BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Ginjal Kronis Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam yang dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan pada umumnya akan berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, dimana pada suatu derajat memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, baik berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006). Batasan PGK pada pedoman K/DOQI adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih dari tiga bulan, berdasarkan kelainan patologik atau petanda kerusakan ginjal seperti kelainan pada urinalisis. Selain itu, batasan ini juga memperhatikan derajat fungsi ginjal atau laju filtrasi glomerulus (LFG), seperti terlihat pada Tabel 2.1 (Suwitra, 2006). Tabel 1. Kriteria penyakit ginjal kronik (Suwitra, 2006). Kriteria PGK 1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : Kelainan patologis Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test) 2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
6
7
Klasifikasi stadium pada individu dengan PGK ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah (Tabel 2.2) (Suwitra, 2006). Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan derajat penyakit (Suwitra, 2006). Derajat Penjelasan 1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat 2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 5 Gagal ginjal
LFG ≥ 90 60 - 89 30 - 59 15 - 29 <15/ dialisa
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut (Suwitra, 2006) :
2
LFG (60 ml/menit/1,73m ) =
(140-umur) x berat babadan 72 x kreatinin plasma(mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85 2.1.1.Morbiditas dan Mortalitas Penyakit Kardiovaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis Penyakit jantung vaskuler merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien dengan PGK pada semua stadium (Skorecki, 2005). Penyakit jantung merupakan penyebab kematian paling penting pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, yaitu 44% dari seluruh mortalitas. Sebagai gambaran,
8
mortalitas penyakit kardiovaskuler pada populasi umum (2.000 kematian) dibandingkan mortalitas pada pasien hemodialisis (50.000 kematian). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat mortalitas penyakit kardiovaskuler per tahun jauh lebih tinggi pada pasien hemodialisis tanpa mempertimbangakan jenis kelamin, ras atau usia. Pasien hemodialisis yang masih muda memiliki peningkatan tingkat mortalitas hingga 500 kali dibandingkan usia yang sesuai pada populasi umum, dan tingkat mortalitas tetap lima kali lipat lebih tinggi, meskipun pada pasien paling tua (Gambar 2.1.)(Sarnak, 2003).
Gambar 1. Mortalitas penyakit kardiovaskuler pada populasi umum dibandingkan dengan pasien penyakit ginjal kronik stadium terminal yang menjalani dialisis. GP:general population (Sarnak, 2003). Terdapat dua alasan potensial untuk peningkatan risiko mortalitas penyakit kardiovaskuler yang dramatis pada populasi hemodialisis. Pertama adalah tingginya prevalensi penyakit kardiovaskuler, dan kedua adalah tingginya tingkat kasus kematian pada pasien yang telah memiliki penyakit kardiovaskuler. Berbagai data menunjukkan bahwa pasien hemodialisis memiliki prevalensi penyakit jantung iskemik dan gagal jantung kongestif yang lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Sebagai tambahan prevalensi pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri sejumlah 75% pada pasien dialisis (Sarnak, 2003).
9
Penting untuk digarisbawahi bahwa prevalensi penyakit kardiovaskuler meningkat pada semua pasien dengan PGK, tidak hanya pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). Prevalensi hipertrofi ventrikel kiri meningkat dengan menurunnya filtrasi glomerulus, dan sebanyak 30% pasien PGTA telah memiliki bukti klinis adanya penyakit jantung iskemik atau gagal jantung. Juga perlu diperhatikan bahwa pasien dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) lebih cenderung mengalami kematian akibat penyakit kardiovaskuler daripada berkembang ke PGTA (Sarnak, 2003). 2.1.2. Risiko Kardiovaskuler pada Penyakit Ginjal Kronis Berbagai macam faktor risiko dan perubahan metabolik yang didapatkan pada kondisi uremia, berkontribusi terhadap terjadinya faktor risiko penyakit kardiovaskuler
pada
populasi
tersebut.
Faktor
risiko
tradisional
(misal
Framingham: usia, gaya hidup, hipertrofi ventrikel kiri, dislipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus) memprediksi mortalitas kardiovaskuler pada pasien dengan PGK ringan hingga sedang (Muntner, 2005), sedangkan faktor risiko nontradisional untuk penyakit kardiovaskuler, seperti inflamasi, disfungsi endotel, hiperaktivitas simpatis, protein-energy wasting (istilah baru yang diajukan untuk kehilangan protein tubuh dan cadangan energi), stres oksidatif, kalsifikasi vaskuler, dan volume overload, memiliki prevalensi tinggi pada pasien-pasien tersebut (Stevinkel, 2008).
10
Gambar 2. Faktor risiko kardiovaskuler tradisional dan non-tradisional (terkait uremia) pada PGK (Stevinkel, 2008). Pasien dengan hiperuremia kronis yang disebabkan baik oleh faktor-faktor renal maupun non-renal, faktor-faktor risiko penyakit jantung dan aterosklerosis saling mempengaruhi sebagai komorbiditas, seperti terlihat pada Gambar 2.3 (Santoro dan Mancini, 2002). KLASIK Hipertensi Hiperlipidemia Diabetes Merokok
TERKAIT-UREMIA ↑ LDL teroksidasi Radikal bebas Hiperhomosisteinemia Infeksi: herpes, klamidia Asidosis Toksin
TERKAIT-DIALISIS Bioinkompatibilitas Infeksi Endotoksin
PELEPASAN SITOKIN PROINFLAMASI
DISFUNGSI ENDOTEL
PROTEIN REAKTAN FASE AKUT ↑(CPR, SAA, FIBRINOGEN) ↓ RESPON INFLAMASI SISTEMIK ↓ PERCEPATAN ATEROSKLEROSIS
Gambar 3. Faktor risiko aterosklerosis pada uremia (Santoro and Mancini, 2002).
11
Pada respon inflamasi yang berhubungan dengan uremia, khususnya respon seluler yang dimediasi oleh sel seperti monosit dan makrofag, bukti – bukti telah menunjukan bahwa endotel vaskular berperan penting dalam kuatnya respon inflamasi. Inflamasi yang terus menerus menghasilkan respon vaskuler pada suatu proses yang diperantarai oleh mediator inflamasi lewat jalur kemotaktik dan haptotatik. Migrasi monosit ke tunika intima akan berubah menjadi makrophag, memakan lipid dan menjadi foam cells seperti terlihat pada Gambar 2.4 (Stinghen and Pecoits-Filho, 2007).
Gambar 4. Peranan uremia pada disfungsi endotel(Stinghen and Pecoits-Filho, 2007). Selama berlangsungnya PGK akumulasi ureum akan meningkatkan toksiksitas ureum yang dapat dihubungkan dengan meningkatnya perburukan penyakit kardiovaskuler. Toksin ureum terdiri dari kelompok zat yang heterogen seperti zat organik dan peptida yang pada kondisi normal diekskresikan lewat ginjal yang sehat dan ditahan jika didapatkan gangguan fungsi ginjal. Secara teori toksin ureum pada PGK dapat menyebabkan perubahan fenotip sel-sel endotel dimana lebih mudah mensintesa dan mengekspresikan molekul adesi seperti :Vasculer Adhesion Molecule -1 (VCAM-1), Intercelluler Adhesion Molecule-1
12
(ICAM-1), dan kemokin seperti monocyte chemoattractant protein - 1 (MCP - 1) dan interleukin-8 (IL-8) (Stinghen and Pecoits-Filho, 2007). Penderita PGK dengan uremia terjadi peningkatan kadar atau sintesa IL-1β dan TNF-α. IL-1β akan merangsang endotel mengekspresikan ICAM-1. ICAM-1 akan berikatan dengan Leucocyte Functioning Antigen (LFA) sehingga monosit akan terikat pada permukaan endotel dan dimasukan ke subendotel (perdiapedesis) akibatnya monosit berubah menjadi makrofag(Guntur,2001; Purwanto, 2008). Makrofag akan memakan LDL (vLDL dan LDL yang telah diopsonifikasi oleh ROS), sehingga makrofag terus memakan LDL dan vLDL tersebut menjadi foam cell. Foam cell akan mengekspresikan growth factor dan sitokin yang lain sehingga membentuk plak aterosklerosis (Guntur,2001; Purwanto, 2008).
Gambar 5. Gambaran proses terjadinya aterosklerosis (Stinghen and Pecoits, 2007). Menurut WHO aterosklerosis adalah keadaan perubahan fokal pada tunika intima arteri yang berubah dan yang dipenuhi dengan kombinasi substansi lemak, kabohidrat kompleks, darah, konstituen darah, adanya peningkatan jaringan ikat, dan adanya deposit kalsium yang berasosiasi dengan perubahan pada tunika media
13
arteri. Aterosklerosis secara anatomis merupakan suatu penyakit dari proses proliferatif dalam lapisan intima, sering disertai atrofi lapisan media, proses ini melibatkan lipoprotein aterogenik, sel endotel, monosit, proliferasi sel otot polos, platelet, trombosit, kalsium dan faktor lain, jadi bersifat multifaktorial. Sebetulnya aterosklerosis sendiri bukanlah bentuk akhir dari suatu penyakit, tapi merupakan kumpulan perubahan patologis pada arteri dengan dasar perubahan adanya indurasi, hilangnya elastisitas arteri, dan menyempitnya lumen pembuluh darah(Linnebank et al.2011). Aterosklerosis lebih berefek pada arteri dibandingkan dengan vena, ini kemungkinannya disebabkan arteri lebih tebal karena memiliki otot polos, sel otot polos banyak membentuk kumpulan plak aterosklerotik. (Linnebank et al, 2011). Aterosklerosis merupakan respon normal atas terjadinya injury ( cedera ) pada sel endotel arteri, karena itu sel endotel memegang peranan yang sangat penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Kejadian awal respon injury inilah yang terus berlanjut menjadi terbentuknya plak aterosklerotik pada dinding arteri. Marker dari aterosklerosis pada arteri adalah ketebalan tunika intima-media(intima-media thickness-IMT) di arteri tersebut dan ketebalan tunika intima-media arteri carotis merupakan marker untuk terjadinya arterosklerosis awal dan merupakan refleksi arterosklerosis secara umum. Penelitian terdahulu menunjukan peningkatan ketebalan tunika intima-media arteri karotis berhubungan dengan kejadian infark miokard dan stroke pada usia tua dan dewasa. IMT pada orang dewasa antara 0,51.0 mm, meningkat dengan bertambahnya usia , secara umum IMT lebih tebal pada laki-laki. Ketebalan lebih dari 1,0 mm menandakan suatu abnormalitas atau aterosklerosis dan memerlukan observasi lebih lanjut. Ultrasonografi (USG) duplex karotis adalah alat diagnostik yang digunakan untuk pemeriksaan arteri karotis.
14
USG duplex dapat dipercaya, tidak mempunyai risiko radiasi dan dapat digunakan untuk pasien dengan claustrophobia pada penggunaan mesin MRI. USG Duplek mempunyai risiko yang lebih sedikit dibanding angiografi konvensional (Linnebank et al, 2011).
2.1.3. Inflamasi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis Inflamasi kronis yang terdapat pada penyakit ginjal kronis terjadi tanpa adanya infeksi akut atau penyakit sistemik aktif. Peningkatan kadar penanda inflamasi yang bersirkulasi, seperti IL-6, IL-18, S-albumin, leukosit, fibrinogen, hyaluronan, myeloperoxidase, CRP, dan pentraxin-3 (PTX3) berhubungan dengan morbiditas kardiovaskuler dan mortalitas pada pasien PGK (Stevinkel, 2008). Telah dibuktikan bahwa peningkatan CRP serum terdapat pada 30-60% pasien dialisis dan berkorelasi dengan prevalensi penyakit kardiovaskuler yang tinggi pada populasi tersebut. Hal tersebut tidak terbatas pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang telah menjalani dialisis, bahkan pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang ringan menunjukkan tanda-tanda mikro-inflamasi (Sarnak, 2003). Tampaknya bahwa peningkatan klirens sitokin proinflamasi yang bersirkulasi, endotoksemia akibat volume overload dan stres
oksidatif
berkontribusi pada fenomena tersebut (Alscher and Thomas, 2005). 2.1.4. Program Terapi PGK Pada pasien Penyakit Ginjal Kronik, kematian tersering diakibatkan oleh penyakit jantung vaskuler dengan mortalitas antara 40% hingga 50% jika disertai gangguan serebrovaskuler pada pasien yang dilakukan dialisis reguler (Amaresan, 2005; Sukandar, 2006).
15
Perubahan-perubahan faal ginjal /LFG, bersifat individual untuk setiap pasien gagal ginjal kronis, lama terapi konservatif bervariasi, dari bulan sampai tahun. Pada gambar 2.6., dijelaskan algoritme program terapi PGK (Sukandar, 2006).
PGK
Penyakit Ginjal Terminal
Meninggal
Hemodialisa CAPD
Dialisis
Gagal Transplantasi
Berhasil
Gambar 6. Algoritme Program Terapi PGK (Sukandar, 2006).
Sebelum dilakukan dialisis pada pasien dengan uremia, telah terjadi inflamasi kronis. Uremia yang berkaitan dengan inflamasi, menjadi penentu yang menjelaskan tetap tingginya kematian akibat penyakit jantung vaskuler pada PGK. Aterosklerosis merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien PGK (Papagiani dkk.,2003 ; Massy dkk., 2005). Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti ginjal buatan dengan tujuan untuk eliminasi sisa-sisa produk metabolisme (protein) dan koreksi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan
16
dialisat melalui selaput membran semipemiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (Cohen, 2007). Hemodialisis pada umumnya sudah dilakukan pada pasien PGK dengan bersihan kreatinin < 10 ml/ menit (< 15 ml/menit pada pasien dengan nefropathi diabetes) atau bila kadar kreatinin serum mencapai 8-10 mg/ dL (Ross dan Caruso, 2005). Sebagian besar pasien dengan PGK dalam satu minggu membutuhkan hemodialisis 9-12 jam dibagi dalam 3 sesi yang sama (Sculman dan Himmelfrab, 2004; Singh dan Brenner, 2006). Hemodialisis mempunyai beberapa efek antara lain: bioinkompatibilitas, serta reaksi antara cairan dialisis terkontaminasi bakteri yang akan menghasilkan endotoksin (lipopolisakarida) dan berakibat pada terlepasnya sitokin (Boure, 2004; Erten,2007). Proses ini tidak terlalu kuat bila menggunakan membran dialisis sintetik atau membran selulosa yang telah dimodifikasi. Beberapa membran sintetik mempunyai ukuran pori-pori besar yang akan memudahkan aliran air dan meningkatkan kekuatan ultrafiltrasi sehingga dapat memindahkan zat – zat dengan molekul besar seperti solute uremia dibandingkan dengan membran dengan ukuran pori-pori kecil (Boure, 2004). Selama proses hemodialisis, beberapa zat terlarut seperti albumin, fibrin, β2-mikroglobulin, komponen aktif komplemen, dan sitokin (IL-1 dan TNF-α) mengalami absorbsi kedalam membran dialiser dan sebagian dari zat tersebut akan dieliminasi dari darah (Tzanatos, 2000; Malaponte, 2002). Faktor komplemen yang teraktivasi, seperti C3a dan C5a, meningkat selama HD (hemodialisis) dan mencapai kadar maksimal 15-30 menit setelah inisiasi sesi HD, menyebabkan aktivasi leukosit, produksi dan pelepasan sitokin,
17
serta produksi ROS (Reactive Oxygen Species) yang berlebihan (Schindler, 2004). Terdapat perbedaan besar antara membran dialisa dalam kapasitasnya untuk mengaktivasi sistem komplemen, dengan cuprophan dan selulosa tanpa modifikasi lainnya dianggap paling bioinkompatibel. Sebaliknya, membran sintetis, yang terbuat dari polimer artifisial, lebih sedikit mengaktifkan komplemen (Jacobs, 2004; Kerr, 2007). 2.1.5.
Methylcobalamin Cobalamin atau vitamin B12 adalah anggota familly corrin, yang dikenal
sebagai hydroxocobalamin di Inggris dan sebagai sianokobalamin di Amerika Serikat 40-50% dari corrins serum mungkin secara fisiologis merupakan vitamin B12 tidak aktif . Tubuh manusia tidak mensintesis cobalamin. Satu-satunya sumber adalah makanan hewani daging, ikan dan produk susu. Kebutuhan harian vitamin B12 pada manusia adalah 1-3 µg (Kuwabara S, et al. 1999). Defisiensi cobalamin makanan muncul dalam vegetarian yang tidak menyentuh daging, ikan, telur dan keju, atau pada diet yang tidak memadai karena kemiskinan atau gangguan kejiwaan.Cobalamin yang tertelan bersama makanan atau minuman dilepaskan dari protein kompleks oleh enzim pencernaan, membentuk cobalamin-intrinsik kompleks faktor dan akan diserap pada ileum distal, selanjutnya akan memasuki circulation enterohepatic. Di dalam hepar
Cobalamin diubah menjadi dua bentuk aktif penting, yaitu
Methylcobalamin dan adenosylcobalamin(Kuwabara S, et al. 1999). Methylcobalamin adalah metabolit aktif dari cobalamin. Dengan demikian pemberian methylcobalamin bisa memberikan keuntungan, karena tidak
memerlukan
proses
konversi
didalam
tubuh
untuk
merubah
18
cyanocobalamin menjadi methylcobalamin dan juga tubuh menjadi lebih cepat dalam mempersiapkan methylcobalamin dalam jumlah yang cukup untuk keperluan tubuh. Methylcobalamin sangat penting untuk sintesis DNA selular dan karenanya memberikan kontribusi untuk berbagai fungsi jaringan tubuh, pembentukan selubung mielin, sehingga lebih cepat membagi dan mempercepat proliferasi
sistem seluler seperti darah dan epithelium
lambung (Venu.M,
2013). Methylcobalamin adalah co-faktor untuk sintesis metionin. Metilasi homosistein menjadi metionin membutuhkan methylcobalamin dan lima metil tetrahydrofolate. Dengan demikian pemberian methylcobalamin bisa berperan menurunkan homocystein yang merupakan molekul uremia sehingga bisa menurunkan terbentuknya ROS dan resiko kompliksai terhadap integritas dari neuron. Peningkatan jumlah methionin sendiri juga akan merangsang pembetukan lechitin sebagai salah satu bahan pembentuk sel scwan atau myelinisasi(Venu.M, 2013).
Gambar 7. Peran methylcobalamin terhadap sel saraf.
19
Disamping itu juga berperan sebagai
co-faktor untuk enzim
methylmalonyl-CoA mutase di mitochondria. Isomerisasi metilmalonil-CoA ke suksinil-CoA
penting untuk sintesis lipid saraf untuk membentuk myelin.
Methylcobalamin juga berperan dalam metabolisme asam folat. Kekurangan methylcobalamin, juga mempengaruhi metabolism asam folat yang kurang efektif sehingga meningkatkan resiko timbulnya anemia megaloblastik(Venu.M, 2013). 2.1.6.
Homocystein Homocystein merupakan senyawa antara yang dihasilkan pada metabolisme metionin, yaitu suatu asam amino esensial yang terdapat dalam beberapa bentuk sulfurhidril diplasma dalam bentuk tereduksi dan disulfida dalam bentuk teroksidasi dinamakan homocystein
Gambar 8. Molekul Homocysten Peningkatan kadar hcy juga menurunkan bioavailabilitas nitrat oksida dan memodulasi kadar metabolit lain, termasuk S-adenosyl metionin (SAM) dan Sadenosyl
homosistein
(SAH)
yang
dapat
mengakibatkan
gangguan
kardiovaskular atau neurologis. Stres retikulum endoplasma muncul sebagai jalur umum yang berhubungan dengan apoptosis, aterosklerosis dan gangguan neurologis yang diatur oleh meningkatnya kadar Hcy (Bostom.A and Lathrop.L, 1997).
20
Homosistein bukan merupakan konstituen diet normal. Satu-satunya sumber homosistein adalah metionin yaitu suatu asam amino esensial yang mengandung sulfur yang diperoleh melalui asupan protein. Biosintesis metionin akan menghasilkan produk antara yaitu homosistein. Metabolisme homosistein dipengaruhi oleh asam folat, vitamin B6 dan B12 serta aktivitas berbegai enzim yang berperan pada jalur metabolismenya. Tahap pertama metabolisme homosistein adalah pembentukan S adenosil metionin , yang merupakan donor metil terpenting pada reaksi transmetilasi. S adenosil metionin, selanjutnya mengalami demitilasi membentuk S adenosil homosistein, yang kemudian dihidrolisis menjadi adenosin dan homosistein. Homosistein selanjutnya memasuki jalur transsulfurasi atau jalur remetilasi. Sekitar 50% homosistein yang memasuki jalur ini dan secara irreversibel berikatan dengan serin melalui pengaruh enzim sistasionin β sintase, untuk membentuk sistasionin. Sistasionin ini selanjutnya dimetabolisme menjadi sistein dan α ketobutirat melalui pengaruh enzim sistasionase. Sistein yang terbentuk dari homosistein ini akhirnya dirubah menjadi sulfat dan diekskresikan ke dalam urin. Pada jalur remetilasi, homosistein akan mengalami daur ulang menjadi metionin melalui 2 reaksi yang berbeda. Reaksi pertama memerlukan enzim 5 metiltetrahidrofolat homosistein metiltransferase (metionin sintase). Untuk aktivitas enzim ini dibutuhkan metilkobalamin sebagai kofaktor dan metiltetrahidrofolat sebagai kosubstrat. Metiltetrahidrofolat dibentuk dari tetrahidrofolat oleh pengaruh enzim metiltetrahidrofolat reduktase (MTHFR). Reaksi ini terjadi di semua jaringan. Jalur kedua dikatalisir oleh enzim betain homosistein metil transferase. Reaksi dengan betain ini terutama terbatas di
21
dalam hati. Proses daur ulang serta penyimpanan homosistein akan menjamin penyediaan metionin yang cukup. Pada keadaan kelebihan metionin, dimanfaatkan jalur transfulfurasi dengan meningkatkan regulasi sistasionin sintase dan mengurangi regulasi jalur remetilasi, sedangkan bila terdapat defisiensi metionin dimafaatkan jalur remetilasi. (Vivian F, 1999; Guntur,2004).
THF
Methionine
SAM 5, 10-methylene THF MS
B12
MTHFR
Betaine
5-methyl THF
SAH
Methyl Transfer Reactions
Homocysteine CBS
B6
Cystathionine Guntur (2004) Prof.DR.Dr.HA.Guntur Hermawan,SpPD-KPTI
RS Dr.Moewardi Surakarta
Gambar 9. Metabolisme Homocystein. Kang et al ,1992 mendefinisikan hyperhomocystein dalam kategori normal, moderat, intermediate dan severe Hyperhomocystein. Konsentrasi homocystein normal adalah 5-15 µmol/L . Moderat Hyperhomocysteinemia didefinikan sebagai peningkatan total plasma homocysistein (tHcy)
15-30
µMol/L . Intermediate hyperhomocystein didefinisikan sebagai peningkatan total plasma homocysistein (tHcy) 30-100 µMol/L Severe Hhcy jika kadar Hcy > 100 µmol/L(Giacomo. G et al, 2005). Homosistein mudah mengalami autooksidasi didalam plasma selanjutnya menghasilkan Reactive Oxygen Spesies( ROS) dan homosistein menginduksi timbulnya disfungsi sel melalui mekanisme stres oksidatif. Homocystein yang diinduksi stres oksidatif dapat terjadi melalui mekanisme lain. Berbagai
22
penelitian ex vivo menggunakan jaringan vaskular telah terlibat dalam menyebabkan Hyperhomocystein berupa respon relaksasi yang abnormal pembuluh darah dengan meningkatkan produksi anion superoksida intraseluler ( O2¯ ) . O2¯ diyakini dapat menurunkan ketersediaan nitrat oksida endotel (NO) untuk menghasilkan peroksinitrit, sehingga membatasi respon vasodilatasi yang normal (Giacomo. G et al, 2005). 2.2. Originalitas Penelitian Penelitian yang menghubungkan kadar TGF β-1 pada penyakit ginjal kronis dan pengukuran ketebalan tunika intima arteri karotis pada penyakit ginjal kronis telah banyak dilakukan. Sejauh peneliti ketahui, penelitian
pengaruh
methylcobalamine terhadap TGF β-1 dan ketebalan tunika intima media arteri carotis pada pasien penyakit ginjal kronis stadium v di Indonesia belum pernah dilakukan. Originalitas penelitian ini adalah melihat pengaruh methylcobalamine terhadap TGF β1 dan ketebalan tunika intima media arteri carotis pada pasien penyakit ginjal kronis stadium v. Tabel 3. Daftar penelitian sebelumnya mengenai pengukuran TGF β1 pada PGK Peneliti Indah J, Kusworini, Agustina T
Judul Hubungan Kadar TGF-β 1 dan IFN-ɣ dengan Indeks Kronisitas Nefritis Lupus Relationship TGF-β1 and IFN-ɣ Levels with Lupus Nephritis Chronicity Index
Metode studi observasional selama 1 tahun pada sampel urin 25 subjek penelitian
Hasil ada perbedaan yang signifikan antara mean kelompok kasus (nefritis lupus)yaitu (197,87±96,74) dan kelompok kontrol (lupus non nefritis) (17,82±18) pada pengukuran kadar IFN-ɣ urin, sedangkan TGF-β1 urin menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p=0,425) pada kelompok kasus
23
Prasetya Ismail P, Enggar Fitri, Krisni Subandijah
Hubungan Kadar Transforming Growth FactorBeta 1 (TGF-β1) Urin dengan Proteinuria pada Anak Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
Empat puluh lima sampel urin dikumpulkan terdiri dari 15 anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid, 15 anak dengan sindrom nefrotik sensitif steroid dan 15 anak sehat
Oka, AAG, Suwitra, K, dan Soebadi, DM
Nefropati obstruktif dari batu ginjal: peran caspase-3, transformasi growth factor-β dan tumor necrosis factor-α di ginjal fibrosis
Sebanyak 82 sampel biopsi ginjal patients during operasi batu ginjal di Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar-Bali dari Februari sampai bulan Desember 2013 wereapplied pertandingan dipasangkan berdasarkan usia dan jenis kelamin dibagi dalam 41 sampel sebagai kasus dan 41 sampel sebagai kontrol.
(34,51±11,17) dan kelompok kontrol (30,27±5,87). Pada uji korelasi menunjukkan ada hubungan positif yang kuat dan signifikan antara kadar IFN-ɣ urin dan TGF-β1 urin (r<0,787), indeks kronisitas dengan kadar IFN-ɣ urin (r<0,674) dan juga antara indeks kronisitas dan TGFβ1 urin (r<0,764). Dapat disimpulkan kadar TGF-β1 dan kadar IFN-ɣ berpotensi untuk digunakan sebagai indikator kronisitas nefritis lupus. Terdapat perbedaan bermakna dalam pengukuran rasio protein-kreatinin (p=0,000), tidak terdapat perbedaan bermakna dalam pengukuran TGF-β1 dan tidak terdapat hubungan antara kadar TGF- β1 dan rasio proteinkreatinine (r=-0,222; p=0,427). Dalam nefropati obstruktif pasien batu ginjal dengan tinggi aktivitas caspase-3 memiliki risiko 3,5 kali lipat untuk mendapatkan fibrosis ginjal dan dengan tingkat TGF-β memiliki 2 lipat risiko untuk mendapatkan fibrosis ginjal. Namun,
24
Penentuan caspase-3, TNF-α dan TGF-β1 dilakukan dengan menggunakan Kit Metode dan ginjal fibrosis diwarnai dengan Masson Trichrome
tingginya tingkat TNF-α tidak sebagai faktor risiko untuk mendapatkan fibrosis ginjal.
Tabel 4. Daftar penelitian pengukuran tunika intima media arteri carotis sebelumnya Peneliti Brzosko, u. lebkowska, j. malyszko, t. hryszko, k. krauzebrzosko, m. mysliwiec. (2005)
Wallenfeldt , bokemark l, wikstrand j, hulthe j, fagerberg b. (2004)
Anung sari anandita
Haryo teguh
Judul intima-media thickness of common carotid arteries is associated with traditional risk factors and presence of ischemic heart disease in hemodialysis patients. menilai perbandingan apo b/ apo a-1 pada sindroma metabolik dengan imt-cca pada laki-laki usia pertengahan hubungan kadar fibrinogen dengan ketebalan tunika intima media arteri karotis interna pada pasien pasca stroke iskemik
hubungan kadar apolipoprotein b dengan aterosklerosis arteri karotis interna
Metode cross sectional. subyek : 21 pasien hd kronik, 19 pasien sehat.
Hasil Imt karotis berkorelasi positif dengan umur (r = 0,68, p = 0,001), bmi (r = 0,50, p = 0,02), tch (r = 0,58, p <0,01), ldl-kolesterol (r = 0,55, p = 0,01) dan fibrinogen (r = 0,57, p <0,01) tetapi tidak dengan thcy atau lp (a) pada kelompok pasien.
apo b, apo a-1, sindroma metabolik, imt -cca, laki-laki usia pertengahan
rasio apo b/ apo a-1> 0,74 terjadi peningkatan imt-cca 20 μm pertahun
cross sectional 30 subyek consecutive sampling dari penderita pasien pasca stroke iskemik yang kontrol ke klinik saraf rsup dr.kariadi semarang waktu januari 2011-maret 2011 cross sectional subyek penelitian terdapat sebanyak 44, yang menderita aterosklerosis sebanyak 24
analisis regresi linier didapatkan hubungan positif antara usia, bmi dan kadar fibrinogen dengan ketebalan tunika intima-media arteri karotis interna dengan koefisien korelasi usia r = 0,326, p = 0,039 diikuti bmi r = 0,323, p =0,045 dan kadar fibrinogen r = 0,319, p = 0,04 hasil uji regresi linier sederhana membuktikan ada hubungan yang bermakna antara kadar apolipoprotein b dengan ketebalan tunika intima medi
25
pada pasien pasca stroke iskemik
Theodora temelkovakurktschiev, carsta koehler, elena henkel, markolf hanefeld. (2002)
leukocyte count and fibrinogen are associated with carotid and femoral intimamedia thickness in a risk population for diabetes.
Corina serban, rodica mateescu, lavinia noveanu, lelia susan, alina pacurari (2009)
relation between lipoprotein(a), fibrinogen and carotid intimamedia thickness in essential hypertensive patients
subyek (54,6%), dan yang tidak menderita aterosklerosis sebanyak 20 subyek (45,4%). waktu desember 2010 sampai februari 2011 di instalasi rawat jalan ilmu penyakit saraf rsup dr. kariadi semarang cross sectional subyek : 597 (288 laki2 dan 309 perempuan) yang memiliki risiko menderita dm tipe 2.
a arteri karotis interna (r= 0,718; p = 0,0001)
case control subyek : 20 pasien dgn hipertensi & dislipidemia, 20 pasien dgn hipertensi tanpa dislipidemia
korelasi positif yang kuat antara lp (a) dan imt (p <0,001), dan korelasi positif moderat antara lp (a) dan fibrinogen (p <0,001) dan antara fibrinogen dan imt (p <0,001).
pada analisis univariat jumlah lekosit dan kadar fibrinogen berkorelasi secara signifikan untuk imt karotis dan femoralis.