BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Berbelanja
2.1.1 Definisi berbelanja Huddleston dan Minahan (2011) mendefinisikan aktifitas berbelanja sebagai aktifitas yang melibatkan pertimbangan pembelian suatu produk maupun jasa, mencari toko yang menyediakan produk ataupun jasa yang terbaik, pencarian produk ataupun jasa yang diinginkan di dalam toko tersebut, serta menentukan keputusan untuk membeli.
2.1.2 Pola berbelanja Pola berbelanja adalah cara atau bentuk pendekatan yang digunakan oleh individu dalam melakukan aktifitas mencari, membeli, dan mengkonsumsi produk maupun jasa, serta dapat dilihat melalui kebutuhannya (Huddleston dan Minahan, 2011). Pola berbelanja dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan kebutuhan konsumen, yaitu hedonic shopping dan utilitarian shopping. A. Hedonic shopping atau recreational shopping adalah aktifitas berbelanja yang mengutamakan pengalaman dan kesenangan dalam berbelanja. Jadi, tujuan konsumen berbelanja adalah untuk bersenang-senang, serta merasakan fantasi dan kenikmatan emosional, dan biasanya tanpa disertai adanya perencanaan tentang produk ataupun jasa yang ingin dibeli. B. Utilitarian shopping adalah aktifitas berbelanja yang lebih terstruktur, dengan kata lain konsumen membuat perencanaan terlebih dahulu sebelum pergi ke
toko. Individu yang melakukan pola berbelanja seperti ini biasanya didasari karena adanya kebutuhan fisiologis yang mendesak.
2.2
Belanja Impulsif
2.2.1 Definisi belanja impulsif Rook (1987) mendefinisikan belanja impulsif sebagai aktifitas berbelanja yang dilakukan oleh konsumen tanpa perencanaan, serta merasakan dorongan kuat untuk membeli secara spontan. Engel dan Blackwell (1994) menyatakan bahwa perilaku tersebut muncul secara spontan tanpa dilandasi oleh kebutuhan dan perencanaan yang terarah. Rook (1987) juga menjelaskan beberapa karakteristik belanja impulsif, antara lain: (a) Spontanitas: Keinginan yang muncul secara tiba-tiba disertai dengan urgensi. Pada mulanya, kosumen tidak memiliki keinginan untuk membeli, ketika konsumen melihat produk atau jasa, muncul dorongan untuk melakukan pembelian. Dengan kata lain, keputusan untuk membeli dilakukan dengan cepat. (b) Gairah (arousal) dan kesenangan (pleasure): Keinginan untuk membeli tersebut disertai dengan gairah dan perasaan bahagia, sehingga pembelian suatu produk maupun jasa lebih didasarkan pada emosional, bukan atas dasar pertimbangan yang rasional. (c) Adanya perilaku mengabaikan konsekuensi yang akan diterima: Konsumen yang melakukan belanja impulsif cenderung mengabaikan konsekuensi negatif.
2.2.2 Faktor dalam belanja impulsif Faktor-faktor penting yang berperan dalam belanja impulsif, yaitu (Verplanken dan Herabadi, 2001): a. Kognitif Salah satu faktor yang berperan dalam belanja impulsif, yaitu kognitif. Menurut Verplanken dan Herabadi (2001), faktor ini berfokus pada konflik kognitif yang dialami oleh individu, seperti: 1. Tidak mempertimbangkan harga maupun kegunaan suatu barang. 2. Tidak melakukan evaluasi terhadap suatu pembelian. 3. Tidak melakukan perbandingan antara produk yang diinginkan dengan produk lain yang mungkin lebih dibutuhkan. b. Emosi Menurut Verplanken dan Herabadi (2001), para pelaku belanja impulsif lebih banyak melibatkan faktor emosi. Individu yang melakukan belanja impulsif berada dalam situasi emosional, seperti: 1. Timbulnya dorongan untuk segera melakukan pembelian. 2. Timbul perasaan senang dan puas ketika berbelanja atau setelah melakukan pembelian.
2.2.3 Jenis belanja impulsif Shoham dan Brencic (2003) menggolongkan belanja impulsif menjadi empat jenis, yaitu:
(a) Pure
impulsive,
yaitu
aktifitas
berbelanja
dimana
konsumen
tidak
merencanakan pembelian, tetapi keinginan untuk membeli muncul begitu saja ketika melihat atau berjumpa dengan barang tersebut. (b) Reminder impulsive adalah pembelian yang dilakukan ketika konsumen melihat iklan atau brosur, dan teringat dengan kebutuhan akan barang tersebut. (c) Suggestion impulsive merupakan aktifitas berbelanja dimana konsumen melakukan pembelian karena pengaruh dari sales atau teman yang dijumpai di tempat pembelanjaan. (d) Planned impulsive adalah pembelian yang sebenarnya sudah direncanakan, tetapi karena barang yang dimaksud habis atau tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka yang dilakukan adalah membeli jenis barang yang sama tetapi dengan merek atau ukuran yang berbeda.
2.3
Locus of Control
2.3.1 Definisi locus of control Konsep locus of control pertama kali dikembangkan pada tahun 1966 oleh Rotter (Fahimatul, 2008). Menurut Rotter (1987), locus of control mengacu pada kemampuan
individu
dalam
menghubungkan
peristiwa-peristiwa
dalam
kehidupan pribadinya kepada faktor-faktor eksternal atau terhadap deposisi dirinya sendiri. Singkatnya, locus of control mengacu pada derajat keyakinan seseorang mengenai kemampuan dirinya dalam mengatur dan mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup. Rotter (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010) membagi locus of control menjadi dua kontinum, yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Rotter (dalam Fahimatul, 2008)
menjelaskan bahwa locus of control bersifat kontinum atau tidak statis. Individu yang memiliki locus of control eksternal bisa berubah menjadi individu yang berorientasi internal, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu, misalnya lingkungan dimana individu itu tinggal dan beraktifitas.
2.3.2 Tipe locus of control Tipe locus of control menurut Rotter (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010), yaitu: a.
Locus of control internal adalah keyakinan individu bahwa kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan disebabkan oleh faktor-faktor dalam diri. Individu yang memiliki locus of control internal merasa memiliki tanggung jawab dan kontrol atas perilaku dalam hidupnya, serta merasa mampu untuk merubah, mempengaruhi, serta mengendalikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Individu tersebut akan memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan, dan perilaku individu turut berperan di dalamnya.
b.
Locus of control eksternal adalah keyakinan individu mengenai kejadiankejadian yang terjadi dalam hidup disebabkan oleh faktor-faktor dari luar diri. Individu dengan locus of control eksternal akan memandang peristiwa baik maupun buruk yang terjadi disebabkan oleh faktor-faktor kesempatan, nasib, keberuntungan, orang lain yang berkuasa, serta situasi-situasi yang tidak dikuasai oleh individu tersebut. Rotter (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010)
mengatakan bahwa individu ini akan memandang bahwa dunia tidak dapat diramalkan dan perilaku individu tidak berperan di dalamnya.
2.3.3 Faktor-faktor locus of control 2.3.3.1 Faktor-faktor locus of control internal Faktor-faktor internal yang berkaitan dengan locus of control, antara lain: - Kemampuan, berhubungan dengan kapasitas yang dimiliki individu tersebut dalam mempengaruhi keberhasilan. - Minat adalah keinginan yang besar untuk mengontrol perilaku, sikap, dan peristiwa. - Sedangkan faktor usaha, berhubungan dengan pikiran yang optimis dan selalu berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol perilakunya. 2.3.3.2 Faktor-faktor locus of control eksternal Faktor-faktor eksternal yang terlibat dalam locus of control, yaitu: - Nasib adalah faktor yang menentukan kegagalan dan kesuksesan. Individu menganggap bahwa hidupnya sudah ditakdirkan, serta percaya pada firasat baik dan buruk. - Keberuntungan adalah faktor yang menentukan keberhasilan individu. Individu menganggap bahwa semua orang memiliki keberuntungannya masing-masing. - Lingkungan fisik (Physical Surrounding), yaitu aspek-aspek fisik dan ruang nyata yang mencakup aktifitas konsumen, seperti warna, suara, cahaya, cuaca dan pengaturan ruangan. - Lingkungan sosial (Social Surrounding) melibatkan kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang hadir pada situasi tersebut, peranan nyata
orang-orang yang hadir, interaksi interpersonal, serta pengaruh dari orang lain atau individu yang hadir selama proses konsumsi terhadap aktifitas konsumen. - Waktu, yaitu situasi yang dapat dispesifikasikan, misalnya kejadian tertentu ketika perilaku pembelian terjadi (momen-momen istimewa, seperti hari raya keagamaan, ulang tahun seseorang, perayaan tahun baru, dan sebagainya). - Situasi yang mendahului atau antecendent state adalah perasaan sementara, seperti rasa cemas dan gembira atau kondisi yang dibawa konsumen ke dalam aktifitas berbelanja
2.3.4 Perbandingan karakteristik locus of control Rotter (dalam Ghufron dan Risnawita, 2010) memaparkan perbedaan karakeristik antara individu yang memiliki locus of control internal dan locus of control eksternal sebagai berikut. Tabel 2.1. Karakteristik Locus of Control Internal dan Locus of Control Eksternal
Locus of Control Internal
Locus of Control Eksternal Memiliki kepercayaan bahwa antara
Suka bekerja keras
usaha dan keberhasilan tidak terlalu berkorelasi
Memiliki inisiatif
Kurang memiliki inisiatif
Selalu berusaha menemukan pemecahan
Merasa bahwa kontrol berasal dari luar dirinya, sehinga kurang mau berusaha
Memikirkan apa yang akan dilakukan di waktu
Kurang memikirkan aktifitas yang
mendatang
akan dilakukan di masa mendatang
Mempunyai
persepsi
bahwa
keberhasilan
Mempunyai persepsi bahwa nasib,
berasal dari usaha yang dilakukan oleh diri
kesempatan, keberuntungan, dan orang
sendiri
lain yang menentukan keberhasilan
Sumber: Ghufron dan Risnawita (2010), hal. 68.
2.4
Hubungan antara Locus of Control dengan Belanja Impulsif Park dan Burns (2005) menyatakan aktifitas berbelanja akan melibatkan
individu dalam proses menentukan pilihan dan pengambilan keputusan. Salah satu faktor yang memegang peranan dalam pengambilan keputusan adalah locus of control (Smith, 2007). Menurut Widawati (2011), locus of control merupakan salah satu aspek personal yang ikut menentukan munculnya perilaku pembelian atau belanja konsumen. Individu dengan locus of control internal lebih mampu menunda kepuasan, tidak mudah terpengaruhi oleh produk, dan mampu menahan dorongan untuk membeli. Pinto (2004) mengatakan bahwa individu dengan locus of control internal cenderung lebih percaya diri, lebih yakin, serta memiliki inisiatif dan berusaha mengendalikan impulsifitas yang mereka rasakan. Sedangkan individu dengan locus of control eksternal memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk melakukan perilaku belanja impulsif. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widawati (2011) mengenai hubungan antara locus of control terhadap perilaku belanja impulsif terhadap konsumen pengguna kartu kredit Carrefour di Bandung, terdapat hubungan yang signifikan antara locus of control dengan belanja impulsif. Sebanyak 33.30% konsumen yang memiliki locus of control eksternal melakukan pembelanjaan impulsif. Namun, penelitian tersebut juga membuktikan bahwa 36.70% respoden dengan locus of control internal melakukan pembelian impulsif.
2.5
Partisipan Penelitian
2.5.1 Wanita Menurut Kamus Bahasa Indonesia (dalam Wahyuni 2011), wanita adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa. Wanita adalah organisme yang memiliki organ vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui. Sifat-sifat yang khas dan melekat dengan kaum wanita misalnya: lemah lembut, mudah menangis, pesolek, emosional, kurang mandiri, memiliki kebutuhan rasa aman yang besar, peka terhadap perasaan orang lain, dan sebagainya (www.Psikologi-Online.com).
2.5.2 Middle Adulthood Berdasarkan teori perkembangan psikososial Erikson (dalam Adelar, 2008), individu yang berusia antara 41 sampai 65 tahun berada pada tahap ke tujuh, yaitu tahap middle adulthood atau usia dewasa muda, dimana individu akan mengalami krisis generativitas vs stagnasi. Tugas individu pada tahap ini adalah melahirkan sesuatu (generativitas) atau tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas berorientasi pada generasi mendatang, serta sikap peduli terhadap orang lain. Individu diharapkan mampu menghasilkan sesuatu dan lebih memikirkan generasi muda lainnnya Sedangkan stagnasi menggambarkan sikap memuja diri sendiri dan tidak memiliki kepedulian kepada individu lain. Harapan yang ingin dicapai pada tahap ini adalah kepedulian. Individu diharapkan mampu berinteraksi atau berhubungan baik dan berbagi pengetahun dengan generasi penerusnya (anak atau individu yang lebih muda).
2.5.3 Perkembangan wanita pada tahun 2012 Mark Plus (dalam Kompas.com, 2011) melakukan sebuah riset pada tahun 2010 terhadap ribuan responden di 12 kota besar di Indonesia, dan menghasilkan istilah “WOMEN”. Istilah tersebut mewakili lima kekuatan yang dimiliki oleh kaum wanita di Indonesia, dan merupakan singkatan dari Wellbeing, Optimis, Multitasking, Enterpreneur, dan Networker. a. Wellbeing yaitu kekuatan yang menunjukkan bahwa wanita Indonesia menginginkan hidup yang ideal dan bahagia lahir-batin. b. Optimis merupakan pola pikir positif yang menunjukkan bahwa wanita bisa bertahan dalam keluarga walaupun dalam keadaan terpuruk. c. Multitasking menandakan wanita dapat menyeimbangkan kerja otak kanan dan otak kiri, sehingga wanita dapat mengandalkan rasio dan insting dalam menganalisis. Sebagai contoh, banyak wanita Indonesia yang bekerja, tetapi juga bertanggung jawab atas keluarga dan anggaran rumah tangga. d. Enterpreneur yaitu individu yang membuka lapangan pekerjaan baru. Kaum wanita mempertahankan stabilitas ekonomi keluarga saat terjadi krisis perekonomian dunia tahun 2008 lalu dengan bekerja di perusahaan dan membuka bisnis sampingan. Networker adalah individu yang membentuk kontak bisnis melalui pertemuan sosial-informal, misalnya aktifitas jual-beli online.