BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tumbuhan Sambang Darah
2.1.1 Sistematika Tumbuhan Sambang Darah
Sistematika tumbuhan Sambang Darah adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Excoecaria
Spesies
: Excoecaria cochinchinensis Lour.
Nama Lokal
: Sambang Darah
2.1.2 Morfologi Tumbuhan Sambang Darah
Tumbuhan sambang darah merupakan tanaman perdu yang tumbuh tegak dan mempunyai tinggi 0,5 – 1,5 m, percabangan banyak, getahnya berwarna putih dan beracun. Daun tunggal, bertangkai, helaian daun bentuknya jorong sampai lanset memanjang, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi, tulang daun menyirip dan menonjol pada permukaan bawah, panjang 4 – 15 cm, lebar 1,5 – 4,5 cm, warna daun pada permukaan atas hijau tua, dan permukaan bawah merah gelap. Daun muda warnanya lebih mengkilap. Bunga keluar dari ujung percabangan, bentuknya kecilkecil, warnanya kuning, tersusun dalam rangkaian berupa tandan, bunga jantan lebih
Universitas Sumatera Utara
banyak daripada bunga betina. Buah tiga keping, bundar, dengan diameter sekitar 1 cm. Mudah diperbanyak dengan stek batang atau cangkokan. Kandungan kimia dari tumbuhan sambang darah adalah Tanin, asam bahenat, triterpenoid eksokarol, silosterol. Getahnya mengandung resin dan senyawa yang sangat beracun (Dalimartha, 2003).
2.1.3 Khasiat Tumbuhan Sambang Darah
Tumbuhan sambang darah digunakan untuk mengatasi gangguan yang berhubungan dengan pendarahan seperti haid terlalu berlebihan, muntah darah, batuk darah. Penyakit lain amandel dan disentri. Sebagai obat luar untuk eksim, gatal-gatal, dan kulit bersisik (Anonim, 2010). Daunnya biasanya digunakan rakyat Vietnam untuk mengobati berbagai penyakit, seperti diare berkepanjangan dan disentri (Do T. L, 1991).
2.2
Klasifikasi Senyawa Kimia Bahan Alam
Dengan meningkatnya jenis dan tipe senyawa yang ditemukan di dalam berbagai bahan alam, berkembang juga system klasifikasi senyawa yang berasal dari bahan alam, tetapi biasanya ada 4 jenis klasifikasi yang digunakan, antara lain :
1. Klasifikasi Berdasarkan Struktur Kimia Klasifikasi ini adalah klasifikasi formal berdasarkan kerangka struktur molekul, yaitu : a. Senyawa lemak rantai terbuka atau alifatik, seperti asam-asam lemak, gula, dan hampir semua asam amino. b. Senyawa sikloalifatik atau alisiklik, seperti terpenoid, steroid, dan beberapa alkaloid. c. Senyawa benzoid atau aromatik, seperti fenol dan kuinon. d. Senyawa heterosiklik, seperti alkaloid, flavonoid, dan basa-basa nukleat.
Universitas Sumatera Utara
Karena klasifikasi ini hanya didasarkan pada kerangka molekul, banyak molekul bahan alam yang terkait akan masuk ke dalam lebih dari satu golongan. Misalnya geraniol, farnesol, dan skualena termasuk golongan a, dan timol termasuk golongan c, namun berdasarkan pertimbangan biogenetic, molekul-molekul tersebut diperlakukan seperti terpenoid dan steroid pada golongan b.
2. Klasifikasi Berdasarkan Aktivitas Fisiologi
Biasanya pengembangan bahan alam didahului dengan pengamatan dan pengalaman empiric khasiat bahan alam tersebut untuk menyembuhkan penyakit tertentu. Oleh karena itu, salah satu cara penyelidikan bahan obat dari tumbuhan atau bahan alam lainnya adalah melalui ekstraksi dan penetapan khasiat farmakologi ekstrak, diikuti dengan isolasi komponen murni.
Sebenarnya hampir separuh dari obat yang digunakan sekarang adalah bahan alam, seperti berbagai jenis alkaloid, antibiotik atau steroid. Oleh karena itu, suatu klasifikasi yang menggunakan landasan aktivitas fisiologi banyak digunakan, misalnya hormone, vitamin, antiobiotik, dan mikotoksin. Walaupun senyawa yang termasuk dalam golongan itu memiliki berbagai struktur dan asal-usul biosintetik, aspek dan aktivitas yang dimilikinya sama.
3. Klasifikasi Berdasarkan Taksonomi
Klasifikasi ini didasarkan pada pengkajian morfologi komparatif atau taksonomi tumbuhan. Di dalam hewan dan sebagian mikroorganisme, metabolit akhir biasanya diekskresikan ke luar tubuh, sedangkan di dalam tumbuhan, metabolit tersebut tersimpan di dalam tubuh tumbuhan. Walaupun beberapa metabolit selama ini diketahui spesifik pada tumbuhan tertentu, tetapi sekarang telah diketahui tersebar di dalam berbagai tumbuhan, misalnya alkaloid dan isoprenoid telah dapat diisolasi dari berbagai genus, spesies, suku, atau ordo. Bahkan di dalam satu spesies terdapat sejumlah komponen yang memiliki struktur dasar yang berkaitan.
Universitas Sumatera Utara
Pengetahuan tentang kandungan komponen tumbuhan berkembang dengan sangat pesat karena berkembangnya metode ekstraksi, isolasi, dan karakterisasinya. Hal ini mendorong berkembangnya suatu bidang baru yang disebut kemotaksonomi (chemotaxonomy) atau sistematik kimia (chemosystematic) yang mengarah ke pembagian kandungan tumbuhan berdasarkan taksa tumbuhan. Dengan kata lain, isi kandungan tumbuhan dianggap sebagai tanda bagi evolusi dan klasifikasi tumbuhan.
4. Klasifikasi Berdasarkan Biogenesis
Biogenesis dan biosintesis memiliki arti yang sama dan sering kali digunakan tanpa perbedaan. Namun, istilah biogenesis biasanya digunakan untuk reaksi pembentukan yang masih dalam taraf hipotesis, sedangkan jika reaksi tersebut telah dibuktikan secara eksperimen, digunakan istilah biosintesis. Sebagian besar, bahkan hampir semua senyawa kandungan kimia bahan alam adalah senyawa organik, dan sumber utama senyawa karbon atau senyawa organik ini adalah glukosa yang dibentuk melalui fotosintesis di dalam tumbuhan autotropik atau diperoleh dari organism heterotrof.
Berbagai teori tentang pembentukan senyawa metabolit primer dan metabolit sekunder telah dikemukakan di dalam berbagai publikasi. Diawali dengan teori aturan isoprena pada tahun 1930, yang menyatakan bahwa semua terpenoid dibentuk dari unit isoprena 5-C, dilanjutkan dengan teori poliketometilena untuk senyawa fenolik, yang merupakan saran pertama bagi biosintesis asetogenin (poliketida). Inilah hipotesis awal yang sangat kurang dibuktikan dengan eksperimen, tetapi perkembangan baru dalam kimia organik dan biokimia telah dapat menjelaskan sejumlah rantai reaksi biosintesis pembentukan metabolit primer maupun sekunder. Orang yang pertama kali dapat membuktikan hal ini melalui eksperimen menggunakan mutan Escherichia coli adalah Davis yang menghasilkan jalur asam sikimat yang memproduksi senyawa fenilpropanoid. Selanjutnya disusul dengan berbagai eksperimen biosintesis yang dapat membuktikan jalur reaksi berbagai biosintesis (Wiryowidagdo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3
Senyawa Flavonoida
Istilah “flavonoid” dikenakan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon, dimana terdapat suatu jembatan oksigen di antara cincin A dalam kedudukan orto, dan atom karbon benzil yang terletak di sebelah cincin B, membentuk cincin tipe 4-piron. Senyawa heterosiklis ini, pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Senyawa-senyawa flavonoid biasanya terdapat dalam sel-sel jaringan dalam bunga. Banyaknya ragam warna yang ada dalam bunga, terutama disebabkan karena adanya senyawa-senyawa flavonoid, terutama antosianin yang merupakan pigmen tumbuhan yang penting setelah klorofil dan karotena
(Manitto, 1992).
Senyawa flavonoid diturunkan dari unit C6-C3 (fenil propana) yang bersumber dari asam sikimat (via fenilalanin) dan unit C6 yang diturunkan dari jalur poliketida. Fragmen poliketida ini disusun dari tiga molekul malonil-KoA, yang bergabung dengan unit C6-C3 (sebagai KoA tioester) untuk membentuk unit awal triketida. Oleh karena itu flavonoid yang berasal dari biosintesis gabungan terdiri atas unit-unit yang diturunkan dari asam sikimat dan jalur poliketida.
Senyawa flavonoid berperan dalam memberikan banyak warna lain di alam, terutama daun mahkota kuning dan jingga, bahkan flavonoid yang tidak berwarna mangabsorbsi cahaya pada spektrum UV (karena banyak gugus kromofor) dan dapat dilihat oleh banyak serangga. Senyawa ini diduga memiliki manfaat ekologi yang besar di alam berkat warnanya sebagai penarik serangga dan burung untuk membantu penyerbukan tanaman. Flavonoid tertentu juga mempengaruhi rasa makanan secara signifikan, misalnya beberapa tanaman memiliki rasa pahit dan kesat seperti glikosida flavanon naringin.
Universitas Sumatera Utara
Selain flavonoid, golongan bahan alam lain yang memberikan rasa kesat dan pahit dan sering dijumpai bersamaan dalam tanaman adalah senyawa tannin. Golongan ini terdiri atas senyawa polifenol larut-air, yang memiliki bobot molekul yang tinggi. Secara garis besar, tannin terbagi menjadi dua golongan yaitu tannin dapat terhidrolisis, yang terbentuk dari esterifikasi gula (misalnya glukosa) dengan asam fenolat sederhana yang merupakan tannin turunan-sikimat (misalnya asam galat), dan tannin tidak dapat terhidrolisis, yang kadang disebut sebagai tannin terkondensasi, yang berasal dari reaksi polimerisasi (kondensasi) antar flavonoid. Sesuai dengan namanya, tannin dapat terhidrolisis dapat dihidrolisis oleh basa untuk membentuk asam sederhana dan gula. Sifat utama tanin ini adalah kemampuannya berikatan dengan
protein. Senyawa ini digunakan untuk menyamak kulit,
menjernihkan bir dan sebagai astringen dalam sediaan farmasi. Tanin tersebar luas di dunia tanaman dan dapat diproduksi oleh tanaman sebagai penghalang pakan, karena ikatannya dengan protein membuat tanaman ini tidak menarik untuk dimakan (Heinrich dkk, 2009).
2.3.1 Struktur Dasar Senyawa Flavonoida
Golongan flavonoid dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6-C3-C6. Artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena tersubstitusi) yang dihubungkan oleh rantai alifatik tiga karbon.
A
C
C
C
B
Gambar 2.1. Kerangka Dasar senyawa flavonoid
Universitas Sumatera Utara
Kelas-kelas yang berlainan dalam golongan ini dibedakan berdasarkan cincin heterosiklik-oksigen tambahan dan gugus hidroksil yang tersebar menurut pola yang berlainan. Flavonoid sering terdapat sebagai glikosida. Golongan terbesar flavonoid berciri mempunyai cincin piran yang menghubungkan rantai tiga karbon dengan salah satu dari cincin benzena. Sistem penomoran untuk turunan flavonoid adalah sebagai berikut :
7 6
8
1
A
O C
5
4
2' 2 3
3' B
1' 6'
4' 5'
(Robinson, 1995)
2.3.2 Klasifikasi Senyawa Flavonoida
Di alam flavonoida terdapat dalam berbagai bentuk. Hal ini disebabkan adanya modifikasi lebih lanjut seperti dimerisasi, glikosilasi gugus hidroksil atau inti flavonoid, pembentukan bisulfat, yang diuraikan sebagai berikut :
1. Flavonoida O-glikosida Flavonoida biasanya terdapat sebagai flavonoida O-glikosida. Pada senyawa tersebut satu gugus hidroksil flavonoida atau lebih terikat pada satu gula atau lebih dengan ikatan hemiasetal yang tidak tahan asam. Pengaruh glikosilasi menyebabkan flavonoida menjadi kurang reaktif dan lebih mudah larut dalam air ataupun cairan. Glukosa merupakan gula yang paling umum terlibat walaupun galaktosa, ramnosa, xilosa dan arabinosa juga sering ditemukan.
2. Flavonoida C-glikosida Gula dapat juga terikat pada atom karbon flavonoida dan dalam hal ini gula tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan karbon-karbon yang tahan asam. Glikosida yang demikian disebut C-glikosida. Jenis gula yang terlibat lebih sedikit dibandingkan dengan gula pada O-glikosida.
Universitas Sumatera Utara
3. Flavonoida Sulfat Flavonoida sulfat adalah golongan flavonoida lain yang mudah larut dalam air. Senyawa ini mengandung satu ion sulfat atau lebih yang terikat pada hidroksi fenol atau gula. Secara teknis senyawa ini sebenarnya bisulfat karena terdapat sebagai garam yaitu flavon-O-SO3K. Banyak yang berupa glikosida bisulfat, bagian bisulfat terikat pada hidroksil fenol yang mana saja yang masih bebas atau pada suatu gula.
4. Biflavonoida Biflavonoida merupakan flavonoida dimer. Flavonoida yang biasanya terlibat adalah flavon dan flavanon yang secara biosintesis mempunyai pola oksigenasi yang sederhana dan ikatan antar flavonoida berupa ikatan karbon-karbon atau ikatan eter. Monomer flavonoida yang digabungkan menjadi biflavonoida dapat berjenis sama atau berbeda, dan letak ikatannya berbeda-beda. Banyak sifat fisika dan kimia biflavonoida menyerupai sifat monoflavonoida pembentuknya dan akibatnya kadang-kadang biflavonoida sukar dikenali. Biflavonoida jarang ditemukan sebagai glikosida.
5. Aglikon flavonoida yang aktif-optik Sejumlah aglikon flavonoida mempunyai atom karbon asimetrik dengan demikian dapat menunjukkan keaktifan optik (memutar cahaya terpolarisasi-datar). Yang termasuk dalam golongan flavonoida ini adalah flavanon, dihidroflavonol, katekin, pterokarpan, rotenoid dan beberapa biflavonoida (Markham, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Harborne (1987), dikenal sekitar sepuluh kelas flavonoida. Semua flavonoida menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon dan memiliki sifat tertentu yaitu:
Tabel 2.1 Sifat Golongan Flavonoida Golongan flavonoida Antosianin
Penyebaran
Flavonol
Terutama ko-pigmen tidak berwarna dalam bunga sianik dan asianik tersebar luas dalam daun.
Flavon
Seperti flavonol
Glikoflavon
Seperti flavonol
Pigmen bunga merah marak, dan biru juga dalam daun dan jaringan lain. Proantosianidin Terutama tidak berwarna, dalam daun tumbuhan yang berkayu.
Biflavonil
Khalkon auron
Flavanon
Isoflavon
Tidak berwarna dan hampir seluruhnya terbatas pada gimnospermae dan Pigmen bunga kuning, kadang-kadang terdapat juga dalam jaringan lain
Tidak berwarna, dalam daun dan buah (terutama dalam Citrus) Tidak berwarna, sering kali dalam akar, hanya terdapat dalam suku Leguminosae
Ciri khas Larut dalam air, λ maks 515545 nm, bergerak dengan BAA pada kertas. Menghasilkan antosianidin bila jaringan dipanaskan dalam HCl 2M selama setengah jam. Setelah hidrolisis, berupa bercak kuning murup pada kromatogram Forestal bila disinari sinar UV, maksimal spektrum pada 330 – 350 nm. Setelah hidrolisis, berupa bercak coklat redup pada kromatogram Forestal maksimal spektrum pada 330-350 nm. Mengandung gula yang terikat melalui ikatan C-C, bergerak dengan pengembang air, tidak seperti flavon biasa. Pada kromatogram BAA berupa bercak redup dengan RF tinggi . Dengan amonia berwarna merah (perubahan warna dapat diamati in situ), maksimal spektrum 370-410 nm. Berwarna merah kuat dengan Mg/HCl, kadang – kadang sangat pahit . Bergerak pada kertas dengan pengembang air, tidak ada uji warna yang khas.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Robinson (1995), flavonoida dapat dikelompokkan berdasarkan keragaman pada rantai C3 yaitu: 1. Flavonol Flavonol sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-glikosida dan aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuarsetin dan miresetin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Flavonol lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan merupakan variasi struktur sederhana dari flavonol. Larutan flavonol dalam suasana basa dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu cepat sehingga penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.
O
OH O
2. Flavon Flavon berbeda dengan
flavonol dimana pada flavon tidak terdapat gugusan 3-
hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya, gerakan kromatografi, serta reaksi warnanya. Flavon terdapat juga sebagai glikosidanya lebih sedikit daripada jenis glikosida pada flavonol. Flavon yang paling umum dijumpai adalah apigenin dan luteolin. Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali dipakai di Eropa. Jenis yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat juga flavon yang terikat pada gula melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya luteolin 8-C-glikosida. Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur kelompok senyawa flavonoida.
O
O
Universitas Sumatera Utara
3. Isoflavon Isoflavon merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi amonia, tetapi kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak lembayung yang pudar dengan amonia berubah menjadi coklat.
O
O
4. Flavanon Flavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam kayu, daun dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama dari tanaman genus prenus dan buah jeruk, dua glikosida yang paling lazim adalah neringenin dan hesperitin, terdapat dalam buah anggur dan jeruk.
O
O
Universitas Sumatera Utara
5. Flavanonol Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat sedikit sekali jika dibandingkan dengan flavonoida lain. Sebagian besar senyawa ini diabaikan karena konsentrasinya rendah dan tidak berwarna.
O
OH O
6. Katekin Katekin terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar dari ekstrak kental uncaria gambir dan daun teh kering yang mengandung kira-kira 30% senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai antioksidan.
O
OH
7. Leukoantosianidin Leukoantosianidin merupakan senyawa tidak berwarna, terutama terdapat pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai glikosida, contohnya melaksidin, apiferol.
O
HO
OH OH
Universitas Sumatera Utara
8. Antosianidin Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak, ungu dan biru dalam daun, bunga dan buah pada tumbuhan tinggi. Secara kimia semua antosianin merupakan struktur aromatik tunggal yaitu sianidin dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi.
O OH 9. Khalkon Khalkon adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat tua dengan sinar UV bila dikromatografi kertas. Aglikon khalkon dapat dibedakan dari glikosidanya karena hanya pigmen dalam bentuk glikosida yang dapat bergerak pada kromatografi kertas dalam pengembang air.
O
Universitas Sumatera Utara
10. Auron Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga tertentu dan briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna ros dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah jingga bila diberi uap amonia.
O CH
O
2.3.3. Sifat Kelarutan Flavonoida
Flavonoid yang berupa aglikon merupakan golongan polifenol yang memiliki sifat senyawa fenol yaitu bersifat agak asam, oleh karena itu dapat larut dalam basa. Namun apabila terlalu lama dibiarkan di dalam larutan basa dan terdapat cukup banyak oksigen, maka dapat terjadi penguraian pada senyawa tersebut. Senyawa flavonoid termasuk senyawa polar, karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil ataupun suatu gugus gula. Hal ini memungkinkan flavonoid dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol (EtOH), metanol (MeOH), butanol, aseton, dimetilsulfoksida (DMSO), dimetilformamida (DMF), air dan lain-lain. Keberadaan gugus gula yang terikat pada flavonoid (glikosida) cenderung menyebabkan flavonoid lebih mudah terlarut dalam air. Hal ini memberikan pilihan pelarut yang luas karena air dapat dicampurkan dengan pelarut-pelarut di atas. Namun hal sebaliknya tidak berlaku pada aglikon yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan kloroform (Markham, 1988).
Universitas Sumatera Utara
2.4. Teknik Pemisahan 2.4.1. Ekstraksi
Beberapa metode ekstraksi dapat digunakan untuk mengekstrak suatu konstituen dalam suatu bahan tanaman, yang diantaranya adalah maserasi, perkolasi, ekstraksi sokletasi, ekstraksi pelarut bertekanan, ekstraksi dengan refluks, dan destilasi uap. Dalam ekstraksi padat-cair, bahan tanaman ditempatkan dalam sebuah wadah, dan dibiarkan terjadi kontak dengan pelarut. Proses yang terjadi dari seluruh proses dinamis tersebut dapat diuraikan menjadi beberapa tahap, yaitu tahap pertama pelarut akan berdifusi ke dalam sel, kemudian pelarut akan melarutkan metabolit, dan pada proses akhir pelarut akan berdifusi keluat dari sel bersama dengan metabolit (Sarker, 2007). Terdapat sejumlah metode ekstraksi, namun yang paling sederhana adalah ekstraksi dingin. Dengan cara ini bahan kering diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan pelarut yang kepolarannya semakin tinggi, yaitu heksana, kloroform, etil asetat, aseton, metanol, dan air. Keuntungan utama dari cara ini merupakan metode ekstraksi yang mudah karena ekstraksi tidak dipanaskan sehingga sangat kecil kemungkinan bahan alam tidak terurai. Penggunaan pelarut dengan peningkatan kepolaran secara berurutan memungkinkan pemisahan bahan-bahan alam berdasarkan kelarutannnya dan polaritasnya dalam pelarut. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa terekstraksi, walaupun beberapa senyawa memiliki kelarutan yang terbatas dalam pelarut pada suhu kamar (Heinrich dkk, 2009).
2.4.2. Kromatografi
Kromatografi merupakan teknik pemisahan dimana molekul dari komponen solute dalam sebuah campuran diangkut oleh fase gerak diatas fase diam. Fase gerak dapat berupa gas ataupun cairan (sistem pelarut) dan fase diam dapat berupa lapisan cairan pada sebuah permukaan material pendukung yang bersifat inert ataupun permukaan padat. Interaksi terjadi antara salute dengan fase diam, sehingga mengakibatkan solute
Universitas Sumatera Utara
terdistribusi diantara fase diam dan fase gerak. Kekuatan tarik fase diam terhadap solute menghasilkan suatu perlambatan pergerakan untuk melewati sistem (Braithwaite, 1999) Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan cara mengotak-atik langsung beberapa sifat fisika umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat adalah : (1) kecenderungan molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan), (2) kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk halus (adsorpsi, penjerapan), dan (3) kecenderungan molekul untuk menguap atau berubah ke keadaan uap (keatsirian). Dalam sistem kromatografi, campuran yang akan dipisahkan ditempatkan dalam keadaan sedemikian rupa sehingga komponen-komponennya harus menunjukkan dua dari ketiga sifat tersebut.
Fase padat yang bertindak sebagai fase diam dalam kromatografi cair-padat (KCP) ataupun gas-padat (KGP) disebut sebagai adsorben atau penjerap, sedangkan bahan tempat melekatnya fase diam disebut sebagai penyangga. Jika fase gerak digerakkan melalui fase diam untuk menghasilkan pemisahan kromatografi, proses ini dikenal sebagai pengembangan. Setelah senyawa-senyawa dipisahkan dengan pengembangan, hasilnya didekteksi atau divisualisasi. Jika senyawa-senyawa yang dipisahkan benar-benar dikeluarkan dari sistem, maka senyawa itu telah dielusi atau elusi telah terjadi. Senyawa yang dipisahkan biasanya disebut sebagai linarut, atau secara kelompok disebut cuplikan. Dan hasil keseluruhan dari kromatografi disebut sebagai kromatogram (Gritter, 1991).
2.4.2.1. Kromatografi Lapis Tipis
Pemisahan senyawa dengan kromatografi lapis tipis dalam medium secara prinsip sama dengan kromatografi kertas, tetapi mempunyai beberapa keuntungan tambahan, misalnya lebih banyak campuran medium dan senyawa yang dapat digunakan. Senyawa fluoresen dapat digabungkan dalam medium untuk memudahkan identifikasi noda. Metode ini sangat cepat dan dapat dilakukan kurang dari 1 hari. Noda yang
Universitas Sumatera Utara
dihasilkan sangat rapat, sehingga memungkinkan untuk mendeteksi senyawa dalam konsentrasi rendah. Senyawa yang dipisahkan dapat didekteksi dengan semprotan korosif pada suhu tinggi, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada kromatografi kertas. Hal yang harus diperhatikan adalah atmosfer ruang pemisahan harus jenuh dengan pelarut, karena menentukan besar kecilnya nilai Rf. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan wadah yang sekecil mungkin, dan menghubungkan dinding dengan kertas yang terendam dalam pelarut. Pengembangan pelarut dalam lempeng biasanya
menggunakan
teknik
ascending,
yang
berlangsung
lebih
lambat
dibandingkan dengan teknik descending. Letak senyawa hasil pemisahan dapat diketahui dengan menyemprot lempeng tipis dengan pereaksi atau dengan scanning bila menggunakan senyawa radioaktif (Bintang, 2010). Kromatografi lapis tipis menggunakan lempeng kaca atau aluminium yang telah dilapisi dengan penyerap (misalnya silica gel) dengan ketebalan tertentu tergantung pada jumlah bahan yang akan dimuat ke dalam lempeng. Pelapisan ke dalam lempeng analisis biasanya memiliki ketebalan 0,2 mm; lempeng preparatif memiliki ketebalan hingga 1-2 cm. Campuran senyawa diisikan 1-2 cm dari tepi dasar lempeng berupa bercak ataupun pita memanjang. Lempeng kemudian dimasukkan ke dalam bejana kromatografi berisi pelarut yang telah ditentukan sebelumnya yang akan meresap naik di dalam lempeng dan memisahkan campuran senyawa berdasarkan polaritas komponennya. Lempeng lapis-penyerap sering menggunakan indikator fluoresensi (F254) sehingga bahan alam yang mengabsorpsi sinar UV gelombang pendek (254 nm) akan tampak sebagai bercak hitam pada latar hijau. Pada sinar UV gelombang-panjang, senyawa tertentu dapat menampakkan fluoresensi biru atau kuning terang. Baik sifat absorbans UV maupun fluoresensi dapat digunakan untuk memantau pemisahan senyawa pada lempeng KLT. Metode ini memiliki sejumlah keuntungan untuk anailsis dan isolasi bahan alam yang aktif secara biologis : a. Biayanya murah dibandingkan metode instrumental dan hanya butuh sedikit pelatihan atau pengetahuan tentang kromatografi. b. Proses peningkatan skala dari cara analitik ke preparative mudah dilakukan dengan isolasi cepat bahan alam dalam jumlah miligram hingga gram.
Universitas Sumatera Utara
c. Fleksibilitas dalam pemilihan fase gerak dan fase diam d. Pemisahan mudah dioptimalkan dengan menargetkan satu komponen dan metode dapat segera dikembangkan. e. Secara praktis semua pemisahan dapat dicapai dengan fase gerak dan fase diam yang tepat. f. Sejumlah besar sampel dapat dianalisis atau dipisahkan secara simultan (Heinrich dkk, 2009).
Banyak sistem pelarut yang berbeda telah digunakan untuk pemisahan flavonoid dengan menggunakan KLT, antara lain :
Tabel 2.2 Sistem Pelarut pada Kromatografi lapis tipis untuk senyawa flavonoid Sampel
Aglikon Flavonoid
Eluen
EtOAc-i-PrOH-H2O, 100:17:13 EtOAc-CHCl3, 60:40 CHCl3-MeOH, 96:4 Toluene-CHCl3-MeCOMe, 8:5:7 Toluene–HCOOEt–HCOOH, 5:4:1 Toluene–EtOAc–HCOOH, 10:4:1 Toluene–EtOAc–HCOOH, 58:33:9 Toluene–EtCOMe–HCOOH, 18:5:1 Toluene–dioxane–HOAc, 90:25:4
Flavonoid Glikosida
n-BuOH–HOAc–H2O, 65:15:25 n-BuOH–HOAc–H2O, 3:1:1 EtOAc–MeOH–H2O, 50:3:10 EtOAc–MeOH–HCOOH–H2O, 50:2:3:6 EtOAc–EtOH–HCOOH–H2O, 100:11:11:26 EtOAc–HCOOH–H2O, 9:1:1 EtOAc–HCOOH–H2O, 6:1:1 EtOAc–HCOOH–H2O, 50:4:10
Universitas Sumatera Utara
EtOAc–HCOOH–HOAc–H2O, 100:11:11:26 EtOAc–HCOOH–HOAc–H2O, 25:2:2:4 THF–toluene–HCOOH–H2O, 16:8:2:1 CHCl3–MeCOMe–HCOOH, 50:33:17 CHCl3–EtOAc–MeCOMe, 5:1:4 CHCl3–MeOH–H2O, 65:45:12 CHCl3–MeOH–H2O, 40:10:1 MeCOMe–butanone–HCOOH, 10:7:1 MeOH–butanone–H2O, 8:1:1 Flavonoid glukuronida
EtOAc–Et2O–dioxane–HCOOH–H2O, 30:50:15:3:2 EtOAc–EtCOMe–HCOOH–H2O, 60:35:3:2
Aglikon Flavanone
CH2Cl2–HOAc–H2O, 2:1:1
Flavanone glikosida
CHCl3–HOAc, 100:4 CHCl3–MeOH–HOAc, 90:5:5 n-BuOH–HOAc–H2O,
4:1:5
(upper
4:1:5
(upper
layer) Khalkon
EtOAc–hexane, 1:1
Isoflavon
CHCl3–MeOH, 92:8 CHCl3–MeOH, 3:1
Isoflavon glikosida
n-BuOH–HOAc–H2O, layer)
Dihidroflavonol
CHCl3–MeOH–HOAc, 7:1:1
Biflavonoid
CHCl3–MeCOMe–HCOOH, 75:16.5:8.5 Toluene–HCOOEt–HCOOH, 5:4:1
Antosianidin dan Antosianin
EtOAc–HCOOH–2 M HCl, 85:6:9 n-BuOH–HOAc–H2O, 4:1:2 EtCOMe–HCOOEt–HCOOH–H2O, 4:3:1:2
Universitas Sumatera Utara
EtOAc–butanone–HCOOH–H2O, 6:3:1:1 Proantosianidin
EtOAc–MeOH–H2O, 79:11:10 EtOAc–HCOOH–HOAc–H2O, 30:1.2:0.8:8 (Andersen, 2006)
2.4.2.2. Kromatografi Kolom
Kromatografi cair yang dilakukan di dalam kolom besar merupakan metode kromatografi terbaik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih 1 g). Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penjerap yang berada dalam tabung kaca. Pelarut (fase gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari kolom. Untuk pemisahan normal, nisbah bobot 30 : 1 ternyata memadai jika pemisahan tidak terlalu sulit, yang biasanya ditunjukkan dengan bercak-bercak yang letaknya berjauhan pada KLT. Jika pemisahan lebih sulit, harus digunakan nisbah penjerap : linarut yang lebih tinggi yaitu 100 : 1 atau bahkan 300 : 1, dan lebih sering digunakan kolom kecil panjang.
Ukuran partikel penjerap untuk kolom biasanya lebih besar daripada untuk KLT. Kemasan kolom biasanya 63-250 µm untuk kolom yang dijalankan dengan gaya tarik bumi. Kolom yang dijalankan memakai tekanan udara atau pompa, biasanya mengandung partikel 40-63 µm atau lebih halus. Penjerap KLT biasanya dapat melewati ayakan 250 mesh dan mempunyai ukuran partikel lebih kecil dari 63 µm (Gritter, 1991).
Pemisahan senyawa dengan kromatografi kolom merupakan salah satu teknik pemisahan yang banyak digunakan. Hal yang perlu diperhatikan adalah penyediaan kolom, operasi kolom, serta pemilihan pelarut yang tepat sebelum melakukan
Universitas Sumatera Utara
kromatografi.
Kolom kromatogafi biasanya terbuat dari gelas. Panjang kolom
biasanya disesuaikan dengan jumlah komponen yang akan dianalisis dalam suatu senyawa, sedangkan lebar kolom disesuaikan dengan jumlah senyawa yang akan dianalisis. Bahan yang dapat dipakai untuk sediaan kromatografi sebagai pengisi kolom cukup banyak jenisnya. Selama proses kesetimbangan dengan pelarut, bahan pengisi kolom dibiarkan mengendap, dan partikel-partikel halus yang tertinggal dalam suspensi dibuang dengan cara dekantasi. Jika hal ini tidak dilakukan, maka laju alir pelarut yang menuruni kolom akan menurun karena tersumbat oleh partikel-partikel halus.
Kolom kromatografi harus benar-benar padat, bahan kolom kira-kira sepertiga pelarutnya. Suspensi akan tetap tinggal pada kolom, sedangkan kelebihan pelarut akan turun meninggalkan kolom. Lebih baik pada proses turunnya pelarut pada kolom dibantu dengan membuka kran agar larutan menetes, sehingga isi kolom lebih cepat turun. Saat meneteskan sampel dengan pada permukaan kolom, sebaiknya kran kolom dibuka, agar eluen menetes dan sampel masuk ke dalam kolom.
Metode pemisahan kromatografi didasarkan pada perbedaan distribusi molekul-molekul komponen di antara fase gerak dan fase diam berdasarkan perbedaan tingkat kepolaran. Komponen akan bergerak lebih cepat meninggalkan kolom bila molekul-molekul komponen tersebut berinteraksi secara lemah dengan fase diam. Daya interaksi komponen yang akan dipisahkan dengan fase diam sangat menentukan tingkat keberhasilan kromatografi (Bintang, 2010).
2.4.2.3. Harga Rf (Reterdation Factor) Mengindentifikasi noda-noda dalam lapisan tipis lazim menggunakan harga Rf yang diidentifikasikan sebagai perbandingan antara jarak perambatan suatu zat dengan jarak perambatan pelarut yang dihitung dari titik penotolan pelarut zat. Jarak yang ditempuh oleh setiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat bercak. Untuk mengidentifikasi suatu senyawa, maka harga Rf senyawa tersebut dapat dibandingkan dengan harga Rf senyawa pembanding.
Universitas Sumatera Utara
Jarak perambatan bercak dari titik penotolan Rf = Jarak perambatan pelarut dari titik penotolan
2.5
(Sastrohamidjojo, 1996)
Teknik Spektroskopi
Spektroskopi adalah studi mengenai antaraksi antara energi cahaya dan materi. Warna-warna yang tampak dan fakta bahwa orang bisa melihat, adalah akibat-akibat absorpsi energi oleh senyawaan organik maupun anorganik. Yang merupakan perhatian utama dalam kimia organik adalah fakta bahwa panjang gelombang pada mana suatu senyawaan organik menyerap energi cahaya, bergantung pada struktur senyawaan itu. Oleh karena itu teknik-teknik spektroskopi dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawaan yang tidak diketahui dan untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawaan yang diketahui (Fessenden, 1982).
2.5.1. Spektrofotometri Ultra Violet
Spektroskopi serapan ultraviolet merupakan cara tunggal yang dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola oksigenasi. Di samping itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi. Dengan demikian, secara tidak langsung, cara ini berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metil yang terikat pada salah satu gugus hidroksil fenol. Spektrum flavonoid biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut metanol (MeOH, AR atau yang setara) atau etanol (EtOH). Spektrum khas terdiri dari dua maksima pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300550 nm (pita I). Kedudukan yang tepat dan kekuatan nisbi maksimal tersebut memberikan informasi yang berharga mengenai sifat flavonoid dan pola oksigenasinya.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.3 Rentangan serapan spektrum UV-tampak flavonoid Pita II (nm)
Pita I (nm)
Jenis flavonoid
250-280
310-350
Flavon
250-280
330-360
Flavonol (3-OH tersubstitusi)
250-280
350-385
Flavonol (3-OH bebas)
245-275
310-330 bahu
Isoflavon
Kira-kira 320 puncak
Isoflavon (5-deoksi-6,7-dioksigenasi)
275-295
300-330 bahu
Flavanon dan dihidroflavonol
230-270
340-390
Khalkon
380-430
Auron
465-560
Antosianidin dan antosianin
(kekuatan rendah) 230-270 (kekuatan rendah) 270-280
(Markham, 1988)
2.5.2. Spektrofotometri Infra Merah (FT-IR)
Inti-inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen mengalami getaran (vibration) atau osilasi (oscillation), dengan cara serupa dengan dua bola yang terikat oleh suatu pegas. Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap menyebabkan kenaikan dalam amplitude getaran atom-atom yang terikat tersebut. Jadi molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi (excited vibrational state; Energi yang terserap akan dibuang dalam bentuk panas bila molekul itu kembali ke keadaan dasar). Panjang gelombang eksak dari absorpsi oleh suatu tipe tertentu dari ikatan, bergantung pada jenis getaran dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan (CH, C-C, O-H) menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang yang berlainan.
Universitas Sumatera Utara
Instrumen yang digunakan untuk mengukur resapan radiasi inframerah pada berbagai panjang gelombang disebut spektrofotometer inframerah. Pita-pita inframerah dalam sebuah spektrum dapat dikelompokkan menurut intensitasnya, yaitu: kuat (s, strong), medium (m), dan lemah (w, weak). Daerah antara 1400 – 4000 cm-1 (2,5 sampai kira-kira 7,1 µm) yang merupakan bagian kira spektrum inframerah, merupakan daerah yang khusus berguna untuk identifikasi gugus-gugus fungsional. Daerah ini menunjukkan absorpsi yang disebabkan modus uluran. Daerah dikanan 1400 cm-1 seringkali sangat rumit karena baik modus uluran maupun modus tekukan mengakibatkan absorpsi pada daerah tersebut. Dalam daerah ini biasanya korelasi antara suatu pita dan suatu gugus fungsional spesifik tidak dapat ditarik dengan cermat, namun tiap senyawaan organik mempunyai resapan yang khas disini. Oleh karena itu bagian spektrum ini disebut daerah sidik jari (fingerprint region). Meskipun bagian kiri suatu spektrum nampaknya sama untuk senyawaan-senyawaan yang mirip, daerah sidik jari harus sesuai antara dua spektra, agar dapat disimpulkan bahwa kedua senyawaan itu identik (Fessenden, 1982).
Molekul dapat menyerap energi pada daerah inframerah dari spektrum elektromagnetik yang mengakibatkan peningkatan getaran pada ikatan kovalen. Ada dua jenis getaran yang dihasilkan yaitu peregangan ikatan ataupun pembengkokan ikatan. Getaran ini terjadi pada frekuensi tertentu (energi) tergantung pada jenis ikatan yang terlibat. Dalam hal ini dapat dilakukan pendekatan dengan menganggap ikatan sebagai pegas dan atom sebagai beban yang bertujuan untuk merasionalkan energi yang dibutuhkan untuk getaran tersebut. Ada dua faktor yang mempengaruhi frekuensi getaran, yaitu massa atom dan kekakuan dari ikatan. Beberapa ikatan seperti ikatan rangkap atau ikatan rangkap tiga lebih kuat dan kaku daripada ikatan tunggal. Getaran peregangan ikatan juga bergantung pada massa atom. Getaran akan lebih cepat saat ikatan melibatkan atom ringan dibandingkan dengan atom yang berat molekulnya lebih besar (Patrick, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.5.3. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton (1H-NMR)
Spektroskopi NMR didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik, apabila molekul ini berada dalam medan magnet yang kuat. Inti-inti atom unsur-unsur dapat dikelompokkan sebagai inti yang mempunyai spin atau tidak mempunyai spin. Suatu inti berspin akan menimbulkan medan magnet kecil, yang diperikan oleh suatu momen magnetik nuklir, suatu vektor. Jika molekul yang mengandung atom-atom hidrogen diletakkan dalam medan magnetik luar, maka momen magnetik dari tiap inti hidrogen atau proton, akan mengambil salah satu dari dua orientasi dilihat dari medan magnet luar itu. Kedua orientasi yang diambil oleh momen magnetik nuklir itu adalah paralel atau antiparalel terhadap medan luar. Dalam keadaan paralel, arah momen magnetik proton sama dengan arah medan luar. Dalam keadaan antiparalel, momen magnetik proton berlawanan arah dengan medan luar (Fessenden, 1982).
Sesuai dengan persamaan dasar TMI, dengan nisbah magnetorik yang merupakan sifat hakiki inti, maka antaraksi energi kerapan-radio dengan medan magnet kuat pada suatu proton, hanya satu puncak tunggal. Luas puncak (yang diukur dengan perangkun) sebanding dengan jumlah proton yang terwakili (Silverstein, 1986). Spektrum Resonansi Mangetik Inti pada umunya digunakan untuk: 1. Menentukan jumlah proton yang memiliki lingkungan kimia yang sama pada suatu senyawa organik. 2. Mengetahui informasi mengenai struktur suatu senyawa organik. Pada beberapa spektrum NMR akan terlihat sinyal TMS pada angka nol sehingga sinyal ini tidak perlu dianalisa. TMS dipilih sebagai standar karena: 1. TMS mempunyai 12 atom hidrogen yang keseluruhannya mempunyai lingkungan kimia yang sama, sehingga menghasilkan sinyal singlet yang kuat karena mengandung banyak atom hidrogen 2. Elektron-elektron pada ikatan C-H dalam senyawa ini berada dekat dengan hidrogen jika dibanding dengan senyawa lain. Ini berarti inti hidrogen sangat terlindungi dari medan magnet eksternal sehingga dibutuhkan medan magnet yang
besar
untuk
membawa
atom
hidrogen
ke
kondisi
resonansi
(Dachriyanus, 2004).
Universitas Sumatera Utara