PREVALENSI NEMATODA USUS PADA KAMBING (Capra sp.) DENGAN PEMBERIAN PAKAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT DI KELURAHAN SUMBER AGUNG, KECAMATAN KEMILING BANDAR LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh : Amanda Amalia Putri
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
PREVALENSI NEMATODA USUS PADA KAMBING (Capra sp.) DENGAN PEMBERIAN PAKAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT DI KELURAHAN SUMBER AGUNG, KECAMATAN KEMILING BANDAR LAMPUNG
ABSTRAK
Oleh Amanda Amalia Putri
Kambing merupakan salah satu hewan ternak yang menguntungkan karena pakannya mudah dan murah, produktivitasnya tinggi dan tidak perlu tempat yang luas. Nematodiasis yang disebabkan oleh nematoda parasit yang berasal dari pakan hijauan adalah masalah yang banyak dialami peternak kambing. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman nematoda usus dan prevalensi telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing, dan untuk mengetahui perbedaan rerata jumlah telur cacing nematoda usus antara kambing yang diberi pakan hijauan dan pakan tambahan konsentrat. Sampel feses kambing diambil di Kelurahan Sumber Agung dan diperiksa di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampung pada Desember 2015 sampai Januari 2016. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan: P1 sebagai kontrol (100% hijauan), P2 (75% hijauan + 25% konsentrat), dan P3 (50% hijauan + 50% konsentrat). Data dianalisis menggunakan One Way ANOVA dengan taraf signifikasi α = 5% dan uji lanjut LSD. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 6 genus telur cacing nematoda usus yaitu Haemonchus, Mecistocirrus, Oesophagustomum, Strongyloides, Trichuris, dan Trichostrongylus. Terjadi penurunan rerata jumlah telur cacing nematoda usus pada kambing yang diberi pakan tambahan konsentrat dibandingkan dengan kontrol. Prevalensi genus telur cacing nematoda usus tertinggi ditunjukkan oleh Strongyloides dan terendah ditunjukkan oleh Mecistocirrus. Disimpulkan bahwa pemberian pakan tambahan konsentrat membantu menurunkan tingkat infeksi cacing nematoda usus pada ternak.
Kata kunci: Prevalensi, kambing, hijauan, konsentrat, nematoda usus
PREVALENSI NEMATODA USUS PADA KAMBING (Capra sp.) DENGAN PEMBERIAN PAKAN HIJAUAN DAN KONSENTRAT DI KELURAHAN SUMBER AGUNG, KECAMATAN KEMILING BANDAR LAMPUNG
Oleh Amanda Amalia Putri
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS Pada Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada 21 Maret 1994, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudarto dan Ibu Dwi Ariati. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Tunas Harapan pada tahun 2000, dilanjutkan dengan Sekolah Dasar di SD Tunas Harapan lulus pada tahun 2006, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 8 Bandar Lampung lulus pada tahun 2009, dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA N 14 Bandar Lampung lulus pada tahun 2012. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Lampung pada tahun 2012 melalui jalur Penerimaan Mahasiswa Perluasan Akses Pendidikan (PMPAP).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Anggota Bidang Kaderisasi Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMBIO) Fakultas MIPA pada tahun 2013 – 2014 dan 2014 – 2015. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Struktur dan Perkembangan Hewan, Biosistematika Hewan, Embriologi Hewan, dan Parasitologi di Jurusan Biologi Fakultas MIPA. Penulis melaksanakan Kerja Praktik di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampung pada tahun 2015.
PERSEMBAHAN
Puji syukur kepada Allah SWT, Tiada Tuhan Selain Allah yang selalu memberikan nikmatNya di setiap langkah dalam hidupku hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini.
Ku persembahkan karya ini sebagai cinta kasihku, tanda bukti, serta rasa terima kasihku yang terdalam kepada orang-orang yang telah berjasa dalam hidupku.
Bapak dan Ibuku yang telah memberikan cinta, kasih, dan sayangnya, selalu memberikan semangat dan dukungan, mendoakan tiada henti, serta perjuangan dan pengorbanannya.
Kakak dan adikku, dan sahabat terdekat dalam hidupku serta keluarga besar yang selalu mendoakan, memberikan dukungan, semangat, dan nasehatnya.
Guru-guruku, dosen-dosenku, dan terutama pembimbingku yang tidak pernah lelah memberikan bimbingan, nasehat, dukungan, semangat, dan motivasi.
Sahabat-sahabatku yang senantiasa selalu menjadi penyemangat, dukungan, doa, bantuan, serta berbagi suka duka, susah senang, canda tawa.
Almamater tercinta
MOTTO
Everything’s gonna be okee -Amanda Amalia Putri-
“Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah Pelindung Yang Terbaik.” -QS. Ali Imran[3]: 173-
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” -QS. Al-Insyirah 5-6-
Bahwa hidup harus menerima, penerimaan yang indah. Bahwa hidup harus dimengerti, pengertian yang benar. Bahwa hidup harus memahami, pemahaman yang tulus -Tere Liye-
SANWACANA
Dengan mengucap Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Prevalensi Nematoda Usus Pada Kambing (Capra sp.) Dengan Pemberian Pakan Hijauan Dan Konsentrat Di Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis ini mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dra. Sri Murwani, M.Sc, selaku pembimbing I yang dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, dukungan dalam melakukan penelitian hingga menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Suratman Umar, M.Sc, selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasehat selama penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Dr. Emantis Rosa, M.Biomed, selaku pembahas yang telah memberikan masukan, kritik, nasehat dan koreksi pada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu Dra. Elly L. Rustiati, M.Sc, selaku Pembimbing Akademik yang selalu memberikan dukungan, arahan, nasehat, dan berbagi ilmu pada penulis dalam menempuh pendidikan di Jurusan Biologi.
5. Ibu Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc, selaku Ketua Jurusan Biologi yang telah memberikan arahan, bimbingan, dukungan dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di Jurusan Biologi.
6. Bapak Prof. Warsito, S.Si., DEA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
7. Kedua orang tuaku, Bapak Sudarto dan Ibu Dwi Ariati tiada henti dan tak pernah lelah memberikan cinta kasih, doa, pengorbanan, semangat dalam hidup penulis dan dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Bapak Ibu Dosen Jurusan Biologi FMIPA Unila terimakasih atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan selama penulis melaksanakan studi di Jurusan Biologi.
9. Karyawan dan staff serta laboran di Jurusan Biologi yang telah membantu selama penulis menempuh pendidikan di Jurusan Biologi.
10. Warga Kelurahan Sumber Agung, Bapak Sugiat, Bapak Kris, Bapak Iran dan Ibu Sutini yang telah bersedia berbagi tempat dan pengetahuan pada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
11. Seluruh Staff dan Karyawan Balai Veteriner Lampung, terutama Laboratorium Parasitologi, Ibu Drh. Sulinawati, Drh. Hamdu, Mbak Suyati A.Md, Pak Rusmantoro, Kak Farlindungan Sipayung, A.Md, dan Pak Ediwan yang telah memberikan bimbingan, bersedia berbagi ilmu, dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Kakak dan adikku, Muhammad Riswandha Imawan dan Azzahra Joanda yang telah memberikan doa, dukungan, cinta, dan kasih sayang dalam hidup penulis juga dalam penyelesaian skripsi ini.
13. Sahabat-sahabat tersayang, Tiara, Welmi, Erika, Minggar, Naumi, terima kasih atas kebersamaan, cinta kasih, suka duka, canda tawa, semangat dan motivasi.
14. Sahabat seperjuangan dalam satu bimbingan, Lutfi Kurniati Barokah, yang selalu bersedia berbagi ilmu, motivasi, semangat, dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. 15. Sahabat-sahabat Biologi 12’ : Marli, Kadek, Abdi, Apri, Huda, Agung, Afrisa, Mbak Agus, Amalia Twins, Ambar, Arum, Intan, Asri, Catur, Nisa, Olin, Dewi, Dwi, Mbak Emil, Etika, Fai, Aida, Henny, Poppy, Imamah, Mbak Indy, Jevica, Mita, Khorik, Lia, Linda, Lu’lu’, Luna, Reni, Meri, Mustika, Kak Nike, Nikken, Nindya, Nora, Bebi, Pepti, Propalia, Putri Rahayu, Puty, Dela, Ama, Aul, Riza, Sabrina, Sayu, Sheila, Laras, Wina, Yelbi. Terima kasih atas kebersamaan, cinta kasih, keceriaan, suka duka, canda tawa selama ini.
16. Kakak tingkat angkatan 2011 dan 2010 yang telah memberikan bimbingan, arahan, berbagi ilmu dan pengalaman selama penulis menempuh pendidikan di Jurusan Biologi.
17. Adik tingkat 2013, 2014, dan 2015 terima kasih atas kebersamaan, keceriaan, suka duka selama ini.
18. Seluruh Wadya Balad Himbio yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas semangat dan dukungannya.
19. Almamater tercinta Universitas Lampung.
Semoga Allah SWT membalas kasih sayang kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, April 2016 Penulis,
Amanda Amalia Putri
i
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK HALAMAN PENGESAHAN DAFTAR ISI .........................................................................................i DAFTAR GAMBAR ......................................................................... iii DAFTAR TABEL ..............................................................................iv I.
PENDAHULUAN A. Latar belakang .......................................................................... 1 B. Tujuan penelitian...................................................................... 3 C. Manfaat penelitian.................................................................... 3 D. Kerangka pemikiran ................................................................. 3 E. Hipotesis................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kambing ................................................................................... 5 B. Sumber pakan kambing ............................................................ 9 C. Penyakit cacing yang disebabkan oleh nematoda usus pada ternak ............................................................................. 11 D. Deskripsi nematoda usus ........................................................ 13 E. Nematoda usus ....................................................................... 18 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan tempat penelitian.................................................. 21 B. Rancangan percobaan ............................................................ 21 C. Alat, bahan, dan cara kerja ..................................................... 22 1. Pemberian pakan pada kambing ....................................... 22 2. Pengambilan sampel feses kambing ................................. 22 3. Pemeriksaan sampel feses kambing .................................. 23 D. Variabel yang diamati ............................................................ 24 E. Analisis data ........................................................................... 24
ii
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan ................................................................... 25 1. Telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing................................................................... 25 2. Rerata jumlah telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing ........................................ 27 3. Prevalensi genus telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing ........................................ 29 B. Pembahasan ............................................................................ 31 V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ................................................................................ 36 B. Saran....................................................................................... 36 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 37 LAMPIRAN ....................................................................................... 43
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Struktur tubuh cacing nematoda usus dewasa ................... 14 Gambar 2. Siklus hidup nematoda usus .............................................. 16 Gambar 3. Telur Strongyloides ........................................................... 19 Gambar 4. Telur Oesophagustomum................................................... 19 Gambar 5. Telur Haemonchus ............................................................ 20 Gambar 6. Telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing ........................................................... 25 Gambar 7. Prevalensi genus telur cacing nematoda usus pada feses kambing minggu ke 0 sebelum diberi perlakuan sampai minggu ke 2 setelah diberi perlakuan ................... 30 Gambar 8. Kandang kambing di luar (a) dan dalam (b) .................... 51 Gambar 9. Pakan hijauan alami (a) dan (b) pakan konsentrat ............ 51 Gambar 10. Kambing yang memakan pakan tambahan konsentrat (a dan b) ......................................................... 51 Gambar 11. Feses kambing yang memakan hijauan (a) dan konsentrat (b)............................................................ 51 Gambar 12. NaCl jenuh (a) Neraca analitik digital (b) gelas ukur (c) saringan dan alat tumbuk (d) beaker glass (e) pipet tetes (f) spatula (g) dan Mc.Master plate (h) .................................................. 52 Gambar 13. Timer ............................................................................... 53 Gambar 14. Mikroskop yang terhubung dengan program di komputer ..................................................................... 53 Gambar 15. Tabel data hasil uji .......................................................... 53 Gambar 16. Buku acuan identifikasi telur cacing ............................... 53
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Rerata jumlah telur cacing nematoda usus pada kambing yang diberi perlakuan pakan yang berbeda ........... 28 Tabel 2. Prevalensi genus telur cacing nematoda usus pada kambing pada minggu ke 0 sebelum perlakuan hingga minggu ke 2 setelah diberi perlakuan ................................... 29 Tabel 3. Rata-rata jumlah telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing sebelum diberi perlakuan ... 44 Tabel 4. Analysis of Variance jumlah telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing sebelum diberi perlakuan .................................................................... 44 Tabel 5. Uji lanjut LSD jumlah telur cacing nematoda usus sebelum kambing diberi perlakuan ...................................... 44 Tabel 6. Rata-rata jumlah telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing seminggu setelah diberi perlakuan .................................................................... 45 Tabel 7. Analysis of Variance jumlah telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing seminggu setelah diberi perlakuan........................................................ 45 Tabel 8. Uji lanjut LSD jumlah telur cacing nematoda usus seminggu setelah kambing diberi perlakuan ........................ 45 Tabel 9. Rata-rata jumlah telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing dua minggu setelah diberi perlakuan........................................................ 46 Tabel 10. Analysis of Variance jumlah telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing dua minggu setelah diberi perlakuan....................................................... 46 Tabel 11. Uji lanjut LSD jumlah telur cacing nematoda usus dua minggu setelah kambing diberi perlakuan..................... 46 Tabel 12. Genus telur cacing yang ditemukan pada feses kambing menggunakan metode Mc.Master sebelum diberi perlakuan................................................................... 47 Tabel 13. Genus telur cacing yang ditemukan pada feses kambingmenggunakan metode Mc.Master seminggu setelah kambing diberi perlakuan ....................... 48 Tabel 14. Genus telur cacing yang ditemukan pada feses kambing menggunakan metode Mc.Master dua minggu setelah kambingdiberi perlakuan ........................................ 49
1
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kambing merupakan jenis ternak ruminansia yang lebih kecil dibandingkan dengan sapi dan kerbau. Memelihara kambing tidak sulit karena hanya memerlukan modal yang relatif lebih sedikit daripada ternak ruminansia lain dan biasanya dimanfaatkan sebagai usaha rumahan, sehingga pakannya pun cukup beragam, salah satunya adalah pakan hijauan. Berbagai jenis hijauan yang digemari oleh kambing antara lain daun turi, lamtoro, dan nangka (Pamungkas dkk., 2009).
Adanya faktor pendukung seperti iklim dan kelembaban yang tinggi, menyebabkan cacing parasit berkembang biak dengan cepat (Sambodo dan Tethool, 2012). Penyakit cacingan ini dapat menyerang tubuh hewan ternak yang berakibat menurunnya berat badan dan ketahanan tubuh hewan tersebut (Akhira dkk., 2013). Selain itu juga dapat merugikan peternak karena dapat menurunkan tingkat produksi yang berakibat pada menurunnya penghasilan peternak (Nofyan dkk., 2010).
Parasit pada saluran pencernaan kambing dapat mengganggu kesehatan, menurunkan produktivitas, dan menyebabkan kematian. Kontaminasi cacing parasit dapat berasal dari pakan hijauan yang dikonsumsi yang diduga telah
2
terinfestasi larva parasit (Safar dan Ismid, 1989). Pakan hijauan dapat berupa rumput alam dan rumput yang dibudidayakan, sedangkan pakan konsentrat dapat berupa dedak padi (Prabowo, 2010).
Parasit yang menginfeksi kambing antara lain nematoda yang menyerang saluran intestinum sebagai endoparasit. Nematoda menghasilkan telur yang dikeluarkan bersama feses oleh cacing betina yang jumlahnya dapat mencapai ratusan butir per hari. Telur-telur tersebut masuk ke dalam tubuh hospes dalam bentuk infektif melalui mulut dan dalam bentuk larva melalui kulit. Gejala ini dapat dilihat melalui pengujian mengenai parasit nematoda yang ada dalam saluran pencernaan kambing sekaligus melihat prevalensi telur cacing parasit melalui pemeriksaan feses kambing (Garcia dan David, 1996).
Di Kelurahan Sumber Agung, Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung peternak kambing masih menggunakan tipe ekstensif (digembalakan) dengan tidak menambahkan pakan tambahan sehingga pakannya masih berupa pakan hijauan (Siregar, 2008). Pakan merupakan salah satu faktor penyakit cacingan pada ternak, terutama pakan hijauan yang menjadi inang perantara bagi siklus hidup cacing parasit dari waktu penyimpanan telur dalam feses di lingkungan sampai larva infektif siap untuk menginfeksi tubuh ruminansia (Wiliams dan Loyacano, 2001). Pemberian pakan tambahan berupa pakan konsentrat disamping pakan hijauan bertujuan untuk melihat perbedaan prevalensi telur cacing nematoda usus antara kambing yang diberi pakan hijauan dan kambing yang diberi pakan tambahan konsentrat.
3
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui keanekaragaman nematoda usus yang ditemukan pada fesesfeses kambing 2. Mengetahui perbedaan rerata jumlah telur cacing nematoda usus pada feses kambing antara kambing yang diberi pakan hijauan dan kambing yang diberi pakan tambahan konsentrat. 3. Mengetahui prevalensi telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah kepada peternak maupun masyarakat mengenai infeksi telur cacing parasit yang ada pada hewan ternak kambing dan upaya mengatasi infeksi tersebut terutama di Kelurahan Sumber Agung Bandar Lampung.
D. Kerangka Pemikiran
Kambing merupakan hewan ruminansia kecil yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi dan banyak dikonsumsi selain sapi dan kerbau. Agar tingkat pemenuhan konsumsi masyarakat akan daging kambing terpenuhi, perlu informasi yang sesuai baik dari peternakan hewan skala besar maupun peternakan hewan skala individu. Namun akhir-akhir ini kondisi ternak kambing mulai mengalami penurunan kesehatan dan tidak tumbuh dengan
4
baik yang menyebabkan kerugian secara ekonomi bagi peternak. Salah satu faktor yang menyebabkan produktivitas kambing menurun antara lain terinfeksi oleh cacing nematoda usus. Infeksi cacing ini diduga dari pakan hijauan yang telah terkontaminasi oleh telur maupun larva cacing parasityang tertelan masuk ke dalam tubuh kambing dan menyebabkan penyakit seperti menurunnya daya tahan tubuh, diare, mual, muntah dan kurang nafsu makan. Telur cacing parasit yang keluar bersama feses kambing menempel ke rumput-rumput yang membuat cacing parasit dapat menyebar dan menginfeksi kambing-kambing yang lain. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Sumber Agung karena peternak di sana masih menggunakan pakan hijauan bagi ternaknya. Oleh karena itu dilakukan percobaan dengan mencampur pakan hijauan dan konsentrat untuk mengetahui perbedaan prevalensi telur cacing nematoda usus antara kambing yang diberi pakan hijauan dan kambing yang diberi pakan tambahan konsentrat.
E. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Jumlah telur cacing nematoda usus pada kambing yang diberi pakan tambahan konsentrat akan lebih sedikit daripada yang diberi pakan hijauan saja. 2. Prevalensi telur cacing nematoda usus lebih tinggi pada kambing yang diberi pakan hijauan daripada kambing yang diberi pakan tambahan konsentrat.
5
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kambing
Klasifikasi kambing menurut Devandra dan Mcleroy (1982) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phyllum
: Chordata
Class
: Mammalia
Order
: Artiodactyla
Family
: Bovidae
Genus
: Capra
Species
: Capra sp.
Kambing merupakan salah satu ruminansia kecil dibandingkan dengan sapi dan kerbau. Kambing termasuk mamalia yang tidak memiliki taring dan lambungnya terbagi menjadi empat bagian yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum (Brotowidjoyo, 1994).
Kambing umumnya menjadi hewan ternak masyarakat bersama sapi, kerbau dan ruminansia lainnya. Agar sukses dalam beternak, diperlukan upaya untuk menjaga kesehatan kambing. Kambing yang sehat yaitu kambing yang dalam keadaan atau kondisi tubuh yang berfungsi secara normal yang berarti
6
terhindar dari berbagai penyakit terutama cacingan (Tjahja dan Husniati, 2012).
Ternak kambing di Indonesia memiliki potensi yang cukup tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging, susu, maupun kulit. Kambing juga memiliki berbagai keunggulan seperti mampu beradaptasi dalam kondisi yang ekstrim, cepat berkembang biak dan prolifik (beranak banyak).
Menurut Williamson dan Payne (1993), kambing memiliki lima spesies, yaitu Capra hircus, Capra ibex, Capra caucasica, Capra pyrenaica dan Capra falconeri. Capra ibex atau kambing alpin memiliki beberapa jenis yang tersebar dari pegunungan Eropa Barat sampai Rusia, yaitu Capra ibex ibex (kambing ibex pegunungan Alpin), Capra ibex nubiana (kambing ibex Nubian), Capra ibex walie (kambing ibex abesinia), Capra ibex servertozoi (kambing ibex Kaukasia Barat), Capra ibex cylindricornis (kambing ibex Kaukasia Timur), dan Capra ibex sibirica (kambing ibex Siberia) yang banyak diburu karena tanduknya yang megah dan panjang. Selain itu ada Capra pyrenaica (kambing Spanyol), Capra aegagrus (kambing liar), dan Capra falconeri (kambing Markhor) yang sudah hampir punah. Dahulu satu kelompok Markhor bisa mencapai ratusan ekor, namun sekarang satu kelompok hanya mencapai sembilan ekor. Markhor banyak diburu manusia karena tanduknya, selain itu bulunya bisa menyesuaikan cuaca seperti ketika musim panas bulu Markhor tumbuh tipis dan lembut sehingga tidak membuat kegerahan. Akan tetapi, ketika musim dingin bulunya tumbuh lebat dan tebal sehingga tidak membuatnya kedinginan (Crap, 2013).
7
Delapan bangsa kambing asli Indonesia adalah kambing Marica, Samosir, Muara, Kosta, Gembrong, Benggala, Kacang, dan Etawah (Pamungkas dkk., 2009).
Pola pengelolaan peternakan di Indonesia sudah mengarah pada sistem yang lebih modern. Terdapat beberapa jenis pola pemeliharaan ternak yaitu sistem ekstensif (digembalakan), intensif (dikandangkan) dan semi intensif (kombinasi). Pada pola penggembalaan (pasture fattening), ternak tidak mendapatkan pakan tambahan. Keuntungan pola penggembalaan adalah tidak perlu penambahan pakan, modal lebih rendah, tidak perlu perawatan khusus, dan kebutuhan tercukupi oleh alam. Kekurangannya adalah ternak mudah stres, mudah terjadi perkelahian antar ternak, pemberian pakan tidak terkontrol, terjadi perebutan pakan dan kesehatan tidak terjamin (Siregar, 2008).
Pada sebagian besar peternakan hewan, sistem yang digunakan adalah pola pemeliharaan kandang (dry lot fattening). Sistem ini memberikan pakan konsentrat yang dibuat sendiri oleh pemilik peternakan dengan ternak yang dikandangkan tanpa digembalakan. Keunggulan pola kandang adalah ternak terhindar dari stres, mencegah perkelahian, pemberian pakan terkontrol, tidak berebut pakan, sanitasi dan kontrol kesehatan terjaga baik. Kekurangan pola kandang adalah modal dan biaya operasional lebih tinggi, perawatan yang kompleks dan kebutuhan ternak harus selalu dipenuhi sesuai waktunya (Siregar, 2008).
8
Kambing yang dipelihara dengan dikandangkan atau digembalakan umumnya memakan rumput (Muljana, 2001). Menurut Sumoprastowo (1980), larva cacing nematoda menempel pada rumput dan kambing akan terinfeksi oleh larva cacing nematoda pada saat rumput dimakan. Pengaruh yang ditimbulkan oleh infeksi nematoda pada kambing dapat berupa kerusakan organ tubuh dan menurunkan berat badan kambing (Marlina, 1990).
Cara pemeliharaan ternak yang kurang baik juga memungkinkan terjadinya penularan infeksi penyakit dari ternak yang sakit ke ternak yang sehat milik orang lain. Minimnya sumber informasi antar wilayah juga mempersulit pengendalian penyakit secara intensif (Akoso, 1996). Peternak seringkali mengabaikan manajemen peternakan yang baik sehingga membuat pengendalian penyakit menjadi lebih sulit dan menjadikan infeksi parasit dan mikroorganisme lain mudah untuk terus berkembang dan menular pada ternak yang sehat (Akoso, 1996). Kebanyakan peternak tidak memberikan pengobatan terutama obat cacing karena kurangnya pengetahuan tentang pentingnya kesehatan ternak, kecuali ada beberapa peternak yang rutin memberikan obat cacing khususnya yang telah memberikan pakan yang ditambah konsentrat (Putra dkk., 2014).
Peningkatan pelayanan kesehatan hewan sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas ternak, menjaga penyebaran penyakit hewan, penyebaran penyakit zoonosis (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia) melindungi masyarakat dari bahaya makanan asal hewan yang berbahaya dan kepuasan peternak terhadap pelayanan kesehatan (Anwar, 2009).
9
B. Sumber Pakan Kambing
Pakan kambing dapat dibagi menjadi dua, yaitu pakan hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan dapat berupa rumput alam dan rumput yang dibudidayakan, sedangkan pakan konsentrat dapat berupa dedak padi (Prabowo, 2010).
Pakan merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan karena dapat menunjang tumbuh kembang makhluk hidup. Pakan utama ternak ruminansia berupa hijauan, namun pemberian pakan hijauan saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, karena itu harus dikombinasikan dengan pakan konsentrat untuk melengkapi kekurangan gizi dari pakan hijauan untuk meningkatkan produktivitas (Malibu, 2014). Menurut Hartadi dkk., (1993) konsentrat adalah bahan pakan yang dipergunakan bersama bahan pakan lain yang dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai pakan pelengkap. Peranan konsentrat sebagai pemenuhan kebutuhan hewan agar tumbuh dan berkembang secara sehat (Akoso, 1996).
Kandungan konsentrat dibagi menjadi tiga yaitu konsentrat sebagai sumber energi (carbonaseous concentrate) konsentrat sebagai sumber protein (proteinaseous concentrate) dan kosentrat sebagai sumber vitamin dan mineral.
Konsentrat sebagai sumber energi merupakan konsentrat yang mengandung energi tinggi, protein rendah, protein kasar kurang dari 20% dan serat kasar 18% seperti dedak, jagung, empok (nasi jagung), polar (hasil samping dari proses penggilingan gandum menjadi tepung terigu), kedelai dan lain lain.
10
Bahan pakan yang tinggi kandungan energi umumnya mengandung protein rendah sampai sedang, walaupun ada beberapa macam yang mengandung protein tinggi (Amoo dkk., 2006).
Konsentrat sebagai sumber protein adalah konsentrat yang mengandung protein tinggi dan protein kasar lebih dari 20%. Kandungan unsurnya seperti mineral Ca lebih dari 1% dan P lebih dari 1,5% serta kandungan serat kasar dibawah 2,5%. Contoh protein hewani antara lain tepung ikan, tepung susu, tepung daging, tepung darah, tepung bulu dan tepung cacing. Contoh protein nabati antara lain tepung kedelai, tepung biji kapuk, tepung bunga matahari, bungkil wijen, bungkil kedelai, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit dan lain lain (Prawirokusumo, 1994). Komponen nonprotein yang terdapat pada konsentrat protein seperti lemak, karbohidrat, mineral, dan air, dapat dihilangkan dengan proses ekstraksi sehingga kandungan protein pada bahan menjadi lebih tinggi (Amoo dkk., 2006).
Konsentrat sebagai sumber vitamin dan mineral dimiliki hampir semua bahan pakan ternak, baik yang berasal dari tanaman maupun hewan. Pakan jenis ini mengandung beberapa vitamin dan mineral dengan konsentrasi sangat bervariasi. Saat ini bahan-bahan pakan sebagai sumber vitamin dan mineral sudah tersedia di pasaran bebas yang dikemas khusus berupa bahan olahan yang siap digunakan sebagai campuran pakan, misalnya premix, kapur, Ca2PO4 dan beberapa mineral (Supriyadi, 2011). Kandungan yang terpadat pada pakan hijauan antara lain karbon sisa dari pembakaran, lemak, serat kasar, protein yang terdiri dari satu atau lebih
11
ikatan asam amino,mineral makro yang dibutuhkan dalam jumlah banyakantara lain Ca, P, K, Na, Cl, S dan Mg, mineral mikro yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit antara lain Fe, Za, Cu, Mo, Se, Mn, Co, Cr, Sn, V, F, Si, Ni dan As, serta vitamin (Supriyadi, 2011).
Pakan hijauan alami yang diduga telah terinfestasi larva parasit menjadi salah satu faktor utama cacingan yang akhirnya menyebabkan penyakit bila dikonsumsi oleh ternak (Safar dan Ismid, 1989).
C. Penyakit Cacing yang Disebabkan oleh Nematoda Usus pada Ternak
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia dan pentingnya pemenuhan gizi bagi masyarakat, diperlukan suatu usaha pengembangan dan pencegahan penyakit cacingan pada peternak ketika ternaknya mulai menunjukkan gejala terserang penyakit. Usaha pencegahan penyakit tersebut dimaksudkan untuk menjaga ternak tetap sehat (Murtidjo, 2012).
Jenis penyakit parasit salah satunya disebabkan oleh cacing nematoda atau sering disebut dengan cacing gilig yang berada di dalam saluran pencernaan. Prevalensinya pun masih tinggi sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan Novese dkk., (2013) di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kota Pontianak, dari 80 sampel feses sapi potong yang diambil mempunyai prevalensi nematoda sebesar 56,25%. Infeksi cacing ini menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi karena menyebabkan pertumbuhan ternak menjadi tidak optimal (Tiuria, 2004).
12
Cacing saluran pencernaan sering dijumpai pada ternak yang dapat mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan dan kesehatan. Sebagian zat makanan di dalam tubuh ternak dikonsumsi oleh cacing, sehingga menyebabkan kerusakan jaringan pada hewan. Keadaan ini juga dapat menyebabkan ternak menjadi lebih peka terhadap berbagai penyakit yang mematikan (Abidin, 2002).
Cacingan yang disebabkan oleh nematoda saluran pencernaan dapat menghambat produktivitas ternak karena mengakibatkan penurunan bobot badan sebesar 38 % dan kematian yang umumnya terjadi karena hewan banyak kehilangan darah terutama pada ternak muda dengan angka kematian sampai 17 % (Beriajaya dkk., 1995). Jenis cacing nematoda saluran pencernaan yang paling banyak menimbulkan gangguan produksi adalah cacing Haemonchus contortus., Trichostrongylus spp., dan Oesophagostomum columbianum. Telur yang dihasilkan oleh cacing tersebut akan keluar dari tubuh hewan bersama feses, sehingga dengan pemeriksaan feses akan mudah diketahui apakah hewan tersebut terinfeksi cacing atau tidak (Adiwinata dan Sukarsih, 1992).
Cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi menyebabkan kerugian dari segi ekonomi, antara lain penurunan berat badan, penurunan kualitas daging, kulit, dan jeroan. Berbagai jenis cacing yang sangat sering menginfeksi ternak di daerah tropis seperti Indonesia, antara lain adalah cacing lambung dan cacing hati (Windiyawan, 2012). Menurut Brooks dkk.,
13
(2005), infeksi nematoda yang terjadi pada manusia dan hewan menyebabkan zoonosis atau penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia.
Abidin (2002) menyebutkan bahwa hasil survei di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan 90% ruminansia selain kambing, yaitu sapi yang berasal dari peternakan rakyat positif mengandung cacing saluran pencernaan yaitu cacing hati (Fasciola hepatica), cacing gelang (Neoascaris vitulorum) dan cacing lambung (Haemonchus contortus). Tahun 2011 di Jawa, prevalensi nematodiosis 38%, fasciolosis 29% dan strongylodosis 15,92%, helminthiasis yang ada meliputi Fasciolasis, Bunostomosis, Haemonchosis, Ascariasis, Strongyloidosis dan Oesophagostomosis. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, angka prevalensi kasus cacingan (helminthiasis) selama tahun 2012 di Sulawesi Selatan mencapai 49% (Susilo, 2013).
D. Deskripsi Nematoda Usus
Nematodiasis merupakan penyakit cacingan yang disebabkan oleh nematoda saluran pencernaan (gastrointestinal) yang merupakan sekelompok cacing yang terdapat pada saluran pencernaan ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi dan mamalia lainnya. Infeksi cacing ini dapat menyebabkan penurunan bobot badan, terhambatnya pertumbuhan, turunnya produksi susu pada ternak yang menyusui dan turunnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit. Tanda klinis hewan yang terinfeksi cacing adalah kurus, bulu kusam, tidak nafsu makan, diare, serta kematian (Beriajaya dkk., 1995).
14
Ciri-ciri dari nematoda adalah tubuh tidak bersegmen, berbentuk silindris, mempunyai rongga tubuh mulai dari mulut sampai anus, jenis kelamin umumnya terpisah dan reproduksi secara ovipar. Infeksi terutama disebabkan oleh telur atau larva yang tertelan bersama dengan makanan oleh ternak (Jeffrey dan Leach, 1983).
Morfologi nematoda yaitu berbentuk panjang, silindris, bagian posterior meruncing dan tumpul pada bagian anterior. Tubuhnya tidak bersegmen yang diselaputi kutikula tebal. Lapisan kutikula ini juga terdapat pada rongga mulut, esofagus, rektum, dan bagian distal saluran genital (Gambar 1). Sebagian besar nematoda jantan memiliki ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan betinanya (Soulsby, 1982).
faring Cincin saraf
spermduk Jantan
Sistem ekskresi
Bursa kopulatrik
usus testis anus vulva
usus
uterus
ovarium Betina
Gambar 1. Struktur tubuh cacing nematoda usus dewasa (Jeffry, dan Leach, 1983)
15
Telur nematoda memiliki kulit yang tersusun dari kapsul kitin yang transparan. Bagian luar telur terdapat permukaan eksternal yang terdiri dari lapisan protein yang halus, bagian dalam telur terdapat lapisan lipid internal (membrane vitelline) yang tipis dan terdapat cairan yang mengisi ruang yang memisahkan kapsul dan embrio di dalam telur (Georgi, 1969).
Siklus hidup nematoda secara umum dimulai dari larva nematoda paling infektif melalui ingesti (penelanan) bersama rumput yang dimakan oleh ternak. Larva infektif dapat menembus kulit pada bagian kaki ketika hewan berdiri di atas tanah, juga dapat melalui fecal contaminated area atau daerah yang terkontaminasi feses yang mengandung telur cacing yang akan tertempel di permukaan tubuh hewan ketika berbaring. Larva cacing yang telah tertelan atau masuk ke dalam tubuh, bergerak melalui darah menuju ke jantung dan paru-paru, kemudian ke saluran usus dan menjadi cacing dewasa (Gambar 2). Perkembangan larva nematoda gastrointestinal ke fase tiga atau larva infektif dapat terjadi secara cepat selama 7 - 14 hari di lingkungan selama kondisi optimal (suhu yang hangat). Ketika larva sudah mencapai fase larva infektif, larva tersebut dapat bertahan hidup selama berbulan-bulan hingga pergantian musim. Setelah menginfeksi hewan ternak, kebanyakan nematoda parasit berkembang menjadi dewasa selama 2 - 4 minggu. Kerusakan besar yang ditimbulkan di abomasum dan saluran usus terjadi selama periode perkembangan larva ke tahap dewasa. Total siklus hidup dari telur menuju telur kembali membutuhkan waktu sekitar 6 – 8 minggu yaitu 2 - 3 minggu di lingkungan dan 2 - 5 minggu di dalam tubuh hewan (Wiliams dan Loyacano, 2001).
16
Nematoda dewasa di saluran pencernaan kambing dan bertelur
Larva infektif menempel di rumput dan dimakan oleh kambing
Telur cacing menyebar dan menjadi larva infektif di tanah
Gambar 2. Siklus hidup nematoda usus (Whittier dkk., 2003).
Adanya cacing nematoda sangat mempengaruhi kehidupan hewan tingkat tinggi di darat karena dapat menjadi parasit yang hidup pada tubuh hewan tersebut dan membentuk siklus yang berkelanjutan. Telur nematoda ditemukan dalam bentuk infektif maupun non infektif pada tubuh hewan atau tumbuhan yang ditinggalinya dan lama kelamaan menginfeksi inang serta hidup parasit dalam tubuh hospes (endoparasit) (Campbell dkk., 2011).
Menurut Sandjaja (2007), endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam organ ataupun jaringan tubuh hospes (inang). Endoparasit menyerang organ dalam hospes dan memiliki kemampuan beradaptasi terhadap jaringan tubuh sehingga bisa menyebabkan kerusakan. Endoparasit bisa bersifat patogen saat hospes mengalami malnutrisi, sehingga mengakibatkan penurunan daya imunitas tubuh (Natadisastra dan Agoes, 2009). Salah satu contoh
17
endoparasit yang menginfeksi tubuh hospes adalah cacing pada intestinum ternak (Sandjaja, 2007).
Beberapa contoh cacing nematoda yang menginfeksi ruminansia adalah Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Oesophagustomum sp. (cacing bungkul), Bunostomum sp.(cacing kait), Haemonchus sp. (cacing lambung), Ostertagia sp., dan Trichostrongylus sp. (cacing rambut). Ma’ruf (2011) mengatakan bahwa prevalensi helminthiasis Bunostomum sp., Haemonchus sp., Moniezia sp., dan Oesophagostomum sp. pada saluran pencernaan ruminansia yaitu sapi perah di Sidoarjo sebesar 29,2%.
Penelitian lain seperti di Zimbabwe menemukan bahwa genus yang paling umum ditemukan dari nematoda gastrointestinal pada ternak adalah Cooperia, Haemonchus, dan Trichostrongylus. Haemonchus secara signifikan lebih banyak menginfeksi selama musim hujan dibandingkan musim kemarau. Selanjutnya Trichostrongylus ditemukan dalam jumlah yang lebih banyak selama bulan bulan kering dibandingkan bulan-bulan basah. Cooperia dan Oesophagostomum menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan saat musim basah ataupun kering. Temuan lain tentang prevalensi parasit gastrointestinal pada sapi, kambing dan domba juga ditemukan di Magadi bagian barat daya Kenya (Pfukenyi dkk.,2007).
18
E. Nematoda Usus
Nematoda usus yang umum ditemukan pada saluran pencernaan ternak adalah sebagai berikut:
1. Strongyloides
Telur Strongyloides berukuran panjang 81,27 µm dan lebar 42,06 µm (Gambar 3). Cacing ini sering disebut dengan cacing benang karena ukurannya yang lebih kecil dari cacing tambang dan di dalam telur terdapat larva yang melengkung mirip dengan benang (Heelan dan Ingersoll, 2002). Cacing betina panjangnya 3,5 - 6,0 mm dan berdiameter 50 - 65 mikron. Cacing jantan berukuran lebih kecil daripada betina yaitu panjangnya 700 - 825 mikron (Schad, 1989). Larva yang keluar bersama feses berada di luar tubuh untuk hidup bebas menjadi cacing dewasa (Zaman, 1989). Telur cacing Strongyloides dapat menetas dengan cepat dan berkembang menjadi larva infektif hanya dalam waktu 24 jam sehingga menyebabkan perkembangbiakannya menjadi pesat dan sering ditemukan dalam jumlah banyak (Levine, 1994). Cacing ini dapat menyerang paru-paru dan berkembang menjadi dewasa sekitar 7 - 9 hari setelah infeksi, selain itu cacing ini dapat menimbulkan penyakit strongilodiasis berupa komplikasi paru-paru dan syaraf serta sindroma hiperinfeksi yang fatal (Pusarawati dkk., 2014).
19
Gambar 3. Telur Strongyloides (Fox, 2012).
2. Oesophagustomum
Oesophagustomum lebih dikenal dengan cacing bungkul karena bentuk nya yang berbungkul bungkul, bungkul tersebut berisi larva yang kemudian menetas menjadi cacing dewasa (Akoso, 1996). Telur cacing ini memiliki panjang 39,02µm dan lebar 23,55 µm (Gambar 4). Cacing betina dewasanya berukuran lebih besar dengan panjang 16 – 22 mm daripada jantan yang berukuran panjang 14 – 17 mm (Junquera, 2004). Gejala yang ditimbulkan dari infeksi cacing ini adalah timbulnya bungkulbungkul di dalam kolon ternak (Sugama dan Suyasa, 2011) dan dapat menimbulkan nodul pada intestinum yang menyebabkan ternak terserang disentri (Soulsby 1982).
Gambar 4. Telur Oesophagustomum (Fox, 2012).
20
3. Haemonchus
Menurut Levine (1994) cacing Haemonchus sering menginfeksi ruminansia terutama sapi, domba dan kambing. Cacing ini biasanya ditemukan pada abomasum tubuh hospes yang berada di daerah beriklim tropis dan lembab (Bowman, 2009). Cacing dewasa jantan berukuran 10 - 20 mm dan diameter 400 mikron, sedangkan betinanya berukuran 18 - 30 mm dan diameter 500 mikron dengan ukuran panjang telur 71,80 µm dan lebar 49,52 µm (Gambar 5). Infeksi cacing ini dapat membahayakan tubuh inangnya karena dapat menghisap darah dan menyebabkan anemia akibat perdarahan akut karena dapat menghisap 0,05 mL perhari hingga berakibat kematian (Junquera, 2004).
Gambar 5. Telur Haemonchus (Purwanta, 2009).
21
III.
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2015 sampai dengan Januari 2016. Sampel feses kambing diambil dari ternak milik warga di Kelurahan Sumber Agung, lalu dilakukan pemeriksaan nematoda usus di Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampung.
B. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan. Pakan diberikan masing-masing sebanyak 10% dari bobot tubuh kambing dengan usia 6 bulan – 1 tahun dan dilakukan pada pagi dan sore hari selama 14 hari. Rincian pemberian pakan sebagai berikut :
Perlakuan 1 (P1) : 100% hijauan Perlakuan 2 (P2) : 75% hijauan + 25% konsentrat Perlakuan 3 (P3) : 50% hijauan + 50% konsentrat
22
C. Alat, Bahan, dan Cara Kerja
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pemberian Pakan pada Kambing
Masing-masing kambing yang berada pada kandang yang terpisah diberi pakan hijauan dan pakan konsentrat sesuai dengan tata letak satuan objek penelitian. Pakan hijauan yang diberikan berupa rumput gajah, daun jagung-jagungan, daun petai cina, dan daun kacang-kacangan. Konsentrat yang diberikan terdiri dari ampas tahu basah dan kering, kulit kopi, tongkol jagung, dedak, limbah pakan peternakan,bungkil inti sawit, kulit nanas, kopra kelapa, kulit singkong, dan tebon jagung (Komunikasi Pribadi, 2015).
Perlakuan 1 (P1) : 100% hijauan Perlakuan 2 (P2) : 75% hijauan + 25% konsentrat Perlakuan 3 (P3) : 50% hijauan + 50% konsentrat
2. Pengambilan Sampel Feses Kambing
Pengambilan sampel feses kambing dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sebelum kambing diberi perlakuan, seminggu setelah kambing diberi perlakuan, dan dua minggu setelah kambing diberi perlakuan. Feses kambing diambil langsung menggunakan sarung tangan sebanyak 10% atau 10 gram dari biomassa defekasi kambing dan dimasukkan ke dalam botol sampel. Pada sampel feses yang ada dalam botol sampel kemudian
23
disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 4o C agar telur tidak menetas. Sampel kemudian dibawa ke Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampung untuk diidentifikasi (Juniar, 2015).
3. Pemeriksaan Sampel Feses Kambing
Sampel feses kambing diidentifikasi secara kualitatif dan kuantitatif dengan metode Mc.Master. Sampel feses dikeluarkan dari lemari pendingin, didiamkan beberapa saat agar tidak keras saat digerus. Setelah sampel terlihat melunak, satu per satu sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram dan diaduk dalam mortar hingga feses tidak menggumpal sambil ditambahkan NaCl jenuh sebanyak 28 ml hingga larut, kemudian disaring dengan menggunakan saringan 100 mesh. Filtrat yang dihasilkan ditampung di dalam beaker glass. Sisa feses yang masih ada dalam saringan, dilarutkan kembali dengan menggunakan NaCl jenuh sebanyak 30 mL dan filtrat yang dihasilkan tetap ditampung dalam beaker glass yang sama. Filtrat dalam beaker glass digoyang perlahan agar tercampur rata, setelah itu filtrat dipipet dan dimasukkan ke dalam Mc.Master plate hingga penuh lalu didiamkan selama 4 - 5 menit. Preparat kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x dan dipotret untuk dicocokkan dengan buku acuan menurut Soulsby (1977). Jumlah telur cacing yang ditemukan dikalikan dengan 100 per jenis telur sesuai dengan rumus pembacaan hasil EPG (Egg Per Gram) seperti berikut : Nilai EPG = 100 X X = Jumlah telur cacing yang ditemukan (Colville, 1991).
24
D. Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah keanekaragaman telur cacing nematoda usus antara kambing yang diberi pakan hijauan dan kambing yang diberi pakan tambahan konsentrat, dan prevalensi telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji One Way ANOVA dengan taraf signifikasi α 5% dan dilanjutkan dengan uji lanjut LSD untuk mengetahui perbedaan rerata jumlah nematoda usus yang ditemukan antara kambing yang diberi pakan hijauan dan kambing yang diberi pakan tambahan konsentrat. Prevalensi telur cacing nematoda usus yang ditemukan dihitung dengan rumus yang merujuk pada Fuentes dkk (2004) sebagai berikut :
Prevalensi =
X 100%
36
V.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Telur cacing nematoda usus yang ditemukan adalah dari genus Haemonchus, Mecistocirrus, Oesophagustomum, Strongyloides, Trichuris, dan Trichostrongylus.
2. Pemberian pakan tambahan konsentrat membantu menurunkan rerata jumlah telur cacing nematoda usus yang ditemukan pada feses kambing.
3. Prevalensi genus telur cacing nematoda usus yang ditemukan paling tinggi adalah Strongyloides sebesar 72,22% pada minggu ke 0, 94,44% pada minggu ke1, dan 61,11% pada minggu ke 2. Prevalensi terendah adalah Mecistocirrus sebesar 5,55% pada minggu ke 0, 0% pada minggu ke 1, dan 5,55% pada minggu ke 2.
B. Saran Saran dalam penelitian ini adalah sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian pakan hijauan pada ternak yang dilayukan terlebih dahulu dengan rentang waktu pengamatan yang lebih lama.
37
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta. Adiwinata, G., dan Sukarsih. 1992. Gambaran Darah Domba yang Terinfeksi Cacing Nematoda Saluran Pencemaan Secara Alami di Kab. Bogor (Kec . Cijeruk, Jasinga dan Rumpin) . Penyakit Hewan 24 (43) : 13-16. Akhira, D., Y. Fahrimal, dan M. Hasan. 2013. Identifikasi Parasit Nematoda Saluran Pencernaan Anjing Pemburu (Canis familiaris) Di Kecamatan Lareh Sago Halaban Provinsi Sumatera Barat. Jurnal Medika Veterinaria. ISSN: 0853-1943 Vol. 7 No. 1. Akoso, B., T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius. Yogyakarta. Amoo, I.A., O.T. Adebayo, dan A.O. Oyeleye. 2006. Chemical Evaluation of Winged Beans (Psophocarpus tetragonolabus), Pitanga Cherries (Eugenia uniflora) and Orchid Fruit (Orchid fruit myristica). African. J food Agr Nutr Dvlpmnt. 2:1-12. Anwar, M. 2009. Analisis Kepuasan Peternak terhadap Pelayanan Kesehatan Hewandi Kabupaten Siak Propinsi Riau. IPB. Bogor. Beriajaya, S.E., Estuningsih, Darmono, M.R. Knox, D.R. Stoltz, dan A. J. Wilson. 1995. The use of wormolas in controlling gastrointestinal Nematode infections in sheep. EGC. Jakarta. Bowman, D. D., dan J. R. Georgi. 2009. Georgi’s Parasitology for Veterinarians. Elsevier Health Sciences. United Kingdom. Brooks, F.G., J. S. Butel, dan S. A. Morse. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi Pertama. Salemba Medika. Jakarta. Brotowidjoyo, M.D. 1994. Zoologi Dasar. Erlangga. Jakarta. Campbell, A.N., J. B. Reece,dan L. G. Mitchell. 2011. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
38
Colville, J. 1991. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. American Veterinary Publications, Inc. 5782. Thormwood. Drive Golete. California 93117 Page 19-24. Crap, C. 2013. (Caprini) rumpun kambing asli. [internet]. https://capzone.wordpress.com/category/ilmupengetahuan/page/2. diakses pada 12 november 2015 pukul 09:56 WIB. Darma, D.M.N., dan A. A. G. Putra. 1997. Penyidikan Penyakit Hewan, Buku Pegangan. CV. Bali Media Adhikarsa. Denpasar.161-175 Devandra, C. dan G.B. McLeroy. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. Longman Group Limited, Harlow, Essex. UK. Fox, M.T. 2012. Gastrointestinal Parasites of Cattle. The Merck Veterinary Manual. Fuentes, S.V., M. Saez, M. Trelis., C. Munos-atoli, dan G. J. Esteban. 2004. The Helminth Community of Apodemus Sylvaticus (Rodentia, Muridae) in the Sierra de Gredos (Spain).Arxius de Miscel-Idnia Zoologica 2:1-6. Spain. Gaddie, R. E., dan D. E. Douglas. 1977. Earthworm for Ecology and Profit. Vol II. Bookworm Publishing Company Ontario. California. Garcia, L. S.,dan David. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Gasbarre, L.C., E.A. Leighton,danC. J. Davies. 1990. Genetic control of immunity to gastrointestinal nematodes of cattle. J Veterin Parasitol 37: 257–272. Georgi, J.R. 1969. Parasitology for Veterinarians. W.B. Saunders Company, Philadelphia USA. Hartadi, H., S., Reksohadiprodjo, dan A.D. Tillman. 1993. Tabel Komposisi Pakan Untuk Indonesia. Cetakan III. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Heelan, S.J., dan F.W. Ingersoll. 2002. Essentials of Human Parasitology. Delmar. Australia. Jeffrey, H.C., dan R. M. Leach. 1983. Atlas Helminthologi dan Protozoologi Kedokteran (terjemahan) Edisi ke 2. Buku Kedokteran. Jakarta. Juniar, M. 2015. Identifikasi Nematoda dan Trematoda Saluran Pencernaan pada Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) Di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Jurusan Biologi, FMIPA Unila. Lampung
39
Junquera, L. C. 2004. Histologi Dasar (Basic Histology) Edisi III. Alih Bahasa Adji Dharma. EGC. Jakarta. Hal 255. Kaufman, J. E. 1996. L. E. S, Lighting Handbook, Physics of Light New York. New York. 1001. Kusumamihardja, S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor. Kusumadihardja, S. 1988. Pengaruh Musim, Umur, dan Waktu Penggembalaan Terhadap Derajat Infestasi Nematoda Saluran Pencernaan Domba ( Ovis aries linh) Di Bogor . Hemerazoa 73(1):1-11. Levine, N. D. 1990. Parasitology Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Levine, N.D. 1994. Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Ashadi G. Dari Textbook of Veterinary Parasitology. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 190-223. Ma’ruf, F. 2011. Perbandingan Prevalensi Helminthiasis pada Saluran Pencernaan Sapi Perah di Desa Ngelom dan Desa Kletek Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya. Malibu,Y . 2014. Pengaruh Pemberian Konsentrat Yang Mengandung Tepung Daun Gamal, Vitamin B Kompleks Dan Obat Cacing Terhadap Pertambahan Bobot Badan Dan Konversi Pakan Pada Sapi Bali. [internet] http://PengaruhPemberianKonsentratYangMengandungTepungDaunGama l,VitaminBKompleksDanObatCacingTerhadapPertambahanBobotBadanD anKonversiPakanPadaSapiBali. Diakses pada 21 Oktober 2015 pukul 13:31 WIB. Mardiana, D. 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 7 No 2. Agustus 2008. Marlina. 1990. Jenis-jenis Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi dan Kerbau di RPH Cakung, Jakarta Timur [Skripsi]. FMIPA. Universitas Indonesia. Depok. Minnich, J. 1977. The Earthworm Book How to Raise and Use Earthworms for Your Farm and Garden. Rodale Press Emmaus, P.A. United States of America.
40
Muljana, W. 2001. Cara Beternak Kambing. CV Aneka Ilmu. Semarang. Murtidjo, B. 2012. Beternak Sapi Potong. Yogyakarta. Kanisius, Cetakan ke-20. Natadisastra, D dan R. Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Nofyan, E., M. Kamal, dan I. Rosdiana. 2010. Identitas Jenis Telur Cacing Parasit Usus Pada Ternak Sapi (Bos sp.) dan Kerbau (Bubalus sp.) Di Rumah Potong Hewan Palembang.Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Sains. 10:06-11. Novese, T., R.T. Setyawati, S. Khotimah. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur Cacing Parasit pada Feses Sapi (Bos sp.)Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat. Jurnal Protobiont. Vol 2 (2): 102-106. Pamungkas, F.A., A. Batubara, M. Doloksaribu, dan E. Sihite. 2009. Potensi Beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Juknis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Pfukenyi, M. D., S. Mukaratirwa, A. L. Willingham, dan J. Monrad. 2007. Epidemiological studies of parasitic gastrointestinal nematodes, cestodes and coccidia infections in cattle in the highveld and lowveld communal grazing areas of Zimbabwe. Journal of Veterinary Research. 74: 129-142. Prabowo, A. 2010. Petunjuk Teknis Budidaya Ternak Kambing (Materi Pelatihan Agribisnis bagi KMPH). BPTP Sumatera Selatan. Report No 51.Hal 12. Prastowo, J. dan Sumartono. 1996. Dinamika Jumlah Larva Nematoda pada Rumput Di Padang Penggembalaan. Bull. FKH UGM. Vol 15 (1,2):47-54. Prawirokusumo, S. 1994. Ilmu Gizi Komparatif. BPFE. Yogyakarta. Pusarawati, S., B. Ideham, Kusmartisnawati, I. S. Tantular, dan S. Basuki. 2014. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Purwanta, Nuraeni, J. D. Hutauruk, dan S. Setiawaty. 2009. Identifikasi Cacing Saluran Pencernaan (Gastrointestinal) pada Sapi Bali melaui Pemeriksaan Tinja di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem, Juni 2009. Vol. 5 No. 1. ISSN 1858-4330. Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Gowa Putra, R.D., N.. A Suratma, I.B.M. Oka. 2014. Prevalensi Trematoda pada Sapi Bali yang Dipelihara Peternak di Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. FKH, Universitas Udayana. Bali. Indonesia Medicus Veterinus 2014 3(5) : 394-402 ISSN : 2301-7848.
41
Putri, D. A. 2014. Pengaruh jenis kelamin terhadap perubahan dimensi tubuh ternak kambing kacang yang dipelihara secara intensif. [skripsi]. Program studi produksi ternak jurusan produksi ternak fakultas peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar. Rahayu, R.Y. 2007. Komposisi Kimia Rabbit Nugget dengan Komposisi Filler Tepung Tapioka yang Berbeda [Skripsi]. Fakultas Peternakan Universitas Gajah MadaYogyakarta. Sambodo, P., dan A. Tethool. 2012. Endoparasit Dalam Feses Bandikut (Echymipera kalubu) (Studi Awal Kejadian Zoonosis Parasitik Dari Satwa Liar). Jurnal Agrinimal. Vol. 2. No. 2, Oktober 2012. Hal. 71-74. Safar, R., D., dan Ismid. 1989. Parasit-parasit intestinal yang ditemukan pada murid Sekolah Dasar pusat kota, derah perkebunan, daerah pertanian, dan daerah nelayan kotamadya, Padang Sumatera Barat. Prosiding Seminar Parasitologi Nasional V. P41. Jakarta. Hal:222 Sandjaja, B. 2007. Helminthologi Kedokteran Buku II. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. Schad, G. A. 1989. Morphology and life history of Strongyloides stercoralis. In: Grove DI, editor. Strongyloidiasis a major roundworm infection of man. London: Taylor and Francis. Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Depok. Soulsby, E. J. L. 1977. Helminth, Arthropods dan Protozoa of Domesticated Animals. Lea Febiger, Sixth Edition. Phildelphia. Soulsby, E. J. L. 1982. Helminths, Arthopods and Protozoa of Domesticated Animal. Edisi ketujuh. Baillere Tindall. London. Sudarno. 2015. Komposisi Konsentrat. [Komunikasi Pribadi]. Sugama, I.N. dan I.N. Suyasa. 2011. Keragaman Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali Model Kandang Simantri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Bali. Sumoprastowo, C. D. A. 1980. Beternak Kambing yang Berhasil, Cetakan I. Bhatara Karya Aksara. Yogyakarta. Supriyadi. 2011. Macam Bahan Pakan Sapi dan Kandungan Gizinya. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Yogyakarta. Susilo, J. 2013. Dampak Penyakit Kecacingan Pada Performa ternak. Medik Veteriner Balai Veteriner Lampung.
42
Taylor, M.A., R. L. Coop, dan R. L Wall. 2007, Veterinary Parasitology. BlackwellPublishing. Navarra, Spain. Thienpont, D., dan F. Rochette. 1979. Diagnosing Helminthiasis by Coprological Examination, First edition. Jansenn Research Foundation. Beerse, Belgium. Tiuria, R. 2004. Immunologi Penyakit Parasiter Metazoa dan Prospek Pengembangan Vaksin, Prosiding Seminar Parasitology dan Toksikologi Veteriner 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. hal : 45-50. Tjahja, I.,dan Husniati. 2012. Berbagai Penyakit Pada Sapi. PT Citra Aji Parama. Klaten. Urquhart, G. M., Armour, J., Ducan, J.L., Dunn, A.M., Jennins, F.W. 1987. Veterinary Parasitology. English Language Book Society/Longman. UK. Hal 11-56. Wiliams, J. C., dan A. F. Loyacano. 2001. Internal Parasites of Cattle in Lousiana and others Southern States. LSU Agricultural Center Research Studies. United States. Williamson, G., dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Windyawan,2012. Cacingan Pada Ternak Sapi (internet) (diunduh 2014 Januari 30).Tersedia pada: http://berbagiceritahewan.wordpress.com/2012/08/01/cacinganpadaternak sapi. Diakses pada 29 Oktober 2015 pukul 09.31 WIB. Whittier, W.D., A. M. Zajac, and S.M. Umberger. 2003. Control of Internal Parasities in Sheep. Blackburg, VA. Virginia Tech. Zaman, V. 1989. Atlas Parasitologi Kedokteran Edisi II. Hipokrates. Faculty of Medicine. University of Singapore.