BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tekanan Darah 2.1.1 Defenisi Tekanan Darah Tekanan darah adalah gaya yang di berikan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding kapiler, dan di ukur dalam milli meter air raksa, (mmHg) (Guytog & Hall, 2000). Darah dipompa keseluruh tubuh oleh jantung di mana jantung menggunakan sistem pembuluh darah yang luas untuk memastikan darah menjangkau dari ujung kepala hingga ke ujung jari kaki. Darah mengalir keseluruh tubuh melalui pembuluh arteri dan vena. Tekanan darah adalah tekanan yang di desakkan dengan mensirkulasikan darah pada dinding pembuluh darah, dan merupakan salah satu tanda-tanda vital yang prinsipil (Ramadhan, 2010). 2.1.2 MekanismeTerjadinya Tekanan Organ-organ yang ada dalam tubuh mengisi kembali nutrisi dan mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme dari darah menerima persentase curahan jantung yang lebih besar dari pada yang di perlukan untuk menenuhi kebutuhan metabolik. Darah tersebut mengalir dalam lengkung tertutup antara jantung dan jaringan. Arteri mengangkut darah dari jantung keseluruh tubuh dan vena mengembalikan darah dari jaringan kembali ke jantung. Dimana laju aliran darah melaluisebuah pembuluh berbanding lurus dengan gradien dan berbanding terbalik dengan resistensi. Hal ini menyatakan pentingnya tekanan darah yang stabil agar darah dapat mencapai tujuan (Sherwood, 2001).
7
8
Menurut Hayens (2003), tekanan darah timbul ketika bersirkulasi didalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah berperan penting dalam proses ini dimana jantung sebagai pompa maskular yang mempunyai tekanan untuk menggerakkan darah, dan pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan yang kuat. Sedangkan menurut Sherwood (2001), tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan di sebut tekanan sistolik. Tekanan darah terjadi karena ada dua kekuatan, satu kekuatan di ciptakan oleh jantung ketika ia memompa darah menuju pembuluh arteri dan melalui sistem sirkulatori. Sedangkan kekuatan yang lain adalah kekuatan pembuluh arteri ketika mereka mendesak darah mengalir ke jantung (Ramadhan, 2010). Sedangkan menurut Ganong (2008), darah akan selalu mengalir karena adanya tekanan. Tekanan itu berasal dari daerah bertekanan tinggi kedaerah bertekanan rendah, kecuali pada situasi tertentu. Tekanan darah yang paling lazim dikenal dan dijadikan barometer adalah tekanan arteri. Tekanan di aorta dan di arteri brakialis serta arteri besar lainnya pada orang dewasa muda meningkat ke nilai puncak (tekanan sistolik) selama tiap siklus jantung dan turun kenilai normal (tekanan diastolik) (Ganong, 2008). Sedangkan menurut Sherwood (2001), Tekanan sitolik adalah tekanan puncak yang ditimbulkan oleh darah yang di semprotkan pada pembuluh selama sistol jantung dan tekanan diastolik adalah tekanan minimum di arteri sewaktu darah mengalir keluar untuk memasuki pembuluh-pembuluh di sebelah hilir selama diastol jantung. Tekanan arteri secara konversional di tulis sebagai tekanan
9
sistolik di atas tekanan diastolik. Tekanan diastolik pada dewasa muda berkisar 120 mmHg dan diastolik 70 mmHg, maka tekanan arteri biasanya di tulis 120/70 mmHg (Ganong, 2008). Pada tahun 1970-an The American Heart Association membentuk suatu organisasi yang disebut The Joint National Committee on the Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure yang tugasnya seperti namanya tersebut. Organisasi ini sering di sebut JNC. Pengumuman pertama JNC ini di keluarkan pada tahun 1977. JNC tidak hanya memuat mengenai tata cara pengobatan hipertensi tetapi juga memuat tata cara pengukuran tekanan darah, diagnosis, klasifikasi hipertensi serta berbagai golongan dan jenis obat yang actual dan akhir akhir ini mengenai stratifikasi faktor resiko sehingga menjadi panduan bukan hanya dalam menurunkan tekanan darah, akan tetapi juga member arahan pemberian terapi secara komprehensif, termasuk perubahan gaya hidup. JNC-2 dilaporkan tahun 1980, JNC-3 tahun 1984, JNC-4 tahun 1988, JNC-5 tahun 1993, JNC-6 tahun 1997 dan JNC-7 tahun 2003. Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-7 Kategori
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
<120
< 80
Pre-hipertensi
120 – 139
0 -89
Hipertensi stage 1
140 – 159
90 – 99
Hipertensi stage 2
≥ 160
≥ 100
Normal
10
2.1.3 Faktor-FaktorYangMempengaruhi Tekanan Darah Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan darah. Pertama, seberapa cepat jantung bergerak, pada umumnya ketika jantung berdetak maka tekanan darah pun akan meningkat. Ketika detak jantung menurun, makanya tekanan darah pun akan menurun. Bukan hanya tekanan darah yang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, detak jantung juga di pengaruhi oleh beberapa hal termasuk sistem saraf, hormon, suhu tubuh, medikasi dan penyakit. Hal kedua yang dapat mempengaruhi tekanan darah jumlah volume cairan (darah) yang dipompa jantung pada setiap detaknya (stroke volume). Ketika kita sedang beristirahat, volume gerakannya sama dengan jumlah darah yang dibawa pembuluh vena kembali ke jantung, Tetapi, bila di bawah kondisi yang menegangkan, sistem saraf bisa meningkatkan Stroke volume dengan membuat pompa jantung menjadi lebih keras. Jumlah darah yang di pompa melalui tubuh di kenal dengan istilah Cardiac output, dimana cardiacoutput didefenisikan sebagai jumlah darah yang dipompa keluar dari ventrikel jantung per menitnya. Hubungan cardiac output, stroke volume dan detak jantung dapat di lihat dengan rumus sebagai berikut :
Cardiac output = heart rate x stroke volume
Hal ketiga yang dapat mempengaruhi tekanan darah adalah seberapa sulit darah untuk mengalir ke seluruh tubuh. Hal ini bisa disebut sebagai resistensi perifer total, dimana terkait pada kaliber atau lebat dari pembulu arteri itu sendiri.
11
Peredaran darah dalam pembuluh-pembuluh yang lebih sempit menghadapi lebih banyak resistensi dari pada peredaran darah melalui pembuluh darah yang lebih besar. Dimana kemampuan pembuluh darah dalam mengatur lebar pembuluh darah disebut dengan resistensi peripheral. Resistensi terhadap aliran darah dalam sirkulasi sering terjadi dalam pembuluh arteri berdiameter kecil yang disebut dengan arteriola. Arteriola inilah yang sangat penting dalam proses mengatur tekanan darah. Hal ini terjadi karena arteriola-arteriola ini otot halus yang khusus dalam dindingnya yang bisa berkontraksi atau tidak berkontriksi, yang membuat pembuluh darah bisa menjadi lebih lebar atau lebih sempit (Rahmadhan, 2010). Selain faktor diatas, ada beberapa macam yang dapat menyebabkan perubahan tekanan darah. Berikut ini ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan tekanan darah: A. Ras Data dari Thierd National hearth and Nutriti survey ( NHANES III, 19881991) menunjukkan bahwa orang dengan ras kulit hitam cenderung memiliki tekanan darah tinggi dibandingkan dengan yang berkulit putih. Diantara orang berusia 18 tahun keatas, perbandingan jumlah penderita hipertensinya adalah 32,4% berkulit hitam dan 23,3% berkulit putih (Sheps, 2005). B. Faktor keluarga Mereka yang anggota keluarganya mempunyai sejarah tekanan darah tinggi, penyakit kardiovaskuler atau dibetes, biasanya penyakit itu juga akan menurun ke pada anak-anaknya. Dugaan ini dengan sendirinya hendak membuktikan bahwa
12
faktor genetik dapat menjadi faktor yang mempengaruhi tekanan darah (Rusdi & Isnawati, 2009). 1. Umur Sering bertambahnya usia maka resiko untuk menderita penyakit hipertensi juga semakin meningkat. Meskipun penyakit hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun paling sering di jumpai pada orang berusia 35 tahun ke atas. Diantara orang Amerika baik yang berkulit hitam maupun berkulit putih yang berusia 65 tahun keatas, setengahnya menderita penyakit hipertensi (Sheps, 2005). Sementara itu menurut Muhammadun AS (2010) bahwa sejalan dengan bertambahnya usia, hampir setiap orang mengalami kenaikan tekanan darah, tekanan darah sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan darah diastoliknya sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun secara drastis. 2. Jenis kelamin Pada pria umumnya lebih banyak memiliki tekanan darah lebih tinggi dari pada perempuan (Muhammadun AS, 2010). Tetapi bagi wanita yang telah mengalami monopause lebih bervariasi tekanan darahnya. Para pakar menduga perubahan hormon berperan besar dalam perubahan tekanan darah di kalangan wanita usia lanjut ( Muhammadun AS, 2010). Selain itu, Viskositas darah juga dapat juga mempengaruhi tekanan darah seseorang. Tahanan yang diberikan oleh arteriole dari ukuran tertentu bergantung pada viskositas darah. Darah yang merupakancairan kental, lengket, yang memberikan tekanan dua sampai tiga kali lebih besar dari pada air biasa atau
13
larutan garam. Viskositas darah bergantung pada plasma dan sebagaimana pada jumlah sel darah merah yang ada. Viskositas darah biasanya konstan, tetapi merupakan cairan kental. Pengurangan dalam jumlah sel darah merah yang beredar sedikit berpengaruh pada viskositas, akan tetapi akan meningkat pada polisetemia. Viskositas darah yang rendah akan berhubungan dengan tekanan darahrendah dan darah berviskositas tinggi dengan tekanan darah tinggi (Green, 2008). 2.1.4 Pengaturan Tekanan Darah Selain ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah, ada juga pengetahuaan tekanan darah dapat mempertahankan kestabilannya. Pengaturan jangka pendek tekanan darah dilakukan terutama oleh refleks baroreseptor. Baroreseptor sinus karotikus dan lengkung aorta secara terus menerus memantau tekanan arteri rata-rata. Jika keduanya mendeteksi adanya penyimpangan dari normal, keduanya memberi sinyal pusat kardiovaskuler medulla, yang berespon dengan menyesuaikan keluaran otonom ke jantung dan pembuluh darah untuk memulihkan tekanan darah ketingkat normal. Sedangkan kontrol jangka panjang tekanan darah melibatkan pemeliharaan volume plasma yang sesuai melalui kontrol keseimbangan garam dan air oleh ginjal (Smeltzer, 2001). Pengaturan keseimbangan yang ada di ginjal di pengaruhi hormon renin angiotensin-aldosteron system (RAAS) dikarenakan hormon ini bekerja di ginjal. Oleh karena itu, ginjal memainkan peranan penting dalam perubahan jangka panjang pada tekanan darah. Hormon-hormon tersebut bereaksi di ginjal untuk
14
mengkontrol jumlah sodium dan air yang di keluarkan. Jika terlalu banyak air atau sodium yang tinggal di ginjal, jumlah cairan dalam darah yang disebut dengan volume darah akan meningkat. Hal ini juga berlaku sebaliknya, jika jumlah cairan yang tinggal di ginjal sedikit maka volume darah akan menurun dan mengakibatkan penurunan tekanan darah. Hal ini dapat terjadi jika ginjal sudah mengalami kerusakan (Ramadhan, 2010). 2.1.5 Mengukur Tekanan Darah Untuk mengukur tekanan darah maka perlu dilakukan pengukuran tekanan darah secara rutin. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada metode langsung, kateter arteri di masukkan ke dalam arteri. Walaupun hasilnya sangat tepat, akan tetapi metode pengukuran ini sangat berbahaya dan dapat menimbulkan masalah kesehatan lain (Smeltzer & Bare, 2001). Menurut Nursecerdes (2009), Bahaya yang di timbulkan saat pemasangan kateter arteri yaitu nyeri inflamasi pada lokasi penusukkan, bekuaan darah karena tertekuknya kateter, perdarahan ekimosis bila jarum lepas dan tromboplebitis. Sedangkan pengukuran tidak
langsung
dapat
di lakukan dengan
menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop. Sphygmomanometer tersusun atas manset yang dapat di kembangkan dan alat pengukuran tekanan darah yang berhubungan dengan ringga dalam manset. Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang terbaca pada manometer sesuai dengan tekanan dalam milimeter air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis (Smeltzer & Bare, 2001).
15
Adapun cara pengukuran tekanan darah dimulai dengan membalutkan manset dengan kencang dan lembut pada lengan atas dan di kembangkan dengan pompa.
Tekanan dalam
manset
dinaikkan
sampai denyut
radial atau
brakialmenghilang.Hilangnya denyutan menunjukkan bahwa tekanan sistolik dalam darah dilampaui dan atreri brakialis telah tertutup. Manset dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 mmHg diatas titik hilangnya denyut radial.Kemudian manset dikempeskan perlahan, dan dilakukan pembacaan secara auskultasi maupun palpasi. Dengan palpasi kita hanya dapatmengukur tekanan sistolik. Sedangkan dengan auskultasi kita dapat mengukurtekanan sistolik dan diastolik dengan lebih akurat (Smeltzer & Bare, 2001). Untuk mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, dapat di bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik dimana arteri brakialis muncul diantara kedua kaput ototbiseps. Manset dikempiskan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg perdetik, sementara kita mendengarkan awitan bunyi berdetak, yang menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyikan tersebut dikenal sebagai bunyi korotkof yang terjadi bersama dengan detak jantung,dan akan terus terdengar dari arteri brakialis sampai tekanan dalam manset turun dibawah tekanan diastolik dan pada titik tersebut, bunyi akan menghilang (Smeltzer & Bare, 2001). 2.2 Gagal Ginjal Kronik 2.2.1 Pengertian Gagal Ginjal Kronik Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan
16
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006). Menurut Nursalam (2006), gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah) (Smeltzer dan Bare, 1997 dalam Suharyanto dan Madjid, 2009). Menurut Brunner & Suddarth (2002), gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel
dimana
kemampuan
tubuh
gagal
untuk
mempertahankan
metabolismedan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal kronis menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of National Kidney Foundation (NKF) pada tahun 2009 adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih tiga bulandengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men/1,73 m(Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2003).
17
2.2.2 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi tiga stadium (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu : a.
Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.
b.
Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal. Pada stadium ini dimana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak. GFR besarnya 25% dari normal. Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia atau sering berkemih di malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.
c.
Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremiaSekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal. Kreatinin serum dan BUN akan meningkatdengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh, yaitu: oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom uremik. Menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) (dalam Desita,
2010), gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikanberdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke waktu sebagai berikut: a. Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 ml/min/1,73 m2)
18
b. Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2) c. Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2) d. Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2) e. Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2) Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tandatandakerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal (Arora, 2009 dalam Desita, 2010). 2.2.3 Etiologi Gagal Ginjal Kronik Etiologi dari gagal ginjal kronik adalah glomerulonefritik, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati, diabetik, serta penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi, gout, dan penyebab yang tidak diketahui. Menurut (Price, 1995), penyebab GGK adalah: a. Infeksi seperti pielonefritis kronik. b. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis. c. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis. d. Gangguan kongenital dan herediter seperti penyakit polikistik ginjal, dan asidosis tubulus. e. Penyakit metabolik seperti diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme, dan amiloidosis. f. Penyakit ginjal obstruktif seperti pembesaran prostat, batu saluran kemih, dan refluks ureter.
19
Walaubagaimanapun, penyebab utama GGK adalah diabetes dan tekanan darah yang tinggi. Diabetes terjadi apabila kadar gula darah melebihi batas normal, menyebabkan kerusakan organ-organ vital tubuh seperti jantung dan ginjal, serta pembuluh darah, syaraf dan mata. Tekanan darah yang tinggi atau hipertensi, terjadi apabila tekanan darah pada pembuluh darah meningkat dan jika tidak dikawal, hipertensi bisa menjadi puncak utama kepada serangan jantung, stroke dan gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga bisa menyebabkan hipertensi (NKF, 2010). Hampir 1 juta unit nefron ada pada setiap ginjal yang menyumbang kepada jumlah akhir laju filtrasi glomerulus (LFG). Tanpa mengambil kira penyebab kerusakan jaringan ginjal, yang progresif dan menahun, ginjal mempunyai keupayaan untuk terus mempertahankan LFG menerusi hiperfiltrasi dan mekanisme kompensasi kerja yaitu hipertrofi pada nefron yang masih berfungsi. Keupayaan ginjal ini dapat meneruskan fungsi normal ginjal untuk mensekresi bahan buangan seperti urea dan kreatinin sehingga bahan tersebut meningkat dalam plasma darah hanya setelah LFG menurun pada tahap 50% dari yang normal. Kadar kretinin plasma akan mengganda pada penurunan LFG 50%. Walaupun kadar normalnya adalah 0,6 mg/dL menjadi 1,2 mg/dL, ia menunjukkan penurunan fungsi nefron telah menurun sebanyak 50% (Arora, 2010). Bagian nefron yang masih berfungsi yang mengalami hiperfiltrasi dan hipertrofi, walaupun amat berguna, tetapi telah menyebabkan kerusakan ginjal yang progresif. Ini dipercayai terjadi karena berlaku peningkatan tekanan pada
20
kapilari glomerulus, yang seterusnya bisa mengakibatkan kerusakan kapilari tersebut dan menjadi faktor predisposisi terhadap kejadian glomerulosklerosis segmental dan fokal (Arora, 2010). Antara faktor-faktor lain yang menyebabkan kerusakan jaringan ginjal yang bersifat progresif adalah hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria dan hiperlipidemia. Pada gagal ginjal kronik fungsi normal ginjal menurun, produk akhir metabolisme protein yang normalnya diekskresi melalui urin tertimbun dalam darah. Ini menyebabkan uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh penderita. Semakin banyak timbunan produk bahan buangan, semakin berat gejala yang terjadi. Penurunan jumlah glomerulus yang normal menyebabkan penurunan kadar pembersihan substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Dengan menurunnya LFG, ia mengakibatkan penurunan pembersihan kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum terjadi. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea dan vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan ureum kreatinin yang sampai ke otak bisa mempengaruhi fungsi kerja, mengakibatkan gangguan pada saraf, terutama pada neurosensori. Selain itu, blood urea nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit. Natrium dan cairan tertahan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung kongestif. Penderita akan menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan asupan zat oksigen dengan kebutuhan tubuh. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi edema dan ascites. Hal
21
ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu diperhatikan keseimbangan cairannya. Semakin menurunnya fungsi ginjal, terjadi asidosis metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan,
juga terjadi penurunan produksi hormon eritropoetin yang
mengakibatkan anemia. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi (Smeltzer, 2001). 2.2.4 Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronik Oleh karena ginjal memainkan peran yang sangat penting dalam mengatur keseimbangan homeostasis tubuh, penurunan fungsi organ tersebut akan mengakibatkan banyak kelainan dan mempengaruhi pada sistem tubuh yang lain. Antara gejala-gejala klinis yang timbul pada GGK adalah (Pranay, 2010): a. Poliuria, terutama pada malam hari (nokturia). b. Udem pada tungkai dan mata (karena retensi air). c. Hipertensi. d. Kelelahan dan lemah karena anemia atau akumulasi substansi buangan dalam tubuh. e. Anoreksia, nausea dan vomitus. f. Gatal pada kulit, kulit yang pucat karena anemia. g. Sesak nafas dan nafas yang dangkal karena akumulasi cairan di paru.
22
h. Neuropati perifer. Status mental yang berubah karena ensefalopati akibat akumulasibahan buangan atau toksikasi uremia. i.
Nyeri dada karena inflamasi di sekitar jantung penderita.
j.
Perdarahan karena mekanisme pembekuan darah yang tidak berfungsi.
k. Libido yang berkurangan dan gangguanseksual. 2.3 Hemodialisa 2.3.1 Defenisi Hemodialisa Hemodialisa merupakan metode pengobatan yang sudah dipakai secara luas dan rutin dalam program penanggulangan gagal ginjal akut maupun gagal ginjal kronik (Smeltrzer, 2001). Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaaan gagal ginjal akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanen. Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk kealiran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (Fistula arteriovenosa) melalui pembedahan (NKF, 2006). Sehelai membran sintetik yang semipermiable menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai renal serta bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya. Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan
23
mencegah kematian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau memulihkan penyakit ginjal (Smeltzer, 2001). 2.3.2 Indikasi Hemodialisa Pelaksanaan hemodialisa dilaksanakan bila penderita telah mencapai PGK stadium 5 atau gagal ginjal. Bila laju filtrasi glomerulus (LFG) penderita berkurang hingga 30 atau telah mencapai staium 4 PGK, maka sebagai seorang dokter harus menjelaskan pilihan-pilihan terapi untuk PGK (National Kidney Foundation, 2007). Pasien gagal ginjal harus menjalani terapi dialysis sepanjang hidupnya sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan yang berhasil. Pasien memerlukan tetapi dialisis yang kronis bila terapi ini diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan mengendaliakn gejala uremia (Smeltzer, 2001). Menurut Hudakk (2010), hemodialisis di indikasikan pada keadaan gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik, intoksikasi obat dan zat kimia, ketidakseimbangan cairan dan elektronik berat dan sindrom hepatorenal. 2.3.3 Tujuan Hemodialisa Hemodialisa akan dapat membantu penderita dengan mempermudah kerja ginjal. Mengekskresi zat-zat sisa, garam, dan cairan yang berlebih agar tidak terakumulasi dalam sirkulasi tubuh; beberapa zat kimia dalam kadar yang aman bagi tubuh. Selain itu, proses hemodialisa juga akan meregulasi tekanan darah pasien (National Kidney Foundation, 2007).
24
2.3.4 Prinsip Hemodialisa Mesin dialisis memiliki suatu filter yang di sebut dialyser, atau ginjal artifisial. Untuk dapat menyaring darah melalui dialyser maka harus di buat suatu akses pada pembuluh darah, hal ini dapat di lakukan dengan bedah minor, biasanya pada lengan penderita (National Kidney Foundation, 2007). Ada tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa yaitu: difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Sedangkan air yang lebih didalam tubuh di keluarkan dengan proses osmosis. Pengeluaran air dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan, dengan kata lain air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisa). Gradient dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif yang di kenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialysis. Tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membrane dan memfasilitasi pengeluaran cairan. Hal ini bertujuan untuk mencapai isovolemia (keseimbangan cairan) karena pasien yang menjalani hemodialisa tidak dapat mensekresikan air. Pada proses ultrafiltasi yaitu berpindahnya air dan zat melalui membrane semipermeable akibat tekanan hidrostatik didalam kompartemen darah dan kompartemen dialisat, perpindahan ini dipengaruhi oleh; TMP (Transmembrane Pressure), luas permukaan membrane , KUF (Koefisien Ultarafiltrasi), Perbedaan tekanan osmotik, QB (Quick Blood), QD (Quick Diaslisat) (Pardede 2011).
25
Qb atau kecepatan aliran darah yang tercantum di mesin hemodialisa, qb yang di perlukan untuk sirkulasi ini ± 200 – 400 ml/ menit. Memulai hemodialisa Qb 50 ml/menit kemudian dinaikkan 100 ml/menit dan secara bertahap dinaikkan tergantung kecukupan dari aliran darah dari sarana hubungan sirkulasinya (Pardede 2011). Dimana terdapat tiga sarana hubungan sirkulasi atau akses pembuluh darah yang digunakanyaitu: (a) kateter subklavia dan femoralis, (b) fistula, (c) tanur (Smeltzer, 2001). Selain prinsip hemodialisa ada hal hal lain yang menunjang tercapainya hemodialisa yang adekuat yaitu IDWG. Interdialytic Weight Gain (IDWG) merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai indikator untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik. Peningkatan IDWG melebihi 5% dari berat badan kering dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi ,hipotensi intadialisis, gagal jantung kiri, ascites, pleural effusion, gagal jantung kongestif, dan dapat mengakibatkan kematian. IDWG dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor baik faktor internal yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, stress, maupun faktor eksternal yaitu dukungan keluarga dan social serta intake cairan (levey,Coresh, Balk, kaustz & Levin, 2003). Nilai Interdialytic Weight Gain yang dapat ditoleransi sekitar 2hingga 3 pon atau sekitar 0,9 – 1,3 kilogram. 2.3.5 Komplikasi Hemodialisa Didalam melakukan terapi hemodialisa penting adanya pengkajian. Pengkajian bukan hanya dilakukan sebelum hemodialisa, saat berlangsung dan
26
selesainya proses hemodialisa penting dilakukan pengkajian. Hal ini terkait dengan komplikasi yang ditimbulkan pada saat terapi hemodialisa (Hudduk, 2010). Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada proses hemodialisa adalah: (a) hipotensi; (b) emboli udara; (c) nyeri dada; (d) pruritus; (e) gangguan keseimbngan dialysis; (f) kram otot dan nyeri serta mual dan muntah (Smeltzer, 2001). Menurut Daurgirdas et al. (2007) komplikasi hemodialisa dapat dibedaka menjadi komplikasi akut dan kronik. a. Komplikasi akut Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil (Daurgirdas et al., 2007). Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007). Hipotensi intradialitik (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering dari hemodialisa, mencapai 20-30 % dari komplikasi hemodialisa. IDH masih merupakan masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti mual dank ram, memiliki pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis. IDH sering membutuhkan cairan, atau penghentian dialysis lebih awal, dimana kedua hal ini dapat menyebabkan pembuangan cairan tidak adekuat.
27
Pasien dengan IDH sering mengalami keadaan kelebihan cairan (volume overload) dan dialysis sering tidak adekuat (Sulowiez et al, 2006). Patogenensis dari hipotensi multifaktor, namun secara umum disebabkan sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama yang memainkan peranan dalam stabilitas hemodinamik selama hemodialisa yaitu; refilling volume darah dari intertisial ke dalam kompartemen vascular, sehingga disebut preservasi volume darah; kedua, kontriksi dari resistance vassels seperti arteri yang kecil dan arteriol dan ketiga mempertahankan output jantung, melalui peningkatan kontraktilitas miokardium, heart rate, dan kontriksi dari capacitance vassels seperti venula dan vena. Berikut kelompok pasien dengan hemodialisis kronik yang haru dievaluasi dengan hati –hati karena memiliki faktor resiko untuk mengalami terjadinya IDH: -
Pasien dengan diabetes CKD stadium 5
-
Paien dengan penyakit kardiovaskular: disfungsi diastolic dengan atau tanpa CHF; pasien dengan penyakit katup jantung; pasien dengan penyakit kardium (perikarditis kontriktif atau efusi perikardium)
-
Pasien dengan anemia berat
-
Pasien yang membutuhkan volume ultrafiltrasi yang lebih besar, misalnya pada pasien dengan berat badan yag melibihi intrerdialytic weight gain
-
Pasien dengan usia 65 tahun atau usia yang lebih muda
-
Pasien dengan tekanan darah diastolic presialisis < 100 mmhg.
b. Komplikasi kronik
28
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik antara lain; Penyakit jantung, Malnutrisi, Hipertensi / volume excess, Anemi, Renal osteodystrophy Neurophaty, Disfungsi reproduksi, Komplikasi pada akses, Gangguan perdarahan Infeksi, Amiloidosis, Acquired cystic kidney disease. Hipertensi dialitik sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani HD rutin, walaupun komplikasi HD ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu namun sampai saat ini belum ada batasan yang jelas mengenai HID. Berbagai penelitian mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Beberapa penelitian mendefinisikan HID adalah peningkatan mean arterial blood pressure (MABP) 15 mmHg atau lebih selama atau sesaat setelah HD selesai (Amerling et al., 1995; Mees, 1996). Hipertensi intradialitik juga didefinisikan sebagai adanya hipertensi yang mulai sejak jam kedua atau ketiga saat sesi HD, setelah dilakukan UF atau peningkatan tekanan darah saat HD yang resisten terhadap UF. Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID seperti volume overload, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan UF, overaktif dari simpatis, variasi dari ion K + dan Ca2+ saat HD, viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), UF yang berlebih saat HD, obat antihipertensi terekskresikan saat HD dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et al., 2010).