BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia. Sumber daya manusia merupakan subyek dan sekaligus obyek pembangunan, mencakup seluruh siklus hidup manusia sejak kandungan hingga akhir hayat. Dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan kesehatan merupakan investasi yang diukur dengan indeks pembangunan manusia (IPM). Dalam pengukuran IPM, kesehatan merupakan satu komponen utama selain pendidikan dan pendapatan. Kesehatan juga merupakan investasi untuk mendukung pembangunan ekonomi serta memiliki peran penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Masalah kesehatan saat ini berubah cepat, dinamis dan semakin kompleks. Hal ini disebabkan antara lain oleh transisi demografi yang ditandai dengan perubahan struktur penduduk dan transisi epidemiologi yang ditandai dengan perubahan berbagai penyakit menular. Penyakit infeksi menular masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Penyakit menular seperti demam berdarah dengue (DBD), HIV/AIDS, tuberkulosis paru, malaria, diare
dan infeksi saluran pernafasan menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Sejalan dengan ini, penyakit tidak menular seperti penyakit degeneratif, serta kecelakaan/trauma, dan lainnya mulai menunjukkan kecenderungan meningkat. Beberapa penyakit degeneratif seperti jantung, hipertensi, stroke, dan diabetes melitus cenderung menunjukkan peningkatan. Hal ini berkaitan dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat yang masih belum mendukung pola hidup bersih dan sehat. Selain itu muncul penyakit baru (new emerging diseases) yang berpotensi menjadi pandemi yaitu flu burung. Berbagai upaya terobosan dan langkah telah dilakukan dalam meningkatkan pembangunan kesehatan secara lebih berdayaguna dan berhasilguna. Untuk meningkatkan akses, mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan kepada masyarakat serta mengantisipasi dampak negatif krisis ekonomi dikembangkan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM). Upaya untuk memandirikan masyarakat terus ditingkatkan. Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat adalah suatu kondisi dimana Indonesia menyadari mau dan mampu untuk mengenali, mencegah dan mangatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi sehingga dapat bebas dari gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit termasuk gangguan kesehatan akibat bencana maupun lingkungan perilaku yang tidak mendukung untuk hidup sehat. I.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Permasalahan yang dihadapi antara lain yaitu masih rendahnya pemerataan, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini terutama terkait dengan kendala biaya, jarak, dan transportasi. Penyebab lainnya adalah kualitas dan pemerataan tenaga kesehatan yang masih rendah, serta terbatasnya dukungan sumber daya kesehatan. Rendahnya akses masyarakat terhadap lingkungan permukiman dan air yang berkualitas menyebabkan masih tingginya risiko dan gangguan kesehatan seperti penyebaran penyakit menular berbasis lingkungan, ancaman vektor penyakit, rentan/rawan terhadap 28 - 2
pencemaran lingkungan, dan rawan keracunan makanan akibat rendahnya hygiene dan sanitasi makanan. Permasalahan penting lainnya adalah banyaknya kendala dalam upaya penanganan penyakit menular dan tidak menular. Hal ini antara lain disebabkan oleh pola penyakit yang selalu berubah, masih terdapatnya kantung-kantung endemis penyakit menular pada daerah resiko tinggi, luasnya wilayah Indonesia dengan tantangan geografis yang bervariasi, dan perubahan lingkungan akibat pembangunan maupun perubahan iklim. Masalah penting lainnya adalah rendahnya status gizi masyarakat terutama bayi dan anak balita. Upaya peningkatan gizi masyarakat menghadapi kendala antara lain tingkat pendapatan sebagian besar kelompok masyarakat yang masih rendah, dan perubahan pola makan serta pola hidup yang tidak mendukung upaya perbaikan gizi. Pengawasan terhadap obat dan makanan, khususnya keamanan pangan jajanan anak sekolah serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif (NAPZA), juga belum berjalan dengan baik. Hal ini ditandai dengan kurang terlindunginya masyarakat dari obat yang tidak bermutu, pangan yang berbahaya dan penyalahgunaan NAPZA, serta penggunaan zat-zat tambahan yang membahayakan. Selain permasalahan tersebut di atas, dalam satu tahun terakhir terdapat sedikitnya tujuh isu penting di bidang kesehatan yang perlu penanganan segera, yaitu pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, masalah gizi buruk, penyakit flu burung, penyakit polio, bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di berbagai daerah, perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat, serta pengawasan obat dan makanan. A.
Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin
Kemiskinan dan kesehatan mempunyai hubungan timbal balik. Pertama, kemiskinan menurunkan kemampuan rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan gizi dan memelihara kesehatannya. Penduduk akan kekurangan gizi, menderita anemia, tidak bisa melanjutkan pengobatan jangka panjang seperti tuberkulosis (TB) , dan juga tidak mampu untuk membiayai pengobatan penyakit akut. Kedua, bayi yang 28 - 3
lahir dari keluarga miskin berpotensi menjadi beban sosial karena pertumbuhan otak yang tidak optimal dan kegagalan pendidikan. Ketiga, kemiskinan menyebabkan akses terhadap air bersih dan sanitasi menurun, yang kemudian memudahkan berjangkitnya penyakit menular. Keempat, untuk segmen tertentu penduduk, kemiskinan juga akan mendorong perilaku permisif yang berakibat meningkatnya insidens penyakit menular seksual (PMS). Kelima, hilangnya waktu produktif karena sakit merupakan perangkap yang membuat penduduk miskin tidak dapat memperbaiki nasibnya. Uraian diatas menunjukkan urgensi yang besar untuk menjamin pemeliharaan kesehatan penduduk miskin. Dalam jangka pendek, buruknya kesehatan penduduk miskin mempunyai “eksternalitas negatif” bagi masyarakat secara keseluruhan. Kantung-kantung penduduk miskin akan menjadi sumber penularan berbagai macam penyakit menular seperti TB, diare, DBD, malaria, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), dan PMS. Dalam jangka menengah, anggaran pedidikan tidak akan efektif bagi anak-anak penduduk miskin yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan kekurangan gizi. Pendidikan yang rendah atau drop-out akan merupakan “risk factor” bagi kehidupan sosial yang aman. Dalam jangka panjang, mutu tenaga kerja yang rendah tidak mendorong perbaikan dan pertumbuhan ekonomi. Hal-hal tersebut diatas adalah alasan kuat untuk menempatkan isu pemeliharaan kesehatan dan gizi penduduk miskin pada skala prioritas yang tinggi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Alasan lain yang bersifat normatif antara lain bahwa “kesehatan adalah hak azasi manusia yang fundamental”, bahwa “fakir miskin menjadi tanggung jawab negara”, bahwa salah satu tujuan dalam Millenium Development Goal (MDG) adalah Poverty Reduction, dan untuk itu kesehatan penduduk miskin harus dipelihara, utamanya dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak, dan penanggulangan TB-paru, malaria, HIV/AIDS dan kurang gizi. Menyadari pentingnya penanganan berkelanjutan terhadap masalah kesehatan penduduk miskin, sejak tahun 1998 dilakukan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan penduduk miskin melalui pengembangan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang menyalurkan dana pelayanan penduduk miskin berbasis provider 28 - 4
(supply oriented). Kemudian dalam 3 (tiga) tahun terakhir dikembangkan Program Pemeliharaan Kesehatan Penduduk Miskin (PPKPM) berbasis beneficiary (demand oriented). Pada tahun 2006, pemerintah tetap berkomitmen untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui program upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang pembiayaannya dialokasikan melalui APBN. Dengan adanya program ini diharapkan terjadinya peningkatan akses pelayanan kesehatan masyarakat terutama bagi masyarakat miskin sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. B.
Masalah Gizi Buruk
Kasus gizi kurang dapat terjadi karena pengaruh berbagai faktor yang saling terkait, seperti asupan gizi yang kurang dan tidak seimbang, asupan gizi yang kurang memadai dan serangan penyakit infeksi. Berbagai data menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi kurang. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk di suatu wilayah berbanding terbalik dengan tingkat pendapatan. Semakin kecil pendapatan penduduk, semakin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Dalam kurun waktu tahun 2003 dan 2005, status gizi buruk dan kurang turun dari 28,2 persen menjadi 28,0 persen. Penurunan terjadi karena status gizi kurang menurun dari 19,6 persen pada tahun 2003 menjadi 19,2 persen pada tahun 2005, walaupun terjadi kenaikan status gizi buruk dari 8,6 persen pada tahun 2003 menjadi 8,8 persen pada tahun 2005. Pada tahun 2004 dari 5 juta balita penderita gizi kurang, terdapat 1,4 juta balita yang menderita gizi buruk. Sejumlah 140.000 diantaranya menderita gizi buruk tingkat berat (disebut maramus, kwashiorkor dan maramus-kwashiorkor) dan memerlukan perawatan intensif di Puskesmas dan rumah sakit. Kasus gizi buruk menjadi isu yang menjadi sorotan media pada Mei tahun 2005, di Provinsi NTB dan NTT. Pada waktu itu dilaporkan terjadi 9.592 kasus gizi buruk di kedua propinsi tersebut. Setelah itu 28 - 5
berbagai laporan dari 26 provinsi dengan total kasus gizi buruk mencapai 49.754 kasus. Banyaknya kasus yang berhasil dilaporkan disebabkan oleh adanya kegiatan pencarian kasus baru secara aktif melalui operasi timbang dengan target seluruh balita. Selama tahun 2005, jumlah kasus gizi buruk cenderung terus menurun tiap bulannya dan pada akhir 2005 menjadi 76.178 balita. Sepanjang tahun 2005, jumlah penderita kasus gizi buruk yang meninggal dunia sebanyak 293 balita. Pada umumnya penderita gizi buruk ini disertai dengan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, TB, campak dan malaria. Kematian ini antara lain terjadi pada bulan Juni sebanyak 107 kasus. C.
Penyakit Flu Burung (Avian Influenza)
Flu Burung (Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan virus type A (H5N1) yang berasal dari unggas yang terinfeksi influenza. Penyakit ini menular dari burung kepada burung, dapat juga menular kepada manusia. Penyakit ini terutama menyerang peternak unggas. Masa inkubasi penyakit ini sangat singkat yaitu selama 1–3 hari. Gejala penyakit Flu Burung pada manusia pada umumnya seperti gejala flu biasa yaitu demam, sakit tenggorokan, batuk, beringus, nyeri otot, sakit kepala, namun dalam waktu singkat menjadi berat, karena terjadi peradangan pada paru (pneumonia) dan dapat meninggal. Wabah Flu Burung yang terjadi di Hongkong pada tahun 1997 menimbulkan kerugian jutaan dollar. Kerugian disebabkan karena turunnya produk ternak unggas, penurunan jumlah turis yang datang dan bahkan menyebabkan kematian pada manusia. Di Indonesia telah dilaporkan adanya kejadian wabah Flu Burung pada peternakan unggas, bebek, burung puyuh dan ayam kampung pada bulan Agustus 2003. Kemudian pada tanggal 25 Januari 2005 lalu, Departemen Pertanian secara resmi menyatakan bahwa Indonesia telah berjangkit kembali wabah Flu Burung Type A (H5N1) pada unggas. Dengan demikian maka, Flu Burung merupakan salah satu penyakit NewEmerging Diseases yang berdampak luas pada kesehatan hewan dan manusia. Saat ini Flu Burung pada unggas sudah endemik di 27 provinsi di Indonesia dan terdapat 8 provinsi sebagai wilayah yang terifeksi flu 28 - 6
Burung. Jumlah kasus pada manusia yang terkonfirmasi sampai saat ini sebanyak 56 kasus dan 43 kasus diantaranya meninggal dunia dengan angka kematian (case fatality rate : CFR) = 76,8 persen. Hal ini menunjukkan perlunya mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) Flu Burung dari waktu ke waktu. D.
Kasus Penyakit Polio
Penyakit polio adalah penyakit menular yang sangat berbahaya disebabkan oleh virus yang menyerang system syaraf dan bisa menyebabkan kelumpuhan total hanya dalam hitungan jam. Virus memasuki tubuh manusia lewat mulut dan berkembang di dalam usus selama 2 bulan dan jika dikeluarkan melalui tinja di alam bebas dapat bertahan selama 2 hari (pada musim panas) sampai 2 minggu (pada musim penghujan). Gejala awalnya adalah demam, rasa lelah, pusingpusing, muntah, kekakuan di daerah leher dan rasa ngilu di bagian tungkai. Satu dari 200 kasus infeksi akan menyebabkan kelumpuhan, 5–10 persen pasien meninggal akibat kelumpuhan pada otot pernafasan. Tidak ada obat untuk penyakit polio. Penyakit ini hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin polio yang diberikan pada bayi berumur di bawah 1 tahun minimal 4 kali. Sejak bulan Oktober 1995 kasus polio liar sudah tidak pernah ditemukan lagi di Indonesia. Namun kasus polio pertama yang dilaporkan pada bulan April 2005 terjadi pada anak berumur 20 bulan di Desa Giri Jaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Setelah dilakukan surveilans epidemiologi, kasus polio juga ditemukan di Kabupaten Lebak, Jawa Barat. Penularan polio liar berkembang sangat cepat dan hingga menyebar di 5 provinsi yaitu: Lampung, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI. Dari hasil pemeriksaan laboratorium WHO di Mumbay dinyatakan bahwa kasus polio yang muncul kembali di Indonesia adalah berasal dari import yang identik dengan virus polio Nigeria. Hal ini memungkinkan karena transportasi yang sangat lancar antara Negara kita dengan Negara-negara yang masih endemis polio dalam melakukan aktivitas pariwisata, ibadah haji, perdagangan, ketenagakerjaan dan keperluan lainnya. E.
Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di NAD dan Nias
28 - 7
Gempa bumi tektonik dengan kekuatan 6,8 SR (BMG) atau 8.9 SR (US Geological Survey) yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 pukul 07.58 WIB yang disertai dengan gelombang besar tsunami menerjang sebagian besar wilayah pantai barat, utara dan timur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yaitu: Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Kabupaten Aceh Timur, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Bireun, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Simeulue, Kota Sabang, Kota Meulaboh dan Kabupaten Aceh Selatan. Bencana gempa dan tsunami di Provinsi NAD telah melumpuhkan sistem kesehatan setempat, karena hancur dan rusaknya sarana pelayanan kesehatan dalam jumlah besar dan meninggal/hilangnya sejumlah tenaga kesehatan. Tingkat kerusakan sarana pelayanan kesehatan di Provinsi NAD sebagai berikut : terdapat 43 buah Puskesmas dan 59 buah Puskesmas Pembantu (Pustu) mengalami kerusakan, 19 buah RS rusak terdiri dari 4 buah rusak berat, 4 buah rusak sedang dan 11 buah rusak ringan, Dinas Kesehatan Provinsi NAD mengalami kerusakan pada sarana komunikasi, pengolahan data elektronik, dokumen program/proyek, meubelair, alat-alat transportasi. Sedangkan kondisi fisik dan peralatan Dinas Kesehatan Kab/Kota Aceh Besar dan aceh Jaya rusak total, Dinkes Simeulue rusak sedang, juga menyebabkan Gudang Farmasi (GF) dan gudang vaksin di Banda Aceh rusak berat termasuk cold chain, refrigerator dan rantai dingin (cold box). Gudang Farmasi yang rusak total adalah di Kabupaten Aceh Jaya dan di Simeulue rusak ringan, Politeknik Tenaga Kesehatan (Poltekes) Banda Aceh sebanyak 2 unit rusak (ringan/sedang), fisik gedung Poltekes jurusan Kesehatan Lingkungan dan Gizi rusak total serta fisik gedung Poltekes jurusan gigi rusak berat. Di samping itu peralatan pendukung seperti perpustakaan, peralatan laboratorium, komputer, meubelair dan peralatan kantor lainnya rusak total. Sedangkan Poltekes di Meulaboh mengalami kerusakan fisik gedung 80 persen dan peralatannya mengalami rusak berat, dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Banda Aceh beserta 2 unit kantor operasional di wilayah kerjanya mengalami rusak total, sedangkan KKP Lhoksemauwe hanya rusak ringan.
28 - 8
F.
Bencana Alam Gempa Bumi di DIY dan Jawa Tengah
Telah terjadi gempa bumi tektonik di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah pada hari Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.53 WIB berkekuatan 5,9 SR. Pusat gempa pada 8,26 LS–110,31 BT dengan kedalaman 33 KM dan berada di laut 37,2 Km selatan Yogyakarta. Daerah-daerah yang terkena akibat gempa bumi, meliputi: Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Klaten, Kabupaten Magelang, Kota Solo, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Boyolali. Permasalahan kesehatan akibat bencana gempa tersebut adalah sebagai berikut korban meninggal untuk sementara berjumlah 6.595 jiwa, korban luka yang dirawat 117.430 orang, terdiri dari rawat jalan 91.150 orang dan rawat inap 26.280 orang. Korban dengan penyakit/keadaan khusus, terdiri dari 25 orang dengan penyakit tetanus dan 55 orang dengan menderita penyakit jiwa. Fasilitas kesehatan yang rusak, di Provinsi D.I. Yogyakarta terdiri dari 14 rumah sakit, 1 balai pengobatan, 83 Puskesmas, 150 Puskesmas Pembantu, 6 Polindes, 125 rumah dinas, 2 kantor dinas, dan 6 unit pelaksana teknis (UPT). Di Provinsi Jawa Tengah fasilitas kesehatan yang rusak terdiri dari 2 RSU, 25 Puskesmas, 59 Puskesmas Pembantu, 1 Puskesmas Keliling dan 5 rumah dinas. G.
Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Masyarakat
Pada tahun 2005 persentase keluarga yang berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) baru mencapai 27 persen. Rendahnya cakupan ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat dan terbatasnya jumlah tenaga kesehatan serta kader yang membantu dalam penyebarluasan perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat. H.
Pengawasan Obat dan Makanan
Dengan makin gencarnya globalisasi dan era pasar bebas, maka ke depan tugas-tugas pengawasan obat dan makanan akan semakin luas dan kompleks. Kompleksitas pengawasan tidak hanya mencakup produk yang beredar di dalam negeri, tetapi juga produk-produk Indonesia yang diekspor ke luar negeri. Selain itu, pengawasan obat dan makanan juga menyangkut kepentingan masyarakat dengan sensitifitas publik yang tinggi. 28 - 9
Mengingat kompleksitas dan luasnya cakupan pengawasan obat dan makanan maka pengawasan tidak cukup hanya dilakukan oleh Pemerintah, tetapi juga dikembangkan dan diselenggarakan dengan melibatkan peran dan tanggung jawab semua pihak yang terkait, khususnya dalam Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SISPOM).
II.
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI
Untuk mengatasi berbagai permasalahan di bidang kesehatan, maka kebijakan umum pembangunan kesehatan diarahkan untuk: 1.
Meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan melalui peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas; dan pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan melanjutkan pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas dan kelas III rumah sakit.
2.
Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui peningkatan kualitas dan pemerataan fasilitas kesehatan dasar dan peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan.
3.
Meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat melalui peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat; dan peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini. Pada tahun 2006, pembangunan kesehatan diprioritaskan pada peningkatan upaya kesehatan masyarakat, upaya kesehatan perorangan, pencegahan dan pemberantasan penyakit, dan perbaikan gizi masyarakat, sumber daya kesehatan, promosi dan pemberdayaan masyarakat, dan lingkungan sehat. Prioritas tersebut didukung oleh peningkatan obat dan perbekalan kesehatan, pengawasan obat dan makanan, pengembangan obat asli Indonesia, pengembangan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan, serta penelitian dan pengembangan kesehatan. Perhatian khusus diberikan pada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, dan pelayanan kesehatan di daerah tertinggal, dan perbatasan, dan daerah bencana.
28 - 10
Langkah-langkah yang telah ditempuh untuk mengatasi berbagai masalah yang menonjol selama 10 bulan terakhir dan hasil yang dicapai adalah sebagai berikut. 1)
Pelayanan Kesehatan Bagi Penduduk Miskin
Tujuan umum program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin adalah meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Prinsip penyelenggaraan program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin mengacu pada: a) pengelolaan dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan untuk semata-mata peningkatan kesehatan masyarakat miskin; b) pelayanan kesehatan bersifat menyeluruh sesuai standar pelayanan medik yang “cost effective” dan rasional; c) pelayanan kesehatan dilakukan dengan prinsip terstruktur dan berjenjang; d) portabilitas dan ekuitas; e) mekanisme asuransi sosial dengan iuran peserta dibayar oleh Pemerintah; f) transparasi dan akuntabilitas. Jumlah biaya secara keseluruhan untuk pelayanan kesehatan yang dijamin pemerintah pada tahun 2005 adalah sebesar Rp3,875 triliun. Dana yang telah dialokasikan dalam DIPA 2005 sebesar Rp. 1 triliun untuk kegiatan periode I (bulan Januari s/d Juni 2005) dan melalui APBN-P tahun 2005 sebesar Rp2.875 triliun untuk pelaksanaan kegiatan periode II (bulan Juli s/d Desember 2005). Pelaksanaan kegiatan pada periode I digunakan untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya, serta kelas III Rumah Sakit. Pelaksanaan kegiatan periode II dipergunakan untuk program pelayanan langsung (yaitu untuk pelayanan kesehatan di Puskesmas, pelayanan kesehatan rujukan dan rawat inap kelas III rumah sakit Pemerintah dan swasta yang ditunjuk) dan program pendukung pelayanan kesehatan dasar. Pada tahun 2006 melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 332/Menkes/SK/V/2006 sudah ditetapkan Pedoman Pelaksanaan jaminan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin (JPK-MM) yang pada prinsipnya tidak berubah dari program JPK-MM tahun 28 - 11
2005. PT Askes ditunjuk sebagai pelaksana program asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin (Askeskin) untuk Puskesmas dan rumah sakit di seluruh Indonesia. Sasaran untuk tahun 2006 adalah masyarakat miskin dan tak mampu di seluruh Indonesia yang diperkirakan 60 juta jiwa, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya. Jumlah tempat tidur yang tersedia untuk kelas III rumah sakit sebanyak 480 ribu, sedangkan Puskesmas yang tercakup sebanyak 7.550. Dana yang dialokasikan untuk program kompensasi pengurangan subsidi BBM pada tahun 2006 adalah sebesar Rp3,319 Triliun. Kegiatan yang akan dilakukan meliputi: 1)
Pelayanan kesehatan rujukan di kelas III rumah sakit
2)
Pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya.
3)
Pertolongan persalinan di Puskesmas dan jaringannya.
4)
Pelayanan kesehatan di kepulauan dan daerah terpencil.
5)
Penyediaan obat.
6)
Operasional Posyandu.
7)
Operasional dan manajemen Puskesmas.
8)
Safeguarding.
Hasil pelaksanaan periode bulan Januari s/d Juni 2005 untuk kartu askeskin (kartu JPK-MM) dari kuota yang ditetapkan sejumlah 36.146.700 jiwa, maka kartu askeskin yang telah diterbitkan mencapai 36.122.235 atau 99,93 persen. Jumlah kartu askeskin yang telah didistribusikan sejumlah 30.150.634 kartu atau 83,41 persen. Sedangkan jumlah kunjungan masyarakat miskin (secara kumulatif sampai dengan Juni 2005) adalah sebanyak 32.818.763 jiwa, dengan cakupan pemeriksaan kehamilan mencapai 92,83 persen, cakupan persalinan mencapai 94,29 persen, cakupan perawatan nifas mencapai 94,21 persen dan rujukan kehamilan mencapai 7,54 persen. Untuk periode bulan Juli sampai dengan Desember 2005, kartu askeskin (kartu JPK-MM) yang sudah didistribusikan sebanyak 34.797.207 kartu atau 96,27 persen bila dibandingkan kuota.
28 - 12
Sedangkan utilitas kunjungan masyarakat miskin ke PPK strataI sebesar 15,13 persen per bulan dari target 15 persen per bulan. 2)
Penanggulangan Gizi Buruk
Upaya penanggulangan gizi buruk yang dilakukan secara nasional dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu jangka pendek untuk tanggap darurat dan jangka menengah. Dalam jangka pendek upaya yang telah dilakukan adalah: 1)
Menerapkan prosedur tatalaksana penanggulangan gizi buruk yaitu dengan melaksanakan sistem kewaspadaan dini secara intensif, pelacakan kasus dan penemuan kasus baru, menangani kasus gizi buruk dengan perawatan Puskesmas dan rumah sakit.
2)
Melakukan pencegahan meluasnya kasus dengan koordinasi lintas program dan lintas sektor, memberikan bantuan pangan, memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP ASI), pengobatan penyakit, penyediaan air bersih, memberikan penyuluhan gizi dan kesehatan terutama peningkatan ASI Eksklusif sejak lahir sampai 6 bulan dan diberikan Makanan Pendamping ASI setelah usia 6 bulan dan menyusui diteruskan sampai usia 2 tahun.
Upaya jangka menengah adalah dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 20052009, meliputi: 1)
Revitalisasi Posyandu yang mencakup pelatihan ulang kader, penyediaan sarana, pembinaan dan pendampingan kader, penyediaan modal usaha kader melalui usaha kecil menengah (UKM) dan mendorong partisipasi swasta serta bantuan biaya operasional.
2)
Revitalisasi Puskesmas dengan mengaktifkan kegiatan preventif dan promotif, meningkatkan manajemen program gizi, sarana dan bantuan biaya operasional untuk kegiatan Posyandu, pelacakan kasus dan kerjasama lintas sektor.
3)
Meningkatkan cakupan dan kualitas kesehatan termasuk tata laksana gizi buruk bagi petugas rumah sakit dan Puskesmas perawatan. 28 - 13
4)
Pemberdayaan keluarga dibidang ekonomi, pendidikan dan bidang ketahanan pangan untuk meningkatkan pengetahuan dan daya beli keluarga.
5)
Advokasi dan pendampingan untuk meningkatkan komitmen eksekutif dan legislatif, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan media masa agar peduli dan bertindak nyata dilingkungannya untuk memperbaiki status gizi anak.
6)
Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) pemantauan terus menerus situasi pangan dan gizi masyarakat, untuk melakukan tindakan cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya bahaya rawan pangan.
Khusus untuk 2 (dua) provinsi, upaya yang dilakukan pencegahan dan penanggulangan gizi buruk di Provinsi NTB antara lain yaitu: 1)
membentuk tim operasi sadar gizi (OSG) yang bertanggung jawab dalam keseluruhan proses pencegahan dan penanggulangan gizi buruk berdasarkan instruksi Gubernur No. 1 tahun 2005.
2)
Perawatan gizi buruk melalui Puskesmas Perawatan dan rumah sakit di kelas 3 secara gratis.
3)
Melakukan operasi sadar gizi yang mencakup deteksi dini penemuan kasus melalui operasi timbang dengan mengukur balita di seluruh Provinsi NTB, membuat mapping gizi buruk.
4)
Puskesmas melakukan tindak lanjut kasus gizi buruk yang tidak memerlukan perawatan dan mendapatkan makanan tambahan dan memberikan bantuan pangan darurat bagi keluarga miskin.
Sedangkan upaya pencegahan dan penanggulangan gizi buruk di Provinsi NTT antara lain yaitu : 1)
melaksanakan sistem kewaspadaan dini secara intensif.
2)
Pelacakan kasus dan penemuan kasus baru.
3)
Menangani kasus gizi buruk dengan perawatan Puskesmas dan di rumah sakit kelas 3 secara gratis.
28 - 14
4)
Koordinasi penggerakan sumber dana.
5)
Memberikan bantuan beras dan memberikan pendamping ASI dan makanan tambahan.
3)
Pencegahan dan pengendalian penyakit Flu Burung (Avian Influenza)
makanan
Adanya kejadian Flu Burung pada manusia di Indonesia, maka langkah-langkah di bidang kesehatan yang telah dilakukan untuk mencegah penyebaran Flu Burung di Indonesia adalah sebagai berikut: 1)
Surveilans aktif terhadap kemungkinan terjadinya kasus atau penemuan kasus baru, pengamatan terhadap kontak dekat (closed contact), dan melakukan penyelidikan untuk menemukan sumber penularan.
2)
Respon terhadap kejadian yaitu dengan tata laksana kasus di rumah sakit dan rujukan serta menyiagakan 44 rumah sakit rujukan SARS menjadi rumah sakit Rujukan Flu Burung.
3)
Memperkuat kemampuan Laboratorium Badan Litbangkes Depkes sebagai Laboratorium Rujukan Nasional bekerja sama WHO Laboratory Collaborating Center di Hongkong.
4)
Bantuan obat anti virus (oseltamivir) sebanyak 2.000 tablet dari WHO untuk 200 dosis stock di Pusat, telah didistribusikan juga obat anti virus tersebut ke 44 rumah sakit Rujukan tersebut.
5)
Penyediaan PPE (Personal Protection Equipment) sebanyak 1.500 set dan telah didistribusikan ke 44 rumah sakit Rujukan.
6)
Pendistribusian poster, leaflet dan buku pedoman ke Dinas Kesehatan dan rumah sakit rujukan.
7)
Sosialisasi dan advokasi kepada Dinas Kesehatan Provinsi di 8 Provinsi.
8)
Workshop Internasional dan workshop nasional.
9)
Penyelidikan terpadu dan rapat koordinasi berkala dengan Departemen Pertanian dan pemerintah daerah (Dinas Kesehatan dan Dinas Peternakan).
28 - 15
10)
Telah disusun kebijakan Penanggulangan Flu Burung di Indonesia dan pedoman National Influenza Pandemic Preparedness (NIPP) dan Contingency Plan.
4)
Penanggulangan Kasus Penyakit Polio
Untuk mencapai eradikasi polio, Indonesia telah melaksanakan berbagai upaya yaitu: 1)
Meningkatkan cakupan imunisasi rutin pada bayi sampai ke tingkat desa, imunisasi yang diberikan secara gratis.
2)
Melaksanakan imunisasi tambahan yaitu melalui Pekan Imunisasi, Sub PIN untuk 5 provinsi serta melaksanakan Bulan Imunisasi Anak Sekolah.
3)
Melaksanakan Surveilance Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau lumpuh layu mendadak pada anak usia dibawah 15 tahun secara rutin.
Dengan terjadinya KLB Polio di Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta serta untuk mencegah terjadinya transmisi virus polio, maka telah dilakukan Outbreak Response Imunisasi (ORI) yang mencakup 52 kalurahan di 6 Kecamatan, jumlah balita yang memperoleh imunisasi polio sebanyak 22.090 anak. ORI dilaksanakan dalam upaya mencegah penularan virus polio liar di sekitar penderita. Upaya lainnya yaitu dengan melaksanakan Imunisasi Massal Terbatas (Mopping Up) Polio untuk memutus rantai penularan polio liar yang lebih luas. Berdasarkan kajian dan rekomendasi WHO, UNICEF serta para pakar kesehatan Indnesia dan Internasional, telah dilakukan Imunisasi Massal terbatas polio di 3 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten terhadap 6,4 juta Balita tanpa melihat status imunisasi. Mopping Up dilakukan serentak pada tanggal 30 Mei 2005 untuk putaran I dan tanggal 28 Juni 2005 untuk putaran ke II. Selain itu, dilaksanakan pula Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio untuk melindungi seluruh anak balita dan bayi di Indonesia, telah dilakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio 2005 sebanyak dua putaran yaitu: putaran pertama pada tanggal 30 Agustus 2005 dan putaran kedua pada tanggal 27 September 2005.
28 - 16
5)
Penanggulangan Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di NAD dan Nias
Upaya penanggulangan bencana di Provinsi NAD dan Nias adalah dengan melakukan peningkatan pemerataan, keterjangkauan dan mutu pelayanan kesehatan yang berkesinambungan. Upaya tersebut antara lain : 1)
pelayanan kesehatan tanggap darurat diberikan secara cumacuma bagi masyarakat dan korban dengan masalah kesehatan di daerah bencana.
2)
Mobilisasi, penyaluran dan distribusi sumber daya kesehatan telah dilakukan dengan prosedur khusus.
3)
Bantuan yang berupa dana, tenaga, sarana serta logistik di bidang kesehatan, baik dari dalam maupun luar negeri diterima sesuai kebutuhan, tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, tidak mengikat dan dilakukan tanpa syarat.
4)
Penerimaan dan penyaluran bantuan di bidang kesehatan baik dari dalam maupun luar negeri dilakukan melalui Departemen Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi.
5)
Kerja sama lintas program dan lintas sektor serta seluruh pihak terkait baik didalam maupun luar negeri dalam bentuk jejaring dibawah koordinasi Derpartemen Kesehatan dan dinas kesehatan provinsi.
6)
Pelaksanaan penanggulangan masalah kesehatan diprioritaskan pada program yang mempunyai daya ungkit tinggi, kelompok resiko tinggi dan lokasi yang bersifat strategis.
7)
Penyelanggaraan kesehatan diselenggarakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada tanpa meninggalkan standar dan kode etik profesi.
8)
Melakukan immunisasi campak untuk semua anak usia 0-15 tahun.
9)
Melakukan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan yang baru direkrut serta pelatihan penyegaran bagi tenaga
28 - 17
kesehatan yang lama. Kegiatan ini dilakukan diterapkan dalam bentuk training of trainers (TOT) maupun on job training. 10)
Rehabilitasi sarana dan prasarana kesehatan termasuk Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) sehingga dapat berfungsi kembali dalam melakukan tugas pencegahan keluar dan masuknya penyakit menular melalui pelabuhan.
11)
Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada petugas kesehatan, pengungsi dan masyarakat luas tentang bahaya penularan penyakit menular potensi wabah serta bimbingan dan asistensi penyediaan air bersih dan sarana sanitasi dasar yang dibutuhkan untuk masyarakat khususnya lokasi-lokasi pengungsian.
12)
Pemenuhan kebutuhan tenaga spesialis seperti dokter dan perawat mahir yang semula dilaksanakan melalui penugasan khusus dan telah dikembangkan menjadi penempatan reguler (tenaga tetap). Untuk menarik minat tenaga spesialis tersebut, diberikan insentif berupa pengurangan masa bakti dengan tugas 3 (tiga) bulan yang diperhitungkan untuk 1 (satu) tahun.
13)
Untuk mencegah timbulnya masalah gangguan jiwa pascagempa dan tsunami telah dilakukan pelatihan konseling untuk tenaga kesehatan di daerah ini. Selain itu dilakukan pula pengiriman tenaga kesehatan (ahli jiwa) secara berkala yang diikuti dengan deteksi dini kelainan kejiwaan masyarakat dan pengobatan di sarana pelayanan kesehatan.
6)
Penanggulangan Bencana Alam Gempa Bumi di DIY dan Jawa Tengah
Upaya yang telah dilakukan dalam penanggulangan bencana alam gempa bumi antara lain: 1)
Melakukan evakuasi korban bencana.
2)
Mengoperasikan pos pelayanan kesehatan di 163 lokasi di Kabupaten Bantul, 1 lokasi di Kabupaten Boyolali, dan 4 lokasi di Kabupaten Klaten dengan petugas medis di setiap lokasi.
28 - 18
3)
Memberikan pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta, Rumah Sakit Lapangan dan Pos Kesehatan.
4)
Korban gempa yang telah dioperasi di rumah sakit dan Rumah Sakit Lapangan sebanyak 4.809 pasien.
5)
Pengiriman Tim Rapid Assesment Rapid Assesment untuk kebutuhan Departemen Kesehatan bekerja Kedokteran Universitas Indonesia Klaten.
6)
Pengiriman obat-obatan injeksi ke RS Sardjito.
7)
Pengiriman perawat mahir sebanyak 41 orang, dan perawat sebanyak 33 orang.
8)
Pengiriman kursi roda sebanyak 30 buah.
9)
Penyemprotan lalat dan nyamuk, pengambilan sempel air dan sosialisasi desinfeksi dengan kaporit di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman dilakukan oleh Balai Teknis Kesehatan Lingkungan (BTKL) dan Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (P2PM) Yogyakarta. Selain itu sedang disusun rencana rehabilitasi dan rekonstruksi sarana pelayanan kesehatan yang mengalami kerusakan akibat bencana tersebut.
7)
Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Masyarakat
Mental Health dan Tim pelayanan kesehatan dari sama dengan Fakultas (FK UI) di Bantul dan
Telah dilakukan upaya untuk menumbuhkankembangkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) melalui perwujudan “Desa Siaga” menuju desa sehat. Pengembangan Desa Siaga (DSS) melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) utamanya PKK, organisasi keagamaan, dan sektor swasta. Pada akhir tahun 2006 diharapkan akan terwujud Desa Siaga sebanyak 12.000 desa. Wujud keberhasilan Desa Siaga ditandai antara lain dengan berkembangnya perilaku hidup bersih dan sehat, serta dikembangkan dan dioperasikannya UKBM yang mampu memberikan pelayanan promotif, preventif, kuratif,
28 - 19
keluarga berencana, perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan, gizi dan penanganan kedaruratan kesehatan. 8)
Pengawasan Obat dan Makanan
Pada tahun 2005 telah dilakukan perlindungan resiko produk obat, obat tradisional, makanan kosmetik, produk komplemen dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT) yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan khasiat. Dalam upaya penanggulangan narkotika dan psikotropika telah dilakukan pengujian laboratorium terhadap 3.001 sampel barang bukti yang diduga/dicurigai sebagai narkotika atai psikotropika. Selain itu telah dilakukan peningkatan jaminan mutu dan obat melalui sosialisasi standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) kepada industri farmasi agar memiliki standar internasional dan kompetitif di pasar. Inspeksi terhadap 1.081 Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan 3.367 apotek juga dilakukan terkait dengan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), dimana hasil audit menunjukan sekitar 51,6 persen PBF masih melakukan pelanggaran terhadap ketentuan CDOB. Pengawasan obat tradisonal (OT) dilakukan dengan inspeksi/audit terhadap 448 sarana produksi OT, dengan hasil menunjukan sekitar 154 (31 persen) industri obat tradisonal sudah memenuhi persyaratan cara produksi obat tradisional yang baik (CPOBT), dan sekitar 68,4 persen masih memerlukan pembinaan.
III.
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Memperhatikan berbagai permasalahan di bidang kesehatan, langkah kebijakan yang dilakukan, dan hasil-hasil yang telah dicapai, maka rencana tindak lanjut yang diperlukan difokuskan pada : 1)
Peningkatan aksesibilitas, pemerataan, keterjangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan terutama bagi masyarakat miskin, melalui kegiatan prioritas yaitu: pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah sakit, pelayanan kesehatan peduduk miskin di Puskesmas dan jaringannya, dan peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar.
28 - 20
2)
Pencegahan dan pemberantasan penyakit terutama penyakit menular dan wabah, melalui kegiatan prioritas yaitu: pencegahan dan penganggulangan penyakit menular termasuk flu burung serta peningkatan cakupan imunisasi.
3)
Penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil, bayi dan anak balita, melalui kegiatan prioritas yaitu: peningkatan pendidikan gizi masyarakat dan penanggulangan kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), kurang vitamin A dan kekurangan gizi mikro lainnya.
4)
Upaya untuk menumbuhkankembangkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) terus dilanjutkan melalui perwujudan “Desa Siaga” menuju Desa Sehat. Pengembangan Desa Siaga ini akan terus diperkuat dengan melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) utamanya PKK, organisasi keagamaan, dan sektor swasta.
5)
Peningkatan ketersedian obat generik esensial, pengawasan obat, makanan dan keamanan pangan, melalui kegiatan prioritas yaitu: pengujian laboratorium sampel obat, obat tradisional, kosmetika, produk komplemen, makanan dan perbekalan kesehatan rumah tangga (PKRT); pemeriksaan sarana produksi dan distribusi obat, obat generik, kosmetika, produk komplemen, makanan dan PKRT dalam rangka cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan cara distribusi obat yang baik (CDOB); peningkatan sarana dan prasarana; dan peningkatan ketersediaan obat dan perbekalan kesehatan.
28 - 21