BAB I PENDAHULUAN Atrial fibrilasi adalah salah satu kasus aritmia jantung yang sering terjadi dan insidensinya berhubungan dengan usia. Atrial fibrilasi mempengaruhi setidaknya 1% dari pasien yang berusia kurang dari 60 tahun dan 8% pada pasien yang berusia lebih dari 80 tahun.
1,2,3
Pada prevalensi umum AF, terdapat
peningkatan seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar 1-2%. Pada usia kurang dari 50 tahun prevalensi AF kurang lebih berkisar pada nilai presentase 1 % dan kemudian meningkat menjadi 9% pada usia 80 tahun. AF lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan dengan wanita, walaupun sebenarnya tidak ada kepustakaan yang mengatakan adanya perbedaan yang relevan antara jenis kelamin pria dengan wanita yang mempengaruhi prevalensi AF. Pengertian kata AF berasal dari fibrillating atau bergetarnya otot-otot jantung atrium, jadi bukan merupakan suatu kontraksi yang terkoordinasi. Hal ini sering diidentifikasi dengan peningkatan denyut jantung dan ketidakteraturan irama jantung. Sedangkan indikator untuk menentukan ada tidaknya AF adalah tidak adanya gelombang P pada elektrokardiogram (EKG), yang secara normal ada 4 saat kontraksi atrium yang terkoordinasi.
Atrial fibrilasi didefinisikan sebagai takiaritmia supraventrikular yang dikarakterisasi dengan aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi. Pada pemeriksaan EKG dapat ditemukan gelombang fibrilatori yang menggantikan gelombang P. Gelombang ini berbeda satu sama lainnya seperti berbeda ukuran, amplitudo dan waktu. Sedangkan kompleks QRS tetap lancip walaupun ada konduksi abnormal. Respon ventrikular biasanya terjadi secara cepat sekitar 90 hingga 170 kali per menit.1 AF seringkali tanpa disertai adanya gejala, tapi terkadang AF dapat menyebabkan palpitasi, penurunan kesadaran, nyeri dada dan gagal jantung kongestif. Orang dengan AF biasanya memiliki peningkatan signifikan risiko stroke (hingga >7 kali populasi umum). Pada AF, risiko stroke meningkat tinggi, hal ini dikarenakan adanya pembentukan gumpalan di atrium sehingga
1
menurunkan kemampuan kontraksi jantung, khususnya pada atrium kiri jantung. Disamping itu, tingkat peningkatan risiko stroke tergantung juga pada jumlah faktor risiko tambahan. Tetapi, banyak orang dengan AF memang memiliki faktor risiko tambahan dan AF juga merupakan penyebab utama dari stroke. Untuk presentase stroke yang berasal dari AF berkisar 6-24% dari semua stroke iskemik, sedangkan 3-11% dari mereka yang secara struktural terdiagnosis AF, memiliki jantung yang normal.5 Tatalaksana penting dari AF adalah untuk mengembalikan gelombang AF menjadi ritme sinus yang normal. Tujuan dari tatalaksana AF adalah untuk mengontrol frekuensi dan mencegah terjadinya tromboembolisme. Terapi antikoagulan diperlukan untuk mencegah terjadinya stroke. Warfarin biasanya lebih superior penggunaanya dibanding aspirin dan clopidogrel dalam tatalaksana pencegahan stroke. Pilihan operasi untuk pasien atrial fibrilasi termasuk diantaranya ablasi pada sistem konduksi sebagai pilihan dalam mengembalikan ritme sinus normal pada pasien dengan AF paroksismal. 6
2
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Anatomi, Persarafan dan Pembuluh Darah Jantung a. Anatomi Jantung Jantung adalah organ berotot dan berongga yang berfungsi memompa darah melalui pembuluh darah dengan frekuensi denyut yang ritmik. Jantung manusia dewasa mempunyai berat yang hampir sama antara satu orang dengan orang yang lain, yaitu kurang lebih sekitar 300-350 gr. Jantung secara normal terletak didalam rongga toraks, yang berada diantara sternum di sebelah anterior dan vertebra di sebelah posterior, sedangkan pada bagian inferior berbatasan dengan 3
diafragma
Anatomi jantung dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu anatomi eksternal 4,5
dan anatomi internal
1. Anatomi Eksternal Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian lapisan- lapisan pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan pada jantung, yaitu pericardium, miokardium dan endokardium. Lapisan perikardium merupakan lapisan jantung bagian luar yang terbuat oleh jaringan ikat yang tebal. Lapisan ini terdiri dari 2 lapisan yaitu perikardium parietal yang berada dibagian luar dan perikardium visceral yang berada dibagian dalam. Ruangan diantara perikardium parietal dan perikardium visceral dinamakan rongga perikardial yang berisi cairan perikardium encer. Fungsi rongga tersebut adalah sebagai ruang kompsensasi pergerakan jantung. Lapisan kedua adalah lapisan miokardium, yang merupakan lapisan paling tebal dan lapisan yang terdiri atas otot-otot jantung. Lapisan ini terdiri dari 3 macam otot, yaitu otot atrium, otot ventrikel dan otot serat khusus. Otot atrium mempunyai karakteristik otot yang lebih tipis dibandingkan dengan otot ventrikel, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh fungsi kontraktilitas jantung berkaitan dengan fungsi pompa darah ke seluruh tubuh. Otot atrium dan otot ventrikel mempunyai kinerja kontraksi yang sama, sedangkan otot serat khusus lebih tergantung dari rangsang konduksi jantung. Lapisan yang terakhir adalah lapisan endokardium. Lapisan ini adalah suatu lapisan yang terdiri dari
3
membran tipis di bagian luar yang membungkus jantung. Lapisan ini terdiri dari jaringan epitel (endotel) dan berhubungan langsung dengan jantung. 2. Anatomi Internal Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan dan ventrikel kiri. Bagian kanan (atrium dan ventrikel kanan) dan kiri (atrium dan ventrikel kiri) jantung dipisahkan oleh suatu sekat yang dinamakan septum cordis. Disamping itu, jantung juga mempunyai 4 buah katup jantung, yang terdiri dari katup trikuspidalis, katup mitral/bikuspidalis, katup semilunar pulmonalis dan katup semilunar aorta. a. Atrium Kanan Atrium kanan merupakan ruang pada jantung yang berfungsi untuk menampung darah vena yang mengalir melalui vena kava inferior dan vena kava superior. Kedua vena kava bermuara pada tempat yang berbeda, vena kava superior bermuara pada dinding bagian supero-posterior atrium kanan, sedangkan vena kava inferior bermuara pada dinding bagian infero-latero-posterior atrium kanan. b. Ventrikel Kanan Ventrikel kanan merupakan ruangan setelah atrium kanan. Darah vena akan dialirkan dari atrium kanan ke ventrikel kanan, yang sebelumnya melewati katup atrio-ventrikular kanan atau triskupidalis. c. Atrium Kiri Atrium kiri merupakan ruangan yang menerima darah (bersih) yang berasal dari paru-paru. Atrium kiri menerima darah dari empat vena pulmonalis yang bermuara pada dinding postero-posterior atau postero-lateral. d. Ventrikel Kiri Ventikel kiri merupakan bagian ruangan pada jantung yang berfungsi darah ke seluruh bagian organ tubuh. Ventrikel kiri mempunyai tebal lapisan sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan ventrikel kanan. Hal ini dipengaruhi oleh fungsi pompa darah ventrikel kanan dan kiri. e. Katup Semilunar Katup semilunar terdiri dari dua katup, yaitu katup semilunar pulmonalis dan katup semilunar aorta. Kedua katup ini mempunyai bentuk katup yang sama,
4
tetapi secara antomis katup semilunar aorta lebih tebal dibandingkan dengan katup semilunar pulmonalis. Katup semilunar pulmonalis berfungsi sebagai sekat antara ventrikel kanan dengan paru-paru, sedangkan katup semilunar aorta berfungsi sebagai sekat antara ventrikel kiri dengan aorta. Setiap katup terdiri dari tiga daun katup, untuk katup semilunar pulmonalis terdiri dari daun katup anterior, dekstra dan sinistra. Sedangkan katup semilunar aorta terdiri dari daun katup koroner dekstra, koroner sinistra dan non-koroner. f. Katup Atrio-Ventrikuler Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup, yaitu katup trikuspidalis dan katup bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis terdiri dari tiga daun katup yang berbeda ukuran pada setiap daun katup. Ketiga daun katup ini adalah katup anterior, septal dan katup posterior. Katup ini terletak sebagai sekat antara atrium kanan dengan ventrikel kanan. Sedangkan katup bikuspidalis (mitral) terletak sebagai sekat antara atrium kiri dengan ventrikel kiri. Katup bikuspidalis (mitral) mempunyai dua daun katup, yang terdiri dari daun katup mitral anterior dan posterior. Aliran darah yang melewati kedua katup tidak hanya diatur oleh kedua katub ini, tetapi lebih diatur oleh interaksi antara atrium, annulus fibrosus, daun katup, korda tandinea, otot papillaris dan otot ventrikel. Keenam komponen ini merupakan rangkaian unit fungsional dalam proses aliran darah, sehingga bila terjadi gangguan pada salah satu komponen akan mengakibatkan gangguan hemodinamik yang serius.
Gambar 2.1 Anatomi Jantung
5
b. Persarafan Jantung Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu serabut saraf simpatis dan serabut saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis mempersarafi daerah atrium, ventrikel dan pembuluh darah koroner. Sedangkan serabut saraf parasimpatis mempersarafi nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan otot- otot atrium11,12. Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medulla spinalis torakal III-VI dan diperantarai oleh norepinefrin. Sedangkan persarafan parasimpatis berasal dari pusat nervus vagus di medulla oblongata dan diperantarai oleh asetilkolin. Secara fungsional, saraf simpatis mempengaruhi kinerja dari otot ventrikel, sedangkan saraf parasimpatis lebih berperan dalam mengontrol irama dan menurunkan laju denyut jantung.
c. Pembuluh Darah Jantung Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh koroner, yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini, baik arteri koroner kanan atau arteri koroner kiri keluar dari sinus valsava aorta. Arteri koroner kiri akan bercabang menjadi arteri sirkumfleks kiri dan arteri desendens anterior kiri yang memperdarahi sebagian besar bagian proksimal RBB (right bundle branch), LBB (left bundle branch) dan fasikulus anterior LBB. Sedangkan arteri koroner kanan akan bercabang menjadi arteri atrium anterior kanan yang memperdarahi nodus sino-atrial dan arteri koroner desendens posterior yang memperdarahi nodus atrio-ventrikuler dan fasikulus posterior LBB. Pembuluh darah balik dari otot jantung adalah vena koroner. Vana koroner ini berjalan berdampingan dengan arteri koroner yang akan masuk atau bermuara ke dalam atrium kanan melalui sinus koronarius11,12,13 2. Elektrofisiologi Jantung Melalui studi elektrofisiologi diketahui ada tiga jenis kumpulan sel-sel jantung yang dapat membangkitkan arus listrik, yakni; (1) sel-sel pacemaker (nodus SA, nodus AV), (2) jaringan konduksi khusus (serat-serat purkinje), san (3) sel-sel otot ventrikel dan atrium. Stimulasi listrik atau potensial aksi yang
6
terjadipada ketiga sel-sel khusus ini dihasilkan oleh interaksiionik transmembran, yaitu berupa transport berbagai ion utama melalui kanal-kanal khusus yang melewati membran sarcolema (suatu membran bilayer fosfolipid). Transportasi ionik ini mempertahankan gradien. konsentrasi dan tegangan antara intra dan ekstra sel.Dalam keadaan normal, konsentrasi Na+ dan Ca++lebih tinggi diluar sel, sedangkan konsentrasi K+ lebih tinggi didalam sel.9
Gambar 2.2 Pembentukan potensial aksi Phase 0 ( depolarisasi ) Masuknya Na + secara mendadak ke intra sel intra sel menjadi positif
Phase 1 (repolarisasi awal)
Kanal Natrium tertutup muatan positif intra
sel berkurang sedikit Phase 2 (plateu) Kalsium masuk lambat ke intrasel, muatan stabil. Disebut masa refrakter 7negative Phase 3 (repolasrisasi) Kalium keluar ke ekstra sel sehingga intrasel menjadi lebih bermuatan negative kembali Phase 4 ( istirahat ) terjadi polarisasi : intrasel 7negative, ekstrasel positif
7
Gambar 2.3 Kurva potensial aksi Potensial transmembran saat istirahat (–80 s/d –90mV pada otot jantung dan –60
pada
sel
pacemaker)terjadi
akibat
adanya
akumulasi
molekul-
molekulbermuatan negatif (ion-ion) didalam sel. Potensial aksipada sel jantung memberikan pola yang khas, danmencerminkan aktifitas listrik dari satu sel jantung.Sebagaimana diillustrasikan pada gambar 4 dan 5. Secara klasik aksi potensial dibagi dalam 5 fase, namun untuk memudahkan pemahaman terhadap potensial aksi dapat disederhanakan menjadi 3 fase umum, yakni :9 1.
Fase Depolarisasi
Fase depolarisasi (fase 0) adalah fase awal dari potensial aksi yang timbul pada saat kanal Na+ membran sel terstimulasi untuk membuka. Bila hal ini terjadi, maka ion Na+ yang bermuatan positif akan serentak masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan potensial transmembran beranjak positif secara cepat. Perubahan resultan tegangan ini disebut depolarisasi. Depolarisasi satu sel jantung
akan
cenderung
berdepolarisasi
dan
menyebabkan
membuka
kanal
sel-sel
Na+
sel
yang
berdekatan
sebelahnya.
Sekali
ikut sel
berdepolarisasi, gelombang depolarisasi akan di hantarkan dari sel ke sel ke seluruh sel jantung. Kecepatan depolarisasi suatu sel menentukan cepatnya impuls listrik dihantarkan ke seluruh sel miokard. 2.
Fase Repolarisasi
Sekali suatu sel berdepolarisasi maka tidak akan berdepolarisasi kembali hingga aliran ionik kembali pulih selama depolarisasi. Proses mulai kembalinya ion- ion ketempatnya semula seperti saat sebelum depolarisasi disebut repolarisasi. Fase repolarisasi ini di tunjukkan oleh fase 1-3 kurva potensial aksi.
8
Karena depolarisasi berikutnya tidak dapat terjadi hingga repolarisasi, rentang waktu sejak akhir fase 0 hingga akhir fase 3 disebut sebagai periode refrakter (refractory periode). Fase 2 (fase plateau) dimediasi oleh terbukanya kanal lambat kalsium, yang akan menyebabkan ion kalsium yang bermuatan positif masuk kedalam sel. 3. Fase Istirahat Pada hampir semua sel jantung, fase istirahat (rentang waktu antara 2 potensial aksi sebagai fase 4) merupakan fase di mana tak ada perpindahan ion di membran sel. Namun pada sel-sel pacemaker tetap terjadi perpindahan ion melewati membran sel pada fase 4 ini dan secara bertahap mencapai ambang potensial, kemudian kembali berdepolarisasi membangkitkan impuls listrik yang dihantarkan ke seluruh jantung. Aktifitas fase 4 yang kemudian berdepolarisasi spontan disebut automatisitas.
Gambar 2.4 Pola potensial aksi masing-masing sistem konduksi jantung
Pola potensial aksi tidaklah sama pada setiap sel-sel yang menyusun sistem listrik jantung. Gambar di atas memberikan model ilustrasi dari masing-masing sistem konduksi listrik jantung. Pola potensial aksi sel-sel purkinje sangat berbeda dengan sel-sel nodus SA dan nodus AV. Perbedaan ini terjadi pada fase 0 yaitu depolarisasi lambat sel nodus SA dan AV, dikarenakan tidak adanya kanal cepat 9
Na+ yang bertanggung jawab pada fase depolarisasi cepat sel otot jantung yang lain (fase 0).9
c. Aritmia Abnormalitas sistem listrik jantung menghasilkan dua jenis keadaan umum aritmia, yaitu irama jantung yang terlalu lambat (bradiaritmia) dan irama jantung yang terlalu cepat (takiaritmia). AF merupakan suatu bentuk takiaritmia, secara umum ada 3 mekanisme yang mendasari gangguan irama ini, yaitu:6 1. Abnormal Automaticity, Automatisitas merupakan kemampuan suatu sel untuk berdepolarisasi spontan untuk mencapai tegangan ambang
(treshold
potensial) secara ritmis (berirama). Sel-sel khusus sistem konduksi nodus SA (native pacemaker) dan nodus AV (latent pacemaker) yang telah disebutkan diatas memiliki kemampuan automatisitas secara alamiah. Meskipun sel-sel otot ventrikel dan atrium tidak memiliki kemampuan automatisitas, tetapi mampu berdepolarisasi secara spontan dalam keadaan patologis seperti iskemia. Sel- sel di nodus SA secara normal mempunyai aktifitas fase 4 paling cepat dibanding bagian sel jantung lainnya, sehingga potensial aksi spontannya dihantar- kan lebih dulu, memberikan gambaran irama sinus. Bila karena suatu sebab terjadi kegagalan automatisitas di nodus SA, maka sel-sel latent pacemaker (nodus AV akan mengambil alih fungsi pacemaker jantung, akan tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat. Gambaran potensial aksi menentukan kecepatan konduksi, masa refrakter, dan automatisitas sel-sel jantung. ketiga komponen tersebut sangat berpengaruh terhadap mekanisme terjadinya kelainan irama jantung. 2. Reentry, Reentry merupakan mekanisme umum yang terjadi pada hampir semua jenis takiaritmia. Untuk terjadinya Reentry harus terdapat beberapa syarat: 1) terdapat dua jaras paralel yang saling berhubungan, pada bagian distal dan proksimal, membentuk sirkuit potensial listrik; 2) salah satu jaras harus memiliki masa refrakter yang berbeda dengan jaras yang lain. Bila suatu saat terjadi impuls prematur, impuls ini harus melewati sirkuit B (masa refrakter panjang) dan sirkuit A (masa refrakter pendek). Impuls akan melewati sirkuit A karena lebih cepat pulih dan siap kembali menerima impuls listrik, sedangkan sirkuit B tidak dapat dilewati karena belum siap menerima impuls (masa refrakternya panjang). Pada
10
saat sirkuit A menjalarkan impuls secara lambat, sirkuit B sudah pulih dari masa refrakter dan siap menerima impuls, yang ternyata dimulai dari arah berlawanan, berasal dari impuls prematur sirkuit A (konduksi
retrograde). Bila impuls
retrograd ini kembali melewati sirkuit A secara antegrade maka lingkaran impuls yang kontinu akan terbentuk, dan terjadilah lingkar reentry (loop reentry). 3. Trigered activity, Trigered activity memiliki gambaran yang sama seperti automatisitas dan reentry. Seperti pada automatisitas, trigered activity mencakup kebocoran ion positif kedalam sel jantung yang menyebabkan cetusan potensial aksi pada fase 3 atau awal fase 4. Cetusan ini disebut after-depolarization. Bila after-depolarization ini cukup besar untuk membuka kanal natrium, potensial aksi yang kedua akan dibangkitkan.
11
2.2
Atrial Fibrilasi
2.2.1 Definisi AF merupakan gangguan irama jantung tersering dengan insiden yang makin meningkat seiring bertambahnya usia. AF banyak terjadi pada perubahan morfologi jantung dan penyakit paru, beberapa dikarenakan gangguan metabolik, toksik, endokrin, dan genetik. AF pertama kali direkam oleh Sir Thomas Lewis di London 9 tahun setelah William Einthoven menemukan elektrokardiografi pada tahun 1900.9 AF dikenal sebagai suatu takiaritmia supraventrikular, yang ditandai oleh adanya aktifasi yang tidak terkoordinasi pada atrium, sehingga mengakibatkan perburukan pada fungsi mekanis atrium. Pada EKG, AF digambarkan dengan berubahnya gelombang P menjadi gelombang osilasi cepat atau fibrilasi dengan berbagai derajat ukuran,bentuk, dan waktu, berhubungan dengan suatu responventrikel yang irregular dan cepat pada sistim konduks AV yang utuh.6
2.2.2. Klasifikasi Klasifikasi klinis subtipe AF didasarkan pada episode terhentinya AF:10,11 1. AF paroksismal berarti aritmia ini dapat hilang dan timbul secara spontan, tidak lebih dari beberapa hari tanpa intervensi. 2. AF persisten berarti aritmia ini tak dapat terkonversi secara spontan menjadi irama sinus, sehingga diperlukan kardioversi untuk kembali ke irama sinus, baik konversi farmakologik ataupun non farmakologik. 3. AF permanen berarti aritmia ini tak dapat dikonversi menjadi irama sinus.
Berdasarkan ada tidaknya penyakit yang mendasari, AF dapat dibedakan menjadi :10,11 1. AF primer terjadi bila tidak disertai penyakit jantung atau penyakit sistemik lainnya 2. AF sekunder disertai adanya penyakit jantung atau penyakit sistemik seperti gangguan tiroid
12
Berdasarkan bentuk gelombang P, AF dibedakan atas:10,11 1.
AF coarse (kasar)
2.
AF fine (halus)
Gambar 2.5 Tipe fibrilasi atrium
Klasifikasi berdasarkan gejalan menurut Skor EHRA: 1.
EHRA I
: tidak terdapat gejala
2.
EHRA II
: gejala sedang, tidak terganggu aktifitas sehari-
3.
EHRA III : gejala berat, terganggunya aktifitas sehari-hari
4.
EHRA IV : terjadi kelumpuhan, terhentinya aktifitas sehari-hari
hari
13
Gambar 2.6 Skor EHRA
AF sangat penting untuk dicegah dan diterapi karena mempunyai beberapa konsekuensi dan komplikasi klinis yang serius. Konsekuensi AF antara lain palpitasi, takikardiomiopati, emboli sistemik terutama stroke, menurunkan kualitas hidup penderita, dan menambah mortalitas. 2.2.3
Patogenesis
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA7,9,14. Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan 14
meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan
AF7,9,14.
terjadinya
Gambar 2.7 Prinsip mekanisme elektrofisiologi fibrilasi atrium. A, Aktivasi fokal (focal activation). Fokus pencetus (ditandai bintang) seringkali terletak diantara muara vena- vena pulmonalis. Wavelets yang dihasilkan merupakan konduksi fibrilasi seperti pada multiple-wavelet reentry. B, Multiplewavelet reentry. Wavelets (tanda panah) secara acak masuk kembali ke jaringan yang sebelumnya diaktivasinya atau diaktivasi oleh wavelets lain. Perjalanan wavelets bervariasi. LA - left atrium; PV- pulmonary vein; ICV – inferior vena cava; SCV - superior vena cava; RA - right atrium. Dapat disimpulkan di sini bahwa, terjadinya AF dimulai dengan adanya aktifitas listrik cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis. Aritmia ini akan berlangsung terus dengan adanya lingkaran sirkuit reentry yang multipel.
Penurunan
masa
refrakter
dan
terhambatnya
konduksi
akan
memfasilitasi terjadinya reentry. Setelah AF timbul secara kontinu, maka akan terjadi remodeling listrik (electrical remodeling) yang selanjutnya akan membuat AF permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi permanen seiring terjadinya perubahan struktur, bila AF berlangsung lama.10,11 Michele et al., melakukan studi elektrofisiologi dengan merekam dan memetakan fokus ektopi didalam dinding atrium pada 45 pasien yang menderita AF refrakter. Pada hasil studi didapatkan 94% fokus ektopi terdapat pada vena pulmonalis. Berdasarkan penemuan ini, kemudian banyak studi yang dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam bangkitan impuls oleh fokus tunggal dari vena pulmonalis atau regio atrium lain, yang dapat menyebabkan terjadinya gelombang fibrilasi; dengan demikian ablasi sebagai pengobatan definitive AF dapat dilakukan pada vena yang telah dilokalisir.9
15
Gambar 2.8 Re-entry. a) Impuls dari sinus mengaktifkan daerah A, b) Sebuah denyut prematur muncul pada daerah B, namun gagal mencapai daerah A karena daerah tersebut masih dalam masa refrakter setelah sebelumnya mendapat impuls dari sinus. c) Stimulus prematur berjalan lambat melewati rute lain dan kembali ke daerah A, dan saat itu masa refrakter daerah A baru saja selesai dan siap tereksitasi kembali. d) daerah A akan melanjutkan impuls dan mengeksitasi daerah B dan lingkaran reentry akan muncul dengan sendirinya.
2.2.4 Faktor Risiko Karena dapat mengakibatkan komplikasi serius seperti trombosis dan emboli serebral, maka AF semakin banyak dipelajari, untuk mengetahui secara detail mekanisme yang mendasarinya sehingga dapat diberikan pencegahan dan pengobatan yang cepat dan tepat.9 Penyebab tersering AF akut adalah infark miokard (5-10% pasen dengan infark), dan operasi jantung (mencapai 40% pasien yang dioperasi). Keadaan klinis tersering yang menyertai AF permanen adalah hipertensi dan iskemik miokard, dengan subset gagal jantung. Di negara berkembang AF sering menyertai penyakit jantung katup rematik dan penyakit jantung bawaan.9 16
Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah: a. Diabetes Melitus b. Hipertensi c. Penyakit Jantung Koroner d. Penyakit Katup Mitral e. Penyakit Tiroid f. Penyakit Paru-Paru Kronik g. Post. Operasi jantung h. Usia ≥ 60 tahun i. Life Style
2.2.5
Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor- faktor, diantaranya adalah : a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium 1. Penyakit katup jantung 2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium 3. Hipertrofi jantung 4. Kardiomiopati 5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal chronic) 6. Tumor intracardiac b. Proses infiltratif dan inflamasi 1. Pericarditis/miocarditis 2. Amiloidosis dan sarcoidosis 3. Faktor peningkatan usia c. Proses infeksi d. Kelainan Endokrin 1. Hipertiroid 2. Feokromositoma e. Neurogenik 1. Stroke
17
2. Perdarahan subarachnoid f. Iskemik Atrium 1. Infark miocardial g. Obat-obatan 1. Alkohol 2. Kafein h. Keturunan/ genetik
2.2.6
Penegakan Diagnosa
Fibrilasi atrium memiliki gejala klinis bervariasi, yang tersering adalah palpitasi. Gejala lain yang sering dijumpai berupa pre-sinkop, lemas, dispneu, dizziness, serta nyeri dada. Sebagian lain pasien dengan fibrilasi atrium tidak bergejala sehingga pasien tidak menyadari akan diagnose. Untuk mendiagnosis AF, pemeriksaan elektrokardiografi merupakan standar baku sebagai alat diagnostik. AF paroksismal dapat dideteksi dengan menggunakan
pemantau
Holter
atau
pemeriksan
EKG
transtelefonik.
Pemeriksaan foto toraks, ekokardiografi mutlak diperlukan untuk menyingkirkan penyakit sekunder.9 Pemeriksaan fungsi tiroid diperlukan untuk menegakkan ada tidaknya kelainan tiroid atau hipertiroidisme. Pemeriksaan TSH diperlukan untuk mengetahui adanya hipertiroidisme subklinik, bila kadar tiroksin dalam batas normal. Pemeriksaan elektrofisiologi hanya akan dilakukan bila akan dilakukan ablasi kateter, apakah ablasi nodus AV atau ablasi fokal pada AF.9
18
Gambar 2.9 Pemeriksaan yang diperlukan pada pasien AF
Melalui riwayat medis harus diperoleh dari pasien yang diduga atau diketahui dengan AF, manajemen akut pasien AF harus berkonsentrasi untuk menghilangkan gejala dan penilaian faktor risiko AF terkait. Evaluasi klinis harus mencakup penentuan skor EHRA, estimasi risiko stroke, dan mencari kondisi yang mempengaruhi AF dan komplikasi aritmia tersebut. Pada 12 lead EKG harus diperiksa untu tanda-tanda penyakit jantung structural (seperti: infark miokard akut, LVH, bundle branch block atau ventricular pre-excitation, gejala kardiomiopati, atau iskemik).12
2.2.7
Tatalaksana
Manajemen fibrilasi atrium meliputi 3 objektif utama yaitu(1) identifikasi dan penanganan faktor kausatif terkait (misalnya hipertensi, penyakit jantung iskemik, gagal jantung, kelainan katup, tirotoksikosis, dan lain-lain), (2) pemilihan strategi terapi rate control atau rhythm control, dan penilaian terhadap tromboemboli serta terapi prevensinya. 14 Jenis fibrilasi atrium akan menentukan pemilihan strategi terapi dan focus objektif manajemen. Pada kasus fibrilasi atrium paroksismal, target terapi umumnya adalah mereduksi aritmia yang terjadi dan mempertahankan irama sinus. Sedangkan pada fibrilasi atrium permanen, pendekatan rate control lebih menjadi pilihan. Namun apapun jenis fibrilasi atriumnya, upaya prevensi risiko
19
tromboemboli, meredakan gejala klinis dan hemodinamik serta penanganan komorbid merupakan aspek penting manajemen keseluruhan.14 1)
Terapi Farmakologik
Pada pasien dengan AF paroksismal yang singkat, tujuan strategi pengobatan adalah dipusatkan pada kontrol aritmianya (rhytm control). Namun pada pasien dengan AF yang persisten, terkadang kita dihadapkan pada dilema apakah mencoba mengembalikan ke irama sinus (rhytm control) atau hanya mengendalikan laju denyut ventrikular (rate control) saja. Uji klinik (AFFIRM trial, PIAF trial) akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kedua cara ini tidak ada yang lebih superior.10 Obat yang biasa digunakan untuk tujuan rhytm control adalah obat anti aritmia golongan I seperti Quinidine, Disopiramid, dan Propafenon; Amiodaron dapat diberikan sebagai obat anti aritmia golongan III. Untuk mengendalikan laju denyut ventrikel (rate control), dapat diberikan obat-obatan yang bekerja pada nodus AV seperti digitalis, verapamil dan penyekat beta. Amiodaron juga dapat dipakai untuk rate control.11
20
Gambar 2.10 Farmakologi pada AF 2)
Terapi Non-Farmakologik
a.
Kardioversi Eksterna, Kardioversi eksternal dengan DC shock
dapat dilakukan pada setiap AF paroksismal dan AF persisten. Untuk AF sekunder, seyogyanya penyakit yang mendasari dikoreksi terlebih dahulu. Bilamana AF terjadi lebih dari 48 jam, maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu sebelum kardioversi dan selama 3 minggu setelah kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat emboli. Target antikoagulan adalah INR 2 sampai 3. Konversi dapat dilakukan tanpa pemberian antikoagulan, bila sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat trombus dengan transesofageal ekhokardiografi. b.
Ablasi, Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE
procedure) dan transkateter. Ablasi transkateter difokuskan pada vena-vena pulmonalis sebagai trigger terjadinya AF. Ablasi nodus AV dilakukan pada penderita AF permanen, sekaligus pemasangan pacu jantung permanen.
21
Gambar 2.11 Algoritme terapi pada AF
2.2.8
Stratifikasi Risiko dan Pencegahan Tromboemboli
Tromboprofilaksis yang optimal pada pasien dengan fibrilasi atrium bersifat personal, sesuai dengan kondisi setiap pasien, serta membutuhkan beberapa
22
penilaian utama berupa stratifikasi risiko tromboembolik, pertimbangan untuk memilih antara terapi antikoagulan atau antiplatelet, dan penilaian risiko perdarahan sebagai komplikasi penggunaan obat-obatan tersebut.14 Risiko kejadian tromboembolik dan stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium tidaklah sama, terdapat berbagai faktor klinis yang turut berkontribusi terhadap risiko tersebut. Oleh karena itu, pendekatan pencegahan stroke pun berbeda sesuai dengan kondisi masing-masing pasien. Berbagai kriteria klinis dan ekokardiografis telah digunakan dalam beberapa model stratifikasi risiko. Salah satu model yang paling popular dan sukses dalam identifikasi pencegahan primer pasien dengan risiko tinggi stroke adalah indeks risiko CHADS2 (Congestive heart failure, Hypertension, Age >75 years, Diabetes Mellitus, and prior Stroke or Transient isckaemic attack/TIA). Indeks risiko CHADS2 merupakan suatu sistem scoring kumulatif yang memprediksi risiko stroke pada pasien dengan fibrilasi atrium. Scoring CHADS2 memberikan poin 2 untuk adanya riwayat stroke atau TIA sebelumya, sedangkan untuk masing-masing faktor risiko klinis lainnya seperti usia >75 tahun, hipertensi, diabetes mellitus dan gagal jantung kongestif diberi poin 1. Semakin tinggi kumulasi poin CHADS2 yang dimiliki pasien dengan fibrilasi atrium, semakin besar pula risiko untuk terkena stroke.14 Salah satu cara pemilihan agen antitrombotik dapat didasarkan pada indeks
23
risiko CHADS2. Pasien dengan skor CHADS2 0 tidak memerlukan antikoagulan dan dapat diterapi dengan aspirin . antikoagulan diperlukan untuk skor CHADS2 2 atau lebih besar, dengan mempertimbangkan risiko perdarahan. Untuk pasien dengan skor CHADS2 1, baik aspirin maupun warfarin dapat digunakan.14
Gambar 2.12 Skor CHADS2
24
Gambar 2.13 Algoritma penggunaan obat antikoagulan
DAFTAR PUSTAKA 25
1.
Faizel Osman, Michael D. Gammage, Michael C. Sheppard and
Jayne A. Franklyn. Cardiac Dysrhythmias and Thyroid Dysfunction - The Hidden Menace?. J Clin Endocrinol. 2002;87(3):963-967. 2.
Klein I, Ojamaa K
Thyroid hormone and the cardiovascular
sistem. N Engl J Med. 2001;344:501–509 3.
Peterson
P,
Hansen
J
Stroke
in
thyrotoxicosis
with
atrialfibrillation. Stroke.2005;19:15–18 4.
Gregory Y, Beevers G. ABC of Atrial Fibrillation: History,
Epidemiology, and Importance of Atrial Fibrillation.BMJ.2006;311:1361. 5.
Scheinman MM. Atrial Fibrillation, In: Current Diagnosis and
Treatment in Cardiology. 2nd edition. McGraw-Hill /Appleton & Lange 6.
Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, Crijns HJ, Curtis AB,
Ellenbogen KA, et al. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the management of patients with atrial fibrillation: a report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines (Writing Committee to Revise the 2001 Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation). Circulation. 2006;114:e257-e354. 7.
Kochiadakis GE, Skalidis EI, Kalebubas MD. Effect of acute atrial
fibrillation on phasic coronary blood flow pattern and flow reserve in humans. Eur Heart J. 2002;23:734–41. 8.
Gutierrez C, Blanchard D. Atrial Fibrilation : Diagnosis and
Treatment. Am Fam Physician. 2011;83(1):61-68. Copyright © 2011 American Academy of Family Physicians. 9.
Firdaus I. Fibrilasi Atrium pada Penyakit Hipertiroidisme
Patogenesis dan Tatalaksana. Jurnal Kardiologi Indonesia. 2007; 28: 375-386. 10.
Alessie M, et al. Current Perspective; Pathophysiology and
Prevention of Atrial Fibrillation. Circulation. 2001; 103; 769. 11.
Markides V, Schilling R. Atrial Fibrillation: classification,
pathophysiology, mechanism and drug treatment. Heart. 2003; 89; 939-934. 12.
Camm AJ, Kirchhof P, Lip G, Shotten U, Savelieva I, Ernst S,
26
Gelder IC, et al. Guidelines for The Management of Atrial Fibrillation. European Society of Cardiology. 2010; 31; 2369-429. 13.
Prystowsky EK, Katz AM. Atrial Fibrillation. In: Topol’s Text
Book of Cardiovascular Medicine. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins. 2002; 64. 14.
Fuster V, Ryden LE, Cannom DS, Crijns HJ, Curtis AB,
Ellenbogen KA, et al. ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for The Management of Patient with Atrial Fibrillation: a report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on Practice Guidelines and The European Society of Cardiology Committee for Practice Guidelines. Circulation. 2006; 144 ; 257-354.
27