BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kinerja 2.1.1
Pengertian Kinerja Kinerja merupakan istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan
keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator pekerjaan atau profesi dalam batas waktu tertentu. Kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja (Wirawan, 2009). Hasil dari kombinasi upaya yang dikerahkan oleh individu dengan tingkat kemampuan yang mereka miliki (menggambarkan keahlian, pelatihan, informasi, dan lain-lain) dengan demikian upaya berkombinasi dengan kemampuan untuk menghasilkan tingkatan kerja tertentu juga dapat dijadikan definisi dari kinerja (Sunarto, 2005). Wibowo (2007) mengatakan performance diartikan sebagai kinerja, hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya menyatakan sebagai hasil kerja, tetapi juga bagaimana proses kerja berlangsung. Implementasi kinerja dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, kompetensi, motivasi, dan kepentingan. Sedarmayanti (2009), kinerja merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal dan sesuai dengan moral maupun etika.
Universitas Sumatera Utara
Mangkunegara (2002) menjelaskan bahwa kinerja individu adalah hasil kerja baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standard kerja yang telah ditentukan. Kinerja individu ini akan tercapai bila didukung oleh atribut individu, upaya kerja (work effort) dan dukungan organisasi. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja sumber daya manusia dalam organisasi atau perusahaan adalah hasil kerja yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya pada suatu periode tertentu sesuai dengan tugas pokok dan tanggung jawabnya. Kinerja mempunyai pengertian yang cukup luas dari ilmu pengetahuan, teknologi dan taktik manajemen yaitu suatu filosofi dan sikap mental yang timbul dan motivasi yang kuat dari lingkungan kerja secara terus menerus. Dari pengertian atau teori diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja seorang pegawai pada periode tertentu baik itu secara kualitas maupun kuantitasnya harus lebih baik setiap periodenya atau hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. 2.1.2
Penilaian Kinerja Penilaian kinerja merupakan pengamatan (observasi) terhadap pelaksanaan
pekerjaan oleh seorang pekerja. Dari hasil observasi itu dilakukan pengukuran yang dinyatakan dalam bentuk penetapan keputusan mengenai keberhasilan atau kegagalannya dalam bekerja (Nawawi, 2008). Penilaian kinerja dapat juga berfungsi sebagai upaya mengumpulkan informasi tentang penetapan kompensasi/insentif dan kemungkinan promosi serta
Universitas Sumatera Utara
pelatihan dan pengembangan pegawai. Penilaian kinerja yang efektif dapat mempengaruhi dua hal, yaitu kuantitas dan kualitas kerja. Dharma (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor tingkat kinerja meliputi: mutu pekerjaan, jumlah pekerjaan, efektifitas biaya dan inisiatif dalam pekerjaan. Sementara karateristik individu yang mempengaruhi kinerja meliputi: umur pekerja, jenis kelamin pekerja, pendidikan pekerja, lama kerja, penempatan kerja dan lingkungan kerja (rekan kerja, atasan, organisasi, penghargaan dan imbalan yang diterima). Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dari apa yang telah direncanakan sebelumnya dengan kenyataan. Adapun aspek-aspek standar kinerja menurut Mangkunegara (2007) terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi: 1.
Proses kerja dan kondisi pekerjaan.
2.
Waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan.
3.
Jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan.
4.
Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja.
Sedangkan aspek kualitatif meliputi: 1.
Ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan.
2.
Tingkat kemampuan dalam bekerja.
3.
Kemampuan
menganalisis
data
informasi,
kemampuan
atau
kegagalan
menggunakan mesin atau peralatan. 4.
Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen).
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan Dharma (1998) mengatakan bahwa : Hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut. 1.
Kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Ini berkaitan dengan jumlah keluaran yang dihasilkan.
2.
Kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Pengukuran kualitatif keluaran mencerminkan pengukuran tingkat kepuasan, yaitu seberapa baik penyelesaiannya. Ini berkaitan dengan bentuk keluaran.
3.
Ketepatan waktu, yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan. Pengukuran ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian suatu kegiatan.
2.1.3 Tujuan Penilain Kinerja Menurut Wibowo (2007), hal-hal yang penting dari tujuan penilaian kinerja adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui ketrampilan dan kemampuan pegawai 2. Sebagai dasar perencanan bidang kepegawaian khususnya penyempurnaan kondisi kerja, peningkatan mutu dan hasil kerja 3. Sebagai dasar pengembangan dan pendayagunaan pegawai seoptimal mungkin, sehingga dapat diarahkan jenjang/rencana kariernya, kenaikan pangkat/jabatan 4. Mendorong terciptanya hubungan timbal balik yang sehat antara atasan dan bawahan
Universitas Sumatera Utara
5. Mengetahui kondisi organisasi secara keseluruhan dan bidang kepegawaian, khususnya kinerja pegawai dalam bekerja 6. Secara pribadi, pegawai mengetahui kekuatan dan kelemahan sehingga dapat memacu perkembangannya. 7. Hasil penilaian pelaksanaan pekerjaan dapat bermanfaat bagi penelitian dan pengembangan di bidang kepegawaian. 2.1.4
Metode Penilaian Kinerja Terdapat beberapa metode penilaian kinerja yang dapat digunakan yaitu
(Mangkunegara, 2007) : 1.
Metode penilaian yang berorientasi masa lalu. Teknik yang sering digunakan dalam metode ini, meliputi : - Rating scale, yaitu penilaian yang berbentuk formulir dan berisi unsur-unsur atau tanggapan yang akan dinilai dengan menggunakan skala pengukuran Likert, seperti: º
baik sekali
: bobot 5
º
baik
: bobot 4
º
sedang
: bobot 3
º
kurang
: bobot2
º
kurang sekali
: bobot1
- Checklist, adalah teknik penilaian yang digunakan untuk menyeleksi pernyataan yang menjelaskan karakteristik karyawan dengan menggunakan
Universitas Sumatera Utara
formulir yang berisi unsur-unsur yang akan dinilai dengan tanda cek, misalnya formulir Weighted Performance Check List. - Critical Inddent adalah metode penilaian yang mengarahkan pembuat perbandingan untuk mencari pernyataan yang menggambarkan tingkah laku karyawan baik dan buruk dihubungkan dengan cara kerja mereka. - Field Review, adalah merupakan metode penilaian prestasi kerja dengan melakukan tes keahlian. - Group Evaluation Method, adalah teknik penilaian untuk mengevaluasi kelompok karyawan dalam memutuskan pembayaran kenaikan kompensasi, pangkat/jabatan dan pengaturan pemberian penghargaan dengan cara membuat rangking dari yang terbaik sampai yang terburuk. Metode ini terdiri dari: (1) metode peringkat adalah metode yang membandingkan karyawan yang satu dengan yang lain dalam mengerjakan pekerjaan dari yang terbaik sampai yang terburuk. (2) distribusi kekuatan, yaitu metode penilaian dengan membuat perbandingan atau penilaian, mengelompokkan dan memisahkan para karyawan perusahaan dalam klasifikasi yang variatif (berbeda-beda). (3) metode alokasi merupakan bentuk lain dari penilaian distribusi kekuatan. Penilai membuat perbandingan dengan memberikan sejumlah angka keseluruhan untuk dialokasikan kepada para pekerja dalam kelompokkelompok.
(4)
metode
perbandingan
berpasangan,
yaitu
melakukan
perbandingan masing-masing karyawan dengan karyawan lain. Setiap
Universitas Sumatera Utara
pasangan yang akan dibandingkan berdasarkan faktor-faktor prestasi akan dengan mudah menentukan siapa diantara kedua yang relatif lebih berprestasi. 2.
Metode penilaian yang berorientasi masa depan Metode penilaian kinerja yang berorientasi pada masa depan meliputi empat
cara yang digunakan, yaitu: - Penilaian diri sendiri - Penilaian psikologi, dilakukan dengan wawancara, tes psikologi, bertukar pendapat dengan penanya dan diakhiri dengan penilaian - Pendekatan manajemen berdasarkan sasaran - Teknik pusat penilaian. 2.1.5
Penilaian Sendiri (Self Asessment) Kinerja individu dilihat dengan self assessment yaitu penilaian yang dilakukan
oleh karyawan sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan
dan
kelemahan-kelemahan
dirinya
sehingga
mampu
mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang. Keuntungan penilaian diri sendiri (self appraisal) ini karena dapat berpartisipasi dalam proses penilaian prestasi kerja, meningkatkan motivasi kerja, mengurangi penolakan pada saat dinilai, memperbaiki diri sendiri, dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan datang secara mandiri dan melatih diri karyawan untuk menentukan dan merencanakan sendiri kerjanya di masa yang akan datang. (Timple, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu keuntungan metode self assessment, teknik evaluasi penilaian diri berguna bila tujuan evaluasi adalah untuk melanjutkan pengembangan diri. Bila karyawan menilai dirinya, perilaku defensif cenderung tidak terjadi, sehingga upaya perbaikan diri juga cenderung dilaksanakan. Kelemahan metode ini adalah responden akan melebih-lebihkan dalam membuat penilaian terhadap dirinya. Menurut Ilyas (2001) penilaian sendiri dipengaruhi oleh sejumlah faktor penentu, seperti faktor kepribadian, faktor pengalaman, faktor pengetahuan serta faktor sosial demografi seperti suku dan pendidikan. Pada penilaian sendiri juga akan memungkinkan pemberian skor yang tinggi yang diberikan oleh karyawan tersebut untuk menilai pekerjaan mereka sendiri. Pandangan mengenai obyek/jenis penilaian kinerja dan jumlah obyek penilaian yang dinilai masih belum diperoleh kesepakatan. Hal tersebut diatas dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti apabila beragamnya jenis jabatan dalam organisasi ataupun perusahaan, kualifikasi tenaga dan tujuan penilaian itu sendiri berbeda-beda. Penilaian kinerja seseorang menurut Podsakoff dalam (Tarwaka, 2004), ada 5 ciri yaitu: 1. Altruism (mementingkan orang lain), ialah perilaku ingin membantu orang lain yang bermasalah/kesulitan. 2. Conscientiousness
(ketelitian),
yaitu
perilaku
pekerja
yang
melakukan
pekerjaannya dengan baik melebihi ketentuan peran minimum. Hal ini dapat terlihat dalam hal kehadiran, mematuhi peraturan, menggunakan waktu istirahat, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
3. Sportmanship (lapang dada), adalah suatu kemampuan untuk menerima keadaan yang tidak ideal, tidak mengeluh, menghadapi pengaduan, balas dendam dan keributan. 4. Courtesy (keramahan) yaitu perilaku yang mengarah pada preventif/pencegahan persoalan dengan orang lain yang berkaitan dengan pekerjaan. 5. Civic Virtue (kesopanan) yaitu perilaku yang menunjuk bahwa ia mau berpartisipasi dan peduli terhadap jalannya rumah sakit. 2.1.6. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Ukuran kesuksesan yang dicapai oleh karyawan tidak bisa digeneralisasikan dengan karyawan yang lain karena harus disesuaikan dengan ukuran yang berlaku dan jenis pekerjaan yang dilakukannya (Robbins, 2003). Kinerja dalam hal ini berkaitan dengan teori psikologis tentang proses tingkah laku kerja seseorang yang kemudian menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaannya. Perbedaan karakterisik individu yang satu dengan yang lain dapat menyebabkan berbedanya performa kerja atau dalam hal ini kinerjanya jika dihadapkan dalam situasi yang berbeda. Pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada di bawah pengawasannya. Secara garis besar, perbedaan kinerja ini disebabkan oleeh dua faktor, yaitu faktor individu dan situasi kerja. Menurut Gibson et al. (1996), ada tiga tingkat variabel yang mempengaruhi kinerja seseorang, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1.
Variabel individual, terdiri dari: a. Kemampuan dan ketrampilan Kondisi mental dan fisik seseorang dalam menjalankan suatu aktivitas atau pekerjaan. b. Latar belakang Kondisi dimasa lalu yang mempengaruhi karakteristik, sikap dan mental seseorang, biasanya dipengaruhi oleh faktor keturunan serta pengalaman di masa lalu. c. Demografis Kondisi kependudukan yang berlaku pada individu dan karyawan, dimana lingkungan sekitarnya akan membentuk pola tingkah laku individu tersebut berdasarkan adat atau norma sosial yang berlaku.
2.
Variabel organisasional, terdiri dari: a. Sumber Daya Merupakan sekumpulan potensi organisasi atau kemampuan organisasi yang dapat dikur dan dapat dinilai, seperti sumber daya alam dan sumber daya manusia. b. Kepemimpinan Merupakan seni mengkoordinasi yang dilakukan oleh pimpinan organisasi dalam memotivasi pihak lain atau karyawan dalam perusahaan untuk meraih tujuan yang diinginkan oleh organisasi.
Universitas Sumatera Utara
c. Imbalan Balas jasa yang diterima oleh pegawai atas usaha yang telah dilakukan di dalam proses aktivitas organisasi, dalam jangka waktu tertentu atau yang telah ditentukan secara intrinsik maupun ekstrinsik. d. Struktur Hubungan wewenang dan tanggung jawab antar individu dalam organisasi, dengan karakteristik tertentu sesuai dengan kebutuhan organisasi. e. Desain Pekerjaan Job description yang diberikan kepada pegawai, apakah pegawai dapat melakukan sesuai dengan job description. 3.
Variabel psikologis, terdiri dari : a. Persepsi Suatu proses kognitifyang digunakan oleh seseorang untuk menafsirkan dan memahami dunia di sekitarnya. b. Sikap Kesiapsiagaan mental yang dipelajari dan diorganisir melalui pengalaman dan mempunyai pengaruh tertentu atas cara tanggap seseorang terhadap orang lain. c. Kepribadian Pola perilaku dan suatu proses mental yang unik, yang mencirikan seseorang atau individu dan melekat pada dirinya.
Universitas Sumatera Utara
d. Belajar Proses yang dijalani seseorang dari tahap tidak tahu menjadi tahu dan memahami akan sesuatu terutama yang berhubungan dengan organisasi dan pekerjaan. Mangkunegara (2002), mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan motivasi. 1.
Faktor Kemampuan Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja yang diharapkan.
2.
Faktor Motivasi Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja atau organisasi.
Robbin (2006), menambahkan dimensi baru yang menentukan kinerja seseorang yaitu kesempatan yang ada. Menurutnya, meskipun seseorang bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan), mungkin ada saja rintangan yang menjadi kendala kinerja seseorang yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan yang tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung, prosedur yang tidak jelas dan lainnya. Berkaitan dengan faktor-faktor di atas, dapat disimpulkan bahwa stres yang tinggi baik fisik maupun perilaku adalah hasil jangka pendek dari job stress yang dapat berpengaruh pada kinerja karyawan yang rendah. Stres pada karyawan bukanlah suatu hal yang selalu berakibat buruk pada karyawan & kinerjanya dalam suatu organisasi, melainkan stres juga dapat memberikan
Universitas Sumatera Utara
motivasi bagi karyawan untuk memupuk rasa semangat dalam menjalankan setiap pekerjaannya dan tanggung jawabnya untuk mencapai suatu prestasi kerja yang baik bagi karir
karyawan dalam pekerjaannya di suatu perusahaan dan untuk kemajuan serta
keberhasilan perusahaan. Price (2005) mengatakan bahwa stres ditempat kerja juga dapat berhubungan positif dengan kinerja karyawan dalam organisasi atau perusahaan. Stres dapat menciptakan keunggulan kompetitif bagi perusahaan dengan manajemen yang baik. Robbins (2003) menyatakan tingkat stres yang mampu dikendalikan dapat membuat karyawan melakukan pekerjaanya dengan lebih baik, karena membuat mereka mampu meningkatkan intensitas kerja, kewaspadaan dalam bekerja, serta kemampuan berkreasi dalam menjalankan pekerjaannya, tetapi tingkat stres yang berlebihan membuat
kinerja mereka akan mengalami penurunan.
2.2
Asuhan Keperawatan Menurut hasil Lokakarya Keperawatan tahun 1986 pelayanan keperawatan
adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan dalam bentuk pelayanan biologis, psikologis, sosiologis spiritual yang komprehensif/holistik yang ditujukan kepada individu (Soeroso, 2003). Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dan pasien, keluarga dan atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Keliat, 1998). Proses keperawatan
Universitas Sumatera Utara
bertujuan memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah pasien sehingga mutu pelayanan keperawatan optimal. Proses keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik dan saling tergantung, luwes dan terbuka. Setiap tahap dapat diperbaharui jika keadaan pasien berubah. Tahap demi tahap merupakan siklus dan adanya saling ketergantungan. Berdasarkan pendapat Ismani (2001), sebagai profesional seorang perawat harus mampu menerima responsibilitas dan akuntabilitas atas asuhan keperawatan yang telah diberikannya kepada pasien. Responsibilitas adalah tanggung jawab, misalnya pada saat memberikan obat atau tindakan keperawatan, perawat bertanggung jawab terhadap kebutuhan pasien, memberikan secara aman dan benar serta mengevaluasi respon pasien terhadap setiap pemberian obat atau tindakan tersebut. Akuntabilitas atau tanggung gugat berarti perawat dapat digugat terhadap segala hal yang dilakukannya kepada pasien. Perawat bertanggung gugat kepada pasien, dokter sebagai mitra kerjanya, dan masyarakat. Agar dapat bertanggung gugat, seorang perawat dalam tempat kerjanya harus senantiasa bertindak sesuai standar profesi dan etika profesinya. Akuntabilitas memerlukan evaluasi kinerja berdasarkan mutu yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, masih perlu didefinisikan terlebih dahulu kriteria mutu keperawatan kepada setiap tindakan dalam asuhan keperawatan . Sebagaimana profesi keperawatan lainnya, praktek keperawatan memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik keperawatan itu adalah otonomi profesi sebagai
Universitas Sumatera Utara
seorang pelayan kesehatan, tanggung gugat, kemandirian dalam pengambilan keputusan, kolaborasi dengan mitra kerja, advokasi, fasilitasi, memiliki standar asuhan keperawatan dan kode etik profesi keperawatan, kemampuan, pengalaman, pelatihan, beban kerja, motivasi. Menurut Nursalam (2011), dalam menilai kualitas pelayanan keperawatan kepada pasien, dapat digunakan standar praktik keperawatan yang merupakan pedoman bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Standar praktik keperawatan yang dijabarkan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia yang mengacu dalam tahapan proses keperawatan, meliputi: 1.
Pengkajian Asuhan Keperawatan Pengkajian dalam asuhan keperawatan merupakan dasar utama atau langkah
awal seorang perawat dari proses keperawatan secara keseluruhan. Data dikumpulkan dan diorganisir secara sistematis, serta dianalisa untuk menentukan masalah keperawatan pasien. Data pada pengkajian diperoleh melalui wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, pemeriksaaan riwayat kesehatan, pemeriksaan laboratorium, maupun pemeriksaan diagnostik lain. 2.
Diagnosa Asuhan Keperawatan Diagnosa asuhan keperawatan merupakan pernyataan yang menjelaskan status
kesehatan atau masalah kesehatan aktual atau potensial serta penyebabnya. Tahap diagnosa ini adalah tahap pengambilan keputusan pada proses asuhan keperawatan, yang meliputi identifikasi apakah masalah pasien dapat dihilangkan, masalah dapat dikurangi atau dirubah melalui tindakan asuhan keperawatan.
Universitas Sumatera Utara
3.
Rencana Asuhan Keperawatan Setelah merumuskan diagnosa asuhan keperawatan maka perlu dibuat
perencanaan intervensi keperawatan dan aktivitas keperawatan. Tujuan perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien. Perawat membuat rencana tindakan asuhan keperawatan untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kesehatan pasien (Nursalam, 2011), kriteria proses rencana tindakan asuhan keperawatan, meliputi : a.
Penerapan prioritas masalah, tujuan, dan rencana tindakan keperawatan
b.
Bekerjasama dengan klien dalam menyusun rencana tindakan keperawatan
c.
Perencanaan bersifat individual sesuai dengan kondisi atau kebutuhan klien
d.
Mendokumentasikan rencana keperawatan
4.
Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Perawat mengimplementasikan tindakan yang telah diidentifikasi dalam
rencana asuhan keperawatan (Nursalam, 2011), kriteria proses meliputi: a.
Bekerjasama dengan klien dalam melaksanakan tindakan keperawatan
b.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
c.
Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan klien
d.
Memberikan pendidikan pada klien dan keluarga mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta membantu klien memodifikasi lingkungan yang digunakan
e.
Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan berdasarkan respon klien.
Universitas Sumatera Utara
5.
Evaluasi Asuhan Keperawatan Evaluasi asuhan keperawatan merupakan fase akhir dari proses keperawatan
yaitu terhadap asuhan keperawatan yang diberikan. Hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan, kelengkapan, kualitas data, teratasi atau tidaknya masalah klien, dan pencapaian tujuan serta ketepatan intevensi keperawatan.
2.3. Beban Kerja 2.3.1
Pengertian Beban Kerja Definisi beban kerja secara tata bahasa mempunyai arti sebagai tanggungan
kewajiban yang harus dilaksanakan karena pekerjaan tertentu dan juga sebagai tanggung jawab (Simamora, 2001). Dalam Handbook of Perception and Human Performance, Gopher dan Donchin cit Sugiyanto tahun 1993 memperjelas dengan menyatakan bahwa perbedaan antara kapasitas sistem pemproses informasi yang dibutuhkan untuk mengerjakan tugas dengan harapan (disebut performans harapan) dan kapasitas yang tersedia pada saat itu (disebut performance aktual) yang disebut dengan beban kerja (Luthan, 1995). Beban kerja berpengaruh terhadap kinerja seseorang dalam melakukan pekerjaaannya. Pekerja yang mempunyai beban kerja berlebih akan menurunkan kualitas hasil kerja dan memungkinkan adanya inefisiensi waktu. Para manajer harus memperhatikan tingkat optimal beban kerja karyawan. Beban kerja tidak hanya dipandang sebagai beban kerja fisik akan tetapi sebagai beban kerja mental. Program kerja yang memungkinkan karyawan menikmati akhir pekan yang panjang sepanjang
Universitas Sumatera Utara
tahun, dimaksud sebagai insentif dengan keyakinan sistem ini akan mengarah pada peningkatan produktivitas. Karyawan akan memperoleh manfaat dengan adanya waktu senggang yang bertambah dan mendapatkan kebebasan lebih untuk mengurus urusan pribadi, kehidupan keluarga, dan menambah pendidikan (Temple, 2000). 2.3.2
Macam Beban Kerja Menurut Munandar (2001), macam beban kerja dapat diklasifikasikan sebagai
berikut: a.
Beban berlebih kuantitatif Beban berlebih secara fisik ataupun mental akibat terlalu banyak melakukan
kegiatan merupakan kemungkinan sumber stres pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu dalam menyelesaikan tuntutan pekerjaan, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. b.
Beban terlalu sedikit kuantitatif Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi kesejahteraan
psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya perhatian. Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak cepat dan terampil dalam keadaan darurat.
Universitas Sumatera Utara
c.
Beban berlebih kualitatif Kemajuan teknologi mengakibatkan sebagian besar pekerjaan yang selama ini
dikerjakan secara manual oleh manusia/tenaga kerja diambil alih oleh mesin-mesin atau robot, sehingga pekerjaan manusia beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan mungkin menjadi majemuk sehingga mengakibatkan adanya beban berlebih kualitatif. Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebih kualitatif jika kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki. d.
Beban terlalu sedikit kualitatif Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak
diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia tidak mengalami perkembangan, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan ketrampilannya. Menurut Sugiyanto (1993) macam beban kerja dapat dibagi sebagai berikut : a.
Beban Kerja Fisik Beban kerja pada awalnya banyak dihubungkan dan difokuskan pada
pekerjaan fisik atau aktivitas fisik dan faktor lingkungan dianggap sebagai komponen
Universitas Sumatera Utara
dari sumber-sumber munculnya stres fisik bagi individu dalam bekerja. Kedua inilah yang awalnya diasumsikan menentukan beban kerja mereka. Beban
kerja
merupakan
perbandingan
waktu
yang
diminta
untuk
melaksanakan tugas dengan waktu yang telah ditentukan untuk melakukan pekerjaan itu. Bila waktu yang diminta untuk melakukan pekerjaan itu melebih waktu yang telah ditentukan, itu berarti beban kerja yang berlebih atau disebut overload. Sedangkan waktu yang dibutuhkan kurang dari waktu yang ditentukan, itu berarti beban kerja kurang atau underload. (Abraham, 2007). Beban kerja fisik didasari oleh waktu yang digunakan dalam melaksanakan tugas dengan waktu yang telah ditentukan. Beban kerja fisik yang dimaksud adalah pekerjaan yang secara fisik harus dikerjakan oleh individu dalam suatu waktu tertentu. Dalam bekerja secara umum, dikenal pembagian waktu kerja atau yang sering juga disebut shift kerja. Para karyawan di sebuah perusahaan juga sudah memiliki jadwal pembagian kerja yang teratur. b.
Beban Kerja Mental Sejak tahun 1970 perkembangan pada definisi beban kerja mental (mental
workload) meningkat drastis. Berdasarkan pada pengalaman beban kerja berfokus peninjauan secara fisik, hal ini dikarenakan keterbatasan beban kerja yang masih berorientasi pada beban kerja fisik saja. Jika karyawan menderita rutinisasi yang berlebihan maka perlu mengatasi kerja mereka, salah satu alternatifnya adalah penggunaan rotasi pekerjaan. Rotasi pekerjaan digunakan jika kegiatan tertentu tidak lagi menantang, karyawan itu
Universitas Sumatera Utara
dipindahkan ke pekerjaan lain pada tingkat yang sama yang mempunyai persyaratan keterampilan yang serupa. Jadi rotasi pekerjaan dapat diartikan sebagai perubahan periodik pekerja dari satu tugas ke tugas yang lainnya (Robbins, 2006). Menurut Gibson (1996) rotasi pekerjaan adalah transfer karyawan diantara departemen yang berbeda fungsi atau unit pada departemen yang sama tanpa ada penyesuaian promosi atau gaji, selanjutnya rotasi pekerjaan berhubungan dengan pemindahan karyawan dengan landasan yang sistematis untuk memperluas pengalaman. Rotasi atau perputaran pekerjaan tidak selalu berjalan mulus. Bisa saja tindakan seperti itu menuai protes dari karyawan yang merasa dirinya sudah mapan pada posisi yang sekarang. Karena itu kebijakan seperti itu harus didasarkan pada data dan informasi akurat mengenai kinerja individu, pengalaman kerja di unit, keterlibatan pelatihan, dan perilaku karyawan. Kemudian perlu dilakukan sosialisasi agar para karyawan tidak merasa diperlakukan secara tidak adil. Hal lain yang penting juga dipertimbangkan bahwa rotasi pekerjaan harus berbasis kompetensi dari karyawan bersangkutan. Mereka harus disiapkan lebih dahulu paling tidak dalam bentuk orientasi di tempat pekerjaan yang baru, karena juga dapat menciptakan gangguan dimana, anggota kelompok kerja harus menyesuaikan diri dengan adanya anggota baru (Robbins, 2008). 2.3.3
Faktor yang Memengaruhi Beban Kerja Beban kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut (Manuaba, 2000) :
1.
Faktor Eksternal, yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti:
Universitas Sumatera Utara
- Tugas-tugas yang dilakukan yang bersifat fisik, seperti : tata ruang, tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, sedangkan tugas-tugas yang bersifat mental, seperti: kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan, tanggung jawab pekerjaan. - Organisasi kerja, seperti : lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, system pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang. - Lingkungan kerja, adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi, lingkungan kerja biologis dan lingkungan kerja psikologis. 2.
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Reaksi tubuh disebut strain, berat ringannya strain dapat dinilai baik secara obyektif maupun subyektif. Faktor internal meliputi faktor somatis (jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan), faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan kepuasan).
2.3.4 Pengukuran Beban Kerja Menurut Kim dan Narasimhan (2002) terdapat 3 cara (teknik) yang dapat digunakan dalam penghitungan beban kerja personal yaitu : 1.
Work Sampling, teknik ini dikembangkan pada dunia industri untuk melihat beban kerja yang dipangku oleh personil pada suatu unit, bidang ataupun jenis tenaga tertentu. Pada work sampling ini kita dapat mengamati , aktivitas apa yang sedang dilakukan personal pada waktu jam kerja, apakah aktivitas personel
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam kerja, proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak produktif, pola beban kerja personel dikaitkan dengan waktu, dan schedule jam kerja. 2.
Time and Motion Studies, teknik ini mengamati dan mengikuti dengan cermat tentang kegiatan yang dilakukan oleh personil yang sedang kita amati.
3.
Pencatatan kegiatan sendiri (Daily Log), teknik ini merupakan bentuk sederhana dari work sampling dimana orang yang diteliti menuliskan sendiri kegiatan dan waktu yang digunakan untuk kegiatan tersebut. Konsep yang mendasari pengukuran beban kerja adalah penyelesaian suatu
tugas memerlukan waktu tertentu. Tingkat beban kerja diperhitungkan dari jumlah waktu yang telah dipakai untuk mengerjakan suatu tugas sampai selesai.
2.4. Stres Kerja 2.4.1. Pengertian Stres Kerja Suatu kondisi dari hasil penghayatan subyektif individu yang dapat berupa interaksi antara individu dan lingkungan kerja yang dapat mengancam dan memberi tekanan secara psikologis, fisiologis dan sikap individu (Wijono, 2010). Dalam kaitannya dengan pekerjaan, Smet (1994) secara spesifik menjelaskan bahwa stres kerja sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan kerja sehingga menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial.
Universitas Sumatera Utara
Dapat disimpulkan bahwa stres kerja sikap adaptasi subyektif pekerja terhadap lingkungan dan kondisi kerjanya yang dapat memberikan tekanan secara psikologis bagi dirinya. 2.4.2. Sumber Stres Wijono (2010) berpendapat bahwa, pada dasarnya sumber stres merupakan hasil interaksi dan transaksi antara seseorang individu dengan lingkungannya. Lingkungan individu tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu faktor-faktor pekerjaan dan faktor-faktor diluar pekerjaan. Faktor- faktor pekerjaan, menurut Temple (2000) yang mengatakan bahwa ada lima faktor yang dapat menjadi sumber stres dalam organisasi, yaitu : 1.
Faktor-faktor yang berkaitan dengan pekerjaan seorang individu Tekanan-tekanan psikologis yang tinggi menyebabkan tugas-tugas menjadi berisiko tinggi dalam melakukan pengendalian terhadap keputusan. Individu dapat memberikan respons terhadap tekanan psikologis dengan cara yang dikehendaki orang lain dan bukan dengan cara yang dikehendakinya.
2.
Stres Peran Contoh gambaran konflik peran, seorang manajer yang mengharapakan dukungan dari bawahannya untuk meningkatkan produktivitas kerjanya. Namun mereka tidak diberi tambahan sumber-sumber agar lebih produktif. Sering kali manajer dalam mencapai tujuannya memerlukan dukungan dari bawahannya, tetapi sebaliknya ia harus membuat perencanaan agar dapat mengendalikan program secara efektif dan efisien.
Universitas Sumatera Utara
3.
Peluang Partisipasi Alasan pentingnya partsipasi, yaitu : - Partisipasi dihubungkan dengan konflik peran yang rendah dan ketidak jelasan peran yang rendah. - Partisispasi yang tinggi (keputusan-keputusan yang lebih berpengaruh) dapat membuat seseorang merasa dapat mengendalikan lingkungan sekitarnya. Beberapa hasil penelitian yang dilaporkan menunjukkan bahwa pengendalian individu terhadap tekanan-tekanan lingkungannya tidak akan lebih berpegaruh terhadap dirinya untuk memperoleh peluang partisipasi ketika tidak ada pengendalian yang secara nyata dan dapat dilihat hasilnya.
4.
Tanggung Jawab Tanggung jawab yang lain dapat mempengaruhi stres pekerja.
5.
Faktor-faktor Organisasi Contohnya banyak yang percaya bahwa birokrasi (atau mekanis) merupakan bentuk organisasi yang mengarah dan tidak memaksimalkan potensi individu. Faktor-faktor diluar pekerjaan yang dapat menjadi pemicu stres diantaranya: 1. Perubahan struktur kehidupan 2. Dukungan sosial 3. Locus of control 4. Harga diri 5. Fleksibilitas/kaku 6. Kemampuan
Universitas Sumatera Utara
Menurut Robbins (2008), terdapat tiga kategori sumber potensi pemicu stres, yaitu : faktor lingkungan, faktor
organisasi dan faktor pribadi karyawan dalam
perusahaan itu sendiri (pribadi). 1.
Faktor Lingkungan Selain mempengaruhi desain struktur sebuah organisasi, ketidakpastian lingkungan juga mempengaruhi tingkat stres para karyawan dalam organisasi. Kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi diantaranya kondisi politik, hal ini dapat berkaiatan dengan rasa aman dalam keberlangsungan bekerja, seperti: demonstrasi, kebijakan tenaga kerja (misal: upah minimal, pembatasan jumlah karyawan) oleh pemerintah ataupun perusahaan. Perubahan dalam siklus bisnis menciptakan ketidakpastian ekonomi. Ketika ekonomi memburuk, orang dapat merasa cemas terhadap kepastian kelangsuan pekerjaan mereka. Kemajuan teknologi dan pemanfaatannya dalam rumah sakit, juga membawa dampak pada tenaga kerja, diantaranya dibutuhkannya ketrampilan dalam penggunaan hingga pada pengurangan tenaga kerja.
2.
Faktor Organisasi Tidak sedikit faktor dalam organisasi yang dapat menyebabkan stres kerja. Tekanan untuk menghindari kesalahan atau menyelesaikan tugas dalam waktu yang mendesak, tuntutan atasan, kondisi lingkungan kerja dan rekan kerja yang tidak menyenangkan. Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan dalam tuntutan tugas, tuntutan peran, dan tuntutan antar pribadi. Tuntutan tugas adalah faktorfaktor yang terkait dengan pekerjaan seseorang tenaga kerja, tuntutan peran
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan tekanan yang diberikan kepada seorang tenaga kerja sebagai fungsi dan peran tertentu yang dimainkan tenaga kerja dalam organisasi tersebut, dan tuntutan antar pribadi adalah tekanan yang diciptakan atau terkondisikan oleh tenaga kerja lain. 3.
Faktor Personal Seseorang biasanya bekerja sekitar 40 samapai 50 jam seminggu. Tetapi, pengalaman dan masalah yang dihadapi orang dalam waktu 120 jam lebih di luar jam kerja dalam setiap minggunya dapat terbawa ke dunia kerja, diantaranya masalah keluarga, ekonomi, serta kepribadian individu. Misal, secara konsisten survei–survei nasional menunjukkan bahwa orang sangat mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. Berbagai kesulitan dalam hidup perkawinan, retaknya hubungan, dan kesulitan masalah disiplin anak-anak adalah beberapa contoh masalah hubungan yang menciptakan stres bagi karyawan, yang kemudian dapat terbawa ke tempat kerja.
2.4.3
Gejala-Gejala Stres Kerja Robbins (2006) menyatakan stres menampakkan diri dengan berbagai cara.
Sebagai contoh, seorang individu yang sedang stres berat mungkin mengalami tekanan darah tinggi, sariawan, jadi mudah jengkel, sulit membuat keputusan yang axbersifat rutin, kehilangan selera makan, rentan terhadap kecelakaan, dan sebagainya. Secara umum gejalanya dapat dikelompokkan menjadi gejala fisiologis, gejala psikologis, dan gejala perilaku.
Universitas Sumatera Utara
1.
Gejala Fisiologis Merupakan pengaruh awal terjadinya stres pada pekerja yang biasanya berupa gejala-gejala fisiologis, dapat berupa perubahan metabolisme, meningkatkan detak jantung dan tarikan napas, menaikkan tekanan darah, menimbulkan sakit kepala.
2.
Gejala Psikologis Merupakan wujud ketidakpuasan yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang, dapat muncul dalam kondisi psikologi, seperti : ketegangan, kecemasan, kejengkelan, kejenuhan, dan sikap tenaga kerja yang suka menunda-nunda pekerjaan. Ketika seorang tenaga kerja ditempatkan dalam pekerjaan dengan tuntutan yang banyak dan saling bertentangan stres maupun ketidakpuasan dapat meningkat.
3.
Gejala Perilaku Meliputi perubahan dalam tingkat produktivitas, kemangkiran dan perputaran karyawan, dapat juga berbentuk perubahan dalam kebiasaan makan, pola merokok, konsumsi alkohol, bicara yang gagap, serta kegelisahan dan ketidak teraturan waktu tidur. Menurut Anoraga (2001) gejala stres adalah sebagai berikut:
1.
Menjadi mudah marah dan tersinggung
2.
Bertindak secara agresif dan defensive
3.
Merasa selalu lelah
4.
Sukar berkonsentrasi
Universitas Sumatera Utara
5.
Pelupa
6.
Jantung berdebar-debar
7.
Otot tegang, nyeri sendi
8.
Sakit kepala, perut dan diare.
2.4.4
Pendekatan Pribadi dalam Mengelola Stres Pada dasarnya stres perlu dikelola dan diatasi, paling tidak dalam pikiran
seseorang pernah berusaha untuk membiarkan atau menghindari kondisi, situasi atau peristiwa yang penuh dengan tekanan. Tetapi ada juga orang yang berusaha untuk mengubah, mengelola atau mengatasi secara tepat dan efektif. Pendekatan pribadi dapat dilaksanakan dengan dua strategi (Timple,1999): 1.
Strategi Psikologis, dilakukan dengan upaya: -
Peningkatan kesadaran diri, dengan memahami gejala-gejala yang muncul secara lebih dini dengan bersikap wajar dan menjernihkan fikiran.
-
Pengurangan Ketegangan, dengan mencari tempat yang tenang untuk melakukan meditasi, menempatkan posisi tubuh dengan nyaman dan rileks untuk menghilangkan ketegangan.
-
Konseling atau Psikoterapi, untuk menemukan masalah dan sumber-sumber ketegangan yang dapat menimbulkan stres kerja.
2.
Strategi Fisiologis Usaha mengelola stres kerja dengan melakukan latihan kesehatan fisik.
Universitas Sumatera Utara
2.4.5
Pendekatan Organisasi dalam Mengelola Stres Kerja Ada beberapa cara yang digunakan untuk mengelola stres dalam organisasi,
yaitu (Soeroso, 2003): 1. Meningkatkan komunikasi Peningkatan komunikasi sebagai upaya penegasan garis-garis tugas dan tanggung jawab yang jelas diantara keduanya. 2. Sistem penilaian prestasi dan sistem ganjaran yang efektif Sistem penilaian yang tepat dapat mengurangi ketidakjelasan peran dan konflik peran. 3. Meningkatkan partisipasi Kesempatan partisipasi yang diberikan manajer pada karyawannya dalam menyumbangkan fikiran ataupun gagasannya, memungkinkan karyawan dapat meningkatkan prestasi dan kepuasan kerjanya. 4. Memperkaya tugas Pengragaman tugas sebagai upaya peningkatan motivasi kerja dan memenuhi kebutuhan karyawan suatu organisasi sehingga dapat mengurangi stres yang ada dalam diri mereka. 5. Mengembangkan ketrampilan, kepribadian dan pekerjaan Pengembangan ketrampilan dapat diperoleh melalui pelatihan-pelatihan yang dibutuhkan oleh karyawan.
Universitas Sumatera Utara
2.5 Landasan Teori Beban kerja dan stres kerja yang terjadi pada perawat terkait dengan belum optimalnya kinerja perawat pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Teori beban kerja yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada teori Munandar (2001), yaitu beban kerja dapat diklasifikasikan menjadi beban kerja kuantitatif dan beban kerja kuantitatif. Robbins (2008) menyatakan bahwa terdapat tiga kategori sumber potensi pemicu stres, yaitu : faktor lingkungan yang termasuk diantaranya seperti (a) kebijakan tenaga kerja, (b) ketidakpastian ekonomi, (c) kemajuan teknologi. Selanjutnya terdapat faktor organisasi, yang termasuk diantaranya yaitu : (a) Tuntutan tugas, (b) Tuntutan peran, (c) Tuntutan antarpersonal. Faktor yang terakhir, yaitu faktor pribadi, yang termasuk diantaranya : (a) persoalan keluarga, (b) persoalan ekonomi, (c) kepribadian. Kinerja secara teoritis dalam penelitian ini mengacu kepada teori Mengkunegara (2002), yang menyatakan bahwa kinerja dapat diukur dengan mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu kualitas dan kuantitas. Kinerja perawat pelaksana secara kualitas dalam penelitian ini mengacu kepada tupoksi perawat, yang terdiri dari (a) pengkajian, (b) diagnosis, (c) rencana tindakan, (d) pelaksanaan tindakan dan (e) evaluasi tindakan.
Universitas Sumatera Utara
Beban Kerja Kuantitatif a. Pekerjaan diluar tugas pokok Kualitatif a. Rotasi Kerja Stres Kerja Faktor Lingkungan a. Kebijakan tenaga kerja b. Ketidakpastian politik c. Kemajuan teknologi
Kinerja Perawat Pelaksana (Y) - Pengkajian - Diagnosis - Rencana Tindakan - Pelaksanaan Tindakan - Evaluasi Tindakan
Faktor Organisasional 3 Tuntutan tugas 4 Tuntutan peran 5 Tuntutan antarpersonal Faktor Personal a. Persoalan keluarga b. Persoalan ekonomi c. Kepribadian Gambar 2.1. Landasan Teori
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kerangka Konsep Berdasarkan acuan landasan teori diatas maka dapat digabungkan menjadi suatu pemikiran yang terintegrasi. Pemikiran yang terintegrasi tersebut merupakan kerangka konsep (conceptual framework) dalam penelitian ini dengan model sebagai berikut: Beban Kerja (X 1 ) Kuantitatif Kinerja Perawat Pelaksana (Y)
Kualitatif
Standard Asuhan Keperawatan Stress Kerja (X 2 ) Faktor Lingkungan Faktor Organisasional Faktor Personal
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara