BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Penyakit Kecacingan Manusia merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut),
yang dapat mengakibatkan masalah bagi kesehatan masyarakat. Diantara cacing perut terdapat sejumlah species yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminths). Diantara cacing tersebut yang terpenting adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing pita (Taeniasis) (Behrman, 2000).
2.1.1.
Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) Dalam Behrman (2000) dikatakan bahwa manusia merupakan satu-satunya
hospes cacing gelang. Cacing ini berwarna putih atau merah. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh
Universitas Sumatera Utara
menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 1998). 2.1.1.1. Gejala Klinik dan Diagnosis Menurut Mansjoer (2000), gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penerapan makanan. Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus. Gejala kecacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar berkurang. Pada anak-anak yang menderita cacing gelang, perutnya nampak buncit karena jumlah cacing dan kembung perut, biasanya mata pucat, kotor seperti sakit mata, dan seperti ada batuk dan pilek. Perut sering sakit, diare, nafsu makan kurang. Anak masih dapat berjalan, sekolah dan bekerja sehingga sering kali anak tidak merasa sakit dan terjadi salah pengobatan. Gejala klinik yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi. 2.1.1.2. Epidemiologi Cacing gelang, infeksi yang ditularkan melalui tanah, tergantung pada penyebaran telur ke dalam keadaan lingkungan yang cocok untuk pematangannya. Defekasi di tempat sembarangan dan menggunakan pupuk manusia merupakan praktek-praktek tidak higienis yang paling penting yang menyebabkan endemisitas
Universitas Sumatera Utara
cacing gelang. Penyebaran kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Penularan cacing gelang dapat terjadi musiman atau sepanjang tahun (Behrman, 2000). Hasil survei kecacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60% ( Depkes, 2004). Telur cacing gelang berkembang sangat baik pada tanah liat yang mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25°- 30°C. Pada kondisi ini telur tumbuh menjadi bentuk infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu (Onggowaluyo, 2002). Infeksi cacing gelang terjadi bila telur infektif masuk melalui makanan atau minuman yang masuk ke mulut dan melalui tangan yang kotor (tercemar tanah dengan telur cacing). Intensitas dan prevalensi kecacingan meningkat pada anak-anak dan remaja. Puncak intensitas terjadi antara umur 5-10 tahun. Perilaku seseorang sangat penting peranannya. Intensitas dan prevalensi yang tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari tangan yang kotor ke dalam mulut. (Watkins dan Pollitt dalam Poespoprodjo dan Sadjimin, 2000). 2.1.1.3. Pengobatan dan Pencegahan Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau massal pada masyarakat. Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat Piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau Mebendazole. Pemilihan obat cacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu : a.
Mudah diterima di masyarakat.
b.
Mempunyai efek samping yang minimum.
c.
Bersifat polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing.
Universitas Sumatera Utara
d.
Harganya murah (terjangkau). Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menciptakan sanitasi lingkungan yang
bersih yaitu menyediakan fasilitas pembuangan sampah dan air limbah. Keluarga yang pekerjaannya petani harus menggunakan sarung tangan apabila menggunakan pupuk dari kotoran manusia atau hewan (Insley, 2005).
2.1.2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) Dalam Mansjoer (2000) dikatakan bahwa manusia merupakan hospes cacing cambuk. Cacing dewasa berwarna merah muda, cacing betina panjangnya sekitar 5 cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur yang dibuahi dikelurkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam waktu 3-6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari. 2.1.2.1. Gejala Klinik dan Diagnosis Perkembangan larva cacing cambuk didalam usus biasanya tidak memberikan
gejala
klinik
yang
berarti
walaupun
dalam
sebagian
masa
perkembangannya larva memasuki mukosa intestinum tenue. Gejala pada infeksi ringan dan sedang anak gugup, susah tidur, nafsu makan menurun, biasanya di jumpai nyeri epigastric, muntah, kontipasi, perut kembung. Pada infeksi berat di jumpai mencret yang mengandung darah, lendir, nyeri perut, anoreksia, anemia, dan
Universitas Sumatera Utara
penurunan berat badan,. Pada infeksi sangat berat bisa terjadi prolapsus rekti akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Gejala ini terjadi apabila cacing tersebar diseluruh kolon dan rektum. Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja (Manjoer, 2000).
2.1.2.2. Epidemiologi Penyebaran geografis cacing cambuk sama dengan cacing gelang sehingga sering kali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30%-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada anak-anak. Faktor yang terpenting dalam penyebaran cacing cambuk adalah kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur cacing cambuk. Telur berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh dengan suhu optimal ± 30°C. Infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar atau melalui tangan yang kotor. Di daerah hiperentemik, infeksi dapat dicegah dengan pengobatan, pembuatan MCK (mandi, cuci dan kakus) yang sehat dan teratur, penyuluhan pendidikan tentang hygiene dan sanitasi pada masyarakat (Onggowaluyo, 2002). 2.1.2.3. Pengobatan Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk adalah Albendazole/Mebendazole dan Oksantel pamoate untuk melemahkan dan menghancurkan perkembangbiakan cacing di usus. Kebersihan diri dan sanitasi lingkungan dapat mencegah terjadinya kecacingan pada manusia (Behrman, 2000).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3.
Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale & Necator americanus) Dalam Mansjoer (2000) dikatakan bahwa hospes parasit cacing tambang
adalah manusia, bentuk cacing dewasa kecil, silindris. Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan. 2.1.3.1. Gejala Klinik dan Diagnosis Gejala klinik dapat ditimbulkan cacing dewasa atau larvanya. Bila larva infektif menembus kulit dapat terjadi gatal-gatal. Cacing tambang dewasa yang mengisap darah penderita akan menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc per hari, sedangkan seekor cacing tambang dewasa dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,34 cc per hari. Akibat anemi tersebut maka penderita tampak pucat. Berat ringannya anemia tentu juga dipengaruhi oleh keadaan kesehatan secara umum dan
Universitas Sumatera Utara
nutrisi penderita. Gejala ini disebabkan cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Di negara-negara tropis umumnya sumber ferrum dalam makanan berupa sayur-sayuran dan buah-buahan, hal ini menyebabkan absorpsi ferrum kurang dibandingkan dengan absorpsi dari sumber produk hewani (Behrman, 2000). 2.1.3.2. Epidemiologi Endemisitas kecacingan pada setiap lokasi spesifik tergantung pada kecocokan keadaan lingkungan untuk penetasan telur dan pematangan larva. Kondisi tanah optimal ditemukan pada banyak bagian negara tropis dan juga pada bagian Tenggara Amerika Serikat. Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada pekerja di daerah perkebunan yang kontak langsung dengan tanah. Penyebaran infeksi berhubungan dengan kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun. Habitat yang cocok untuk pertumbuhan larva ialah tanah yang gembur (misalnya humus dan pasir). Morbiditas kecacingan di daerah endemik terutama diderita oleh anak-anak yang umurnya lebih tua. Pada suatu penelitian setengah dari anak terinfeksi sebelum usia 5 tahun, 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas kecacingan bertambah sampai umur 6-7 tahun, kemudian stabil (Behrman, 2000) yaitu 10 tahun. Penyebab perbedaan distribusi umur masih belum dipahami. Infeksi dapat dihindari dengan menggunakan alas kaki (sandal atau sepatu). Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari defekasi di sembarangan tempat (Onggowaluyo, 2002). 2.1.3.3. Pengobatan dan Pencegahan
Universitas Sumatera Utara
Obat untuk infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate (Combantrin, Pyrantin), Mebendazole (Vermox, Vermona, Vircid), Albendazole akan melenyapkan atau mengurangi secara bermakna beban cacing tambang. Pencegahan atau pelenyapan infeksi kecacingan tergantung kepada sanitasi dan kemoterapi massal.
2.1.3. Cacing Pita (Taeniasis) Dalam Behrman (2000) dikatakan bahwa hospes parasit cacing pita adalah manusia. Macam-macam dari cacing pita adalah cacing pita sapi (Taenia saginata), cacing pita babi (Taenia solium), dan cacing pita ikan (Diphyllobothrium latum). ukurannya berkisar dari 4-10 meter. Beribu-ribu segmen pipih (proglotid) membentuk tubuh cacing dewasa. Proglotid cacing pita sapi dan babi biasanya keluar utuh dalam tinja. Sebaliknya, proglotid cacing pita ikan sering pecah dalam usus, karena sampai 1 juta telur dapat dilepaskan perhari, telur-telur tersebut dapat diamati dalam tinja. Cacing pita babi adalah patogen yang paling serius pada kelompok ini. Manusia terinfeksi dengan bentuk dewasa bila mereka mengkonsumsi daging babi mentah atau setengah masak yang mengandung kista parasit. Cacing akan melekat pada lumen usus halus. Cacing pita babi satu-satunya cacing pita yang skoleksnya dilengkapi dengan kait disamping pengisap. Manusia dapat terinfeksi dengan cara menelan makanan atau air yang terkontaminasi dengan telur-telur cacig lalu masuk ke mukosa usus dan menyebar secara hematogen ke banyak jaringan terutama otak dan otot. Telur cacing pita ikan menetas dalam air segar pada pemajanan terhadap cahaya, kemudian parasit yang baru lepas tertelan pada ikan air tawar dan ikan air tawar bermata besar sejenis ikan salmon. Konsumsi ikan mentah atau tidak dimasak menyebabkan infeksi cacing pita.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4.1. Gejala Klinik dan Diagnosis Gejala klinik pada cacing pita sapi akan menimbulkan gatal pada anus. Gejala yang ditimbulkan cacing pita babi akan menimbulkan gangguan neurologis, kognitif atau gangguan kepribadian individu. Pada penderita cacing pita ikan akan mengalami mudah lelah, demam edema dan kehilangan rasa getaran. Pemeriksaan parasitologis tinja berguna untuk diagnosis infeksi ketiga cacing pita tersebut (Behrman, 2000). 2.1.4.2. Epidemiologi Cacing pita sapi dan babi tersebar di seluruh dunia. Meskipun beberapa penyebaran dari orang ke orang telah didokumentasi di Amerika Serikat, penyebaran ini tidak lazim. Risiko kecacingan jauh lebih tinggi di Amerika Tengah, Afrika, India, Indonesia, dan Cina. Cacing pita ikan lebih sering dijumpai di Eropa dan Asia yang beriklim sedang, tetapi dapat ditemukan di danau dingin pada tempat yang tinggi di Amerika Selatan dan Afrika. Kasusnya banyak ditemukan di daerah pedesaan, khususnya pada orang yang suka makan daging mentah atau setengah masak (Behrman, 2000).. Cacing pita menghisap darah dan luka-luka gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat (Behrman, 2000). 2.1.4.3. Pengobatan dan Pencegahan Obat untuk infeksi cacing pita adalah Niklosamid atau Prziquante. Pencegahan kecacingan harus memasak daging sapi, babi dan ikan. Perhatian terhadap kebersihan seseorang, menghindari buah-buahan dan sayuran segar.semua anggota keluarga harus diperiksa mengenai adanya telur dan tanda-tanda penyakit.
2.2.
Pengertian dan Ruang Lingkup Sanitasi Lingkungan
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan hidup adalah jumlah semua benda yang hidup dan tidak hidup serta kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati (Sastrawijaya, 2000). Sanitasi lingkungan adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan mengendalikan lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra, 2007).
Lingkungan hidup eksternal merupakan lingkungan di luar tubuh manusia yang terdiri atas tiga komponen, antara lain (Chandra, 2007) : 1.
Lingkungan fisik bersifat abiotik atau benda mati seperti air, udara, tanah, cuaca, makanan, rumah, panas, sinar, radiasi, dan lain-lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan dengan manusia sepanjang waktu dan masa serta memegang peranan penting dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat.
2.
Lingkungan Biologi bersifat biotik atau benda hidup, misalnya tumbuhtumbuhan, hewan, virus, bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain-lain yang dapat berperan sebagai agens penyakit, vektor penyakit.
3.
Lingkungan Sosial berupa kultur, adat-istiadat, kebiasaan, kepercayaan, agama, sikap, standar dan gaya hidup, pekerjaan, kehidupan kemasyarakatan, organisasi sosial dan politik.
2.2.1. Penyediaan Air Bersih Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, dan membersihkan kotoran yang ada di sekitar rumah. Air digunakan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam
Universitas Sumatera Utara
kebakaran, transportasi, dan lain-lain. Penyakit-penyakit yang menyerang manusia dapat juga ditularkan dan disebarkan melalui air (Chandra, 2007). Sumber daya air di bumi meliputi (Soesanto, 2001) : 1.
Mata air (air tanah yang menyembul ke permukaan tanah).
2.
Air tanah (air tanah tidak tertekan dan air tanah tertekan)
3.
Sungai
4.
Danau
5.
Air laut Untuk kepentingan masyarakat sehari-hari, persediaan air harus memenuhi
standar air minum dan tidak membahayakan kesehatan manusia. Negara maju lebih menekankan standar kimia, sedangkan negara berkembang lebih menekankan standar biologis. Menurut Chandra (2007) dikatakan bahwa standar-standar untuk kelayakan air minum yang berlaku di Indonesia menurut Permenkes RI No.01/Birhubmas/I/1975 adalah : a.
Standar fisik : suhu, warna, bau, rasa, kekeruhan.
b.
Standar biologis : kuman, parasit, patogen, bakteri golongan koli (sebagai patokan adanya pencemaran tinja).
c.
Standar kimia : Ph, jumlah zat padat, dan bahan kimia lain.
d.
Standar radioaktif : radioaktif yang mungkin ada dalam air (Chandra, 2007). Air dapat merupakan medium pembawa mikroorganisme patogenik yang
berbahaya bagi kesehatan. Patogen yang sering ditemukan di dalam air terutama adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan seperti Vibrio cholerae penyebab penyakit kolera, Shigella dysentriae, penyebab paratifus, virus polio dan
Universitas Sumatera Utara
hepatitis, dan Entamoeba histolyca penyebab disentri amuba. Jumlah dan jenis mikroorganisme di dalam air dipengaruhi oleh sumber air tersebut.
Tabel 1. Beberapa Jenis dan Agent Penyakit Bawaan Air Agent Bakteri Vibrio Cholera E. Coli Salmonella Typhi Salmonella Parathypi Shigella Dysentrriae Metazoa Ascaris Lumbrucoides Clonorchris sinensis Diphylobotrium latum Tanea Saginata/Solium Schistosoma
Jenis Penyakit Kolera Diare/Disentri Thypus Abdominalis Parathypus Dysentri Ascaris Clonorchhiasis Taeniasis Schistomiasis
Sumber : Slamet, 1996 Sumur merupakan sumber utama persediaan air bersih bagi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan maupun perkotaan Indonesia. Secara teknis sumur dapat dibagi menjadi 2 jenis : 1.
Sumur dangkal Sumur dangkal memiliki sumber air yang berasal dari resapan air hujan di atas permukaan bumi terutama di daerah dataran rendah. Jenis sumur ini banyak terdapat di Indonesia dan mudah sekali terkontaminasi air kotor yang berasal dari kegiatan mandi-cuci-kakus.
2.
Sumur dalam Sumur dalam memiliki sumber air yang berasal dari proses purifikasi alami air hujan oleh lapisan kulit bumi menjadi air tanah.
Persyaratan membuat sanitasi sumur yang sehat adalah :
Universitas Sumatera Utara
1.
Sumur berjarak maksimal 10 meter dan terletak lebih tinggi dari sumber pencemaran seperti kakus, kandang ternak, tempat sampah dan sebagainya.
2.
Dinding sumur harus dilapisi dengan batu yang disemen. Pelapisan dinding paling tidak sedalam 6 meter dari permukaan tanah.
3.
Saluran pmbuangan air harus dibuat menyambung dengan parit agar tidak terjadi genangan air di sekitar sumur.
4.
Sumur sebaiknya ditutup dengan penutup terbuat dari batu terutama pada sumur umum. Manfaat dari tutup sumur agar mencegah terkontaminasi air sumur dari penyakit.
5.
Sumur harus dilengkapi dengan pompa tangan/listrik. Pemakaian timba dapat memperbesar terjadinya kontaminasi.
2.2.2. Jamban Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran yang lazim disebut WC, sehingga kotoran atau najis tersebut berada dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman (Heru, 1995). Manfaat jamban untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dan pencemaran dari kotoran manusia (Chandra, 2007). Pembuangan tinja yang tidak saniter akan menyebabkan berbagai macam penyakit seperti: diare, Cholera, disentri, poliomyelitis, ascariasis dan sebagainya. Kotoran manusia merupakan buangan padat. Selain menimbulkan bau, mengotori lingkungan juga merupakan media penularan penyakit pada masyarakat. Perjalanan agent penyebab penyakit melalui cara transmisi seperti dari tangan, maupun melalui peralatan yang terkontaminasi atau pun melalui mata rantai lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Dimana memungkinkan tinja atau kotoran yang mengandung agent penyebab infeksi masuk melalui saluran pencernaan Chandra, 2007). Jamban yang sehat adalah jamban yang memenuhi syarat sebagai berikut (Depkes RI, 1998): a. Tidak mencemari sumber air minum (untuk ini letak lubang penampungan kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumber air minum). b. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus. c. Air seni, air pembersih dan penggelontor tidak mencemari tanah di sekitarnya. d. Mudah dibersihkan, aman digunakan, dan harus terbuat dari bahan-bahan yang kuat dan tahan lama. e. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang. f. Cukup penerangan dan lantai kedap air. g. Luas ruangan cukup. h. Ventilasi cukup baik. i. Tersedia air dan alat pembersih. Cara memelihara jamban sehat (Depkes RI, 1998) a. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering. b. Disekeliling jamban tidak ada genangan air. c. Tidak ada sampah yang berserakan. d. Rumah jamban dalam keadaan baik. e. Lalat, tikus, dan kecoa tidak ada. f. Tersedia alat pembersih.
Universitas Sumatera Utara
g. Bila ada bagian yang rusak segera diperbaiki atau diganti. Penyakit yang ditularkan oleh tinja yaitu Ascariasis dan Trichiniaris.
2.2.3. Pengelolaan Sampah Sampah adalah suatu bahan/benda aktivitas manusia yang tidak dipakai lagi, tidak disenangi atau padat yang terjadi karena berhubungan dengan di buang dengan cara-cara saniter kecuali buangan yang berasal dari tubuh manusia (Kusnoputranto, 2000). Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung adalah karena kontak langsung dengan sampah misalnya sampah beracun. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan akibat proses pembusukan, pembakaran dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung dapat berupa penyakit bawaan, vektor yang berkembang biak di dalam sampah. Mengingat efek daripada sampah terhadap kesehatan maka pengelolaan sampah harus memenuhi kriteria sebagai berikut : a. Tersedia tempat sampah yang dilengkapi dengan penutup. b. Tempat sampah terbuat dari bahan yang kuat, tahan karat, permukaan bagian dalam rata dan dilengkapi dengan penutup. c. Tempat sampah dikosongkan setiap 1 x 24 jam atau 2/3 bagian telah terisi penuh. d. Jumlah dan volume tempat sampah disesuaikan dengan volume sampah yang dihasilkan setiap kegiatan. e. Tersedia tempat pembuangan sampah sementara yang mudah terjangkau kendaraan pengangkut sampah dan harus dikosongkan sekurang-kurangnya 3x24 jam.
Universitas Sumatera Utara
Jenis penyakit yang dapat ditularkan dari sampah yaitu cacing gelang, Salmonella typh. Pembuangan kotoran, air buangan dan sampah serta pemeliharaan lingkungan juga penting dalam penanggulangan penyebaran cacingan. Hal ini dibuktikan oleh Pasaribu (2004) di Kabupaten Karo yang menemukan 45,8% sampel tanah yang diperiksa mengandung telur cacing gelang.
2.2.4.
Pengelolaan Air Limbah Menurut Ehless dan Steel dalam Chandra (2007), air limbah adalah cairan
buangan yang berasal dari rumah tangga, industri, dan tempat-tempat umum lainnya dan biasanya mengandung bahan-bahan atau zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan. Sarana pembuangan air limbah yang sehat harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut : a. Tidak mencemari sumber air bersih. b. Tidak menimbulkan genangan air yang menjadi sarang serangga/nyamuk. c. Tidak menimbulkan bau. d. Tidak menimbulkan kelembaban dan pandangan yang tidak menyenangkan. Untuk itu pengelolaan limbah harus memiliki persyaratan teknis apabila belum ada atau tidak terjangkau oleh sistem pengelolaan limbah perkotaan. Kualitas air limbah yang dibuang ke lingkungan harus mempunyai persyaratan baku mutu air limbah sesuai peraturan.
2.2.5. Rumah
Universitas Sumatera Utara
Rumah adalah tempat tinggal suatu keluarga yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukungnya seperti sarana jalan, saluran air kotor, tempat sampah, sumber air bersih, lampu jalan, dan lain-lain (Chandra, 2007).
Kriteria rumah yang sehat dan aman dari segi lingkungan, antara lain: a. Memiliki sumber air bersih dan sehat serta tersedia sepanjang tahun. b. Memiliki tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik. c. Dapat mencegah terjadi perkembangbiakan vektor penyakit, seperti nyamuk, lalat, tikus, dan sebagainya. d. Letak perumahan jauh dari sumber pencemaran dengan jarak minimal 5 km, memiliki daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) dan bebas banjir (Chandra, 2007). Penelitian Damayanti seperti yang dikutip Hidayat (2002) menunjukkan adanya hubungan yang erat antara interaksi faktor lingkungan tempat tinggal dengan prevalensi cacing pada anak sekolah dasar. Tingginya prevalensi cacing gelang pada anak sekolah dasar di desa dibanding dengan di kota menunjukkan adanya perbedaan hygiene dan sanitasi lingkungan Penelitian tersebut menggambarkan bahwa adanya infeksi ganda cacing gelang di desa lebih tinggi dibanding dengan di kota. Hal ini menunjukkan lingkungan pedesaan merupakan faktor predisposisi untuk anak-anak sekolah dasar di desa. Menurut Ismid et al. (1980) seperti yang dikutip Hidayat (2002), di halaman rumah telur cacing gelang banyak ditemukan di sekitar tumpukan sampah (55%) dan tempat teduh di bawah pohon (33,3%). Penelitian Hadidjaja et al (1989) menunjukkan bahwa 14-12% sampel air got yang diperiksa ternyata positip mengandung telur cacing. Telur cacing juga banyak ditemukan di sekitar sumur, tempat cuci, dekat
Universitas Sumatera Utara
jamban, pinggiran kali bahkan dekat di dalam rumah. Kepadatan penghuni dalam rumah juga berperan terhadap penularan kecacingan.
2.3. Hygiene 2.3.1. Definisi Hygiene Hygiene berasal dari bahasa Yunani yang artinya bersih. Kebersihan adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Kesehatan pribadi yang buruk pada masa tersebut akan dapat mengganggu perkembangan kualitas sumber daya manusia. Keadaan tangan dan kuku yang kotor serta kebiasaan-kebiasaan lain yang salah tentang kesehatan pribadi tersebut akan dapat menimbulkan infeksi kecacingan (Tarwoto dan Wartonah,2006). Dalam praktiknya upaya hygiene antara lain meminum air yang sudah direbus sampai mendidih dengan suhu 100°C selama 5 menit, mandi dua kali sehari agar badan selalu bersih dan segar, mencuci tangan dengan sabun sebelum memegang makanan, mengambil makanan dengan alat seperti sendok atau penjepit, dan menjaga kebersihan kuku serta memotongnya bila panjang (Azwar, 1993). Menurut Entjang (2000), usaha kesehatan perorangan adalah daya upaya seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya sendiri.
Usaha usaha tersebut antara lain adalah : a. Memelihara kebersihan, hal-hal yang termasuk ke dalam usaha memelihara kebersihan ini adalah kebersihan badan (mandi minimal 2x sehari, menggosok gigi secara teratur, dan mencuci tangan sebelum memegang makanan dan sesudah makan), menjaga kebersihan pakaian (selalu di cuci dan
Universitas Sumatera Utara
di setrika), memelihara kebersihan rumah dan lingkungan (selalu disapu, membuang sampah, buang air besar dan air limbah pada tempatnya). b. Makanan sehat adalah makanan yang harus selalu dijaga kebersihannya, bebas dari penyakit, cukup kuantitas dan kualitasnya. c. Cara hidup yang sehat yaitu makan, tidur, bekerja dan beristirahat secara teratur termasuk rekreasi dan menikmati hiburan pada waktunya. d. Meningkatkan daya tahan tubuh untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit perlu mendapatkan vaksinasi, olah raga yang teratur untuk menjaga agar badan selalu bugar. e. Menghindari terjadinya penyakit agar selalu sehat, hindari kontak dengan sumber penularan penyakit baik yang berasal dari penderita maupun dari sumber lainnya, menghindari pergaulan yang tidak baik, selalu berfikir dan berbuat baik. f. Pemeriksaan kesehatan untuk menjaga badan agar selalu sehat, perlu dilakukan pemeriksaan secara periodik, walaupun merasa sehat, dan segera memeriksakan diri apabila merasa sakit. 2.3.2. Kebersihan tangan, kaki dan kuku Tangan sangat berperan dalam penularan penyakit, khususnya penyakit yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang masuk ke mulut, misalnya cacingan. Tangan kotor setelah mencebok pada waktu buang air besar atau memegang kotoran lainnya harus dicuci dengan bersih agar terbebas dari segala bibit penyakit yang melekat pada tangan. Mencuci tangan dengan benar berarti mencuci tangan dengan air yang cukup dan menggunakan sabun. Menggosok tangan hendaknya dilakukan dengan baik sehingga seluruh bagian dari tangan tercuci sempurna dan menggunakan lap khusus untuk mengeringkan
Universitas Sumatera Utara
tangan. Pakaian yang mungkin sudah kotor jangan digunakan. Kebersihan tangan, kaki dan kuku secara wajar penting artinya bagi manusia dalam usia berapapun. Untuk menjaga kebersihan tangan, kaki dan kuku selalu melakukan mencuci tangan dengan benar harus dilakukan cara-cara : a. Membersihkan tangan sebelum makan dan setelah makan. b. Setelah buang air besar. c. Sebelum memasak atau menyiapkan makanan. d. Sebelum memberikan makanan bayi dan anak-anak (sebelum memegang makanan). e. Sebelum menyusui. f. Setelah memegang hewan, ternak atau benda-benda kotor lainnya. g. Mencuci kaki sebelum tidur. Sewaktu mencuci tangan bagian kuku hendaklah mendapatkan perhatian yang lebih karena kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan kepribadian seseorang. Kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikroorganisme diantaranya bakteri dan telur cacing. Kuku jari tangan yang kotor kemungkinan terselip telur cacing akan tertelan ketika makan. Hal ini akan lebih parah apabila tidak terbiasa mencuci tangan memakai sabun sebelum makan, bahkan pada anak-anak yang menderita Oxyuriasis akan mengalami auto infeksi ketika mengisap jari sewaktu tidur (Luize A, 2004 dan Onggowaluyo, 2002).
2.4.
Anak
Universitas Sumatera Utara
Anak adalah individu yang unik dan bukan orang dewasa mini. Anak juga bukan merupakan harta atau kekayaan orangtua yang dapat dinilai secara ekonomi, melainkan masa depan bangsa yang berhak atas pelayanan kesehatan secara individual. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri. Lingkungan yang dimaksud bisa berupa keluarga (orangtua), pengurus panti (bila anak berada di panti asuhan). Perkembangan psikososial (Erikson dalam Supartini, 2004) pada anak usia 6 sampai 12 tahun adalah anak akan belajar untuk bekerja sama dan bersaing dengan anak lainnya melalui kegiatan yang dilakukan baik dalam kegiatan akademik maupun dalam pergaulan melalui permainan bersama. Terjadinya perubahan fisik, emosi, dan sosial pada anak berpengaruh terhadap gambaran terhadap tubuhnya. Interaksi sosial lebih luas dengan teman, umpan balik berupa kritik dan evaluasi dai teman atau lingkungannya, mencerminkan penerimaan dan kelompok akan membantu anak semakin mempunyai konsep diri positif. Anak sudah dapat berfikir konsep tentang waktu dan mengingat kejadian yang lalu serta menyadari kegiatan yang dilakukan berulang-ulang, tetapi pemahamannya belum mendalam, selanjutnya akan semakin berkembang di akhir usia sekolah atau awal masa remaja (Supartini, 2004).
2.5.
Dampak Kecacingan
2.5.1
Dampak Kecacingan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera
lahir dan batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju
Universitas Sumatera Utara
adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi pula, pada pembangunan jangka panjang kedua pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia. Penyakit kecacingan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap penurunan kualitas SDM, mengingat kecacingan akan menghambat pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak serta produktifitas kerja. Sampai saat ini, penyakit kecacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia terutama di daerah pedesaan. Sedangkan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya prevalensi kecacingan adalah kebersihan pribadi (Depkes RI, 2002). 2.5.2. Dampak Kecacingan terhadap Intelektual dan Kecerdasan Anak Secara umum, berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan mental dan prestasi anak sekolah. Hasil penelitian Bundy tahun 1992 menunjukkan bahwa anak-anak sekolah dasar di Jamaika yang terinfeksi cacing cambuk mengalami penurunan kemampuan berfikir. Penyakit ini tidak menyebabkan orang mati mendadak, akan tetapi menyebabkan penderita semakin lemah karena kehilangan darah yang menahun sehingga menurunkan prestasi. Di samping itu daya tahan tubuh juga menurun sehingga dapat memperberat penyakit lainnya. (Depkes RI, 1995). 2.5.3. Pengaruh Kondisi Sanitasi Lingkungan terhadap Kecacingan Salah satu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang tidak kurang pentingnya adalah infeksi cacing usus karena prevalensinya masih tinggi. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam posisi geografi dengan temperatur kelembaban yang tinggi. Pengaruh lingkungan global dan semakin meningkatnya komunitas manusia serta kesadaran penciptaan hygiene dan sanitasi yang semakin menurun,
Universitas Sumatera Utara
merupakan faktor yang mempunyai andil besar terhadap penularan parasit pada umumnya dan cacing yang hidup pada manusia khususnya, sebagai contoh : a. Pembuangan tinja yang kurang memenuhi syarat kesehatan, misalnya : tanah tergolong hospes perantara atau tuan rumah sementara, tempat berkembangnya telur-telur atau larva cacing sebelum dapat menular dari seseorang ke orang lain, yaitu larvanya yang ada di tinja menembus kulit memasuki tubuh. b. Penyediaan air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat juga sebagai media penularan melalui mulut menyertai makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh tinja yang mengandung telur cacing (Depkes RI, 2002).
2.6.
Konsep Dasar Perilaku Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang
bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing (Notoadmojo,2005a). 2.6.1. Prosedur Pembentukan Perilaku Prosedur pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skinner dalam Notoadmojo (2005a) adalah sebagai berikut : a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk. b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen
Universitas Sumatera Utara
tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud. c. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen tersebut. d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering dilakukan. Kalau perilaku ini sudah terbentuk kemudian dilakukan komponen (perilaku) yang kedua, diberi hadiah (komponen pertama tidak memerlukan hadiah lagi), demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk. Perilaku untuk buang air besar di sembarangan tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki mempunyai intensitas cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan pola transmisi kecacingan tersebut pada umumnya terjadi di dekat rumah (Bakta, 1995). Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan tingginya infeksi oleh ” Soil-Transmited Helminths” pada masyarakat Sanliurfa Turkey (Ulukanligil et. Al, 2001).
2.6.2. Domain Perilaku Perilaku manusia itu sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2007) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu kedalam 3 domain (ranah / kawasan) yang terdiri dari a) ranah kognitif, b) ranah afektif, c) ranah psikomotor.
Universitas Sumatera Utara
2.6.2.1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoadmojo, 2003). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan yang ada pada diri manusia bertujuan untuk dapat menjawab masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya sehari-hari dan digunakan untuk menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia. Dalam hal ini pengetahuan dapat diibaratkan sebagai suatu alat yang dipakai manusia dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Menurut Notoadmodjo (2003a) unsur-unsur dalam pengetahuan pada diri manusia terdiri dari : (1) Pengertian dan pemahaman tentang apa yang dilakukan. (2) Keyakinan dan kepercayaan tentang manfaat kebenaran dari apa yang dilakukannya. (3) Sarana yang diperlukan untuk melakukannya. (4) Dorongan atau motivasi untuk berbuat yang dilandasi oleh kebutuhan yang dirasakannya. Penelitian Rogers dalam Notoadmojo (2003a) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : a) Kesadaran dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek). b) Merasa tertarik terhadap stimulus atau objek tersebut, disini sikap subjek sudah mulai timbul. c) Menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi. d) Trial dimana subjek
Universitas Sumatera Utara
mulai mencoba untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. e) Adopsi dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahapan-tahapan tersebut diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat-tingkat tersebut diatas. Pengetahuan tentang objek dapat diperoleh dari pengalaman, guru, orangtua, teman, buku, dan media masa (WHO, 1992 dalam Wachidanijah, 2002). Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek dapat berubah dan berkembang sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas tentang objek tersebut di lingkungannya. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penularan kecacingan adalah kurangnya pengetahuan tentang kecacingan. Penelitian Wachidanijah, (2002) menunjukkan bahwa terdapat kecendrungan makin tinggi Pengetahuan semakin baik perilaku dalam hubungan dengan kecacingan. 2.6.2.2 Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek
Universitas Sumatera Utara
Dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial, menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Dalam bagian lain Allport dalam Notoadmojo (2005a) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok, yakni : (1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek. (2) Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. (3) Kecenderungan untuk bertindak Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Menurut Berkomitz dalam Azwar (2007), sikap adalah suatu bentuk mendukung atau memihak maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak. Suatu contoh seorang ibu telah mendengarkan penyakit kecacingan (penyebab, akibat, pencegahan, dan sebagainya). Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha supaya anaknya tidak terkena penyakit kecacingan. Dalam berpikir ini, komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat akan mengajari anaknya agar melakukan kebersihan diri, memasak makanan dengan menyuci sayuran sampai bersih supaya anaknya tidak terkena penyakit
Universitas Sumatera Utara
kecacingan. Sehingga ibu ini mempunyai sikap tertentu terhadap objek yang berupa penyakit kecacingan ini. Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataanpernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden. 2.6.2.3. Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Praktek ini mempunyai beberapa tingkatan : (1) Persepsi, mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktek tingkat pertama. (2) Respon Terpimpin, dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh merupakan indikator praktek tingkat kedua. Misalnya seorang ibu dapat memasak sayur dengan benar, mulai dari cara mencuci dan memotong-motongnya, lamanya memasak dan menutup pancinya. (3) Mekanisme, apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. Misalnya seorang ibu yang sudah biasa memberikan obat 6 bulan sekali tanpa menunggu perintah atau ajakan orang. (4) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut. Misalnya ibu dapat memilih dan memasak makanan yang bergizi tinggi berdasarkan bahanbahan murah dan sederhana.
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian Limin di Kecamatan Sei Bingei Langkat tahun 2005, menunjukkan bahwa ibu dengan pengetahuan rendah mempunyai risiko 13,9 kali mengalami kecacingan pada anaknya dibandingkan ibu yang mempunyai pengetahuan tinggi. Ibu dengan sikap kurang mempunyai risiko 20,9 kali mengalami kejadian kecacingan pada anaknya dibandingkan ibu dengan sikap yang baik. Sedangkan ibu keluarga dengan penghasilan rendah berisiko 44,6 kali mengalami kejadian kecacingan pada anaknya dibandingkan ibu dari keluarga dengan penghasilan tinggi.
2.6.3
Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang, baik yang
diamati maupun yang tidak diamati, yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan (Notoadmojo, 2005a).
Perilaku kesehatan dalam Notoadmojo (2003b) dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu: 1.
Perilaku pemeliharaan kesehatan Perilaku atau upaya individu untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar
tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan terdiri dari 3 aspek : a.
Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.
Universitas Sumatera Utara
b.
Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat sehingga dapat mencapai tingkat kesehatan yang optimal.
c.
Perilaku gizi, makanan dan minuman dapat memelihara dan meningkatkan kesehatan tetapi dapat juga menjadi penyebab menurunnya kesehatan bahkan dapat mendatangkan penyakit.
2.
Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitasi pelayanan kesehatan
(perilaku pencarian pengobatan). Menyangkut upaya/tindakan seseorang saat sakit/kecelakaan, mulai dari mengobati sendiri, dukun, mantri, dokter, bahkan pencarian pengobatan sampai ke luar negeri. 3.
Perilaku kesehatan lingkungan
Cara seseorang merespon lingkungan fisik, sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi/mengganggu kesehatannya, keluarga dan masyarakat. 2.7. Landasan Teori Konsep Blum dalam Notoadmojo (2005a) menjelaskan bahwa derajat kesehatan di pengaruhi oleh 4 faktor utama, yakni : lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan herediter. Perilaku merupakan faktor yang terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Intervensi terhadap faktor perilaku dapat dilakukan melalui dua upaya yang bertentangan yaitu tekanan dan pendidikan. Agar intervensi kedua upaya tersebut efektif, maka sebelum dilakukan intervensi perlu dilakukan diagnosis terhadap masalah perilaku tersebut. Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosa perilaku kesehatan adalah model Precede-Proceed dari Lawrence Green (1980) dalam Glanz.K. (2002), menunjukkan bahwa perilaku kesehatan yang nantinya akan mempengaruhi kualitas
Universitas Sumatera Utara
seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu: faktor predisposisi mencakup pengetahuan,sikap individu, tradisi, kepercayaan, norma sosial dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu atau masyarakat. Faktor pendukung ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit. Faktor pendorong adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan. Pendekatan ini disebut model Precede, yakni predisposing, reinforcing and enabling couse in educational diagnosis and evaluation. Teori WHO dalam Notoadmodjo S. (2003), juga menjelaskan 4 alasan pokok mengapa seseorang berperilaku yaitu : a. Pemikiran dan perasaan. b. Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau perilaku yang dipercaya . c. Sumber daya. d. Sosial Budaya. Apabila konsep Green yang menjelaskan bahwa derajat kesehatan itu dipengaruhi 4 faktor utama maka promosi kesehatan adalah intervensi terhadap faktor perilaku. Kedua konsep tersebut dapat diilustrasikan seperti pada gambar di bawah ini : Promosi Kesehatan Pendidikan Kesehatan
Faktor Predisposisi
Faktor Penguat
Perilaku dan cara hidup
Kesehatan
Kualitas Hidup
Faktor Pemungkin Universitas Sumatera Utara
Lingkungan
Peraturan Kebijakan Organisasi
Gambar 1. Model Perencanaan PRECEDE-PROCEED ( Green L dalam Glanz. K, 2002) Teori Fishbein (1993) dalam Glanz. K. dkk. (2002), mengemukakan tentang alasan mengapa seseorang berperilaku, dalam Gambar 2. :
Kepercayaan dan Perilaku
Evaluasi dari Hasil Perilaku
Kepercayaan Normatif
Sikap terhadap Perilaku
Minat terhadap Perilaku
Perilaku
Norma Subjektif
Motivasi untuk mengikuti Gambar 2. Teori Alasan Berperilaku (Feishbein dalam Glanz. K, 2002) Gambar 2. menunjukkan bahwa perilaku seseorang terbentuk dari faktor adanya minat terhadap perilaku tersebut. Minat ini di bentuk oleh sikap terhadap perilaku dan norma subjektif. Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh kepercayaan dari perilaku dan evaluasi dari hasil perilaku, sedangkan norma subjektif dipengaruhi oleh normatif dan motivasi untuk mengikuti perilaku tersebut. Seseorang percaya kebiasaan hidup bersih akan memberikan rasa kenyamanan. Norma atau subjektif serta sikap dalam diri seseorang atau orang disekitarnya seperti orangtua, saudara dapat mempengaruhi minat seseorang untuk berperilaku.
Universitas Sumatera Utara
2.8. Kerangka Konsep Berdasarkan beberapa kajian teori, maka kerangka konsep penelitian yang disusun adalah sebagai berikut : Variabel Independen
Variabel Dependen
Perilaku Ibu Pengetahuan Sikap Tindakan
Sanitasi Lingkungan Jamban Penyediaan Air bersih Pembuangan sampah SPAL Rumah
Angka Kecacingan Anak
Karakteristik Anak Umur Jenis kelamin Kebersihan diri Gambar 3. Kerangka K onsep Pengaruh Perilaku Ibu, Sanitasi Lingkungan dan Karakteristik Anak Terhadap Kecacingan Anak Di Kecamatan Simanindo Kabupaten Samosir 2008
Universitas Sumatera Utara