BAB 2 TINJAUAN TEORI SISTEM TRANSPORTASI
Bab ini berisi landasan teori mengenai transportasi secara umum dan penjelasan mengenai moda angkutan darat, khususnya kereta api. Dibahas pula mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan moda dan penjelasan mengenai metode-metode yang digunakan.
2.1
Sistem Transportasi dan Pendekatan Perencanaan Transportasi Transportasi
merupakan
aktivitas
pemindahan
barang
maupun
penumpang dari satu tempat ke tempat lainnya (Salim, 2004). Transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand), bukan sebagai tujuan akhir. Pergerakan timbul karena adanya kebutuhan akan barang dan jasa yang tidak bisa dipenuhi di tempat kita berada. Sistem transportasi meliputi beberapa sistem yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Sistem-sistem yang membentuk sistem transportasi antara lain sistem pergerakan, sistem jaringan, dan sistem aktivitas. Selain itu, terdapat pula sistem kelembagaan yang berfungsi sebagai penunjang dan yang mempengaruhi hubungan berbagai sistem tersebut. Sistem kelembagaan ini dituangkan dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan (Fadiah, 2003). Keseluruhan komponen tersebut juga dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan yang meliputi aspek fisik, ekonomi, sosial budaya, dan teknologi dimana sistem transportasi tersebut berada. Lingkup perwilayahan yang meliputi wilayah kota, regional, nasional, dan internasional juga berpengaruh besar terhadap sistem transportasi (Kusbiantoro, 1996 dalam Fadiah, 2003) Secara singkat, sistem pergerakan (traffic flow) dapat dijelaskan sebagai sistem yang muncul akibat dari adanya aktivitas dan didukung oleh ketersediaan fasilitas dan infrastruktur yang berupa sistem jaringan. Menurut Kusbiantoro, dkk (1996), sistem pergerakan terkait dengan besarnya volume pergerakan, maksud pergerakan, asal dan tujuan, waktu pergerakan, jarak, kecepatan, frekuensi pergerakan, dan moda yang digunakan. Sistem kegiatan merupakan perwujudan dari ruang dan isinya, terutama manusia dengan segala aktivitasnya yang dilakukan di suatu guna lahan (Zacky,
13
2005). Untuk memenuhi kebutuhan dan menunjang aktivitasnya tersebut, manusia membutuhkan perjalanan dengan menggunakan sistem transportasi. Makin tinggi kuantitas dan kualitas penduduk di suatu wilayah dengan kegiatannya, makin tinggi pula pergerakan yang dihasilkan, baik dari segi jumlah (volume), frekuensi, jarak, moda, maupun tingkat pemusatan temporal dan atau spasial (Kusbiantoro dkk., 2005). Sistem jaringan merupakan sarana dan prasarana transportasi yang mendukung terjadinya sistem pergerakan. Sistem jaringan meliputi jaringan infrastruktur, antara lain jalan raya, rel kereta api, terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara; serta pelayanan transportasi yang meliputi pelayanan angkutan umum, angkutan paratransit, dan berbagai moda transportasi lainnya. Semakin tinggi kuantitas dan kualitas jaringan infrastruktur serta pelayanan transportasi, maka makin tinggi pula kualitas dan kuantitas pergerakan yang dihasilkan (Kusbiantoro dkk., 2005). Sistem kelembagaan yang berkaitan dengan sistem transportasi meliputi aspek legal (kesesuaian UU, Peraturan Pemerintah, RTRW, maupun kebijakan insentif dan disinsentif dalam penyelenggaraan transportasi), aspek organisasi (kesiapan
organisasi
pemerintah,
masyarakat,
maupun
swasta
dalam
penyelenggaraan transportasi termasuk kejelasan pembagian tugas dan koordinasi antarorganisasi), aspek sumberdaya manusia (merupakan kesiapan sumberdaya manusia yang terdiri dari operator, user, non-user, regulator, dan sebagainya dalam penyelenggaraan transportasi), serta aspek keuangan. Keterkaitan antara sistem jaringan, pergerakan, dan aktivitas dalam sistem transportasi dapat dinyatakan dengan makin tinggi kualitas dan kuantitas sistem kegiatan dan sistem jaringan, makin tinggi pula kuantitas dan kualitas pergerakan yang dihasilkan. Sementara itu, bila kualitas dan kuantitas pergerakan di suatu wilayah semakin meningkat, maka dampak lain yang ditimbulkan terhadap sistem kegiatan dan sistem kegiatan juga akan meningkat (Kusbiantoro dkk., 2004). Dampak baru terhadap sistem kegiatan antara lain tumbuhnya guna lahan baru dan peningkatan nilai lahan di sepanjang jaringan jalan baru maupun jalan lama yang mengalami peningkatan kualitas. Sedangkan dampak baru terhadap sistem jaringan sehubungan dengan meningkatnya sistem pergerakan adalah berkurangnya tingkat pelayanan, misalnya timbulnya
14
kemacetan dan kerusakan jalan akibat intensitas pergerakan kendaraan yang cukup tinggi.
Gambar 2.1 Sistem Transportasi
Sumber : Kusbiantoro, 1996
Untuk
mengatasi
permasalahan
yang
mungkin
timbul
akibat
meningkatnya aktivitas dan pergerakan manusia maupun barang, maka dibutuhkan suatu perencanaan sistem transportasi. Perencanaan transportasi merupakan proses yang bertujuan mengembangkan suatu sistem yang memungkinkan manusia dan barang bergerak atau berpindah tempat dengan aman dan murah (Pignataro, 1973 dalam Tamin, 1997). Selain aman dan murah, disebutkan pula bahwa transportasi harus cepat dan nyaman, terutama bila digunakan untuk mengangkut manusia (Tamin, 1997). Kajian perencanaan transportasi memiliki ciri dasar yang berbeda dengan bidang kajian lain. Hal ini disebabkan karena kajian perencanaan transportasi memiliki objek yang cukup luas dan beragam serta melibatkan aspek yang beragam. Ciri dasar kajian perencanaan transportasi ditandai dengan adanya multimoda, multidisiplin, multisektoral, dan multimasalah (Tamin, 1997). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu ciri dasar perencanaan
transportasi
adalah
adanya
jaringan
multimoda.
Hal
ini
membuktikan bahwa kajian perencanaan transportasi selalu melibatkan lebih dari satu moda transportasi. Transportasi intermoda adalah pengangkutan barang atau penumpang dari tempat asal ke tempat tujuan dengan menggunakan lebih dari satu moda transportasi tanpa terputus dalam hal biaya, pengurusan
15
administrasi, dokumentasi, dan adanya satu pihak yang bertanggung jawab sebagai pengangkut. Pelayanan transportasi intermoda kadang disebut juga pelayanan dari pintu ke pintu (door to door service) (Abbas Salim, 1993). Dalam transportasi intermoda ada tiga aspek yang perlu diperhatikan, antara lain: 1. Aspek teknis Harus adanya hubungan tiap moda dengan fasilitas yang digunakan untuk menangani jenis barang atau kemasa yang dibawa secara teknis. 2. Aspek dokumentasi (file) Dalam transportasi intermoda hanya terdapat satu macam dokumen pengangkutan yaitu yang dikeluarkan oleh pihak yang bertindak sebagai operator (intermoda transportation operator). 3. Aspek tanggung jawab (liability) Dalam pelaksanaan intermoda transportation hanya ada satu pihak yang bertanggungjawab terhadap terselenggaranya transportasi. Peningkatan kebutuhan transportasi intemoda antara lain disebabkan oleh pendeknya jangka waktu yang dibutuhkan karena pelaku perjalanan tidak perlu mengurus dokumen perjalanan seperti tiket dan sebagainya untuk berganti moda, rendahnya biaya transportasi secara total, dan terkendalinya biaya, keselamatan, serta kepastian jadwal pelaksananan angkutan dari satu moda ke moda lainnya (keandalan moda transportasi).
2.2
Karakteristik Perangkutan Darat Di Indonesia, sistem perangkutan darat lebih sering diartikan sebagai
perangkutan yang menggunakan prasarana jalan raya. Padahal, selain perangkutan menggunakan jalan raya, lingkup dari sistem perangkutan darat juga mencakup perangkutan dengan menggunakan jalan rel (Dewi, 2005). Definisi lain mengemukakan bahwa secara keseluruhan, perangkutan darat mencakup lingkup yang lebih luas, yakni angkutan yang menggunakan prasarana jalan raya, jalan rel (kereta api, monorel, trem), kabel (angkutan gantung - biasanya untuk kawasan wisata di pegunungan), dan angkutan pipa (Warpani, 1990). Angkutan yang menggunakan pipa digunakan khusus untuk mendistribusikan barang cair, seperti BBM, air, atau gas.
16
Sementara itu, perangkutan darat di Indonesia dibagi ke dalam tiga bagian, yakni angkutan jalan raya, angkutan jalan rel, serta angkutan sungai, danau, dan penyeberangan (ASDP) (Salim, 1993). Masing-masing angkutan dalam sistem perangkutan darat tersebut memiliki fungsi dan peran yang berbeda, namun masih memiliki satu tujuan yang kurang lebih sama, yakni menyediakan jasa transportasi sesuai kebutuhan masyarakat dan memberikan pelayanan keselamatan, kenyamanan, serta keamanan dalam perjalanan (Salim, 1993). Perangkutan darat merupakan sistem yang paling mendominasi dalam angkutan perkotaan. Sistem angkutan umum perkotaan, yang merupakan bagian dari perangkutan darat, dibagi kedalam dua subsistem dengan beberapa jenis moda angkutan massal (Grava, 2003 dalam Nurlela, 2006), yakni subsistem berbasis jalan raya dengan moda bus konvensional maupun bus rapid transit (busway dan high occupancy rate) dan subsistem berbasis jalan rel dengan moda kereta api (light rail transit (LRT), monorail, metro/heavy rail transit/subway, dan commuter rail). Kedua
sistem
transportasi
darat
tersebut
memiliki
perbedaan
karakteristik yang menunjukkan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Perbedaan karakteristik keduanya dapat dilihat pada tabel II.1 berikut.
Tabel II.1 Perbedaan Karakteristik Angkutan Jalan Raya dan Jalan Rel No
Karakteristik
1
Kecepatan
2
Pelayanan
3
Jenis lalu lintas angkutan
4
Keandalan jadwal
5
Teknologi
6 7 8 9
Keluwesan rute Ketersediaan Penggunaan energi Penggunaan ruang
Moda Angkutan Angkutan Jalan Raya Bergantung pada volume lalu lintas dan kondisi jalan Pintu ke pintu, mobilitas tinggi Beragam, mulai dari pejalan sampai truk Tergantung faktor luar, fleksibel Sedang dan menyesuaikan keadaan Fleksibel Lebih mudah diperoleh Tinggi Kurang efisien
17
Angkutan Jalan Rel Relatif lebih tinggi karena bebas hambatan samping Perlu moda pengumpan (feeder), mobilitas rendah Hanya untuk kereta api Tinggi, terikat jadwal Tinggi Kaku, terikat jalur Relatif lebih sukar diperoleh Rendah Lebih efisien
No
Karakteristik
Moda Angkutan Angkutan Jalan Raya Lebih menguntungkan untuk operasi jarak pendek dengan volume penumpang/barang yang diangkut sedikit Tinggi Biaya pemeliharaan lebih rendah Kapasitas lebih kecil
10
Biaya
11
Tingkat Polusi
12
Pemeliharaan
13
Kapasitas
14
Perpindahan ke jalur lain
Lebih mudah dan leluasa
15
Klasifikasi fungsi
Melayani aktivitas perkotaan, pedesaan maupun antarkota
Angkutan Jalan Rel Ekonomis untuk jarak dekat (komuter), sedang, maupun jauh dengan volume penumpang/barang yang diangkut tinggi Rendah Biaya pemeliharaan lebih tinggi Angkutan Massal Harus melalui konstruksi khusus (wessel) dan prosedur tertentu Di beberapa negara, angkutan KA dititikberatkan pada pelayanan sosial karena rute tidak ekonomis
Sumber : Dewi (2005), Judiantono dan Budiyono (2007)
2.2.1 Moda Angkutan Kereta Api Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 1998 tentang Prasarana dan Sarana Kereta Api, yang dimaksud dengan kereta api merupakan suatu kendaraan dengan tenaga gerak, yang berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan kendaraan lainnya, yang akan maupun sedang bergerak di atas rel. Badan penyelenggara yang melaksanakan penyelenggaraan kereta api di Indonesia saat ini adalah PT. Kereta Api (Persero). Namun sejak diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, semua pihak, baik investor swasta maupun pemerintah daerah dapat melaksanakan penyelenggaraan angkutan kereta api. Sistem perkeretaapian membutuhkan sarana dan prasarana khusus untuk pengoperasiannya. Prasarana kereta api terdiri dari jalur kereta api (rel, termasuk wessel), stasiun kereta api beserta fasilitas sesuai dengan tingkatan kelasnya, serta fasilitas operasi kereta api, seperti sistem persinyalan dan fasilitas perawatan sarana KA (dipo). Sedangkan sarana kereta api terdiri dari lokomotif, kereta, gerbong, dan peralatan khusus lainnya. Lokomotif merupakan sarana yang memiliki tenaga penggerak sendiri dan digunakan untuk menarik atau mendorong kereta, gerbong, maupun peralatan khusus. Kereta adalah sarana perkeretaapian yang ditarik lokomotif atau memiliki tenaga penggerak
18
sendiri dan berfungsi untuk mengangkut orang. Sementara itu, gerbong merupakan sarana perkeretaapian yang ditarik oleh lokomotif dan berfungsi untuk mengangkut barang. Sedangkan peralatan khusus merupakan sarana perkeretaapian yang ditarik oleh lokomotif dan bukan difungsikan untuk mengangkut orang maupun barang, melainkan digunakan untuk keperluan khusus, seperti lori, gerbong penolong, derek (crane), kereta ukur, dan kereta pemeliharaan jalan rel. Menurut UU No. 23 Tahun 2007, jenis-jenis kereta api terdiri atas: a. Kereta api kecepatan normal, yakni kereta api yang memiliki kecepatan maksimum dibawah 200 km/jam. Seluruh kereta api di Indonesia, baik penumpang maupun barang merupakan kereta api dengan kecepatan normal yang memiliki kecepatan maksimum rata-rata 100-120 km/jam. b. Kereta api kecepatan tinggi, yakni kereta api yang memiliki kecepatan maksimum diatas 200 km/jam. Kereta api ini pada umumnya memiliki teknologi tinggi dan dimiliki oleh negara-negara maju karena investasinya yang cukup besar. Contohnya adalah Shinkansen di Jepang dan TGV di Perancis. c. Kereta api monorel, yakni kereta api yang bergerak pada satu rel. Kereta api jenis ini merupakan kereta jenis ringan yang biasa digunakan sebagai angkutan umum massal dalam kota. Monorel juga memiliki beberapa tipe, antara lain monorail straddle, monorel gantung, dan sebagainya. d. Kereta api motor induksi linear, yakni kereta api yang menggunakan penggerak motor induksi linear dengan stator pada jalan rel dan rotor pada sarana perkeretaapian. e. Kereta api gerak udara, yakni kereta api yang bergerak dengan menggunakan tekanan udara. f.
Kereta api levitasi magnetik, yakni kereta api yang digerakkan dengan tenaga magnetik sehingga pada waktu bergerak tidak ada gesekan antara sarana perkeretaapian dengan jalan rel. Kereta yang biasa disebut dengan maglev ini juga termasuk kereta api dengan kecepatan tinggi.
g. Trem, yakni kereta api yang bergerak diatas jalan rel yang sebidang dengan jalan, dan biasanya digerakkan dengan tenaga listrik. h. Kereta gantung, yakni kereta yang bergerak dengan cara menggantung pada tali baja. Jenis transportasi ini lebih banyak digunakan di tempat-tempat
19
wisata sebagai fasilitas penunjang kepariwisataan. Menurut Warpani (1990), kereta gantung ini diklasifikasikan sendiri kedalam sarana angkutan darat yang menggunakan prasarana kabel. Peran dari moda angkutan kereta api sudah seharusnya terus ditingkatkan dalam sistem transportasi regional maupun nasional, karena moda ini memiliki beberapa keunggulan yang kompetitif dibandingkan moda angkutan lainnya. Keunggulan moda angkutan kereta api antara lain (Transkod, 1998 dalam Sari, 1999): 1. Mampu mengangkut muatan dalam jumlah besar (massal) 2. Hemat energi 3. Hemat
lahan
dan
konstruksinya
tidak
menutup
tanah
sehingga
memungkinkan air untuk dapat tetap meresap ke dalam tanah 4. Berjarak jangkau pelayanan fleksibel (komuter, dekat, sedang, jauh). 5. Tidak polutif 6. Keandalan keselamatan dalam pengoperasiannya 7. Akomodatif terhadap pengembangan kapasitas angkut 8. Jaringannya mampu menembus pusat kota 9. Akomodatif terhadap perkembangan teknologi 10. Andal terhadap perubahan iklim dan keadaan alam setempat 11. Kompetitif terhadap moda lainnya dari segi efisiensinya 12. Tingkat keamanan, keselamatan, dan kenyamanan relatif lebih tinggi Walaupun memiliki berbagai keunggulan, namun kereta api juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain: 1. Keterikatan operasi pada sistem jalur tetap Kereta api berjalan mengikuti jalur rel yang ada dan tidak dapat keluar jalur. Oleh sebab itu, diperlukan sistem pengoperasian yang cukup rumit dengan komunikasi antara masinis dengan pengatur perjalanan yang harus terus berjalan. Apabila terdapat kesalahan pada pengaturan perjalanan, maka bukan tidak mungkin akan terjadi kecelakaan fatal. 2. Biaya perawatan cukup tinggi Biaya perawatan kereta api tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan biaya perawatan moda transportasi darat lainnya. Selain perawatan sarana
20
perkeretaapian seperti lokomotif, kereta, dan gerbong, prasarana kereta api seperti jalur rel, jembatan, terowongan, dan sistem persinyalan juga memerlukan perawatan dengan biaya yang tidak sedikit. 3. Dalam waktu singkat tidak adaptif terhadap teknologi baru Perubahan cepat di bidang teknologi relatif tidak mengubah teknologi di bidang perkeretaapian karena tingginya investasi. 4. Tidak bersifat door-to-door service Kereta api hanya dapat menaikkan dan menurunkan penumpang di stasiun atau perhentian yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu setiap penumpang kereta api harus menuju stasiun untuk menggunakan moda transportasi ini. Hal tersebut tentu mengurangi kenyamanan karena cenderung mempersulit dan tidak efisien. Untuk mengantisipasinya diperlukan suatu sistem transportasi yang terpadu dan berfungsi sebagai feeder bagi angkutan kereta api.
2.2.2 Kereta Api sebagai Angkutan Akses Bandara (Airport Rail Link) Penyelenggaraan sistem transportasi rel untuk akses menuju bandara berawal dari pembangunan bandara yang berada jauh di luar kota karena pertimbangan keselamatan operasional penerbangan. Hal tersebut terkadang menyebabkan waktu tempuh perjalanan penumpang pesawat justru lebih lama di darat daripada perjalanan udara itu sendiri. Oleh sebab itu diperlukan moda transportasi yang menghubungkan pusat kota dengan bandara dengan cepat, aman, nyaman, dan memberikan berbagai kemudahan aksesibilitas, yakni kereta bandara (airport rail link). Airport Rail Link adalah kereta penumpang yang menghubungkan antara bandara dengan pusat kota yang dilayani oleh bandara tersebut. Biasanya stasiun kereta bandara juga menyediakan layanan perhubungan dengan kota lainnya dalam suatu wilayah yang masih menjadi jangkauan pelayanan bandara tersebut. Maksud dan tujuan dari pembangunan jalur kereta bandara antara lain adalah untuk mereduksi kemacetan jalan penghubung antara kota dengan bandara, mengurangi beban area parkir di kawasan bandara, mendorong penggunaan sarana transportasi umum, meningkatkan aksesibilitas dari bandara ke pusat kota maupun sebaliknya, dan sebagai pemenarik bagi wisatawan yang berkunjung.
21
Dengan sistem transportasi seperti ini, aktivitas check in dan cek bagasi untuk penerbangan sangat mungkin dilakukan stasiun kereta sebelum berangkat ke bandara. Jadi, penumpang pesawat dapat melakukan cek bagasi dan check in penerbangan di stasiun pusat kota sebelum berangkat ke bandara dengan menggunakan layanan kereta api. Tipe-tipe koneksi antara pusat kota dengan bandara yang menggunakan moda transportasi kereta api antara lain (wikipedia, 2007) : 1. One seat ride via main line train Tipe ini merupakan bentuk layanan yang menghubungkan antara bandara dengan pusat kota dengan menggunakan kereta secara langsung (direct), tanpa berganti kereta ataupun tanpa perhentian di antara stasiun asal dan tujuan (ekspres). Sarana yang digunakan adalah heavy rail yang biasanya digerakkan
dengan
tenaga
listrik,
sedangkan
jalur
yang
digunakan
merupakan jalur utama. Di Asia, bentuk koneksi ini diterapkan pada Narita Express di Tokyo Narita International Airport dan KLIA Express di KLIA. 2. One seat ride via local public transport Selain kereta ekspres, beberapa kota juga menyedikan layanan transportasi ke bandara dengan menggunakan metro atau light rail system. Tidak seperti kereta ekspres yang digunakan pada sistem one seat ride via main line train, pengoperasian LRT ini tidak berjalan langsung dari stasiun awal ke tujuan, namun berhenti di beberapa stasiun dan perhentian. Di beberapa bandara, seperti O’Hare di Chicago dan Hartfield-Jackson di Atlanta, LRT hanya berhenti di satu terminal bandara. Untuk menuju terminal lainnya, penumpang harus berganti moda ke alat transportasi internal bandara. 3. Rail to airport people mover Merupakan gabungan antara one seat ride via main line train dan one seat ride via local public transport, yaitu kereta ekspres yang langsung terhubung ke sebuah stasiun di kawasan bandara, namun tidak ke terminal bandara. Dari stasiun kereta di dalam kawasan bandara tersebut, penumpang beralih ke people mover atau kereta ringan menuju terminal. Sistem yang sama dapat juga melayani penumpang berpindah antara satu terminal ke terminal lainnya atau dari dan ke area parkir. Beberapa bandara yang menggunakan sistem ini antara lain Paris Orly Airport dengan Orlyval, dan JFK International Airport-New York dengan AirTrain JFK.
22
4. Rail to bus to airport Sistem transportasi bandara lainnya adalah rail to bus to airport. Dalam sistem ini kereta mengantar penumpang dari pusat kota ke sebuah stasiun yang dekat dengan batas kawasan bandara, kemudian penumpang berganti moda dengan bus ke dalam area terminal bandara. Contoh penerapannya berada di Oakland International Airport via AirBART dan BART, serta Los Angeles International Airport dengan Metro Green Line atau Amtrak California dan shuttle bus.
2.2.3 Contoh Airport Rail Link : KLIA Express dan KLIA Transit Perusahaan yang diberi kepercayaan mengelola sistem kereta bandara di Malaysia adalah Express Rail Link Sdn Bhd., sebuah perusahaan patungan dari tiga perusahaan swasta yang telah diberikan mandat oleh pemerintah kerajaan
Malaysia
untuk
membiayai,
mengelola,
mengendalikan,
dan
mengevaluasi sistem penyelenggaraan transportasi rel yang menghubungkan KLIA dengan Kuala Lumpur. KLIA Ekspres mulai beroperasi secara resmi pada tanggal 14 April 2002, menghubungkan kota Kuala Lumpur dengan Kuala Lumpur International Airport tanpa henti. Kereta ini beroperasi mulai pukul 05.00 sampai 00.00 dengan frekuensi setiap 15 menit sekali. Waktu perjalanannya yang relatif singkat dan cepat, hanya 28 menit, menjadikan moda transportasi ini sebagai pilihan utama bagi para penumpang yang akan menuju atau dari KLIA. Pangsa pasar moda transportasi ini adalah pekerja maskapai penerbangan yang bekerja di KLIA namun berdomisili di KL, wisatawan, maupun para pelaku bisnis, baik dalam maupun luar negeri. KLIA Ekspres beroperasi dengan menggunakan delapan buah kereta bertenaga listrik (Electric Multiple Unit – EMU) buatan Jerman. Kereta yang mempu melaju sampai kecepatan 170 km per jam ini juga dilengkapi dengan fasilitas, pengatur suhu udara (AC), toilet, ruang khusus baggage check in dan penyimpanan bagasi. Setiap unit kereta mampu menampung hingga 156 orang penumpang dalam satu kali perjalanan. Daya tampung dalam satu trip dapat ditingkatkan sampai 300 penumpang pada saat peak hour. Untuk menjamin keamanan penumpangnya, pintu keluar masuk kereta dibuka tutup secara otomatis dan diatur dari kabin masinis.
23
Gambar 2.2 Interior dan Eksterior KLIA Express
Sumber : Kereta Tanah Melayu Berhad Fans Club (KTMBFC), 2006
Selain KLIA Ekspres, Express Rail Link Sdn Bhd juga mengoperasikan KLIA Transit dengan rute yang sama. KLIA Transit adalah layanan moda transportasi cepat yang didesain khusus untuk para pelaju atau komuter dan pekerja di kawasan Bandara Internasional Kuala Lumpur. KLIA Transit resmi beroperasi sejak bulan Juni 2002, dua bulan setelah KLIA Ekspres beroperasi. Bila KLIA Ekspres melayani perjalanan langsung dari pusat kota Kuala Lumpur ke KLIA tanpa henti, maka KLIA Transit melayani rute yang sama namun dengan berhenti di beberapa stasiun dan perhentian antara lain Bandar Tasik Selatan, Putrajaya & Cyberjaya, dan Salak Tinggi. Sistem pengoperasiannya yang berhenti di tiap stasiun bukan menjadi sebuah kelemahan, namun itu justru membuat KLIA Transit menjadi moda yang dapat diandalkan oleh masyarakat di kawasan-kawasan tersebut untuk menuju ke pusat kota ataupun ke bandara dengan mudah dan cepat. Oleh sebab itu, pangsa pasar kereta ini tidak terbatas pada penumpang pesawat atau wisatawan saja, namun juga para komuter yang bekerja di Kuala Lumpur atau bandara namun berdomisili di sekitar Putrajaya maupun sebaliknya. KLIA Transit juga terintegrasi dengan jaringan kereta dalam kota, yakni KTM Komuter dan STAR LRT di stasiun Bandar Tasik Selatan, serta terkoneksi dengan Putrajaya Monorail di stasiun Putrajaya’s Western Transport Terminal. Hal tersebut juga merupakan salah satu keunggulan dari KLIA Transit karena penumpang dapat berganti moda dengan mudah untuk menuju ke seluruh bagian kota.
24
2.3
Pemilihan Moda dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya Pemilihan moda (modal split) dapat didefinisikan sebagai pembagian
secara seimbang/proporsional jumlah seluruh pelaku perjalanan kedalam berbagai metode perjalanan atau moda transportasi (Bruton, 1985 dalam Sihombing, 1990). Pada dasarnya, pemilihan moda angkutan oleh pelaku perjalanan merupakan akibat dari adanya transaksi antara kegiatan penyediaan dan permintaan (Kanafani, 1983). Beberapa pendapat menyatakan bahwa sampai saat ini, pemilihan moda transportasi merupakan tahap terpenting sekaligus menjadi tahap tersulit dalam perencanaan transportasi (Dewi, 2005). Pemilihan moda transportasi oleh masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain karakteristik pergerakan, karakteristik pelaku perjalanan, dan karakteristik sistem perangkutan (Bruton, 1975 dalam Warpani, 1990). Dalam memilih moda angkutan, masyarakat akan menilai aribut pelayanan moda yang ditawarkan namun tetap sesuai dengan kondisi sosial ekonominya. Selain itu, dalam memutuskan suatu pilihan moda angkutan, pelaku perjalanan juga dipengaruhi oleh dorongan yang bersifat situasional dan bersifat pribadi. Yang dimaksud dengan dorongan bersifat situasional adalah faktor lingkungan pada saat pelayanan transportasi diberikan serta tingkat pelayanan moda transportasi tersebut. Sedangkan dorongan bersifat pribadi sangat dipengaruhi oleh gaya hidup maupun status sosial masyarakat yang sulit untuk dikuantitatifkan (Manheim, 1979). Beberapa contoh studi mengenai pola pemilihan moda dan sensitivitas masyarakat terhadap atribut layanan moda antara lain studi yang dilakukan oleh Siahaan (1986) yang menyatakan bahwa untuk menarik golongan masyarakat berpendapatan menengah-rendah agar menggunakan sarana transportasi umum, maka perlu dilakukan peningkatan atribut pelayanan moda. Tidak sama dengan halnya bagi pengguna kendaraan pribadi. Bagi pengguna kendaraan pribadi,
perbaikan
tingkat
pelayanan
moda
transportasi
tidak
terlalu
mempengaruhi perpindahan moda. Perpindahan moda dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum harus dilaksanakan dengan cara meningkatkan pelayanan kendaraan umum sekaligus memberi tekanan atau “paksaan” kepada pengguna kendaraan pribadi. Misalnya, pembangunan sistem angkutan umum massal yang nyaman
dan
cepat,
dibarengi
dengan
25
kebijakan kenaikan
tarif
parkir.
Pembatasan kendaraan pribadi semacam ini lebih dikenal dengan istilah travel demand management (TDM). Pemilihan moda transportasi di Indonesia dibedakan ke dalam dua jenis moda pokok, yakni kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Kendaraan umum (bermotor) dibedakan menjadi kendaraan jalan raya dan jalan rel, sedangkan kendaraan pribadi (bermotor) terdiri dari mobil pribadi dan sepeda motor. Masyarakat
Indonesia
cenderung
lebih
menyukai
bepergian
dengan
menggunakan kendaraan pribadi karena berbagai sebab, antara lain karena kendaraan umum di Indonesia dianggap masih jauh dari kenyamanan, keamanan, dan diragukan ketepatan waktunya. Selain itu, penggunaan kendaraan pribadi juga masih dianggap memiliki status sosial yang lebih tinggi dan guna memenuhi gaya hidup masyarakat masa kini.
Gambar 2.3 Pola Pemilihan Moda Transportasi di Indonesia
Sumber : Tamin, 1997
26
2.4
Tingkat Pelayanan Moda Transportasi Tingkat pelayanan (level of service) moda transportasi merupakan salah
satu faktor penting bersifat situasional yang mempengaruhi pemilihan moda oleh pelaku perjalanan. Faktor bersifat situasional ini disebut juga faktor internal karena dipengaruhi secara langsung oleh pemberi jasa angkutan. Lain halnya dengan faktor lingkungan yang disebut juga dengan faktor eksternal. Faktor eksternal atau lingkungan berada di luar kendali penyedia jasa angkutan. Tingkat
pelayanan
moda
yang
mempengaruhi
pemilihan
moda
transportasi bagi pelaku perjalanan meliputi: a. Atribut pelayanan biaya perjalanan Atribut biaya perjalanan meliputi seluruh ongkos yang dikeluarkan oleh pelaku perjalanan seperti biaya bahan bakar, biaya parkir, biaya tol, dan biaya perawatan kendaraan bagi pengguna kendaraan pribadi. Sedangkan bagi pengguna kendaraan umum, ongkos yang dikeluarkan antara lain tarif moda angkutan, dan biaya angkutan pengumpan (feeder) dari tempat asal ke pangkalan/terminal angkutan. b. Atribut pelayanan waktu perjalanan Atribut waktu perjalanan terdiri dari waktu tempuh primer (in-vehicle travel time) dan waktu tempuh sekunder (out-of-vehicle travel time). Waktu tempuh primer merupakan waktu yang dibutuhkan selama pelaku perjalanan berada dalam kendaraan. Waktu tempuh primer ini sangat bergantung pada kecepatan
rata-rata
kendaraan
dan
ada
tidaknya
perjalanan. Sedangkan waktu tempuh sekunder
hambatan
dalam
merupakan waktu yang
dibutuhkan pelaku perjalanan diluar kendaraan, misalnya waktu memarkir kendaraan, waktu tempuh dari lokasi awal ke tempat memperoleh kendaraan umum dan sebaliknya, serta waktu tunggu kendaraan umum. c. Atribut pelayanan kemudahan Atribut pelayanan ini meliputi kemudahan pelaku perjalanan dalam mengakses terminal atau lokasi keberangkatan dan kedatangan moda serta kemudahan
dalam
memperoleh
pelayanan
angkutan.
Kemudahan
mengakses terminal/moda angkutan utama dipengaruhi oleh aksesibilitas lokasi terminal tersebut dan ada tidaknya angkutan pengumpan. Sedangkan kemudahan mendapatkan pelayanan angkutan umum dipengaruhi oleh tingkat keterisian moda dan frekuensi keberangkatan.
27
d. Atribut pelayanan kenyamanan Atribut pelayanan kenyamanan meliputi kenyamanan yang dilihat secara fisik dan psikis. Atribut ini sulit untuk diukur karena menyangkut unsur subjektivitas.
Namun,
atribut
pelayanan
kenyamanan
dalam
moda
transportasi minimal adalah ketersediaan tempat duduk. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat keterisian dan frekuensi keberangkatan. Menurut Schumer (1974, dalam Fadiah, 2003), secara lebih rinci atributatribut tingkat pelayanan pada sistem transportasi yang efisien dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Kecepatan; merupakan periode waktu yang dilalui oleh pengguna jasa dalam melakukan perjalanan dari titik awal sejak memulai perjalanan hingga tiba di tempat tujuan. 2. Keselamatan dan keamanan. Yang dimaksud keselamatan adalah terhindarnya perjalanan dari kecelakaan yang disebabkan oleh faktor internal. Sedangkan keamanan adalah terhindarnya perjalanan dari gangguan-gangguan bersifat eksternal, baik gangguan alam maupun ulah manusia 3. Kapasitas; merupakan kesediaan sarana dengan kapasitas yang memadai untuk setiap permintaan yang dapat diterima. 4. Frekuensi; merupakan keteraturan kedatangan dan keberangkatan moda transportasi dalam jangka waktu tertentu 5. Keteraturan; yang diartikan bahwa pergerakan moda transportasi terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan jadwal dan peraturan perjalanan. 6. Kekomprehensifan; yaitu adanya keterkaitan antarmoda (multimoda) 7. Tanggung jawab; yaitu kualitas pelayanan yang diinginkan tetapi dapat dikondisikan dengan pertanggungjawaban yang sah atas pengusahaan alat transportasi dan kemampuannya untuk membayar kompensasi jika terjadi klaim dari pengguna 8. Kenyamanan dalam perjalanan; merupakan terwujudnya ketenangan dan ketenteraman bagi penumpang selama dalam perjalanan. Kenyamanan disini meliputi tempat duduk, sirkulasi dan pengaturan temperatur udara, serta fasilitas perjalanan jarak jauh, seperti pelayanan konsumsi (makan dan minum), hiburan, dan fasilitas akomodasi.
28
9. Tarif yang wajar; merupakan penetapan tarif batas atas dan batas bawah yang wajar dan sesuai dengan tingkat pelayanan yang ditawarkan serta dapat diterima oleh pengguna jasa. Agar moda transportasi yang dioperasikan tidak mubazir, dalam artian tingkat keterisian (occupancy rate) yang kecil, maka atribut pelayanan moda transportasi yang ditawarkan harus sesuai dengan keinginan pelaku perjalanan. Menurut Meyer dan Miller (1984), penyediaan pelayanan moda transportasi dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif pengguna dan perspektif operator. Jika dilihat dari sisi pengguna, maka atribut pelayanannya harus sesuai dengan kebutuhannya, misalnya cepat, nyaman, jadwal yang diandalkan dan frekuensi keberangkatan (headway) yang cukup. Sedangkan dari sisi operator, pelayanan moda angkutan meliputi frekuensi perjalanan, kapasitas, biaya operasional, dan sistem penjadwalan.
2.5
Metode Analisis dalam Penelitian Berikut akan diuraikan metode-metode analisis yang digunakan dalam
penelitian ini. Metode analisis yang digunakan antara lain metode analisis deskriptif
dan
inferensi
untuk
mengetahui
karakteristik
responden
dan
mengetahui tingkat ketersediaan responden untuk menggunakan KA Bandara. Analisis inferensi digunakan untuk menentukan proporsi populasi calon pengguna KA Bandara. Dalam penelitian ini jumlah populasinya tidak diketahui secara pasti sehingga dilakukan pengambilan sampel yang jumlahnya cukup besar. Dengan demikian distribusi sampling dalam penelitian ini mendekati distribusi normal. Untuk mengetahui proporsi populasi, perlu diketahui terlebih dahulu nilai interval kepercayaan dengan persamaan dari Healey (1996) berikut:
Dimana:
c.i = confident interval (interval kepercayaan) p
= proporsi sampel Æ q = 1-p
z
= nilai z pada error yang ditetapkan
n
= ukuran sampel
29
Untuk melakukan estimasi populasi yang mau menggunakan moda KA Bandara maka digunakan persamaan sebagai berikut: F = T x Npopulasi Dimana:
F
= populasi yang bersedia menggunakan KA Bandara
T
= populasi pengguna potensial KA Bandara
Npop = nilai proporsi populasi Sedangkan
nilai
proporsi
populasi
dapat
diketahui
dengan
menggunakan persamaan:
Dimana:
N
= nilai proporsi populasi
z
= nilai z untuik error yang ditetapkan
M
= proporsi sampel yang mau menggunakan KA Bandara
n
= jumlah sampel yang diambil
Dengan menggunakan persamaan-persamaan tersebut maka jumlah populasi pengguna potensial yang bersedia menggunakan moda transportasi KA Bandara untuk mengakses Bandara Internasional Soekarno-Hatta dapat diketahui. Dasar-dasar sistem transportasi dan perhitungan proporsi populasi tersebut digunakan untuk menentukan estimasi jumlah populasi yang bersedia berpindah moda menggunakan kereta api dalam perjalanannya menuju Bandara Soekarno-Hatta. Hal tersebut akan dibahas pada bagian analisis di bab 4.
30