BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Menurut Feldstein (1983) dalam Suriati (2009), bahwa pada bidang kesehatan analisis tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan berguna untuk mengetahui pola pemanfaatan (penggunaan) pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Informasi ini berguna sebagai masukan bagi pengambil keputusan untuk merencanakan dan mengelola pelayanan kesehatan agar lebih efektif dan efisien. Teori model kepercayaan (health belief model) oleh Lewin dalam Notoatmodjo (2010) menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup kehidupan sosial (masyarakat). Di dalam kehidupan ini individu akan bernilai, baik positif maupun negatif, di suatu daerah tertentu. Apabila seseorang keadaannya atau berada pada daerah positif, maka berarti ia ditolak dari daerah negatif. Implikasinya di dalam kesehatan adalah, penyakit atau sakit adalah suatu daerah negatif sedangkan sehat adalah wilayah positif. Menurut Supriyanto (2010), apabila individu bertindak untuk melawan atau mengobati penyakitnya, ada empat variabel kunci yang terlibat di dalam tindakan tersebut yaitu : 1.
Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility) Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptible) terhadap penyakit tersebut. Dengan kata
Universitas Sumatera Utara
lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarganya rentan terhadap penyakit tersebut. 2.
Keseriusan yang dirasakan (Perceived seriousness) Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat.
3.
Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benefit and barriers). Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit-penyakit yang dianggap gawat (serius), ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan ini akan tergantung pada manfaat yang dirasakan dan rintangan-rintangan yang ditemukan dalam mengambil tindakan tersebut. Pada umumnya manfaat tindakan lebih menentukan daripada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut.
4.
Isyarat atau tanda-tanda (Clues). Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal. Faktor-faktor tersebut, misalnya pesan-pesan pada media massa, nasehat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga lain dari si sakit, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Notoatmodjo (2007), masyarakat atau anggota masyarakat yang mendapat penyakit, dan yang tidak merasakan sakit (disease but no illness) sudah barang tentu tidak akan bertindak apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi bila mereka diserang penyakit dan juga merasakan sakit, maka baru akan timbul berbagai macam perilaku dan usaha. Respons seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut: Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action). Alasannya antara lain bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan tugas-tugas lainnya yang dianggap lebih penting daripada mengobati sakitnya. Hal ini merupakan suatu bukti bahwa kesehatan belum merupakan prioritas di dalam hidup dan kehidupannya. Alasan lain yang sering kita dengar adalah fasilitas kesehatan yang diperlukan sangat jauh letaknya, para petugas kesehatan tidak simpatik, judes, tidak responsif, dan sebagainya. Dan akhirnya alasan takut dokter, takut pergi ke rumah sakit, takut biaya, dan sebagainya. Kedua, tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan yang sama seperti telah diuraikan. Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena orang atau masyarakat tersebut sudah percaya kepada diri sendiri, dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy). Untuk masyarakat pedesaan khususnya, pengobatan tradisional ini masih menduduki tempat teratas dibanding dengan pengobatan-pengobatan yang lain. Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat (chemist shop) dan sejenisnya, termasuk ke tukang-tukang jamu. Obat-obat yang mereka dapatkan pada umumnya adalah obat-obat yang tidak memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol. Namun demikian, sampai sejauh ini pemakaian obatobat bebas oleh masyarakat belum mengakibatkan masalah yang serius. Khusus mengenai jamu sebagai sesuatu untuk pengobatan (bukan hanya untuk pencegahan saja) makin tampak peranannya dalam kesehatan masyarakat. Untuk itu perlu tindakan penelitian yang lebih mendalam. Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan
oleh
pemerintah
atau
lembaga-lembaga
kesehatan
swasta,
yang
dikategorikan ke dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit. Keenam, adalah mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter praktek (private medicine). Anderson (1974) menggambarkan model sistem kesehatan (health system model) yang berupa model kepercayaan kesehatan. Di dalam model Anderson ini terdapat 3 kategori utama dalam pelayanan kesehatan, yakni: karakteristik predisposisi, karakteristik pendukung, karakteristik kebutuhan. Penelitian ini menggunakan pendekatan dengan teori model Anderson (1974) dalam Notoatmodjo
Universitas Sumatera Utara
(2007), menurut model ini keputusan untuk menggunakan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh : 1. Karakteristik Predisposisi (predisposing characteristics). Seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Komponen ini disebut predisposing
karena
faktor-faktor
pada
komponen
ini
menggambarkan
karakteristik perorangan yang sudah ada sebelum seseorang ini memanfaatkan pelayanan kesehatan. Komponen ini menjadi dasar atau motivasi seseorang untuk berperilaku dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Anderson membagi karakteristik predisposing ini berdasarkan karakteristik pasien ke dalam tiga bagian meliputi ciri demografi, struktur sosial, keyakinan terhadap pelayanan kesehatan (Health beliefs). 2. Karakteristik
Pendukung
(enabling
characteristics)
atau
kemampuan
seseorang untuk menggunakan pelayanan kesehatan. Faktor biaya dan jarak pelayanan
kesehatan
dengan
rumah
berpengaruh
terhadap
perilaku
penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan. Menurut Anderson, et all. 1974 dalam Greenley (1980) yang menyatakan bahwa jarak merupakan komponen kedua yang memungkinkan seseorang untuk memanfaatkan pelayanan pengobatan. 3. Karakteristik Kebutuhan (need characteristics) atau kebutuhan seseorang akan pelayanan kesehatan. Faktor predisposisi dan faktor yang memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan. Dengan kata lain kebutuhan merupakan dasar dan stimulus
Universitas Sumatera Utara
langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bilamana tingkat predisposisi dan enabling
itu ada. Kebutuhan (need) di sini dibagi menjadi 2 kategori,
dirasakan atau perceived (subject assessment) dan evaluated (clinical diagnosis). Kebutuhan akan kualitas pelayanan yang baik dan memadai akan mempengaruhi individu untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. Semakin baik kualitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, maka akan semakin kuat individu dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan yang ada. Seperti pada gambar diagram ini. Predisposing
Enabling
Need
Demography
Family resources
Perceived
Social Structure
Community Resources
Evaluated
Health Service Use
Health beliefs
Gambar 2.1.
Pemanfaatan Anderson
Pelayanan
Kesehatan
Berdasarkan
Model
Menurut Azwar (2006), dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan individu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Tersedia dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan harus tersedia di masyarakat serta berkesinambungan, artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang di butuhkan serta tidak sulit ditemukan serta keberadaannya dalam masyarakat ada pada saat yang dibutuhkan, seperti adanya pelayanan dokter spesialis. 2. Dapat diterima dengan wajar. Pelayanan kesehatan tersebut dapat diterima oleh masyarakat dengan wajar, artinya tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat; 3. Terjangkau. Biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat sehingga tidak memberatkan pasien; 4. Kelengkapan obat. Pelayanan kesehatan harus mempunyai persediaan obat yang lengkap sehingga pasien tidak perlu mencari obat di tempat lain. 5. Bermutu. Pelayanan kesehatan harus dapat memuaskan pemakai jasa pelayanan kesehatan tersebut. Di dalam pelayanan kesehatan, tidak selalu kebutuhan yang dirasakan berubah menjadi demand, walaupun terdapat kemampuan untuk membeli, oleh karena itu adanya faktor-faktor lain yang mempengaruhi di dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan. Faktor yang ada di rumah sakit dan faktor yang ada pada konsumen merupakan kunci yang utama terkait dengan pencapaian mutu pelayanan. Kedua faktor ini harus bertemu di satu titik, artinya kebutuhan dan harapan harus sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Rumah Sakit 2.2.1. Pengertian Rumah Sakit Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit menyatakan bahwa rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna, yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Penyelenggaraan dan pengelolaan rumah sakit agar tetap dapat memenuhi kebutuhan pasien dan masyarakat yang dinamis, maka setiap komponen yang ada di rumah sakit harus terintegrasi dalam satu sistem. Pelayanan kesehatan di rumah sakit terdiri dari : 1. Pelayanan medis, merupakan pelayanan yang diberikan oleh tenaga medis yang profesional dalam bidangnya baik dokter umum maupun dokter spesialis. 2. Pelayanan keperawatan, merupakan pelayanan yang bukan tindakan medis terhadap pasien, tetapi merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan oleh perawat sesuai aturan keperawatan. 3. Pelayanan penunjang medik ialah pelayanan penunjang yang diberikan terhadap pasien, seperti : pelayanan gizi, laboratorium, farmasi rehabilitasi medik dan lainlain. 4. Pelayanan administrasi dan keuangan, pelayanan administrasi antara lain adalah bidang ketatausahaan seperti pendaftaran, rekam medis, dan kerumahtanggaan, sedangkan bidang keuangan seperti proses pembayaran biaya rawat jalan dan rawat inap.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai upaya penyelenggara pelayanan kesehatan secara paripurna, maka rumah sakit harus memiliki komponen pelayanan. Komponen pelayanan di rumah sakit mencakup 20 pelayanan sebagai berikut : (1) administrasi dan manajemen, (2) pelayanan medis, (3) pelayanan gawat darurat, (4) kamar operasi, (5) pelayanan intensif, (6) pelayanan perinatal risiko tinggi, (7) pelayanan keperawatan, (8) pelayanan anastesi, (9) pelayanan radiologi, (10) pelayanan farmasi, (11) pelayanan laboratorium, (12) pelayanan rehabilitasi medis, (13) pelayanan gizi, (14) rekam medis, (15) pengendalian infeksi di rumah sakit, (16) pelayanan strerilisasi sentral, (17) keselamatan kerja, kebakaran dan kewaspadaan bencana alam, (18) pemeliharaan sarana, (19) pelayanan lain, dan (20) perpustakaan (Undang-undang No. 44 tahun 2009) Menurut Undang-undang No. 44 tahun 2009 penyelenggaraan rumah sakit bertujuan untuk : 1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. 2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit. 2.2.2. Fungsi Rumah Sakit Undang-undang No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit menyatakan bahwa rumah sakit mempunyai fungsi : 1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan sesuai kebutuhan medis. 3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, 4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan. Rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi rumah sakit kelas A, B, C, dan D. Klasifikasi tersebut berdasarkan pada unsur pelayanan, ketenagaan, fisik dan peralatan. 1. Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik yang luas dan sub spesialistik yang luas. Oleh pemerintah, rumah sakit kelas A ini ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top referral hospital) atau disebut pula sebagai rumah sakit pusat. 2. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik sekurang-kurangnya sebelas (11) spesialistik dan sub spesialistik terbatas. Direncanakan rumah sakit kelas B didirikan di setiap ibukota provinsi yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. 3. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialistik dasar. Pada saat ini ada empat macam pelayanan spesialis ini yang disediakan yakni pelayanan penyakit dalam,
Universitas Sumatera Utara
penyakit bedah, penyakit anak, dan pelayanan kebidanan. Rumah sakit ini didirikan di setiap ibukota kabupaten yang menampung pelayanan rujukan dari puskesmas. 4. Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik dasar, sama halnya seperti rumah sakit kelas C, rumah sakit kelas D juga menerima pelayanan rujukan dari puskesmas. 5. Rumah sakit umum kelas E adalah rumah sakit khusus (special hospital) yang menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak rumah sakit kelas E yang ditemukan misalnya rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit kanker, rumah sakit jantung, rumah sakit ibu dan anak dan lain sebagainya yang seperti ini. 2.2.3. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit Umum Daerah Standar pelayanan minimal rumah sakit umum daerah diatur dengan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 228/MENKES/SK/III/2002. Dalam keputusan menteri ini dituliskan bahwa : 1. Standar pelayanan minimal rumah sakit daerah adalah penyelenggaraan pelayanan manajemen rumah sakit, pelayanan medik, pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik rawat inap maupun rawat jalan yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah sakit. 2. Indikator. Indikator adalah merupakan variabel ukuran atau tolok ukur yang dapat menunjukkan indikasi-indikasi terjadinya perubahan tertentu.
Universitas Sumatera Utara
3. Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan sebagai patokan dalam melakukan kegiatan. Standar ini dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan evidence base. 4. Bahwa rumah sakit sesuai dengan kewenangannya wajib yang harus dilaksanakan oleh rumah sakit provinsi/kabupaten/kota, maka harus memberikan pelayanan keluarga miskin dengan biaya ditanggung pemerintah. 5. Secara khusus selain pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat wilayah setempat maka rumah sakit juga harus meningkatkan manajemen dalam rumah sakit yang meliputi : a. Manajemen sumber daya manusia. b. Manajemen keuangan. c. Manajemen sistem informasi rumah sakit, ke dalam dan keluar rumah sakit. d. Sarana prasarana. e. Mutu pelayanan.
2.3. Letak Geografis 2.3.1. Pengertian Letak Geografi Geografi adalah interaksi antar ruang. Definisi ini dikemukakan oleh Ullman (1954) dalam bukunya yang berjudul Geography, A Spatial Interaction. Sedangkan menurut hasil Seminar Lokakarya di Semarang (2008) geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan atau ke lingkungan dalam konteks ke ruangan.
Universitas Sumatera Utara
Akses geografi adalah faktor-faktor geografi yang memudahkan atau menghambat pemanfaatan pelayanan kesehatan, berkaitan dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya tempuh. Hubungan antara akses geografi dengan volume penggunaan pelayanan tergantung dari jenis pelayanan dan jenis sumber daya yang ada. Peningkatan akses yang disebabkan oleh berkurangnya jarak, waktu tempuh ataupun biaya tempuh mengakibatkan peningkatan pelayanan yang berhubungan dengan keluhan-keluhan ringan, atau pemakaian pelayanan preventif akan lebih tinggi daripada pelayanan kuratif, sebagaimana halnya dengan pemanfaatan pelayanan umum bila dibandingkan dengan pelayanan spesialis. Semakin berat suatu penyakit atau keluhan dan semakin canggih atau semakin khusus sumber daya pelayanan, semakin kuat hubungan antara akses geografis dan volume pemanfaatan pelayanan (Dever, 1984 dalam Suriati, 2009). Letak geografis adalah letak suatu tempat yang didasarkan pada letak keadaan alam di sekitarnya. Letak geografis sangat menentukan terhadap pelayanan kesehatan dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Pasien yang tinggal di tempat yang terpencil umumnya desa-desa yang masih terisolisir dan transportasi yang sulit terjangkau, sehingga untuk menempuh perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan akan memerlukan waktu yang lama, sementara pasien harus memeriksakan kesehatannya (Meilani, 2009). Jarak yang mudah terjangkau dan tersedianya fasilitas yang memadai akan memberi kemudahan bagi pasien untuk memeriksakan kesehatannya sehingga jika terdapat keadaan gawat darurat dapat segera ditangani (Yeyeh, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Letak geografis dan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan setelah melalui pemekaran maka terjadi perubahan-perubahan wilayah. Saat ini Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 12 kecamatan dengan luas 4.502,26 km2, dengan ketinggian 02.009 meter di atas permukaan laut. Daerah yang berada pada ketinggian 0 meter umumnya terdapat di daerah pantai barat Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu di Desa Muara Upu Kecamatan Muara Batang Toru. Sedangkan daerah yang berdiri pada ketinggian 2.009 meter terdapat pada Gunung Tapulomajung di Kecamatan Saipar Dolok Hole. Secara administratif, Kabupaten Tapanuli Selatan mempunyai batasbatas sebagai berikut : 1. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Padang Lawas Utara. 2. Di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal. 3. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Samudera Indonesia. 4. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Keadaan topografis Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit dan bergunung. Daerah ini dikelilingi oleh Gunung Gongonan di Kecamatan Batang Angkola, Gunung Lubuk Raya di Kecamatan Angkola Barat dan Gunung Sibual-buali di Kecamatan Sipirok. Faktor geografis dan topografis wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan akan mempengaruhi masyarakat dalam melakukan aktivitas antar wilayah.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Peta Kabupaten Tapanuli Selatan 2.3.2. Teori Lokasi Industri Dalam dunia nyata, kondisi setiap wilayah adalah berbeda. Dampaknya lebih mudah dianalisis karena kita telah mengetahui tingkah laku manusia dalam kondisi potensi ruang adalah sama. Salah satu unsur ruang adalah jarak. Jarak menciptakan “gangguan” ketika manusia berhubungan/bepergian dari suatu tempat ke tempat lainnya. Jarak menciptakan gangguan karena dibutuhkan waktu dan tenaga (biaya) untuk mencapai lokasi yang satu dari lokasi lainnya. Selain itu, jarak juga menciptakan gangguan informasi sehingga semakin jauh dari suatu lokasi makin
Universitas Sumatera Utara
kurang diketahui potensi/karakter yang terdapat pada lokasi tersebut. Makin jauh jarak yang ditempuh, makin menurun minat seseorang untuk bepergian dengan asumsi faktor lain semuanya sama. Salah satu hal yang banyak dibahas dalam teori lokasi adalah pengaruh jarak terhadap intensitas orang bepergian dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Tarigan, 2009). Menurut Supriyanto (2010), dalam pemasaran industri jasa kesehatan, ada beberapa prinsip pemilihan tempat, yaitu: 1. Availability, ketersediaan jenis atau variasi jasa secara lengkap. 2. Accessibility (keterjangkauan), yang meliputi: a. Aspek fisik (geografis, ekonomis, lokasi strategis, kebersihan) b. Aspek sosio-emosional (memenuhi selera) 3. Equity, keadilan dan pemerataan bagi yang benar-benar membutuhkan. 4. Acceptance, respon penerimaan masyarakat terkait dengan tempat parkir, keamanan, kenyamanan, prosedur kontak atau transaksi, proses penyampaian. 5. Pengembangan Sistem Rujukan, misalnya: satelit layanan, kemitraan, dan kelas jauh. 6. Services Consistency, kesesuaian dengan promosi yang dijanjikan. 7. Legalitas, sah tidaknya suatu tempat pelayanan kesehatan. Misalnya: perizinan tempat atau perizinan usaha. 8. Comport and Convenience, tempat nyaman dan menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Ruang Kota dan Kesehatan Terbentuknya suatu ruang kota dapat dicirikan dengan adanya pertumbuhan penduduk dan perkembangan aktivitas kota. Banyak versi yang berbeda untuk mendefenisikan sebuah kota. Menurut Sutaatmaja (2008), ditinjau dari geografis kota dapat diartikan sebagai sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis, atau dapat pula diartikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala pemusatan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang heterogen dan materilistis dibandingkan dengan daerah belakangnya. Adanya pemusatan penduduk dan aktivitas ekonomi dan sosial yang beragam, maka kota menjadi berkembang. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perkembangan kota ada tiga hal (Sutaatmadja, 2008) yaitu: 1. Faktor yang merupakan modal dasar kota. 2. Faktor penunjang yang merupakan fungsi primer dan lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu kegiatan industri dan jasa komersial yang merupakan sumber tenaga bagi penduduk kota dan mendukung pemanfaatan sumber daya alam wilayah sekitarnya, serta faktor migrasi. 3. Faktor penunjang yang merupakan fungsi sekunder dan merupakan faktor pembentuk struktur internal kota. Masing-masing faktor terdiri dari unsur-unsur prasarana kota, lingkungan perumahan, fasilitas pelayanan sosial dan tenaga kerja. Wujud perkembangan kota
Universitas Sumatera Utara
dapat dilihat dengan struktur internal kota yang terbentuk. Struktur internal kota berhubungan dengan satu kota dengan kota lainnya. Perkembangan penduduk dan kegiatan perkotaan (ekonomi – sosial) akan berdampak pada perkembangan kota dengan peningkatan kebutuhan fasilitas baik fasilitas umum maupun fasilitas sosial. Biasanya kebutuhan penduduk kota meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Salah satunya adalah kebutuhan akan kesehatan yang merupakan faktor penting dalam menjaga kelangsungan hidup manusia. 2.3.4. Tingkat Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Dalam perencanaan kebutuhan fasilitas pelayanan kesehatan, selain jumlah maka harus diperhatikan distribusi umur dan jenis kelamin, tipe dan lokasi praktek. Estimasi permintaan dan kebutuhan fasilitas kesehatan rumah sakit tergantung pada beberapa hal, yaitu: (Sutaatmadja, 2008) 1. Populasi (Jumlah penduduk). 2. Tingkat perekonomian daerah tempat dibangun. 3. Tersedianya dana dari pemerintah selaku pemilik rumah sakit. 4. Jangkauan pelayanan kesehatan untuk membantu menentukan permintaan yang efektif. 5. Pola usaha konsumen rumah sakit. Sedangkan menurut Reinke (1994), perencanaan fasilitas kesehatan juga harus memperhatikan : 1. Status ekonomi 2. Perkiraan kemampuan pencegahan penyakit 3. Pola-pola perilaku berobat
Universitas Sumatera Utara
Selain faktor di atas, ada faktor lain yang dapat menghambat penerimaan pelayanan kesehatan yaitu faktor fisik, faktor ekonomi dan sosial budaya. Jika faktor tersebut tidak diperhatikan dalam perencanaan fasilitas kesehatan, maka dapat keterjangkauan dan penerimaan pelayanan (Reinke, 1994). Faktor fisik meliputi ketersediaan lahan, aksesibilitas dan penggunaan lahan (Sujarto dalam Lastri, 1997), faktor ekonomi meliputi kemampuan membayar keputusan tentang ukuran dan karakter fasilitas kesehatan seringkali ditentukan oleh keinginan masyarakat yang berdasarkan operasional. Lokasi yang dapat diberikan oleh pelayanan dan peningkatan kualitas distribusi tidak berdasarkan pada efisiensi pelayanan. Faktor sosial budaya berupa segmen populasi berbeda dalam hal jenis dan besarnya kebutuhan kesehatan juga dalam pendayagunaan pelayanan kesehatan (Reinke, 1994). 2.3.5. Pertimbangan Distribusi Fasilitas Kesehatan Faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan fasilitas kesehatan meliputi (Sujarto dalam Lastri, 1997) : 1. Distribusi kepadatan penduduk, melayani kebutuhan seluruh penduduk daerahdaerah padat penduduk. 2. Aksesibilitas, mudah diakses sehingga kondisi transportasi sangat penting. 3. Ketersediaan lahan, lokasi lahan untuk rumah sakit yang dibangun atau pengembangan. 4. Lingkungan, pertimbangan lingkungan sekitar (misalnya ketenangan, udara, kebersihan).
Universitas Sumatera Utara
Dalam perencanaan kesehatan yang paling penting adalah pemenuhan pelayanan kepada masyarakat, maka perlu penyesuaian antar fungsi-fungsi yang ada pada fasilitas kesehatan dengan kebutuhan yang diinginkan masyarakat. Pendekatanpendekatan yang digunakan dalam penentuan lokasi fasilitas kesehatan: (Sutaatmadja, 2008) 1. Tingkat sosial budaya masyarakat, yaitu untuk menentukan suatu lokasi fasilitas perlu dipertimbangkan apakah dapat menyerap penduduk di sekitarnya. 2. Pertimbangan administrasi daerah pelayanan dan pembinaan fasilitas kesehatan yaitu dimaksudkan untuk mengukur daerah pelayanan dan pembinaan dari fasilitas kesehatan. keuntungan bila memperhatikan masalah administrasi, adalah: a. Memiliki kejelasan tentang daerah pelayanan atau pembinaan. b. Beban tugas kesehatan sama. c. Koordinasi kerja akan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. d. Pembinaan kesehatan terhadap masyarakat dapat secara rutin. 3. Pertimbangan tingkat aksesibilitas fasilitas kesehatan, yaitu kemudahan mencapai suatu aktivitas. 2.3.6. Kemudahan Transportasi Kemudahan di bidang transportasi sama halnya dengan kemudahan pada bidang komunikasi. Kemudahan transportasi membuat seseorang menjadi mudah untuk dapat mengunjungi sekian banyak pertemuan dari sekian banyak kegiatan atau memudahkan seseorang untuk mencapai tempat yang dituju. Dengan kata lain, kemudahan transportasi membuat kemudahan pada mobilitas sosial bagi pelaku sosial (Sudjarwo, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sukarto (2006) dalam Purnomo (2012) transportasi memiliki berbagai manfaat bagi kehidupan manusia yang meliputi manfaat sosial, ekonomi, politik, dan fisik. 1. Manfaat Sosial Dalam kehidupan sosial atau kehidupan bermasyarakat ada bentuk hubungan yang bersifat resmi, seperti hubungan antara lembaga pemerintah dengan swasta, maupun hubungan yang bersifat tidak resmi, seperti hubungan keluarga, sahabat, dan sebagainya. Untuk kepentingan hubungan sosial ini, transportasi sangat membantu dalam menyediakan berbagai fasilitas dan kemudahan, seperti: a. Pelayanan untuk perorangan maupun kelompok b. Pertukaran dan penyampaian informasi c. Perjalanan pribadi maupun sosial d. Mempersingkat waktu tempuh antara rumah dan tempat bekerja e. Mendukung perluasan kota atau penyebaran penduduk menjadi kelompokkelompok yang lebih kecil. 2. Manfaat Ekonomi Manusia memanfaatkan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Sumberdaya alam ini perlu diolah melalui proses produksi untuk menjadi bahan siap pakai untuk dipasarkan, sehingga selanjutnya terjadi proses tukar menukar antara penjual dan pembeli. Tujuan dari kegiatan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan manusia dengan menciptakan manfaat. Transportasi
Universitas Sumatera Utara
adalah salah satu jenis kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan kebutuhan manusia melalui cara mengubah letak geografi orang maupun barang. Dengan transportasi, bahan baku dibawa ke tempat produksi, dan dengan transportasi pula hasil produksi dibawa ke pasar. Para konsumen datang ke pasar atau tempat-tempat pelayanan yang lain (rumah sakit, pusat rekreasi, pusat perbelanjaan dan seterusnya) dengan menggunakan transportasi. 3. Manfaat Politik Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, transportasi memegang peranan penting. Beberapa manfaat politik transportasi, adalah: a. Transportasi menciptakan persatuan nasional yang semakin kuat dengan meniadakan isolasi. b. Transportasi
mengakibatkan
pelayanan
kepada
masyarakat
dapat
dikembangkan atau diperluas secara lebih merata sehingga masyarakat yang jauh dari kota dapat terlayani dengan baik. c. Keamanan negara sangat tergantung pada transportasi yang efisien untuk memudahkan mobilisasi kemampuan dan ketahanan nasional, serta memungkinkan perpindahan pasukan selama masa perang atau untuk menjaga keamanan dalam negeri. d. Sistem transportasi yang efisien memungkinkan perpindahan penduduk dari daerah bencana.
Universitas Sumatera Utara
4. Manfaat Fisik Transportasi mendukung perkembangan kota dan wilayah sebagai sarana penghubung. Rencana tata guna lahan kota harus didukung secara langsung oleh rencana pola jaringan jalan yang merupakan rincian tata guna lahan yang direncanakan. Pola jaringan jalan yang baik akan mempengaruhi perkembangan kota sesuai dengan rencana tata guna lahan. Ini berarti transportasi mendukung penuh terhadap perkembangan fisik suatu kota atau wilayah sehingga kota dapat teratur terutama jika dilakukan dari sistem berlalu lintas. 2.4. Kualitas Pelayanan 2.4.1. Pengertian Kualitas Pelayanan Menurut Goest dan Davis dalam Sugiarto (2002) kualitas adalah kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas dan mutu dalam industri pelayanan adalah suatu penyajian produk atau jasa sesuai dengan ukuran yang berlaku di tempat produk tersebut diadakan dan penyampaiannya setidaknya sama dengan yang diinginkan dan diharapkan oleh konsumen. Menurut Wyckof dan Lovelock dalam Sugiarto (2002) kualitas adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Dengan kata lain ada faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service. Jika jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan,
Universitas Sumatera Utara
kualitas tersebut akan dianggap baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan, kualitas pelayanan tersebut dipandang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan kualitas pelayanan tersebut dianggap buruk. Jadi baik buruknya kualitas pelayanan tergantung kepada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten. Konsep kualitas pada dasarnya bersifat relatif, tergantung dari perspektif yang digunakan untuk menentukan ciri-ciri dan spesifikasi. Pada dasarnya terdapat tiga orientasi kualitas yang seharusnya konsisten satu sama lain : (1) persepsi konsumen, (2) produk atau jasa dan (3) proses. Untuk yang berwujud barang ketiga orientasi ini hampir selalu dapat dibedakan dengan jelas, tetapi tidak untuk jasa. Untuk jasa produk dan proses tidak dapat dibedakan dengan jelas, bahkan produknya adalah proses itu sendiri. Menurut Gronroos dalam Ratminto dan Winarsi (2005) pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi akibat adanya interaksi antar konsumen dan karyawan atau hal-hal lain yang disebabkan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen/pelanggan. Deming (1980) dalam Bustami (2011) mengemukakan bahwa mutu atau kualitas dapat dilihat dari aspek konteks, persepsi pelanggan, dan kebutuhan dan keinginan pelanggan, seperti berikut : 1. Dari aspek konteks, mutu adalah suatu karakteristik atau atribut dari suatu produk atau jasa.
Universitas Sumatera Utara
2. Dari aspek persepsi pelanggan, mutu adalah penilaian subjektif pelanggan. Persepsi pelanggan dapat berubah karena pengaruh berbagai hal seperti iklan, reputasi produk atau jasa yang dihasilkan, pengalaman, dan sebagainya. 3. Dari aspek kebutuhan dan keinginan pelanggan, mutu adalah apa yang dikehendaki dan dibutuhkan oleh pelanggan. Kualitas pelayanan rumah sakit adalah derajat kesempurnaan rumah sakit untuk memenuhi permintaan konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standard profesi dan standard pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia di Rumah Sakit dengan wajar, efisien dan selektif serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika, hukum dan sosio budaya dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan konsumen. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan di rumah sakit adalah ukuran seberapa bagus pelayanan yang diberikan kepada pasien melalui pemenuhan kebutuhan pasien sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan dalam mendapatkan pelayanan di rumah sakit. 2.4.2. Aspek-aspek Kualitas Pelayanan Aspek kualitas jasa atau pelayanan yang merupakan aspek sebuah pelayanan prima. Faktor yang menentukan kualitas pelayanan rumah sakit yaitu : 1. Kehandalan yang mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja dan kemampuan untuk dipercaya.
Universitas Sumatera Utara
2. Daya tanggap, yaitu sikap tanggap para karyawan rumah sakit melayani saat dibutuhkan pasien. 3. Kemampuan, yaitu memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu. 4. Mudah untuk dihubungi atau ditemui. 5. Sikap sopan santun, respek dan keramahan karyawan. 6. Komunikasi, yaitu memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat dengan mudah mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pasien. 7. Dapat dipercaya atau jujur. 8. Jaminan keamanan 9. Usaha untuk mengerti dan memahami kebutuhan pasien. 10. Bukti langsung, yaitu bukti fisik dari jasa bisa berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, representasi fisik dan jasa. Dalam perkembangan berikutnya, Pasuraman dkk (1988) dalam Bustami (2011) menyatakan bahwa 10 faktor yang mempengaruhi kualitas yang
dengan
dirangkum menjadi 5 faktor pokok dalam keunggulan pelayanan, yaitu: 1. Bukti fisik (tangibles), bukti langsung yang meliputi fasilitas fisik, perlengkapan dan material yang digunakan rumah sakit dan penampilan karyawan yang ada. 2. Reliabilitas (reliability), berkaitan dengan kehandalan kemampuan rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang segera dan akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan memuaskan. Secara umum dimensi reliabilitas
Universitas Sumatera Utara
merefleksikan konsistensi dan kehandalan (hal yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan) dari penyedia pelayanan. Dengan kata lain, reliabilitas berarti sejauhmana jasa mampu memberikan apa yang telah dijanjikan kepada pelanggannya dengan memuaskan. Hal ini berkaitan erat dengan apakah perusahaan / instansi memberikan tingkat pelayanan yang sama dari waktu ke waktu, apakah perusahaan/instansi memenuhi janjinya, membuat catatan yang akurat, dan melayani secara benar. 3. Daya tanggap (responsiveness), sehubungan dengan kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu para pasien dan merespon permintaan mereka dengan tanggap, serta menginformasikan jasa secara tepat. Dimensi ini menekankan pada sikap dari penyedia jasa yang penuh perhatian, cepat dan tepat dalam menghadapi permintaan, pertanyaan, keluhan, dan masalah dari pelanggan. Dimensi ketanggapan ini merefleksikan komitmen perusahaan atau instansi untuk memberikan pelayanan yang tepat pada waktunya dan persiapan perusahaan / instansi sebelum memberikan pelayanan. 4. Jaminan (assurance), yakni mencakup pengetahuan, keterampilan, kesopanan, mampu membutuhkan kepercayaan pasiennya. Jaminan juga berarti bahwa bebas bahaya, resiko dan keragu-raguan. Dimensi-dimensi ini merefleksikan kompetensi perusahaan, keramahan (sopan santun), kepada pelanggan, dan keamanan operasionalnya. Kompetensi ini berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan jasa.
Universitas Sumatera Utara
5. Empati (empathy), berarti kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan pasien sebagai pelanggan dan bertindak demi kepentingan pasien. Dimensi ini menunjukkan derajat perhatian yang diberikan kepada setiap pelanggan dan merefleksikan kemampuan pekerja (karyawan) untuk menyelami perasaan pelanggan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima faktor atau aspek kualitas pelayanan yaitu bukti fisik, reliabilitas, daya tanggap, jaminan, empati. Gronroos dalam Tjiptono (2006) merumuskan dimensi atau faktorfaktor yang dipergunakan konsumen dalam menilai kualitas jasa yang dinyatakan dalam tiga kriteria pokok, yaitu outcome-related, process-related, dan image-related criteria. Ketiga kriteria tersebut masih dapat dijabarkan menjadi enam unsur, yaitu : 1. Professionalism and skill Kriteria yang pertama ini merupakan outcome-related criteria, dimana pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan, sistem operasional, dan sumber daya fisik memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional. 2. Attitude and behavior Kriteria ini adalah process-related criteria, pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka secara spontan dan senang hati.
Universitas Sumatera Utara
3.
Accessibility and flexibility Kriteria ini termasuk dalam process-related criteria, pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan dan sistem operasionalnya dirancang dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses dengan mudah. Selain itu juga dirancang dengan maksud agar dapat bersifat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.
4.
Reliability and trustworthiness Kriteria ini termasuk dalam process-related criteria, pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka bisa mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa beserta karyawan dan sistemnya.
5. Recovery Recovery termasuk dalam process-related criteria, pelanggan menyadari bahwa bila ada kesalahan atau bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat. 6.
Reputation and credibility Kriteria ini termasuk dalam image-related criteria, pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya. Menurut Azwar (2006) terdapat lima syarat pelayanan kesehatan yang baik,
yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Tersedia dan berkesinambungan Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat dibutuhkan. b. Dapat diterima dan wajar Pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. c. Mudah dicapai Pelayanan kesehatan yang baik mudah dicapai (accessible) oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Bila fasilitas ini mudah dijangkau dengan menggunakan alat transportasi yang tersedia maka fasilitas ini akan banyak dipergunakan. d. Mudah dijangkau Dari sudut biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. e. Berkualitas Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan menunjukkan tingkat kesempurnaan dan dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan serta tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar yang telah ditetapkan. 2.5. Landasan Teori Pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial budaya, ekonomi, organisasi, atau hambatan bahasa. Akses geografis dapat diukur dengan
Universitas Sumatera Utara
jenis transportasi, jarak, waktu perjalanan, dan hambatan fisik lain (Bustami, 2011). Menurut Sujarto dalam Lastri (1997) faktor yang harus diperhatikan dalam perencanaan
fasilitas
kesehatan
meliputi:
distribusi
kepadatan
penduduk,
aksesibilitas, ketersediaan lahan, dan lingkungan. Pelayanan kesehatan yang prima mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan seperti yang telah dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithmal dan Berri (1985) dalam Bustami (2011) dapat dijadikan sebagai acuan. Konsep tersebut memformulasikan 5 faktor pokok dalam keunggulan pelayanan yaitu bukti fisik (tangibles), reliabilitas (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance), dan empati (empathy). Menurut Azwar (2006), terdapat 5 (lima) syarat pelayanan kesehatan yang baik yaitu tersedia dan berkesinambungan, dapat diterima dan wajar, mudah dicapai, mudah dijangkau, dan berkualitas. Pemanfaatan pelayanan kesehatan melalui pendekatan model Anderson (1974) dalam Notoatmodjo (2007) yang menggambarkan ada 3 kategori utama yang berpengaruh terhadap perilaku pencarian/pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu predisposing characteristic atau karakteristik predisposisi, enabling characteristic atau karakteristik pendukung dan Need characteristic atau karakteristik kebutuhan. Karakteristik predisposisi atau predisposing characteristics ini berdasarkan karakteristik pasien meliputi ciri demografi, struktur sosial, keyakinan terhadap pelayanan kesehatan (Health beliefs). Karakteristik pendukung atau enabling characteristics
menggambarkan
fakta
bahwa
setiap
individu
mempunyai
Universitas Sumatera Utara
kecenderungan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang letaknya strategis (mudah dijangkau), biaya pengobatan murah. Sedangkan individu memanfaatkan pelayanan kesehatan dari karakteristik kebutuhan atau need characteristics yaitu adanya kualitas pelayanan yang memadai. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit, namun karena peneliti menduga ada beberapa faktor yang paling dominan dan juga karena keterbatasan waktu, maka penelitian ini hanya dibatasi pada beberapa faktor/variabel penelitian saja yaitu dari letak geografis dan kualitas pelayanan saja.
2.6. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Variabel Bebas
1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4. 5.
Variabel Terikat
Letak Geografis Jarak Tempuh Waktu Tempuh Transportasi Kondisi Jalan Kualitas Pelayanan Bukti Fisik Keandalan Daya Tanggap Jaminan Empati
Pemanfaatan Rumah Sakit
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara