BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab tinjauan kepustakaan ini, beberapa aspek yang relevan untuk penelitian akan disajikan. Adapun penjelasan masing-masing setiap variable akan diuraikan sebagai berikut: 2.1. Kolaborasi Perawat-Dokter 2.1.1. Definisi Kolaborasi Perawat-Dokter 2.1.2. Model Praktek Kolaborasi Perawat-Dokter 2.2. Kepuasan Kerja Dokter 2.3. Landasan Teori 2.3.1. Konsep Kolaborasi Perawat-dokter 2.3.2. Konsep Kepuasan Kerja dokter 2.4. Teori Keperawatan menurut Hildegard Peplau 2.5. Peran Perawat 2.6. Desain Dekriptif Korelasi 2.7. Kerangka Konsep
2.1. Kolaborasi Perawat-Dokter 2.1.1. Definisi Kolaborasi Perawat-Dokter Kolaborasi perawat-dokter adalah perawat dan dokter bekerja bersamasama, berbagi tanggung jawab untuk memecahkan masalah dan membuat
Universita Sumatera Utara
keputusan dalam merumuskan dan melaksanakan rencana perawatan untuk pesien (Baggs, et al. 1999 dalam Thomson, 2007).
Kolaborasi perawat-dokter
digambarkan sebagai suatu hubungan kerja sama yang dibangun berdasarkan rasa saling percaya, rasa hormat dan kekuasaan serta memahami pentingnya peran masing-masing anggota tim dan mampu bertindak dalam situasi kesehatan stres tinggi, kolegialiti dan komunikasi ( Messmer, 2008). Kolaborasi perawat-dokter tidak akan terjadi apabila pemberi pelayanan tidak mengetahui makna kolaborasi itu sendiri. Kolaborasi perawat-dokter tidak dapat didefenisikan atau dijelaskan dengan mudah, kebanyakan defenisi menggunakan prinsip perencanaan dan pengambilan keputusan bersama, berbagi saran, kebersamaan, tanggung gugat, keahlian dan tujuan serta tanggung jawab bersama (ANA, 1980 dalam Sieggler & Whitney, 2000). Shortridge et al. (1986) dalam Siegler dan Whitney, (2000) menyebutkan kolaborasi sebagai hubungan timbal balik dimana pemberi pelayanan memegang tanggung jawab paling besar untuk perawatan pasien dalam kerangka kerja bidang respektif mereka. Praktik kolaboratif menekankan tanggung jawab bersama dalam manajemen perawatan pasien, dengan proses pembuatan keputusan bilateral didasarkan pada masing-masing pendidikan dan kemampuan praktisi. American Medical Assosiation (AMA), (1994) mendefinisikan istilah kolaborasi sebagai berikut; Kolaborasi adalah proses dimana dokter dan perawat merencanakan dan praktek bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan dalam batasan-batasan lingkup prektek mereka dengan berbagai nilai-nilai dan
Universita Sumatera Utara
saling mengakui dan menghargai terhadap setiap orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat. 2.1.2. Model Praktek Kolaborasi Perawat-Dokter Menurut Burchell, Thomas, dan Smith (1983) dalam Siegler dan Whitney (2000) terdapat dua model praktek kolaborasi yaitu: 1. Model Praktek Kolaborasi, Tipe I Gambar pertama merupakan model praktik kolaborasi yang menekankan komunikasi dua arah, tapi tetap menempatkan dokter pada posisi utama dan membatasi hubungan antara dokter dan pasien.
Dokter
Registered Nurse
Pemberi Pelayanan Lain
Pasien
Gambar 2.1. Model Praktik Kolaboratif, Tipe I (Burchell, Thomas, dan Smith, 1983 dalam Siegler dan Whitney, 2000)
2. Model Praktek Kolaborasi, Tipe II Gambar kedua lebih berpusat pada pasien, dan semua pemberi pelayanan harus saling bekerja sama, juga dengan pasien. Model ini tetap melingkar,
Universita Sumatera Utara
menekankan kontinuitas, kondisi timbal balik satu dengan yang lain dan tak ada satu pemberi pelayanan yang mendominasi secara terus menerus.
Dokter
Registered Nurse
PASIEN
Pemberi Pelayanan Lain
Gambar 2.2 Model Praktik Kolaborasi, Tipe II (Burchell, Thomas, dan Smith, 1983 dalam Siegler dan Whitney, 2000)
Ruble
dan
Thomas
(1976
dalam
Siegler
&
Whitney,
2000)
mengembangkan suatu ilustrasi yang dapat membantu interpretasi proses kolaborasi. Gambar ketiga menggambarkan grafik interaksi antara dua pribadi. Ordinat menyatakan tingkat seseorang memuaskan kebutuhannya sendiri; absis menyatakan tingkat orang tersebut memuaskan kebutuhan pihak lain. Kolaborasi terbentuk disaat seseorang berusaha memuaskan kebutuhannya sendiri dan kebutuhan pihak lain secara maksimal. Maka grafik ini dapat memperlihatkan apa yang sering tidak dapat dijelaskan dalam defenisi, bahwa proses kolaborasi membutuhkan sikap yang tegas dan kerjasama, bukan penyerahan seseorang untuk memuaskan pihak lain demi mempertahankan harmoni. Model ini sangat terbatas, meskipun dapat digambarkan interaksi potensial antara perawat dan dokter atau antara dua orang pribadi dalam suatu kelompok yang besar dan antar-
Universita Sumatera Utara
disiplin, tetapi grafik ini tidak dapat menggambarkan interaksi yang kompleks yang biasa berlangsung dalam kerja kelompok.
Bersaing berkolaborasi Asertif Menyetujui Keasertifan
Tidak asertif menghindari
menunjuang
Tidak kooperatif kooperatif Kekooperatifan
Gambar 2.3. Ilustrasi Proses Kolaborasi (Ruble dan Thomas, 1976 dalam Siegler dan Whitney, 2000)
Gardner (2005) menyebutkan kerjasama yang efektif antara keperawatan dan profesi kesehatan lainnya untuk mencapai kualitas pelayanan kesehatan yang tinggi, semakin penting dan tumbuh terus menerus. Kolaborasi adalah kemitraan yang kompleks. Ini adalah proses yang terjadi dari waktu ke waktu. Hal ini juga merupakan suatu hasil sintesis dari perspektif yang berbeda, sebuah solusi yang Integratif. Hal ini penting untuk mengingat bahwa konflik adalah bagian alami dari kolaborasi. Konflik ini memberikan kesempatan untuk memperdalam kesepakatan/ komitmen. Penggunaan strategi ketrampilan resolusi konflik dan kemampuan dapat efektif dalam meningkatkan keputusan kualitas dan tim komitmen. Gardner (2005) menawarkan sepuluh pelajaran untuk meningkatkan kolaborasi. Berfokus pada nilai kolaborasi dapat memotivasi perawatan kesehatan profesional untuk menerapkan pelajaran ini dalam praktek sehari-hari mereka:
Universita Sumatera Utara
1.
Pelajaran 1 Mengenal diri sendiri (Know thyself) . Ada banyak realitas secara
bersamaan. Realitas setiap orang didasarkan pada pengembangan persepsi diri. Diperlukan untuk percaya diri dan orang lain untuk mengetahui model mental diri sendiri (bias, nilai-nilai dan tujuan). 2.
Pelajaran 2 Belajar untuk menghargai dan mengelola keragaman (Learn to value and
manage diversity). Perbedaan adalah aset penting untuk proses kolaboratif yang efektif dan hasil. 3.
Pelajaran 3 Mengembangkan keterampilan resolusi konflik yang konstruktif (Develop
constructive conflict resolution skills). Di paradigma kolaboratif, konflik dipandang alami dan sebagai sebuah kesempatan untuk memperdalam pemahaman dan kesepakatan. 4.
Pelajaran 4 Gunakan kekuatan Anda untuk menciptakan situasi menang -menang (Use
your power to create win-win situations)
berbagi kekuasaan dan mengakui
kekuatan dasar sesorang adalah bagian dari kolaborasi yang efektif. 5.
Pelajaran 5 Menguasai keterampilan interpersonal dan proses (Master interpersonal
and process skills) . Kompetensi klinis, kerjasama, dan fleksibilitas yang paling sering diidentifikasi sebagai atribut penting untuk praktek kolaboratif efektif.
Universita Sumatera Utara
6.
Pelajaran 6: Menyadari bahwa kolaborasi adalah sebuah perjalanan (Recognize that
collaboration is a journey). Keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk kolaborasi efektif membutuhkan waktu dan latihan. Resolusi konflik, keunggulan klinik, menghargai penyelidikan, dan pengetahuan tentang proses kelompok adalah ketrampilan belajar seumur hidup. 7.
Pelajaran 7 Pengaruh semua forum multidisiplin (Leverage all multidisciplinary
forums). Menjadi baik hadir secara fisik dan mental dalam tim Forum, dapat memberikan kesempatan untuk menilai bagaimana dan Kapan menawarkan komunikasi kolaboratif untuk membangun kemitraan. 8.
Pelajaran 8 Menghargai bahwa kolaborasi dapat terjadi secara spontan (Appreciate that
collaboration can occur spontaneously). Kolaborasi adalah suatu kondisi yang saling mapan yang bisa terjadi secara spontan jika faktor-faktor yang tepat di tempat. 9.
Pelajaran 9 Keseimbangan otonomi dan persatuan dalam hubungan kolaboratif
(Balance autonomy and unity in collaborative relationships). Belajar dari keberhasilan dan kegagalan kolaborasi anda. Menjadi bagian dari sebuah tim yang eksklusif sama buruknya dengan bekerja dalam isolasi. Bersedia mencari umpan balik dan mengakui kesalahan untuk keseimbangan dinamis.
Universita Sumatera Utara
10. Pelajaran 10 Mengingat bahwa kolaborasi tidak diperlukan untuk semua keputusan (Remember that collaboration is not required for all decisions). Kolaborasi tidak obat mujarab, atau itu diperlukan dalam segala situasi. Perubahan peran pada perawat dan dokter telah mengakibatkan ketegangan interdisipliner dan konflik antara perawat-dokter. Praktek kolaboratif yang kuat memberikan
kepuasan untuk pelayanan yang berkualitas tinggi, hemat biaya
perawatan pasien tetapi juga untuk profesional perawat dan dokter. Kerjasama dalam perawatan dimulai dengan visi bersama dan pelaksanaan visi ini kemudian mengarah pada kolaborasi. Eksekutif dan manajer bertanggung jawab mendukung dan memfasilitasi proses yang berkaitan dengan pelaksanaan visi ini. Secara khusus harus dipastikan bahwa sistem dalam organisasi tidak menimbulkan konflik antara pelayan kesehatan. Selain itu, mereka harus meningkatkan visi dan perubahan perilaku dengan kegiatan bersama perawat-dokter yang berpusat di sekitar kedua professional berbagi minat dalam perawatan pasien yang baik (LeTourneau, 2004). Untuk membangun komunikasi dan kolaborasi antara dokter dan perawat perlu dilakukan beberapa cara (LeTourneau, 2004) yaitu: 1. Melibatkan dokter dalam memberikan pendidikan berkelanjutan bagi perawat, keduanya dikelas secara resmi juga secara informal dalam pengaturan pekerjaan. 2. Kembangkan kelompok kolaboratif perawatan di mana perawat-dokter bertemu dan membahas perbaikan perawatan dalam bidang mereka.
Universita Sumatera Utara
3. Libatkan dokter dan perawat dalam melakukan analisis akar penyebab dan kegagalan, mode, dan efek. 4. Menunjuk perawat melayani di Komite-komite kunci staf medis seperti kredensial, kualitas, atau Komite Eksekutif medis. Tugas ini melambangkan bahwa Anda menghargai dan menghormati perawat. 5. Memiilih dokter dan pemimpin staf medis untuk duduk di Komite praktek Keperawatan.
2.2. Kepuasan Kerja Dokter Kepuasan kerja adalah sikap seseorang terhadap pekerjaannya, dan sikap itu berasal dari persepsi mereka tentang pekerjaannya. Jadi kepuasan kerja berpangkal dari berbagai aspek kerja seperti upah, kesempatan promosi, supervisi, dan rekan sekerja. Dan sikap itu sendiri adalah kesiap-siagaan mental yang dipelajari dan diorganisasi melalui pengalaman, dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain, obyek, dan situasi yang berhubungan dengannya (Gibson, dkk, 1997 dalam Nurhayani 2006). Menurut Gitosudarmo, dkk (1997) dalam Nurhayani (2006), kepuasan kerja adalah suatu pernyataan emosional yang positif, yang berasal dari perkiraan pekerjaan dan pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dari karyawan dalam memandang pekerjaannya. Muchlas (1997) dalam Nurhayani (2006) mendefinisikan kepuasan kerja adalah sikap umum seorang terhadap pekerjaannya yang berupa perbedaan antara penghargaan yang diterima dengan penghargaan yang seharusnya diterima
Universita Sumatera Utara
menurut perhitungannya sendiri. Robbins (1996) dalam Nurhayani (2006) mengartikan kepuasan kerja sebagai tingkat kesenangan yang dirasakan seseorang atas peranan atau pekerjaannya dalam organisasi. Berdasarkan uraian beberapa ahli tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kepuasan kerja adalah adanya reaksi emosional positif seseorang dalam memandang pekerjaannya sebagai hasil interaksi daya lingkungan kerja (Nurhayani, 2006). Kepuasan kerja
umumnya dipahami sebagai variabel sikap yang
mencerminkan orang-orang yang menyukai pekerjaan mereka, dan secara positif berkaitan dengan
kesehatan dan pekerjaan
karyawan (Spector, 1997 dalam
Leary, Wharton, & Quinlan, 2009). Untuk banyak dokter, kepuasan kerja bergantung pada hubungan yang baik dengan staf dan kolega, kontrol waktu , sumber daya yang memadai, dan otonomi klinis (Williams et al., 2003 dalam Leary, et al, 2009). Survei terhadap lebih dari 1.000 dokter Swiss, Bovier dan Perneger (2003) dalam Leary, et al, (2009) menemukan bahwa perawatan pasien, hubungan profesional, stimulasi intelektual, dan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan kedokteran adalah prediktor kuat kepuasan sementara beban kerja, waktu tersedia untuk keluarga, teman atau rekreasi, beban administrasi, dan pekerjaan yang berhubungan dengan pendapatan dan prestise adalah prediktor ketidakpuasan.
Universita Sumatera Utara
2.3. Landasan Teori 2.3.1. Konsep kolaborasi perawat-dokter Kolaborasi menggambarkan suatu hubungan kerjasama yang dibangun berdasarkan rasa saling percaya, rasa hormat dan kekuasaan, serta memahami pentingnya peran masing-masing anggota tim dan mampu bertindak dalam situasi kesehatan stress tinggi, kolegialiti dan komunikasi (Messmer, 2008). Menurut penelitian yang dilakukan McGrail, Morse, Glessner, dan Gardner (2008) ada empat faktor yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi kolaborasi perawat dan dokter yaitu: 1) pemicu kolaborasi (Collaboration triggers), 2) perilaku fasilitatif (Facillitative behaviors), 3) dampak pada perawat dan dokter (Infact on the involved professional), 4) kompetensi kolaboratif (Collaborative competence). Ada dua tipe pemicu kolaborasi yaitu: krisis perawatan pasien (Patient care crises) dan krisis sikap (Affective crises). Krisis perawatan pasien (Patient care crises) adalah perubahan akut status pasien, perubahan yang dirasakan oleh perawat dan dokter sebagai mengancam kehidupan atau potensial berakibat buruk. Krisis sikap (Affective crises) adalah pengalaman emosi yang mendasari perawat dan dokter menjadi khawatir dan/atau kerentanan emosi. Pemicu krisis afek untuk perawat dan dokter berbeda. Perawat mengalami khawatir, cemas atau terlalu takut akan perkembangan pasien, sebaliknya pemicu krisis afek pada dokter paling sering mengalami rasa ketidakmampuan, ketidakpastian, atau perasaan yang kewalahan dan rasa tanggung jawab atas pasien.
Universita Sumatera Utara
Perilaku fasilitatif (Facillitative Behaviors): seorang dokter dianggap kolaboratif dengan menampilkan kualitas atau perilaku sebagai berikut: percaya dan menghargai rekan perawatnya, hadir secara fisik dan intelektual, merespon dengan cepat, membimbing, cerdik, fleksibel, mendukung dan baik. Kualitas fasilitatif keperawatan sebagian tumpang tindih dengan dokter, tetapi termasuk perilaku lebih kompleks yang memerlukan pertemuan secara simultan. Ini termasuk koordinasi perawatan, advokasi untuk dan pendukung pasien, keluarga dan rekan-rekan dokter mereka. Fasilitatif keperawatan dianggap sebagai seseorang yang berpengetahuan, berpengalaman, responsif dan lembut, sebagai pengambil inisiatif, membimbing dan menghormati kolega/ dokter dan memberikan waktunya. Dampak pada perawat dan dokter (Impact on the Involved Professional): dokter menggambarkan rasa syukur atau menghormati koleganya, Perawat mengalami kepuasan yang lebih dengan pekerjaan yang dilakukan bersama dengan baik, Kedua kelompok mencerminkan perasaan dihormati, dihargai dan dipahami. Kompetensi kolabaratif (Collaborative Competence): Kemungkinan pada tingkat tinggi, kolaborasi itu tidak terkait dengan usia, tahun dalam praktek, jenis kelamin atau profesi. Perilaku kolaborasi tingkat tinggi dapat diidentifikasi pada kedua perawat dan dokter. Kesetaraan pengalaman, keahlian atau pengetahuan bukanlah prasyarat untuk sukses dan tingginya kolaborasi. McGrail, Morse, Glessener, dan Gardner (2008) dalam penelitiannya juga berpendapat bahwa
Universita Sumatera Utara
Kompetensi Kolaboratif terletak dalam lingkungan pendidikan dan kelembagaan yang kompleks, dan kemampuan dan kesempatan untuk berkolaborasi. Struktur komponen yang juga berperan dalam tingginya kolaborasi adalah: Kedekatan fisik perawat dan dokter, berada di tempat/unit yang sama misalnya di ICU; kontinuitas dan stabilitas perawat dan dokter, seperti operasi, ruang pemulihan, ruang gawat darurat dan departemen rawat jalan; melihat dan menilai pasien bersama-sama. Sebagian elemen-elemen ini bukan hasil perencanaan kelembagaan yang disengaja, tetapi terjadi kebetulan (McGrail, Morse, Glessener, & Gardner, 2008) Penelitian
ini menjelaskan
secara mengejutkan bahwa
kolaborasi terlepas dari jenis kelamin, usia, pengalaman, atau profesi. Thomas
Jefferson
University,
Philadelphia,
Pennsylvania,
USA
mengembangkan sebuah skala yang digunakan untuk mengukur kolaborasi perawat-dokter yaitu The Jefferson Scale of Atitudes toward Physician-Nurse Collaboration (JSAPNC). Skala ini digunakan untuk mengidentifikasi sikap perawat dan dokter terhadap
kolaborasi perawat-dokter di rumah sakit. Ada
empat faktor utama yang dibandingkan antara kelompok dokter dan perawat menggunakan JSAPNC yaitu: 1) Berbagi pendidikan dan kolaborasi (shared education and collaboration), 2) Merawat vs menyembuhkan (Caring vs curing), 3) Otonomi perawat (Nurse’s autonomy) dan 4) Otoritas dokter (Physician’s authority) (Ward, Schaal, Sullivan, Bowen, Erdmann, & Hajat, 2008). Nilai yang tinggi pada faktor “berbagi pendidikan dan kolaborasi” menunjukkan sebuah orientasi yang lebih besar ke arah pendidikan interdisiplinari dan kolaborasi interprofesional. Nilai yang tinggi pada faktor “ merawat lawan
Universita Sumatera Utara
menyembuhkan/caring lawan curing” menunjukkan pandangan yang lebih positif akan kontribusi perawat terhadap aspek psikososial dan pendidikan pasien. Nilai yang tinggi pada faktor “otonomi perawat” menunjukkan persetujuan yg lebih terhadap keterlibatan perawat dalam membuat keputusan tentang perawatan pasien dan kebijakan. Nilai yang lebih tinggi pada faktor “otoritas dokter” menunjukkan penolakan terhadap peran dominasi total dokter dalam aspek pelayanan pasien (Sterchi, 2007). 2.3.2. Konsep Kepuasan Kerja Dokter Leary, Wharton, dan Quinlan (2009) menemukan dalam penelitiannya bahwa tingkat kepuasan dokter pria lebih tinggi dari dokter wanita, sementara itu mereka yang bekerja di Poliklinik lebih puas daripada di rumah sakit. Dokter wanita lebih puas berhubungan dengan pasien dan koleganya dibandingkan dokter pria. Sebagian besar dokter tidak puas dengan administrasi dan kendala waktu. Bertentangan dengan hubungan positif yang dilaporkan antara kepuasan kerja dokter dan tingginya kualitas perawatan interpersonal terlihat kaitan
di Jepang, tidak
antara kepuasan kerja dokter dan kualitas teknis perawatan.
Ditemukan hubungan tidak signifikan secara statistik antara kepuasan kerja dokter dan kualitas perawatan diamati (Ozaki, Bito, Matsumura, Hayashino, Fukuhara , 2008). Scheurer, McKean, Miller, & Wetterneck (2009) menemukan bahwa Kepuasan Dokter di Amerika Serikat adalah relatif stabil, dengan sedikit penurunan terutama antara dokter perawatan primer (PCPs). Faktor mediasi utama yang terkait kepuasan dokter di rumah sakit (hospitalists) meliputi dua
Universita Sumatera Utara
faktor. Faktor-faktor dari dokter (usia dan spesialisasi), dan faktor-faktor dari pekerjaan (tuntutan pekerjaan, control pekerjaan, dukungan kolegial, pendapatan, dan insentif), dan faktor-faktor yang tampaknya tidak memiliki efek independen pada kepuasan adalah jenis kelamin dokter, cara bayar pasien, dan karakteristik pasien. Grembowski, Paschane, Diehr, Katon, Martin,
dan Patrick
(2005)
melakukan penelitian untuk menentukan hubungan antara managed care, kepuasan kerja dokter, dan kualitas perawatan primer, dan untuk menentukan apakah kepuasan kerja dokter berhubungan dengan hasil perawatan primer pasien dengan gejala nyeri dan depresi. Mereka menemukan tiga temuan utama yaitu: Pertama, ditemukan bahwa kepuasan kerja dokter pada awalnya berhubungan dengan beberapa item tetapi tidak semua item ukuran kualitas perawatan primer pasien pada 6 bulan. Untuk pasien dengan rasa nyeri atau gejala depresi, kepuasan kerja dokter berkaitan dengan lebih besarnya kepercayaan pasien dan keyakinan terhadap dokter primari mereka, temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan kepercayaan pasien dapat mengurangi ketidak puasan kerja dokter. Di temukan bahwa kepuasan kerja dokter tidak terkait dengan indeks kualitas perawatan, menunjukkan bahwa pandangan dokter tentang pekerjaan mereka tidak berkaitan dengan interaksi pasien. Temuan kedua adalah bahwa kontrol managed care tidak memperhitungkan hubungan antara kepuasan kerja dokter dan kualitas perawatan primer pasien. Penemuan besar ketiga adalah bahwa kepuasan dokter primary pada awalnya tidak berkaitan dengan hasil kesehatan. Kepuasan kerja dokter
Universita Sumatera Utara
mungkin tidak memiliki hubungan sebab-akibat secara langsung dengan hasil kesehatan. Lichtenstein
(1984)
menjelaskan
bahwa
ada
tiga
faktor
yang
mempengaruhi kepuasan kerja dokter yaitu :1 ) tenaga perawat yang cakap dan terampil, 2) perawat harus mampu meyelesaikan tugas-tugas yang didelegasikan dokter dengan baik, 3) perawat harus mampu menyelesaikan tugas rutin klinis seperti mengukur tekanan darah, mengukur suhu, dan lain-lain. Seibolt dan Walker dalam Misener et al, ( 1996 ) mengatakan bahwa sikap perawat yang mampu dan mengerti apa yang seharusnya dikerjakan dan mengerjakannya tidak dalam keadaan terpaksa merupakan elemen kunci untuk membina hubungan dengan dokter. Jika hubungan tersebut berjalan dengan baik akan membuat pekerjaan lebih efektif dan efisien sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kepuasan terhadap pekerjaan yang akan dilakukan. Ward dan Lindeman (1979) dalam Siegler dan Whitney (2000) telah mengembangkan Physician’s Perception of the Quality of Nursing Care untuk mengukur beberapa aspek kepuasan dokter sekaligus memberikan hasil menyeluruh
kepuasan
dokter
atas
pelayanan
keperawatan.
Kemudian
mengembangkan instrument dengan tehnik quasi-Delphi terdiri dari skala yang mengukur persepsi dokter tentang lima aspek perawatan: 1) perawatan fisik, 2) perawatan emosional, 3) hubungan perawat-dokter, 4) administrasi, dan 5) pengajaran dan persiapan untuk perawatan di rumah.
Universita Sumatera Utara
2.4. Teori Keperawatan menurut Hildegard Peplau Peplau membahas tahapan proses interpersonal, peran dalam situasi keperawatan dan metode untuk mempelajari keperawatan sebagai proses interpersonal. Menurut Peplau, bahwa keperawatan terapeutik adalah seni penyembuhan, membantu individu yang sakit atau membutuhkan perawatan kesehatan. Perawatan adalah proses interpersonal karena melibatkan interaksi antara dua atau lebih individu dengan tujuan bersama. Perawat dan pasien bekerja sama sehingga keduanya menjadi dewasa dan berpengetahuan dalam proses kerja. Model konsep dan teori keperawatan yang dijelaskan oleh Peplau menjelaskan tentang kemampuan dalam memahami diri sendiri dan orang lain yang menggunakan dasar hubungan antar manusia yang mencakup 4 komponen sentral yaitu:1) pasien, 2) perawat, 3) masalah kecemasan yang terjadi akibat sakit, 4) proses interpersonal. 1. Pasien Sistem dari yang berkembang terdiri dari karakteristik biokimia, fisiologis, interpersonal dan kebutuhan serta selalu berupaya memenuhi kebutuhannya dan mengintegrasikan belajar pengalaman. Pasien adalah subjek yang langsung dipengaruhi oleh adanya proses interpersonal. 2. Perawat Perawat berperan mengatur tujuan dan proses interaksi interpersonal dengan pasien yang bersifat partisipatif, sedangkan pasien mengendalikan isi yang menjadi tujuan. Hal ini berarti dalam hubungannya dengan pasien, perawat berperan sebagai mitra kerja, pendidik, narasumber, pengasuh pengganti,
Universita Sumatera Utara
pemimpin dan konselor sesuai dengan fase proses interpersonal. Pendidikan atau pematangan tujuan yang dimaksud untuk meningkatkan gerakan yang progresif dan kepribadian seseorang dalam berkreasi, membangun, menghasilkan pribadi dan cara hidup bermasyarakat. 3. Masalah Kecemasan yang terjadi akibat sakit/ Sumber Kesulitan Ansietas berat yang disebabkan oleh kesulitan mengintegrasikan pengalaman interpersonal yang lalu dengan yang sekarang,
ansietas terjadi
apabila komunikasi dengan orang lain mengancam keamanan psikologi dan biologi individu. Dalam model peplau ansietas merupakan konsep yang berperan penting karena berkaitan langsung dengan kondisi sakit. Dalam keadaan sakit biasanya tingkat ansietas meningkat. Oleh karena itu perawat pada saat ini harus mengkaji tingkat ansietas klien. Berkurangnya ansietas menunjukkan bahwa kondisi klien semakin membaik. 4. Proses Interpersonal Proses interpersonal didefinisikan sebagai proses interaksi secara simultan dengan orang lain dan saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan lainnya, biasanya dengan tujuan untuk membina suatu hubungan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka proses interpersonal yang dimaksud antara perawat dan pasien ini menggambarkan metode transpormasi energi atau ansietas pasien oleh perawat yang terdiri dari 4 fase yaitu : fase orientase, fase identifikasi, fase eksplorasi, fase resolusi.
Universita Sumatera Utara
Fase orientasi Lebih difokuskan untuk membantu pasien menyadari ketersediaan bantuan dan rasa percaya terhadap kemampuan perawat untuk berperan serta secara efektif dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien. Tahap ini ditandai dimana perawat melakukan kontrak awal untuk membangun kepercayaan dan terjadi pengumpulan data. Dalam praktek kolaborasi Perawat-dokter perlu didukung adanya rasa saling
percaya antara perawat dan dokter. Perawat diharapkan mempunyai
kecakapan dan ketrampilan untuk mendapatkan kepercayaan dari dokter dan pasien, dengan menunjukkan kepedulian terhadap pasien, menanggapi semua keluhan pasien, melakukan komunikasi interpersonal yang baik kepada pasien dan dokter sehingga data-data pasien dapat terkumpul dengan baik dan bermanfaat bagi perawat maupun dokter dalam membuat perencanaan untuk pasien.
Fase identifikasi Terjadi ketika perawat memfasilitasi ekspresi perilaku pasien dan memberikan
asuhan
keperawatan
yang
tanpa
penolakan
diri
perawat
memungkinkan pengalaman menderita sakit sebagai suatu kesempatan untuk mengorientasi kembali perasaan dan menguatkan bagian yang positif dan kepribadian pasien. Respon pasien pada fase identifikasi dapat berupa: 1) Partisipan mandiri dalam hubungannya dengan perawat. 2) Individu mandiri terpisah dari perawat. 3) Individu yang tak berdaya dan sangat tergantung pada perawat.
Universita Sumatera Utara
Dalam praktek kolaborasi perawat-dokter, perawat menyampaikan kepada dokter semua ekspresi prilaku pasien, bagian – bagian positif dari perasaan dan kepribadian yang ditunjukkan oleh pasien.
Fase eksplorasi Memungkinkan suatu situasi dimana pasien dapat merasakan nilai hubungan sesuai pandangan/ persepsinya terhadap situasi. Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu pasien dalam memberikan gambaran kondisi pasien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya. Perawat berkolaborasi dengan dokter untuk membantu pasien dengan menjelaskan dan menggambarkan kondisi pasien, masalah-masalah yang dialami pasien.
Fase resolusi Secara bertahap pasien melepaskan diri dari perawat. Resolusi ini memungkinkan penguatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan menyalurkan energi kearah realisasi potensi. Perawat berkolaborasi dengan dokter untuk membantu pasien secara bertahap untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan membantu pasien untuk dapat terlepas dari bantuan perawat.
Universita Sumatera Utara
2.5. Peran Perawat Menurut Peplau, perawat mempunyai 6 peran yaitu: mitra kerja, narasumber (resources person), pendidik (teacher), kepemimpinan (leadership), pengasuh pengganti (surrogate), konselor (consellor). 1. Mitra kerja Perawat menghadapi pasien seperti tamu yang dikenalkan pada situasi baru. Sebagai mitra kerja, Hubungan P-K merupakan hubungan yang memerlukan kerja sama yang harmonis atas dasar kemitraan sehingga perlu dibina rasa saling percaya, saling mengasihi dan menghargai. 2. Nara sumber (resources person) Memberikan jawaban yang spesifik terhadap pertanyaan tentang masalah yang lebih luas dan selanjutnya mengarah pada area permasalahan yang memerlukan bantuan. perawat mampu memberikan informasi yang akurat, jelas dan rasional kepada pasien dalam suasana bersahabat dan akrab. 3. Pendidik (teacher) Merupakan kombinasi dari semua peran yang lain. Perawat harus berupaya memberikan pendidikan, pelatihan, dan bimbingan pada pasien/ keluarga terutama dalam megatasi masalah kesehatan. 4. Kepemimpinan (leadership) Mengembangkan hubungan yang demokratis sehingga merangsang individu untuk berperan. Perawat harus mampu memimpin pasien/keluarga untuk memecahkan masalah kesehatan melalui proses kerja sama dan partisipasi aktif pasien.
Universita Sumatera Utara
5. Pengasuh pengganti (surrogate) Membantu individu belajar tentang keunikan tiap manusia sehingga dapat mengatasi konflik interpersonal. Perawat merupakan individu yang dipercaya pasien untuk berperan sebagai orang tua, tokoh masyarakat atau rohaniawan guna membantu memenuhi kebutuhannya. 6. Konselor (consellor) Meningkatkan pengalaman individu menuju keadaan sehat yaitu kehidupan yang kreatif, konstruktif dan produktif. Perawat harus dapat memberikan bimbingan terhadap masalah pasien sehingga pemecahan masalah akan mudah dilakukan.
2.6. Desain Deskriptif Korelasi Penelitian deskriptif korelasi adalah untuk menggambarkan hubungan antara variabel, selanjutnya menyimpulkan hubungan sebab dan akibat (Polit dan Beck, 2008).
2.7. Kerangka Konsep Peneliti ingin meneliti sikap ners dan dokter spesialis tentang kolaborasi perawat-dokter dan meneliti hubungan antara sikap dokter spesialis tentang kolaborasi perawat-dokter dengan kepuasan kerja dokter spesialis. Berdasarkan tinjauan kepustakaan maka kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Universita Sumatera Utara
KERANGKA KONSEP Variabel bebas
Sikap Dokter Spesialis tentang Kolaborasi PerawatDokter 1. Berbagi pendidikan dan Kolaborasi 2. Merawat VS menyembuhkan 3. Autonomi Perawat 4. Autoriti dokter (Hojat, et al, 1999)
Variabel terikat
1. 2. 3. 4. 5.
Kepuasan Kerja Dokter Spesialis Kecakapan & ketrampilan Perawat Mampu menyelesaikan tugas yg didelegasikan Mampu menyelesaikan tugas rutin klinis Kepribadian & keramahan perawat Kemampuan pearawat dalam berkomunikasi
(Lictenstein, 1984, Seibolt & Walker, 1996)
Sikap Ners tentang Kolaborasi Perawat-Dokter 1. Berbagi pendidikan dan Kolaborasi 2. Merawat VS menyembuhkan 3. Autonomi Perawat 4. Autoriti dokter (Hojat, et al, 1999)
Universita Sumatera Utara