BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analisis Survival Analisis Survival adalah kumpulan beberapa prosedur uji statistik untuk menganalisis data dengan variabel outcamenya adalah waktu sampai suatu kejadian muncul. Waktu sampai kejadian muncul adalah tahun, bulan, minggu, atau hari mulai dari pengamatan sampai kejadian itu muncul. Yang termasuk dalam kejadian event adalah meninggal, sakit, sembuh, kembali bekerja, kembali mengulang pekerjaan yang sama atau kejadian apapun yang mungkin muncul dalam diri seseorang (Murti, 1995). Menurut Kleinbaum dan Klein (2005) analisis survival ialah kumpulan dari prosedur statistik untuk menganalisis data yang outcame variabelnya yang diteliti adalah waktu (time) hingga suatu peristiwa (event) muncul. Time survival dapat didefinisikan sebagai waktu dari awal observasi hingga terjadinya peristiwa, dapat dalam hari, bulan, maupun tahun. Peristiwa tersebut dapat berupa perkembangan suatu penyakit, respon terhadap perawatan, kambuhnya suatu penyakit, kematian atau peristiwa lain yang dipilih sesuai dengan kepentingan peneliti. Oleh karena itu time survival dapat berupa waktu sembuhnya dari penyakit, waktu dari memulai perawatan hingga terjadinya respon dan waktu hingga terjadi kematian (Lee dan Wang, 2003). Menurut Lee (1997) dalam penelitian Suci Amalia tahun 2010, dalam menentukan time survival, T, terdapat 3 elemen dasar yang diperlukan yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Waktu awal (Time origin or starting point) Titik awal tidak harus tanggal lahir. Bisa saja titik awal ini adalah waktu dimulainya suatu pengobatan baru atau tanggal masuk rawat inap Rumah Sakit. 2. Peristiwa akhir/waktu akhir (Ending event of interest) Kejadian akhir tidak harus kematian. Kejadian akhir bisa saja adalah waktu keluar rawat inap Rumah Sakit. 3. Skala waktu sebagai satuan pengukuran waktu (Measurement scale for the passage of time) Skala ini bisa berbagai hal, misalnya biaya rumah sakit dari masuk (waktu awal) sampai keluar (waktu akhir). T adalah lama dari waktu awal (time oringin). Waktu awal harus didefinisikan dengan jelas, namun tidak harus waktu kelahiran misalnya waktu awal melakukan perawatan atau awal didiagnosa penyakit tertentu (untuk percobaan klinis). Begitu juga waktu akhir harus didefinisikan secara jelas tidak harus kematian, misalnya waktu terjadinya struk, atau waktu kambuhnya penyakit (Le, 2003).
Analisis survival memiliki beberapa tujuan (Kleinbaum 1997, p15; Tabachnick, p773) :
Universitas Sumatera Utara
1. Mengestimasi/memperkirakan dan menginterprestasikan fungsi survivor atau hazard dari data survival, misalnya kanker, mati, post operasi dan lain-lain. 2. Membandingkan fungsi survivor dan fungsi hazard pada dua atau lebih kelompok. 3. Menilai hubungan variabel-variabel explanatory dengan survival time/waktu ketahanan misalnya dengan survival time/waktu ketahanan misalnya dengan menggunkan ”Cox propotional hazard”. 2.1.1 Data Tersensor Salah satu ciri khusus yang membedakan antara analisis survival dengan analisis statistika lainnya ialah terdapatnya suatu peristiwa yang lama waktu terjadinya terhadap objek adalah bervariasi. Selain itu adanya kemungkinan beberapa objek yang waktu sampai terjadinya peristiwa tidak diobservasi secara penuh (sensor). Sensor digunakan untuk menunjukkan bahwa periode pengamatan terputus sebelum peristiwa terjadi. Menurut Machin et al (2006) data dikatakan tersensor jika observasi waktu survival hanya sebagian, tidak sampai failure event.
Penyebab terjadinya data tersensor antara lain (Le, 2003): 1. Loss to follow up, terjadi bila objek pindah, meninggal atau menolak untuk berpartisipasi. 2. Drop out, terjadi bila perlakuan dihentikan karena alasan tertentu. 3. Termination of study, terjadi bila masa penelitian berakhir semantara objek yang diobservasi belum mencapai failure event. 4. Death, jika penyebab kematian bukan dibawah penyelidikan (misalnya bunuh diri).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan menurut Kleinbaum dan Klein (2005) ada 3 alasan umum terjadinya penyensor, yaitu: 1. Objek tidak mengalami peristiwa sebelum masa penelitian berakhir 2. Objek hilang selama masa follow-up ketika masa penelitian 3. Objek ditarik di penelitian karena kematian (jika kematian bukan peristiwa yang diobservasi) atau disebabkan alasan lain Ada 2 jenis penyensoran (Yasril, 2009) 1. Sensor kanan , terjadi apabila orang yang kita amati tidak mengalami event, orang yang kita amati hilang dari pengmatan (lost to follow up), orang yang kita amati meninggal yang terjadi bukan karena event.
Masa pengamatan
Kanker positif
Kanker sensor
2. Sensor kiri, terjadi apabila kita tidak mengetahui dengan pasti waktu dari keadaan sebelum pengamatan.
Masa pengamatan
HIV sensor
HIV positif
Universitas Sumatera Utara
Pada penelitian ini jenis penyensoran yang digunakan ialah right-concored, yaitu ketika waktu kesintasan objek tidak lengkap di sisi kanan masa follow-up, ketika penelitian berakhir objek masih bertahan atau objek hilang pada masa followup atau dikeluarkan dari penelitian. 2.1.2 Fungsi Survival dan Fungsi Hazard Fungsi survival dan fungsi hazard merupakan fungsi yang mendasar pada analisis survival. Secara teori, fungsi survival dapat digambarkan dengan kurva mulus dan memiliki karakteritik sebagai berikut (Kleinbaum dan Klein, 2005): 1. Tidak meningkat, kurva cenderung menurun ketika t meningkat 2. Untuk t = 0, S(t) = S(0) = 1 adalah awal dari penelitian, karena tidak ada objek yang mengalami peristiwa, probabilitas waktu survival 0 adalah 1 3. Untuk t = ∞, S(t) = S (∞) = 0 secara teori, jika periode penelitian meningkat tanpa limit maka tidak ada satupun yang bertahan sehingga kurva survival mendekati nol
1
S(t)
S(∞) = 0
0
t
∞
Universitas Sumatera Utara
Fungsi survival merupakan hal yang pokok dalam analisis survival, karena terdapat probabilitas survival untuk berbagai nilai t yang merupakan informasi penting dari data survival. Fungsi survival digunakan untuk merepresentasikan probabilitas individu untuk survived dari waktu awal sampai beberapa waktu tertentu. Fungsi survival, S(t), didefinisikan sebagai probabilitas seorang individu bertahan lebih besar dari waktu t (Le, 1997), sehingga: S(t) = Pr(T > t) = 1 – Pr(T
(2.1)
dengan F(t) adalah Cumulative Distribution Function (CDF) dari disribusi data. Berbeda dengan fungsi survival yang fokus pada tidak terjadinya peristiwa, fungsi hazard fokus pada terjadinya peristiwa. Oleh karena itu fungsi hazard dapat dipandang sebagai pemberi informasi yang berlawan dengan fungsi survival. Sama halnya dengan kurva fungsi survival, kurva fungsi hazard juga memiliki karakteristik, yaitu
(Kleinbun dan Klein, 2005):
1. Selalu nonnegatif, yaitu sama atau lebih besar dari nol 2. Tidak memiliki batas atas Selain itu fungsi hazard juga digunakan untuk alasan (Yasril, 2009) : 1. Memberi gambaran tentang failure rate 2. Mengindentifikasi bentuk model yang spesifik 3. Membuat model matematik untuk analisis survival biasanya ditulis dalam bentuk fungsi hazard Fungsi hazard h(t) merupakan probabilitas seseorang gagal setelah unit waktu yang ditentukan, seperti kebalikan dari fungsi survival S(t). Formula hazard dapat diartikan probabilitas kondisional yaitu probabilitas terjadinya suatu kejadian pada
Universitas Sumatera Utara
interval waktu antara t dan t + Δt dimana waktu survival T adalah lebih besar atau sama dengan t (Yasril, 2009).
(2.2)
(2.3)
atau h(t) dt = Pr(t ≤ T < t + Δt |T ≥t)
(2.4)
dengan kata lain, fungsi hazard h(t) menaksir proporsi kematian individu atau individu mengalami suatu kejadian dalam waktu ke-t (Kleinbaum, 2005). Saat fungsi hazard selalu konstan, maka kita akan dapatkan model constant-risk (eksponensial). Berikut Hubungan Fungsi antara fungsi kumulatif hazard, H(t), dan fungsi survival, S(t) (Le, 1997) adalah H(t) = - ln S(t)
(2.5)
2.2 Kaplan-Meier Tujuan dari analisis survival ialah mengestimasi dan mengintepretasi fungsi survival. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode Kaplan-Meier. Metode Kaplan-Meier merupakan jenis teknis analisis survival yang sering digunakan. Produk ini sering disebut sebagai product limit method, metodenya tidak dibuat interval tertentu dan efek dihitung tepat pada saat ia terjadi. Lama pengamatan masing-masing subjek disusun dari yang terpendek sampai yang yang terpanjang, dengan catatan yang tersensor diikutsertakan dihitung (Sastroasmoro, 2002) hal ini
Universitas Sumatera Utara
dianggap sebanding dengan pengukuran berskala numerik. Penelitian ini ialah penelitian statistik nonparametrik dengan data tersensor, sehingga penggunaan metode Kaplan-Meier adalah yang paling baik. Sebenarnya metode life-table sama dengan Kaplan-Meier, namun pada life-table objek diklasifikasi berdasarkan karakteristik tertentu yang masing-masing karakteristik disusun dengan interval dengan menggangap peluang terjadinya efek selama masa interval adalah konstan, sehingga data yang diperoleh akan lebih umum. Sedangkan pada metode Kaplan-Meier dianalisis sesuai dengan waktu aslinya masing-masing. Hal ini mengakibatkan proporsi survival yang pasti karena menggunakan time survival secara tepat sehingga diperoleh data yang lebih akurat. Selain itu Kaplan-Meier merupakan metode yang digunakan ketika tidak ada model yang layak untuk data survival (Novita Sari, 2011).
2.3
Uji Log Rank Uji log rank ialah sebuah uji kemaknaan untuk membandingkan fungsi
survival diantara 2 kelompok. Uji ini merupakan uji statistik nonparametrik dan sesuai digunakan ketika data tidak simetris yaitu data miring ke kanan. Selain itu uji Log Rank banyak digunakan dalam uji klinis untuk melihat efisiensi dari suatu perawatan baru yang dibandingkan dengan perawatan yang lama apabila yang diukur adalah waktu hingga terjadi sebuah peristiwa (Wikipedia). Uji Log Rank diperluas untuk analisis stratifikasi, sebagai contoh, pengaruh variabel prognostik yang patut diperhitungkan,
dan
untuk
membandingkan
3
kelompok
atau
lebih
(Machin et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghitung Log Rank, ada beberapa tahapan (Sastroasmoro, 2002): a. Menghitung jumlah subyek berisiko pada setiap kelompok pada waktu kegagalan (nij). b. Menghitung jumlah subyek yang mengalami kejadian pada setiap kelompok pada waktu kegagalan (mij). c. Menghitung jumlah subyek yang mengalami kejadian yang diharapkan untuk setiap kelompok pada waktu kegagalan (eij).
(2.6)
d. Menghitung Log Rank
(2,7)
Dimana :
i = 1,2,….
(2.8)
Universitas Sumatera Utara
2.4
Regresi Cox (Cox Propotional Hazard) Fungsi survival dan fungsi hazard merupakan analisis yang digunakan untuk
melihat perbedaan 2 kelompok atau lebih. Namun bila ada variabel-variabel kovariat yang ingin dikontrol atau bila menggunakan beberapa variabel penjelas dalam menjelaskan hubungan antara waktu kesintasan maka regresi cox lah yang digunakan. Jadi regresi cox dapat digunakan untuk membuat model yang menggambarkan hubungan antara waktu kesintasan sebagai dependen variabel dengan satu set variabel independen,. Variabel independen ini bisa kontinyu maupun katagorik. Cox proportional hazard ialah pemodelan yang digunakan dalam analisis survival yang merupakan model semiparametrik. Regresi cox proportional hazard ini digunakan bila outcame yang diobservasi adalah panjang waktu suatu kejadian. Pada mulanya pemodelan ini digunakan pada cabang statistika khususnya biostatistika yaitu digunakan untuk menganalisis kematian atau harapan hidup seseorang. Namun seiring perkembangan zaman pemodelan ini banyak dimanfaatkan di berbagai bidang. Diantaranya bidang akademik, kedokteran, sosial, science, teknik, pertanian dan sebagainya (Novita Sari, 2011). Ketika menyelidiki suatu kasus di bidang kedokteran contohnya kasus pasien yang menderita penyakit tertentu, dibutuhkan hubungan antara time survival pasien dengan karakteristik-karakteistik klinis yang didapatkan dari data medis pasien. Menurut Machin et al (2006) dengan menotasikan rat-rata fungsi hazard h0 (t) dapat menentukan hazard h (t) pasien tertentu, dengan : h(t) = (t) h0(t)
(2.9)
Universitas Sumatera Utara
Formula model Cox merupakan perkalian dari dua besaran yaitu fungsi baseline hazard dan bentuk exponensial untuk penjumlahan linear dari βiXi, yaitu penjumlahan dari p variabel independen X (Kleinbun dan Klein, 2005). Fungsi Bazeline hazard adalah hazard rate saat X = 0. h0 (t) merupakan fungsi yang tidak diketahui karena distribusi dari survival time (T) tidak diketahui. Fungsi ini hanya bergantung waktu t dan tidak mengandung X. Exponensial Kuantitas ini hanya bergantung pada X yang disebut time independent covariate. Hal ini dikarenakan X tidak bergantung pada waktu, maka X disebut time independen covariate. Akan tetapi, apabila X bergantung pada waktu (time dependen), maka diperlukan metode yang berbeda untuk memodelkan hazardnya. Pada model regresi umum fungsi hazard h tergantung pada t dan kovariat dependen X1, X2, ..., Xm (t). Dan pada model cox proportional hazard sederhana, dengan kovariat X1, X2, ..., Xm tidak tergantung pada t maka fungsi hazardnya adalah sebagai berikut: h(t, x1, x2, ..., xm, β1, β2, ..., βm) = h0 (t)exp{β1x1+ β2x2 + βmxm}
(2.10)
Fungsi h0 dikatakan sebagai fungsi baseline hazard, yaitu ketika fungsi hazard dari objek nilai semua kovariatnya adalah nol (biasanya sebagai hipotesis) dan exp{βx1+ β2x2
+
βmxm}
ialah
bentuk
resiko
relatif dari objek
dengan
kovariat x1, x2, ..., xm (koresteleva, 2003). h(t) = ho (t) exp b1X1 + b2X2.....+ biXi = ho (t) exp 0
(2.11)
Universitas Sumatera Utara
= ho (t) Baseline hazard, jika X = 0 Hal yang paling khusus dari formula ini ialah mengenai asumsi proportional hazard yaitu baseline hazard ialah fungsi dari t tetapi tidak melibatkan variabel X. Berbeda dengan bentuk eksponensial yang melibatkan variabel X tetapi tidak melibatkan t. X dikatakan time-independen (tidak tergantung waktu). Asumsi pada model cox proportional hazard ialah hazard ratio yang membandingkan 2 katagori dari variabel independen adalah konstan pada setiap waktu atau tidak tergantung pada waktu. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi atau time-dependen (X bergantung waktu) maka model digunakan ialah extended cox model. Karakteristik penting lainnya dari model cox ialah baseline hazard, h0 (t), ialah fungsi yang tidak ditentukan. Inilah yang membuat cox propotional hazard merupakan model semiparametrik. Model cox proportional hazard merupakan pemodelan yang sangat terkenal pada analisis survival. Menurut Kleinbaum dan Klein (2005) hal yang menyebabkan model ini terkenal dan digunakan secara luas antara lain: 1. Model cox merupakan model semiparamerik. 2. Dapat mengestimasi hazard ratio tanpa perlu diketahui h0 (t) atau baseline hazard function. 3. Dapat mengestimasi h0(t), h(t,X), dan fungsi survival. Walaupun, h0 (t) tidak spesifik. 4. Merupakan model robust sehingga hasil dari model cox hampir sama dengan hasil model parametrik.
Universitas Sumatera Utara
5. Model yang aman dipilih ketika berada dalam keraguan untuk menentukan model parametriknya, sehingga tidak ada ketakutan tentang pilihan model parametrik yang salah. 6. lebih baik daripada model logistik ketika tersedianya tentang waktu kesintasan dan adanya penyensoran . Tujuan regresi Cox (Yasril, 2009): 1. Mengestimasi hazard ratio 2. Menguji hipotesis 3. Melihat confidence interval dari hazard ratio Asumsi pada model Cox Proportional Hazard adalah hazard ratio yang membandingkan dua kategori dari prediktor adalah konstan pada setiap waktu atau tidak tergantung waktu. Secara umum, ada tiga pendekatan untuk mengkaji asumsi proportional hazard (Yasril, 2009), yaitu : 1. Dengan pendekatan grafik Caranya dengan membuat plot Log Minus Log (LML) dari fungsi ketahanan hidup. Pada plot ini untuk setiap strata harus paralel/sejajar. Cara ini hanya dapat digunakan untuk variabel kategorik. Untuk variabel kontinyu harus diubah menjadi kategorik (2 atau 3 kelompok). Bila setiap strata dari variabel yang diuji arahnya sejajar (paralel), maka asumsinya terpenuhi. Jika tidak sejajar (paralel) maka asumsi proporsional tidak terpenuhi. 2. Menggunakan variabel time dependent dalam extended cox model
Universitas Sumatera Utara
Caranya adalah membuat interaksi antar variabel bebas dengan waktu ketahanan hidup kemudian lihat nilai signifikansinya. Asumsi proporsional terpenuhi bila nilai p > 0,05. 3. Menggunakan goodness of fit test. Caranya adalah dengan melihat nilai p (Chi-square). Jika nilai p > 0,05 maka asumsi proporsional terpenuhi. Ketiga cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan, untuk itu sebaiknya seorang peneliti menggunakan minimal dua cara untuk menguji asumsi proporsional. Variabel kandidat yang dimasukkan dalam pengujian interaksi adalah variabel independen yang berpengaruh dengan survival time (p < 0,25). Selanjutnya pengujian interaksi antara variabel independen dengan menggunakan uji ratio likelihood. Jika nilai p < 0,05 berarti interaksi tersebut masuk ke dalam model, tetapi jika p > 0,05 variabel interaksi tidak dimasukkan dalam model. Model regresi Cox (Cox Proportional Hazard) adalah: h(t) = ho (t) exp b1X1 + b2X2.....+ biXi
(2.12)
Apabila asumsi tidak terpenuhi maka model yang dipakai disarankan regresi Cox dengan time dependent covariat atau extended cox model dan juga dapat menggunakan model cox stratifikasi.
2.5 Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.5.1 Pengertian Demam Berdarah Demam berdarah dengue/DBD (dengue henorrhagic fever, DHF) adalah suatu penyakit trombositopenia infeksius akut yang parah, sering bersifat fatal. Pada DBD
Universitas Sumatera Utara
terjadi pembesaran plasma yang ditandai hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan tubuh, abnormalitas hemostasis, dan pada kasus yang parah, terjadi suatu sindrom renjatan kehilangan protein masif (dengue shock syndrome), yang dipikirkan sebagai suatu proses imunopatologik (Halstead, 2007). 2.5.2 Etiologi Penyakit Demam Berdarah Dangue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus Den-1, Den-2, Den-3 atau Den-4 yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi Masa inkubasi penyakit DBD, yaitu periode sejak virus dangue menginfeksi manusia hingga menimbulkan gejala klinis antara 3-14 hari, rata-rata antara 4-7 hari. Penyakit DBD tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Penderita menjadi infektif bagi nyamuk saat viremia, yaitu beberapa saat menjelang timbulnya demam hingga saat masa demam berakhir, berlangsung selama 3-5 hari (Genis, 2008). Nyamuk Aedes aegypti menjadi infektif 8-12 hari sesudah menghisap darah penderita DBD sebelumnya. Selama periode ini, nyamuk Aedes yang telah terinfeksi oleh virus dangue ini akan tetap infektif selama hidupnya dan potensial menularkan virus dangue kepada manusia yang rentan lainnya. Kedua nyamuk Aedes ini, terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaaan air laut. Nyamuk Aedes agypti merpakan penyebar penyakit (Vektor) DBD yang paling efektif dan utama karena tinggal di pemukiman penduduk.
Universitas Sumatera Utara
2.5.3. Penularan Demam Dengue/ Demam Berdarah Dengue Sebagaimana model epidemiologi penyebaran penyakit infeksi yang dibuat oleh Jhon Gordon, penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh interaksi 3 faktor yaitu sebagai berikut: 1. Faktor Penjamu (Inang) Dalam hal ini adalah manusia yang rentan tertular penyakit DBD. DBD dapat menyerang segala usia, beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak-anak lebih rentan tertular penyakit yang berpotensi mematikan ini. Anak-anak lebih rentan dari usia lain, salah satunya adalah karena faktor Imunitas yang relatif lebih rendah dibanding orang dewasa, selain itu kasus-kasus berat biasanya menyebabkan komplikasi yaitu syok relatif banyak dijumpai pada anak-anak. 2. Faktor Penyebab (Agent), dan Vektor Penyakit Dalam hal ini termasuk dalam faktor agent dan vektor penyakit yang meliputi perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari suatu tempat ke tampat lain. a. Faktor Agent (Faktor Virus dangue) Virus dengue merupakan anggota Famili Flaviviridiae, memiliki kode genetik (genom) RNA rantai tunggal, yang dikelilingi oleh selubung zat inti (nukleokapsid) Ikosahedral dan terbungkus oleh selaput lipid (lemak). Serotipe yang mendominasi di Indonesia adalah serotipe 2 dan 3. serotipe 3 dikaitkan dengan kasus DBD berat. Infeksi oleh oleh salah satu tipe virus dengue akan memberikan imunitas yang menetap terhadap infeksi virus yang sama pada masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
Namun, hanya memberikan imunitas sementara dan parsial terhadap infeksi tipe virus lainnya. Misalnya, seseorang yang telah terinfeksi oleh virus Den-2, akan mendapatkan imunitas menetap infeksi virus Den-2 pada masa yang akan datang. Namun, ia tidak memiliki imunitas yang menetap jika terinfeksi oleh virus Den-3 dan kemudian hari gejala klinis yang timbul akan jauh lebih berat. b. Faktor Vektor DBD Morfologi nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam kecokelatan. Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4 cm, dengan mengabaikan panjang kakinya. Nyamuk Aedes aegypti, meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individual. Setiap hari nyamuk Aedes betina dapat bertelur rata-rata 100 butir. Telur menetas dalam dua hari menjadi larva, setelah itu berubah menjadi pupa dimana larva memasuki masa dorman (inaktif, tidur). Pupa bertahan selama 2 hari, sebelum akhirnya nyamuk dewasa keluar dari pupa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7 hingga 8 hari. Tetapi, bisa lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung. Pola aktivitas bersifat diurnal, yakni aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina yang menghisap darah. Hal ini dilakukan untuk memperoleh asupan protein, antara lain prostaglandin yang diperlukan untuk bertelur. Nyamuk Aedes aegypti menyukai area yang gelap dan benda-benda yang berwarna hitam atau merah. 3. Faktor Lingkungan
Universitas Sumatera Utara
Sangat suka tinggal dan berkembangbiak di genangan air bersih yang tidak berkontak langsung dengan tanah, Merupakan salah satu karakteristik dari nyamuk Aedes aegypti betina. Jumlah penderita DBD umumnya meningkat pada awal musim hujan yaitu antara September hingga Febuari, dimana banyak terdapat genangan air bersih di dalam benda-benda yang mampu menampung sisa air hujan. Di daerah urban berpenduduk padat, puncak penduduk terkena
DBD
adalah bulan Juni atau Juli. Karena itu, kesadaran manusia untuk membersihkan lingkungan menjadi salah satu upaya yang efektif dalam menekan laju penularan penyakit DBD. 2.5.4. Patogenesis Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan (Suhendro, 2006). Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindroma syok dengue (dengue syok syndrome). Virus dengue masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali mungkin memberi gejala demam dengue. Reaksi tubuh merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi virus. Reaksi yang amat berbeda tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang berlainan. Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah respon imun humoral. Penelitian tentang patogenesis yang menjelaskan keparahan penyakit dengue sudah banyak dilakukan. Muntaz et al. (2006) dalam penelitiannya menemukan DEN-3 menyebabkan infeksi lebih parah dibandingkan serotipe lainnya. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
dikaitkan dengan kemampuan virus untuk bereplikasi untuk menghasilkan titer virus yang lebih tinggi. Sementara dalam laporan WHO Scientific Working Group: Report on Dengue (2006), ditemukan keadaan lain yang mempengaruhi keparahan penyakit dengue: 1. Adanya hubungan infeksi primer dan sekunder. Contohnya, kombinasi serotipe primer dan sekunder DEN-1/DEN-2 atau DEN-1/DEN-3 dipandang memberi risiko yang tinggi untuk terkena dengue yang parah. 2. Imunitas individu dalam menghasilkan sitokin dan kemokin yang dihasilkan oleh aktivasi imun berhubungan dengan keparahan penyakit. 3. Semakin panjang interval antara infeksi virus dengue primer dan sekunder, maka keparahan dengue semakin meningkat. 4. Peranan genetik juga diduga berpengaruh terhadap keparahan penyakit. Penelitian menunjukkan prevalensi DBD pada orang negroid diasosiasikan dengan insidensi yang rendah (2%), sementara orang kaukasoid memilki insidensi yang lebih tinggi (30%). 2.5.5. Manifestasi Klinis Gejala klinis yang mungkin timbul pasca infeksi virus dangue amat beragam mulai dari demam tidak spesifik,
demam berdarah dangue (DBD) hingga yang
terberat yaitu sindrom syok dangue. 1. Demam Berdarah Dengue Kasus demam berdarah dengue ditandai dengan empat menifestasi klinis yaitu demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah (Hidayat R, 2008). Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan
Universitas Sumatera Utara
demam tinggi, mendadak 2-7 hari disertai dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Fenomena patofisiologi yang utam yang menentukan beratnya penyakit dan membedakan demam berdarah dengue dari demam berdarah adalah meningginya permeabilitas kapiler pembuluh darah, menurunnya volume plasma, hipotensi, trobositopeni dan diathesis hemoragik (Hidayat R, 2008). Masa kritis dari penyakit terjadinya fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi bervariasi dalam berat ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami shock (Depkes RI, 2004). 2. Dengue Schok Syndrome Disfungsi sirkulasi pada DBD, dengue shock syndrome, biasanya terjadi sesudah hari 2-7, disebabkan oleh peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi disfungsi sirkulasi dan penurunan perfusi organ. Ganguan perfusi ginjal ditandai oleh oliguria atau anuria dan gangguan perfusi susunan syaraf pusat ditandai oleh penurunan kesadaran. (Hidayat R, 2008). Pada penderita penyakit DBD, dapat ditemukan gejala-gejala klinis dan kelainan laboratoris sebagai berikut : 1. Gejala Klinis a. Demam Tinggi Mendadak yang berlangsung selama 2 sampai 7 hari yang dapat mencapai 400C. Demam sering disertai dengan gejala tidak spesifik seperti,
Universitas Sumatera Utara
tidak nafsu anoreksia, lemah badan (malaise), nyeri sendi dan tulang serta rasa sakit di daerah belakang bola mata (retoorbita) dan wajah kemerah-merahan. b. Manifestasi perdarahan yaitu uji torniqiuet dan perdarahan spontan berbentuk pteki, purpra, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematimasis, dan melena. c. Hepatomegali (pembesaran organ hati) d. Kegagalan sirkulasi darah, yang ditandai dengan denyut nadi yang teraba lemah dan cepat, ujung-ujung jari terasa dingin serta dapat disertai penurunan kesadaran dan renjatan (syok) yang dapat menyebabkan kematian. 2. Kriteria Laboratoris : a. Penurunan jumlah trombosit, trombositopenia ≤ 100.000/mm3 b. Persentase hematokrit > 40% 3. Derajat DBD : a. Derajat 1 : panas badan 5-7 hari, gejala umum tidak khas. b. Derajat 2 : seperti derajat 1, disertai derajat spontan pada kulit dan atau perdarahan lainnya. c. Derajat 3 : ada tanda-tanda kegagalan sirkulasi darah seperti, denyut nadi teraba lemah dan cepat >120x/menit, tekanan nadi menyempit (kurang dari 20mmhg). DBD derajat 3 merupakan peringatan awal yang mengarah pada terjadinya renjatan (syok). d. Derajat 4 : denyut nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur, denyut jantung > 140x/menit, ujung-ujung jari kaki dan tangan terasa dingin, tubuh berkeringat dan kulit membiru. DBD derajat 4 merupakan manifestasi syok yang sering kali berakhir dengan kematian.
Universitas Sumatera Utara
2.5.6 Terapi dan Pengobatan bagi penderita DBD 1. Prinsip umum pengobatan penyakit DBD Terapi dan pengobatan yang diberikan bagi penderita DBD bersifat sportif yaitu dengan cara mengganti kehilangan cairan tubuh yang disebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang ditandai dengan peningkatan kadar hematokrit, juga dapat disebabkan oleh gejala anoreksia, dan mual, muntah yang sering dialami penderita. Terapi bagi penderita pnyakit DBD juga bersifat simtomatis, yaitu mengurangi keluhan yang timbul, seperti panas badan, nyeri otot , perdarahan dan sebagainya. Penderita DBD yang hanya mengeluh panas, keinginan makan minum masih baik, dan diperiksa uji terniquet negatif, diperbolehkan untuk rawat jalan dengan pemberian paracetamol yang dikontrol setiap hari sampai demam hilang. periksa trombosit dan HT, bila demam menetap setelah hari sakit ke-3. Pada kasus DBD derajat 1 dan 2 , dianjurkan rawat inap karena kurang lebih sepertiga kasus DBD derajat 1 dan 2 bisa mengalami syok, yang awalnya ditandai denyut yang teraba cepat dan lemah bahkan dapat tidak teraba sama sekali. Selain itu, tanda awal terjadinya syok yang dapat diamati adalah penurunan kesadaran yaitu pendeita tampak mengatuk dan gelisah. Tanda-tanda inilah yang harus diantisipasi dengan tepat, Untuk pasien DBD derajat 3 dan 4 termasuk kasus kegawatan yang membutuhkan penanganan secara cepat dan tepat. Penanganan yang cepat oleh dokter dan paramedis yang terampil di sarana kesehatan yang memadai akan dapat menyelamatkan nyawa penderita. Kematian biasanya terjadi karena keterlambatan penderita mendapatkan pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
2. Kriteria pemulangan pasien rawat inap penyakit DBD Ada beberapa kriteria yang dapat menjadi patokan bagi paien yang dapat dipulangkan dan menjalani rawat jalan, antara lain yaitu: a. Tidak
mengalami demam,
sekuang-kurangnya selama 24
jam tanpa
menggunakan obat-obat penurun panas b. Nafsu makan membaik c. Produksi urin kembal normal d. Kadar hematokrit kembali normal e. Telah mengalami masa perawatan lebih dari 2 hari, bag pasien DBD yang mengalami syok f. Tidak terdapat gangguan pernafasan Jika kriteria diatas belum terpenuhi sebaiknya penderita DBD berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter jika ingin segera menjalani rawat jalan. Sebab, jika penderita penyakit
DBD tetap memaksa pulang dan menjalani rawat jalan dikawatirkan
kondisinya akan memburuk dan fatal. 3. Kematian karena penyakit DBD Total kasus DBD yang terkhir dengan kematian tidak mencapai 1%. Biasanya, kasus DBD yang beakibat fatal adalah DBD derajat 3 dan 4 yang terlamabat mendapatkan pertolongan medis yang cepat dan tepat., yang seringkali diakibatkan karena ketidaktahuan dan lambannya penanganan terhadap penderita sehingga begitu di bawa ke Rumah Sakit kondisinya sudah parah.
Universitas Sumatera Utara
2.5.7 Upaya pencegahan penyakit DBD Hal-hal yang harus dillakukan untuk menjaga kesehatan agar terhindar dari penyakit DBD sebagai berikut: 1. Melakukan kebiasaan baik seperti makan makanan yang bergizi, rutin olahraga, dan istirahat cukup. 2. Memasuki masa pancaroba, perhatikan kebersihan lingkungan tempat tinggal dan melakukan 3M, yaitu menguras bak mandi, menutup wadah yang dapat perkembangan jentik-jentik nyamuk, dan akan lebih baik bila barang-barang bekas tersebut di daur ulang. 3. Fogging atau pengasapan hanya akan memetikan jentik nyamuk di air, keduanya harus dilakukan untuk memeutuskan rantai perkembbangan nyamuk. 4. Segera berikan obat penurun panas untuk demam apabila mengalami demam atau panas tinggi. 5. Jika tidak sembuh dan terlihat tanda-tanda lain, segera baa penderita ke rumah sakit 2.5.8 Kecepatan kesembuhan DBD 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi faktual penderita (Jaya, 2008) ialah: a. Strain Virus, strain virus dihubungkan dengan tingkat infektivitas virus serta level viremia yang dimilikinya. 80% kasusu menunjukkan viremia masih berlangsung sampai dua hari setelah renjatan. b. Karakteristik genetika host
Universitas Sumatera Utara
c. Usia Penderita, penderita DBD dengan usia dibawah 15 tahun memiliki derajat keparahan yang cenderung lebih tinggi. Makin muda usia penderita, Untuk derajat beratnya penyakit, makin besar juga mortalitasnya. d. Pasien dengan infeksi sekunder heterolog, Pada infeksi tersebut virus berperan sebagai super antigen setelah difagosit oleh monosit dan makrofag, sehingga dapat meningkatkan replikasi virus intra sel e. Infeksi simultan oleh dua atau lebih virus dalam jumlah besar. Secara teoritis dan telah ditemukan laporan seorang penderita terinfeksi oleh empat serotipe virus secara simultan f. Status nutrisional penderita, berkaitan dengan status gizi dan imunologis resiko komplikasi maupun infeksi sekunder. Pada kasus penderita usia dibawah 14 tahun terdapat perbedaan kejadian renjatan berdasarkan kasus nutrisional. Penderita DBD denag gizi kurang atau dengan obesitas, lebih banyak mengalami renjatan. g. Kondisi demografis setempat, pada daerah endemik, resiko terhadap infeksi sekunder akan semakin besar. Termasuk kepadatan vektor nyamuk di suatu daerah h. Kegagalan penanggulangan secara dini, perdarahan intavaskuler menyeluruh ditandai dengan penurunanan faktor pembekuan dan trombositopenia yang tiak ditangani dengan baik akan mengakibatkan perdaran spontan lanjutan yang makin tinggi yang bisa menyebabkan syok.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan kesembuhan DBD: a. Usia Demam berdarah dengue bisa mengenai semua kelompok umur, namun terbanyak
pada
anak
< 15
tahun (65%-95%)
(Harris E,
2000)
(Kalayanarooj S, 2000) Di daerah endemis dan hiperendmis seperi asia tenggara, penderita terbanyak adalah anak berusia dibawah 15 tahun, usia lebih muda pada umumnya berhubungan dengan meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah faktor eksogen dan endogen seperti kondisi lingkungan, adanya penyakit yang menyertai, perubahan fisiologis atau imunologis. Berdasarkan hasil penelitian Chatarina (1999), menyatakan bahwa usia berpengaruh kecepayan kesembuhan penderita DBD di rumah sakit. Menurut Chuan Kuo, dkk. (2008) yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat kematian penderita DBD adalah usia b. Jenis Kelamin Pada umumnya pria lebih rentan terhadap infeksi. Berdasarkan hasil penelitian, bahwa pasien berjenis kelamin laki-laki cenderung 0,6109 kali lebih cepat sembuh daripada pasien yang berjenis kelamin perempuan (Suci Amalia, 2010). Menurut Chuan Kuo, dkk. (2008) menyatakan pada penderita DBD tingkat kematian wanita lebih tinggi daripada pria. c. Kecepatan Dirujuk ke Rumah Sakit kecepatan dirujuk ke rumah sakit di indikatorkan dengan lama demam di rumah. Demam merupakan keluhan utama pada semua penderita DBD (100%). Lama demam sebelum dirujuk kerumah sakit merupakan indikator dari
Universitas Sumatera Utara
kecepatan rujukan ke Rumah Sakit, sehingga mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Penelitian Chatarina (1999) yang menyatakan ada pengaruh kecepatan dirujuk ke rumah sakit terhadap kecepatan kesembuhan penderita DBD d. Trombosit Penurunan produksi trombosit pada fase awal penyakit merupakan penyebab trombositopenia. Trombositopenia terutama disebabkan oleh penghacuran trombosit pada sirkulasi. Penurunan trombosit < 100.000/uL biasanya ditemukan antara hari sakit ketiga sampai ketujuh. Jumlah trombosit yang terus mengalami penurunan hingga < 50.000/uL mempunyai resiko 6 kali lebih besar mengalami kematian. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara trombositopenia dan syok (Ignatius, 2007), yang sangat terkait dengan derajat penyakit DBD yang dialami penderita. Suci Amalia (2010), menyatakan bahwa ada pengaruh trombosit terhadap kecepatan kesembuhan pasien DBD e. Derajat DBD Derajat DBD adalah tingkat keparahan yang dialami oleh penderita DBD, yang di katagorikan menjadi derajat DBD 1, 2, 3, dan 4. menurut Melani (1992) salah satu yang mempengaruhi berat ringannya penyakit adalah derajat DBD, semakin tinggi derajatnya maka semakin berat penyakit yang dialami penderita. f. Hematokrit Semakin besar kadar hematokrit pasien sebesar satu satuan maka pasien cenderung lebih lama sembuh (Suci Amalia, 2010). Sedangkan menurut Melani
Universitas Sumatera Utara
(1992), menyatakan bahwa salah satu yang mempengaruhi berat ringannya penyakit adalah jumlah hematokrit 2.6 Kerangka Konsep Umur Jenis Kelamin Kecepatan penderita dirujuk ke rumah sakit Derajat DBD
Kecepatan Kesembuhan Penderita Demam Berdarah
Trombosit
Hematokrit Analisis Regresi Cox
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Faktor – Faktor yang Memengaruhi Kecepatan Kesembuhan Penderita DBD
2.7 Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan pada penelitian ini yaitu: 1. Ada hubungan umur, jenis kelamin, kecepatan penderita dirujuk ke rumah sakit, derajat DBD, trombosit dan hematokrit terhadap kecepatan kesembuhan penderita DBD. 2. Ada pengaruh umur, jenis kelamin, kecepatan penderita dirujuk ke rumah sakit, derajat DBD, trombosit dan hematokrit terhadap kecepatan kesembuhan penderita DBD.
Universitas Sumatera Utara