BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Kelainan respiratorik Sesuai dengan mekanisme kerja antara volume dan aliran udara paru (flow volume) maka kelainan respiratorik terdiri obstruktif dan restriktif.10 Pada kedua kelainan ini terjadi penurunan peak epiratory flow (PEF) namun dengan penyebab yang berbeda. Kelainan obstruktif (asma, bronkitis, emfisema) merupakan gangguan aliran udara dimana terjadi volume paru yang besar yang dapat meningkatkan tekanan rekoil elastisitas alveoli, sedangkan pada kelainan restriktif didapatkan gangguan volume paru yang terjadi dengan peningkatan rekoil elastisitas dinding paru (fibrosis pulmonal) atau peningkatan rekoil elastisitas alveoli (penyakit yang berhubungan dengan surfaktan paru yang berkurang).11 Pada
pemeriksaan
fungsi
paru,
kelainan restriktif
menunjukkan
penurunan kapasitas total paru (KTP) atau Total Lung Capacity (TLC) dan kapasitas vital (KV) atau Vital Capacity (VC), sedangkan pada kelainan obstruktif, akibat penumpukan udara akan terjadi peningkatan volume residual (VR) atau residual volume (RV) dan Kapasitas Residual Fungsional (KRF) atau Functional Residual Capacity (FRC).12
Universitas Sumatera Utara
2.2 Patogenesis Perkembangan Paru Sistem respiratorik terdiri dari mekanisme pemompaan (otot - otot respiratorik, dinding dada dan saluran nafas), pertukaran gas antar membran (antara ruangan udara dan sirkulasi pulmonal) dan susunan saraf pusat yang terhubung dengan suatu sistem sensorik kimiawi dan mekanis yang terdistribusi pada sistem sirkulasi tubuh. Pada dasarnya sistem ini memastikan tidak hanya efisiensi pertukaran gas tetapi juga kemampuan beradaptasi dalam pengambilan oksigen dan eliminasi karbondioksia untuk kebutuhan proses hidup yang bervariasi.13 Perubahan komponen sistem respiratorik dan interaksinya dengan sistem sirkulasi memiliki peran pada beragam manifestasi klinis. Manifestasi yang paling berat adalah terjadinya ketidakseimbangan tekanan parsial karbondioksida dan oksigen pada arteri darah yang diketahui sebagai gagal nafas.13 Perkembangan paru terdiri dari 5 tingkat antara lain: embrionik (26 sampai 52 hari, psedoglandular (52 hari sampai minggu 16), kanalikular (minggu 16 sampai 28), sakular (minggu 28 sampai 36) dan alveoli (minggu 36 sampai usia kehamilan cukup bulan). Tingkatan ini menunjukkan, perkembangan periode alveoli belum mulai sebelum 36 minggu. Gambar 2.2.1 menunjukkan tingkat perkembangan paru.10
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2.1 Tingkat perkembangan paru.10
Perkembangan alveoli dimulai dari pembentukan sakula pada saat saluran respiratorik membentuk sistem percabangan. Struktur ini besar, berdinding tebal dan lebih irregular dari alveoli, kemungkinan agar mampu mengatur pertukaran gas. Pada usia gestasi 28 sampai 32 minggu, beberapa sakula memiliki bentuk kerucut dan lapisan kapiler tunggal tetapi bayi yang lahir kurang dari 28 minggu hampir tidak memiliki alveoli. Pada bayi cukup bulan didapatkan sekitar 150 juta alveoli dengan jumlah yang sangat variatif.13 Ukuran paru menunjukkan jumlah unit akhir yang tidak dapat dideteksi oleh ahli anak tetapi akan mempengaruhi fungsi respiratorik anak di kemudian hari. Menurut studi di Amerika didapatkan 300 juta alveoli pada paru dewasa yang dibentuk pada usia 2 tahun. Variabilitas jumlah alveoli yang ada saat usia 20 tahun tidak dapat diprediksi untuk pertambahan jumlah alveoli dan kapan berhenti pertambahan alveoli pada usia tersebut. Sistem
Universitas Sumatera Utara
respiratorik akan terus berkembang dari lahir hingga dewasa muda. Awal perkembangan paru dan riwayat gambaran penyakit respiratorik memiliki pengaruh yang besar terhadap fungsi paru selama masa anak.13 Struktur respiratorik berubah akan selama masa pertumbuhan. Struktur yang berubah adalah volume paru dan hubungan tekanan dan volume (compliance)
yang
menunjukkan
perkembangan
parenkim
(alveoli),
sedangkan hubungan aliran udara dan aliran tekanan (resisten dan konduktan) menunjukkan perkembangan saluran respiratorik.14 Perkembangan paru setelah lahir akan terus terjadi sampai masa remaja dan kemungkinan akan terus berlanjut. Hal ini penting untuk diingat bahwa paru bayi baru lahir bukanlah miniature paru dewasa. Selama pertumbuhan, diameter trakea mendekati tiga kali lipat, dimensi alveoli meningkat empat kali lipat dan jumlah alveoli meningkat sekitar sepuluh kali lipat sementara massa tubuh meningkat 20 kali lipat. Hubungan anatomis lain dari paru bayi dan anak adalah mirip dengan paru dewasa. Area permukaan internal paru sesuai dengan massa tubuh (mendekati 1 m2/kg dari berat badan tubuh), dan proporsi total paru diwakilkan setiap lobus yang konstan dari bayi sampai remaja. Nilai rata – rata dari berat lobus paru mengekspresikan persentase berat paru total seperti berikut: berat lobus atas 19.5%, berat lobus tengah 8.3%, lobus bawah kanan 25.3%, lobus kiri atas 22.5% dan berat lobus bawah kiri 24.6%.10
Universitas Sumatera Utara
2.3
Klasifikasi dan Gejala Kelainan Respiratorik
Kelainan respiratorik yang disebabkan infeksi terdiri dari akut dan kronis. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung hingga 14 hari.15 Secara umum kelainan respiratorik yang disebabkan infeksi diklasifikasikan dalam infeksi saluran nafas atas seperti common cold, rinitis, faringitis, otitis media dan konjungtivitis sedangkan infeksi saluran nafas bawah seperti croup, laryngitis, trakeobronkitis, bronkiolitis dan pneumonia. Pada infeksi respiratorik akut, sekitar 30 sampai 40% gejala yang terjadi adalah demam kurang dari 3 hari atau maksimal 5 sampai 6 hari. Virus menjadi penyebab yang terbanyak. Infeksi saluran respiratorik dapat melibatkan saluran respiratorik dari hidung sampai alveoli.16 Kelainan respiratorik menurut mekanismenya terbagi dua yaitu obstruktif dan restriktif. Kelainan obstruktif terdiri dari asma, bronkiolitis, aspirasi benda asing dan croup. Sedangkan restriktif terdiri dari pneumonia, edema paru, edema insterstitial, pneumonitis, fibrosis paru dan tuberkulosis.10,13 Manifestasi klinis respiratorik yang harus diwaspadai dan berhubungan manifestasi klinis yang kronis antara lain: demam persisten, aktivitas terbatas, gagal tumbuh, gagal mencapai berat badan sesuai proporsi, jari tabuh, takipnu persisten, sputum purulen kronis, hiperinflasi persisten, hipoksemia, infiltrat pada foto toraks, fungsi paru abnormal yang persisten, riwayat keluarga yang menderita penyakit paru yang parah serta terdapat
Universitas Sumatera Utara
sianosis dan hiperkarbia. Jika tidak ada gejala demikian maka proses respiratorik yang kronis ini biasanya ringan. Namun gejala klinis yang ringan tetapi persisten biasanya berhubungan dengan masalah saluran respiratorik bawah yang perlu diobservasi lebih lanjut, sebaliknya beberapa anak (misalnya asma yang berhubungan dengan infeksi) memiliki episode penyakit yang dapat membahayakan hidupnya dapat muncul tanpa gejala dalam interval tertentu. Sehingga pemeriksaan berulang pada anak yang terlihat sehat dan ketika anak dengan gejala dapat membantu menentukan tingkat keparahan dan tingkat kronis penyakit respiratorik.17 Gejala saluran respiratorik berupa batuk, wheezing dan stridor sering muncul atau ada dalam waktu yang lama, bahkan dapat ditemukan infiltrat paru yang persisten dengan atau tanpa gejala pada sejumlah anak.17 2.3.1. Batuk rekuren atau persisten Batuk adalah refleks dari saluran respiratorik bawah untuk menstimulasi reseptor batuk atau iritan pada mukosa saluran nafas. Penyebab yang paling sering adalah asma. Karena reseptor batuk juga berada pada faring, sinus paranasal, lambung dan kanal auditori eksterna maka sumber batuk persisten sebaiknya dilihat juga diluar paru. Stimulus dari saluran nafas bawah yang spesifik termasuk sekret yang banyak, aspirasi benda asing, terhirup debu atau gas yang berbahaya dan respon inflamasi terhadap agen infeksi atau proses alergi. Informasi tambahan yang penting yang dapat
Universitas Sumatera Utara
dimasukkan adalah kondisi atopi, variasi musim atau intensitas batuk, riwayat keluarga atopi, semua hal yang menunjukkan penyebab alergi, gejala malabsorpsi atau riwayat keluarga yang mengindikasikan kistik fibrosis, gejala yang berhubungan dengan makan, riwayat aspirasi seperti tersedak atau aspirasi benda asing, kepala pusing atau wajah sembab berhubungan dengan sinusitis dan riwayat merokok pada anak yang lebih tua dan remaja atau adanya perokok di rumah.17 2.3.2. Wheezing rekuren atau persisten Wheezing rekuren hampir selalu merupakan manifestasi
dari obstruksi
pada saluran nafas bawah anak. Wheezing pada anak usia 2 sampai 3 tahun disebabkan oleh bronkospasme, edema mukosa dan akumulasi dari sekresi berlebihan memiliki yang efek obstruktif yang relatif besar pada saluran respiratorik yang lebih kecil. Wheezing rekuren dan persisten pada anak merupakan tanda dari gangguan paru yang reaktif. Faktor lingkungan yang tidak spesifik seperti asap rokok menjadi kontributor yang penting.17 2.3.3. Stridor rekuren atau persisten Stridor, suara keras yang bernada medium, merupakan suara inspirasi yang berhubungan dengan obstruksi pada area laring atau ekstratorakal dari trakea. Pada beberapa anak memiliki stridor rekuren atau stridor persisten sejak awal kehidupannya. Sebagian besar anomali kongenital saluran nafas memiliki gejala stridor segera setelah lahir. Peningkatan stridor saat anak
Universitas Sumatera Utara
posisi supine menunjukkan laringomalasia atau tracheomalasia. Riwayat suara serak atau afoni menunjukkan keterlibatan pita suara.17 2.3.4. Infiltrat persistan pada pemeriksaan foto toraks Pada pneumonia akut, infiltrat paru secara radiologis akan hilang selama 1 sampai 3 minggu, tetapi pada sejumlah anak terutama bayi, sering mengalami kegagalan pembersihan infiltrat secara komplit selama 4 minggu. Kemungkinan anak akan mengalami demam atau tidak demam dengan bermacam gejala dan tanda respiratorik.17
2.4.
Diagnosis Kelainan respiratorik
Langkah awal untuk menentukan diagnosis kelainan respiratorik adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis seperti pertanyaan tentang gejala, bersifat kronis atau tidak, gejala muncul malam hari atau sepanjang hari, atau berhubungan dengan aktivitas seperti saat makan atau olahraga. Sistem respiratorik juga berhubungan dengan sistem organ lain dan pertanyaan harus berhubungan dengan sistem jantung, pencernaan, sistem saraf pusat, hematologi dan sistem imunitas.12 Pada kelainan respiratorik akut diperlukan isolasi virus dari hapusan nasofaring untuk menegakkan diagnosis. Kelainan respiratorik kronis sulit menentukan penyebab karena gejala dapat disebabkan oleh proses diluar infeksi saluran nafas akut.17
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan diagnostik dengan pemeriksaan fisik sederhana pada kelainan respiratorik biasanya dapat menemukan perubahan mekanisme respiratorik yang dapat dideteksi. Perubahan tersebut berupa peningkatan frekuensi pernafasan, retraksi dinding dada, dan pernafasan cuping hidung. Frekuensi pernafasan tergantung pada banyak faktor termasuk usia. Pernafasan yang tidak normal secara mekanik menghasilkan perubahan kompensasi yang langsung menjaga keseimbangan atau meningkatkan ventilasi. Anak dengan penyakit restriktif akan bernafas lebih cepat dan dangkal. Suara pernafasan ekspirasi merintih umumnya terjadi pada anak yang berusaha mencapai Kapasitas Residual Fungsional (KRF) atau Fuctional residual capacity (FRC) dengan menutup glottis pada saat akhir ekspirasi. Anak dengan penyakit obstruktif akan bernafas lambat dan dalam. Ketika terjadi obstruksi pada ekstratorakal (dari hidung sampai midtrakea) akan terjadi inspirasi yang lebih panjang dari ekspirasi, dan stridor inspirasi dapat didengar. Ketika obstruksi pada intratorakal akan terjadi ekspirasi lebih panjang dari inspirasi dan pasien sering menggunakan otot ekspirasi tambahan. Perkusi paru biasanya menghasilkan “beda” pada kelainan respiratorik restriktif dan timpani pada kelainan respiratori obstruktif. Tetapi penilaian ini memiliki nilai yang rendah pada bayi karena tidak dapat membedakan suara yang berasal dari jaringan yang berdekatan satu dengan yang lain.14
Universitas Sumatera Utara
Pada pemeriksaan auskultasi dapat menentukan adanya inspirasi atau ekspirasi yang memanjang dan memberikan informasi mengenai simetris dan kualitas gerakan udara. Pemeriksaan auskultasi yang tidak normal dapat mendeteksi suara tambahan berupa stridor (suara inspirasi yang lebih dominan), ronki (suara nada tinggi, suara terputus - putus yang ditemukan selama inspirasi dan lebih jarang selama awal ekspirasi yang menandakan pembukaan ruang udara yang baru saja tertutup, atau wheezing (suara musikal, suara yang tidak terputus - putus yang biasanya disebabkan oleh adanya aliran turbulensi pada saluran nafas yang sempit).13 Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan menurut indikasi misalnya evaluasi sputum, pemeriksaan radiologis paru, bronkoskopi, pemeriksaan alveolar lavage fluid atau biopsi paru. Terapi optimal tergantung pada diagnostik spesifik, namun terapi simptomatis pada kelainan paru kronis dapat membantu menjaga fungsi paru yang adekuat sampai perbaikan muncul dengan sendiri. Terapi simptomatis seperti terapi inhalasi dan terapi fisik untuk sekresi respiratorik yang berlebihan, pemberian antibiotik untuk infeksi bakteri, pemberian oksigen tambahan untuk hipoksemia, dan pemeliharaan nutrisi yang cukup. Karena paru-paru anak memiliki potensi penyembuhan yang luar biasa, fungsi paru-paru normal pada akhirnya dapat dicapai dengan pengobatan meskipun keparahan sudah terbentuk selama masa bayi atau anak usia dini.17
Universitas Sumatera Utara
2.5. Faktor Risiko yang Mendasari Perjalanan Kelainan respiratorik 1. Usia Kelainan respiratorik ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% berusia 5 sampai 12 tahun. Kasus terberat pada anak berusia di bawah 6 bulan.15 2. Jenis kelamin Tidak ada perbedaan insiden kelainan respiratorik akibat virus atau bakteri pada jenis kelamin laki – laki dan perempuan. Namun pada studi di Amerika insiden lebih tinggi pada anak laki – laki berusia di atas 6 tahun.15,18 3. Status gizi Status gizi anak merupakan faktor risiko penting terjadinya pneumonia. Gizi
buruk
merupakan
faktor
predisposisi
terjadinya
kelainan
respiratorik pada anak. Hal ini dikarenakan adanya gangguan respon imun.15 4. Pemberian air susu ibu (ASI) Studi
mendapatkan
bahwa
prevalensi
kelainan
respiratorik
berhubungan dengan lamanya pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami kelainan respiratorik dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1 bulan.15
Universitas Sumatera Utara
5. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat kelainan respiratorik. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR.15 Studi di Amerika menunjukkan bahwa risiko asma meningkat pada anak usia 3 tahun dengan riwayat berat badan lahir rendah.19 6. Imunisasi Campak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko terkena kelainan respiratorik. Di India, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami kelainan respiratorik enam kali lebih sering daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri dapat menyebabkan 15 sampai 25%
dari
seluruh
kematian
yang
berkaitan
dengan
kelainan
respiratorik.15 7. Pendidikan orang tua Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan adanya hubungan terbalik antara
angka
kejadian
dengan
kematian
akibat
kelainan
respiratorik.Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi, dan juga berkaitan dengan pengetahuan orang tua.
Universitas Sumatera Utara
Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus kelainan respiratorik tidak diketahui oleh orang tua dan tidak diobati.15 8. Status sosial ekonomi Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor – faktor lain seperti nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Risiko kelainan respiratorik 3.3 kali lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah dari hasil suatu studi.15 9. Penggunaan fasilitas kesehatan Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang tidak diobati diperkirakan 10 sampai 20 %. Penggunaan fasilitas kesehatan dapat mencerminkan tingginya insidens kelainan respiratorik, yaitu sebesar 60% dari kunjungan rawat jalan di Puskesmas dan 20 sampai 40% dari kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit. Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah.15 10. Lingkungan Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik di dalam maupun luar rumah, berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk kelainan respiratorik. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang merupakan penyebab iritasi mukosa saluran respiratorik. Anak yang tinggal di dalam rumah
Universitas Sumatera Utara
berventilasi baik memiliki angka insiden kelainan respiratorik yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang di rumah
dengan
ventilasi buruk.15 Orang tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap pneumonia.15 Tingkat keparahan kelainan respiratorik khususnya bronkiolitis dan wheezing berhubungan juga dengan paparan asap rokok.20,21 Ibu perokok ternyata dapat meningkatkan eksaserbasi asma anak dan meningkatnya kebutuhan rawat inap pada asma.22
2.6. Uji Fungsi Paru Tujuan pemeriksaan uji fungsi paru antara lain menentukan disfungsi paru pada anak dengan gejala respiratorik, menentukan derajat disfungsi paru, menentukan jenis disfungsi paru obstruktif, restriktif atau gabungan keduanya, membantu menentukan letak obstruksi saluran respiratorik sentral atau perifer, deteksi hipereaktivitas saluran respiratorik, evaluasi risiko prosedur diagnostik dan terapi, monitor efek samping kemoterapi atau terapi radiasi pada paru, prediksi prognosis disfungsi paru, investigasi efek kelainan respiratorik kronis dan akut pada perkembangan paru.23 Uji fungsi paru dapat menggunakan spirometri, teknik dilusi gas, dan pletyhsmography.23 Spirometri merupakan alat yang relatif sederhana, metode yang tidak invasif untuk pengukuran aliran dan volume udara paru
Universitas Sumatera Utara
saat inspirasi maksimal dalam waktu yang ditentukan menggunakan manuver ekspirasi maksimal.24-26 Alat ini biasanya digunakan sebagai prosedur skrining dan merupakan uji baku emas untuk mendiagnosis kelainan paru obstruktif oleh National Heart Lung and Blood (NLHEP), National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI), dan World Health Organization (WHO).27 Pada pemeriksaan spirometri, anak sebaiknya tidak menggunakan bronkodilator kerja cepat selama 4 jam sebelum tes dilakukan. Istirahat selama lima atau sepuluh menit diperlukan sebelum tes dilakukan. Setelah menerima instruksi anak diminta untuk memulai tes. Inspirasi maksimal diperlukan diikuti dengan ekspirasi maksimal. Tes dilakukan dengan posisi berdiri menggunakan klip hidung.25 Untuk mendapatkan hasil spirometri yang akurat diperlukan: a. Alat harus dikalibrasi sesuai populasi subjek sebelum dipakai untuk pemeriksaan.26,27 b. Persiapan subjek: anak tidak diperkenankan merokok pada hari pemeriksaan, tidak makan terlalu kenyang, berpakaian longgar, mengerti prosedur yang akan dilakukan, sebaiknya berdiri tegak saat pemeriksaan.27 c. Penilaian: maksimal delapan kali manuver, minimal terdapat 3 spirogram yang memenuhi syarat dan 2 nilai
terbesar VEP1 atau
Universitas Sumatera Utara
FEV1 dan KVP atau FVC tidak berbeda lebih dari 5% atau 150 ml (atau 100 ml jika KVP bernilai 1 L atau kurang).26,27 Prosedur tindakan spirometri:26,27 - Pengisian identitas subjek, usia, dilakukan pengukuran tinggi badan berat badan, ras dan jenis kelamin kemudian menentukan besar nilai prediksi berdasarkan nilai standar fungsi paru Pneumobile Project Indonesia - Pemeriksaan sebaiknya dilakukan dalam posisi berdiri Pemeriksaan yang dapat diterima (acceptability) adalah yang memenuhi ke empat ketentuan sebagai berikut :26,27 a. Pemeriksaan dilakukan sampai selesai b. Waktu ekspirasi minimal 3 detik c. Permulaan pemeriksaan harus cukup baik sesuai kriteria American Thoracic Society – European (ATS – ERS)
yakni volume – time
tracing harus dimulai setidaknya 0.25 detik sebelum ekshalasi dimulai d. Grafik flow volume mempunyai puncak grafik Hal yang menunjukkan bahwa pemeriksaan tidak dilakukan dengan baik apabila di dapatkan :27 a. Permulaan ekspirasi yang tidak baik di tandai dengan keragu-raguan dan permulaan yang lambat. b. Batuk selama detik pertama manuver sehingga mempengaruhi nilai VEP 1.
Universitas Sumatera Utara
c. Manuver valsava ( penutupan glotis). d. Akhir ekspirasi yang cepat. Pada orang normal biasanya ekspirasi ini berlangsung 6 detik. e. Terdapat kebocoran. f. Mouthpiece tersumbat oleh lidah atau gigi palsu dan lain-lainnya. Pada gambar 2.6.1 menunjukkan pernafasan normal diikuti manuver vital capacity yang menunjukkan subdivisi dari volume paru diagram interpretasi penilaian pada spirometri. Manuver ini dimulai dengan pernafasan biasa kemudian inspirasi sampai pengisian paru maksimal. Kemudian diikuti usaha ekspirasi maksimal dan diakhiri dengan pernafasan biasa.23 Secara tradisional telah dikenal empat volume dan empat kapasitas. Jumlah total udara yang dapat ditampung oleh paru dapat dibagi kedalam empat volume tersendiri. Empat kombinasi spesifik volume paru ini dipergunakan untuk membuat kapasitas. Terdapat empat volume yaitu volume tidal (VT) atau Tidal volume (VT) yaitu jumlah udara normal yang masuk kedalam dan keluar paru dalam satu kali pernapasan tenang, Volume Cadangan Inspirasi (VCI) atau Inspiratory Reserve Volume (IRV) atau yaitu jumlah udara yang dapat dihirup secara maksimum setelah inspirasi biasa, Volume Cadangan Ekspirasi (VCE) atau Expiratory Reserve Volume (ERV) atau yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara maksimal setelah ekspirasi biasa, Volume Residual (VR) atau Residual Volume (RV) atau yaitu volume udara
Universitas Sumatera Utara
yang masih tetap tinggal di dalam paru-paru setelah ekspirasi maksimum. Terdapat empat kapasitas, masing-masing mengandung dua atau lebih volume primer yakni: Kapasital Total Paru (KTP) atau Total Lung Capacity (TLC) atau yaitu jumlah udara yang terdapat di dalam paru-paru pada saat inspirasi maksimum,
Kapasitas Vital (KV) atau Vital Capacity (VC) yaitu
volume udara maksimum yang dapat dikeluarkan dari paru-paru secara paksa setelah inspirasi maksimum, tanpa memperhitungkan waktu, Kapasitas Residual Fungsional (KRF) atau Fuctional residual capacity (FRC) adalah volume gas yang terdapat di dalam paru-paru pada akhir ekspirasi normal, Kapasitas Inspirasi (KI) atau Inspiratory Capacity (IC) adalah volume udara maksimum yang dapat dihirup setelah ekspirasi normal.23
Gambar 2.6.1 Pernafasan normal diikuti manuver vital capacity yang menunjukkan subdivisi dari volume paru 23
Universitas Sumatera Utara
Volume statik yang dapat diperoleh dengan spirometri yang sederhana adalah TV, KV, KI, VCI dan VCE. Sedangkan volume statis yang tidak dapat diukur dengan spirometri sederhana adalah: VR, KRF dan KTP.23,28-29 Pada spirometri beberapa variabel yang dapat diperiksa adalah VEP1 dan KVP. Kapasita Vital Paksa (KVP) adalah volume maksimal dari udara ekspirasi dengan manuver ekspirasi paksa maksimal yang diinisiasi setelah manuver inspirasi maksimal. Vital ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) adalah jumlah udara yang bisa diekspirasi maksimal secara paksa pada detik pertama. Volume ekspirasi paksa detik pertama dapat diukur dengan perasat yang sama dengan pengukuran KVP dan biasanya kedua pengukuran tersebut dilakukan sekaligus.28 Nilai VEP1 merupakan volume maksimal dari udara eskprasi dalam detik pertama dari manuver KVP. Keduanya dalam satuan liter.30 Pada pemeriksaan KVP memiliki alur berikut dibawah ini:28 - Subjek menghirup udara semaksimal mungkin dengan cepat kemudian udara segera dikeluarkan sebanyak – banyaknya. Pastikan bibir pasien melingkup sekeliling mouth piece sehingga tidak ada kebocoran. - Pemeriksaan dilakukan paling banyak 8 kali dan didapatkan paling sedikit 3 nilai yang reproducible dan acceptable. - Nilai yang dapat diterima adalah yang memenuhi 3 kriteria berikut yaitu: 1. Pemeriksaan dilakukan sampai selesai 2. Waktu ekspirasi minimal 6 detik
Universitas Sumatera Utara
3. Awal uji dilakukan harus cukup baik, ekspirasi paksa tidak ragu – ragu dan cepat mencapai puncak yang tajam. -
Uji dapat dikatakan reproducible jika perbedaan antara 2 nilai terbesar VEP1 atau FEP1 dan KVP atau FVC tidak berbeda lebih dari 5% atau 150 ml (atau 100 ml jika KVP bernilai 1 L atau kurang). Rasio VEP1 dan KVP dikenal berguna untuk mengukur fungsi paru.
Kalkulasi
keduanya
merupakan
hasil
pengukuran
dari
pemeriksaan
tunggal.23,25 Selain volume, flow juga diperhitungkan pada spirometri.23 Interpretasi hasil uji fungsi paru secara kuantitatif, parameter yang diukur dapat dianalisis dengan membandingkan hasil pengukuran terhadap suatu nilai baku atau prediktif dan menentukan suatu indeks atau rasio dengan jalan membandingkan suatu parameter dengan parameter lain dari orang yang sama.26 Referensi penilaian spirometri untuk anak – anak memiliki data yang terbatas namun ada studi yang memeriksakan nilai spirometri pada usia 6 sampai 20 tahun. Pada studi ini tinggi badan, berat badan dan jenis kelamin menjadi faktor yang mempengaruhi nilai fungsi paru.30 Pengukuran fungsi paru pada balita dan anak usia lebih muda sulit karena tidak kooperatif. Beberapa usaha telah diciptakan untuk mengatasi keterbatasan dengan membuat uji standar yang tidak membutuhkan partisipasi aktif pasien.17 Dari aspek mekanika pernafasan terdapat dua
Universitas Sumatera Utara
macam kelainan ventilasi, yaitu kelainan obstruktif atau kelainan yang menyebabkan terhalangnya kelancaran arus udara (air flow) yang masuk atau keluar paru.26 Kelainan restriktif, yang menyebabkan berkurangnya volume paru (lung volume), kelainan umumnya terletak di luar saluran respiratorik.26 Kelainan restriktif biasanya terjadi penurunan KTP (TLC). Kapasitas paru hanya dapat diukur
secara
tidak
langsung
dengan
metode
dilusi
gas
yaitu
plethysomgraphy. Kelainan restriktif juga menurunkan kapasitas vital. Kapasitas vital dapat diukur dengan spirometri dan sejenisnya. Kelainan obstruktif menyebabkan udara yang terperangkap sehingga meningkatnya VR (RV) dan KFR (FRC), khususnya ketika pengukuran mempertimbangkan KTP (TLC). Obstruksi saluran nafas sering dievaluasi dari akhir aliran udara pada manuver forced expiratory. Aliran puncak ekspirasi berkurang pada kelainan obstruktif.17 Begitu juga pada restriktif, aliran puncak ekpirasi menurun. Pada gambaran kurva effort – dependent restriktif hampir sama dengan paru normal. Bahkan nilai VEP1/KVP atau FEV1/FVC normal atau di atas normal karena nilai VEP1 atau FEV1 dan KVP atau FVC menurun karena paru mengalami penurunan volume. Pada obstruktif, kurva effort – dependent mengalami penurunan didalam (depressed inward) karena terjadi penurunan aliran paru pada setiap volume paru.11
Universitas Sumatera Utara
Pengukuran aliran udara lain membutuhkan anak untuk menarik nafas pada KTP (TLC) dan membuang nafas sepanjang mungkin untuk beberapa detik. Kerjasama dan kekuatan otot yang bagus diperlukan untuk pengukuran yang dapat dipercaya. Volume Ekspirasi Detik Pertama (VEP1 atau FEV1) berhubungan dengan keparahan kelainan obstruktif. Nilai mid expiratory flow maksimal, rata – rata aliran lebih besar dari pertengahan 50% forced vital capacity menjadi indikator obstruksi saluran nafas ringan. Sensitivitasnya pada perubahan volume residu dan kapasital vital namun penggunaannya terbatas pada anak dengan penyakit yang lebih parah.17
2.7 Faktor risiko penurunan fungsi paru Perkembangan paru dipengaruhi oleh pertumbuhan fetus selama trimester akhir dan selama tahun pertama kehidupan. Pemberian nutrisi, vitamin A dan kortikosteroid, hiperoksia dan ibu perokok saat kehamilan mempengaruhi perkembangan
paru.
Walaupun
kolagen
dan
elastin
penting
pada
morfogenesis dan pembentukan cabang saluran nafas, interstitium dari paru mengandung sedikit kolagen dan elastin selama gestasi akhir dan saat lahir. Tidak adanya kolagen dan elastin dapat mempermudah terjadinya ruptur pada ruang paru pada bayi prematur. Elastin berhubungan dengan perkembangan alveoli, meningkat selama kehidupan postnatal begitu juga kolagen paru. Perubahan rasio dan bentuk berakibat pada perubahan
Universitas Sumatera Utara
hubungan volume dan tekanan paru dan elastisitas paru berkurang bersama dengan bertambahnya usia sampai dewasa muda.12 Berat badan lahir berhubungan dengan gejala respiratorik seperti wheezing, batuk dan infeksi saluran nafas bawah khususnya usia 2 sampai 5 tahun, paling banyak saat usia 4 tahun dan menurun pada usia 7 tahun.18,31 Studi di Amerika menunjukkan bahwa berat badan lahir berhubungan dengan terjadinya wheezing, wheezing rekuren dan asma pada usia 2 tahun dengan peningkatan faktor risiko pada anak laki – laki, terpapar rokok secara pasif, riwayat orang tua asma, dan paparan dari saudara kandung yang lain. Namun terjadinya wheezing, wheezing rekuren dan asma pada usia 2 tahun tidak berhubungan dengan usia gestasi.19 Sebaliknya pada studi lain usia gestasi berhubungan dengan kelainan respiratorik pada masa anak – anak sedangkan berat badan lahir berhubungan dengan disfungsi paru. Hubungan usia gestasi dengan kelainan respiratorik yang paling banyak adalah terjadinya wheezing, sehingga setiap bertambahnya usia gestasi dapat mengurangi risiko kelainan respiratorik berupa wheezing sebanyak 10%.31 Pada penelitian kohort di Norwegia menunjukkan bahwa bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah khususnya yang memiliki riwayat BPD neonatal berhubungan secara signifikan dengan penurunan nilai VEP1 pada usia 10 dan 18 tahun dibandingkan riwayat bayi cukup bulan. Hal ini juga meningkatkan terjadinya obstruksi nafas yang muncul saat usia anak
Universitas Sumatera Utara
pertama kelahiran dan dewasa awal.32 Hal ini juga disimpulkan oleh studi kasus kontrol pada usia sekolah di Jerman.33 Pada studi di Prancis menjelaskan bahwa terapi surfaktan berhubungan dengan penurunan risiko abnormalitas paru pada anak usia sekolah.34 Namun pada studi di India, terdapat penurunan nilai VEP1 pada usia 7 tahun dengan atau tanpa riwayat BPD.35 Fungsi paru juga dipengaruhi oleh geografis dan lingkungan. Namun pada studi di Indonesia bahwa tidak ada perbedaan bermakna fungsi paru anak usia 10 sampai 12 tahun yang sekolah di area polusi udara tinggi dan rendah.36 Pada studi di India menunjukkan bahwa selain antropometrik dan faktor sosial ekonomi, tingkat ketinggian tempat tinggal juga mempengaruhi fungsi paru.37 Studi di Afrika pada 27.660 orang kulit hitam di Afrika menunjukkan bahwa riwayat tuberkulosis menyebabkan kerusakan kronis paru dan mempengaruhi nilai FEV1.38 Studi di Skotlandia pada pemeriksaan paru dewasa menunjukkan penurunan fungsi paru dengan riwayat asma dan wheezing bronkitis pada masa anak – anak.39 Pada studi di Utah terdapat penurunan FEV1 lebih dari 300 mL pada laki – laki dan > 200 mL pada wanita berhubungan dengan status ekonomi. Rokok berhubungan dengan efek lanjutan dari kerusakan sistem respiratorik. 40 Pada studi prospektif di Arizona, insiden pneumonia selama tiga tahun pertama kehidupan adalah sebanyak 7.4%. Anak dengan diagnosis
Universitas Sumatera Utara
pneumonia lebih berisiko menderita asma dan rekuren wheezing pada usia 6 sampai 11 tahun dibandingkan dengan anak yang tidak menderita pneumonia, selain itu juga terjadi penurunan nilai KRF (FRC) pada usia 6 tahun dan nilai FEV1 pada usia 11 tahun.
40
Faktor risiko adanya wheezing
juga berhubungan dengan riwayat keluarga asma. 41
Universitas Sumatera Utara
2.8 Kerangka konseptual Perkembangan Paru
Fase 1
Postnatal
Prenatal
- Periode Embrional - Pseudoglandu lar - Kanalikular - Sakkular
Fase 2
Alveoli stage
Airway development
Airflow/Pressure flow
Tekanan / Volume
Resistensi dan konduksi
Komplians paru
Neonatus
Anak
Remaja
Dewasa
IMT, Tinggi badan, berat badan, umur, jenis kelamin dan ras Berat badan lahir rendah
Faal paru: VEP1,KVP VEP1/KVP
1. Kerusakan struktur paru: parenkim (alveoli dan jaringan interstitial) dan pembuluh darah 1 2. Kerusakan struktur saluran pernafasan paru:saluran pernafasan atas(mulut, hidung, laring, Saluran nafas bawah (trakea, brnkus utama, bronkiolus hingga alveoli 3. Struktur thoraks/abdominal yang disekitar paru: Pleura, otot pernafasan dan saraf pernapasan, isi abdomen, struktur pendukung dinding dada (sternum, kartilago kota, vertebra torakalis) Variable yang diteliti
Universitas Sumatera Utara