BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sosial Budaya 2.1.1. Pengertian Sosial Budaya Menurut Enda (2010), sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Sedangkan menurut Daryanto (1998), sosial merupakan sesuatu yang menyangkut aspek hidup masyarakat. Namun jika di lihat dari asal katanya, sosial berasal dari kata ”socius” yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) di artikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Menurut Koentjoroningrat (1981), budaya berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di biasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekerti. Sedangkan menurut Larry, dkk kebudayaan dapat berarti simpanan akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi ruang, konsep yang luas, dan objek material atau kepemilikan yang di miliki dan di pertahankan oleh sekelompok orang atau suatu generasi. Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang di aturkan atau di ajarkan manusia kepada generasi berikutnya (Taylor, 1989) sedangkan menurut Sir Eduarel Baylor (1871) dalam Andrew dan Boyle (1995), budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mengandung pengetahuan, kepercaayaan seni, moral,
Universitas Sumatera Utara
hukum, kebiasaan, dan kecakapan lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota komunikasi setempat. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, religius, dan segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Kondisi sosial budaya (adat istiadat) dan kondisi lingkungan (kondisi geografis) berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi. Situasi budaya dalam hal ini adat istiadat saat ini memang tidak kondusif untuk help seeking behavior dalam masalah kesehatan reproduksi di Indonesia (Muhammad, 1996). Hal ini dikemukakan berdasarkan realita, bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya sudah terbiasa menganggap bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang wajar yang tidak memerlukan antenal care. Hal ini tentu berkaitan pula tentang pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya antenal care dan pemeliharaan kesehatan reproduksi lainnya. 2.1.2. Pembagian Budaya Menurut pandangan antropologi tradisional, budaya di bagi menjadi dua yaitu: 1. Budaya Material Budaya material dapat beruapa objek, seperti makanan, pakaian, seni, benda – benda kepercayaan. 2. Budaya Non Material Mencakup kepercayaan, pengetahuan, nilai, norma, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
a. Kepercayaan Menurut Rousseau yang di kutip Andi (2006), kepercayaan adalah bagian psikologis terdiri dari keadaan pasrah untuk menerima kekurangan berdasarkan harapan positif dari niat atau perilaku orang lain. Sedangkan menurut Robinson yang di kutip Lendra (2006) kepercayaan adalah harapan seseorang, asumsi-asumsi atau keyakinan akan kemungkinan tindakan seseorang akan bermanfaat, menguntungkan atau setidaknya tidak mengurangi keuntungan yang lainnya (Lendra, 2004). b. Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia di peroleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo 2003). c. Sikap Menurut Notoatmodjo (2007), sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakans reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
Universitas Sumatera Utara
d. Nilai Nilai adalah merupakan suatu hal yang nyata yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk, indah atau tidak indah, dan benar atau salah. Kimball Young mengemukakan nilai adalah asumsi yang abstrak dan sering tidak di sadari tentang apa yang di anggap penting dalam masyarakat. Sedangkan norma adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Emil Durkheim mengatakan bahwa norma adalah sesuatu yang berada di luar individu, membatasi mereka dan mengendalikan tingkah laku mereka. Menurut konsep budaya Lainingen (1978-1984) karakteristik budaya dapat digambarkan sebagai berikut : a. Budaya adalah pengalaman yang bersifat univerbal sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis. b. Budaya bersifat stabil, tetapi juga di namis karena budaya tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga mengalami perubahan. c. Budaya di isi dan tentukan oleh kehidupan manusia sendiri tanpa di sadari. 2.1.3. Unsur Budaya Adapun unsur-unsur dari budaya adalah : a. Sistem religi Terdiri dari sistem kepercayaan kesusastraan suci, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan, ilmu gaib, serta sistem nilai dan pandangan hidup.
Universitas Sumatera Utara
b. Sistem dan organisasi masyarakat Terdiri dari sistem kekerabatan, sistem kesatuan hidup setempat, asosiasi dan perkumpulan-perkumpilan dan sistem kenegaraan. c. Sistem pengetahuan Terdiri dari pengetahuan tentang sekitar alam, pengetahuan tentang alam flora, pengetahuan tentang zat-zat bahan mentah, pengetahuan tentang tubuh manusia, dan pengetahuan tentang ruang, waktu dan bilangan. d. Bahasa Terdiri dari bahasa lisan dan tulisan. e. Kesenian Terdiri dari seni patung, seni relief, seni lukis/gambar, seni rias, seni vocal, seni instrumenseni kesusastraan dan seni drama. f. Mata pencaharian Terdiri dari berburu dan meramu, perikanan, bercocok tanam di lading, bercocok tanam menetap, peternakan, perdagangan. g. Teknologi dan peralatan Terdiri dari alat-alat produktif, alat-alat distribusi dan transport, wadah-wadah atau tempat untuk menaruh, makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Wujud Budaya J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan : yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud kebudayaan : a. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (2007) memberikan penjelasannya sebagai berikut: a. Wujud ide Wujud tersebut menunjukan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, di pegang ataupun di foto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga di sebut adat istiadat. b. Wujud perilaku Wujud tersebut di namakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-
Universitas Sumatera Utara
aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa. c. Wujud artefak Wujud ini di sebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa di raba, di lihat dan di dokumentasikan. 2.1.5. Sistem Sosial Budaya Pengertian sistem menurut Tatang M. Amirin “Sistem berasal dari bahasa Yunani yang berarti : a. Suatu hubungan yang tersusun atas sebagian bagian. b. Hubungan yang berlangsung diantara satuan-satuan atau komponen komponen secara teratur. Sosial berarti segala sesuatu yang beralian dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyaakat dari orang atau sekelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nila-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Budaya berarti cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannya secara timbal balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang didalamnya tercakup pula segala hasil dari cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materil maupun yang psikologis, adil, dan spiritual. Sistem budaya merupakan komponen dari kebudayaan yang bersifat abstrak dan terdiri dari pikiran-pikiran, gagasan, konsep serta keyakinan. Dengan demikian sistem kebudayaan merupakan bagian dari kebudayaan yang dalam bahasa Indonesia
Universitas Sumatera Utara
lebih sering disebut sebagai adat istiadat (Koentjoaraningrat, 1990). Dalam arti lain, sistem sosial budaya merupakan konsep untuk menelaah asumsi-asumsi dasar dalam kehidupan masyarakat. Pemberian makna konsep sistem sosial budaya dianggap penting karena tidak hanya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan sistem sosial budaya itu sendiri tetapi memberikan eksplanasi deskripsinya melalui kenyataan di dalam kehidupan masyarakat (Anonim 2010).
2.2. Kesehatan Reproduksi 2.2.1. Sejarah Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak diangkatnya isu tersebut dalam konferensiinternasional tentang kependudukan dan pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Hal ini penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak
reproduksi
(Widyastuti
2009).
Dengan
demikian
pengendalian
kependudukan telah bergeser kearah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.
Universitas Sumatera Utara
Paradigma baru ini berpengaruh besar antara lain terhadap hak dan peran perempuan sebagai subyek dalam ber KB. Perubahan pendekatan juga terjadi dalam penangan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan dan penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, serta kesehatan reproduksi usia lanjut, yang di bahas dalam konteks kesehatan dan hak reproduksi. Dengan paradigma baru ini di harapkan kestabilan pertumbuhan penduduk akan dapat di capai lebih baik. 2.2.2. Pengertian Kesehatan Reproduksi Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 memberikan batasan : kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya. Sedangkan menurut Depkes RI (2000), kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sesudah menikah. Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi (Notoatmodjo 2007).
Universitas Sumatera Utara
Dalam Konfrensi kependudukan di Kairo 1994, di susun pula defenisi kesehatan reproduksi yang di landaskan kepada defenisi sehat menurut WHO : keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan social, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit di segala hal yang berkaitan dengan system reproduksi, fungsinya, maupun proses reproduksi itu sendiri (Widyastuti 2009, Suyono 1997). 2.2.3. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi dalam Siklus Kehidupan Secara luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi yang tercantum dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia (2005) meliputi: 1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir 2. Keluarga berencana 3. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) termasuk IMS-HIV/AIDS 4. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi 5. Kesehatan reproduksi remaja 6. Pencegahan dan penganan infertilitas 7. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut seperti kanker, osteoporosis, dementia dan lain-lain.
2.3 Hak Reproduksi Wanita 2.3.1. Pengertian Hak Reproduksi Wanita Hak adalah sesuatu yang benar, sungguh-sungguh, kepunyaan atau mempunyai wewenang yang dapat dipergunakan (Daryanto, 1998). Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
menurut Kamus Bahasa Indonesia hak memiliki pengertian tentang sesuatu hal yang benar, milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Reproduksi berasal dari kata re = kembali dan produksi = membuat atau menghasilkan, jadi reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup. Hak reproduksi wanita secara umum diartikan sebagai hak yang di miliki oleh individu dalam hal ini perempuan
yang berkaitan dengan keadaan
reproduksinya (Palu, 2008). Hak-hak reproduksi wanita merupakan hak asasi manusia. Baik dalam International Conference on Population and Development (ICPD) 1994 di Kairo maupun Fourth World Conference on Women (FWCW) 1995 di Beijing yang mengakui hak-hak reproduksi sebagai bagian yang tak terpisahkan dan mendasar dari kesehatan reproduksi dan seksual (Febrina 2010). Perkembangan hak asasi perempuan Pemerintah Indonesia yang sebelumnya meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan melalui Undang-Undang No. 7/1984 bertanggung jawab secara simultan melaksanakan peraturan-peraturan di bawah tersebut. Hak-hak tersebut lebih ke arah hak-hak sipil dan hak politis misalnya hak untuk hidup, bebas dari tekanan, bersuara dan mendapat informasi. Sedangkan hak- hak ekonomi, social dan budaya misalnya mendapat pendidikan, berkerja dan standart hidup yang sehat, baik fisik dan mental (Winkjosastro 2006). Winkjosastro 2006 menuliskan dalam setiap hak, pemerintah mempunyai tiga tingkat peraturan :
Universitas Sumatera Utara
1) Menghormati Hak Asasi manusia (HAM) yang berarti pemerintah tidak melakukan kekerasan. 2) Melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) yang berarti pemerintah membuat suatu hukum yang mengatur mekanisme untuk melindungi dari kekerasan. 3) Memenuhi Hak Asasi manusia (HAM) yang berarti pemerintah mengambil suatu tindakan yang bertahap ditempatkan dalam suatu peraturan yang prosedural (sesuai prosedur) dalam suatu institusi. 2.3.2. Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita Berdasarkan Undang- Undang No. 7/ 1984 dan dokumen di Kairo dapat disimpulkan, hak reproduksi (dan implikasinya pada kesehatan reproduksi) yang termasuk di dalam hak reproduksi adalah : a. Hak semua pasangan dan individual untuk memutuskan dan bertanggung jawab terhadap jumlah, jarak dan waktu untuk mempunyai anak serta hak atas informasi yang berkaitan dengan hal tersebut. b.
Hak untuk mendapatkan kehidupan seksual dan kesehatan reproduksi yang terbaik serta hak untuk mendapatkan pelayanan dan informasi agar hal tersebut dapat terwujud.
c. Hak untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan reproduksi yang bebas dari diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan (www.kespro.info.com, 2007). Berdasarkan Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Kairo 1994, ditentukan ada 12 hak-hak reproduksi. Namun demikian, hak
Universitas Sumatera Utara
reproduksi bagi wanita yang paling dominan dan secara sosial dan budaya dapat diterima di Indonesia mencakup 12 hak, yaitu: 1. Hak mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. Setiap wanita berhak mendapatkan informasi dan pendidikan yang jelas dan benar tentang berbagai aspek terkait dengan masalah kesehatan reproduksi. Contohnya: seorang wanita harus mendapatkan informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi. 2. Hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan reproduksi. Setiap wanita memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan kehidupan reproduksinya termasuk perlindungan dari resiko kematian akibat proses reproduksi. Contoh: seorang wanita yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan harus tetap mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik agar proses kehamilan dan kelahirannya dapat berjalan dengan baik. 3. Hak untuk kebebasan berfikir tentang kesehatan reproduksi. Setiap wanita berhak untuk berpikir atau mengungkapkan pikirannya tentang kehidupan yang diyakininya. Perbedaan yang ada harus diakui dan tidak boleh menyebabkan terjadinya kerugian atas diri yang bersangkutan. Orang lain dapat saja berupaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut namun tidak dengan pemaksaan akan tetapi dengan melakukan upaya advokasi dan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). Contoh: seseorang dapat saja mempunyai pikiran bahwa banyak anak menguntungkan bagi dirinya dan keluarganya. Bila ini terjadi maka orang tersebut tidak boleh serta merta
Universitas Sumatera Utara
dikucilkan atau dijauhi dalam pergaulan. Upaya merubah pikiran atau keyakinan tersebut boleh dilakukan sepanjang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan setelah mempertimbangkan berbagai hal sebagai dampak dari advokasi dan KIE yang dilakukan petugas. 4. Hak untuk hidup (hak untuk dilindungi dari kematian karena kehamilan dan proses melahirkan) Setiap perempuan yang hamil dan akan melahirkan berhak untuk mendapatkan perlindungan dalam arti mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik sehingga terhindar dari kemungkinan kematian dalam proses kehamilan dan melahirkan tersebut. Contoh: Pada saat melahirkan seorang perempuan mempunyai hak untuk mengambil keputusan bagi dirinya secara cepat terutama jika proses kelahiran tersebut berisiko untuk terjadinya komplikasi atau bahkan kematian. Keluarga tidak boleh menghalangi dengan berbagai alasan. 5. Hak untuk menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran Setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang di milikinya serta jarak kelahiran yang di inginkan. Contoh: Dalam konteks program KB, pemerintah, masyarakat, dan lingkungan tidak boleh melakukan pemaksaan jika seseorang ingin memiliki anak dalam jumlah besar. Yang harus dilakukan adalah memberikan pemahaman sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya mengenai dampak negatif dari memiliki anak jumlah besar dan dampak positif dari memiliki jumlah anak sedikit. Jika pun klien berkeputusan untuk
Universitas Sumatera Utara
memiliki anak sedikit, hal tersebut harus merupakan keputusan klien itu sendiri. 6. Hak atas kebebasan dan keamanan berkaitan dengan kehidupan reproduksi. Hak ini terkait dengan adanya kebebasan berpikir dan menentukan sendiri kehidupan reproduksi yang dimiliki oleh seseorang. Contoh: Dalam konteks adanya hak tersebut, maka seseorang harus dijamin keamanannya agar tidak terjadi” pemaksaaan” atau “pengucilan” atau munculnya ketakutan dalam diri individu karena memiliki hak kebebasan tersebut. 7. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk perlindungan dari perkosaan, kekerasaan, penyiksaan dan pelecehan seksual. Wanita berhak mendapatkan
perlindungan dari kemungkinan berbagai
perlakuan buruk di atas karena akan sangat berpengaruh pada kehidupan reproduksi. Contoh: Perkosaan terhadap wanita misalnya dapat berdampak pada munculnya kehamilan yang tidak diinginkan oleh yang bersangkutan maupun oleh keluarga dan lingkungannya. Penganiayaan atau tindakan kekekerasan lainnya dapat berdampak pada trauma fisik maupun psikis yang kemudian dapat saja berpengaruh pada kehidupan reproduksinya. 8. Hak mendapatkan manfaat dari kemajuan ilmu pengetahuan yang terkait dengan kesehatan reproduksi Setiap wanita berhak mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan terkait dengan kesehatan reproduksi, serta mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya dan sebenar-benarnya dan kemudahan akses
Universitas Sumatera Utara
untuk mendapatkan pelayanan informasi tentang Kesehatan Reproduksi Wanita Contoh: Jika petugas mengetahui tentang Kesehatan Reproduksi Wanita, maka petugas berkewajiban untuk memberi informasi kepada wanita , karena mungkin pengetahuan tersebut adalah hal yang paling baru untuk wanita 9. Hak atas kerahasiaan pribadi dengan kehidupan reproduksinya terkait dengan informasi pendidikan dan pelayanan. Setiap individu harus dijamin kerahasiaan kehidupan kesehatan reproduksinya terkait dengan informasi pendidikan dan pelayanan misalnya informasi tentang kehidupan seksual, masa menstruasi dan lain sebagainya. Contoh: Petugas atau seseorang yang memiliki informasi tentang kehidupan reproduksi seseorang tidak boleh “membocorkan” atau dengan sengaja memberikan informasi yang dimilikinya kepada orang lain. Jika informasi dibutuhkan sebagai data untuk penunjang pelaksanaan program, misalnya data tentang prosentase pemakaian alat kontrasepsi masih tetap dimungkinkan informasi tersebut dipublikasikan sepanjang tidak mencantumkan indentitas yang bersangkutan. 10. Hak membangun dan merencanakan keluarga Setiap individu dijamin haknya : kapan, dimana, dengan siapa, serta bagaimana ia akan membangun keluarganya. Tentu saja kesemuanya ini tidak terlepas dari norma agama, sosial dan budaya yang berlaku (ingat tentang adanya kewajiban yang menyertai adanya hak reproduksi). Contoh :
Universitas Sumatera Utara
Seseorang akan menikah dalam usia yang masih muda, maka petugas tidak bisa memaksa orang tersebut untuk membatalkan pernikahannya. Yang bisa di upayakan adalah memberitahu orang tersebut tentang peraturan yang berlaku di Indonesia tentang batas usia terendah untuk menikah dan yang penting adalah memberitahu tentang dampak negatif dari menikah dan hamil pada usia muda. 11. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan berkeluarga dan kehidupan reproduksi. Setiap orang tidak boleh mendapatkan perlakuan diskriminatif berkaitan dengan kesehatan reproduksi karena ras, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, keyakinan/agamanya dan kebangsaannya. Contoh: Orang tidak mampu harus mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas (bukan sekedar atau asal-asalan) yang tentu saja sesuai dengan kondisi yang melingkupinya. Demikian pula seseorang tidak boleh mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam hal mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi hanya karena yang bersangkutan memiliki keyakinan berbeda dalam kehidupan reproduksi. Misalnya seseorang tidak mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan secara benar, hanya karena yang bersangkutan tidak ber-KB atau pernah menyampaikan suatu aspirasi yang berbeda dengan masyarakat sekitar. Pelayanan juga tidak boleh membedakan apakah seseorang tersebut perempuan atau laki-laki. Hal ini disebut dengan diskriminasi gender.
Universitas Sumatera Utara
12. Hak atas kebebasan berkumpul dan berpartisipasi dalam politik yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat atau aspirasinya baik melalui pernyataan pribadi atau pernyataan melalui suatu kelompok atau partai politik yang
berkaitan
dengan
kehidupan
reproduksi.
Contoh:
seseorang
berhak
menyuarakan penentangan atau persetujuan terhadap aborsi baik sebagai individu maupun bersama dengan kelompok. Yang perlu diingatkan adalah dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi tersebut harus memperhatikan azas demokrasi dan dalam arti tidak boleh memaksakan kehendak dan menghargai pendapat orang lain serta taat kepada hukum dan peraturan peraturan yang berlaku.
2.4. Penentuan Jarak Kehamilan Penentuan jarak kehamilan adalah upaya untuk menetapkan atau member batasan sela antara kehamilan yang lalu dengan kehamilan yang akan datang (Alwi, 2005). Penentuan jarak kehamilan merupakan salah satu cara untuk menentukan berapa jarak yang akan direncanakan diantara kehamilan satu dengan yang lain (Dwijayanti, 2005). Pengaturan jarak kehamilan merupakan salah satu usaha agar pasangan dapat lebih menerima dan siap untuk memiliki anak. Perencanaan pasangan kapan untuk memiliki anak kembali, menjadi hal penting untuk dikomunikasikan (Masyhuri, 2007). Keinginan keluarga untuk memiliki anak sangat erat kaitannya dengan pandangan masing-masing keluarga tentang pandangan masing-masing keluarga tentang nilai anak (value of children). Semakin tinggi tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
keluarga terhadap nilai anak maka semakin tinggi pula dorongan keluarga untuk merencanakan jumlah anak ideal (BKKBN, 2007). Menentukan jarak kehamilan tidak semua pasangan usia subur mengetahui secara jelas manfaatnya buat kehidupan jangka panjang yang lebih baik. Maka yang paling penting dalam hal ini adalah meningkatkan peran suami istri dalam memahami betul manfaat menentukan jarak kehamilan. Dimana, terdapat keadaan bahwa jarak kehamilan yang diinginkan sebagian besar wanita di negara berkembang tersebut tidak selalu terpenuhi. Hal itu diakibatkan beberapa faktor yang mungkin sangat kompleks sifatnya seperti faktor sosial budaya serta pengambilan keputusan yang dilakukan tidak oleh istri, akan tetapi oleh anggota keluarga lainnya seperti suami atau ibu mertua. Kejadian ini masih terjadi di Indonesia, terutama di beberapa daerah pedalaman yang masih kuat nilai-nilai tradisionalnya. Padahal tertulis dalam hak-hak reproduksi yang mengatakan bahwa setiap orang berhak untuk menentukan jumlah anak yang dimiliki serta jarak kehamilan yang diinginkan (Diana, 2007). Dalam merencanakan dan mengatur jarak kehamilan, perencanaan pasangan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari segi kematangan ekonomi, umur pasangan, pengaruh sosial budaya, lingkungan, pekerjaan maupun status kesehatan pasangan (Susan, 2006). Faktor usia juga merupakan salah satu faktor dalam menentukan jarak kehamilan dimana pada saat merencanakan kehamilan yang harus dihindari antara lain empat T yaitu (Manuaba, 1998) : 1. Terlalu muda untuk hamil (< 20 tahun) 2. Terlalu tua untuk hamil (> 35 tahun)
Universitas Sumatera Utara
3. Terlalu sering hamil (anak > 3 orang berisiko tinggi) 4. Terlalu dekat jarak kehamilannya (< 2 tahun) Oleh karena faktor usia, di Indonesia wanita di atas usia 30 tahun banyak yang memilih jarak pendek untuk melahirkan anak sebelum mereka berumur 35 tahun ke atas (Yolan, 2007). Faktor usia merupakan faktor penting dalam menentukan jarak kehamilan, terutama bagi wanita bila berusia 38 tahun dan masih menginginkan 2 orang anak maka tidak bisa hamil dengan jarak umur tiga tahun antara yang satu dengan yang lain, bila usia dibawah 30 tahun dan tidak mempunyai masalah kesehatan yang membahayakan kehamilan maka masih mempunyai kesempatan untuk mengatur jarak kehamilan (Dwijayanti, 2005). Keberhasilan beberapa negara maju yang wanitanya berpendidikan lebih tinggi cenderung menggunakan kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan. Karena umumnya mereka menyadari perlunya mengatur jarak kehamilan (Diana, 2007). Peningkatan partisipasi pasangan di bidang pendidikan akan berdampak pada pembatasan jumlah dan jarak anak yang dilahirkan, terutama disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup berumah tangga (Bappenas, 2007). Aspek ekonomi juga faktor yang tak kalah penting, jika tidak direncanakan terutama soal penyiapan dananya, bisa juga berakibat fatal. Salah satu keuntungan dalam mengatur penentuan jarak kehamilan adalah dari segi ekonomi sosial yaitu meningkatkan derajat kualitas hidup perempuan secara menyeluruh (Diana, 2007). Study menunjukkan pada umumnya pasangan yang tidak mau mempunyai anak
Universitas Sumatera Utara
beralasan bahwa mereka tidak cukup mampu menyediakan dukungan yang layak untuk membesarkan anak sebagaimana mestinya. Dengan persiapan mental maupun ekonomi dari pasangan akan mempermudah pasangan untuk menentukan jarak kehamilan (Zeverina, 2007).
2.5. Perencanaan Kehamilan yang Sehat Perencanaan berkeluarga yang optimal melalui perencanaan kehamilan yang aman, sehat dan diinginkan merupakan salah satu faktor penting dalam upaya menurunkan angka kematian maternal. Menjaga jarak kehamilan tak hanya menyelamatkan ibu dan bayi dari sisi kesehatan, namun juga memperbaiki kualitas hubungan psikologis keluarga (Sugiri, 2007). Salah satu perencanaan kehamilan antara lain dengan mengikuti program Keluarga Berencana (KB). KB memberi kepada pasangan pilihan tentang kapan sebaiknya mempunyai anak, berapa jumlahnya, jarak antar anak yang satu dengan yang lain, dan kapan sebaiknya berhenti mempunyai anak (Yolan, 2007). 2.5.1. Fase-Fase dalam Mengatur Kehamilan Dalam mengatur jarak kehamilan kita dapat menggunakan kontrasepsi sesuai dengan fase-fase berikut ini yaitu (Manuaba, 1998) : 1. Fase menunda kehamilan Pada fase ini, pasangan dapat memilih metode kontrasepsi antara lain : -
Metode
sederhana
yaitu
dengan
menggunakan
kondom,
pantang
berkala,pemakaian spermisid, dan senggama terputus
Universitas Sumatera Utara
-
Pil KB yaitu pil progestin atau pil kombinasi
-
Suntikan KB yaitu suntikan progestin atau suntikan kombinasi
2. Fase menjarangkan kehamilan -
Metode sederhana yaitu dengan menggunakan kondom, pantang berkala, pemakaian spermisida, dan senggama terputus
-
Metode mekanis yaitu Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR)
-
Metode MKE kecuali kontap
3. Fase mengakhiri kehamilan -
Metode MKE termasuk kontap
-
Metode sederhana
2.6. Efek Jarak Kehamilan Terlalu Dekat pada Anak Jarak kehamilan atau kelahiran yang berdekatan juga dapat memicu pengabaian pada anak pertama secara fisik maupun psikis, yang dapat menimbulkan rasa cemburu akibat ketidak siapan berbagi kasih sayang dari orang tuanya (Yolan, 2007). Banyak kakak-beradik dengan jarak kehamilan atau kelahiran terlalu pendek menimbulkan sikap iri atau cemburu. Seperti kakak tidak gembira atas kehadiran si kecil, justru sering menganggapnya musuh karena merampas jatah kasih sayang orang tuanya (Diana, 2007). Persiapan secara mental untuk si kakak sangat penting dilakukan oleh orang tuanya terutama si ibu agar nantinya tidak merasa tersisih, yaitu dengan cara (Yanti, 2007):
Universitas Sumatera Utara
1. Menjelaskan padanya secara natural bahwa kehadiran adiknya nanti tidak akan membuat perhatian orangtua padanya berkurang bahkan mungkin akan semakin sayang. 2. Semakin besar usia anak maka akan semakin mudah bagi orangtua untuk menjelaskannya. Ia mungkin tertarik dengan penjelasan mengenai apa yang akan terjadi dengan tubuh ibu dan apa yang ada dalam perut ibu nantinya. 3. Berjanji pada si kakak bahwa kelak ia akan dilibatkan saat orangtua akan memilih nama untuk si adik juga pada saat akan membelikan perlengkapan untuk si adik serta saat mengasuhnya.
2.7 Faktor yang Mendasari Penentuan Jarak Kehamilan pada Pasangan Usia Subur (PUS) 2.7.1 Umur Terkejar oleh faktor usia, di Indonesia wanita di atas usia 30 tahun banyak yang memilih jarak pendek untuk melahirkan anak sebelum mereka berusia 35 tahun keatas (Yolan, 2007). Faktor usia merupakan faktor penting dalam menentukan jarak kehamilan, terutama bagi wanita bila berusia 38 tahun dan masih menginginkan 2 orang anak maka tidak bisa hamil dengan jarak umur tiga tahun antara yang satu dengan yang lain, bila usia dibawah 30 tahun dan tidak mempunyai masalah kesehatan yang membahayakan kehamilan maka masih mempunyai kesempatan untuk mengatur jarak kehamilan (Dwijayanti, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil penelitian Amiruddin (2006) dari 70 responden mayoritas responden berumur 20-30 tahun memilih jarak kehamilan 2-5 tahun sebanyak 51 orang (72,8%) dan hanya 9 orang (12,8%) yang memilih jarak kehamilan <2 tahun. 2.7.2. Pendidikan Pendidikan adalah proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran. Tingkat pendidikan yang tinggi menjadi dasar keberhasilan dalam bisnis atau bidang profesi, yang akan membuka jalan bagi individu bersangkutan untuk menjalin hubungan dengan orang yang statusnya lebih tinggi. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan hidup manusia akan semakin berkualitas (Hurlock, 1999). Beberapa negara maju yang wanitanya berpendidikan lebih tinggi cenderung menggunakan kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan. Karena umumnya mereka menyadari perlunya mengatur jarak kehamilan (Diana, 2007). Peningkatan partisipasi pasangan di bidang pendidikan akan berdampak pada pembatasan jumlah dan jarak anak yang dilahirkan, terutama disebabkan meningkatnya kesadaran dan tanggung jawab dalam hidup berumah tangga (Bappenas, 2007). Menurut Lukman (2008) juga umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya. 2.7.3. Ekonomi Study menunjukkan pada umumnya pasangan yang tidak mau mempunyai anak beralasan bahwa mereka tidak cukup mampu menyediakan dukungan yang layak untuk membesarkan anak sebagaimana mestinya. Dengan persiapan mental
Universitas Sumatera Utara
maupun ekonomi dari pasangan akan mempermudah pasangan untuk menentukan jarak kehamilan (Zeverina, 2007). Salah satu keuntungan dalam mengatur jarak kehamilan adalah dari segi ekonomi sosial yaitu meningkatkan derajat kualitas hidup perempuan secara menyeluruh. Selain kesehatan dan kejiwaan, aspek ekonomi juga tak kalah penting. Jika tidak direncanakan terutama soal penyiapan dananya bisa juga berakibat fatal (Diana, 2007). Oleh karena itu persiapan pasangan baik dari segi fisik maupun psikis sangatlah penting untuk menentukan jarak kehamilan pada pasangan usia subur. 2.7.4. Sosial Budaya Budaya merupakan pelaksanaan norma-norma kelompok tertentu yang dipelajari dan ditanggung bersama. Yang termasuk di dalamnya adalah pemikiran, penuntun, keputusan dan tindakan atau perilaku seseorang. Selain itu nilai budaya adalah merupakan suatu keinginan individu atau cara bertindak yang dipilih atau pengetahuan terhadap sesuatu yang dibenarkan sepanjang waktu sehingga mempengaruhi tindakan dan keputusan (Leiningger, 2005). Pengaruh sosial budaya juga terlibat dalam perilaku perawatan keluarga yang memiliki anak. Mempunyai anak merupakan pengalaman hidup yang kritis dan penuh dengan kepercayaan dan praktek-praktek tradisional (Alfonso, 1979 dalam Bobac dan Jansen, 1997). Dalam perencanan kehamilan keputusan pasangan dapat dipengaruhi oleh budaya yang ada, seperti pengambilan keputusan dalam menentukan jumlah anak dan jarak antara kehamilan yang dilakukan tidak oleh istri, akan tetapi oleh anggota keluarga lainnya seperti suami atau ibu mertua. Kejadian ini masih terjadi di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia terutama di beberapa daerah pedalaman yang masih kuat nilai tradisionalnya (Diana, 2007). 2.7.5. Sumber Informasi Sumber informasi adalah segala sesuatu yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi (Alwi, 2005). Dengan memberikan informasi tentang bagaimana cara hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya akan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya kesehatan. Selanjutnya dengan pengetahuan yang dimilikinya akan menimbulkan kesadaran masyarakat dan akhirnya akan menyebabkan orang berprilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu (Notoatmodjo, 2003). Menurut Nugraha (2007) salah satu faktor yang mendasari pasangan memilih jarak anak yang dekat adalah karena kurangnya informasi tentang dampak jarak kehamilan yang terlalu dekat. Dengan pengetahuan dan informasi tentang kehamilan yang aman akan memudahkan pasangan untuk mengambil keputusan kapan saat yang tepat untuk menentukan berapa jumlah anak serta jarak kehamilan yang aman (Yanti, 2007). 2.7.6. Status Kesehatan Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Hanafiah, 1999). Status kesehatan sangat mempengaruhi perilaku dan tindakan seseorang sehari-hari. Pasangan yang tidak mempunyai masalah kesehatan yang
Universitas Sumatera Utara
membahayakan kehamilan maka masih mempunyai kesempatan untuk mengatur jarak kehamilan (Dwijayanti, 2005). Dari beberapa faktor yang mendasari penentuan jarak kehamilan diatas, yang akan dibahas oleh peneliti adalah faktor yang mendasari penentuan jarak kehamilan berdasarkan umur, pendidikan dan ekonomi.
2.8. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Pelayanan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan perempuan dan laki-laki berhubungan dengan masalah seksualitas dan penjarangan kehamilan. Tujuan dari program-program yang terkait serta konfigurasi dari pelayanan tersebut harus menyeluruh, dan mengacu kepada program Keluarga Berencana (KB) yang konvensional serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Komponen yang termasuk di dalam kesehatan reproduksi adalah: 1. Konseling tentang seksualitas, kehamilan, alat kontrasepsi, aborsi, infertilitas, infeksi dan penyakit; 2. Pendidikan seksualitas dan jender; 3. Pencegahan, skrining dan pengobatan infeksi saluran reproduksi, penyakit menular seksual (PMS), termasuk HIV/AIDS dan masalah kebidanan lainnya; 4. Pemberian informasi yang benar sehingga secara sukarela memilih alat kontrasepsi yang ada; 5. Pencegahan dan pengobatan infertilitas; 6. Pelayanan aborsi yang aman;
Universitas Sumatera Utara
7. Pelayanan kehamilan, persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan pasca kelahiran; dan 8. Pelayanan kesehatan untuk bayi dan anak-anak. Kualitas pelayanan merupakan prioritas dan ini harus didukung dengan: 1. Menerapkan metode yang kompeten dengan standar yang tinggi (maintaining high standards of technical competence); 2. Melayani klien dengan rasa hormat dan bersahabat; 3. Merancang pelayanan agar dapat memenuhi kebutuhan klien; 4. Menyediakan pelayanan lanjutan.
2.9. Pasangan Usia Subur 2.9.1. Pengertian Pasangan Usia Subur Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah, yang istrinya berumur antara 15 sampai dengan 49 tahun, dan secara operasional termasuk pula pasangan suami istri yang istrinya berumur kurang dari 15 tahun dan telah haid atau istri berumur lebih dari 50 tahun tetapi masih haid.
2.10. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kesehatan Reproduksi Secara garis besar faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan reproduksi dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi :
Universitas Sumatera Utara
a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil). b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain). c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang membeli kebebasannya secara materi). d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca penyakit menular seksual). Pengaruh dari semua faktor diatas dapat dikurangi dengan strategi intervensi yang tepat guna, terfokus pada penerapan hak reproduksi wanita dan pria dengan dukungan disemua tingkat administrasi, sehingga dapat diintegrasikan kedalam berbagai program kesehatan, pendidikan, sosial dam pelayanan non kesehatan lain yang terkait dalam pencegahan dan penanggulangan masalah kesehatan reproduksi (Harahap 2008). 2.10.1. Masalah Kesehatan Reproduksi Menurut program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan reproduksi ditinjau dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi :
Universitas Sumatera Utara
a. Praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti mutilasi, genital, diskriminasi nilai anak). b. Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak masa kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan remaja, kekerasan/pelecehan seksual dan tindakan seksual yang tidak aman). c. Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi tidak aman. d. Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama kehamilan, persalian dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi, anemia, berat bayi lahir rendah. e. Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular seksual. f. Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan penyakit menular seksual. g. Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ reproduksi. h. Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah ketuaan lainnya. Masalah kesehatan reproduksi mencakup area yang jauh lebih luas, dimana masalah tersebut dapat kita kelompokkan sebagai berikut : 1. Masalah reproduksi a. Kesehatan, morbiditas (gangguan kesehatan) dan kematian perempuan yang berkaitan dengan kehamilan. Termasuk didalamnya juga masalah
Universitas Sumatera Utara
gizi dan anemia dikalangan perempuan, penyebab serta komplikasi dari kehamilan, masalah kemandulan dan ketidaksuburan. b. Peranan atau kendali sosial budaya terhadap masalah reproduksi. Maksudnya bagaimana pandangan masyarakat terhadap kesuburan dan kemandulan, nilai anak dan keluarga, sikap masyarakat terhadap perempuan hamil. c. Intervensi pemerintah dan negara terhadap masalah reproduksi. Misalnya program KB, undang-undang yang berkaitan dengan masalah genetik, dan lain sebagainya. d. Tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, serta terjangkaunya secara ekonomi oleh kelompok perempuan dan anakanak. e. Kesehatan bayi dan anak-anak terutama bayi dibawah umur lima tahun. f. Dampak pembangunan ekonomi, industrialisasi dan perubahan lingkungan terhadap kesehatan reproduksi. 2. Masalah gender dan seksualitas a.
Pengaturan negara terhadap masalah seksualitas. Maksudnya adalah peraturan dan kebijakan negara mengenai pornografi, pelacuran dan pendidikan seksualitas.
b.
Pengendalian sosio -budaya terhadap masalah seksualitas, bagaimana normanorma sosial yang berlaku tentang perilaku seks, homoseks, poligami, dan perceraian.
Universitas Sumatera Utara
c.
Seksualitas dikalangan remaja.
d.
Status dan peran perempuan.
e.
Perlindungan terhadap perempuan pekerja.
3. Masalah kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan a.
Kencenderungan
penggunaan
kekerasan
secara
sengaja
kepada
perempuan, perkosaan, serta dampaknya terhadap korban. b.
Norma sosial mengenai kekerasan dalam rumah tangga, serta mengenai berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan.
c.
Sikap masyarakat mengenai kekerasan perkosaan terhadap pelacur.
d.
Berbagai langkah untuk mengatasi masalah- masalah tersebut.
4. Masalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual a.
Masalah penyakit menular seksual yang lama, seperti sifilis, dan gonorhea.
b.
Masalah penyakit menular seksual yang relatif baru seperti chlamydia, dan herpes.
c.
Masalah
HIV/AIDS
(Human
Immunodeficiency
Virus/Acguired
immunodeficiency Syndrome). d.
Dampak sosial dan ekonomi dari penyakit menular seksual.
e.
Kebijakan dan progarm pemerintah dalam mengatasi maslah tersebut (termasuk penyediaan pelayanan kesehatan bagi pelacur/pekerja seks komersial).
f.
Sikap masyarakat terhadap penyakit menular seksual.
Universitas Sumatera Utara
5. Masalah pelacuran a.
Demografi pekerja seksual komersial atau pelacuran.
b.
Faktor-faktor yang mendorong pelacuran dan sikap masyarakat terhadapnnya.
c.
Dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, baik bagi pelacur itu sendiri maupun bagi konsumennya dan keluarganya.
6. Masalah sekitar teknologi a.
Teknologi reproduksi dengan bantuan (inseminasi buatan dan bayi tabung).
b.
Pemilihan bayi berdasarkan jenis kelamin (gender fetal screening).
c.
Pelapisan genetik (genetic screening).
d.
Keterjangkauan dan kesamaan kesempatan.
e.
Etika dan hukum yang berkaitan dengan masalah teknologi reproduksi ini (Febrina, 2010).
2.11. Jarak Kehamilan Kehamilan merupakan saat yang paling tepat untuk saling berbagi dan merencanakan apa yang akan dilakukan sebagai calon orangtua. Upaya perencanaan dalam keluarga yakni menentukan jumlah anak dan jarak kehamilannya merupakan hal yang umum dilakukan, terutama oleh keluarga muda baik diperkotaan maupun di pedesaan. Kesadaran akan pentingnya perencanaan keluarga ini biasanya dikaitkan dengan konsep perencanaan keluarga, pasangan muda dianggap lebih siap baik secara
Universitas Sumatera Utara
mental, spiritual maupun finansial dalam menata masa depan anak-anak mereka. Tentu saja pandangan ini masih bisa di pertanyakan mengingat penataan masa depan keluarga sangat berkaitan dengan banyak faktor (Sugiri, 2007). Di masyarakat masih berlaku kebiasaan dimana sebagian besar suami-istri hanya berbincang tentang ukuran keluarga ketika ingin menambah jumlah anak, tetapi tidak detail hingga menyentuh masalah kesiapan istri untuk menerima kehamilan baru (Rahima, 2003). Secara medis, rahim sebenarnya sudah siap untuk hamil kembali tiga bulan setelah melahirkan. Namun berdasarkan catatan statistik penelitian bahwa jarak kelahiran yang aman antara anak satu dengan lainnya adalah 27 sampai 32 bulan. Pada jarak ini si ibu akan memiliki bayi yang sehat serta selamat saat melewati proses kehamilan (Agudelo, 2007). Penelitian The Demographic and Health Survey, menyebutkan bahwa anak anak yang dilahirkan 2-5 tahun setelah kelahiran anak sebelumnya, memiliki kemungkinan hidup sehat 2,5 kali lebih tinggi daripada yang berjarak kelahiran kurang dari 2 tahun, maka jarak kehamilan yang aman adalah 2-5 tahun (Yolan, 2007). 2.11.1. Risiko dalam Menentukan Jarak Kehamilan a. Wanita yang melahirkan dengan jarak yang sangat berdekatan (< 2 tahun) akan mengalami resiko antara lain (Yolan, 2007) : b. Resiko perdarahan trimester III c. Plasenta previa d. Anemia
Universitas Sumatera Utara
e. Ketuban pecah dini f. Endometriosis masa nifas g. Kematian saat melahirkan h. Kehamilan dengan jarak yang terlalu jauh juga dapat menimbulkan resiko tinggi antara lain persalinan lama. Dengan adanya resiko dalam menentukan jarak kehamilan maka diperlukan penelitian tentang hubungan umur, pendidikan maupun ekonomi terhadap penentuan jarak kehamilan. 2.12. Landasan Teori Sesungguhnya, hak asasi perempuan merupakan bagian dari hak asasi manusia, oleh karena itu penegakan hak asasi perempuan merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen internasional dalam Deklarasi PBB, maka perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik termasuk keluarga atau orangorang di sekitarnya (Abdullah, 2001). Lawrence Green seperti dikutip Notoatmojo (2003) menyatakan, terdapat 3 faktor yang mendasari perilaku pasien yaitu presdiposing, enabling, dan reinforcing. Faktor predisposing meliputi pengetahuan dan sikap pasien yang merupakan kognitif domain yang mendasari terbentuknya perilaku baru. Hal lain dari faktor ini adalah tradisi, kepercayaan, sistem nilai, tingkat pendidikan, dan tingkat sosial ekonomi. Faktor enabling mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan, berupa peraturan prosedur tetap dan kesempatan pemberian informasi. Dalam
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini, dipakai salah satu faktor dari ketiga faktor tersebut yang mempengaruhi pemenuhan hak-hak reproduksi wanita usia subur, yaitu predisposing, yaitu pengetahuan, sikap, nilai dan kepercayaan. Komponen budaya merupakan komponen yang paling langsung berpengaruh terhadap pemenuhan hak - hak reproduksi wanita. Komponen ini yang kompleks yang ada di dalamnya terkandung nilai, pengetahuan, kepercayaan dan sikap yang berkaitan dengan pemenuhan hak - hak reproduksi wanita dari beberapa faktor . Model Teori Perilaku menurut Lawrence Green (1980) sebagai berikut :
Faktor Predisposing - Pengetahuan - Sikap - Nilai - Kepercayaan Faktor Enabling - Ketersediaan fasilitas, sarana/prasana
Pemenuhan hak-hak Reproduksi wanita pada pasangan usia subur
Faktor Responsing - Dukungan keluarga dan informasi - Informasi petugas kesehatan
Gambar 2.1. Konsep Landasan Teori
Universitas Sumatera Utara
2.13. Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep dalam peneltian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut ini : Variabel Independen
Variabel Dependen
Karakteristik ibu pada pasangan usia subur : - Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Jumlah anak
Sosial Budaya: -
Pengetahuan Sikap Nilai Kepercayaan
Pemenuhan Hak-hak Reproduksi Wanita Pasangan Usia Subur
: Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan Gambar 2.2 di atas, didapat variabel independen dalam penelitian ini adalah sosial budaya (pengetahuan, sikap, nilai dan kepercayaan), sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah pemenuhan hak-hak reproduksi wanita (Menentukan jumlah anak ,jarak kelahiran, dan pemenuhan hak mendapat pelayanan kesehatan reproduksi (alat kontasepsi))
Universitas Sumatera Utara