilih informasi yang diperlukan.
-
Akurasi Secara ideal, semua informasi harus akurat untuk menunjang terbentuknya sistem yang akurat pula. Akurasi ini terutama diperlukan dalam aplikasi-aplikasi tertentu seperti aplikasi yang melibatkan keuangan, semakin teliti informasi yang diinginkan maka biaya pun semakin bertambah.
-
Ketepatan Waktu Informasi harus dapat tersedia untuk memecahkan masalah pada waktu yang tepat sebelum situasi menjadi tidak terkendali atau kesempatan yang ada menghilang. Manajer juga harus mampu memperoleh informasi yang menggambarkan keadaan yang sedang terjadi sekarang, selain apa yang telah terjadi pada masa lalu.
-
Kelengkapan Perusahaan khususnya manajer harus dapat memperoleh informasi yang memberi gambaran lengkap dari suatu permasalahan atau penyelesaian. Namun pemberian informasi yang tidak berguna secara berlebihan harus dihindari. Sehingga sistem informasi adalah suatu kombinasi yang terorganisasi dari
manusia, perangkat lunak, perangkat keras, jaringan komunikasi, dan sumber daya data
69 yang mengumpulkan, mentransformasikan, serta menyebarkan informasi dalam sebuah organisasi (McLeod, 2001, p4). Model Sistem Informasi menggambarkan suatu kerangka konseptual dasar yang utama dari aktivitas dan komponen sistem informasi. Suatu sistem informasi tergantung pada sumber daya orang-orang (pemakai dan spesialis sistem informasi), perangkat keras (mesin dan media), perangkat lunak (program dan prosedur), data (basis data dan pengetahuan), dan jaringan (media komunikasi dan jaringan pendukung) untuk melaksanakan masukan, pengolahan, keluaran, penyimpanan, dan aktivitas pengendalian yang mengubah sumber daya data ke dalam produk berbentuk informasi. Sumber daya Data dirubah oleh aktivitas pengolahan informasi ke dalam berbagai produk informasi untuk pemakai. Pengolahan informasi terdiri dari masukan, pengolahan, keluaran, penyimpanan dan aktivitas pengendalian.
3.7. UML (Unified Modeling Language) 3.7.1
Sejarah Singkat UML
UML adalah suksesor dari gelombang metode OOA/D yang berkembang di awal 1990. Saat itu terdapat banyak pengguna metode OOA/D menghadapi masalah sebab belum tersedia sebuah modeling language yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, sehingga terdapat berbagai metode yang digunakan tanpa standar dan keseragaman tertentu. UML sebagian besar menggabungkan metode-metode dari Booch (yang mempunyai metode yang baik dalam fase perancangan dan konstruksi dari pembuatan proyek), Rumbaugh (Object Modeling Technique/OMT, yang sangat berguna dalam analisis dan sistem informasi dengan data intensif), dan Jacobson (Object Oriented Software Engineering/OOSE, yang menyediakan dukungan use case untuk mengetahui
70 kebutuhan user, analisis, dan perancangan tingkat tinggi), serta metode-metode lain seperti Fusion, Shlaer-Mellor, dan Coad-Yourdon. UML melalui sebuah proses standarisasi dengan OMG (Object Management Group) dan sekarang adalah sebuah standar OMG.
3.7.2
Pengenalan UML
Berdasarkan OMG, UML (Unified Modeling Language) dapat didefinisikan sebagai sebuah bahasa yang berdasarkan grafik atau gambar untuk memvisualisasi (visualisizing),
menspesifikasi
(specifying),
mengkonstruksi
(constructing),
dan
mendokumentasi (documenting) sebuah sistem perangkat lunak. UML sebagai sebuah bahasa yang memberikan vocabulary dan tatanan penulisan kata-kata dalam ‘Ms. Word’ untuk kegunaan komunikasi. Sebuah bahasa model adalah sebuah bahasa yang mempunyai vocabulary dan konsep tatanan atau aturan penulisan serta secara fisik mempresentasikan dari sebuah sistem. Seperti halnya UML adalah sebuah bahasa standar untuk pengembangan sebuah software yang dapat menyampaikan bagaimana membuat dan membentuk model-model, tetapi tidak menyampaikan apa dan kapan model yang seharusnya dibuat yang merupakan salah satu proses implementasi pengembangan software. UML bukan hanya bahasa pemrograman visual saja, tetapi merupakan model yang dapat secara langsung dihubungkan dengan bahasa pemrograman yang bervariasi. Artinya hal ini mungkin untuk memetakan model dengan UML ke dalam bahasa pemrograman seperti Java, C++, atau Visual Basic, atau bahkan dihubungkan secara langsung dengan relational database atau object oriented database (Booch, 1999, p1516).
71 3.7.3
UML Diagram
UML mencakup berbagai macam diagram yang dapat digunakan dalam analisis dan desain sebuah sistem. Menurut Ali Bahrami (1999, p93), terdapat jenis-jenis diagram yang didefinisikan oleh UML yaitu: 1. Class diagram (statis) 2. Use case diagram 3. Behaviour diagram (dinamis): 3.1. Interaction diagram: 3.1.1. Sequence diagram 3.1.2. Collaboration diagram 3.2. Statechart diagram 3.3. Activity diagram 4. Implementation diagram: 4.1. Component diagram 4.2. Deployment diagram Menurut Grady Booch (1999, p99-100), jika ingin memodelkan suatu aplikasi yang sederhana yang akan dijalankan pada sebuah mesin tunggal,maka diagram yang dapat digunakan adalah use case diagram, class diagram (untuk pemodelan struktural), dan interaction diagram (untuk pemodelan behavioral). Jika pemodelan difokuskan juga pada aliran proses, maka dapat menambahkan statechart diagram dan activity diagram yang dapat menggambarkan tingkah laku dari sistem. Sedangkan jika sistem itu terdapat client atau server, maka diagram yang diperlukan untuk menggambarkan sistem adalah use case diagram, activity diagram, class diagram, interaction diagram, statechart diagram, component diagram, dan deployment diagram.
72
3.8. Permodelan Use-Case
Permodelan use-case ditemukan oleh Dr. Ivar Jacobson pada 1986 dan dipublikasikan dalam bukunya yang berjudul Object-Oriented Software Engineering pada 1992. Permodelan use-case membantu dalam mendeterminisikan kebutuhan sistem ditinjau dari perspektif user dan stakeholder. Permodelan sistem dipergunakan untuk mendefinisikan, mendokumentasi dan memahami kebutuhan fungsional sistem informasi. Penggunaan permodelan use-case memfasilitasi dan mendorong keterlibatan dari user, yang dimana merupakan faktor kritis yang menentukan kesuksesan dari suatu
proyek. Menurut Whitten (2004, p271) permodelan use-case akan menghasilkan beberapa keuntungan, yaitu : •
Sebagai alat untuk mengetahui kebutuhan fungsional.
•
Membantu dalam mendekomposisikan ruang lingkup sistem ke dalam bagian yang lebih dapat dikendalikan.
•
Menyediakan peralatan untuk komunikasi dengan users dan stakeholder lainnya. Use-case memberikan bahasa yang umum dimana mudah dimengerti oleh berbagai stakeholder.
•
Menyediakan bantuan dalam mengestimasi ruang lingkup proyek, usaha dan penjadwalan.
•
Menyediakan dasar untuk menguji dalam tahap mendefinisi test plans dan test cases.
73 •
Menyediakan dasar bagi user untuk membantu sistem dan manual sebaik sistem mengembangkan dokumentasi.
•
Menyediakan bantuan dalam kemampuan melacak kebutuhan-kebutuhan.
•
Menyediakan langkah awal untuk identifikasi data objek atau entities.
•
Menyediakan spesifikasi fungsional untuk merancang user interface dan sistem.
•
Menyediakan bantuan dalam mendefinisikan kebutuhan akses database.
•
Menyediakan framework sebagai pengantar proyek pengembangan sistem. Terdapat dua kegiatan utama yang terlibat saat melakukan permodelan sistem
(Whitten, 2004, p271) , yaitu : •
Use-case diagram
Merupakan diagram yang menggambarkan interaksi antara sistem, sistem eksternal dan user. Use-case diagram secara grafis mendeskripsikan siapa yang akan menggunakan sistem dan dalam cara bagaimana user berharap dapat berinteraksi dengan sistem. •
Use-case narrative
Merupakan deskripsi dalam bentuk teks dari event-event bisnis dan bagaimana user akan berinteraksi dengan sistem untuk menyelesaikan tugasnya. Menurut Booch (1999, p235) Use case diagram dapat digunakan untuk dua hal yaitu: -
Untuk memodelkan konteks dari sebuah sistem Memodelkan konteks dari sebuah sistem mencakup menggambarkan garis ke semua sistem dan menegaskan aktor mana yang berinteraksi dengan sistem. Jadi, use case diagram dapat digunakan untuk menspesifikasi aktor dan peranannya
dalam sistem.
74 -
Untuk memodelkan kebutuhan dari sistem Memodelkan kebutuhan dari sistem mencakup menspesifikasi apa yang dilakukan sistem (sudut pandang dari luar sistem), bagaimana sistem harus melakukannya. Dengan use case diagram maka dapat melihat bagaimana sistem merespon sesuatu dari luar, tetapi tidak dapat melihat bagaimana sistem tersebut bekerja. Use case diagram menggambarkan fungsionalitas yang diharapkan dari sebuah
sistem. Yang ditekankan adalah “apa” yang diperbuat sistem, dan bukan “bagaimana”. Sebuah use case merepresentasikan sebuah interaksi antara aktor dengan sistem. Use case merupakan sebuah pekerjaan tertentu, misalnya login ke sistem, meng-create
sebuah daftar belanja, dan sebagainya. Seorang atau sebuah aktor adalah sebuah entitas manusia atau mesin yang berinteraksi dengan sistem untuk melakukan pekerjaanpekerjaan tertentu. Aktor adalah pengguna, pemeran (role), yang bisa berupa sistem eksternal maupun orang.
System
UseCase1
UseCase2 Actor1
Actor2
UseCase3
Actor3
Gambar 3.6 Contoh Use-Case Diagram
75 Menurut Whitten (2004, p276), langkah-langkah yang diperlukan untuk membuat permodelan use case adalah : a. Mengidentifikasi business actor. Identifikasi aktor dilakukan pada tahap pertama karena dengan memfokuskan pada aktor-aktor yang terlibat dalam bisnis, maka akan dapat memusatkan pada bagaimana sistem akan digunakan dan tidak pada bagaimana sistem akan dibangun. Memfokuskan pada aktor akan membantu dalam menyaring dan mendefinisikan lebih jauh ruang lingkup dari sistem. Keuntungan dari mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat dalam bisnis terlebih dahulu supaya dengan demikian ruang lingkup sistem akan lebih jelas karena informasi usecase dapat diperoleh melalui penelitian dan wawancara dengan aktor.
b. Mengidentifikasi business requirement use case Business requirement use case menunjukkan interaksi dengan user dalam cara
yang bebas dari teknologi dan detail implamentasi. Teknik untuk menemukan business requirement use case adalah dengan melakukan pemeriksaan terhadap
aktor dan bagaimana mereka akan menggunakan sistem. Kegiatan-kegiatan dan dokumen yang kritis dan penting saja yang perlu diidentifikasi untuk menemukan use-case karena pertimbangan waktu dan biaya. c. Membangun diagram use-case Setelah aktor dan use-case diidentifikasi maka dapat digambarkan sebuah diagram use-case untuk melihat ruang lingkup dari sistem. d. Mendokumentasikan persyaratan-persyaratan bisnis pada narasi use-case. Pada tahap ini dilakukan deskripsi secara tulisan dari proses bisnis yang terjadi dan bagaimana user berinteraksi dengan sistem dalam menyelesaikan tugasnya.
76 3.9. Interfaces
Interface merupakan fasilitas yang membuat model sistem dan fungsi tersedia
bagi aktor-aktor. Interface digunakan aktor untuk berinteraksi dengan sistem. Aktor manusia dan sistem komputerisasi memiliki behaviors yang berbeda, oleh sebab itu Interface terbagi menjadi user interface dan system interface. User interface merupakan interface bagi user sedangkan system interface merupakan interface bagi sistem yang
lain (Mathiassen, 2000, 151). User interface yang baik diadaptasikan dengan tugas user dan konsepsi mereka
terhadap user. Untuk memformulasikan user dan system interface didasarkan pada prinsip-prinsip dibawah ini (mathiassen, 2000, p170) : •
Menyesuaikan usability dengan application domain User interface yang baik didasarkan pada pengetahuan akan pengguna di masa
depan dan bagaiman sistem akan digunakan. •
Experiment and Iterate
Interface memiliki interaksi-interaksi yang kompleks dan perancangannya biasa didasarkan pada asumsi-asumsi dan alasan-alasan yang mungkin tidak muncul pada practical use. Eksperimen harus direncanakan, efisien dan realistis.
•
Mengidentifikasikan seluruh elemen interface Analisa harus menunjuk pada deskripsi yang lengkap pada elemen user dan system interface. Kelengkapan ini dibutuhkan untuk mendukung keputusan akan
kebutuhan-kebutuhan.
77 3.10. Navigation Diagram
Navigation diagram adalah statechart diagram khusus yang memfokuskan pada
seluruh kedinamisan dari user interface. Navigation diagram menunjukkan window (layar) yang berpartisipasi dan transisi-transisi yang terjadi diantaranya. Window direpresentasikan sebagai sebuah state. State tersebut memiliki nama dan mengandung ikon (miniatur window). Transisi dari state berhubungan dengan pertukaran antara dua window (Mathiassen, 2000, p344).