BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. Konsep Bermain 1.1 Defenisi bermain Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak dapat melakukan atau mempraktekkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan, dan berperilaku dewasa (Hidayat, 2005). Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk memperoleh kesenangan atau kepuasan. Bermain merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional, dan sosial. Bermain merupakan media yang baik untuk belajar karena dengan bermain anak-anak akan berkata-kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2008).
1.2 Tujuan bermain Menurut Wong (2008), tujuan bermain bagi anak usia sekolah yaitu: 1.2.1
Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Pada saat sakit anak mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
1.2.2
Mengekspresikan perasaan, keinginan, dan fantasi, serta ideidenya. Pada saat sakit dan dirawat di rumah sakit, anak mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan.
Universitas Sumatera Utara
1.2.3
Mengembangkan
kreativitas
dan
kemampuan
memecahkan
masalah. Permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi, dan fantasinya untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya. 1.2.4
Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stres karena sakit dan dirawat di rumah sakit.
1.3 Fungsi bermain Menurut Wong (2008) Fungsi bermain bagi anak usia sekolah yaitu: 1.3.1
Perkembangan sensorik-motorik Dalam hal ini permainan akan membantu perkembangan gerak halus dan pergerakan kasar anak dengan cara memainkan suatu obyek yang sekiranya anak merasa senang. Misalnya: orang tua memainkan pensil didepan anak, pada tahap awal anak akan melirik benda yang ada didepannya, kalau dia tertarik dia akan berespon dan berusaha untuk meraih atau mengambil pensil dari genggaman orangtuanya.
1.3.2
Perkembangan intelektual Melalui eksplorasi dan manipulasi, anak-anak belajar mengenali warna, bentuk, ukuran, tekstur dan fungsi objek-objek. Mereka mempelajari fungsi angka-angka dan cara menggunakannya; mereka belajar menghubungkan kata dengan benda; dan mereka mengembangkan pemahman tentang konsep yang abstrak dan
Universitas Sumatera Utara
hubungan spesial tentang naik, turun, bawah dan atas. Kesediaan materi permainan dan kualitas keterlibatan orang tua adalah dua variabel terpenting yang terkait dengan perkembangan kognitif. 1.3.3
Kreatifitas Mengembangkan kreatifitas anak dalam bermain sendiri atau secara bersama. Berikan anak balok yang banyak dan biarkan dia menyusun balok - balok itu untuk dibuat bentuk apa saja sesuai dengan keinginan anak, kemudian tanyakan pada anak benda apa yang telah ia buat itu.
1.3.4
Perkembangan sosial Belajar berinteraksi dengan orang lain, mempelajari peran dalam kelompok. kumpulkan 3-5 anak yang usianya sebaya, kemudian biarkan anak untuk membentuk kelompok sendiri dan menjalani perannya sendiri-sendiri, orang tua memantau dari kejauhan.
1.3.5
Kesadaran diri (Self awareness) Dengan bermain anak sadar akan kemampuannya sendiri, kelemahannya dan tingkah laku terhadap orangf lain. Jika anak tadi berperan sebagai seorang pemimpin dan dia merasa tidak mampu memimpin, maka dengan senang hati dia akan memberikan peran pemimpin tadi pada teman yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
1.3.6
Perkembangan moral Dapat diperoleh dari orang tua, orang lain yang ada disekitar anak. Untuk itu tugas orangtua untuk mengajari anak agar mempunyai moral yang baik.
1.3.7
Komunikasi Bermain merupakan alat komunikasi terutama pada anak yang masih belum dapat menyatakan perasaannya secara verbal. Misalnya: anak menggambar dua anak kecil perempuan (mungkin dia ingin punya adik perempuan), anak melempar sendok/garpu saat makan (mungkin dia tidak suka sama lauk pauknya).
1.4 Klasifikasi permainan Dari sudut pandang pengembangan, pola permainan anak dapat dikategorikan menurut isi dan karakter sosial. Keduanya memiliki efek aditif; masing-masing terbentuk di atas pencapaian masa lalu, dan beberapa elemen dari masing-masing dipertahankan selama kehidupan (Wong,2008). Isi permainan: 1.4.1
Bermain afektif sosial Bermain ini menunjukkan adanya perasaan sedang dalam berhubungan dengan orang lain. Hal ini dapat dilakukan seperti orang tua memeluk anaknya sambil berbicara, bersenandung kemudian anak memberikan respon seperti tersenyum,tertawa. Sifat dari bermain ini adalah orang lain yang berperan aktif dan
Universitas Sumatera Utara
anak
hanya
berespons
terhadap
stimulasi
sehingga
akan
memberikan kesenangan dan kepuasan bagi anak. 1.4.2
Bermain bersenang-senang Bermain ini hanya memberikan kesenangan pada anak melalui objek yang ada sehingga anak merasa senang dan bergembira tanpa adanya kehadiran orang lain. Sifat bermain ini adalah tergantung dari stimulasi yang diberikan pada anak, mengingat sifat dari bermain ini hanya memberikan kesenangan pada anak tanpa memperdulikan aspek kehadiran orang lain, seperti bermain boneka-bonekaan dan lain-lain.
1.4.3
Bermain keterampilan Bermain ini dengan menggunakan objek yang dapat melatih kemampuan keterampilan anak yang diharapkan mampu untuk berkreatifitas dan terampil dalam segala hal. Sifat permainan ini adalah bersifat aktif dimana
anak
selalu ingin mencoba
kemampuan dalam keterampilan tertentu seperti bermain dalam bongkar pasang gambar, disini anak selalu dipicu untuk selalu terampil dalam meletakkan gambar yang telah dibongkar, kemudian bermain latihan memakai baju dan lain-lain. 1.4.4
Bermain dramatik Bermain ini dapat dilakukan anak dengan mencoba berperan sebagai seorang dewasa, seorang ibu dan guru dalam kehidupan sehari-hari. Sifat dari permainan ini adalah anak dituntut aktif
Universitas Sumatera Utara
dalam memerankan sesuatu. Permainan dramatik ini dapat dilakukan apabila anak sudah mampu berkomunikasi dan mengenal kehidupan sosial. 1.4.5
Bermain menyelidiki Jenis permainan ini dengan memberikan sentuhan pada anak untuk berperan dalam menyelidiki sesuatu atau memeriksa dari alat permainan seperti mrngocok
untuk mengetahui isinya dan
permainan ini bersifat aktif pada anak dan dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan kecerdasan pada anak. 1.4.6
Bermain konstruksi Bermain ini bertujuan untuk menyusun objek permainan agar menjadi sebuah konstruksi yang benar seperti permainan menyusun balok. Sifat dari permainan ini adalah aktif dimana anak selalu ingin menyelesaikan tugas-tugas yang ada dalam permainan dan akan dapat membangun kecerdasan pada anak.
1.4.7
Bermain onlooker Jenis bermain ini adalah dengan melihat apa yang dilakukan oleh anak lain yang sedang bermain tetapi tidak berusaha untuk bermain. Sifat dari bermain ini adalah pasif akan tetapi anak akan mempunyai kesenangan atau kepuasan sendiri dengan melihatnya.
Universitas Sumatera Utara
1.5 Karakteristik sosial permainan Menurut Wong (2008), karakteristik sosial permainan terdiri dari: 1.5.1
Bermain soliter atau mandiri Merupakan bermain yang dilakukan secara sendiri hanya terpusat pada permainannya sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Sifatnya adalah aktif akan tetapi bentuk stimulasi kurang, karena dilakukan sendiri dalam perkembangan mental pada anak, kemudian dapat membantu untuk menciptakan kemandirian pada anak.
1.5.2
Bermain pararel Bermain secara sendiri tetapi ditengah-tengah anak lain yang sedang bermain akan tetapi tidak ikut dengan kegiatan orang lain. Sifat dalam bermain ini adalah anak aktif secara sendiri tetapi masih dalam satu kelompok, dengan harapan kemampuan anak dalam menyelesaikan tugas mandiri dalam kelompok tersebut terlatih dengan baik.
1.5.3
Bermain asosiatif Merupakan bermain secara bersama dengan tidak mengikat sebuah aturan yang ada, semuanya bermain tanpa memperdulikan teman yang lain dalam sebuah aturan. Bermain ini akan menumbuhkan kreativitas anak karena stimulasi dari anak lain ada, akan tetapi belum dilatih dalam mengikuti peraturan dalam kelompok.
Universitas Sumatera Utara
1.5.4
Bermain kooperatif Merupakan bermain secara bersama dengan adanya aturan yang jelas sehingga adanya perasaan dalam kebersaman sehingga terbentuk hubungan pemimpin dan pengikut. Sifat dari bermain ini adalah aktif, anak akan selalu menumbuhkan kreativitasnya dan melatih anak pada peraturan kelompok sehingga anak dituntut selalu mengikuti peraturan.
1.6 Alat permainan edukatif Alat permainan edukatif merupakan alat permainan yang dapat memberikan fungsi permainan secara optimal dalam perkembangan anak. Dimana melalui alat permainan ini anak selalu dapat mengembangkan kemampuan fisiknya, bahasa, kemampuan kognitifnya, dan adaptasi sosialnya. Dalam mencapai fungsi perkembangan secara optimal, maka alat permainan ini harus aman, ukurannya sesuai dengan usia anak, modelnya jelas, menarik sederhana, dan tidak mudah rusak. Contoh jenis permainan yang dapat mengembangkan secara edukatif seperti: permainan sepeda roda tiga, mainan yang ditarik dan didorong jenis ini mempunyai pendidikan dalam pertumbuhan fisik atau motorik kasar, kemudian pensil, bola, balok, lilin. Jenis alat ini dapat digunakan dalam mengembangkan kemampuan motorik halus. Alat permainan buku bergambar, buku cerita, puzzle, boneka, pensil warna, radio dan, lain-lain, ini dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan kognitif atau kecerdasan anak (Hidayat,2005).
Universitas Sumatera Utara
1.7 Faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain Ada lima faktor yang mempengaruhi aktivitas bermain pada anak (Supartini,2004): 1.7.1
Tahap perkembanagan anak Aktivitas bermain yang dapat dilakukan anak, yaitu sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak. Permainan anak usia bayi tidak lagi efektif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah. Oleh karena itu orang tua maupun perawat harus mengetahui dan memberikan jenis permainan yang sesuai dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak.
1.7.2
Status kesehatan anak Untuk melakukan aktivitas bermain diperlukan energi. Pada saat kondisi anak sedang menurun atau atau anak terkena sakit bahkan dirawat dirumah sakit, orang tua harus jeli memilihkan permainan yang dapat dilakukan anak sesuai dengan prinsip bermain pada anak yang sedang dirawat di rumah sakit.
1.7.3
Jenis kelamin anak Dalam melaksanakan aktivitas bermain tidak membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Semua alat permainan dapat digunakan
untuk
mengembangkan
daya
pikir,
imajinasi,
kreativitas, dan kemampuan sosial anak.
Universitas Sumatera Utara
1.7.4
Lingkungan yang mendukung Lingkungan rumah yang cukup luas untuk bermain memungkinkan anak mempunyai cukup ruang gerak untuk bermain, berjalan, mondar-mandir, berlari, melompat, dan bermain dengan teman sekelompoknya.
1.7.5
Alat dan jenis permainan yang cocok Orang tua harus bijaksana dalam memberikan alat permainan untuk anak. Pilih yang sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak. Alat permainan yang harus didorong, ditarik dan dimanipulasi akan mengajarkan anak untuk dapat mengembangkan kemampuan koordinasi
alat
gerak.
Permaian
membantu
anak
untuk
meningkatkan kemampuan dalam mengenal norma dan aturan serta interaksi sosial dengan orang lain.
1.8 Permainan untuk anak usia sekolah Ditinjau dari kelompok usia anak, jenis permainan dapat dibagi menjadi permainan untuk bayi, todller, prasekolah, sekolah, dan anak usia remaja (Supartini, 2004). Kemampuan sosial anak usia sekolah semakin meningkat. Mereka lebih mampu bekerja sama dengan teman sepermainannya. Sering sekali pergaulan dengan teman menjadi tempat belajar mengenai norma baik atau buruk. Permainan pada anak usia sekolah tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan keterampilan fisik ataupun intelektual, tetapi juga dapat
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan sensitivitasnya untuk terlibat dalam kelompok dan bekerja sama dengan sesamanya. Sisi lain manfaat bermain bagi anak usia sekolah adalah mengembangkan kemampuannya untuk bersaing secara sehat, bagaimana anak dapat menerima kelebihan orang lain melalui permainan yang ditunjukkannya. Karakteristik permainan anak usia sekolah dibedakan menurut jenis kelaminnya. Anak laki-laki lebih tepat jika diberikan mainan jenis mekanik yang akan menstimulasi kemampuan kreativitasnya dalam berkreasi sebagai seorang laki-laki. Anak perempuan lebih tepat diberikan permainan yang dapat menstimulasi
untuk mengembangkan perasaan, pemikiran, dan
sikapnya menjalankan peran sebagai seorang perempuan.
1.9 Prinsip permainan di rumah sakit Prinsip permainan di rumah sakit ada 5 yaitu: 1) Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan pada anak. Misalnya sambil tiduran ditempat tidurnya anak dapat dibacakan buku cerita atau diberikan buku komik anak-anak; 2) Permainan tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan sederhana. Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak, misalnya menggambar atau mewarnai; 3) Permainan yang harus mempertimbangkan keamanan anak. Pilih alat permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang anak untuk berlari-lari; 4) Permainan harus melibatkan kelompok umur yang sama; 5) Melibatkan orang tua (Wong,2003). Orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan
Universitas Sumatera Utara
upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat. Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator, orangtua harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak mulai dari awal sampai mengevaluasi hasil permainan.
1.10 Teknik bercerita Menurut Yaakub (2009), bercerita adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang perbuatan atau sesuatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain. Menurut Bimo (2009), bercerita adalah upaya untuk mengembangkan potensi kemampuan berbahasa anak melalui pendengaran dan kemudian menuturkannya kembali dengan tujuan melatih ketrampilan anak dalam bercakap-cakap untuk menyampaikan ide dalam bentuk lisan. Bercerita dapat meningkatkan kemampuan berpikir terhadap pelajaran, boleh merangsang anak-anak melahirkan idea atau pendapat serta menjadikan pembelajaran sebagai suatu pengalaman yang berguna dan bercerita juga dapat dijadikan sebagai terapi. Anak-anak menyukai hal-hal yang fantastis, aneh, yang membuat imajinasinya menari-nari. Bagi anak-anak, hal-hal yang menarik berbeda pada setiap tingkat usia, misalnya; usia 4 tahun, anak menyukai dongeng fabel dan horor, seperti: si wortel, tomat yang hebat, anak ayam yang manja, kambing gunung dan kambing gibas, anak nakal tersesat di hutan rimba, cerita nenek sihir, orang jahat, raksasa yang menyeramkan dan sebagainya. Pada usia 4-8 tahun, anak-anak menyukai dongeng jenaka, tokoh pahlawan atau hero dan
Universitas Sumatera Utara
kisah tentang kecerdikan, seperti: perjalanan ke planet biru, robot pintar, anak yang rakus dan sebagainya (Yaakub, 2009). Menurut Yaakub (2009), ditinjau dari beberapa aspek, manfaat bercerita untuk membantu pembentukan pribadi dan moral anak, menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi, memacu kemampuan verbal anak, merangsang minat menulis anak, merangsang minat baca anak, membuka cakrawala pengetahuan anak sedangkan menurut Ranakusumah (2009), manfaat bercerita adalah dapat memperluas wawasan dan cara berfikir anak, sebab dalam bercerita anak mendapat tambahan pengalaman yang bisa jadi merupakan hal baru baginya. Manfaat bercerita dengan kata lain adalah menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi sehingga dapat memperluas wawasan dan cara berfikir anak.
2. Konsep Kecemasan 2.1 Defenisi kecemasan Kecemasan merupakan respon individu terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan dan dialami semua makhluk hidup dalam kehidupan seharihari. Kecemasan merupakan pengalaman subjektif dari individu dan tidak dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu keadaan emosi tanpa objek yang spesifik (Suliswati, 2005). Kecemasan merupakan suatu keadaan yang menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan (Sundari, 2005). Kecemasan juga dapat diartikan sebagai satu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai
Universitas Sumatera Utara
dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan yang berlebihan dari susunan saraf autonomik (SSA) (Kaplan & Suddock, 1998).
2.2 Tanda-tanda kecemasan Menurut Suliswati (2005), setiap individu berbeda dalam menghadapi suatu stimulus. Kecemasan memiliki satu gejala utama, yaitu takut atau timbul perasaan khawatir
dalam situasi dimana kebanyakan orang tidak merasa
terancam. Selain gejala yang utama, tanda umum lainnya dari gejala perasaana gelisah adalah perasaan takut, terganggu berkosentrasi, merasa tegang dan gelisah, antisipasi yang terburuk, cepat marah, resah, merasakan adanya tandatanda bahaya. Kecemasan tidak hanya menyerang perasaan, namun juga berdampak terhadap kondisi fisik. Gejala fisik secara umum dari kecemasan adalah jantung berdebar, berkeringat, mual dan pusing, peningkatan frekuensi BAB atau diare, sesak nafas, tremors, ketegangan otot, sakit kepala, kelelahan.
3. Konsep Anak Usia Sekolah Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan dimulai dari bayi (0-1 tahun), usia bermain / toodler (1-2,5 tahun), prasekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-11 tahun), hingga remaja (11-18 tahun). Namun, topik yang ingin di bahas tentang anak usia sekolah (Wong. 2008).
Universitas Sumatera Utara
3.1 Defenisi anak usia sekolah Periode usia pertengahan ini sering kali disebut usia sekolah atau masa sekolah dengan rentang usia 6-12 tahun. Periode ini dimulai dengan masuknya anak kelingkungan sekolah, yang memiliki dampak signifikan dalam perkembangan dan hubungan anak dengan orang lain. Anak mulai bergabung dengan teman seusianya, mempelajari budaya masa kanak-kanak dan menggabungkan diri ke dalam kelompok sebaya. Pada tahap ini terjadi perkembangan fisik, mental, dan sosial yang kontinu, disertai penekanan pada perkembangan kompetensi keterampilan (Wong, 2008). 3.2 Pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah Secara fisiologis, masa kanak-kanak pertengahan dimulai dengan tanggalnya gigi susu pertama dan diakhiri dengan masa pubertas dengan memperoleh gigi permanen terakhir (kecuali gigi geraham terakhir). Pertumbuhan yang cepat dimas kanak-kanak awal dan ledakan pertumbuhan di masa prapubertas, adalah saat pertumbuhan dan perkembangan terjadi secara bertahap dengan peningkatan yang lebih besar pada aspek fisik dan emosional (Wong, 2008 ). Kemampuan anak usia sekolah semakin meningkat. Mereka lebih mampu bekerja sama dengan teman sepermainannya. Sering sekali pergaulan dengan teman menjadi tempat belajar mengenal norma baik atau buruk. Permainan pada anak usia sekolah tidak hanya bermanfaat untuk meningkatkan keterampilan
fisik
atau
intelektualnya,
tetapi
juga
dapat
mampu
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan sensitivitasnya untuk terlibat dalam kelompok dan bekerja sama dengan sesamanya. Manfaat bermain pada anak usia sekolah adalah mengembangkan kemampuan untuk bersaing secara sehat. Bagaimana anak dapat menerima kelebihan orang lain melalui permainan yang ditunjukkannya. Karakteristik permainan untuk anak usia sekolah dibedakan menurut jenis kelaminnya. Anak laki-laki lebih tepat jika diberikan mainan jenis mekanik yang akan menstimulasi kemampuan kreativitasnya dalam berkreasi sebagai seorang laki-laki, misalnya mobil-mobilan. Anak perempuan lebih tepat diberikan permainan yang dapat menstimulasinya untuk mengembangkan perasaan, pemikiran, dan sikapnya dalam menjalankan peran sebagai seorang perempuan, misalnya alat untuk memasak dan boneka. Selain perkembangan secara fisik perlu juga diperhatikan perkembangan anak secara biologis, kognitif, moral, dan psikologis (Wong, 2008). 3.2.1
Perkembangan biologis Pertumbuhan tinggi dan berat badan terjadi lebih lambat tetapi pasti jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Usia 6-12 tahun, anak-anak akan mengalami pertumbuhan sekitar 5 cm pertahun, bertambah 2 sampai 3 kg per tahun. Menjelang akhir usia sekolah, ukuran tubuh anak laki-laki dan perempuan mulai meningkat, walaupun sebagian besar tinggi dan berat badan anak perempuan mulai melebihi anak laki-laki, menyebabkan ketidaknyamanan yang akut bagi anak laki-laki dan perempuan (Wong, 2008).
Universitas Sumatera Utara
3.2.2
Perkembangan kognitif (J. Piaget) Anak memasuki masa sekolah, mereka mulai memperoleh kemampuan untuk menghubungkan serangkaian kejadian untuk menggambarkan mental anak yang dapat di ungkapkan secara verbal ataupun simbolik. Tahap ini di istilahkan sebagai operasional konkret oleh Piaget, ketika anak mampu menggunakan proses berfikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan (Wong, 2008).
3.2.3
Perkembangan moral (KOHLBERG) Pada saat pola pikir anak mulai berubah dari egosentrisme ke pola pikir yang lebih logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran diri dan standar moral. Anak usia sekolah mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat dibandingkan akibat yang dihasilkannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi bersifat mutlak dan otoriter serta mulai berisi lebih banyak kebutuhan dan keinginan orang lain (Wong, 2008).
3.2.4
Perkembangan psikososial Masa kanak-kanak pertengahan adalah periode perkembangan psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten, yaitu waktu tenang antara fase Oedipus pada masa kanak-kanak awal dan erotisisme masa remaja. Selama waktu ini, anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis setelah pengabaian pada tahun-tahun sebelumnya dan didahului dengan
Universitas Sumatera Utara
ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas (Wong. 2008). 3.2.5
Perkembangan spiritual Anak-anak pada usia ini berfikir dalam batasan yang sangat konkret tetapi merupakan pelajar yang sangat baik dan memiliki kemauan besar untuk mempelajari Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan sebagai manusia dan menggunakan sifat seperti “sayang” dan “membantu” untuk menggambarkan Tuhannya. Mereka sangat tertarik
dengan
konsep
neraka
dan
surga,
dan
dengan
perkembangan kesadaran diri dan perhatian terhadap peraturan, anak takut akan masuk neraka karena kesalahan dalam berperilaku. Anak-anak usia sekolah ingin dan berharap dihukum jika berperilaku yang salah dan, jika diberikan pilihan, anak cenderung memilih hukuman yang “sesuai dengan kejahatannya”. Seringkali anak menggam-barkan penyakit atau cedera sebagai hukuman karena kelakuan buruk yang nyata maupun kelakuan buruk dalam imajinasi anak. Kepercayaan dn harapan keluarga serta tokoh agama lebih berpengaruh dalam hal keyakinan dibandingkan dengan teman sebaya (Wong. 2008). 3.2.6
Perkembangan sosial Salah satu agens sosialisasi terpenting dalam kehidupan anak usia sekolah adalah kelompok teman sebaya. Selain orang tua dan sekolah, kelompok teman sebaya memberi sejumlah hal yang
Universitas Sumatera Utara
penting kepada anggotanya. Anak-anak memiliki budaya mereka sendiri, disertai rahasia, adat istiadat dan kode etik yang meningkatkan rasa solidaritas kelompok dan melepaskan diri dari orang dewasa. Melalui hubungan dengan teman sebaya, anak belajar bagaimana menghadapi dominansi dan permusuhan, berhubungan dengan pemimpin dan pemegang kekuasaan, serta menggali ide-ide dan lingkungan fisik (Wong. 2008).
4. Konsep Hospitalisasi 4.1 Defenisi hospitalisasi Hospitalisasi
merupakan
proses
karena
alasan
yang
berencana,
darurat,mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Selama proses, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalamanyang sangat traumatik dan penuh stres. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2003). Hospitalisasi
merupakan suatu proses yang memiliki alasan yang
berencana atau darurat sehingga mengharuskan anak untuk tinggal dirumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali kerumah (Deslidel, Hasan, Hevrialni, Sartika. 2011).
Universitas Sumatera Utara
4.2 Stresor hospitalisasi Stresor yang dialami anak pada saat mengalami hospitalisasi adalah cemas akibat perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh atau nyeri. 4.2.1
Cemas akibat perpisahan Anak-anak mengatakan tentang ketakutan mereka pada saat dirawat dirumah sakit, anak-anak tersebut menunjukkan bahwa jauh dari keluarga memiliki peringkat yang lebih tinggi dari pada ketakutan lainnya yang muncul akibat hospitalisasi (Hart & bossert,1994, Wilson & Yorker,1997 dalam Wong,2008). Anak-anak usia sekolah memiliki aktivitas fisik dan mental yang tinggi yang kerap kali menemukan ketidaksesuaian dengan lingkungan rumah sakit dan bahkan meskipun ketika mereka tidak menyukai sekolah, mereka mengakui kehilangan rutinitasnya dan merasa khawatir mereka tidak mampu menyesuaikan diri dengan teman sekelas mereka pada saat mereka kembali masuk sekolah. Kesepian, bosan, isolasi, dan depresi umum terjadi. Anak usia sekolah membutuhkan dan menginginkan dukungan orang tua (Wong, 2008).
4.2.2
Kehilangan kendali Anak usia sekolah yang dirawat di rumah sakit menjadi rentan terhadap kejadian-kejadian yang dapat mengurangi rasa kendali dan kekuatan mereka. Banyak rutinitas rumah sakit yang mengambil kekuatan dan identitas individu. Bagi anak usia
Universitas Sumatera Utara
sekolah, aktivitas ketergantungan seperti tirah baring yang dipaksakan, penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi, bantuan mandi di tempat tidur, atau berpindah dengan kursi roda atau brankar dapat menjadi ancaman langsung bagi rasa aman mereka. Prosedur tersebut tidak memungkinkan kebebasan memilih bagi anak-anak yang ingin bertindak dewasa. Akan tetapi, jika anak-anak tersebut diizinkan memegang kendali, tanpa memperhatikan keterbatasannya maka biasanya mereka akan berespons dengan sangat baik terhadap prosedur apapun. Selain lingkungan rumah sakit, penyakit juga dapat
menyebabkan
perasaan kehilangan kendali. Salah satu masalah yang paling signifikan dari anak-anak dalam kelompok usia ini berpusat pada kebosanan (Wong,2008). 4.2.3
Cedera tubuh atau nyeri Ketakutan mendasar terhadap sifat fisik dari penyakit muncul pada saat ini. Anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika dibandingkan dengan disabilitas, pemulihan yang tidak pasti, atau
kemungkinan
kematian.
Anak
perempuan
cenderung
mengekspresikan ketakutan yang lebih banyak dan lebih kuat dibandingkan dengan anak laki-laki, dan hospitalisasi sebelumnya tidak berdampak pada frekuensi atau intensitas kecemasn karena kemampuan kognitif mereka sedang berkembang, anak usia sekolah waspada terhadap pentingnya berbagai penyakit yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda. Pentingnya anggota tubuh tertentu, bahaya pengobatan, dan makna kematian (Wong,2008). Kekhawatiran utama anak usia sekolah pada saat hospitalisasi adalah ketakutan mereka akan perkataan bahwa ada sesuatu yang salah dalam tubuh mereka (Hart dan Bossert,1994 dalam, Wong,2008).
4.3 Reaksi anak terhadap hospitalisasi Reaksi anak bersifat individual dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang dimilikinya. Reaksi anak yang terjadi karen sakit, kecemasan karena perpisahan, kehilangan atau luka tubuh dan rasa nyeri. Masa sekolah (6-12 tahun), kehilangan kontrol berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok sosialnya, perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Reaksi terhadap luka atau nyeri akan ditunjukkan dengan ekspresi baik verbal maupun nonverbal karena anak sudah mampu untuk mengkomunikasikannya (Deslidel, Hasan, Hevrialni, Sartika, 2011).
4.4 Dampak hospitalisasi pada anak Anak akan merasa cemas, takut, sedih, dan perasaan tidak nyaman saat dirawat (Supartini, 2004). Anak yang cemas akan mengalami kelelahan karena menangis, tidak mau berinteraksi dengan perawat, rewel, menolak makan
Universitas Sumatera Utara
sehingga memperlambat proses penyembuhan, menurunnya semangat untuk sembuh dan tidak kooperatif terhadap perawatan (Sari & Sulisno, 2012). Perawatan anak di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan yang dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya. Anak menjadi jauh dari temannya membuat anak merasa sendiri. Anak akan merasakan kecemasan akibat perpisahan yang terjadi. Kehilangan kontrol berdampak pada perubahan peran keluarga, ketidakmampuan fisik, dan takut akan kematian (Wong, 2008). Anak merasa terlantar, cedera permanen, kehilangan penerimaan teman, kurangnya produktivitas, dan ketidakmampuan menghadapi stres (Wong, 2008). Anak usia sekolah juga akan bereaksi terhadap cedera tubuh atau nyeri. Anak usia sekolah sudah mampu mengontrol perilakunya jika merasa nyeri. Reaksi diekspresikan secara verbal maupun nonverbal. Reaksi verbal pada anak saat nyeri dengan mengkomunikasikan letak, intensitas, dan deskripsi terhadap nyeri. Pada anak usia sekolah, ekspresi secara nonverbal saat nyeri dengan memegang sesuatu dengan erat, mengepalkan tangan, mengatupkan gigi, menendang dan mencoba melarikan diri (Sari & Sulisno, 2012).
4.5 Manfaat hospitalisasi Meskipun hospitalisasi dapat dan biasanya menimbulkan stress bagi anak-anak, tetapi hospitalisasi juga dapat bermanfaat. Manfaat yang paling nyata adalah pulih dari sakit, hospitalisasi juga dapat memberi kesempatan pada anak-anak untuk mengatasi stress dan merasa kompeten dalam
Universitas Sumatera Utara
kemampuan koping mereka. Lingkungan rumah sakit dapat memberikan pengalaman sosialisasi yang baru bagi anak yang dapat memperluas hubungan interpersonal mereka (Wong, 2008). Menurut Deslidel (2011), manfaat hospitalisasi pada anak yaitu membantu orang tua dan anak dengan cara memberikan kesempatan pada orang tua untuk mempelajari tumbuh kembang anak, dapat dijadikan sebagai media belajar bagi orang tua, sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi kesempatan bagi anak untuk mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain dan percaya diri.
Universitas Sumatera Utara