14
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Konsep Syariah Syariah adalah kata bahasa Arab yang secara harfiahnya berarti jalan yang ditempuh atau garis yang seharusnya dilalui. Syariah juga berarti agama dalam pengertian totalitas. Shihab (2007:947) menjelaskan bahwa sesuai dengan surat asSyura’ ayat 13, Allah menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara agama yang diwasiatkan kepada Nabi Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as, dan Muhammad saw. Syariah dalam ayat tersebut berarti agama Islam dalam pengertian yang luas yakni katauhidan da ketaatan kepada Allah. Adapun secara termonologi, syariah adalah peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada kaum muslimin supaya mematuhinya, supaya syariah ini diambil oleh orang Islam sebagai penghubung di antaranya dengan Allah dan di antaranya dengan manusia (Syalthut, 1959 dalam Karim, 2007:7). Jadi syariah berisi aturan-aturan dan hukum yang harus dilalui oleh seorang Muslim. Syariah disebut juga syara' atau syir'ah yang berarti hukum Islam yang terkandung dalam al-Qur'an dan as- Sunnah dan dikembangkan melalui prinsip-prinsip analisis empat madzhab
fiqh Islam yaitu madzhab Syafi'i,
Hambali, Hanafi dan Maliki, bersama madzhab Ja'fari untuk kalangan syiah (Glasse, 1996 dalam Suyanto, 2006:25). As-Syatibi dalam P3EI (2008:54) menyatakan bahwa semua ketentuan dalam alQur'an dan as-Sunnah mempunyai manfaat yang hakiki yaitu mewujudkan kemaslahatan manusia yang dikenal dengan sebutan Maqashid Syariah (tujuan syariah) yang meliputi pemeliharaan terhadap agama (dien), jiwa (nafs), intelektual ('aql), keluarga dan 14
15
keturunan (nasl), dan materi ('maal). Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Selanjutnya untuk memahami makna syariah diperlukan tiga hal mendasar (P3EI, 2008:34), yaitu keimanan, moral dan fiqh, serta kodifikasi hukum. Dalam fiqh, suatu perilaku dikategorikan menjadi legal atau illegal, halal atau haram, sedangkan dalam syariah terdapat lebih banyak kategori dalam menilai suatu perilaku. Syariah Islam berfungsi memberikan informasi atau petunjuk bagaimana ekonomi Islam seharusnya diselenggarakan, sedangkan fiqh sebagai alat kontrol terhadap produk ekonomi agar tidak melanggar syariah Islam. Dalam ushul fiqh, ada kaidah yang menyatakan "maa laa yatimm al- wajib illa bihi fa huwa wajib" yang artinya sesuatu yang harus ada untuk menyempurnakan yang wajib, maka ia wajib diadakan. Mencari nafkah (melakukan kegiatan ekonomi) adalah wajib, dan pada jaman modern seperti sekarang ini, kegiatan perekonomian tidak akan sempurna tanpa adanya lembaga perbankan, sehingga ini pun wajib diadakan. Dengan demikian ada kaitan yang jelas antara Islam dengan perbankan.
2.2. Sejarah Perbankan Syariah Kehidupan Rasulullah Saw dan masyarakat muslim di masa beliau adalah teladan yang paling baik dalam implementasi Islam di bidang ekonomi. Meskipun sebelum masa kenabian, Muhammad adalah seorang pebisnis, namun yang dimaksud dengan perekonomian di zaman Rasulullah Saw adalah pada masa Madinah. Rasulullah mengawali pembangunan Madinah tanpa sumber pendapatan yang pasti dan dalam kondisi terjadinya ketimpangan distribusi kekayaan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Oleh karena itu, Rasulullah Saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum
16
Anshar dengan mendorong kerjasama antara lain muzaraah, mudharabah, musaqah, dan lain-lain. Selanjutnya praktik-praktik seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk produksi dan konsumsi, dan melakukan pengiriman uang juga telah lazim dilakukan pada zaman Rasulullah Saw. Seorang sahabat Rasulullah Saw, Zubair bin al-Awwam r.a.
memilih tidak
menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Selanjutnya sahabat Rasullulah yang lain, Ibnu Abbas r.a. pernah melakukan pengiriman uang ke Kuffah, dan Abdullah bin Zubair r.a. juga pernah melakukan pengiriman uang ke Irak (Karim, 2007:19). Penggunaan cek juga telah dikenal sejak terjadinya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman. Bahkan, ketika masa pemerintahan khalifah Umar bin al-Khattab r.a. telah menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak, yaitu untuk mengambil gandum di Baitul Maal. Fungsi menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer pada zaman Rasululllah Saw dilakukan seseorang yang dipercaya, sedangkan pada zaman Bani Abbasiyah, fungsi-fungsi tersebut telah dilakukan oleh masing-masing individu. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman Bani Abbasiyah, sehingga diperlukan naqid, sarraf, dan jihbiz, yaitu seseorang yang mempunyai keahlian khusus untuk membedakan kandungan logam mulia antar masing-masing jenis mata uang tersebut. Selanjutnya peranan bankir semakin popular pada pemerintahan khalifah Muqtadir (908-932 M). Pada saat itu, hampir setiap wazir (menteri) mempunyai bankir sendiri, misalnya Ibnu Furat menunjuk Harun ibnu Imran dan Joseph ibnu Wahab sebagai bankirnya, Ibnu Abi Isa menunjuk Ali bin Isa, dan lainlain. Kemajuan praktik perbankan pada khalifah tersebut juga ditandai dengan beredarkan Saq (cek) sebagai media pembayaran, misalnya Sayf al-Dawlah al-Hamdani
17
yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol) (Haron, 1997 dalam Karim, 2007:22). Sejarah perkembangan bank Islam modern dipicu oleh beberapa faktor antara lain pertama, adanya kelompok yang menganggap bunga sebagai riba. Gerakan kelompok yang tidak setuju adanya bank konvensional diawali di Mesir sekitar tahun 1930-an, yaitu Ikhwanul Muslimin. Menurut pandangan kelompok ini, riba sangat dilarang dalam al-Qur'an dan telah menyebabkan kemiskinan bagi umat Islam. Gerakan ini lebih populer dengan nama neo-revivalis ( Saeed, 2003 dalam Sparta, 2008). Kedua, melimpahnya aset minyak di Negara-negara Teluk, yaitu Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar dan Bahrain. Ketiga, interpretasi riba di kalangan negara Muslim yang melahirkan keputusan politik yaitu dengan mendirikan bank Islam sebagai cara untuk menghilangkan bunga dalam sistem perbankan. Rintisan perbankan Islam di zaman modern mulai terwujud pada dekade 1960- an dalam bentuk rural-social bank di sepanjang delta Sungai Nil. Lembaga keuangan pedesaan ini diberi nama Mit Ghamr Local Saving Bank yang diprakarsasi oleh Prof. Dr. Ahmad Najjar pada tahun 1963 (Antonio, 2001:19). Ekperimen itu sangat berhasil, baik dalam penghimpunan modal dari masyarakat berupa tabungan, uang titipan dari zakat, infaq dan shadaqah, maupun dalam memberikan modal kepada masyarakat berpendapatan rendah, khususnya di bidang pertanian (Ready, 1981 dalam Suyanto, 2006:23). Namun dengan alasan politik, bank Mit Ghamir kemudian diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada tahun 1967. Selanjutnya pada rezim Jamal Abdul Nasr, pemerintah mendirikan Nasr Social Bank tahun 1971 yang bertujuan untuk menjalankan kembali bisnis yang berdasrkan konsep nir-bunga sesuai dengan konsep Mit Ghamr Local Saving Bank.
18
Selanjutnya perkembangan perbankan Islam semakin besar dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 yang berpusat di Jeddah yang kemudian memicu berdirinya bank-bank Islam di seluruh dunia termasuk di kawasan Eropa. Di Timur Tengah bank-bank Islam bermunculan seperti Dubai Islmic Bank, Uni Emirat Arab (1975), Kuwait Finance House (1977), Faisal Islamic Bank, Mesir (1978), Faisal Islamic Bank of Kibris, Siprus (1983), Faisal Finance Institution of Turki (1985), Citi Islamic Bank of Bahrain, Faysal Islamic Bank of Bahrain, dan al-Barakah Bank (1999). Di Asia Tenggara, perkembangan perbankan Islam terjadi pada awal tahun 1983 dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) yang disusul dengan berdirinya bank Islam pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia tahun 1991 (Rahardjo, 2003 dalam Karim, 2007:XX).
2.3. Keistimewaan Perbankan Syariah Perbankan syariah memiliki beberapa keistimewaan yang menunjukkan bahwa sebenarnya perbankan syariah adalah motor pembangunan kesejahteraan sosial. Hal ini dapat dilihat dari dominannya kata kunci mengenai kesejahteraan sosial daripada kesejahteraan kelompok atau individu. Dengan demikian urgensi perbankan syariah adalah memberikan manfaat pengelolaan keuangan untuk membangun taraf hidup masyarakat yang sejahtera melalui berbagai macam skema pembiayaan. az-Zuhaili (2007) dalam Muflih dan Syarief (2011:323) menyebutkan bahwa perbankan syariah memiliki beberapa keistimewaan, antara lain:
19
Tabel 2.1 KEISTIMEWAAN PERBANKAN SYARIAH Uraian Keistimewaan Implikasi Perbankan
No . 1. Ikatan Akidah Islami
2.
3.
Tempat terbangunnya rahmat, aktualisasi sikap dermawan, dan kemudahan Tempat membangun kebersamaan dan sosial
4.
Kesetaraan bagi setiap pihak yang berakad
5.
Menciptakan keuntungan atas modal dan kerja Memperluas kerja dan produktifitas dengan berbagai pihak dan golongan pekerja
6.
7.
Keadilan dalam setiap bentuk kerja 8. Bersandar pada semangat untuk membangun dan berkembang menu-rut ketentuan ketentuan yang disya-riatkan Sumber: Muflih dan Syarif (2011: 323)
Meneguhkan keimanan dan ketaqwaan dengan melaksanakan sistem keuangan yang halal dan menjauhkan sistem keuangan yang haram Mengedepankan persaudaraan, amanat, kejujuran, dan saling mengingatkan dalam kebaikan Membangun sikap saling tolong me-nolong, mengedepankan kerjasama, meng-hilangkan bahaya, menghilangkan kesulit-an hajat orang lain dengan pinjaman ke-bajikan, menyalurkan zakat untuk fakir miskin, dan selalu mengaktualisasikan sis-tem keuangan yang berpihak pada sema-ngat sosial Transparan dalam berbuat, terpercaya da-lam mengembangkan keuangan dan tidak diskriminatif Membangun keuntungan berbasis kerja-sama mudharabah Mempersatukan semua golongan baik itu orang kaya, orang miskin, pedagang kecil melaui pembiayaan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat Adanya kesetaraan serta terpenuhinya maslahat bagi semua pihak Menjalankan sistem pembiayaan jangka pendek seperti Murabahah, dan jangka panjang seperti Mudharabah dengan mengedepankan maslahat dan manfaat bagi umat
Di Indonesia, perbankan syariah diatur dengan Undang-undang Nomor 21 tahun 2008. Dalam pasal 1 ayat 1, 7, 8, 9 dan 10 disebutkan bahwa: "Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya". "Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah" (ayat 7) "Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran" (ayat 8)
20
"Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran" (ayat 9) "Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah" (ayat 10) Pasal-pasal di atas mendeskripsikan bahwa di Indonesia, perbankan syariah terdiri dari Bank Umum Syariah (BUS), Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) dan Unit Usaha Syariah (UUS).
2.4. Asas, Tujuan, Fungsi dan Peran Perbankan Syariah Dalam literatur Islam, sebenarnya tidak dikenal istilah bank, yang ada adalah baitul mal atau baitut-tamwil yang fungsinya kurang lebih sama dengan bank konvensional. Istilah bank baru dikenal sejak penjajahan Barat (Purwaatmadja dan Antonio, 1992:22). Menurut Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 pasal 2 disebutkan bahwa: "Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian". Dalam penjelasan UU No. 21 tahun 2008 dinyatakan bahwa kegiatan usaha Bank Syariah berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur: a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah); b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
21
c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah; d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. Perlu dicatat bahwa seharusnya kegiatan usaha perbankan syariah seperti dalam penjelasan UU No, 21 tahun 2008 huruf (d) yaitu tidak mengandung unsur haram, yaitu transaksi yang obyeknya dilarang dalam syariah, seharusnya ditambahkan juga “tidak mengandung unsur haram dalam mekanisme atau prosedur akad yang digunakan dalam transaksi yang dilakukan perbankan syariah”. Adapun yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” menurut penjelasan ayat 2 adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan, sedangkan yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan Perbankan Syariah sesuai dengan pasal 3 adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Sementara itu fungsi BUS dan UUS sesuai dengan pasal 4 UU Nomor 21 tahun 2008 meliputi: 1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. 2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. 3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). Selanjutnya menurut Karim (2007: 97), produk yang ditawarkan perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu:
22
1. Penghimpunan Dana (Funding) Penghimpunan dana di bank Islam dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Prinsip opersional syariahnya adalah Wadi'ah dan Mudharabah. a. Apabila prinsip Wadi'ah yang diterapkan, maka bank terikat oleh perjanjian simpan menyimpan / penitipan barang dengan pihak yang mempunyai barang. Tujuan perjanjian tersebut adalah untuk menjaga keselamatan / keamanan / keutuhan barang tersebut dari kecurian, kemusnahan, kehilangan, dan sebagainya, serta sewaktu-waktu barang tersebut dapat diambil kembali baik sebagian maupun seluruhnya dalam keadaan utuh. Selanjutnya apabila barang yang dititipkan berupa uang, maka selaku pemegang amanah wajib memeinta izin untuk mengelola uang tersebut ke dalam operasional bank. Apabila dari pengelolaan uang tersebut, bank memperoleh keuntungan, maka keuntungan tersebut sepenuhnya milik bank, namun tidak ada halangan dari keuntungan tersebut apabila bank memberi imbalan yang pantas kepada pemilik uang, dan sebaliknya apabila rugi, maka bank berkewajiban menggantinya. b. Apabila prinsip Mudharabah yang diterapkan, maka bank terikat oleh perjanjian bagi hasil dengan pihak yang mempunyai barang / uang. Pemilik barang / uang dengan sengaja menanamkan uangnya untuk memperoleh bagian keuntungan dari pengelolaan uang tersebut oleh bank. Dengan demikian deposan bertindak sebagai shahibul maal, sedangkan bank sebagai mudharib (pengelola).
2. Penyaluran Dana (Financing) Dalam menyalurkan dananya kepada nasabah, bank memiliki produk yang dikategorikan menjadi empat berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu (Karim, 2007:97):
23
a. Pembiayaan dengan prinsip jual beli (Ba'i) b. Pembiayaan dengan prinsip sewa (Ijarah) c. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Syirkah) d. Pembiayaan dengan akad pelengkap (tabarru'). Pembiayaan dengan prinsip jual beli ditujukan untuk membeli barang, sedangkan pembiayaan dengan prinsip sewa bertujuan untuk mendapatkan jasa. Prinsip jual beli digunakan untuk usaha kerja sama yang bertujuan untuk mendapatkan barang dan jasa sekaligus. Selanjutnya tingkat keuntungan dalam prinsip jual beli dan sewa ditentukan di depan oleh bank sebagai bagian dari harga atas barang dan jasa yang akan dijual. Produk perbankan syariah yang menggunakan prinsip jual beli antara lain Murabahah, Salam dan Istishna', sedangkan produk yang menggunakan prinsip sewa adalah Ijarah dan Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT). Selanjutnya pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (syirkah) bertujuan untuk menjembatani antara penyedia dana yang tidak mengetahui seluk beluk usaha dengan pengelola dana yang memang ahli di bidang usaha. Pada prinsip syirkah, tingkat keuntungan ditentukan dari besarnya keuntungan usaha dengan nisbah bagi hasil yang telah disepakati di muka. Produk perbankan syariah yang termasuk dalam kelompok ini adalah Musyarakah dan Mudharabah. Adapun pembiayaan dengan akad pelengkap yang bertujuan tidak untuk mencari keuntungan, tetapi bertujuan untuk memperlancar pelaksanaan pembiayaan dengan menggunakan ketiga prinsip di atas. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta penggantian biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya biaya pengganti ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar terjadi. Akad pelengkap ini adalah akad-akad tabarru' seperti Hiwalah, Rahn, dan Qardh.
24
3. Jasa (Service) Selain menjalankan fungsinya sebagai intermediaries, bank syariah juga dapat melakukan berbagai pelayanan jasa kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan syariah ini antara lain Sharf (jual beli valuta asing), sewa dalam bentuk safe deposit box dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian).
2.5. Sistem Operasional Perbankan Syariah Sistem operasional perbankan syariah menerapkan sistem free rate interest banking, artinya nasabah yang melakukan transaksi dengan bank syariah sama dengan melakukan investasi dengan imbalan bagi hasil sesuai dengan kondisi riil yang terjadi. Bank syariah tidak menjamin tingkat pengembalian yang pasti dari nominal simpanan nasabah, tetapi simpanan tersebut akan diperlakukan sebagai modal dan nasabah tersebut diasumsikan sebagai shareholder sehingga akan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati bersama. Selanjutnya sesuai dengan misi awalnya, perbankan syariah mempunya dua misi, yaitu misi komersial (misi bisnis) dan misi sosial. Misi bisnis diimplementasikan pada berbagai produk pembiayaan yang dilakukan dengan akad jual beli dengan perhitungan margin yang sesuai dengan kesepakatan atau akad syirkah atau mudharabah yang menerapkan bagi hasil yang ditentukan dengan nisbah yang telah disepakati dan produk pembiayaan dengan prinsip sewa menyewa (ijarah). Adapun misi sosial diwujudkan dalam bentuk pembiayaan pinjam meminjam (Qardh), dan memberikan pinjaman dengan jaminan (Rahn). Sistem operasional perbankan syariah sebagai lembaga bisnis sekaligus lembaga sosial dapat dilihat pada gambar sebagai berikut (Ryandono, 2008: 97).
25
PENYALURAN
PENDANAAN
Wadiah ya Dhamanah Mudharabah Ijarah Modal Laba Berjalan
Denda / Bonus
Masyarakat
PENDAPATAN
Hak Shahibul Maal P O O L I N G D A N A
Prinsip Bagi Hasil
Bagi Hasil
Prinsip Jual Beli
Marjin
Prinsip Sewa
Sewa
Pendapa tan Operasi
onal
Prinsip Kebaikan
Total Penda-
patan
Tidak menjanjikan imbalan
Dana Sosial
Jasa Perbankan lain: Agen Mudharabah Muqayyadah (Investasi Terikat) Jasa Keuangan: Wakalah, Kafalah, Sharf, Hiwalah, Rahn Jasa Non Keuangan: Wadiah al Amanah
Pendapatan Operasional Lain
ZISWAQ Baitul Maal
ZISWAQ
Bagi Hasil/Denda
Laporan Laba / Rugi
Pemilik / Investor ZISWAQ Masyarakat / LAZWAQ
Bonus Lainnya
Karyawan ZISWAQ
Gambar 2.1. Sistem Operasional Bank Islam Sumber: Ryandono, Muhammad NR. 2008. Modul Pelatihan Dasar Lembaga Keuangan Mikro Syariah – Islamic Financial Development Institute (IFDI), Fakultas Ekonomi Unair, Surabaya.
26
2.6. Definisi Qardh Secara bahasa, Qardh bermakna al-Qath’u yang berarti memotong. Disebutkan dalam kamus al-Mishbah, “Qaradhtu al-syai’a qardhan” yang berarti saya memotongnnya (al- Bugha, 2010:51). Ismail (2010:72) menyatakan bahwa qardh alhasana is beautiful loan, which is primarily a business transaction that establish a relationship of lender and borrower. Sementara itu Abdul Rahman (2006) mendefinikan Qardh as the transfer of ownership of an asset or money from the original owner to others on condition that the asset or money will be returned to the owner in the same condition/form/ value as when it first received by the other party from the owner. Definisi lain diberikan oleh Antonio (2001:131) yang mengartikan Qardh sebagai pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Selanjutnya Karim (2007:106) menyatakan bahwa Qardh adalah pinjaman uang, sedangkan Abbas and Zamir (2007) menyebutkan beberapa karakteristik Qardhul Hasan antara lain sangat fleksibel berkaitan dengan jaminan, karena tidak ada jaminan fisik, tetapi hanya komitmen dari peminjam berupa tanda tangan kontrak; prosedur dokumentasinya sangat simpel, jumlah pinjaman biasanya sangat kecil, prosedur pengeluarannya sangat cepat, tidak ada bunga tetapi ada fee sebesar 1% dari total pinjaman untuk mengkover biaya administrasi, dana lebih mudah diakses oleh debitur lokal, dan fund manager harus menjelaskan kontribusi modal secara transparan kepada investor. Adapun as-Shawi dan al-Mushlih (2008:254) memberikan definisi Qardh adalah sesuatu yang engkau berikan kepada seseorang yang suatu saat akan anda minta kembali. Seolah-olah engkau memotongnya dari harta milikmu. Pinjaman itu sendiri terkadang berupa harta dan terkadang berupa kehormatan. Terakhir, Ibrahim and Noor (2011) menyatakan bahwa Qardh merupakan instrumen
27
pinjaman yang digunakan oleh bank berlandaskan persetujuan nasabah, dan uang yang dipinjamkan akan dikembalikan sesuai jumlah pinjaman. Selanjutnya secara istilah, menurut hanafiyah, Qardh adalah harta yang memiliki kesepadanan yang anda berikan untuk anda tagih kembali atau dengan kata lain, suatu transaksi yang dimaksudkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu. Mazhab-mazhab yang lain mendefinisikan qardh sebagai bentuk pemberian harta dari seseorang (kreditur) kepada orang lain (debitur) dengan ganti harta sepadan yang menjadi tanggungannya (debitur), yang sama dengan harta yang diambil, dimaksudkan sebagai bantuan kepada orang lain yang diberi saja. Harta tersebut mencakup harta mitsliyat, hewan, dan barang dagangan (az-Zuhaili, 2011: 374). Selanjutnya Antonio (2000:185) menyatakan bahwa literatur Fiqh Klasik, Qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling bantu membantu dan bukan transaksi komersial.
2.7. Dalil disyariatkannya Qardh Qardh (pinjam meminjam) hukumnya boleh dan dibenarkan secara syariat. Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini. Orang yang membutuhkan boleh menyatakan keinginannya untuk meminjam. Dalil mengenai Qardh terdapat dalam al-Qur’an antara lain surat al-Baqarah (QS. 2:245), al-Maidah (QS. 5:2), al-Hadid (QS. 57:11 dan 18), at-Taghaabun (QS. 64:17) dan al-Muzzammil (QS. 73:20) sebagai berikut:
ًﻋﻔَﻪُ ﻟَﻪُ ﺃَﺿْﻌَﺎﻓًﺎ ﻛَﺜِﻴﺮَﺓ ِ ﺽ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻗَﺮْﺿًﺎ ﺣَﺴَﻨًﺎ ﻓَ ُﻴﻀَﺎ ُ ِﻣَﻦْ ﺫَﺍ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ُﻳﻘْﺮ 245/ﺴﻂُ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺗُﺮْﺟَﻌُﻮﻥَ ]ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ُ ْﻭَﺍﻟﻠﱠ ُﻪ َﻳﻘْﺒِﺾُ ﻭَﻳَﺒ
28
Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (Departemen Agama RI, 1971: 60). Abdullah (2006, Jilid 1:498) dalam tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, ia bercerita bahwa ketika turun ayat tersebut Abu Dahdah al-Anshari bertanya: Ya Rasulullah, apakah Allah mengharapkan pinjaman dari kita? Ya, wahai Abu Dahdah, jawab Rasulullah. Kemudian Abu Dahdah berujar: Perlihatkan tanganmu kepadaku ya Rasulullah, kemudian Rasulullah mengulurkan tangannya dan Abu Dahdah berkata: Sesungguhnya aku akan meminjamkan kepada Rabbku kebunku. Ibnu Mas'ud bercerita: Di dalam kebun itu terdapat enam ratus pohon kurma dan di sana tinggal pula ibu Abu Dahdah dan keluarganya. Ibnu Mas'ud melanjut-kan, kemudian Abu Dahdah datang dan memanggilnya: Hai Ummu Dahdah, Labbaik, jawabnya. Dia berkata: Keluarlah, karena aku telah meminjamkannya kepada Rabbku. Dalam tafsir al-Mishbah, Shihab (2002, volume 1:493) menyatakan bahwa ayat ini menganjurkan berjuang dengan harta benda, karena dalam ayat ini dipaparkan dalam bentuk pertanyaan yang mengandung makna ujian tentang siapa yang membenarkan apa yang DIA informasikan: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik. Kata meminjamkan dan pinjaman pada ayat ini adalah terjemahan dari kata Qardh yang kemudian masuk dalam aneka bahasa dengan makna yang sama dengan kredit. Dari tinjauan bahasa al-Qur'an, kata tersebut pada mulanya bermakna "memotong sesuatu dengan gigi", seperti tikus yang memotong kayu dengan giginya. Ini memberi kesan bahwa pinjaman yang diberikan dalam situasi kejiwaan yang sulit. Di sisi lain, pada saat seseorang menggigit sesuatu, maka jelas ia mengharapkan hasil yang
29
memuaskan dari upayanya itu. Karena itu, pakar tafsir al-Qurthubi misalnya mendefinikan Qardh dengan "segala sesuatu yang dilakukan dengan mengharap imbalan". Nah, karena yang diberi pinjaman itu Allah, maka tentu saja jika kita percaya kepada-Nya, pasti kita percaya pula bahwa pinjaman itu tidak akan hilang bahkan akan mendapat imbalan yang wajar. Hanya satu syarat yang ditekankan dalam pemberian pinjaman tersebut, yaitu pinjaman yang baik dalam arti dengan niat bersih, hati yang tulus, serta harta yang halal. Selanjutnya makna meminjamkan kepada Allah diumpamakan oleh Allah dengan pemberian seseorang yang tulus untuk kemaslahatan hamba-Nya, sehingga ada jaminan dari-Nya bahwa pemberian itu kelak akan dikembalikan. Lebih lanjut Shihab (2002, volume 1: 494) menjelaskan bahwa karena menginfaqkan (meminjamkan) harta di jalan Allah, maka Dia menjanjikan bahwa Dia akan melipatgandakan pembayaran pinjaman itu kepadanya di dunia atau di akhirat dengan lipatganda yang banyak seperti sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, dan pada tiap-tiap butir seratus biji (QS. alBaqarah, 2:261) bahkan lebih banyak. Selanjutnya asbabun nuzul dari al-Maidah ayat 2 adalah sebagai berikut: Ibnu Abi Hatim mengatakan dari Zaid bin Aslam, ia mengatakan Rasulullah saw pernah berada di Hudaibiyah bersama para sahabat, beliau ketika itu dihalang-halangi oleh kaum musyrikin dari Baitullah. Hal itu dilakukan secara keras kepada mereka. Lalu ada sekelompok kaum musyrikin dari penduduk daerah timur yang melewati mereka yang hendak menuanaikan umroh, maka para sahabat Nabi berkata: "Kami akan menghalangi mereka sebagaimana sahabat-sahabat mereka menghalangi kami", maka Allat swt menurunkan ayat ini:
30
ِﻭَﺗَﻌَﺎﻭَﻧُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺒِﺮﱢ ﻭَﺍﻟ ﱠﺘﻘْﻮَﻯ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻌَﺎﻭَﻧُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺈِﺛْﻢِ ﻭَﺍﻟْﻌُﺪْﻭَﺍﻥ 2/ﻭَﺍ ﱠﺗﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﺷَﺪِﻳﺪُ ﺍﻟْ ِﻌﻘَﺎﺏِ ]ﺍﻟﻤﺎﺋﺪﺓ Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Departemen Agama RI, 1971: 156-157) Dalam tafsir Ibnu Katsir, Abdullah (2006, Jilid 3:9) menjelaskan bahwa Allah swt memerintahkan hamba-hambanya yang beriman untuk senantiasa tolong menolong dalam berbuat kebaikan, itulah yang disebut dengan al-birru (kebajikan), serta meninggalkan segala bentuk kemungkaran, dan itulah yang dinamakan dengan at-takwa, dan Allah swt melarang mereka tolong-menolong dalam hal kebatilan, berbuat dosa, dan mengerjakan hal-hal yang haram. Selanjutnya Ibnu Jarir (Abdullah, 2006, jilid 3:9) menyatakan al-itsmu (dosa) berarti meninggalkan apa yang oleh Allah perintahkan untuk mengerjakannya, dan al'udwan (permusuhan), berarti melanggar apa yang telah ditetpkan oleh Allah swt dalam urusan agama dan melanggar apa yang diwajibkan-Nya kepada kalian dan kepada orang lain.
ٌﻋ َﻔﻪُ ﻟَﻪُ ﻭَﻟَﻪُ ﺃَﺟْﺮٌ ﻛَﺮِﻳﻢ ِ ﺽ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻗَﺮْﺿًﺎ ﺣَﺴَﻨًﺎ ﻓَﻴُﻀَﺎ ُ ِﻣَﻦْ ﺫَﺍ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ُﻳﻘْﺮ 11/]ﺍﻟﺤﺪﻳﺪ Artinya: “ Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Departemen Agama RI, 1971:902). Dalam tafsir Ibnu Katsir, Abdullah (2009, jilid 8:48) menyebutkan bahwa Umar Bin Khattab mengatakan bahwa pinjaman yang baik adalah "infaq di jalan
31
Allah", ada pula yang mengatakan bahwa pinjaman yang baik adalah : nafkah yang diberikan kepada keluarga". Jadi kalimat pinjaman yang baik mempunyai pengertian yang lebih umum, artinya siapa saja yang berinfaq di jalan Allah dengan niat yang tulus dan ikhlas, maka ia masuk dalam pengertian ayat ini. Menurut Shihab (2003, volume 14:22), kata dza dalam firman-Nya, man dza berfungsi sebagai penguat dorongan berinfaq. Memang tujuan gaya bertanya ayat ini adalah mendorong siapapun dari mereka untuk berinfaq, karena Allah menjanjikan balasan yang berlipat ganda. Adapun kata qardh berarti meminjamkan harta dengan syarat dikembalikan lagi, agaknya dari kata qardh inilah muncul kata kredit. Sementara ulama menyebut sekian banyak syarat guna terpenuhinya apa yang dinamai Qardh Hasan, yeng terpenting di antaranya adalah bahwa harta yang diinfakkan halal serta secara ikhlas tanpa disertai dengan menyebut-nyebut-nya atau menyakiti hati penerimanya.
ٌﻒ ﻟَﻬُﻢْ ﻭَﻟَﻬُﻢْ ﺃَﺟْﺮٌ ﻛَﺮِﻳﻢ ُ َﻭَﺃَﻗْﺮَﺿُﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻗَﺮْﺿًﺎ ﺣَﺴَﻨًﺎ ﻳُﻀَﺎﻋ 18/]ﺍﻟﺤﺪﻳﺪ Artinya:"dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak" (Departemen Agama RI, 1971:903). Ayat ini termasuk ayat-ayat Madaniyyah – yaitu ayat yang turun setelah Nabi berhijrah-, dan kandungannya memerintahkan berinfaq dan menghutangi Allah. alBiqa'i menghubungkan ayat ini dengan ayat 11 dari sisi tumbuhnya benih di tanah yang subur dan disiram air. Shadaqah pun demikian, ia dapat memberikan hasil yang berlipat ganda (serupa dengan benih di tanah subur) bila kalbu yang bersedekah disertai dengan kekhusyukan dan kepatuhan kepada Allah swt (Shihab, 2003, vol. 14:32).
32
ٌﺇِﻥْ ُﺗﻘْﺮِﺿُﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻗَﺮْﺿًﺎ ﺣَﺴَﻨًﺎ ُﻳﻀَﺎﻋِﻔْ ُﻪ ﻟَ ُﻜﻢْ َﻭﻳَ ْﻐﻔِﺮْ ﻟَﻜُﻢْ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ ﺷَﻜُﻮﺭ [17/ﺣَﻠِﻴﻢٌ ]ﺍﻟﺘﻐﺎﺑﻦ Artinya:"Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah Maha pembalas Jasa lagi Maha Penyantun" (Departemen Agama RI, 1971:942).
ﻭَﺃَﻗِﻴﻤُﻮﺍ ﺍﻟﺼﱠﻠَﺎﺓَ ﻭَﺁَﺗُﻮﺍ ﺍﻟﺰﱠﻛَﺎﺓَ ﻭَﺃَﻗْﺮِﺿُﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻗَﺮْﺿًﺎ ﺣَﺴَﻨًﺎ [20/]ﺍﻟﻤﺰﻣﻞ Artinya: ….. dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik….. (Departemen Agama RI, 1971:990). Selanjutnya dalil as-Sunah yang terkait dengan Qardh, antara lain: Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Abdul Karim berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Khalid bin Yazid. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Hatim berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Khalid bin Yazid bin Abu Malik dari Bapaknya dari Anas bin Malik Rasulullah SAW bersabda:
ﺖ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺃُﺳْﺮِﻱَ ﺑِﻲ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﺎﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨﱠﺔِ ﻣَﻜْﺘُﻮﺑًﺎ ﺍﻟﺼﱠﺪَﻗَﺔُ ﺑِﻌَﺸْﺮِ ﺃَﻣْﺜَﺎﻟِﻬَﺎ ُ ْﺭَﺃَﻳ ْﺖ ﻳَﺎ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻣَﺎ ﺑَﺎﻝُ ﺍ ْﻟﻘَﺮْﺽِ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦ ُ ْﻭَﺍﻟْﻘَﺮْﺽُ ﺑِﺜَﻤَﺎﻧِﻴَﺔَ ﻋَﺸَﺮَ ﻓَ ُﻘﻠ ﻝ ﻭَﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻭَﺍﻟْ ُﻤﺴْﺘَﻘْﺮِﺽُ ﻟَﺎ ﻳَﺴْ َﺘﻘْﺮِﺽُ ﺇِﻟﱠﺎ ُ َﺍﻟﺼﱠﺪَﻗَﺔِ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺄَﻥﱠ ﺍﻟﺴﱠﺎﺋِﻞَ ﻳَﺴْﺄ ٍﻣِﻦْ ﺣَﺎﺟَﺔ Artinya: ”Pada malam peristiwa Isra’ aku melihat di pintu surga tertulis ‘shadaqoh (akan diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan Qardh dengan 18 kali lipat, aku berkata : “Wahai jibril, mengapa Qardh lebih utama dari shadaqoh?’ ia menjawab “karena ketika meminta, peminta tersebut memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak berutang kecuali karena kebutuhan”. (HR. Ibnu Majah dalam kitab as- Shadaqat, bab "Qardh" no. 2431).
33
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalaf Al Asqalani berkata, telah menceritakan kepada kami Ya'la berkata, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Yasir dari Qais bin Rumi ia berkata, "Sulaiman bin Udzunan meminjami Alqamah seribu dirham sampai waktu yang telah ditentukan, ketika waktu yang telah ditentukan habis, Sulaiman meminta dan memaksa agar ia melunasinya, Alqamah pun membayarnya. Namun seakan-akan Alqamah marah hingga ia berdiam diri selama beberapa bulan. Kemudian Alqamah datang kembali kepadanya dan berkata, "Pinjami aku seribu dirham sampai batas waktu yang telah engkau berikan kepadaku dulu." Sulaiman menjawab, "Baiklah, dan dengan rasa hormat wahai Ummu Utbah, berikanlah kantung milikmu yang tertutup itu." Ia pun datang dengan membawa kantung tersebut, kemudian Sulaiman berkata, "Demi Allah, sesungguhnya itu adalah dirham-dirham milikmu yang pernah engkau bayarkan kepadaku, aku tidak merubah dirham itu sedikitpun." Alqamah berkata, "Demi Allah, apa yang mendorongmu melakukan ini kepadaku?" ia menjawab, "Karena sesuatu yang aku dengar darimu." Ia bertanya, "Apa yang kamu dengar dariku?" ia menjawab, "Aku mendengarmu menyebutkan dari Ibnu Mas'ud berkata, "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ًﻣَﺎ ﻣِﻦْ ُﻣﺴْﻠِﻢٍ ﻳُﻘْﺮِﺽُ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ﻗَﺮْﺿًﺎ ﻣَﺮﱠﺗَﻴْﻦِ ﺇِﻟﱠﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻛَﺼَﺪَﻗَﺘِﻬَﺎ ﻣَﺮﱠﺓ Artinya:“Tidaklah seorang muslim (mereka) yang meminjam muslim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah ( senilai ) shadaqah”. (HR Ibnu Majah dalam kitab as- Shadaqat, bab Li Shahib al-Haqq Sulthan, no. 2426). Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id; Telah menceritakan kepada kami Laits dari 'Uqail dari az-Zuhri dari Salim dari Bapaknya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ِﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢُ ﺃَﺧُﻮ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻟَﺎ َﻳﻈْﻠِ ُﻤﻪُ ﻭَﻟَﺎ ﻳُﺴْﻠِ ُﻤ ُﻪ ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﺣَﺎﺟَﺔِ ﺃَﺧِﻴﻪ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻲ ﺣَﺎﺟَﺘِﻪِ ﻭَﻣَﻦْ ﻓَ ﱠﺮﺝَ ﻋَﻦْ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻓَﺮﱠﺝَ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﻬَﺎ ِﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ ﻛُﺮَﺏِ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ُﻣﺴْﻠِﻤًﺎ ﺳَﺘَﺮَﻩُ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍ ْﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔ Artinya: "Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara. Ia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya yang muslim. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barang siapa membebaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan membebaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak." (HR. Muslim, HR. Abu Dawud, HR. Tirmidhi)
34
Selanjutnya untuk dalil Ijma’ dinyatakan bahwa Qardh diperbolehkan dan bersifat mandub (dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh (orang yang berutang). Madzhab Hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak meyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa, telur. Tidak diperbolehkan melakukan Qardh atas harta yang tidak memiliki kesepadanan, baik yang bernilai seperti binatang, kayu dan agrarian, dan harta biji-bijian yang memiliki perbedaan menyolok, karena tidak mungkin mengembalikan dengan semisalnya, karena menurut golongan ini, bahwa pinjam meminjam dengan sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan yang serupa tidak diperbolehkan. Hak kepemilikan dalam Qardh menurut Abu Hanifah dan Muhammad berlaku melalui Qabdh (penyerahan). Jika seseorang berhutang satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh, maka ia berhak menggunakan dan mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh meminta pengembalian gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh. Yang menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan bukan gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu berlangsung. Adapun Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat, diperbolehkan melakukan Qardh atas semua harta yang bisa diperjualbelikan objek salam, baik ditakar, atau ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai, seperti barangbarang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta, biji-bijian.
2.8. Pelaku dan Sighah Qardh Zuhaili (2011:375) menyatakan qardh tidak sah dilakukan kecuali oleh orang yang mampu mengelola harta, karena qardh berkenaan dengan akad harta, sehingga tidak sah kecuali dilakukan oleh orang yang cakap dalam mengelola harta, seperti halnya
35
jual beli. Qardh juga tidak sah, kecuali jika ada ijab qabul, karena ia merupakan bentuk pemberian hak kepemilikan. Mengenai sighah-nya, bisa menggunakan lafal Qardh atau Salaf, karena keduanya digunakan dalam lafal syariat. Dibolehkan juga dengan lafal yang semakna dengan keduanya, yaitu : "Mallaktuka haadzaa 'alaa an tarudda alayya badalahu (aku berikan kepemilikan harta ini kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan gantinya kepadaku).
2.9. Khiyar (Hak Pilih) dan Batas Waktu dalam Qardh Menurut ulama Syafiiyah dan Hanabilah yang berpendapat adanya khiyar majlis, dalam akad qardh tidak ada khiyar majlis dan tidak ada pula khiyar syarat, karena maksud dari khiyar adalah pembatalan akad (al-faskh). Padahal dalam akad qardh, siapa saja dari dua pihak memiliki hak untuk membatalkan akad bila ia berkehendak, sehingga hak khiyaar ini menjadi tidak bermakna. Mengenai batas waktu, jumhur fuqaha tidak membolehkannya dijadikan sebagai syarat dalam akad qardh. Oleh karenanya, apabila akad qardh ditangguhkan dalam batas waktu tertentu, maka ia akan tetap dianggap jatuh tempo. Pasalnya secara esensial ia sama dengan bentuk jual beli dirham dengan dirham, sehingga bila ada ketangguhan waktu maka dia akan terjebak dalam riba nasiah. Dengan presepsi dasar bahwa qardh aadalah salah satu bentuk kegiatan sosial, maka pemberi pinjaman berhak meminta ganti hartanya jika sudah jatuh tempo. Hal itu karena akad qardh adalah akad yang menuntut pengembalian harta sejenis pada barang mitsliyat, sehingga mengharuskan pengembalian gantinya jika telah jatuh tempo, seperti keharusan mengganti barang yang rusak. Maka demikian pula utang yang sudah jatuh tempo tidak dapat ditangguhkan meski ada penangguhan. Hal ini berbeda dengan masalah barang pengganti dalam akad jual beli atau akad ijarah, di mana jika terjadi
36
penangguhan dalam akad itu dalam waktu tertentu maka tidak dibolehkan menuntut penyerahan barang pengganti sebelum datang tempo yang ditentukan itu. Meskipun demikian, para ulama Hanafiah berpendapat bahwa penangguhan dalam akad qardh menjadi bersifat pengikat dalam empat hal, yaitu: a. Wasiat, yaitu apabila seseorang berwasiat untuk meminjamkan uangnya pada orang lain sampai waktu tertantu, satu tahun misalnya. Maka, dalam kondisi ini ahli waris tidak dapat menagih peminjam sebelum jatuh tempo. b. Adanya penyangsian, yaitu tatkala akad qardh ini disangsikan, kemudian pemberi pinjaman menangguhkannya. Maka pada kondisi seperti ini, batas waktu menjadi mengikat. c. Keputusan pengadilan, yaitu bila hakim memutuskan bahwa akad qardh (dengan batas waktu) sebagai sesuatu yang mengikat dengan didasarkan pada pendapat Malik dan Ibnu Abi Laila, maka pada kategori ketiga ini batas waktu menjadi sesuatu yang mengikat. d. Dalam akad hiwalah (pengalihan hutang), yaitu jika peminjam mengalihkan tanggungan utangnya pada pemberi pinjaman pada pihak ketiga, lalu pemberi pinjaman menangguhkan utang itu. Atau ia mengalihkan tang-gungan utangnya pada peminjam lain yang utangnya ditangguhkan. Hal itu karena akad hiwalah merupakan pengguguran tanggung jawab. Maksudnya dengan akad hiwalah ini tanggung jawab si muhil (yang mengalihkan utang) menjadi gugur dan di muhal (yang dialihkan piutangnya) yang merupakan pemberi pinjaman, menjadi memiliki utang atas muhalalaih (yang menerima pinjaman utang). Dengan demikian, sebenarnya akad hiwalah merupakan akad penangguhan hutang, bukan akad qardh (pinjaman).
37
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam pandangan ulama Hanafiyah, sah-sah saja mengundurkan akad qardh meski bukan sebuah keharusan, tetapi dapat menjadi keharusan dalam kondisi yang empat tadi.
2.10. Qiradh Ibnu Rusyd (2007:105) memberikan istilah lain dalam pemberian modal kepada orang lain yaitu Qiradh. Para Fuqaha sepakat bahwa qiradh terjadi apabila seseorang menyerahkan harta kepada orang lain untuk digunakan dalam usaha perdagangan, pihak yang bekerja (diserahi uang itu) berhak memperoleh sebagian dari keuntungan harta itu, yakni bagian yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak, sepertiga, seperempat, atau separuh. Namun al-Khalafi (2006:695) menggunakan aktivitas pinjam meminjam uang dengan istilah Qiradh. Beberapa keutamaan qiradh dalam kitab al-Wajiz ini antara lain:
ْﻝ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢَ ﻣَﻦ ُ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮ ًﻣِﻦْ ُﻛﺮَﺏِ ﺍﻟﺪﱡﻧْﻴَﺎ ﻧَﻔﱠﺲَ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ﻋَﻨْ ُﻪ ﻛُﺮْﺑَﺔً ﻣِﻦْ َﻧﻔﱠﺲَ ﻋَﻦْ ﻣُﺆْﻣِﻦٍ ﻛُﺮْﺑَﺔ ِﻛُﺮَﺏِ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻣَﻦْ ﺳَﺘَﺮَ ﻋَﻠَﻰ ﻡُﺳْﻠِﻢٍ ﺳَﺘَﺮَ ُﻩ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪﱡﻧْﻴَﺎ ﻭَﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓ ِﻭَﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ﻓِﻲ ﻋَﻮْﻥِ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪِ ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻓِﻲ ﻋَﻮْﻥِ ﺃَﺧِﻴﻪ Artinya: “Dari Abi Hurairah ra, bahwa Nabi saw bersabda: Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan di antara sekian banyak kesusahan dunia dari seorang muslim, niscaya Allah akan menghilnagkan darinya satu kesusahan dari sekian banyak kesusahan hari kiamat; barang siapa diberi kemudahan kepada orang yang didera kesulitan, niscaya Allah memberi kemudahan kepadanya di dunia dan di akhirat; Dan Allah senantiasa menolong hambaNya selama hamba tersebut selalu menolong saudaranya”. (Shahih: Mukhtasar Muslim no. 1888; Muslim IV: 2074 no. 2699; Tirmidzi IV:265 no.4015).
38
2.11. Peringatan Keras tentang Hutang Rasulullah memberikan peringatan keras kepada ummatnya yang sering berhutang dengan beberapa haditsnya sebagai berikut:
ِﻋَﻦْ ﺛَﻮْﺑَﺎﻥَ ﻣَﻮْﻟَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢَ ﺃَﻥﱠ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﱠﻪ ْﺡ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪَ ﻭَﻫُﻮَ ﺑَﺮِﻱءٌ ﻣِﻦ ُ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﻦْ ﻓَﺎ َﺭﻕَ ﺍﻟﺮﱡﻭ ِﺛَﻠَﺎﺙٍ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨﱠﺔَ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﻜِﺒْﺮِ ﻭَﺍﻟْ ُﻐﻠُﻮﻝِ ﻭَﺍﻟﺪﱠﻳْﻦ Artinya: “Dari Tsauban, mantan budak Rasulullah dari Rasululullah saw bahwa beliau bersabda: Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya masuk surga: pertama, bebas dari sombong, kedua, dari khianat, ketiga, dari tanggungan hutang”. (Shahih: Shahih Ibnu Majah no. 1956; Ibnu Majah II:806 no. 2412; Tirmidzi III:68 no. 1621).
َﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ َﺭﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ َﻭﺳَﱠﻠﻢ َُﻧ ْﻔﺲُ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻦِ ﻣُﻌَﻠﱠﻘَﺔٌ ﺑِﺪَﻳْﻨِﻪِ ﺣَﺘﱠﻰ ُﻳﻘْﻀَﻰ ﻋَﻨْﻪ Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah bersabda: Jiwa orang mukmin tergantung pada hutangnya hingga dilunasi". (Shahih: Shahihul Jami' no. 6779; al-Misykah no. 2915; Tirmidzi II: 270 no. 1084).
َﻋَﻦْ ﺍﺑْﻦِ ﻋُﻤَﺮَ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢَ ﻣَﻦْ ﻣَﺎﺕ ٌﻭَﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺩِﻳﻨَﺎﺭٌ ﺃَﻭْ ﺩِﺭْﻫَﻢٌ ﻗُﻀِﻲَ ﻣِﻦْ ﺣَﺴَﻨَﺎﺗِﻪِ ﻟَﻴْﺲَ ﺛَﻢﱠ ﺩِﻳﻨَﺎﺭٌ ﻭَﻟَﺎ ﺩِﺭْﻫَﻢ Artinya:“Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan menangung hutang satu Dinar atau satu Dirham, maka dibayarilah (dengan diambilkan) dari kebaiknnyam karena di sana tidak ada lagi Dinar dan tidak (pula) Dirham". (Shahih: Shahih Ibnu Majah no. 1958; Ibnu Majah II:807 no.2414).
2.12. Konsekuensi Hukum Qardh Hak kepemilikan objek qardh, menurut Abu Hanifah dan Muhammad, berlaku jika terjadi serah terima barang. Jika seseorang menerima satu mud gandum lalu
39
menerimanya, maka dia berhak menyimpannya dan mengembalikan yang semisalnya meskipun pemberi pinjaman menuntut pengembalian gandum itu. Hal itu karena gandum tersebut bukan lagi milik pemberi pinjaman. Yang menjadi tanggung jawab peminjam adalah mengembalikan gandum yang semisal dan bukan gandum yang dipinjamnya itu meskipun gandum tersebut masih utuh. Abu Yusuf (Zuhaili, 2011: 378) berpendapat bahwa peminjam tidak memiliki harta yang menjadi objek qardh selama barang itu masih utuh. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa hak kepemilikan dalam qardh, dan tindakan sosial lainnya – seperti hibah, sedekah, dan 'ariyah (meminjam barang) – berlaku mengikat dengan transaksi, meskipun hartanya belum diserahkan. Peminjam diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dipinjam dan boleh juga mengembalikan harta yang dipinjam itu sendiri. Baik harta itu termasuk harta mitsliyat maupun tidak. Hal itu selama harta tersebut tidak mengalami perubahan dengan bertambah atau berkurang. Jika berubah, maka harus mengembalikan harta yang semisalnya. Ulama Syafi'iyah dalam riwayat yang paling shahih dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan qardh berlaku dengan serah terima. Menurut Syafi'i, peminjam mengeembalikan harta yang semisal manakala harta yang dipinjam adalah harta yang mitsili, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya. Jika yang dipinjam adalah qimiy (harta yang dihitung berdasar nilai), maka ia mengembalikan dengan barang semisal secara bentuk, karena Rasulullah telah berutang unta bakr (yang berusia muda) lalu mengembalikan unta usia ruba'iyah, seraya berkata: "sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik dalam membayar utang." Ulama Hanabila mengharuskan pengembalian harta semisal jika yang diutang adalah harta yang ditakar dan ditimbang, sebagaimana yang disepakati oleh seluruh ahli
40
fiqih, sedangkan jika objek qardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka ada dua riwayat, yaitu harus dikembalikan nilainya sesuai nilai pada hari akad, atau harus dikembalikan semisalnya dengan sifat-sifat yang mungkin.
2.13. Tempat Pengembalian Qardh Para ulama empat mazhab telah sepakat bahwa pengembalian barang pinjaman hendaknya di tempat di mana akad Qardh itu dilaksanakan dan boleh juga di tempat mana saja, apabila tidak membutuhkan biaya kendaraan, bekal, dan terdapat jaminan keamanan. Apabila semua itu diperlukan, maka bukan sebuah keharusan bagi pemberi pinjaman untuk menerimanya.
2.14. Syarat-Syarat Qardh az-Zuhaili (2011: 378) menyebutkan ada empat syarat sahnya qardh, yaitu: Pertama, akad qardh dilakukan dengan sighah ijab qabul atau bentuk lain yang bisa menggantikannya, seperti cara mu'athah (melakukan akad tanpa ijab qabul) dalam pandangan jumhur, meskipun menurut Syafiiyah cara mu'athah tidaklah cukup sebagaimana dalam akad-akad lainnya. Kedua, adanya kapabilitas dalam melakukan akad. Artinya, baik pemberi maupun penerima pinjaman adalah orang baligh, berakal, bisa berlaku dewasa, berkehendak tanpa paksaan, dan boleh untuk melakukan akan tabarru' (berderma). Karena qardh adalah bentuk akad tabarru'. Oleh karena itu tidak boleh dilakukan oleh anak kecil, orang gila, orang bodoh, orang yang dibatasi tindakannya dalam membelanjakan harta, orang yang dipaksa, dan seorang wali yang tidak sangat terpaksa atau ada kebutuhan. Hal itu karea mereka semua bukanlah orang yang dibolehkan melakukan akad tabarru' (berderma).
41
Ketiga, menurut Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta mitsli, sedangkan dalam pandangan jumhur ulama dibolehkan dengan harta apa saja yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang, biji-bijian, dan harta qimiy seperti hewan, barang tak bergerak, dan lainnya. Keempat, harta yang dipinjamkan jelas ukurannya, baik dalam takaran, timbangan, bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah dikembalikan. Dari jenis yang belum tercampur dengan jenis lainnya seperti gandum yang bercampur dengan jelai karena sukar mengembalikan gantinya.
2.15. Syarat yang Sah dan yang Tidak Sah (Fasid) Di dalam akad qardh dibolehkan adanya kesepakatan yang dibuat untuk mempertegas hak milik, seperti persyaratan adanya barang jaminan, penanggungan pinjaman (kafil), saksi, bukti tertulis, atau pengakuan di hadapan hakim. Mengenai batas waktu, jumhur ulama mengatakan syarat itu tidak sah, dan Malikiyah menyatakan sah. Tidak sah syarat yang tidak sesuai dengan akad qardh, seperti syarat tambahan dalam pengembalian, pengembalian harta yang bagus sebagai ganti yang cacat atau syarat jual rumahnya. Adapun syarat yang fasid (rusak) di antaranya adalah syarat tambahan atau hadiah bagi si pemberi pinjaman. Syarat ini dianggap batal namun tidak merusak akad apabila tidak terdapat kepentingan siapa pun. Seperti syarat pengembalian barang cacat sebagai ganti yang sempurna atau yang jelek sebagai ganti yang bagus atau syarat memberikan pinjaman kepada orang lain (Zuhaili, 2011:379): a. Harta yang Harus Dikembalikan Para ulama sepakat bahwa wajib hukumnya bagi peminjam untuk mengembalikan harta semisal apabila ia meminjam harta mitsli, dan mengembalikan harta semisal
42
dalam bentuknya (dalam pandangan ulama selain Hanafiyah) bila pinjamannya adalah harta qimiy, seperti mengembalikan kambing yang ciri-cirinya mirip dengan domba yang dipinjam. b. Waktu Pengembalian Menurut ulama selain Malikiyah, waktu pengembalian harta pengganti adalah kapan saja terserah kehendak si pemberi pinjaman, setelah peminjam menerima pinjamannya, karena qardh merupakan akad yang tidak mengenal batas waktu. Adapun menurut Malikiyah, waktu pengembalian itu adalah ketika sampai pada batas waktu pembayaran yang sudah ditentukan di awal, karena mereka berpendapat bahwa qardh bisa dibatasi dengan waktu.
2.16. Qardh yang Mendatangkan Keuntungan Mazhab Hanafi dalam pendapatnya yang kuat (rajih) menyatakan bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan hukumnya haram, jika keuntungan tersebut disyaratkan sebelumnya. Jika belum disyaratkan sebelumnya dan bukan merupakan tradisi yang biasa berlaku, maka tidak mengapa. Oleh karena itu, penerima barang gadaian (dalam hal ini pemberi pinjaman) tidak diperkenankan memanfaatkan gadaiannya apabila hal itu disyaratkan sebelumnya atau merupakan kebiasaan yang biasa berlaku. Apabila tidak demikian, maka boleh-boleh saja namun hukumnya makruh tahrim kecuali bila ada izin dari penggadai, maka tidak makruh lagi sebagaimana yang termaktub dalam buku-buku Hanafiyah yang mu'tabar. Tetapi, sebagian ulama tetap mengatakan tidak boleh juga meski sudah ada izin penggadai. Pendapat inilah yang sesuai dengan ruh syariah berkaitan dengan pengharaman riba. Begitu juga hadiah bagi pemberi pinjaman. Jika ada dalam persyaratan, maka hukumnya makruh (maksudnya haram) kalau tidak maka tidak.
43
Para ulama Malikiyah berpendapat bahwa tidaklah sah akad qardh yang mendatangkan keuntungan karena ia adalah riba. Haram hukumnya mengambil manfaat dari harta peminjam, seperti menaiki hewan tunggangannya dan makan di rumahnya dengan alasan utang tersebut, bukan karena penghormatan dan semisalnya. Begitu juga hadiah dari peminjam adalah diharamkan bagi pemilik harta jika tujuannya untuk penundaan pembayaran utang dan sebagainya, padahal sebelumnya tidak ada kebiasaan memberikan hadiah pada orang yang memberi hutang dan tidak ada sebab baru seperti besanan atau tetanggaan, yang mana hadiah dimaksudkan untuk itu semua dan bukan karena alasan utang. Hukum ini berlaku bagi penerima dan pemberi hadiah, sehingga wajib mengembalikannya kembali kalau memang masih ada. Apabila sudah tidak ada, maka wajib baginya mengembalikan harta semisal jika hadiah itu berupa barang mitsli dan nilai yang sesuai jika barang qimiy. Semua ini berlaku apabila masih ada ikatan utang-piutang antara pemberi dan peminjam. Adapun saat pelunasan utang, apabila peminjam melebihkan bayarannya sedang utangnya disebabkan oleh jual beli, maka hukumnya mutlak dibolehkan baik harta yang dibayarkannya itu lebih bagus sifat maupun ukurannya, dan baik dibayarkan pada batas waktu yang telah ditentukan, sebelumnya maupun sesudahnya. Apabila utang tersebut disebabkan oleh akad qardh, maka jika tambahannya merupakan syarat, janji ataupun kebiasaan yang berlaku maka ia dilarang mutlak. Bila bukan karena syarat, janji ataupun kebiasaan yang berlaku, maka dibolehkan menurut kesepakatan Malikiyah. Hal ini pada benda yang sifatnya lebih baik, karena Nabi saw. meminjam unta muda dan membayarnya dengan unta yang lebih tua dan pilihan, sebagaimana akan dijelaskan nanti. Namun, jika tambahan itu lebih baik dari segi ukuran, maka dalam kitab alMudawwanah yang berisi pendapat Imam Malik dijelaskan bahwa tambahan itu tidaklah
44
diperbolehkan kecuali dalam jumlah yang sedikit sekali. Berbeda dengan Ibn Habib yang membolehkannya secara mutlak. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat orang itu menjual rumahnya kepadanya, atau dengan syarat dikembalikan seribu dinar dengan mutu koin dinar yang lebih baik atau dikembalikan lebih banyak dari itu. Alasannya, karena Nabi saw. melarang akad salaf (utang) bersama jual beli. Salaf adalah qardh dalam bahasa rakyat Hijaz. Di samping ada riwayat dari Ubay bin Ka'ab, Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas ra. bahwa mereka melarang qardh yang menarik keuntungan. Selain itu, qardh adalah akad tolong-menolong dan merupakan ibadah. Oleh karena itu, dalam keadaan ini, akad qardh itu tetap sah tapi syarat keuntungan adalah batal, baik keuntungan itu berupa uang maupun barang, banyak maupun sedikit. Jika seseorang mengutangkan kepada orang lain tanpa ada persyaratan tertentu, lalu orang tersebut membayarnya dengan barang yang lebih baik sifatnya atau kadarnya, atau ia menjual rumahnya kepada pemberi utang, hal itu diperbolehkan dan peminjam boleh mengambilnya. Hal ini didasarkan pada riwayat Abu Rafi' ra. bahwa ia berkata, "Rasulullah pernah berutan unta bakr kepada seseorang, lalu beliau mendapat unta sedekah. Maka beliau menyuruh saya untuk membayar kepada orang tersebut seekor unta bakr. Saya berkata, 'Wahai Rasulullah, saya tidak mendapati kecuali unta ruba'i dari jenis yang bagus.' Lalu beliau bersabda, “berikanlah kepadanya, sesungguhnya sebaikbaik kamu adalah yang paling baik dalam membayar utang”. Adapun larangan qardh yang menarik keuntungan, maka ia bukanlah hadits sebagaimana ditegaskan Hafidh azZaila'i dalam kitabnya Nasbur Raayah, dan dijelaskan dalam Hasyiah-nya. Tetapi bisa juga dipahami bahwa larangan itu hanya berkaitan dengan qardh yang ada syarat
45
keuntungan atau qardh yang memberikan keuntungan sesuai kebiasaana berlaku sebagaimana dijelaskan oleh al-Kharki dan ulama lainnya. Mengenai peminjaman harta dari orang yang biasa memberikan tambahan dalam pengembalian ada dua pendapat dalam mazhab Syafi'i, dan yang paling kuat adalah hukumnya makruh, sedangkan dalam mazhab Hambali terdapat dua riwayat, dan yang paling shahih adalah pendapat yang menyatakan boleh tanpa ada kemakruhan. Ringkasnya, akad qardh diperbolehkan dengan dua syarat, yaitu: a. Tidak mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan tersebut untuk pemberi pinjaman, maka para ulama bersepakat bahwa itu tidak diperbolehkan, karena ada larangan dari syariat dan karena sudah keluar dari jalur kebajikan. Jika untuk penerima pinjaman, maka diperbolehkan. Jika untuk mereka berdua maka tidak boleh, kecuali jika sangat dibutuhkan. Akan tetapi, ada perbedaan pendapat dalam mengartikan "sangat membutuhkan", yaitu kondisi yang terjadi dalam akad suftajah. Qardh boleh dilakukan ketika ada kekhawatiran atas harta pemberi pinjaman di perjalanan, seperti meminjamkannya pada orang yang dipercaya bahwa hartanya akan aman bila dibawanya. Boleh juga akad qardh bila si peminjam saja yang diuntungkan seperti adanya kelaparan yang melandanya atau jual beli biji-bijian yang sudah dimakan ngengat lebih murah bagi peminjam karena itu mahal di pasaran. b. Akad qardh ini tidak dibarengi dengan transaksi lain, seperti jual beli dan lainnya. Berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud, Nasa'i, dan Ahmad dari Abdullah bin Amr:
َﻝ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢ ُ ﻋﻦ ﻋَﺒْﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺑْﻦَ ﻋَﻤْﺮٍﻭ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮ ﻟَﺎ ﻳَﺤِﻞﱡ ﺳَﻠَﻒٌ ﻭَﺑَﻴْﻊٌ ﻭَﻟَﺎ ﺷَ ْﺮﻃَﺎﻥِ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﻊٍ ﻭَﻟَﺎ ﺭِﺑْﺢُ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﻀْﻤَﻦْ ﻭَﻟَﺎ َﺑَﻴْ ُﻊ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪَﻙ
46
Artinya: Dari Abdullah bin Amru ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu (Sunan Abu Dawud, vol. 3 no. 283; Sunan Nasai vol.7 no.288; Musnad Ahmad, vol. 2 no.253) Adapun hadiah dari pihak peminjam, maka – menurut ulama Malikiyah – hal itu tidak boleh diterima oleh pemberi pinjaman karena dapat mengarah pada penundaan pelunasan. Adapun jumhur ulama membolehkannya jika bukan merupakan syarat. Sebagaimana diperbolehkan juga jika antara keduanya ada hubungan yang menjadi alasan pemberian hadiah dan bukan karena hutang tersebut. Di sini terlihat bahwa hal ini terjadi pada penyimpanan uang di tabungan pos dan deposito.
2.17. Tabungan Pos, Deposito, Tabungan dan Suftajah Zuhaili (2011: 382) menyebutkan hukum obligasi pemerintah (goverment bond) – di mana biasanya pemerintah memberikan bunga pada tabungan pos – memiliki hak menguasai dan membelanjakan dana nasabah di dalamnya serta memanfaatkannya untuk pinjaman ribawi. Bunga yang diberikan pihak bank kepada nasabah tidaklah halal, karena hubungan antara keduanya bukanlah sekedar hubungan wadiah (titip-menitip) saja sebagaimana yang dipahami sebagian para mufti. Karena kalaulah harta ini hanya sebatas titipan tentu tidak boleh bagi pihak bank untuk memanfaatkan dan menginvestasikannya dalam berbagai lahan bisnis. Hal itu karena hak penerima titipan hanyalah menjaga titipan saja bukan memanfaatkannya. Tetapi bila penitip (nasabah) memberinya izin, maka ia berubah kedudukannya dari wadiah menjadi qardh karena yang menjadi acuan adalah esensi maknanya. Dalam hal ini bank memiliki harta yang dititipkan dan berjanji akan mengembalikan yang semisal dengannya.
47
Begitu pula keuntungan yang sudah paten dan dipatok dengan bunga tabungan tertentu di dalam deposito tidaklah sesuai dengan syariat. Hal itu karena pematokan keuntungan tidak dibolehkan dalam kongsi bisnis, khususnya yang menggunakan sistem mudharabah. Alternatif yang dibolehkan adalah laba diberikan tanpa ditentukan persenannya dan adanya kesepakatan bahwa kerugian ditanggung bersama bila hal itu terjadi dalam pelaksanaan sebuah proyek tertentu. Begitupun rekening tabungan termasuk dalam akad qardh antara nasabah dan bank. Seandainya pun terkadang bank tidak memberi bunga, namun ia menggunakan dana nasabah itu untuk melakukan kredit ribawi dan praktik-praktik yang diharamkan lainnya. Apabila seorang muslim terpaksa untuk membuka rekening untuk menutupi biaya impor barang dari negara lain misalnya, maka hal itu dibolehkan, karena didasarkan pada kaidah adh-dharuuratu tubiihul mahdzuraat (kondisi darurat bisa membolehkan sesuatu yang dilarang), tetapi disesuaikan juga dengan kadar darurat berdasarkan kaidah adh-dharuuratu tuqaddar biqadariha (keadaan darurat dibatasi sesuai dengan kadarnya saja). Selanjutnya akad suftajah adalah transaksi keuangan di mana seorang pemberi pinjaman memberikan pinjaman dana pada peminjam di suatu daerah (negara), lalu peminjam, wakilnya atau orang yang berutang padanya berkewajiban melunasi pinjaman itu kepada pemberi pinjaman, wakilnya atau orang yang memberinya pinjaman di daerah (negara) lain. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa suftajah ini hukumnya makruh tahrim apabila keuntungan yang dimaksud (pembayaran di daerah lain untuk menghindari bahaya) menjadi syarat dalam akad atau menjadi kebiasaan yang berlaku. Al-Marghinani berkata, "Akad suftajah hukumnya makruh, yaitu bentuk qardh yang mana peminjam diuntungkan dengan tidak terbebani oleh risiko bahaya perjalanan. Inilah bentuk manfaat yang didapatkan dari akad qardh ini. Padahal dengan tegas Rasulullah melarang qardh yang menarik keuntungan.
48
Pendapat senada dilontarkan ulama Syafiiyah. Menurut mereka, transaksi ini diharamkan karena sudah masuk dalam qardh yang menarik keuntungan bagi si peminjam karena ia tidak menanggung risiko perjalanan. Begitu pula pendapat ulama Malikiyah yang menyatakan bahwa transaksi ini dilarang karena merupakan bentuk qardh yang menarik keuntungan, terkecuali bila dalam kondisi darurat guna melindungi hartanya, dan yang rajih di dalam pandangan Hanabilah adalah bolehnya transaksi ini apabila tanpa adanya bayaran. Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Ibnu Qudamah memilih pendapat boleh secara mutlak, alasannya karena keuntungannya bukan hanya oleh peminjam saja namun dirasakan oleh kedua belah pihak. Macam-macam Deposito: a. Tipe A yaitu deposito yang memiliki nilai yang terus bertambah. Pinjaman berada di tangan sebuah perusahaan (bank) selama 10 tahun, lalu investor akan mengambil kembali beserta persentase laba yang telah ditentukan, sehingga merupakan riba selama 10 tahun. b. Tipe B yaitu deposito yang memiliki pemasukan lancar, di mana laba bisa ditarik setiap kurun waktu satu atau setengah tahun, sedangkan pokok pinjaman tetap utuh. Tipe A dan B ini termasuk dalam kategori akad qardh dan tambahannya, termasuk dalam kategori riba utang. Keduanya tergolong dalam riba investasi yang mengandung riba dan hukumnya adalah haram seperti simpanan yang ada di bank, baik yang dimaksudkan hanya sebagai bentuk penitipan saja, seperti tabungan, maupun penitipan dan investasi, yaitu deposito. c. Tipe C yaitu deposito yang tidak memberikan laba pasti setiap tahunnya, namun ia memberikan sebagian keuntungan bagi nasabahnya dengan cara diundi. Sebagian ulama terkecoh dengan tipe ini sehingga menfatwakan kebolehannya dengan alasan bahwa semua modal berasal dari pemilik modal. Bentuk seperti ini dibolehkan menurut pendapat yang masyhur dalam mahzab Maliki. Telah termaktub dalam
49
undang-undang mahzab Maliki halaman 300 yang berisi tentang kebolehan tabungan pos atas dasar dua alasan berikut ini. Transaksi ini tidak ada pada masa turunnya syariat Islam, sehingga termasuk masalah yang maskut 'anhu (tidak dibicarakan) maka ia dibolehkan secara syara. Hal itu karena merupakan transaksi yang menguntungkan baik bagi pihak pengelola maupun pemilik modal, serta tidak ada pihak yang dirugikan. Selain itu, karena pada umumnya yang terjadi adalah si pengelola mendapatkan laba yang cukup besar. Hukum dalam syariat yang berdasar pada keadaan yang banyak terjadi, bukan pada yang sedikit dan jarang yaitu kemungkinan adanya kerugian. Transaksi ini masuk dalam kategori akad qiradh (bagi hasil) yang dibolehkan berdasarkan ijma, karena ia adalah salah satu macamnya, dan tidak diperlukan syarat laba harus bagian yang tidak tertentu dalam qiradh karena qiradh biasanya berlangsung antar-individu manusia, sedangkan transaksi ini berlangsung dengan instansi pemerintahan. Namun yang benar, tipe ke-3 inipun haram juga karena ia menggunakan sistem perjudian dengan membagi keuntungan ribawi menjadi beberapa nominal sehingga dapat mencakup sedikit dari jumlah investor yang ada. Lalu nominal itu dibagikan kepada mereka atas nama hadiah dengan cara diundi. Pada praktek inipun terdapat ketidakadilan karena bisa jadi investor yang memiliki saham kecil mendapatkan ribuan dinar atau lira dan investor yang memiliki saham besar tidak mendapatkan apa-apa.
2.18. Obyek Qardh Menurut Ulama, obyek Qardh bermacam-macam, antara lain: Madzhab Hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan, yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak meyolok, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, biji-
50
bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa, telur. Selanjutnya pakaian dan hewan juga boleh dipinjamkan, bahkan Rasulullah saw juga pernah meminjam unta muda. Boleh juga atas barang yang dapat ditakar, ditimbang, atau barang dagangan. Adapun yang tidak diperbolehkan melakukan Qardh atas harta yang tidak memiliki kesepadanan, baik yang bernilai seperti binatang, kayu dan agrarian, dan harta biji-bijian yang memiliki perbedaan menyolok, karena tidak mungkin mengembalikan dengan semisalnya. Karena menurut golongan ini, bahwa pinjam meminjam dengan sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan yang serupa tidak diperbolehkan. Obyek Qardh pada masa Rasulullah saw diimplemantasikan untuk barang kebutuhan riil masyarakat saat itu, misalnya biji-bijian, hewan, dan barang-barang yang bisa ditakar atau ditimbang. Pada saat sekarang, obyek Qardh berkembang sesuai dengan kebututuhan masyarakat pada perekonomian modern khususnya di perbankan syariah. Oleh karen itu obyek yang dipinjamkan adalah uang. Uang merupakan salah satu benda yang memenuhi syarat untuk dipinjamkan karena ada nilai yang bisa disepadankan.
2.19. Skema Qardh Mustafa and Ismailov (2008) menyatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan akad Qardh, yaitu: harus ada kontrak secara jelas antara yang meminjamkan dan si peminjam, tanggal pengembalian harus jelas, kontrak perjanjian harus tertulis, harus ada dua orang saksi, dan bank boleh membebankan biaya administrasi. Adapun Onagun (2011) menyebutkan bahwa dalam akad Qardh perlu memperhatikan hal-hal seperti harus ada ijab qabul dalam melakukan akad ini, kedua belah pihak paham mengenai akad ini, tanggal pembayaran harus ditentukan, perjanjian harus ditulis, dan harus ada dua orang saksi. Antonio (2001:134) menggambarkan skema Qardh sebagai berikut:
51
PERJANJIAN Qardh
NASABAH
BANK TENAGA
KERJA
100 %
MODAL 100%
PROYEK / USAHA
KEMBALI MODAL
KEUNTUNGAN
Gambar 2.2. Skema Qardh Sumber: Antonio (2001:134). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
2.20. Sumber Dana Qardh Sesuai dengan Fatwa MUI No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 24 Muharram 1422 H bertepatan dengan 18 April 2001 menyebutkan bahwa sumber dana Qardh berasal dari: a. Bagian Modal Lembaga Keuangan Syariah (LKS) b. Keuntungan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang disisihkan c. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya lewat Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Pada tahun 2011 MUI kembali mengeluarkan fatwa dengan No. 79/DSNMUI/III/2011 tentang al-Qardh dengan menggunakan Dana Nasabah. Dalam fatwa ini
52
lebih dijelaskan transaksi-transaksi yang boleh dibiayai oleh dana nasabah, yaitu Akad Qardh yang dilakukan sebagai sarana atau kelengkapan bagi transaksi lain yang menggunakan akad-akad mu’awadhah (pertukaran dan dapat bersifat komersial) dalam produk yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan transaksi yang tidak boleh dibiayai oleh dana nasabah adalah Akad Qardh yang berdiri sendiri untuk tujuan sosial semata sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No. 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh, bukan sebagai sarana atau kelengkapan bagi transaksi lain dalam produk yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
2.21. Manfaat Qardh Hikmah disyariatkan Qardh antara lain melaksanakan kehendak Allah agar kaum muslimin saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Hikmah lainnya adalah menguatkan ukhuwah (persaudaraan) dengan cara mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan dan mengalami kesulitan serta bersegera meringankan beban orang yang tengah dilanda kesusahan. Dalam perbankan syariah, manfaat akad Qardh antara lain (Antonio, 2000:188) memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat talangan jangka pendek. Aplikasi akad ini biasanya dalam empat (4) hal yaitu: 1. Sebagai pinjaman talangan haji, dalam hal ini nasabah calon haji diberikan talangan untuk memenuhi persyaratan penyetoran biaya perjalanan haji, dan nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke tanah suci. 2. Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah, dalam hal ini nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM, dan nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang telah ditentukan. 3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank sudah akan memberatkan si pengusaha apabila diberikan pembiayaan dengan akad jual beli, ijarah, ataupun bagi hasil. 4. Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dalam hal ini bank menyediakan fasilitas untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank, dan akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gaji bulanan (Karim, 2007).
53
Farah (2009) menyebutkan beberapa manfaat adanya Qardh antara lain, (1) jumlah pinjaman yang diberikan biasanya lebih besar dari Shadaqah, (2) pinjaman direalisasikan sebagai dana bergulir, (3) meningkatkan marginal propensity to consume bagi orang-orang miskin. Adapun Bakhtiar (2009) menyimpulkan bahwa Qardhul Hasan lebih efisien daripada kredit mikro terutama untuk tujuan pengurangan kemiskinan, dan Qardhul Hasan adalah instrumen yang ampuh dalam mendukung usaha mikro dan kecil serta dapat dianggap sebagai kebijakan dalam peningkatan kemiskinan yang lebih efektif.
2.22. Muqridh dan Muqtaridh Muqridh adalah pemberi pinjaman atau pihak yang memberikan piutang atau pinjaman kepada pihak lain dalam akad qardh, sedangkan Muqtaridh atau Mustaqridh adalah orang yang berhutang dan harus mempunyai kriteria antara lain harus orang yang ahliyah mu’amalah, artinya orang tersebut harus baligh, berakal sehat, dan tidak mahjur (bukan orang yang oleh syariat Islam tidak diperkenankan mengatur sendiri hartanya karena faktor-faktor tertentu) (ash-Shiddieqy, 1997:103). Dalam kaitannya dengan transaksi perbankan syariah, maka yang dimaksud dengan Muqridh adalah Lembaga Keuangan Syariah yang memberikan pinjaman dengan akad Qardh. Sebagai Muqridh, LKS mempunyai beberapa fungsi: a. LKS harus berupaya untuk menjaga amanah, sehingga uang yang dititipkan aman; b. LKS harus berupaya untuk mencari proyek-proyek usaha yang menguntungkan agar LKS dapat memberikan imbalan dan bagi hasil yang layak bagi pemilik dana; c. LKS harus berupaya agar proyek-proyek usaha yang dibiayainya dilakukan secara hati-hati, aman, efektif, dan efisien (Perwataatmadja dan Antonio, 1992:25). 2.23. Akad Ijarah ( Sewa menyewa) Ulama Fiqh bersepakat atas legalnya akad ijarah, kecuali Abu Bakar al-Asham, Ismail bin Ulayyah, Hasan Basri, al-Qasyani, an-Nahrawani, dan Ibnu Kaisan. Mereka
54
melarang akad ini karena ijarah adalah menjual manfaat, manfaat-manfaat tersebut tidak pernah ada saat melakukan akad, hanya dengan berjalannya waktu akan terpenuhinya sedikit demi sedikit. Sesuatu yang tidak ada, tidak dapat dilakukan jual beli atasnya. Namun Ibnu Rusyd menyatakan bahwa manfaat tersebut ada walaupun tidak ada saat akad, tercapai secara umum dapat tercapai (az-Zuhaili, 2011:385). Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, tapi perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual-beli objek transksinya adalah barang, sedangkan pada ijarah objek transaksi-nya adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah, oleh karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian. Landasan syariah untuk akad al-Ijarah adalah sebagai berikut: a. al-Qur'an
ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺭَﺩْ ُﺗﻢْ ﺃَﻥْ ﺗَﺴْﺘَﺮْﺿِﻌُﻮﺍ ﺃَﻭْﻟَﺎﺩَﻛُﻢْ ﻓَﻠَﺎ ﺟُﻨَﺎﺡَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻠﱠﻤْﺘُﻢْ ﻣَﺎ ٌﺁَﺗَﻴْﺘُﻢْ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻭَﺍﱠﺗﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ ﺑَﺼِﻴﺮ [233/]ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ Artinya: … dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan (Departemen Agama RI, 1971:57).. b. al- Hadits Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ِ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋَﻠَﻴْﻪ،ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻋَﺒﱠﺎﺱٍ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ َ ﻭَﺍﺳْﺘَﻌَﻂ،ُ »ﺍﺣْﺘَﺠَﻢَ ﻭَﺃَﻋْﻄَﻰ ﺍﻟﺤَﺠﱠﺎﻡَ ﺃَﺟْﺮَﻩ:َﻭَﺳَﻠﱠﻢ
55
Artinya: dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meminta untuk dibekam, lalu beliau memberi upah kepada tukang bekam (Shahih Bukhari, vol. 7 no. 124)
ِ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮ ُﻝ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋَﻠَﻴْﻪ:َ ﻗَﺎﻝ،َﻋﻤَﺮ ُ ِﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺑْﻦ ُ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﺠِﻒﱠ ﻋَ َﺮﻗُﻪ،ُ »ﺃَﻋْﻄُﻮﺍ ﺍﻟْﺄَﺟِﻴﺮَ ﺃَﺟْﺮَﻩ:َﻭَﺳَﻠﱠﻢ Artinya: Dari Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya (Sunan Ibnu Majah, vol. 2, no. 817). Manfaat dari transaksi al-ijarah bagi adalah pendapatan sewa dan kembalinya uang pinjaman yang diberikan kepada nasabah. Adapun risiko yang mungkin terjadi antara lain default (nasabah sengaja tidak membayar cicilan dengan sengaja), aset ijarah rusak, atau nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut (Antonio, 2001:119). Adapun skema untuk akad al- ijarah adalah sebagai berikut:
PENJUAL SUPLIER
OBJEK SEWA
NASABAH
B. Milik
3) Sewa Beli A. Milik 2) Beli Obyek Siswa
1) Pesan Obyek
Sewa
BANK SYARIAH Gambar 2.3 Skema Ijarah Sumber: Antonio (2001:119). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
56
2.24. Rahn (Gadai) Menurut ulama Syafi'iyah (asy-Syarbani, dalam Siregar, 2011), Rahn adalah menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketiga berhalangan dalam membayar utang, sedangkan menurut ulama Hanabilah, Rahn adalah harta yang dijadikan jaminan utang sebagi pembayaran harga (nilai) utang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman. Tujuan akad Rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria: milik nasabah sendiri, Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar, dan dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadai-kan rusak atau cacat, nasabah harus bertanggung jawab. Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, kelebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hal hasil, penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, maka nasabah harus menutupi kekurangannya. Landasan syariah untuk ar-Rahn terdapat pada Al Qur'an dan Al Hadits berikut ini. a. Al Qur'an
َﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْ ُﺘﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻭَﻟَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻛَﺎﺗِﺒًﺎ ﻓَﺮِﻫَﺎﻥٌ َﻣﻘْﺒُﻮﺿَﺔٌ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﻣِﻦ [283/ﻀﻜُﻢْ ﺑَﻌْﻀًﺎ ﻓَﻠْﻴُﺆَﺩﱢ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺍﺅْ ُﺗﻤِﻦَ ﺃَﻣَﺎﻧَﺘَ ُﻪ ]ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ ُ ْﺑَﻌ Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). … (Departemen Agama RI, 1971:71).
57
b. Al Hadits
َ ﺃَﻥﱠ ﺍﻟﻨﱠﺒِﻲﱠ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢ:ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ُ ﻭَﺭَﻫَﻨَﻪُ ﺩِﺭْﻋَﻪ،ٍ»ﺍﺷْﺘَﺮَﻯ ﻣِﻦْ ﻳَﻬُﻮﺩِﻱﱟ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺟَﻞ Artinya: dari 'Aisyah radliallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran tunda sampai waktu yang ditentukan, yang Beliau menggadaikan (menjaminkan) baju besi Beliau." (Shahih Bukhari, vol. 3, no. 143). Manfaat yang diperoleh bank syariah dari akad ar-Rahn ini antara lain (Antonio, 2001: 130): menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan bank, memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang, dan memberikan kesempatan bagi nasabah yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah tertentu. Adapun skema untuk ar- Rahn ini adalah: 2) Permohonan Pembiayaan
Marhun Bih Pembiayaan
1) c 3) Akad Pembiayaan
Murtahin Bank
Rahin Nasabah
4) Utang + Mark Up 1) a
1) b. Titipan / Gadai Pembiayaan
Marhun Jaminan
Gambar 2.4 Skema Rahn Sumber: Antonio (2001:131). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
58
2.25. Hiwalah/ Hawalah (Take Over) Menurut istilah, hawalah adalah akad yang menghendaki perpindahan utang dari tanggungan seseorang kepada tanggungan orang lain (al-Bugha, 2009:181). Tujuan fasilitas ini adalah untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Landasan syariah untuk akad hiwalah didasarkan pada alhadits dan ijma sebagai berikut: a. Al Hadits
َ »ﺇِﺫَﺍ ﺃُﺗْﺒِﻊ:َ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨﱠﺒِﻲﱢ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢَ ﻗَﺎﻝ،َﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓ ﻞ ﺍﻟْﻐَﻨِﻲﱢ ُ ْ ﻭَﺍﻟﻈﱡﻠْﻢُ ﻣَﻄ،ْﺃَﺣَ ُﺪ ُﻛﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻠِﻲءٍ ﻓَﻠْﻴَﺘْﺒَﻊ Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apabila seseorang diantara kalian dipindahkan kepada orang yang kaya maka hendaknya ia mengikuti, kezhaliman adalah orang kaya yang menunda pembayaran hutang tanpa adanya udzur (syar'i)." (Sunan an-Nasai, vol.7 no. 316). Adapun skema akad hiwalah ini adalah: MUHAL 'ALAIH (FACTOR / BANK)
2) Invoice MUHIL (PENYUPLAI)
3) Bayar
4) Bayar
1) Suplai Barang
5) Bayar MUHAL (PEMBELI)
Gambar 2.5. Skema Hiwalah Sumber: Antonio (2001:128). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
59
2.26. Pembiayaan Murabahah (al- bai' bi tsaman ajil) Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan), yaitu transaksi jual beli dalam hal ini bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai nasabah, sedangkan nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok di tambah keuntungan atau margin. Kedua belah pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah selalu dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil atau muajjal). Selanjutnya landasan syariah untuk akad murabahah meliputi: a. al-Qur'an
[275/ ]ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.....ﻭَﺃَﺣَﻞﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﺍﻟْﺒَﻴْﻊَ ﻭَﺣَﺮﱠﻡَ ﺍﻟﺮﱢﺑَﺎ.... Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Departemen Agama RI, 1971:69). b. al-Hadits
ُ ﺍﻟْﺒَﻴْﻊ،ُ »ﺛَﻠَﺎﺙٌ ﻓِﻴﻬِﻦﱠ ﺍﻟْﺒَﺮَﻛَﺔ:َﷲ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢ ُ ﻝ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍ ُ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮ: ﻟِﻠْﺒَﻴْﺖِ ﻟَﺎ،ِ ﻭَﺃَﺧْﻠَﺎﻁُ ﺍﻟْﺒُﺮﱢ ﺑِﺎﻟﺸﱠﻌِﻴﺮ،ُ ﻭَﺍﻟْ ُﻤﻘَﺎﺭَﺿَﺔ،ٍﺇِﻟَﻰ ﺃَﺟَﻞ ِﻟِﻠْﺒَﻴْﻊ Artinya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tiga hal yang di dalamnya terdapat barakah; jual beli yang memberi tempo, peminjaman, dan campuran gandum dengan jelai untuk di konsumsi orang-orang rumah bukan untuk dijual (Sunan Ibnu Majah, vol. 6, no. 324). Manfaat ba’i al murabahah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dan harga jual dari nasabah. Namun demikian. Ada beberapa risiko skema ini antara lain fluktuasi harga kompetitif, barang ditolak oleh nasabah karena rusak dalam perjalanan, atau nasabah lali dalam melakukan angsuran.
60
Skema bai' al murabahah sebagai berikut: 1) Negoisasi & Persyaratan 2) Akad Jual Beli NASABAH
BANK 6) Bayar
5) Terima 3) Beli Barang
SUPLIER PENJUAL
4) Kirim
Gambar 2.6 Skema Bai' al-Murabahah Sumber: Antonio (2001:107). Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
2.27. Dasar Teori Implementasi Qardh 2.27.1. Ibn Khaldun Dynamic Model Pembangunan di dalam Islam bermakna menciptakan keseimbangan dan harmoni, keadilan dan perdamaian, keindahan dan kemakmuran. Pembangunan bermakna membangun manusia secara keseluruhan meliputi jiwa, pikiran dan jasad. Pembangunan harus mencakup aspek material, kultur dan politik, namun pada saat yang sama pembangunan juga harus mencakup aspek moral dan spiritual. Pembangunan material yang mengabaikan moralitas dan spiritualitas tidak akan mampu mempertahankan pertumbuhan dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi tanpa nilai moral dan spritiual hanya akan menjadi masalah, beban, dan penderitaan (Nasution, 2010). Ibn Khaldun (1332 – 1404 M) dalam Chapra (2008) menyebutkan bahwa model pembangunan Ibn Khaldun menggunakan 8 prinsip (kalimat hikamiyyah) yang meliputi: 1. Kekuatan
kedaulatan
(al-mulk)
tidak
mengimplementasikan Syariah (S)
dapat
dipertahankan
kecuali
dengan
61
2. Syariah tidak dapat diimplementasikan kecuali oleh sebuah kedaulatan (al-mulk) (G). 3. Kedaulatan tidak akan memperoleh kekuatan kecuali bila didukung oleh sumber daya manusia (ar-rijal) (N) 4. Sumber daya manusia tidak dapat dipertahankan kecuali dengan harta benda (al-mal) (W) 5. Harta benda tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (al-’imarah) (g) 6. Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali dengan keadilan (al-’adl) (j) 7. Keadilan merupakan tolok ukur (al-mizan) yang dipakai Allah untuk mengevaluasi manusia. 8. Kedaulatan dibebankan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan Delapan kalimat (kalimat hikamiyyah) dari kebijaksanaan politik, masing-masing dihubungkan dengan yang lain untuk memperoleh kekuatan, dalam sebuah alur daur di mana permulaan dan akhir tidak dapat dibedakan. Model pembangunan Ibnu Khaldun dapat ditunjukkan dalam hubungan fungsional berikut: G = f (S, N, W, g, j) G menjadi variabel dependen karena fokus analisis Ibnu Khaldun
adalah
menjelaskan jatuh bangunnya sebuah negara atau peradaban. Menurut Ibnu Khaldun, kekuatan dan kelemahan suatu pemerintahan bergantung pada kekuatan dan kelemahan otoritas politik (wazi’) yang dikandungnya. Dalam jangka panjang, otoritas politik (G) harus menjamin kesejahteraan rakyat (N) dengan menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pembangunan (g), distribusi pendapatan (W), dan penegakan keadilan (j) melalui implementasi syariah (S). Model Ibnu Khaldun G = f (S, N, W, g, j) tidak selalu berputar searah, namun bisa menjadi hubungan sebab akibat multi-arah dan saling bergantung. Variabel
62
independen dapat menjadi variabel dependen dan yang lainnya menjadi variabel independen. Dengan kata lain, mekanisme pemicu kejatuhan suatu peradaban (yang dalam model Ibnu Khaldun disebabkan oleh kegagalan G), tidak selalu sama bagi semua masyarakat. Disintegrasi keluarga, yang merupakan bagian dari N, dapat memicu kemerosotan SDM (N) yang merupakan elemen dasar pembangun peradaban. Kelemahan dalam perekonomian (W) dapat dipicu oleh sistem ekonomi yang cacat (S) atau nilai-nilai dan institusi yang tidak berguna (S). Selanjutnya model Ibnu Khaldun tidak menunjukkan satu penyebab tunggal dari kejatuhan peradaban Islam. Model bersifat lintas disiplin dan menggunakan pendekatan daur sebab-akibat yang dinamis. Dalam model Ibnu Khaldun ini, semua komponen bangsa terkait satu sama lain secara erat. Jika salah satu faktor runtuh, kemudian tidak dikoreksi, maka ia akan berfungsi sebagai mekanisme pemicu yang memperlemah faktor-faktor lainnya; dan pada gilirannya akan mempercepat kejatuhan peradaban. Dalam jangka panjang, semua faktor menjadi terkait erat sehingga sulit membedakan mana sebab dan mana akibat, maka menjadi tidak bermakna untuk memisahkan sejarah ekonomi Islam dari sejarah politik, sosial, dan agama. Daur sebab-akibat yang dinamis dalam jangka panjang ini disebut Daur Keadilan (circle of equity). Chapra (2001:127)
memformulasikan pemikiran Ibnu Khaldun dalam suatu
siklus yang berurutan, lengkap dengan hubungan sebab akibat antar komponen pembangunan. Ibnu Khaldun menjelaskan perlunya pembangunan yang terdiri atas pengembangan syariah (S), pengembangan masyarakat (N), peningkatan kekayaan (W), penegakan keadilan dan pembangunan (j&g), dan peran pemerintah (G). Menurut Chapra (2008) kelima komponen itu bergerak dalam dua siklus, yaitu siklus kemajuan dan siklus kemunduran. Siklus Chapra tersebut dapat ditunjukkan dalam gambar berikut.
63
Gambar 2.7 Siklus Kemajuan dan Kemunduran Sumber: Chapra. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam. Cetakan Pertama, Jakarta, Tazkia Cendekia Siklus kemajuan meliputi syariah (S) masyarakat (N) kekayaan (W) keadilan dan pembangunan (j&g) pemerintah (G) syariah (S). Tahapan Siklus Kemajuan dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Tanamkan kesadaran syariah (S), kemudian kembangkan masyarakat sehingga terciptalah masyarakat (N) yang paham syariah. 2. Meningkatkan kekayaan (W) masyarakat yang paham syariah ini. 3. Bila ini tercapai maka aspek pembangunan lainnya tidak dapat diabaikan dan yang terpenting adalah penegakan keadilan dan pembangunan (j&g). 4. Pada tahap ini kita memiliki masyarakat paham syariah yang kaya dan berkeadilan. 5. Tahap terakhir adalah menegakkan pemerintahan yang kuat (G). Adapaun Siklus Kemunduran meliputi keadilan dan pembangunan (j&g) kekayaan (W) masyarakat (N) syariah (S) pemerintah (G) keadilan dan
64
pembangunan (j&g). Tahapan Siklus kemunduran dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika keadaan anarkis dan chaos, di mana hukum tidak ditegakkan dan pembangunan tidak berorientasi pada keadilan (j&g) maka kekayaan yang telah terakumulasi akan sirna (W) terjarah oleh tindakan anarkis lapangan kerja dan kegiatan masyarakat menyusut (N) syariah terasa seperti utopia (S) dan akhirnya melemahnya pemerintahan (G). Namun dengan strategi yang tepat, siklus kemunduran ini dapat dibalik menjadi siklus kemajuan. Misalkan, menyusutnya kegiatan mayarakat dan
lapangan kerja
menjadi titik balik kesadaran masyarakat untuk kembali kepada syariah (S). Ramainya kesadaran untuk kembali kepada syariah akan mendorong bangkitnya lagi masyarakat, sehingga siklusnya berubah menjadi siklus kemajuan. Dalam kaitannya dengan kepentingan disertasi ini, implementasi Ibn Khaldun Dynamic Model yang multidisipilin dan dinamis pada perbankan syariah dilakukan dengan membuat turunan, modifikasi atau derivasi sebagai berikut: Tabel 2. 2 VARIABEL MODIFIKASI/DERIVASI DARI IBN KHALDUN DYNAMIC MODEL No. 1.
Variabel Ibn Khaldun Dynamic Model Syariah (S)
Model Modifikasi/Derivasi Prinsip-prinsip syariah
2.
Otoritas Pemerintah (G)
Dewan Pengawas Syariah Syaria Supervisory Board
3.
Manusia/People/ar-Rijal (N)
Jumlah Sumber Daya (Number of Employee)
4.
Harta Benda/al-Maal (W)
Jumlah Asset /Wealth (W)
5.
Pembangunan/Development/al-Imarah (g)
Pengembangan produk perbankan syariah / Number of Product (g)
6.
Keadilan/Justice/al-Adl (j)
Keadilan (j)
Sumber: Modifikasi oleh Falikhatun, 2014.
/
Insani
65
Keberhasilan Syaria Supervisory Board (SSB/G) dalam melaksanakan fungsi pengawasan agar Bank Islam senantiasa melaksanakan prinsip syariah (S) secara komprehensif ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Misalnya penerapan prinsip-prinsip syariah (S) bank Islam dalam aktifitas muamalahnya, apakah telah dilaksanakan secara kaffah, konsekuen dan
konsisten
(istiqamah)
atau
tidak,
sekaligus
juga
tentang
penegakan
keadilan/justice/al-adl (j) dalam hubungan antara Sumber Daya Insani/people/ar-Rijal (N) dengan nasabah, serta pemanfaatan harta benda/al-Maal (W) oleh Bank Islam tersebut. Dengan kata lain Bank Islam harus mengembangkan produk-produk perbankan syariah (Number of Product/g) yang sesuai dengan syariah Islam dan dikelola dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian berdasarkan prinsip keadilan, sehingga pada akhirnya akan memperoleh pendapatan yang terus meningkat dan sehat, sehingga hasil tersebut bukan hanya dinikmati oleh pengelola Bank Islam saja, tetapi juga akan dinikmati oleh masyarakat secara keseluruhan. Selanjutnya setelah Bank Islam berkembang dan sehat diharapkan ikut berpartisipasi dalam membumikan syariah Islam (S) kepada masyarakat (N). Oleh karena itu, perbankan syariah dalam misinya tidak hanya berorientasi pada keuntungan materi semata, tetapi juga berorientasi pada aspek sosial. Misi sosial itu salah satunya diwujudkan dalam bentuk aktifitas penyediaan akad peminjaman modal tanpa imbalan tambahan atau qardh. Akad ini diharapkan dapat meningkatkan kesempatan berusaha bagi masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kekayaan (W) masyarakat yang telah paham syariah ini. Membuminya prinsip-prinsip syariah di masyarakat memicu terjadinya penegakan keadilan dan pembangunan (j&g) dalam segala aktifitas kenegaraan, sehingga akan membentuk pemerintahan yang kuat (G). Pemerintahan yang kuat dan adil akan melahirkan regulasi-regulasi yang dapat memacu tumbuh-
66
kembangnya usaha-usaha baru, sehingga pada akhirnya akan terwujud masyarakat yang gemah ripah loh jinawi dan berkeadilan, serta terbingkai dalam syariat Islam.
2.27.2. Prinsip Amanah (Amanat Principle) Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain untuk dipelihara dan dikembalikan bila tiba saatnya atau bila diminta oleh pemiliknya, Shihab (2002:457). Fazlur Rahman dalam tulisannya yang berjudul Same Key Ethical Concepts of the Qur'an (Rahardjo, 1996:202) menjelaskan bahwa amanah mempunyai akar kata yang sama dengan iman, yaitu a-m-n, yang artinya damai dengan dirinya sendiri atau merasakan tiadanya goncangan dalam diri seseorang. Selanjutnya amanah juga berasal dari kata a-mu-na – ya'munu – amn[an] wa amanat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya. Kata kerja ini berakar dari huruf hamzah, mim dan nun yang makna pokoknya adalah aman, tenteram dan hilangnya rasa takut. Secara bahasa, amanah (amanat) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amanah juga berarti titipan (alwadi'ah). Amanah terjadi di atas ketaatan, ibadah, al-wadi'ah (titipan), dan ats-tsiqah (kepercayaan). Beberapa ayat al-Qur'an yang terkait dengan amanah antara lain, surat an-Nisaa' (QS. 4:58) berikut.
َﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻳَﺄْﻣُ ُﺮﻛُﻢْ ﺃَﻥْ ﺗُﺆَﺩﱡﻭﺍ ﺍﻟْﺄَﻣَﺎﻧَﺎﺕِ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْﻠِﻬَﺎ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺣَﻜَﻤْﺘُﻢْ ﺑَﻴْﻦ َﻈ ُﻜﻢْ ﺑِﻪِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻛَﺎﻥ ُ ﺍﻟﻨﱠﺎﺱِ ﺃَﻥْ ﺗَﺤْ ُﻜﻤُﻮﺍ ﺑِﺎﻟْﻌَﺪْﻝِ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻧِﻌِﻤﱠﺎ ﻳَ ِﻌ 58/ﺳَﻤِﻴﻌًﺎ ﺑَﺼِﻴﺮًﺍ ]ﺍﻟﻨﺴﺎء
[
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat (Departemen Agama RI, 1971: 128).
67
Dalam tafsir al-Mishbah, Shihab (2000) menjelaskan bahwa dari ayat ini Allah menuntun kaum muslimin untuk tidak mengikuti jejak kaum Yahudi yaitu tidak menunaikan amanah yang dipercayakan Allah kepadanya. Tuntunan ini sangat ditekankan yaitu "sesungguhnya Allah menyuruh kamu menunaikan amanat-amanat" secara sempurna dan tepat waktu "kepada pemiliknya" yakni yang berhak menerimanya, baik amanat Allah kepada kamu, maupun amanat manusia, betapapun banyaknya yang diserahkannya kepada kamu, dan Allah juga menyuruh kamu "apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia" baik yang berselisih dengan manusia lain maupun tanpa perselisihan, maka "kamu" harus "menetapkan" putusan "dengan adil" sesuai dengan apa yang diajarkan Allah, tidak memihak kecuali pada kebenaran dan tidak pula menjatuhkan sangsi kecuali kepada yang melanggar, tidak menganiaya walaupun itu lawanmu, dan tidak pula memihak walau itu temanmu. "Sesungguhnya Allah" dengan memerintahkan menunaikan amanah dan menetapkan hukum dengan adil, telah "memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu". Karena itu berupayalah sekuat tenaga untuk melaksanakannnya, dan ketahuilah bahwa Dia yang memerintahkan kedua hal itu mengawasi kamu, dan "sesungguhnya Allah" sejak dulu hingga kini "adalah Maha Mendengar" apa yang kamu bicarakan, baik dengan orang lain maupun dengan hati kecilmu sendiri, "lagi Maha Melihat" sikap dan tingkah laku kamu. Beberapa ayat lain yang berkaitan dengan amanah antara lain dalam surat alAnfal (QS. 8:27), al-Mu'minun (QS.23:8), al-Ma'arij (QS. 70:32), yaitu:
ْﻳَﺎ ﺃَﻳﱡﻬَﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺨُﻮﻧُﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﻭَﺍﻟﺮﱠﺳُﻮﻝَ ﻭَ َﺗﺨُﻮﻧُﻮﺍ ﺃَﻣَﺎﻧَﺎﺗِﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢ [27/ﺗَ ْﻌﻠَﻤُﻮﻥَ ]ﺍﻷﻧﻔﺎﻝ
68
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanatamanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (Departemen Agama RI, 1971: 264).
[8/ﻭَﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ُﻫﻢْ ﻟِﺄَﻣَﺎﻧَﺎﺗِﻬِﻢْ ﻭَﻋَﻬْﺪِﻫِﻢْ ﺭَﺍﻋُﻮﻥَ ]ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻮﻥ Artinya: dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya (Departemen Agama RI, 1971: 527)
[32/ﻭَﺍﻟﱠﺬِﻳﻦَ ُﻫﻢْ ﻟِﺄَﻣَﺎﻧَﺎﺗِﻬِﻢْ ﻭَﻋَﻬْﺪِﻫِﻢْ ﺭَﺍﻋُﻮﻥَ ]ﺍﻟﻤﻌﺎﺭﺝ Artinya: dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya (Departemen Agama RI, 1971: 975).
Ayat 27 dari surat al-Anfal yang terkait dengan amanat ditafsirkan Shihab (2002, volume 5: 404), segala sesuatu yang berada dalam genggaman manusia adalah amanat Allah. Agama adalah amanat Allah, bumi dan segala isinya adalah amanat-Nya, keluarga dan anak-anak juga amanat-Nya, bahkan jiwa dan raga masing-masing manusia bersama dengan potensi yang melekat pada dirinya adalah amanat Allah, oleh karena itu semua harus dipelihara dan dikembangkan. Amanat manusia terhadap manusia lain mencakup banyak hal, bukan hanya harta benda yang dititipkan, atau ikatan perjanjian yang disepakati, tetapi juga rahasia yang dibisikkan. Selanjutnya al-Biqa'i dalam tafsir alMishbah (2002:404) ini juga dijelaskan khianat kepada Allah bersifat hakiki, karena segala sesuatu termasuk apa yang diamanatkan kepada manusia lain bersumber kepadaNya, sedang khianat kepada selain-Nya bersifat majazi. Adapun pada surat al-Mu'minun ayat 8 dijelaskan bahwa amanat yang berada dalam pundak manusia mencakup empat aspek, pertama, antara manusia dengan Allah, seperti berbagai macam ibadah, misalnya nadzar. Kedua, antara seorang dengan orang lain, seperti titipan, rahasia, dan lain-lain. Ketiga, antara seseorang dengan lingkungan,
69
antara lain pemeliharaan lingkungan agar dapat dinikmati generasi mendatang, dan keempat amanat dengan dirinya sendiri, seperti pemeliharaan kesehatan dan lain-lain. Dalam tafsir Departemen Agama Republik Indonesia (1971), pada surat al-Ma'arij ayat 32 disebutkan bahwa amanat ialah suatu perjanjian untuk memelihara sesuatu yang yang dilakukan oleh hamba kepada Tuhannya, hamba kepada dirinya, dan hamba kepada yang lain. Sanggup memelihara amanat termasuk salah satu dari sifat-sifat seorang Muslim dan sifat inilah yang membedakan orang mukmin dengan orang munafik. Triyuwono (2006:188) mendefinisikan amanah sebagai berikut: Sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain untuk digunakan sebagaimana mestinya sesuai dengan keinginan yang mengamanahkan. Ini Artinya bahwa pihak yang mendapat amanah tidak memiliki hak penguasaan sepenuhnya (pemilikan) mutlak atas apa yang diamanahkan. Ia memiliki kewajiban untuk memelihara kewajiban tersebut dengan baik dan memanfaatkannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi amanah. Metafora amanah dalam organisasi memunculkan tiga bagian penting, yaitu pemberi amanah, penerima amanah dan amanah itu sendiri. Tugas manusia sebagai pengemban amanah dijelaskan Triyuwono (2006:183) memperlihatkan dua bentuk utama yaitu pertama, dalam pandangan syariah, bukan hanya sekedar bisnis semata, tetapi ia semacam ibadah yang tidak hanya meliputi transaksi-transaksi ekonomi, tetapi juga rasa saling tolong menolong sesama masyarakat pada umumnya, rasa peduli pada lingkungan, dan rasa cinta pada Tuhan. Kedua, amanah mengindikasikan eksisitensi kesadaran individu tentang perannya sebagai wakil Allah dan memainkan peran sesuai dengan aturan dan norma-norma Tuhan. Alwan (2010) mendefinikan amanah artinya dapat dipercaya, bertanggungjawab atau kredibel. Amanah merupakan kesetiaan pada komitmen dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Amanah juga bermakna profesional, disiplin, bertanggungjawab, mandiri, terampil, tangguh, tekun, ulet, pentang menyerah, dan percaya diri. Tasmara (2002:95) mengartikan amanah
70
sebagai titipan yang menjadi tanggungan, bentuk kewajiban atau utang harus dibayar dengan cara melunasinya, sehingga kita merasa terbebas dan aman dari segala tuntutan. Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, konsep amanah dapat diwujudkan dalam bentuk tidak menerima hadiah atau komisi dalam lobi bisnis, tidak makan riba, tidak menerima suap, tidak menipu, tidak dhalim mulai dari input, proses, maupun outputnya harus bebas dari transaksi dan jasa yang haram. Implementasi akad Qardh dapat berpedoman pada firman Allah dalam surat al-Baqarah (QS. 2:283) sebagai berikut:
َﺳﻔَﺮٍ ﻭَﻟَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻛَﺎﺗِﺒًﺎ ﻓَﺮِﻫَﺎﻥٌ َﻣﻘْﺒُﻮﺿَﺔٌ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﻣِﻦ َ ﻭَﺇِﻥْ ﻛُﻨْ ُﺘﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻖ ﺍﻟﻠﱠﻪَ ﺭَﺑﱠﻪُ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻜْﺘُﻤُﻮﺍ ِ ﻀﻜُﻢْ ﺑَﻌْﻀًﺎ ﻓَﻠْﻴُﺆَﺩﱢ ﺍﻟﱠﺬِﻱ ﺍﺅْ ُﺗﻤِﻦَ ﺃَﻣَﺎﻧَﺘَﻪُ ﻭَﻟْﻴَ ﱠﺘ ُ ْﺑَﻌ ٌﺍﻟﺸﱠﻬَﺎﺩَﺓَ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻜْ ُﺘﻤْﻬَﺎ ﻓَﺈِﻧﱠﻪُ ﺁَﺛِﻢٌ ﻗَﻠْ ُﺒ ُﻪ ﻭَﺍﻟﻠﱠﻪُ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﻌْﻤَﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠِﻴﻢ [283/]ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ Artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklan ada barang jaminan yang dipegang. Namun jika kamu mempercayai sebagiaan yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanat-nya (utangnya0 dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Departemen Agama RI, 1971: 71).
Dalam tafsir an-Nuur dijelaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi Allah. Segala apa yang telah dijelaskan, baik yang bersifat ijabi (positive) seperti menunaikan amanah, menepati janji ataupun salbi (negative) seperti menyembunyikan kesaksian pasti diketahui Allah dan Allah akan memberikan balasan terhadap amalan-amalan tersebut. Ayat ini juga menjelaskan beberapa hukum untuk memelihara harta, membuat surat utang, menghadirkan saksi dalam transaksi utang, serta meminta agunan ketika tidak ada orang yang menulis surat utang dan tidak ada saksi.
71
Dalam kehidupan sehari-hari, amanah selalu berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab atau hak dan kewajiban. Dalam bukunya yang berjudul Azas Kebudayaan Islam (Sidi Gazalba dalam Rahardjo, 1996:204) mencantumkan prinsip amanah sebagai satu kaidah dasar dalam tata kehidupan masyarakat. Selanjutnya Dr. M. N. Siddiqi (Rahardjo, 1996:204) menggunakan amanah sebagai prinsip terpenting dalam memberlakukan sistem Bank Islam dengan menyebutkan bahwa deposito akan diterima sebagai pinjaman yang dibayarkan atas permintaan, sebagai amanah yang dapat dicairkan sewaktu-waktu. Jadi kata-kata juga merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, pasal-pasal dalam akad Qardh juga merupakan amanah yang harus ditepati oleh Muqridh dan Muqtaridh setelah akad ditandatangani.
2.27.3. Teori Maslahah (Mashlahah Theory) Maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik material maupun non-material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia (P3EI, 2008: 5). Dalam Qur'an, maslahah banyak disebut dengan istilah manfaat atau manafi' yang berarti kebaikan yang terkait dengan material, fisik, dan. Psikologis serta hal-hal indrawi lainnya. Inti dari teori Maslahah dalam kegiatan ekonomi adalah tercapainya kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan lima hal, yaitu agama (ad-dien), jiwa/kehidupan (an-nafs), intelektual (al-'aql), keluarga dan keturunan (an-nasl), dan harta (an-naml) (as-Syatibi, dalam P3EI, 2008:54). Dien diwujudkan dalam pelaksanaan rukun Islam yang lima, Nafs diwujud-kan dalam kehidupan yang aman dari segala ancaman terhadap jiwa, Aql diwujudkan dalam bentuk kebutuhan pendidikan bagi anggota keluarga, Maal diwujudkan dengan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang,
72
papan, dan kekayaan lainnya, dan Nasl diwujudkan dalam keluarga dan keturunan yang tidak terlibat dalam kemaksiatan. Kelima maslahah tersebut pada dasarnya merupakan sarana yang dibutuhkan bagi kelangsungan kehidupan yang baik dan terhormat. Jika salah satu dari kelima kebutuhan tersebut tidak tercukupi, niscaya tidak akan mencapai kesejahteraan yang sesungguhnya. Maslahah hanya dapat dicapai jika manusia hidup dalam keseimbangan, yaitu keseimbangan fisik dengan mental, mental dengan spiritual, individu dengan sosial masa kini dan masa depan, dunia dan akhirat. Demikian juga dalam akad Qardh harus ada keseimbangan hubungan antara Muqridh dan Muqtaridh. Maslahah dalam implementasinya dapat dibedakan dalam tiga tingkatan yakni: Tingkatan pertama. Maslahah dharuriyah, ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun duniawi. Contoh jenjang ini dalan kehidupan sosial ekonomi adalah makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sumber penghasilan. Tingkatan kedua. Maslahah hajiyyah, ialah segala hal yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka tidak langsung mengancam kelangsungan hidup, namun menjadi kehidupan menjadi kurang kuat. Contoh tingkatan kedua ini adalah penghasilan tambahan. Tingkatan ketiga, Maslahah Tahsiniyah, yakni suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup. Dalam kaitannya dengan skema Qardh, maka keberpihakan perbankan syariah terhadap kepentingan masyarakat menjadi sangat penting. Sesuai dengan teori Syatibi tersebut, asas memberi manfaat (maslahah) pada setiap aspek pembiayaan tercermin
73
pada daya serap pembiayaan tersebut misalnya jumlah tenaga kerja yang terserap dalam aktivitas tijarah.
2.28. Model Implementasi Akad Qardh
Falah
Muqridh: Menyediakan berbagai fasilitas pembiayaan untuk berbagai kebutuhan
Amanah dan Maslahah
Muqtaridh: Menggunakan berbagai fasilitas pembiayaan untuk berbagai kebutuhan
Qardh Gambar 2.8 Model Implementasi Akad Qardh Sumber: Modifikasi oleh Falikhatun, 2014. Tujuan Muqtaridh menggunakan fasilitas pembiayaan dengan akad Qardh adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan dengan prinsip amanah, sehingga diharapkan aktifitas tijarah yang dilakukan dapat meningkatkan maslahah dalam rangka mencapai falah. Demikian juga dengan Muqridh yang menyediakan berbagai fasilitas pembiayaan (pinjaman) untuk berbagai kebutuhan masyarakat yang dilakukan dengan prinsip amanah dalam menjaga dana pihak ketiga untuk membantu meningkatkan maslahah, dan pada akhirnya dapat mencapai falah.
74
2.29. Teori Akad 2.29.1. Akad dan Multi Akad (Hybrid Contract) Akad adalah kesepakatan (kontrak) antara dua belah pihak di mana syarat dan rukunnya (terms and conditions) sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (well defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak tersebut tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka mereka akan menerima sangsi seperti yang sudah disepakati dalam kontrak tersebut (Karim, 2007: 65). Kata ‘aqd secara etimologi artinya mengokohkan, meratifikasi dan mengadakan perjanjian (Munawwir, 1997:953), sedangkan secara terminologi ‘aqd berarti mengadakan perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya kewajiban (Ma’luf, 1986:519). Selanjutnya menurut terminologi ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu secara umum dan khusus. Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu :
ِﻛُﻞﱡ ﻣَﺎ ﻋَﺰَﻡَ ﺍْﻟﻤَ ْﺮ ُء ﻋَﻠًﻰ ﻓِﻌْﻠِﻪِ ﺳَﻮَﺍءٌ ﺻَﺪْﺭَ ﺑِﺎِ ﺭَﺍ ﺩَﺓٍ ﻣُ ْﻨﻔَﺮِﺩَﺓٍ ﻛﺎَ ﻟﻮَ ﻗْﻒ ِﻭَﻟْﺈﺑْﺮَﺍءِ ﻭَﺍﻟﻄًّﻠَﺎ ﻕِ ﻭَﺍْﻟﻴَﻤِﻴْﻦِ ﺃَﻡْ ﺇِﺣْﺘَﺎﺝَ ﺇِﻟَﻰ ﺇِﺭَﺍﺩَ َﺗﻴْﻦِ ﻓِﻰ ﺇٍﻧْﺸَﺎءِﻯﻪِ ﻛَﺎ ﻟْﺒَﻴْﻊ ِﻭَ ْﺍﻻِﻳْﺠَﺎ ﺭِ ﻭَﺍْﻟﺘﱠﻮْﻛِﻴْﻞِ ﻭَﺍﻟﺮﱠﻫْﻦ Artinya : segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai. Wahbah az-Zuhaili (2004, Juz 4:2918) mendefinisikan ‘aqd sebagai “Pertalian atau perikatan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariah yang menetapkan adanya akibat hukum pada objek perikatan”
75
Adapun pengertian akad secara khusus yang dikemukakan ulama fiqih antara lain:
ﻖ ﻛَﻠًﺎﻡِ ﺃَﺣَﺪِ ﺍْﻟﻌَﺎﻗِﺪَﻳْﻦِ ﺑِﻠْﺎٰ ﺧَﺮِ ﺷَﺮْﻋﺎًﻋَﻠًﻰ ﻭَﺟْﻪٍ َﻳﻈْﻬَﺮُ ﺃَﺛَﺮُﻩُ ﻓِﻰ ﺍْﻟﻤَﺤَﻞﱢ ُ ﺗَﻌَﻠﱡ Artinya : pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya. Contoh ijab adalah pernyataan seorang penjual: ”saya jual barang ini kepadamu” atau “aku serahkan barang ini kepadamu” contoh qabul “saya beli barangmu” atau "saya terima barangmu’ Dengan demikian ijab-qabul adalah sesuatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu keridhaan dalam berakad di antara dua orang atau lebih, sehingga terhindar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak berdasarkan pada keridhaan dan syariat Islam. Selanjutnya definisi Multi Akad (Hybrid Contract) dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu, sedangkan menurut istilah fikih, multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata al’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al-murakkabah. Kata al-murakkabah (murakkab) secara
etimologi
berarti
al-jam’u
(mashdar), yang berarti
pengumpulan
atau
penghimpunan (Munawwir, 1997:209). Kata murakkab sendiri berasal dari kata “rakkaba-yurakkibu-tarkîban” yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan yang di bawah. Adapun murakkab menurut pengertian para ulama fikih adalah sebagai berikut: 1) Himpunan beberapa hal, sehingga disebut dengan satu nama. Seseorang menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama) dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkîb)
76
2) Sesuatu yang dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikan dari sesuatu yang sederhana (tunggal/basîth) yang tidak memiliki bagian-bagian. 3) Meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan sesuatu dengan yang lainnya. Ketiga pengertian ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk menjelaskan makna persis dari istilah murakkab. Pengertian pertama lebih tepat untuk digunakan karena mengandung dua hal sekaligus, yaitu terhimpunnya beberapa hal dan bersatunya beberapa hal itu yang kemudian menjadi satu pengertian tertentu. Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari terhimpunnya beberapa hal itu. Meski pengertian kedua menyatakan adanya gabungan dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana setelah terjadi penggabungan tersebut. Pengertian terakhir lebih dekat kepada pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk suatu istilah tertentu. Dengan demikian pengertian pertama lebih dekat dan pas untuk menjelaskan maksud al’uqûd al-murakkabah dalam konteks fikih muamalah. Karena itu, akad murakkab menurut Hammad (2005) adalah: “Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara’ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.– sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.”
Al-‘Imrani (Agustianto dan Tarigan, 2011: 441), menyatakan akad murakkab adalah: “Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad –baik secara gabungan maupun secara timbal balik– sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad.” Kedua definisi di atas tampaknya mirip dan tidak terdapat perbedaan. Multi akad itu dipandang dengan satu kesatuan akad dan semua akibat hukum akad-akad yang tergabung terbut, serta semua hak dan kewajiban ditimbulkannya dipandang sebagai satu
77
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari suatu akad. Misalnya Musyara-kah Munataqishah, Mudharabah Musytarakah, Bay' wafa' bay istighlal, Bay Tawaruq, Bay at-takjiri (sewa beli), dan sebagainya. Akan tetapi harus dicatat, meskipun sudah menjadi satu kesatuan, dalam pembuatan draf akad, multi akad tersebut ada yang dapat digabungkan dalam satu judul akad dan ada pula yang dipisahkan. Untuk Musyarakah Mutanaqishah, akad Syirkah Milk, dibuat terpisah dengan akad Ijarah, demikian pula akad pembiayaan take over, masing-masing akadnya dipisahkan, namun dipandang sebagai satu kesatuan. Adapun akad Bay' wafa' bay istighlal, sewa beli, kartu kredit dapat disatukan dalam satu dokumen (materai) (Agustianto dan Tarigan, 2011: 442).
2.29.2. Macam-macam Multi Akad al-‘Imrani (Hasanuddin, 2009:9) dan beberapa ulama fikih kontemporer lainnya menyebut istilah multi akad dengan istilah yang beragam, yaitu al-’uqûd al-murakkabah (akad-akad
yang
tersusun),
al-’uqûd
al-mutaqâbilah
(akad-akad
yang
berhadapan/berpasangan), al-’uqûd al-mujtami’ah (akad-akad yang berhimpun), al’uqûd al-mutakarriyah (akad-akad yang berulang), al-'uqud al-muta'adhidah ( akadakad yang berbilang), al-’uqûd al-mukhtalithah (akad yang bercampur), al-'uqud almutanaqidah (akad-akad yang berlawanan), al-’uqûd al-mutajânisah (akad-akad yang sejenis). Namun istilah yang paling poluper adalah al-’uqûd al-murakkabah dan al’uqûd al-mujtami’ah. 1) al-’uqûd al-mukhtalithah (bercampur) yaitu multi akad yang memunculkan nama baru seperti bay' istighlal, bay' tawarruq, musyarakah munataqishah, dan bay' wafa. a. Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah. Akad ini disebut juga dengan akad three in one.
78
b. Jual beli tawarruq merupakan percampuran 2 akad jual beli, jual beli ke 1 dengan pihak pertama, jual beli ke 2 dengan pihak ketiga. c. Musyarakah Munataqishah (MMQ). Akad ini campuran akad Syirkah Milk dengan Ijarah yang munataqishah atau jual beli yang disifati dengan decreasing (penurunan nilai). MMQ substansinya hampir sama dengan IMBT, karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer of title-nya bukan hibah atau beli, tetapi munataqishah. d. Jual beli wafa' merupakan percampuran 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. 2) al-’uqûd al-mujtami’ah, yaitu multi akad yang memunculkan nama baru tetapi menyebut nama akad yang lama, seperti sewa beli (bay' at-takhrijy)/lease and purchase, mudharabah musytarakah pada life insurance, dan deposito bank syariah. 3) Multi akad yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak melahirkan nama akad baru, tetapi nama dasarnya tetap ada dan eksis dan dipratikkan dalam suatu transaksi. Contohnya: a. Kontrak akad pembiayaan take over, alternatif ke 1 dan ke 4 pada Fatwa DSN MUI Nomor 31/DSN-MUI/2002. b. Kafalah wal ijarah dan Qardh wal ijarah pada kartu kredit. c. Wa'ad utuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah d. Murabahah wal wakalah pada pembiayaan murabahah basithah. e. Wakalah bil ujrah pada L/C, genaral insurance dan Factoring. f. Kafalah wal Ijarah pada L/C, bank garansi, pembiayaan mulitijasa, dan kartu kredit. g. Mudharabah karyawan.
wal
murabahah/ijarah/istishna
pada
pembiayaan
terhadap
79
h. Hiwalah dan syirkah pada factoring. i. Rahn wal ijarah pada SBI, REPO, SPN dan SBSN. j. Qardh, Rahn, dan Ijarah pada produk gadai emas. k. Dalam transaksi pasar uang antar bank syariah yang menggunakan bursa komoditas. 4) al-'uqud
al-mutanaqidah (akad-akad yang berlawanan). Bentuk dilarang olah
syariah. Contoh akad jual beli dan pinjaman (bay wa salaf), Qardh wal Iajarah dalam satu akad. Dua contoh ini dilarang oleh dalil syariah, yaitu hadits Rasulullah saw: "Menggabungkan Qardh dengan janji hadiah". 5) al-'uqud al-mustatir (akad-akad yang tersembunyi). Misalnya tabungan mudharabah di bank syariah. Akad yang digunakan pada saat transaksi hanya satu akad yaitu mudharabah, padahal dalam akad tersebut seharusnya ada akad tambahan yaitu akad kafalah. Misalnya pada saat nasabah menarik tabungan lewat ATM bersama diperlukan akan kafalah. Namun karena sudah menjadi 'urf (kebiasaan perbankan), maka penggunaan ATM bersama tidak memerlu-kan tambahan akad kafalah.
2.29.3.Hukum Multi Akad Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status hukum dari akad-akad yang membangunnya. Sebagai contoh akad bai’ dan salaf yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi s.a.w.. Akan tetapi jika kedua akad itu berdiri sendiri-sendiri, maka baik akad bai’ maupun salaf diperbolehkan. Artinya, hukum multi akad tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya. Bisa jadi akad-akad yang membangun-nya adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram ketika akadakad itu terhimpun dalam satu transaksi, sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum dari multi akad belum tentu sama dengan hukum dari akad-akad yang membangunnya.
80
Meski ada multi akad yang diharamkan, namun prinsip dari multi akad ini adalah boleh, dan hukum dari multi akad diqiyaskan dengan hukum akad yang membangunnya. Artinya setiap muamalat yang menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang membangunnya adalah boleh. Selanjutnya mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mayoritas ulama Hanâfiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya (Hasanuddin, 2009: 13). Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan RasulNya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan. Hukum asal dari syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi multi akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati. Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan
81
keharamannya oleh Allah tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci, karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya (Hasanuddin, 2009:18).
2.29.4. Multi Akad yang Dilarang Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Oleh karena itu, terdapat beberapa multi akad yang dilarang, yaitu: 1. Multi akad dilarang karena nash agama Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi akad yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba’i) dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam satu transaksi Dalam sebuah hadis Rasululullah saw bersabda:
َﻝ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢ ُ ﻋﻦ ﻋَﺒْﺪ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺑْﻦَ ﻋَﻤْﺮٍﻭ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮ ﻟَﺎ ﻳَﺤِﻞﱡ ﺳَﻠَﻒٌ ﻭَﺑَﻴْﻊٌ ﻭَﻟَﺎ ﺷَ ْﺮﻃَﺎﻥِ ﻓِﻲ ﺑَﻴْﻊٍ ﻭَﻟَﺎ ﺭِﺑْﺢُ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﻀْﻤَﻦْ ﻭَﻟَﺎ َﺑَﻴْ ُﻊ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻋِﻨْﺪَﻙ Artinya: Dari Abdullah bin Amru ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak halal menjual sesuatu dengan syarat memberikan hutangan, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan menjual sesuatu yang belum engkau jamin, serta menjual sesuatu yang bukan milikmu (Sunan Abu Dawud, vol. 3 no. 283; Sunan Nasai vol.7 no.288; Musnad Ahmad, vol. 2 no.253) Imam asy-Syafi’i memberikan contoh, jika seseorang hendak membeli rumah dengan harga 100 dinar, dengan syarat dia meminjamkan (salaf) kepadanya
82
100 dinar, maka sebenarnya akad jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan 100 dinar atau lebih, sehingga penggunaan manfaat dari 100 dinar tidak jelas, apakah dari jual beli atau pinjaman. Selanjutnya Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk menghindari terjurumus kepada ribâ yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) 1000 dirham, lalu dikaitkan dengan penjualan barang yang bernilai 900 dirham, tetapi harga penjualan itu tetap 1000 dirham. Jadi seolah-olah A memberi pinjaman 1000 dirham dengan akad Qardh, dan menjual barang seharga 900 dirham, agar mendapatkan margin 100 dirham. Di sini A memperoleh kelebihan 100 dirham, karena harga penjualan barang menjadi 1000 dirham. Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarâh dan qardh, salam dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya. Namun. meskipun penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut al-‘Imrâni tidak selamanya dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang demikian hukumnya boleh.
83
Larangan penghimpunan dua akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi saw yang berbunyi:
ٍﺻﻔْﻘَﺔ َ ﺻ ْﻔﻘَﺘَﻴْﻦِ ﻓِﻲ َ ْﻝ ﺍﻟﻠﱠﻪِ ﺻَﻠﱠﻰ ﺍﻟﻠﱠ ُﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠﱠﻢَ ﻋَﻦ ُ ﻧَﻬَﻰ ﺭَﺳُﻮ
ٍﻭَﺍﺣِﺪَﺓ Artinya: “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah s.a.w. melarang dua jual beli dalam satu jual beli” (Musnad Ahmad, vol 6 No. 24). 2. Multi akad dilarang karena hîlah ribâwi Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli ‘înah atau sebaliknya dan hîlah ribâ fadhl. a. al-‘Înah Jual beli dengan cara al-‘Inah adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan. Hakikatnya ia tidaklah dianggap sebagai jual beli, melainkan hanya sekedar pinjaman riba yang disamarkan dalam bentuk jual beli dan termasuk bentuk hilah (tipu daya) orang-orang yang senang melakukan riba. Contohnya: Ahmad menjual barang kepada Muhammad dengan harga 1000 dirham secara kredit selama satu bulan, kemudian Ahmad atau yang mewakilinya kembali datang kepada Muhammad membeli barang tersebut dengan harga 700 dirham secara kontan. Demikian pula dengan transaksi kebalikan al-‘inah juga diharamkan. Seperti seseorang menjual sesuatu dengan harga 800 dirham tunai dengan syarat ia membelinya kembali dengan harga 1000 dengan cara diangsur. Transaksi seperti ini telah menyebabkan adanya ribâ.
84
b. Hîlah ribâ fadhl Hal ini terjadi apabila misalnya seseorang menjual 2 kg beras dengan sejumlah harga Rp 20.000 dengan syarat bahwa ia – dengan harga yang sama yaitu Rp 20.000 harus membeli dari pembeli tadi sejumlah beras sejenis yang kadarnya lebih banyak (misalnya 3 kilogram) atau lebih sedikit (misalnya 1 kilogram). Transaksi seperti ini adalah model hîlah ribâ fadhl yang diharamkan. Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi s.a.w. di mana para penduduk Khaibar melakukan transak-si kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi s.a.w., dan beliau mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri. 3. Multi akad menyebabkan jatuh ke ribâ a. Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti ribâ, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh, contohnya menggabungkan Qardh dengan janji hadiah. b. Penghimpunan beberapa akad yang hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang menyebabkan hukumnya menjadi dilarang seperti Multi akad antara akad salaf dan jual beli, contohnya> Saya meminjamkan uang kepada anda Rp 2 juta, dengan ketentuan anda harus membeli Handphone saya dengan harga Rp 1 jt. c. Multi akad antara qardh dan hibah kepada pemberi pinjaman (muqridh). Ulama sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Contohnya, seseorang meminjamkan harta kepada orang lain, dengan syarat ia menempati rumah penerima pinjaman (muqtaridh),
85
atau muqtaridh memberi hadiah kepada pemberi pinjaman, atau memberi tambahan kuantitas atau kualitas objek qardh saat mengembalikan. Transaksi seperti ini dilarang karena mengandung unsur ribâ. Namun, apabila transaksi pinjam meminjam ini kemudian disertai hadiah atau kelebihan, tetapi dilakukan sendiri secara sukarela oleh orang yang diberi pinjaman, tanpa ada syarat dan kesepakatan sebelumnya hukumnya halal, karena tidak mengandung unsur ribâ di dalamnya. d. Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan. Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan/atau akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya, seperti antara jual beli dengan ju’âlah, sharf, musâqah, syirkah, qirâdh, atau nikah. Meski demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas ulama nonMalikiyah membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan perbedaan hukum dua akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan akad. 4. Multi akad menyebabkan jatuh ke gharar Misalnya sebuah perusahaan multifinance menjual mobil kepada nasabah dengan harga Rp 250 jt untuk jangka waktu 24 bulan, tanpa uang muka. Namun perusahaan itu juga menawarkan beberapa alternatif besaran uang muka, tanpa ditetapkan salah satu
86
alternatifnya. Jika uang muka dibayar pada bulan ke 6, harganya sekian, jika uang muka dibayar pada bulan ke 13 harganya sekian, dan seterusnya. Dengan beragamnya harga tersebut, maka tidak ada kepastian harga pembelian barang tersebut, sehingga inilah yang bisa menyebabkan adanya gharar (Agustianto dan Tarigan, 2011:446).