BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi Telinga Secara umum telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.
Telinga luar sendiri terbagi atas daun telinga, liang telinga dan bagian lateral dari membran timpani (Lee K.J,1995; Mills JH et al, 1997). Daun telinga di bentuk oleh tulang rawan dan otot serta ditutupi oleh kulit. Ke arah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk corong menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus dengan panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz (Mills JH et al, 1997). Telinga tengah berbentuk seperti kubah dengan enam sisi. Telinga tengah terbagi atas tiga bagian dari atas ke bawah, yaitu epitimpanum terletak di atas dari batas atas membran timpani, mesotimpanum disebut juga kavum timpani terletak medial dari membran timpani dan hipotimpanum terletak kaudal dari membran timpani (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991). Organ konduksi di dalam telinga tengah ialah membran timpani, rangkaian tulang pendengaran, ligamentum penunjang, tingkap lonjong dan tingkap bundar (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997). Kontraksi otot tensor timpani akan menarik manubrium maleus ke arah anteromedial, mengakibatkan membran timpani bergerak ke arah dalam, sehingga besar
Universitas Sumatera Utara
energi suara yang masuk dibatasi (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997). Fungsi dari telinga tengah akan meneruskan energi akustik yang berasal dari telinga luar kedalam koklea yang berisi cairan. Sebelum memasuki koklea bunyi akan diamplifikasi melalui perbedaan ukuran membran timpani dan tingkap lonjong, daya ungkit tulang pendengaran dan bentuk spesifik dari membran timpani. Meskipun bunyi yang diteruskan ke dalam koklea mengalami amplifikasi yang cukup besar, namun efisiensi energi dan kemurnian bunyi tidak mengalami distorsi walaupun intensitas bunyi yang diterima sampai 130 dB (Mills JH et al, 1997). Aktifitas dari otot stapedius disebut juga reflek stapedius pada manusia akan muncul pada intensitas bunyi diatas 80 dB (SPL) dalam bentuk reflek bilateral dengan sisi homolateral lebih kuat. Reflek otot ini berfungsi melindungi koklea, efektif pada frekuensi kurang dari 2 khz dengan masa latensi 10 mdet dengan daya redam 5-10 dB.
Dengan
demikian dapat dikatakan telinga mempunyai filter terhadap bunyi tertentu, baik terhadap intensitas maupun frekuensi (Liston SL et al,1989; Pickles JO,1991; Mills JH et al, 1997; Wright A, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Anatomi Telinga (Dhingra PL., 2007)
Telinga dalam terdiri dari organ kesimbangan dan organ pendengaran. Telinga dalam terletak di pars petrosus os temporalis dan disebut labirin karena bentuknya yang kompleks. Telinga dalam pada waktu lahir bentuknya sudah sempurna dan hanya mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan tulang temporal. Telinga dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin membranosa. Labirin tulang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam pars petrosa os temporalis ( ruang perilimfatik) dan merupakan salah satu tulang terkeras. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan kohlea (Santi PA, 1993; Lee KJ, 1995; Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998). Vestibulum merupakan bagian yang membesar dari labirin tulang dengan ukuran panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm. Dinding medial menghadap ke meatus akustikus internus dan ditembus oleh saraf. Pada dinding medial terdapat dua cekungan yaitu spherical recess untuk sakulus dan eliptical recess untuk utrikulus. Di bawah eliptical recess terdapat lubang kecil akuaduktus vestibularis yang menyalurkan duktus endolimfatikus ke fossa kranii posterior diluar duramater (Santi PA, 1993; Lee KJ, 1995; Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998). Di belakang spherical recess terdapat alur yang disebut vestibular crest. Pada ujung bawah alur ini terpisah untuk mencakup recessus kohlearis yang membawa serabut saraf kohlea kebasis kohlea. Serabut saraf untuk utrikulus, kanalis semisirkularis superior dan lateral menembus dinding tulang pada daerah yang berhubungan dengan N. Vestibularis pada fundus meatus akustikus internus. Di dinding posterior vestibulum mengandung 5
Universitas Sumatera Utara
lubang ke kanalis semisirkularis dan dinding anterior ada lubang berbentuk elips ke skala vestibuli kohlea (Mills JH et al, 1998; Santi PA, 1993).
Gambar 2.2 Anatomi Telinga Dalam (Dhingra PL., 2007) Ada tiga buah semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior, posterior dan lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Bentuknya seperti dua pertiga lingkaran dengan panjang yang tidak sama tetapi dengan diameter yang hampir sama sekitar 0,8 mm. Pada salah satu ujungnya masing-masing kanalis ini melebar disebut ampulla yang berisi epitel sensoris vestibular dan terbuka ke vestibulum (Wright A., 1997). Ampulla kanalis superior dan lateral letaknya bersebelahan pada masing-masing ujung anterolateralnya, sedangkan ampulla kanalis posterior terletak dibawah dekat lantai vestibulum. Ujung kanalis superior dan inferior yang tidak mempunyai ampulla bertemu dan bersatu membentuk crus communis yang masuk vestibulum pada dinding posterior bagian tengah. Ujung kanalis lateralis yang tidak memiliki ampulla masuk vestibulum sedikit dibawah cruss communis (Ballenger, 1996). Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang hampir sama yaitu bidang miring ke bawah dan belakang dengan sudut 30 derajat terhadap bidang horizontal bila
Universitas Sumatera Utara
orang berdiri. Kanalis lainnya letaknya tegak lurus terhadap kanal ini sehingga kanalis superior sisi telinga kiri letaknya hampir sejajar dengan posterior telinga kanan demikian pula dengan kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis superior teling kanan (Mills JH, 1998). Koklea membentuk tabung ulir yang dilindungi oleh tulang dengan panjang sekitar 35 mm dan terbagi atas skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala timpani dan skala vestibuli berisi cairan perilimfa dengan konsentrasi K+ 4 mEq/l dan Na+ 139 mEq/l. Skala media berada dibagian tengah, dibatasi oleh membran reissner, membran basilaris, lamina spiralis dan dinding lateral, berisi cairan endolimfa dengan konsentrasi K+ 144 mEq/l dan Na+ 13 mEq/l. Skala media mempunyai potensial positif (+ 80 mv) pada saat istirahat dan berkurang secara perlahan dari basal ke apeks (Ballenger JJ, 1996).
Gambar 2.3 Kohklea (Dhingra PL., 2007)
Organ corti terletak di membran basilaris yang lebarnya 0.12 mm di bagian basal dan melebar sampai 0.5 mm di bagian apeks, berbentuk seperti spiral. Beberapa komponen penting pada organ corti adalah sel rambut dalam, sel rambut luar, sel penunjang Deiters,
Universitas Sumatera Utara
Hensen’s, Claudiu’s, membran tektoria dan lamina retikularis (Santi PA, 1993; Wright A, 1997; Mills JH et al, 1998). Sel-sel rambut tersusun dalam 4 baris, yang terdiri dari 3 baris sel rambut luar yang terletak lateral terhadap terowongan yang terbentuk oleh pilar-pilar Corti, dan sebaris sel rambut dalam yang terletak di medial terhadap terowongan. Sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3500 dan sel rambut luar dengan jumlah 12000 berperan dalam merubah hantaran bunyi dalam bentuk energi mekanik menjadi energi listrik (Ballenger JJ, 1996).
Gambar 2.4 Organ Corti (Dhingra PL., 2007)
2.1.1
Vaskularisasi telinga dalam Vaskularisasi telinga dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris
anteroinferior atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis. Arteri ini masuk ke meatus akustikus internus dan terpisah menjadi A. Vestibularis anterior dan A. Kohlearis communis yang bercabang pula menjadi A. Kohlearis dan A. Vestibulokohlearis. A. Vestibularis anterior memperdarahi N. Vestibularis, urtikulus dan sebagian duktus semisirkularis. A.Vestibulokohlearis sampai di mediolus daerah putaran basal kohlea terpisah menjadi cabang terminal vestibularis dan cabang kohlear. Cabang vestibular
Universitas Sumatera Utara
memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung basal kohlea. Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea, limbus dan ligamen spiralis. A. Kohlearis berjalan mengitari N. Akustikus di kanalis akustikus internus dan didalam kohlea mengitari modiolus (Santi PA, 1993; Lee K.J, 1995). Vena dialirkan ke V.Labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior atau sinus sigmoideus. Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus petrosus superior dan inferior (Santi PA, 1993 ; Lee K.J, 1995). 2.1.2
Persarafan telinga dalam N.Vestibulokohlearis (N.akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan
vestibular, didalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar N.Fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medula. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh N.Kohlearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak didasar dari meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi N.Kohlearis dengan ganglion spiralis corti terletak di modiolus (Santi PA,1993; Wright A, 1997; Mills JH et al,1998).
2.2
Fisiologi Pendengaran Beberapa organ yang berperan penting dalam proses pendengaran adalah membran
tektoria, sterosilia dan membran basilaris. Interaksi ketiga struktur penting tersebut sangat berperan dalam proses mendengar. Pada bagian apikal sel rambut sangat kaku dan terdapat penahan yang kuat antara satu bundel dengan bundel lainnya, sehingga bila mendapat stimulus akustik akan terjadi gerakan yang kaku bersamaan.
Pada bagian puncak
stereosillia terdapat rantai pengikat yang menghubungkan stereosilia yang tinggi dengan
Universitas Sumatera Utara
stereosilia yang lebih rendah, sehingga pada saat terjadi defleksi gabungan stereosilia akan mendorong gabungan-gabungan yang lain, sehingga akan menimbulkan regangan pada rantai yang menghubungkan stereosilia tersebut. Keadaan tersebut akan mengakibatkan terbukanya kanal ion pada membran sel, maka terjadilah depolarisasi. Gerakan yang berlawanan arah akan mengakibatkan regangan pada rantai tersebut berkurang dan kanal ion akan menutup. Terdapat perbedaan potensial antara intra sel, perilimfa dan endolimfa yang menunjang terjadinya proses tersebut. Potensial listrik koklea disebut koklea mikrofonik, berupa perubahan potensial listrik endolimfa yang berfungsi sebagai pembangkit pembesaran gelombang energi akustik dan sepenuhnya diproduksi oleh sel rambut luar (May, Budelis, & Niparko, 2004). Pola pergeseran membran basilaris membentuk gelombang berjalan dengan amplitudo maksimum yang berbeda sesuai dengan besar frekuensi stimulus yang diterima. Gerak gelombang membran basilaris yang timbul oleh bunyi berfrekuensi tinggi (10 kHz) mempunyai pergeseran maksimum pada bagian basal koklea, sedangkan stimulus berfrekuensi rendah (125 kHz) mempunyai pergeseran maksimum lebih kearah apeks. Gelombang yang timbul oleh bunyi berfrekuensi sangat tinggi tidak dapat mencapai bagian apeks, sedangkan bunyi berfrekuensi sangat rendah dapat melalui bagian basal maupun bagian apeks membran basilaris. Sel rambut luar dapat meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang berjalan dengan meningkatkan gerakan membran basilaris pada frekuensi tertentu. Keadaan ini disebut sebagai cochlear amplifier.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5. Skema Fisiologi Pendengaran (Hall, J. 1998)
Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga dalam dan di proyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran. (Keith, 1989
Universitas Sumatera Utara
2.3
Jenis Gangguan Pendengaran Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran
yakni : gangguanuan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan keduanya atau tipe campuran. Tuli konduktif terjadi akibat tidak sempurnanya fungsi organ yang berperan menghantarkan bunyi dari luar ke telinga dalam. Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif. Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan pada koklea atupun retrokoklea. Tuli sensorineural dapat bersifat akut (acute sensorineural deafness) yakni tuli sensorineural yang terjadi tiba-tiba dimana penyebab tidak diketahui dengan pasti dan chronic sensorineural deafness tuli sensorineural yang terjadi secara perlahan (Cody, 1992).
2.4
Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Gangguan Pendengaran Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penurunan ambang dengar
akibat bising, yakni lama paparan bising, frekuensi paparan bising, tingkatan/besaran paparan, usia dan jenis kelamin dari penderita (Dobie RA, 1998). Lama paparan bising lebih dari 10 tahun akan menyebabkan peningkatan NIPTS (Noise
Induce
Permanen
Treshold
Shift)
terutama
pada
frekuensi
4
KHz.
Tingkatan/besaran paparan bising diatas 85 dBA pada frekuensi tinggi lebih cepat menyebabkan gangguan dengar dibandingkan pada frekuensi rendah (Dobie RA, 1998). Gangguan dengar yang terjadi pada frekuensi percakapan 500, 1000, 2000, dan 3000 Hz (berdasarkan AMA hearing handicap scale) tergantung dari lama paparan
Universitas Sumatera Utara
bising maupun tingkatan/besar paparan bising. Semakin lama dan semakin tinggi tingkatan/besar paparan bising akan menimbulkan peningkatan NIPTS pada frekuensi percakapan (Dobie RA, 1998). Derajat gangguan pendengaran berdasarkan International Standard Organization (ISO) adalah normal (0 – 25 dB), tuli ringan (26 – 40 dB), tuli sedang (41 – 60 dB), tuli berat (61 – 90 dB), dan tuli sangat berat (>90 dB) (Bashiruddin, 2002). Penelitian oleh Karl D. Kryter pada tahun 1965 menunjukkan bahwa perbedaan jenis bising yang diterima oleh pekerja juga mempengaruhi besarnya pergeseran ambang dengar. Penelitian Coles (1963), menyatakan bahwa tingkat tekanan suara dari senjata otomatis sebesar 174 dB. Glorig dan Wheeler (1955) menyatakan bahwa bising yang di timbulkan senjata genggam sebesar 180 dB. Yarington (1968) menemukan tekanan suara akibat ledakan meriam Howitzer 105 sebesar 190 dB dan anti tank sebesar 185,6 dB (Alberti P.W, 1997). Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas faktor bising dalam lingkungan kerja adalah sebagia berikut. Tabel 2.1 Paparan Bising yang Diperkenankan Sound Level dBA 85 90 92 95 100 105 110 115
Lama Paparan (jam per hari) 16 8 6 4 2 1 0,5 0,25
Universitas Sumatera Utara
Pfander (1975) menyebutkan bahwa tekanan suara sebesar 165 dB hanya diijinkan paparan selama 0.23 detik per hari dan untuk 145 dB hanya 0.3 detik per hari. Sebuah penelitian terhadap 1073 prajurit arteleri Kroasia, menunjukkan hasil bahwa 907 (84.25%) orang mengalami peningkatan ambang dengar (fatique) pada tingkatan yang berbeda segera setelah melakukan tembakan (Spirov A,1982).
2.5
Bunyi Bunyi adalah gelombang yang timbul dari getaran moleku-molekul benda yang
saling beradu sama lain dan terkoordinasi. Gelombang tersebut akan meneruskan energi dan sebagian dipantulkan kembali. Dalam perambatannya bunyi memerlukan media. Media tempat gelombang bunyi merambat harus mempunyai massa dan elastisitas. Pada umumnya medianya adalah udara. Gelombang bunyi tidak di rambatkan di ruang hampa. Kecepatan rambatan bunyi melalui udara sebesar ±340 meter/detik. Pada medium yang berbeda, kecepatan bunyi dapat meningkat. Melalui air kecepatan bunyi dapat meningkat ±4 kali, dan melalui besi menjadi ±14 kali lebih besar (Bashiruddin J, 2002). Gelombang bunyi disebarkan ke berbagai arah di udara. Apabila suatu benda bergetar, maka getaran tersebut akan diteruskan ke lapisan udara disekitarnya dan selanjutnya dirambatkan terus ke lapisan udara yang lebih jauh, begitu seterusnya. Di udara, getaran melakukan pemampatan (compression) dan perenggangan (rarefaction) yang timbul bersamaan dengan getaran sumber bunyi. Di daerah pemampatan, tekanan udara lebih tinggi dari normal. Bila sumber bunyi berhenti bergetar, maka udara akan kembali ke keadaan awal (status istirahat) dan penyebaran tekanan yang cepat akan
Universitas Sumatera Utara
berhenti. Jenis getaran bunyi dapat di bedakan menjadi getaran selaras dan getaran tak selaras (Bashiruddin J, 2002). Getaran selaras adalah getaran harmonik sederhana atau di kenal juga dengan getaran sinusoidal. Contohnya adalah garpu tala yang bergetar. Sedangkan contoh getaran tidak selaras dikenal sebagai bunyi bising, desis, gemeretak, desir atau detakan. Bunyi yang dapat didengar memiliki periode 1/20 sampai 1/15.000 detik, tergantung dari frekuensi getarannya (Dobie R , 1998). Frekuensi adalah jumlah getaran per detik. Jika suatu periode berakhir selama 1/100 detik, maka berarti terdapat 100 getaran (cycle/siklus). Di Eropa, satuan ini di sebut Hertz dan di singkat Hz, untuk menghormati ahli fisika Jerman yang bernama Heinrich Hertz. Selanjutnya terminologi ini di berlakukan oleh Badan Standar Internasional (International Standard Association) untuk dibakukan. Frekuensi merupakan suatu besaran fisik yang dapat diukur dengan pasti (Ballenger, 1996). Bila dua garpu tala mempunyai frekuensi yang sama kita bunyikan dengan kekuatan yang berbeda, maka akan terdengar bahwa salah satu akan berbunyi lebih keras. Garpu tala yang dipukul lebih keras akan terjadi gerakan maksimum yang berkaitan dengan perubahan tekanan udara yang lebih tinggi. Secara sederhana keadaan ini disebut Amplitudo-nya lebih besar. Perbedaan tekanan udara inipun dapat diukur secara tepat karena juga merupakan besaran fisik. Satuan tekanan udara = 1 dyne/cm2 = mikrobar (Mills JH, 1998). Bunyi dapat dibedakan dalam 3 rentang frekuensi yaitu 0-20 Hz (infrasonik), 2018.000 Hz (sonik), dan >18.000 Hz (ultrasonik). Infrasonik tidak dapat dideteksi oleh telinga manusia, biasanya ditimbulkan oleh getaran tanah, bangunan maupun truk
Universitas Sumatera Utara
dan kendaraan besar. Bila getaran dengan frekuensi infra mengenai tubuh akan menyebabkan resonansi dan akan terasa nyeri pada beberapa bagian tubuh. Frekuensi dari 20-18.000 Hz merupakan frekuensi yang dapat dideteksi telinga manusia. Frekuensi di atas 20.000 Hz, dalam bidang kedokteran digunakan dalam 3 hal yaitu pengobatan, penghancuran dan diagnosis (P.W.Alberti, 1997). Untuk membuat udara bergetar dibutuhkan energi. Energi sebanding dengan tekanan per satuan luas. Daya yang di butuhkan untuk menghasilkan bunyi yang mulai terdengar adalah 10-16 watt/cm2 (Wright A., 1997).
2.5.1
Sifat gelombang suara Bila gelombang suara membentur suatu rintangan atau dinding maka kemungkinan
yang terjadi adalah gelombang tersebut dipantulkan, dilenturkan, dibiaskan, diabsorpsi atau diteruskan. Fenomena ini tergantung pada hubungan antara panjang gelombang suara, ukuran rintang beberapa jenis dinding dan sudut datang. Permukaan gelombang didefinisikan sebagai suatu prmukaan di mana seluruh partikelnya bergetar satu fase. Sebagai contoh, bila suatu titik sumber memancar, gelombang akan menyebar secara seragam ke segala arah dan permukaan gelombang berbentuk lengkung. Tetapi bila seseorang yang berada cukup jauh, maka permukaan gelombang yang ditangkapnya akan berbentuk relatif lebih datar. Apabila tidak terdapat permukaan yang memantul, maka gelombang akan merambat secara bebas. Apabila gelombang bunyi menabrak suatu dinding padat, sebagian dari energinya akan di pantulkan dan sebagian lagi akan dirambatkan serta sebagian lain akan diserap melalui massa dinding tersebut. Tetapi apabila dindingnya tipis, energi bunyinya akan
Universitas Sumatera Utara
dirambatkan. Oleh karena telinga kita memiliki respon yang kurang lebih logaritmis terhadap energi bunyi, maka bila menginginkan suatu sekat suara yang baik, penting sekali untuk menurunkan energi ke tingkat di bawah 1/1000 kali (Wright A., 1997). 2.5.2
Intensitas bunyi: Desibel (dB) Cakupan tekanan suara yang dapat diterima oleh telinga normal sangat luas
sehingga sulit untuk mengetahui angkanya. Dekat ambang dengar, bunyi mempunyai tekanan sebesar kira-kira 2/10.000 dyne/cm2. Tekanan ini harus dikalikan 10 juta kali untuk dapat menyebabkan rasa nyeri di telinga. Skala desibel (dB) dipakai agar angka-angka dalam cakupan frekuensi itu dapat diikuti. Hal ini dilakukan dengan memilih satu titik tertentu pada skala penekanan sebagai dasar, dan menyatakan titik-titik lain pada skala sebagai rasio dari dasar ini, mengambil angka logaritma dari rasio ini, kemudian angka logaritma tersebut dikalikan 20 (Bashiruddin, 2002). Tidak akan ada artinya membicarakan desibel bila titik awalnya tidak ditentukan. Suatu bunyi dengan tekanan tertentu dapat mempunyai beberapa nilai desibel, tergantung dari tekanan mana yang dipilih sebagai angka nol untuk titik awal pada skala. Pada prakteknya, ada 3 titik awal yang sering dipakai pada skala desibel. Pertama yakni 0.0002 dyne/cm2, yang dipilih karena dulu angka ini dianggap sebagai tekanan suara yang sesuai dengan pendengaran yang terbaik manusia. Titik awal lain adalah ambang rata-rata pendengaran normal. Yang terakhir, 1 dyne/cm2 (1 mikrobar) sering dipakai sebagai tekanan pembanding, terutama untuk kalibrasi mikrofon. Skala dengan titik awal 0.0002 dyne/cm2 disebut skala tingkat tekanan suara (Sound Pressure Level = SPL). Jadi 60 dB SPL berarti tekanan 60 dB diatas 0.0002 dyne/cm2. Skala berdasarkan ambang pendengaran rata-rata normal disebut skala tingkat ambang
Universitas Sumatera Utara
dengar (Hearing Treshold Level) atau skala ambang dengar (Hearing Level= HL). Jadi 60 dBHL berarti tekanan 60 desibel diatas ambang tekanan standar pembanding yang sesuai dengan pendengaran normal rata-rata frekuensi ini (Keith, 1989). Perbedaan penting antara kedua skala ini adalah skala SPL berdasarkan suatu titik awal fisika (0.0002 dyne/cm2), sedangkan skala HL berdasarkan titik awal ukuran psikologik atau perilaku, yakni pendengaran normal rata-rata. Tanda desibel pada angka gangguan pendengaran suatu audiometer mengikuti skala ambang dengar (HL). Titik nol pada angka gangguan frekuensi tertentu adalah sebenarnya, tingkat suara yang sesuai dengan rata-rata ambang dengar tersebut, seperti yang ditetapkan oleh American National Standard Institute (ANSI) (Dobie R. A., 2009)
2.6.
Audiometri Nada Murni Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensivitas
pendengaran dengan alat audiometer yang menggunakan nada murni (pure tone). Ambang nada murni diukur dengan intensitas minimum yang dapat didengar selama satu atau dua detik melalui antaran udara ataupun hantaran tulang. Frekwensi yang dipakai berkisar antara 125 – 8000 Hz dan diberikan secara bertingkat (Feldman dan Grimes, 1997). Audiometri harus memenuhi 3 persyaratan untuk mendapatkan keabsahan pemeriksaan yaitu (1) audiometri yang telah dikalibrasi, (2) suasana/ruangan sekitar pemeriksa harus tenang, dan (3) pemeriksa yang terlatih. Komponen yang ada pada audiometri yaitu: 1. Oscilator: untuk menghasilkan bermacam nada murni 2. Amplifier: alat untuk menambah intensitas nada
Universitas Sumatera Utara
3. Interuptor/pemutus : alat pemutus nada 4. Atteneurator: alat mengukurintensitas suara 5. Earphone: alat merubah sinyal listrik yang ditimbulkan audiometer menjadi sinyal suara yang dapat didengar 6. Masking noise generator: untuk penulian telinga yang tidak diperiksa Cara pemeriksaan audiometri adalah headphone dipasang pada telinga untuk mengukur ambang nada melalui konduksi udara. Tempat pemeriksaan harus kedap udara. Pasien diberitahu supaya menekan tombol bila mendengar suara walaupun kecil. Suara diberi interval 2 detik, biasanya dimulai dengan frekwensi 1000 Hz sampai suara tidak terdengar. Kemudian dinaikkan 5 dB sampai suara terdengar. Ini dicatat sebagai audiometri nada murni (pure tone audiometry) (Keith, 1989). Biasanya yang diperiksa terlebih dahulu adalah telinga yang dianggap normal (tidak sakit) pendengarannya melalui hantaran udara, kemudian diperiksa melalui hantara tulang. Kalau perbedaan kekurangan pendengaran yang diperiksa 50 dB atau lebih dari telinga lainnya, maka telinga yang tidak diperiksa harus ditulikan (masking). Ketika memeriksa satu telinga pada intensitas tertentu, suara akan terdengar pada telinga yang satu lagi. Hal ini disebut “cross over” yang dapat membuat salah interpretasi pada pemeriksaan audiometer. Ada beberapa ketentuan yang praktis bila masking diperlukan yakni: 1. Masking untuk hantaran udara (AC) diperlukan bila terdapat perbedaan kehilangan pendengaran sebesar 45 dB atau lebih pada waktu percobaan. 2. Masking untuk hantaran tulang (BC) diperlukan bila :
Universitas Sumatera Utara
a. Apabila treshold hantaran tulang (BC) pada telinga yang dites lebih sensitif dari treshold hantaran tulang yang tidak diperiksa. b. Apabila tidak ada respon pada hantaran tulang setelah mempengaruhi maksimum output dari audiometer (Keith, 1989)
Gambar 2.6. Gambaran audiometri normal
Gambar 2.7. Gambaran audiometri tuli sensorineural
Gambar 2.8. Gambaran audiometri tuli konduktif
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9. Gambaran audiometri tuli campuran
Gambar 2.10. Gambaran audiometri tuli akibat bising
2.7 Perlindungan Fungsi Pendengaran Perlindungan fungsi pendengaran dapat dilakukan dengan rekayasa lingkungan (enviromental engineering) dan proteksi perorangan pada individu-individu yang terpapar trauma akustik. Tujuan program konservasi pendengaran yang ideal adalah mengurangi efek paparan trauma akustik. Terdapat 2 macam pelindung telinga, yakni: 1. Bentuk sumbat (plug), yang dimasukkan ke dalam liang telinga secara tepat sesuai ukuran masing-masing. 2. Bentuk bantalan (muff), yang dipegang dengan tali kepala dan melingkari telinga, dimana berguna menutupi telinga luar.
Universitas Sumatera Utara
Brenda L (1993) pada penelitiannya mendapati bahwa ear plug dapat menurunkan efek bising di telinga tengah sebesar 15 sampai 30 dB. Sedangkan ear muff merupakan protektif yang lebih baik, khususnya pada frekuensi 500 Hz dan 1 KHz. Pada tingkat kebisingan yang tinggi pengguanaan ear plug saja tidak begitu baik dan disarankan menggunakan kombinasi ear plug dan ear muff . Penting juga diketahui bahwa tekanan suara (sound energy) berhubungan dengan tingkatan bising yang tinggi (high noise level) yang dapat mencapai telinga dalam melalui pergetaran tulang serta struktur-struktur disekitarnya. Sehingga konduksi melalui tulang dan jaringan disekitarnya dapat dibatasi dengan pemakaian alat pelindung pendengaran. Suatu pelindung pendengaran yang ideal (infinite protector) seharusnya dapat menurunkan efek bising sebesar 20 -30 dB (Bashiruddin J, 2002).
2.8
Jenis Senjata Senjata yang biasa digunakan oleh prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I
Bukit Barisan ada 2 macam, yaitu Pistol FN US 45 dan Senapan Serbu (SS) 1 R5. 1. Pistol FN US 45 Senjata pistol ini diproduksi oleh pabrikan Amscor dari Amerika Serikat pada tahun 1958. Kaliber dari senjata ini adalah 11 mm dengan panjang pistol 219 mm. Jarak tembak efektif dari pistol ini adalah 50 meter dengan jarak tembak maksimal 1500 meter. 2. Senapan Serbu (SS) 1 R5 Senjata jenis ini diproduksi oleh PT. PINDAD Indonesia tahun 2003. Kaliber dari senjata ini adalah 5,56 mm X 45 mm dengan panjang senjata apabila dilipat 546 mm
Universitas Sumatera Utara
dan apabila popor direntangkan 771 mm. Jarak tembak efektif senjata ini 375 meter dan jarak tembak maksimal 5000 meter.
2.9 Kerangka Konsep Kerangka konsep kaitan antara paparan bising dan gangguan pendengaran akibat bising pada prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan dapat dilihat pada gambar 2.11 berikut.
Paparan Bising
Kerusakan pada sel-sel rambut kokhlea
Gangguan Pendengaran
Gambar 2.11. Kerangka Konsep Kaitan antara Paparan Bising dan Gangguan Pendengaran Akibat Bising pada Prajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan
Universitas Sumatera Utara
2.10 Kerangka Kerja
Anamnesis THT Rutin Normal
Abnormal
Pemeriksaan Audiometri
Eksklusi Eksklusi
Normal
Abnormal
Gambar 2.12. Kerangka Kerja Anamnesis dan Pemeriksaan Audiometri pada Parajurit Batalyon Infanteri 100 Raider Kodam I Bukit Barisan
Universitas Sumatera Utara