BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal atau penurunan ginjal kurang dari 60% ginjal normal bersifat progresif dan irreversibel, menyebabkan ketidakmampuan ginjal untuk membuang toksin dan produk sisa dari darah serta tidak dapat berfungsi secara maksimal, dimana kerusakan ginjal tersebut ditandai dengan albuminuria (>30 mg albumin urin per gram dari creatinin urin), Glomerular Filtration Rate (GFR) <60ml/menit/1,73 m2 dengan jangka waktu lebih dari 3 bulan (Black & Hawks, 2009; Smeltzer & Bare, 2001). 2.1.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut National Kidney Foundation, penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menurut derajat berikut ini: Tabel 2.1 Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit Derajat
Deskripsi
Nama lain
I
Kerusakan ginjal dengan GFR normal Kerusakan ginjal dengan GFR ringan Penurunan GFR sedang Penurunan GFR tingkat berat Gagal ginjal
Resiko I
II III IV V
GFR (ml/menit/1.73 m2) >90
Chronic Renal Insufisiensi (CRI) Chronic Renal Failure (CRF) Chronic Renal Failure (CRF) End stage renal disease (ESRD)
60-89 30-59 15-29 <15
10 Universitas Sumatera Utara
11
Sumber (Black & Hawks, 2009). 2.1.3 Dampak Penyakit Ginjal Kronik Penyakit ginjal kronik akan berdampak terhadap perubahan fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Seperti yang dijelaskan berikut ini: a. Perubahan Fisik Perubahan yang terjadi pada fisik pasien penyakit ginjal kronik tergantung pada kerusakan ginjal dan keadaan lainnya yang mempengaruhi seperti usia dan kondisi tubuh pasien. Perubahan fisik yang dapat terjadi pada pasien penyakit ginjal kronik menurut Smeltzer & Bare (2008) adalah sebagai berikut: 1. Sistem Neurologi: kelemahan, fatigue, kecemasan, penurunan konsentrasi, disorientasi, tremor, seizures, kelemahan pada lengan, nyeri pada telapak kaki, perubahan tingkah laku. 2. Sistem Integumen: kulit berwarna coklat keabu-abuan, kering, kulit mudah terkelupas, pruritus, ekimosis, purpura tipis, kuku rapuh, rambut tipis. 3. Sistem kardiovaskular: Hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, dan sakrum), edema periorbita, precordial friction rub, pembesaran vena pada leher, perikarditis,
efusi
perikardial,
tamponade
pericardial,
hiperkalemia,
hiperlipidemia. 4. Sistem pernafasan: cracles, sputum yang lengket dan kental, depresi refleks batuk, nyeri pleuritik, napas pendek, takipnea napas kussmaul, uremic pneumonitis, “uremic lung”.
Universitas Sumatera Utara
12
5. Sistem gastrointestinal: bau ammonia, napas uremik, berasa logam, ulserasi pada mulut dan berdarah, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi atau diare, perdarahan pada saluran pencernaan. 6. Sistem hematologi: anemia, trombositopenia. 7. Sistem reproduksi: amenorrhea, atropi testis, infertil, penurunan libido 8. Sistem muslukoskleletal: kram otot, hilangnya kekuatan otot, renal osteodistropi, nyeri tulang, fraktur, dan foot drop. Pasien penyakit ginjal kronik akan mengalami kerusakan jaringan ginjal yang permanen. Kondisi ini membuat gangguan fisik dan psikologis semakin terasa oleh pasien dan membuat kehidupan pasien menjadi tidak normal akibat keterbatasan yang dimiliki, sehingga akan mengganggu kehidupan sosialnya (Leung, 2003). b. Perubahan Psikologis Perubahan fungsi fisik secara progresif akibat penyakit ginjal yang diderita membuat pasien penyakit ginjal kronik mengalami berbagai stres psikologis. Perubahan keseharian akibat terapi yang harus dijalani, kewajiban melakukan kunjungan ke rumah sakit dan laboratorium secara rutin untuk pemeriksaan darah, dan perubahan finansial untuk biaya pengobatan membuat pasien mengalami stres dan membuat mereka tidak dapat menjalankan peran secara holistik (Purba & Moni 2012). Keadaan lainya yang membuat kondisi psikologis pasien semakin berat adalah ancaman kematian, potensial malpraktik petugas kesehatan, perasaan menjadi objek percobaan akibat seringnya diambil darah untuk pemeriksaan, stres
Universitas Sumatera Utara
13
akibat efek dari penyakit yang diderita, dan ketakutan akan diisolasi oleh lingkungan sekitar (Kastrouni et al., 2010). Depresi
yang
terjadi
pada
pasien
gagal
ginjal
kronis
adalah
multidimensional meliputi komponen fisik, psikologis dan sosial. Depresi biasanya timbul pada tahun pertama pada saat mulai dilakukan terapi hemodialisis. Kondisi ini dipicu oleh perubahan secara radikal pola hidup pasien, masalah kehilangan pekerjaan, perubahan peran di keluarga, perubahan hubungan dan waktu yang terbuang untuk dialisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien penyakit ginjal kronis yang mengalami depresi memiliki kualitas hidup yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami depresi (Son et al., 2009). Pemberian informasi kepada pasien penyakit ginjal kronik tentang penyakit mereka dan keterlibatan dalam perencanaan dan implementasi perawatan membantu pasien untuk melawan perasaan-perasaan ketergantungan dan menjadi termotivasi untuk mempertahankan kesehatan mereka sedapat mungkin (Hudak & Gallo, 1996). Masalah psikologis lain yang dialami oleh pasien penyakit ginjal kronik adalah perubahan harga diri pasien, perubahan pola hidup, perubahan nilainilai personal dan pola rutinitas pasien, kehilangan harapan, dendam (Leung, 2003). c. Perubahan Sosial Beberapa pasien timbul gangguan psikis seperti stres, depresi, cemas, putus asa, konflik ketergantungan, denial, frustasi, keinginan untuk bunuh diri, dan penurunan citra diri (Hudak & Galo, 1996). Selain itu, karena keterbatasan
Universitas Sumatera Utara
14
fisik yang dialaminya maka pasien pun akan mengalami perubahan peran dalam keluarga maupun peran sosial di masyarakat. Peran sosial lain yang berubah pada pasien penyakit ginjal kronik adalah perubahan pekerjaan. Pasien dengan keterbatasan fisik akan mengalami penurunan kemampuan kerja. Pasien dapat mengambil cuti atau kehilangan pekerjaannya. Hal ini akan menimbulkan permasalahan lain yaitu penurunan kualitas hidup pasien. Pasien penyakit ginjal kronik yang tidak mempunyai pekerjaan mempunyai penurunan skor yang sangat signifikan pada dimensi fungsi fisik, peran fisik, kesehatan umum, vitalitas, peran emosional dan peningkatan intensitas nyeri (Blake et al., 2000). d. Perubahan Ekonomi Perubahan ekonomi akibat dari penyakit ginjal dan dialisis tidak hanya terjadi pada individu dan keluarga pasien. Masalah ekonomi ini juga akan berakibat kepada perekonomian negara sebagai penanggung jawab atas penduduknya. Biaya dialisis yang mahal akan membuat pengeluaran di sektor kesehatan akan meningkat. Biaya perawatan yang mahal membuat pasien yang harus menjalani hemodialisis di negara berkembang sebagian besar meninggal atau berhenti melakukan dialisis setelah 3 bulan menjalani terapi (Shcieppati & Remuzzi, 2005). Di sisi lain kapasitas kerja dan fisik mereka mengalami penurunan yang sangat drastis sehingga terjadi penurunan penghasilan 2.1.4 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Suwitra, dalam Sudoyo et al., 2006). a. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya
Universitas Sumatera Utara
15
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan Laju Filtrat Glumerulus (LFG), sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Bila LFG sudah menurun sampai 20–30 % dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. b. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Kormobid Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien gagal ginjal kronik dimana hal ini untuk mengetahui kondisi kormobid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Kondisi kormobid antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. c. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal Faktor utama terjadinya perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus dan ini dapat dikurangi melalui dua cara yaitu: pembatasan asupan protein yang mulai dilakukan pada LFG ≤
60%ml/mnt,
sedangkan diatas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Selamnjutnya terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Selain itu sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. d. Pencegahan dan Terapi Penyakit Kardiovaskuler dan Komplikasi Hal-hal kardiovaskuler
yang adalah
termasuk
dalam
pengendalian
pencegahan diabetes,
dan
terapi
pengendalian
penyakit hipertensi,
pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
Universitas Sumatera Utara
16
e. Terapi Pengganti Ginjal Terapi pengganti ginjal meliputi dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan trasplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan pada saat ini adalah hemodialisis dimana jumlahnya terus bertambah. 2.2 Hemodialisis 2.2.1 Definisi Hemodialisis Hemodialisis adalah suatu proses terapi pengganti ginjal dengan menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal (Black, 2009; Ignatavicius, 2009). 2.2.2 Indikasi Hemodialisis Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyebutkan bahwa indikasi dilakukan tindakan dialisis adalah pasien gagal ginjal dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <15mL/menit, pasien dengan Tes Klirens Kreatinin (TKK)/LFG <10mL/menit dengan gejala uremia, atau TKK/LFG <5mL/menit walau tanpa gejala. Pada TKK/LFG <5mL/menit, fungsi ekskresi ginjal sudah minimal sehingga mengakibatkan akumulasi zat toksik dalam darah dan komplikasi yang membahayakan bila tidak dilakukan tindakan dialisis segera. Beberapa alasan utama dilakukannya hemodialisis pada pasien gagal ginjal adalah kondisi overload cairan yang tidak berespon terhadap pemberian diuretik, pasien menunjukkan tanda dan gejala terjadinya sindrom uremia dengan nilai ureum >50 dan kreatinin >1,5, terjadinya mual dan muntah, anorexia berat, LFG kurang dari 10 ml/menit
Universitas Sumatera Utara
17
per 1,73m² serta tanda dan gejala hiperkalemia (Smeltzer & Bare, 2008).
2.2.3
Peralatan Hemodialisis Peralatan hemodialisis meliputi mesin hemodialisis, Dialiser dan Dialisat.
a. Mesin Hemodialisis Mesin hemodialisis terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan dialisat dan sistem monitoring. Pompa dalam mesin hemodialisis berfungsi untuk mengalirkan darah dari tubuh ke dialiser dan mengembalikan kembali ke dalam tubuh (Thomas, 2003). Selain itu mesin hemodialisis juga dilengkapi detektor udara untuk mendeteksi adanya udara dalam vena. Mesin ini juga berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang penting untuk mencapai adekuasi hemodialisis. (Hudak & Gallo, 1999; Thomas, 2003). b.
Dialiser Dialiser adalah tempat dimana proses hemodialisis berlangsung, sehingga
terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Dialiser merupakan kunci utama proses hemodialisis, karena yang dilakukan oleh dialiser sebagian besar dikerjakan oleh ginjal yang normal. Dialiser terdiri dari 2 kompartemen yaitu dialisat dan darah, yang dipisahkan oleh membran semipermeabel yang mencegah cairan dialisat dan darah bercampur menjadi satu (Le Mone & Burke, 2008). Luas permukaan membran dan daya saring membran mempengaruhi jumlah zat dan air yang berpindah. Dialiser high efficiency adalah dialiser yang mempunyai luas
Universitas Sumatera Utara
18
permukaan membran yang besar, sedangkan high
flux
adalah
dialiser
yang
mempunyai pori-pori besar dan dapat melewatkan molekul yang besar, dan mempunyai permeabilitas tinggi terhadap air. Dialiser merupakan komponen penting yang merupakan unit fungsional dan memiliki fungsi seperti nefron ginjal. Berbentuk seperti tabung yang terdiri dari 2 ruang yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dipisahkan oleh membran semi permeabel. Di dalam dialiser cairan dan molekul dapat berpindah dengan cara difusi, osmosis, ultrafiltrasi, dan konveksi. Dialiser yang mempunyai permebilitas yang baik mempunyai kemampuan yang tinggi dalam membuang kelebihan cairan, sehingga akan menghasilkan bersihan yang lebih optimal (Smeltzer & Bare, 2008). c.
Dialisat Dialisat adalah cairan yang terdiri dari air dan elektrolit utama dari serum
normal yang dipompakan melewati dialiser ke darah pasien (Hudak & Gallo, 1999; Thomas, 2003). Komposisi cairan dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati komposisi ion darah normal dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit pada penyakit ginjal tahap akhir. Dialisat dibuat dalam sistem air bersih dengan air kran dan bahan kimia yang disaring dan diolah dengan water treatment secara bertahap. Larutan dialisat harus diatur pada suhu antara 36,7–37,5°C sebelum dialirkan ke dialiser. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah atau melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi (Hudak & Gallo, 1999; Sherman, 2001). Untuk mengalirkan dialisat menuju dan keluar dari dialiser memerlukan kecepatan aliran dialisat yang
Universitas Sumatera Utara
19
disebut Quick of Dialysate (Qd). Untuk mencapai hemodialisis yang adekuat Qd yang disarankan adalah 400-800mL/menit (Daugirdas, 2007).
2.2.4 Proses Hemodialisis Proses hemodialisis dimulai dengan pemasangan kanula inlet ke dalam pembuluh darah arteri dan kanula outlet ke dalam pembuluh darah vena, melalui fistula arteriovenosa (Cimino) yang telah dibuat melalui proses pembedahan. Sebelum darah sampai ke dialiser, diberikan injeksi heparin untuk mencegah terjadinya pembekuan darah. Darah akan tertarik oleh pompa darah (blood pump) melalui kanula inlet arteri ke dialiser dan akan mengisi kompartemen 1 (darah). Sedangkan cairan dialisat akan dialirkan oleh mesin dialisis untuk mengisi kompartemen (dialisat). Di dalam dialiser terdapat selaput membran semi permeabel yang memisahkan darah dari cairan dialisat yang komposisinya menyerupai cairan tubuh normal. Ada tiga prinsip yang mendasari kerja dari hemodialisa yaitu difusi, osmosis dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didalam darah dikeluarkan melaui proses difusi dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tinggi, kecairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Air yang berlebihan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan. Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Karena pasien tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan
Universitas Sumatera Utara
20
untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai isovolemia atau keseimbangan cairan. Sistem buffer tubuh dipertahankan dengan penambahan asetat yang akan berdifusi dari cairan dialisat ke dalam darah pasien dan mengalami metabolisme untuk membentuk bikarbonat. Setelah terjadi proses hemodialisis di dalam dialiser, maka darah akan dikembalikan ke dalam tubuh melalui kanula outlet vena. Sedangkan cairan dialisat yang telah berisi zat toksin yang tertarik dari darah pasien akan dibuang oleh mesin dialisis oleh cairan pembuang yang disebut ultrafiltrat. Semakin banyak zat toksik atau cairan tubuh yang dikeluarkan maka bersihan ureum yang dicapai selama hemodialisis akan semakin optimal. Efek terapeutik yang ingin dicapai dari proses hemodialisis yang dilakukan adalah membersihkan tubuh dari sisa metabolisme yang tidak dibutuhkan, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa serta mengembalikan fungsi ginjal yang diinginkan (Black & Hawks 2009). 2.2.5 Komplikasi Hemodialisis Terapi hemodialisis yang dilakukan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kelelahan fisik dan mental. Gangguan fisik yang sering dikeluhkan pasien penyakit ginjal stadium akhir yang mengikuti terapi dialisis adalah kelelahan, tidak tahan cuaca dingin, pruritus, kelemahan ekstremitas bawah, dan kesulitan tidur (Yong, Kwok, Wong, Chen and Tse, 2009). Sementara gangguan psikologis yang sering dialami pasien adalah depresi yaitu sekitar 20-30% terjadi pada pasien dialisis. Depresi dan kecemasan hal yang paling umum dirasakan oleh pasien dialisis hal ini dikarenakan gejala uremia seperti kelelahan, gangguan tidur, menurunnya nafsu makan dan gangguan kognitif. Penelitian Stefanovic & Avramovic, (2012) menunjukkan 50% dari pasien
Universitas Sumatera Utara
21
yang menjalani terapi dialisis mengalami depresi. Gejala depresi yang biasa ditunjukkan adalah rasa bersalah, putus asa, mudah marah, dan bunuh diri. Selain itu gangguan yang paling sering dialami pasien adalah dysfungsi seksual atau gangguan ereksi pada pasien pria. Hasil penelitian Santos, Frota, Junior, Cavalcanti, Vieira et al. (2012) dari total 58 pasien perempuan yang menjalani hemodialisa, 46 (79,3%) diketahui mengalami disfungsi seksual. Prevalensi disfungsi seksual di antara perempuan yang menjalani hemodialisa sangat tinggi , mencapai hampir 80%. Secara garis besar komplikasi yang terjadi pada pasien hemodialisis dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: komplikasi yang berhubungan dengan prosedur dialisis dan komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronik (Lewis et al., 2000). Komplikasi intradialisis yang berhubungan dengan prosedur dialisis adalah 1. Hipotensi Salah satu masalah yang sering terjadi selama dilakukan hemodialisis adalah hipotensi (intradialytic hypotension). Hipotensi intradialisis terjadi pada klien yang mengalami gangguan sistem kardiovaskuler, yang disebabkan oleh kelainan struktural jantung dan pembuluh darah. Hipotensi tidak hanya menyebabkan ketidaknyamanan, tetapi juga meningkatkan angka kematian (Sande et al., 2001). Pencegahan hipotensi intradialisis dapat dilakukan dengan cara melakukan pengkajian berat kering secara teratur, menghitung UFR secara tepat, mengatur suhu dialisat, menggunakan dialisat bikarbonat, monitoring tekanan darah selama proses hemodialisis (Kallenbach et al., 2005; Daugirdas, 2007).
Universitas Sumatera Utara
22
2. Mual dan muntah Mual dan muntah saat hemodialisis dapat dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu gangguan keseimbangan dialisis akibat ultrafiltrasi yang berlebihan, lamanya waktu hemodialisis, perubahan homeostasis, dan besarnya ultrafiltrasi (Thomas, 2003; Daugirdas, 2007). 3. Demam dan menggigil Selama prosedur HD perubahan suhu dialisat juga dapat meningkatkan atau menurunkan suhu tubuh. Suhu dialisat yang tinggi lebih dari 37.5°C bisa menyebabkan demam. Sedangkan suhu dialisat yang terlalu dingin kurang dari 34–35,5°C dapat menyebabkan gangguan kardiovaskuler, vasokontriksi dan menggigil (Pergola, Habiba & Johnson, 2004). 4. Headache (sakit kepala) Penyebab sakit kepala saat hemodialisis belum diketahui. Kecepatan UFR yang tinggi, penarikan cairan dan elektrolit yang besar, lamanya dialisis, tidak efektifnya dialisis, dan tingginya iltrafiltrasi juga dapat menyebabkan terjadinya headache intradialysis (Incekara et al., 2008). 5. Sindrom disequilibrium Sindrom Disequilibrium merupakan sekelompok gejala yang diduga terjadi karena adanya disfungsi serebral. Kumpulan gejala disfungsi serebral terdiri dari sakit kepala berat, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran sampai dengan koma. Sindrom disequilibrium saat hemodialisis terjadi akibat kondisi yang meningkatkan edema serebral, adanya lesi pusat saraf (stroke/trauma), tingginya kadar ureum pra HD, dan asidosis metabolik berat. Proses penarikan ureum yang
Universitas Sumatera Utara
23
terlalu cepat pada saat hemodialisis mengakibatkan plasma darah menjadi hipotonik. Akibatnya akan menurunkan tekanan osmotik, mengakibatkan pergeseran air kedalam sel otak sehingga terjadi edema serebral (Thomas, 2003).
6. Hemolisis Hemolisis adalah kerusakan atau pecahnya sel darah merah akibat pelepasan kalium intraselluler (Thomas, 2003). Hemolisis dapat terjadi akibat sumbatan akses selang darah dan sumbatan pada pompa darah, peningkatan tekanan negatif yang berlebihan karena pemakaian jarum yang kecil pada kondisi aliran darah yang tinggi, atau posisi jarum yang tidak tepat. Penyebab lain hemolisis adalah penggunaan dialisat hipotonik (Thomas, 2003 ; Kallenbach et al., 2005). Hemolisis masif akan meningkatkan risiko hiperkalemi, aritmia dan henti jantung (Thomas, 2003). 7. Kram otot Intradialytic muscle cramping, biasa terjadi pada ekstremitas bawah. Beberapa faktor resiko terjadinya kram diantaranya perubahan osmolaritas, ultrafiltrasi yang terlalu tinggi dan ketidakseimbangan kalium dan kalsium intra atau ekstra sel (Thomas, 2003; Kallenbach et al., 2005). 8. Emboli udara Udara dapat memasuki sirkulasi melalui selang darah yang rusak, kesalahan menyambung sirkuit, adanya lubang pada kontainer cairan intravena, kantong darah atau cairan normal salin yang kosong, atau perubahan letak jarum arteri (Kallenbach et al., 2005). Gejala yang berhubungan dengan terjadinya
Universitas Sumatera Utara
24
emboli udara adalah adanya sesak nafas, nafas pendek dan kemungkinan adanya nyeri dada (Daugirdas, 2007) . 9. Nyeri dada Terjadi akibat penurunan hematokrit dan perubahan volume darah karena penarikan cairan, perubahan volume darah menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah ke miokard dan mengakibatkan berkurangnya oksigen miokard. Nyeri dada juga bisa menyertai komplikasi emboli udara dan hemolisis (Kallenbach et al., 2005). Komplikasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal kronis, adalah: 1. Penyakit Jantung Penyakit jantung merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pasien yang menjalani hemodialisis. Penyakit jantung disebabkan karena gangguan fungsi dan struktur otot jantung, dan atau gangguan perfusi. Faktor risiko penyakit jantung yaitu: faktor hemodinamik, metabolik seperti kelebihan cairan,
garam
dan
retensi
air,
anemia,
hipertensi,
hipoalbuminemia,
ketidakseimbangan kalsium-fosfat, dislipidemia, kerusakan katabolisme asam amino, merokok dan diabetes mellitus (Parfrey & Lameire, 2000). 2. Anemia Penurunan kadar Hb pada pasien penyakit ginjal kronik terjadi akibat proses penyakit akibat menurunnya produksi eritropoetin ( EPO ) oleh ginjal, tubuh tidak mampu menyerap zat besi, dan kehilangan darah karena sebab lain. Pada pasien hemodialisis, anemia bisa bertambah berat karena hampir tidak mungkin semua darah pasien dapat kembali seluruhnya setelah menjalani hemodialisis.
Universitas Sumatera Utara
25
Sebagian sel darah merah tertinggal pada dialiser atau blood line meskipun jumlahnya tidak signifikan (Thomas, 2003). 3. Mual dan lelah Mual dan muntah juga masalah yang sering dialami oleh pasien yang menjalani hemodialisi, ada beberapa faktor yang menyebabkan klien merasa mual dan kelelahan (letargi) setelah menjalani hemodialisis. Beberapa penyebab timbulnya mual dan rasa lelah setelah hemodialisis yaitu: Hipotensi, kelebihan asupan cairan diantara dua terapi hemodialisis, problem terkait berat kering, obat hipertensi, anemia, penggunaan asetat pada hemodialisis. 4. Malnutrisi Malnutrisi terjadi khususnya kekurangan kalori dan protein, hal ini berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas pada klien HD kronik. Faktor penyebab terjadinya malnutrisi adalah karena meningkatnya kebutuhan protein dan energi, menurunnya pemasukan protein dan kalori, meningkatnya katabolisme dan menurunnya anabolisme. Juga disebabkan oleh metabolisme yang abnormal akibat hilangnya jaringan ginjal dan fungsi ginjal (Churawanno, 2005). 5. Gangguan kulit Sebagian besar klien HD mengalami perubahan atau gangguan pada kulit yaitu; gatal-gatal (pruritus), kulit kering (Xerosis) dan kulit belang (skin discoloration). Penyebab gatal-gatal pada kulit, bisa disebabkan oleh karena kulit yang kering, tingginya kadar kalsium, fosfat, hormon paratiroid dalam darah serta meningkatnya kadar histamin dalam kulit. Kulit belang (skin discoloration) banyak terjadi pada pasien HD. Salah satu penyebabnya adalah pigmen
Universitas Sumatera Utara
26
Urochrome, dimana pigmen ini pada ginjal sehat dapat dibuang, namun karena adanya kerusakan ginjal maka pigmen tertumpuk pada kulit, akibatnya kulit akan terlihat kuning kelabu (Thomas, 2003). Penyebab kulit belang lainnya adalah uremic frost yaitu semacam serbuk putih seperti lapisan garam pada permukaan kulit dimana hal ini merupakan tumpukan ureum yang keluar bersama keringat (Thomas, 2003; Black, 2005). 2.3 Penambahanan Berat Badan Interdialisis 2.3.1 Definisi Penambahan berat badan interdialisis adalah pertambahan berat badan pasien di antara dua waktu dialisis yang merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan, sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik (Arnold, 2008). Penambahan berat badan interdialisis biasanya berkaitan dengan kelebihan beban natrium dan air dan merupakan faktor penting terjadinya hipertensi arteri saat dialisis (Lopez-Gomez, 2005). 2.3.2 Klasifikasi Penambahan Berat Badan Interdialisis Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengurangi komplikasi akibat penyakit ginjal kronik berat badan interdialisis pasien tidak boleh lebih dari 3,54% berat badan kering (Lopez-Gomez, 2005), oleh karena itu kategori penambahan berat badan interialisis dibagi menjadi tiga kelompok yaitu ringan <3%, sedang 3-3.9%, dan berat >3.9%. 2.3.3 Cara Mengukur Penambahan Berat Badan Interdialisis Penambahan berat badan interdialisis merupakan indikator kepatuhan
Universitas Sumatera Utara
27
pasien terhadap pengaturan asupan cairan. Penambahan berat badan interdialisis diukur berdasarkan dry weight (berat badan kering) pasien dan juga dari pengukuran kondisi klinis pasien. Berat badan kering adalah berat badan tanpa kelebihan cairan yang terbentuk setelah tindakan hemodialisis atau berat badan terendah yang aman dicapai pasien setelah dilakukan dialisis tanpa adanya edema dan tekanan darah normal pada pasien penyakit ginjal tahap akhir, dan (tekanan sistolik antara 120–170 mmHg, tekanan diastolik antara 80–100 mmHg). (Kallenbach, 2005). Thomas (2003) menyatakan bahwa berat badan kering adalah berat dimana tidak ada eviden klinis edema, nafas yang pendek, peningkatan tekanan nadi leher atau hipertensi. Penentuan dry weight harus berdasarkan hasil pemeriksaan perawat, dokter, ahli diet dan keluhan pasien. Berat badan pasien harus diukur secara rutin sebelum dan sesudah hemodialisis, kemudian kelebihan cairan interdialisis dihitung berdasarkan berat badan kering setelah hemodialisis disertai dengan pengukuran kondisi klinis pasien (Arnold, 2008). Menurut Daugirdas, Blake dan Ing (2001 dalam Mitchell, 2002) berat badan kering tiap pasien dapat ditetapkan berdasarkan trial dan error dan idealnya dievaluasi tiap 2 minggu sekali Cara menghitung penambahan berat badan interdialisis adalah berat badan pasien ditimbang secara rutin sebelum dan sesudah hemodialisis. Berat badan pasien setelah (post) HD pada periode hemodialisis pertama ditimbang (pengukuran I). Periode hemodialisis kedua, berat badan pasien ditimbang kembali sebelum (pre) HD (pengukuran II), selanjutnya menghitung selisih antara pengukuran II dikurangi pengukuran I dibagi pengukuran I dikalikan 100%.
Universitas Sumatera Utara
28
Misalnya BB pasien post HD ke 1 adalah 54 kg, BB pasien pre HD ke 2 adalah 58kg, prosentase IDWG (58 -54) : 54 x 100% = 7,4 %. 2.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penambahan Berat Badan Interdialisis Beberapa faktor spesifik yang mempengaruhi penambahan berat badan diantara waktu dialisis antara lain faktor dari pasien itu sendiri dan juga kelurga serta ada beberapa faktor psikososial antara lain faktor demografi, masukan cairan, rasa haus, social support, self efficacy dan stress (Sonnier, 2000). 1. Faktor demografi Beberapa penelitian membuktikan bahwa faktor demografi dan psikososial berpengaruh terhadap peningkatan berat badan interdialisis dan mempegaruhi kemampuan pasien dalam mengontrol asupan natrium dan cairan (Abuelo, 1999). Yang termasuk kedalam faktor demografi ini adalah usia, jenis kelamin serta pendidikan pasien. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Linberg et al. (2009) mengatakan ciri-ciri pasien yang berhubungan dengan kelebihan cairan interdialisis adalah usia yang lebih muda, indeks massa tubuh yang lebih rendah, lebih lama menjalani HD. Usia mempengaruhi distribusi cairan tubuh seseorang, perubahan cairan terjadi secara normal seiring dengan perubahan perkembangan seseorang. Kelebihan cairan tubuh yang terjadi pada pasien juga sangat terkait dengan kepatuhan pasien hemodialisis itu sendiri. Jenis kelamin akan mempengaruhi cairan dan berat badan seseorang dimana wanita mempunyai air tubuh lebih sedikit karena lebih banyak mengandung lemak dibandingkan pria. Lemak tidak mengandung air, sehingga pasien yang gemuk memiliki proporsi air
Universitas Sumatera Utara
29
sedikit dibandingkan yang kurus. Pada pasien hemodialisis studi yang dilakukan oleh Locksey et al. (1999) menyatakan bahwa berat badan post dialisis pada pasien pria lebih banyak berkurang dari pada pasien perempuan. Pendidikan juga berpengaruh dalam terjadinya penambahan berat badan interdialisis, dimana pendidikan berkaitan dengan kepatuhan pasien dalam membatasi cairan. Abuelo (1998) menyatakan bahwa pasien yang berusia lanjut mengalami penurunan rasa haus sehingga asupan cairan pun menurun yang menyebabkan penambahan berat badan interdialisis pun tidak berat. 2. Asupan Cairan Asupan cairan sangat berperan penting dalam terjadinya penambahan berat badan interdialisi dimana asupan cairan yang berlebihan akan menyebabkan penambahan berat badan interdialisis yang tidak terkontrol. Membatasi asupan cairan 1 liter perhari adalah penting untuk mengurangi resiko kelebihan volume cairan antara perawatan dialisis (Abuelo, 1999). Pemahaman dan kemampuan pasien untuk mengatur pemasukan cairan yang mendekati kebutuhan cairan tubuh diperlukan untuk menghindari akibat kelebihan cairan. Asupan cairan harian yang dianjurkan pada pasien yang menjalani hemodialisis dalah dibatasi hanya sebanyak insensible water losses ditambah jumlah urin (Smeltzer & Bare, 2008). Banyak cairan yang dikonsumsi oleh pasien kadang kala bukan karena rasa haus tetapi untuk membantu pasien dalam menelan makanan atau menelan obat (Abuelo, 1999). 3. Rasa Haus Haus merupakan sensasi umum yang didasarkan pada gabungan aksi
Universitas Sumatera Utara
30
beberapa jenis sensor, beberapa didalam perifer dan lainnya pada sensor sistem saraf pusat (Schmidt & Thews, 1989). Respon normal seseorang terhadap haus adalah minum. Pada pasien penyakit ginjal kronik peningkatan kadar angiotensin II dapat menimbulkan rasa haus, akan tetapi pasien ini tidak boleh merespon secara normal terhadap haus yang mereka rasakan (Black & Hawks, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Giovanetti melaporkan bahwa rasa haus yang berlebihan dialami oleh 86% pasien, sebanyak 34% mengalami penambahan berat badan interdialitik sebanyak 4% dari berat badan kering. Pasien yang mengalami haus berat akan mengalami penambahan berat badan interdialisis sebanyak 4,1% atau sekitar 2,6Kg sangat berbeda dengan pasien yang mengalami rasa haus minimal hanya mengalami penambahan berat badan 3,1% atau sekitar 1,9Kg, sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Yamamoto et al. (1986) bahwa pasien yang mengalami haus berat rata-rata akan mengalami penambahan berat badan 5,3Kg dan pasien yang rasa hausnya minimal rata-rata akan mengalami penambahan berat badan 1,4Kg, penelitian tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan yang yang positif antara penambahan berat badan interdialisis dengan rasa haus (Mistiaen, 2001). 4. Faktor-Faktor Lain Banyak faktor yang berpengaruh terhadap penambahan berat badan interdialisis,
diantaranya
adalah
faktor
psikologis.
Beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa kondisi stres berat seperti perceraian terbukti berhubungan dengan penambahan berat badan interdialisis yang meningkat. Kondisi stres yang dijalani setiap hari akan menyebabkan ketidak patuhan dalam pembatasan asupan
Universitas Sumatera Utara
31
cairan sehingga penambahan berat badan meningkat (Abuelo, 1998). Faktor dukungan sosial dan keluarga juga terbukti mempengaruhi penambahan berat badan. Akibat hemodialisis yang dilakukan pada pasien penyakit ginjal kronik dapat menimbulkan stress sehingga dukungan keluarga dan sosial sangat dibutuhkan untuk pasien. Dukungan keluarga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan berhubungan dengan kepatuhan pasien untuk menjalankan terapi (Sonnier, 2000). Faktor lain yang mempengaruhi adalah Self Efficacy, yaitu kekuatan yang berasal dari seseorang yang bisa mengeluarkan energi positif melalui kognitif, motivasional, afektif dan proses seleksi. Self Efficacy dapat mempengaruhi rasa percaya diri pasien dalam menjalani terapinya (hemodialisis). Self Efficacy yang tinggi dibutuhkan untuk memunculkan motivasi dari dalam diri agar dapat mematuhi terapi dan pengendalian cairan dengan baik, sehingga dapat mencegah peningkatan berat badan interdialisis (Istanti, 2009). 2.3.5 Dampak Penambahan Berat Badan Interdialisis Penambahan berat badan interdialisis dapat menyebabkan komplikasi ke semua organ tubuh, kelebihan
cairan yang dialami oleh pasien sangat erat
kaitannya dengan morbiditas dan kematian (Linberg et al., 2009). Acute pulmonry edema adalah gejala yang paling sering terjadi pada pasien akibat penambahan berat badan sehingga menyebabkan pasien dirawat inap (Abuelo, 1998). Beberapa gejala yang menunjukkan adanya kelebihan cairan pada tubuh pasien: tekanan darah naik, peningkatan nadi dan frekuansi pernafasan, peningkatan vena sentral, dispnea, rales basah, batuk, edema, peningkatan berat badan yang berlebihan
Universitas Sumatera Utara
32
sejak dialisis terakhir (Hudak & Gallo, 1996). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa penambahan berat badan interdialisis yang berlebihan dapat menimbulkan komplikasi dan masalah bagi pasien diantaranya yaitu: hipertensi yang semakin berat, gangguan fungsi fisik, sesak nafas, edema pulmonal yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya kegawat daruratan hemodialisis, meningkatnya resiko, hipertropy ventrikuler dan gagal jantung (Welch et al., 2006). Dari semua dampak yang ditimbulkan penambahan berat badan interdialisis akan menyebabkan gangguan aktifitas fisik pasien, dan menghambat aktifitas sehari-hari. Secara psikologis juga berdampak negatif, keterbatasan yang dialami oleh pasien akan menyebabkan stress dan depresi diperparah dengan gangguan body image yang dialami pasien dan juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial pasien (Welch et al., 2006). Hal ini akan mempengaruhi dan dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Kualitas hidup yang buruk akan dapat meningkatkan angka morbility. 2.4 Kualitas Hidup 2.4.1 Definisi Kualitas Hidup Kualitas hidup merupakan sesuatu yang bersifat subyektifitas dan multidimensi. Subyektifitas mengandung arti bahwa kualitas hidup hanya dapat ditentukan dari sudut pandang pasien itu sendiri sedangkan multidimensi bermakna bahwa kualitas hidup dipandang dari seluruh aspek kehidupan seseorang secara holistik meliputi aspek biologis atau fisik, psikologis, sosiokultural dan spiritual (Panthee & Kritpracha, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Domain Kualitas Hidup Kualitas hidup menyangkut dimensi yang lebih luas termasuk kesehatan fisik, psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan tentang penyakit yang diderita dan lingkungan (WHO, 1997). Stigelman (2006) juga menyatakan bahwa kualitas hidup berhubungan dengan penyakit dan terapi yang dijalani. Ferrans (1996) mengatakan bahwa model konsep kualitas hidup secara umum dibagi menjadi empat domain yaitu domain kesehatan dan fungsinya, domain sosial dan ekonomi, domain psikologis/ spiritual, dan domain keluarga. Secara umum domain kualitas hidup dibagi menjadi empat yaitu: a. Domain kesehatan fisik Domain pertama dalam kualitas hidup adalah domain kesehatan fisik (WHO, 1997), sama halnya dengan yang dikemukakan oleh Ferrans (1996) domain pertama adalah domain kesehatan dan fungsinya. Domain ini mencakup beberapa elemen yaitu kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari, physical independence, ketergantungan pada obat-obatan atau bantuan medis, nyeri, energi (kelelahan), istirahat dan tidur dan kemampuan fisik untuk melakukan pekerjaan yang harus diselesaikan nya. Kesehatan fisik merupakan hal utama yang harus dinilai dalam mengevaluasi kualitas hidup individu (Hays et al., 1997). b. Domain Kesejahteraan Psikologis Domain ini menggambarkan bagaimana individu memandang dirinya sendiri terkait dengan kemampuan tubuh dan penampilannya. Domain ini juga menggambarkan tentang perasaan positif dan bagaimana individu menilai dirinya sendiri, serta kemampuan belajar, berpikir dan berkonsentrasi (WHO, 1997).
78 Universitas Sumatera Utara
79
c. Domain Hubungan Sosial dan Lingkungan Domain ini terkait dengan relasi personal, dukungan keluarga dan sosial yang diterima dan aktivitas seksual (WHO, 1997). Domain ini terkait dengan keadaan keuangan individu, menggambarkan tingkat keamanan individu yang dapat mempengaruhi kebebasannya dirinya, meliputi kepuasan dengan kehidupan, kebahagiaan secara umum, perawatan kesehatan yang diterima dan social care (Ferrans, 1996) d. Domain Spiritual Domain ini meliputi kepuasan dengan diri sendiri, tercapainya tujuan pribadi, kedamaian dalam pikiran, penampilan pribadi dan kepercayaan kepada Tuhan (Ferrans, 1996). Spiritualitas merupakan dimensi penting yang harus diperhatikan dalam penilaian kualitas hidup karena gangguan spiritualitas akan menyebabkan gangguan berat secara psikologis termasuk keinginan bunuh diri (Bele et al., 2012). Finkelstein, West, Gobin, & Wuerth (2007) juga mengatakan bahwa spiritualitas merupakan bagian yang sangat penting dinilai oleh peneliti untuk melihat kualitas hidup pasien, namun hanya sebagian kuisioner kualitas hidup yang mengkaji lebih dalam mengenai persepsi spiritualitas. Dalam penelitian ini, untuk melihat gambaran spiritualitas pada pasien penyakit ginjal kronik dilakukan wawancara terbuka terhadap beberapa pasien sebagai data tambahan dalam menilai kualitas hidup yang telah dinilai menggunakan kuisioner KDQOL 1,3. 2.4.3 Instrument untuk Mengukur Kualitas Hidup Instrumen yang digunakan untuk mengukur kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis pada penelitian ini adalah kuisioner
Universitas Sumatera Utara
80
Kidney Disease Quality of Life Short Form 1,3 (KDQOL-SF 1,3) yang merupakan pengembangan dari Short Form 36 (SF-36). Alat ukur ini merupakan alat ukur khusus yang digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik dan pasien yang menjalani dialisis (Hays et al., 1997). Kelebihan kuisioner ini adalah menilai kualitas hidup dari dua aspek yaitu spesifik penyakit tertentu (disease-specific) dan generik (generic instrument) yang sudah meliputi domain fisik, psikologis, sosial maupun lingkungan. Domain yang mencakup target untuk penyakit ginjal meliputi: gejala/permasalahan klinis yang dialami, efek dari penyakit ginjal, tingkat penderitaan oleh karena sakit ginjal, status pekerjaan, fungsi kognitif, kualitas interaksi social, fungsi seksual, kualitas tidur, dukungan sosial, kualitas pelayanan staf unit dialysis, dan kepuasan pasien. Sementara skala survei SF-36 yang bersifat generik mengukur fungsi fisik, peran fisik, persepsi rasa sakit, persepsi kesehatan umum, emosi, peran emosional, fungsi social, dan energi/kelelahan . Menurut Mc Dowell, (2006) kuisioner yang spesifik untuk penyakit tertentu biasanya berisikan pertanyaan-pertanyaan khusus yang sering terdapat pada penyakit tersebut, misalnya pasien penyakit ginjal diukur dengan Kidney Disease Quality of Life Short From (KDQOL SF), keuntungan alat pengukuran ini adalah dapat mendeteksi lebih tepat keluhan/hal khusus yang sangat berperan pada penyakit tertentu, misalnya kram otot, kulit kering, sesak nafas merupakan hal yang penting pada pasien penyakit ginjal maka hal tersebut tergambarkan pada pertanyaan kuisioner.
Universitas Sumatera Utara
81
Kelemahan kuisioner ini adalah tidak dapat digunakan pada penyakit lain dan kuisioner ini terdiri dari banyak pertanyaan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mengisinya. Selain itu kuisioner ini tidak menilai domain spiritualitas, sementara spiritualitas merupakan dimensi penting yang harus diperhatikan dalam penilaian kualitas hidup karena gangguan spiritualitas akan menyebabkan gangguan berat secara psikologis termasuk keinginan bunuh diri (Bele et al., 2012). Secara spesifik Hays et al. (1997) telah menentukan domain kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu mencakup 19 domain yaitu: 1. Gejala/masalah yang menyertai Gejala dan masalah yang menyertai pasien penyakit ginjal adalah masalah yang menyertai setelah didiagnosis sakit ginjal. Masalah yang menyertai ini antara lain : nyeri otot, nyeri dada, kram otot, kulit gatal-gatal, kulit kering, nafas pendek (sesak), pusing, penurunan nafsu makan, gangguan eliminasi, mati rasa pada tangan dan kaki, mual, permasalahan pada tempat penusukan, dan permasalahan pada tempat memasukkan kateter (pada dialisis peritoneal). 2. Efek Penyakit Ginjal Efek ini timbul sebagai konsekuensi akibat penyakit ginjal yang diderita dan sering menyusahkan pasien. Efek ini antara lain: pembatasan cairan, pembatasan diet, kemampuan bekerja disekitar rumah, kemampuan untuk melakukan perjalanan, ketergantungan terhadap petugas kesehatan, perasaan
Universitas Sumatera Utara
82
khawatir dan stres terhadap penyakit yang diderita, kehidupan seksual, dan penampilan. 3. Beban akibat Penyakit Ginjal Beban sebagai akibat penyakit ginjal sering kali dirasakan pasien. Beban akibat penyakit ini antara lain sejauh mana Penyakit ginjal yang diderita dirasakan sangat mengganggu kehidupan, banyaknya waktu yang dihabiskan, rasa frustasi terhadap penyakit, dan perasaan menjadi beban dalam keluarga. 4. Status Pekerjaan Indikator pada dimensi ini adalah apakah pasien masih aktif bekerja, dan apakah kondisi kesehatannya saat ini dapat menjaga pekerjaan pasien saat ini. 5. Fungsi Kognitif Pasien dengan penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis sering kali mengalami penurunan fungsi kognitif. Sering kali menjadi lambat dalam berkata atau melakuakn sesuatu, sulit untuk berkonsentrasi, dan bingung tanpa sebab. 6. Kualitas Interaksi Sosial Aspek ini mengukur bagaimana kualitas interaksi yang dilakukan pasien dalam melakukan hubungan dengan orang lain. Pada pasien dengan penyakit ginjal tidak jarang pasien mengasingkan diri dari orang lain, mudah tersinggung, dan mengalami kesulitan dalam bergaul dengan orang lain. 7. Fungsi Seksual Aspek ini termasuk intensitas, gairah dan menikmati hubungan seksual.
Universitas Sumatera Utara
83
8. Tidur Aspek ini mengukur bagaimana tidur pada pasien penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis. Aspek ini termasuk kualitas tidur dan kecukupan waktu tidur. 9. Dukungan yang diperoleh Aspek ini termasuk waktu yang tersedia bersama teman dan keluarga serta dukungan yang diterima oleh pasien dari keluarga dan teman. 10. Dorongan dari staf dialisis Aspek ini termasuk dorongan yang diberikan oleh staf dialisis untuk mandiri dan beradaptasi terhadap penyakit yang diderita serta rutinitas terapi yang harus dijalani. 11. Kepuasan pasien Aspek ini mengukur kepuasan pasien terhadap layanan dialisis yang mereka dapatkan. 12. Fungsi fisik Aspek ini mencakup kemampuan untuk beraktifitas seperti berjalan, menaiki tangga, membungkuk, mengangkat, gerak badan dan kemampuan aktifitas berat. 13. Keterbatasan akibat masalah fisik Aspek ini mencakup seberapa besar masalah fisik yang dialami pasien mengganggu pekerjaan dan aktifitas sehari-hari, seperti memperpendek waktu untuk bekerja atau beraktifitas, keterbatasan dan kesulitan dalam beraktifitas.
Universitas Sumatera Utara
84
14. Rasa nyeri yang dirasakan Aspek ini mencakup intensitas rasa nyeri dan pengaruhnya terhadap aktivitas normal baik didalam maupun di luar rumah. 15. Persepsi kondisi kesehatan secara umum Aspek ini mencakup pandangan pasien terhadap kondisi kesehatan sekarang, prediksi di masa yang akan datang, dan daya tahan terhadap penyakit. 16. Kesejahteraan emosional Aspek ini mencakup kesehatan mental secara umum, depresi, perasaan frustasi, kecemasan, kebiasaan mengontrol emosi, perasaan tenang dan bahagia. 17. Keterbatasan akibat masalah emosional Aspek ini mencakup bagaimana masalah emosional mengganggu pasien dalam beraktifitas sehari hari, seperti lebih tidak teliti dari sebelumnya. 18. Fungsi sosial Aspek ini mencakup keterbatasan berinteraksi sosial sebagai akibat dari maslah fisik dan emosional yang dialami. 19. Energi/ Kelelahan Aspek ini menggambarkan tingkat kelelahan, capek, lesu dan perasaan penuh semangat yang dialami pasien setiap waktu. 2.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor sosial demografi yang terdiri dari 1) jenis kelamin, dimana pasien perempuan cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan
Universitas Sumatera Utara
85
pasien berjenis kelamin laki-laki (Paraskevi, 2011; Kizilcik et al., 2012; Sathvik, 2008; Veerapan et al., 2012; Tel & Tel, 2011). 2) Usia, pasien yang berusia lanjut lebih cenderung mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dan cenderung lebih depresi (Paraskevi, 2011; Kizilcik et al., 2012; Veerapan et al., 2012). 3) Pendidikan, pasien berpendidikan rendah juga berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis (Paraskevi, 2011; Kizilcik et al., 2012; Pakpour et al., 2010). 4) Status pernikahan, pasien yang bercerai atau yang tidak mempunyai pasangan hidup cenderung nilai kesehatan fisik, sosial rendah dan rentan terhadap depresi (Paraskevi, 201; Tel & Tel, 2011). 5) Status pekerjaan atau status ekonomi pasien juga mempengaruhi kualitas hidup (Bele et al.,; Pakpour et al., 2010). Selain faktor sosial demografi ada beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 1) depresi, pasien yang mengalami depresi mempunyai kualitas hidup yang buruk dibandingkan dengan pasien yang tidak depresi (Son et al., 2009; Kizilcik et al., 2012). 2) Beratnya/ stage penyakit ginjal serta memiliki riwayat penyakit penyerta atau penyakit kronis juga mempengaruhi kualitas hidup (Bele et al., 2012; Pakpour et al, 2010; Cleary & Drennan, 2005; Ayoub & Hijjazi, 2013). 3) Lamanya menjalani hemodialisis, 4) tidak patuh terhadap pengobatan dan tidak teratur menjalani hemodialisis, 5) indeks masa tubuh yang tinggi (Pakpour et al, 2010). 6) Dukungan sosial dan dukungan keluarga, pasien yang mendapatkan dukungan sosial dan keluarga akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Rambod & Rafii, 2010; Tel & Tel, 2011; Thomas & Washington,
Universitas Sumatera Utara
86
2012). 7) Adekuasi hemodialisis, pasien yang memiliki adekuasi hemodialisis yang baik akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik juga (Cleary & Drennan, 2005), 8) interdialityc weight gain (IDWG), dan urine output, pasien yang memiliki kenaikan berat badan interdialisis lebih kecil akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik, sementara pasien yang memiliki volume urin yang lebih banyak akan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik, (Veerapan et al, 2012), dan yang terakhir 9) kadar hemoglobin, pasien yang mempunyai hemoglobin 11 g /dl dalam waktu 6-12 bulan akan memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Plantinga, Fink, Jaar, Huang, Wu, et al., 2007). 2.4.5 Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis Hasil penelitian menunjukkan pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya dan mengalami gangguan atau skor yang lebih rendah disebagian besar domain kualitas hidup (Cleary & Drennan, 2005; Sathvik et al., 2008; Bele et al., 2012; Yong et al, 2009; Pakpour et al., 2010; Ayoub & Hijjazi, 2013; Tel&Tel, 2011). Kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis dalam empat domain yaitu fisik, psikologis, sosial dan lingkungan juga lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang menjalani transplantasi ginjal (Sathvik et al, 2008). Pengukuran kualitas hidup dengan menggunakan kuisioner Kidney Disease Quality of Life SF 36 didapat bahwa nilai keterbatasan peran akibat gangguan fisik dan vitalitas mendapat skor yang paling rendah diantara aspek lainnya (Cleary & Drennan, 2005; Kizilcik et al., 2012; Pakpour et al., 2010). Pengukuran kualitas hidup menggunakan WHOQOL-BREF didapat skor paling
Universitas Sumatera Utara
87
rendah pada domain kesehatan fisik (Sathvik et al., 2008; Paraskevi, T., 2011), sedangkan pengukuran dengan Quality Of Life Index didapat domain kesehatan dan fungsinya dan domain sosioekonomi mempunyai skor yang paling rendah (Rambod & Rafii, 2010; Ayoub & Hijjazi, 2013). 2.4.6 Peran Perawat di Unit Hemodialisis Peran perawat secara umum adalah sebagai pemberi perawatan, membuat keputusan klinik, pelindung dan advokat, manejer kasus, rehabilitator, komunikator dan pendidik (Potter & Perry, 2005). Praktek keperawatan hemodialisis merupakan praktek keperawatan lanjut, yang dilakukan oleh perawat dialisis yang terdiri dari perawat praktisi dan perawat spesialis klinik dan memiliki sertifikat pelatihan dialisis (Headley & Wall, 2000). Kallenbach et al., (2005) menyebutkan bahwa perawat dialisis selain sebagai care provider/ clinician (pemberi asuhan keperawatan), educator, counselor, administrator, advocate dan researcher juga sebagai collaborator. Praktek keperawatan lanjut di unit hemodialisis lebih ditekankan pada pendekatan kolaborasi tim yang meliputi: Nefrologis, ahli gizi, pekerja sosial, psikolog/ psikiater, ahli bedah akses vaskuler, radiologis, perawat dialisis dan perawat spesialis klinik. Peran perawat dialisis di unit hemodialisis dalam melakukan praktek keperawatan lanjut pada pasien hemodialisis dapat mencegah terjadinya komplikasi yang berefek pada peningkatan kualitas hidup pasien hemodialisis (Headley & Wall, 2000). Peran perawat di unit hemodialisa antara lain:
Universitas Sumatera Utara
88
a. Pemberi Asuhan Keperawatan Peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan adalah untuk membantu menyelesaikan masalah dan mencegah terjadinya komplikasi. Pasien hemodialisis juga bersifat unik yang akan mempunyai keluhan yang berbeda-beda, baik masalah hematologi, nutrisi, endokrin, muskuloskeletal, dan respon imun yang abnormal. Perawat juga memberi asuhan secara holistik, meliputi upaya mengembalikan kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Perawat memberikan bantuan kepada pasien dan keluarga dalam menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut. Perawat hemodialisis diharapkan dapat memberikan masukan yang berharga dalam melakukan pengelolaan klien hemodialisis yang memiliki faktor risiko dan masalah penyakit yang ditemukan pada klien penyakit ginjal tahap akhir, seperti: diabetes millitus, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, hiperparatiroidisme sekunder dari anemia, hiperlipidemia. Sebagai pemberi asuhan keperawatan, seorang perawat di unit hemodialisis mampu mengelola semua aspek klinis klien hemodialisis, sehingga seorang perawat dialisis harus memiliki pemikiran kritis, pengetahuan yang maju dan terampil dalam memfasilitasi pelaksanaan pedoman praktek klinis, mampu melakukan perawatan diagnostik, dapat dilatih untuk melakukan prosedur invasif tertentu, mampu mempertahankan akses vaskuler dan pencegahan infeksi (Headley & Wall,2000). b. Manajer Kasus Peran sebagai manager kasus, dimana perawat mampu berperan mengkoordinasikan anggota tim kesehatan. Pada pasien penyakit ginjal kronik
Universitas Sumatera Utara
89
yang juga mengalami penyakit penyerta lain atau akibat lanjut dari penyakit ginjal kronis, sehingga penanganan pasien dilakukan secara tim, dimana perawat adalah sebagai manajer kasus mampu melakukan koordinasi dengan petugas kesehatan lainnya serta mengatur sumber yang tersedia. Perawat mampu mengkoordinasikan dan mendelegasikan tanggung jawab asuhan dan juga mengawasi tenaga kesehatan lainnya (Headley & Wall,2000). c. Educator Perawat pendidik (educator) harus mempunyai latar belakang pengalaman klinis, keahlian klinis dan pengetahuan teoritis. Peran Perawat pendidik dalam praktek keperawatan lanjut di unit hemodialisis mempunyai tanggung jawab terhadap staf dan pendidikan pasien. Pengetahuan terkait penyakit ginjal kronik merupakan hal yang penting. Banyak klien tidak mendapatkan informasi tentang pemahaman akses dialisis, bagaimana mempertahankan dan perawatan akses vaskuler, pengobatan dan perubahan pola makan. Sebagai perawat pendidik, juga dapat melakukan diskusi bersama pasien dan keluarga tentang transplantasi. Perawat spesialis klinik juga bertanggung jawab terhadap pendidikan staf termasuk dalam mengintegrasikan hasil penelitian klinis dalam praktek klinis, mengevaluasi kesesuaian sumber daya pendidikan yang tersedia bagi pasien dan staf merupakan aspek penting dari peran perawat spesialis
sebagai pendidik
(Berger et al., 1996 dalam Headley & Wall, 2000). Peran perawat sebagai penyuluh/ pemberi pendidikan kesehatan juga terkait dengan menjelaskan kepada pasien konsep tentang penyakit ginjal tahap akhir terkait dengan prosedur hemodialisis, diet makanan, pengaturan cairan,
Universitas Sumatera Utara
90
asupan garam dan elektrolit. Perawat menilai kebutuhan pasien dan membantu memenuhi kebutuhan pasien dengan melibatkan keluarga. Memberikan edukasi dan dukungan psikologis terhadap pasien dan keluarga dalam mengelola pasien penyakit ginjal kronik pra dialisis, mempersiapkan terapi pengganti sebaik mungkin. Mengevaluasi apakah klien mengerti dengan penjelasan perawat dan mengevaluasi kemampuan pembelajaran. d. Konsultan Perawat sebagai konsultan memberikan dukungan dan bimbingan untuk pasien, rekan kerja dan rekan subspesialisasi. Seorang ahli bedah vaskuler dapat melakukan konsultasi kepada perawat spesialis klinik tentang kemampuan pasien dalam melakukan perawatan akses vaskuler, menentukan pematangan akses vaskuler dan kemungkinan keberhasilan kanulasi kateter (Headley & Wall, 2000). e. Advokat Peran
perawat
sebagai
advokat,
dimana
perawat
membantu
mempertahankan lingkungan yang aman bagi pasien dan mencegah terjadinya kecelakaan, melindungi pasien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan. Pada pasien hemodialisis peran perawat sebagai advokat, misalnya melindungi pasien agar tidak terjadi infeksi pada akses vaskuler, emboli dan perdarahan. f. Peneliti Di unit hemodialisis perawat spesialis klinik terlibat dalam penelitian sebagai peneliti utama. Pemanfaatan hasil penelitian menunjukkan perlunya adanya perubahan kebijakan, prosedur atau peralatan untuk memastikan
Universitas Sumatera Utara
91
perbaikan kualitas secara terus menerus. Penelitian harus dilakukan oleh perawat spesialis terutama dalam menunjukkan efektifitas dalam praktek keperawatan hemodialisis (Headley & Wall, 2000). Berdasarkan uraian tentang peran perawat hemodialisi dapat disimpulkan bahwa peran perawat harus terintegrasi dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien hemodialisis. Dengan terintegrasinya peran tersebut, maka dapat mencegah terjadinya komplikasi, mengurangi biaya perawatan pasien dan dapat membantu pasien dalam meningkatkan kualitas hidupnya (Headley & Wall, 2000). 2.5 Landasan Teori Model yang paling komprehensif yang digunakan dalam perawatan pasien adalah dengan mengaplikasikan bio-psycho-sosial-spiritual model (Dossey, 2005). Manusia atau individu adalah satu kesatuan yang utuh dari bio (fisik/ raga/tubuh), psiko (jiwa), sosio (hubungan dengan orang lain) dan spiritual (keyakinan/ religius). Manusia atau individu tidak bisa dipandang sebagai bagian atau per sistem yang dapat dipisah-pisahkan, antara bio–psiko–sosio–spiritual saling mempengaruhi, dimana jika salah satu sistem yang terganggu akan mempengaruhi atau mengganggu sistem yang lainnya (DeLoune & Ladner, 2011). Teori holistic nursing merupakan konsep yang paling lengkap dan praktis digunakan dalam praktek keperawatan profesional (Dossey, 2005). Pasien yang menjalani terapi hemodialisa akan tergantung kepada terapi tersebut selama hidupnya sebelum menemukan donor ginjal yang tepat. Konsep holistic nursing yang memandang manusia sebagai makhluk yang utuh dan terdiri dari biologis, psikologis, sosial dan spiritual adalah konsep yang paling tepat
Universitas Sumatera Utara
92
untuk mendasari perawatan pasien hemodialisa dalam meningkatkan kualitas hidupnya. 2.5.1 Keperawatan Holistik Model holistik mengatakan bahwa semua penyakit yang memiliki komponen psikosomatik, dan biologis, faktor psikologis, sosial, dan spiritual selalu berkontribusi untuk gejala- gejala penyakit pasien. Dimensi spiritual dalam model bio-psycho-sosial-spiritual menggabungkan spiritual dalam konteks yang lebih luas yaitu nilai-nilai, makna dan tujuan hidup. Setiap komponen dari model bio-psycho-sosial-spiritual saling tergantung dan saling terkait. Hal ini diperlukan untuk mengatasi semua komponen untuk mencapai hasil terapi yang optimal. Terlepas dari penyakit yang diderita, teknologi yang dikembangkan, atau terapi yang digunakan, model bio-psiko-sosial-spiritual menyediakan petunjuk secara keseluruhan dalam merawat pasien (Dossey, 2005). Secara biologi dan fisiologi, manusia merupakan suatu kesatuan dari unsur terkecil yakni sel, dimana sekumpulan sel akan membentuk jaringan, sekumpulan jaringan akan membentuk organ, organ yang memiliki fungsi sama akan membentuk sistem organ, sekumpulan sistem organ akan membentuk individu. Fokus dari dimensi ini adalah kebutuhan dasar manusia yaitu oksigen, sirkulasi, istirahat dan tidur, nutrisi dan eliminasi (DeLoune & Ladner, 2011). Secara psikologi, manusia memiliki stuktur kepribadian, bertingkah laku atau berprilaku sebagai manifestasi kejiwaan, mempunyai daya pikir dan kecerdasan dan mempunyai kebutuhan psikologik agar pribadi dapat berkembang. Fokus dari dimensi ini adalah keinginan untuk merasa nyaman, dan meningkatkan
Universitas Sumatera Utara
93
self-esteem (DeLoune & Ladner, 2011). Secara sosial, manusia perlu hidup bersama, berhubungan dan saling kerja sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidupnya. Secara spiritual, manusia mempunyai keyakinan atau mengakui adanya Tuhan, memiliki pandangan hidup, motif atau dorongan hidup yang sejalan dengan sifat–sifat religius yang dianutnya.
Biologi
Psikologi
Manusia Spiritual
Sosiologi
Gambar 2.1 the Bio-Psycho-Social-Spiritual Model (Dossey, 2005) 2.5.2 Elemen Spiritual a. Keterhubungan dengan Sumber Suci atau Tuhan Sumber suci mungkin dijelaskan sebagai orang, kehadiran, atau sebagai sebuah misteri yang melampaui kata-kata. Ketidakcukupan bahasa sangat jelas ketika kita mencoba untuk mendiskusikan atau menggambarkan apa yang ada di dalam dan antara kita, namun di luar dan kekuatan yang lebih besar dari kita. Menghubungkan dengan sumber suci bisa melibatkan hal-hal seperti doa, ritual, rekonsiliasi, dan ketenangan. Ajaran dari tradisi keagamaan menawarkan berbagai perspektif mereka sendiri dan pedoman bagaimana cara berhubungan ddengan sumber suci. Memahami bagaimana orang mencari dan merasakan hubungan
Universitas Sumatera Utara
94
dengan sumber suci dan hambatan yang mungkin mereka hadapi adalah penting dalam memberikan perawatan spiritual (Dossey, 2005). b. Keterhubungan dengan Alam Spiritualitas
sering
diungkapkan
pada
pengalaman
melaui
rasa
keterhubungan dengan alam, lingkungan, dan alam semesta. Hewan, burung, ikan dan makhluk lainnya dibumi yang memberikan makna dan suka cita bagi orangorang bagi segala usia. Banyak orang mengalami rasa hubungan dengan sumber suci melalui alam, terlepas dari latar belakang agama mereka. Orang sering mengekspresikan perasaan tertentu kedekatan dengan spiritual diri mereka saat berjalan dipantai, duduk didekat pohon kesukaan mereka, melihat matahari terbenam, mendengarkan air yang mengalir, melihat api, dan merawat tanaman, dan sebaliknya mengalami tatanan alam. Alam bisa menjadi sumber kekuatan, inspirasi dan kenyamanan, yang semuanya adalah atribut dari spiritualitas (Dossey, 2005). c. Keterhubungan dengan Orang Lain Spiritualitas diketahui dan dialami dengan adanya hubungan, dengan kenyamanan, hubungan, konflik dan perselisihan yang menandai hubungan tersebut. Ssebagian orang mengekspresikan dan mengalami spiritualitas melalui apresiasi dan ikatan yang sama dengan seluruh umat manusia, dan hubungan khusus mereka dengan orang lain. Orang sering berbicara tentang spiritualitas dalam hal hubungan mereka, baik harmonis maupun tidak harmonis, pembentukan, bekerja, memelihara, dan perbaikan hubungan, adalah bagian penting bagi spiritualitas seseorang. Berada dengan orang lain dengan cara
Universitas Sumatera Utara
95
mencintai dan mendukung adalah sebuah ekspresi dari spiritualitas, seperti berjuang dengan hubungan yang menyakitkan dan sulit dengan keluarga, teman dan kenalan. Hubungan yang memerlukan penyembuhan adalah hal yang penting untuk spiritualitas, seperti hal nya orang-orang yang memberikan dukungan dan kenyamanan. Keterhubungan Spiritual dengan orang lain baik dalam hal memberi dan keterbukaan untuk menerima cinta, hidup dan sumber suci adalah sikap spiritual. Spiritualitas dapat terlihat dalam kehidupan sehari-hari dan saat-saat khusus bersama dengan orang lain, saat suka cita, kesedihan, ritual, seksual, doa, bermain, semnagat, kemarahan, perdamaian, dan kepedulian (Dossey, 2005). d. Keterhubungan dengan Diri Sendiri Spiritualitas menanamkan kesadaran yang terus menerus, kemampuan untuk berada dalam kesadaran yang mengalir dari jiwa, kesadaran untuk membuka pengalaman hidup disaat ini, hadir untuk tubuh/jiwa/pikiran mereka sendiri, dan memungkinkan mereka untuk menerima semua aspek dari diri mereka sendiri tanpa penghakiman (Dossey, 2005).
Universitas Sumatera Utara
96
2.6 Kerangka Konsep Berdasarkan kajian teoritis seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka berikut ini dikemukakan kerangka konsep penelitian yang berfungsi sebagai penuntun, alur pikir dan sekaligus sebagai dasar dalam merumuskan hipotesis.
Penambahan Berat Badan Interdialisis
Kualitas Hidup Pasien Hemodialisis
Psikologi
Biologi Manusia
- Domain fisik - Domain psikologis - Domain sosial - Domain spiritualitas
Hubungan dengan Tuhan, alam, orang lain dan dengan diri sendiri (wawancara terbuka )
Sosiologi
Spiritual
- Gejala/masalah yang menyertai - Efek penyakit ginjal - Beban akibat penyakit ginjal - Status pekerjaan - Fungsi kognitif - Kualitas interaksi sosial - Fungsi seksual - Tidur - Dukungan yang diperoleh - Dukungan dari staf dialisis - Kepuasan pasien - Fungsi fisik - Keterbatasan akibat masalah fisik - Rasa nyeri yang dirasakan - Persepsi kesehatan secara umum - Kesejahteraan emosional - Keterbatasan akibat masalah emosional - Fungsi sosial - Energi/kelelahan (kuisioner KDQOL 1,3)
Dossey, (2005) Skema 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara