Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daya Dukung Tanah Lempung Daya dukung tanah adalah parameter tanah yang berkenaan dengan kekuatan tanah untuk menopang suatu beban di atasnya. Daya dukung tanah dipengaruhi oleh jumlah air yang terdapat di dalamnya, kohesi tanah, sudut geser dalam, dan tegangan normal tanah. Daya dukung ultimit didefinisikan sebagai tekanan terkecil yang dapat menyebabkan keruntuhan geser pada tanah pendukung tepat di bawah dan di sekeliling pondasi. Daya dukung ultimit suatu tanah terutama di bawah beban pondasi dipengaruhi oleh kuat geser tanah. Nilai kerja atau nilai izin untuk desain akan ikut mempertimbangkan karakteristik kekuatan dan deformasi. Sebagian besar teori daya dukung dikembangkan berdasarkan teori plastisitas dimana tanah dianggap berkelakuan sebagai bahan yang bersifat plastis. Paham ini dikenalkan oleh Prandtl (1921) yang mengembangkan persamaan dari analisis kondisi aliran. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Terzaghi (1943), Meyerhof (1955), Hansen (1970), Vesic (1975) dan lainnya. Paham analisa perhitungan daya dukung tanah lempung yang dikembangkan para ahli tersebut mengasumsikan tanah lempung dalam keadaan undrained. Teori ini dikembangkan dari persamaan Mohr-Coulomb :
τ = c +σ tan φ
(2.1.)
dimana :
τ
= tahanan geser tanah
c
= kohesi tanah
7
8
φ = sudut geser dalam tanah σ
= tegangan normal tanah
2.1.1
Analisa Prandtl Prandtl mengembangkan persamaan dari analisis kondisi aliran
yang
diasumsikan seperti gambar berikut. B
g
a
f
b 45° - φ2
45° + φ2
c d
e Spiral Log
Gambar 2.1. Bidang Keruntuhan Daya Dukung Pondasi di Permukaan Tanah Menurut Prandtl (1920) (Sumber : Joseph E. Bowles, 1991)
Bagian melengkung dari busur ed atau ce dianggap sebagai bagian dari suatu spiral logaritmis. Suatu keseimbangan plastis terjadi di atas permukaan gdcef sedangkan sisi tanah lainnya berada dalam keseimbangan elastis. Berdasarkan teori plastisitas yang dikembangkannya, Prandtl menyelesaikan permasalahan daya dukung ultimit pada pondasi di atas lempung jenuh dalam kondisi tak terdrainase (φu = 0) dengan kekuatan geser cu secara eksak sebagai berikut.
qu = (π + 2)cu = 5,14 cu
(2.2)
9 2.1.2
Analisa Terzaghi
Terzaghi melakukan analisa kapasitas dukung tanah dengan beberapa asumsi, antara lain: •
Pondasi berbentuk memanjang tak berhingga
•
Tanah di bawah dasar pondasi adalah homogen
•
Tahanan geser tanah di atas dasar pondasi diabaikan
•
Dasar pondasi kasar
•
Bidang keruntuhan terdiri dari lengkung spiral logaritmis dan linier
•
Baji tanah yang terbentuk di dasar pondasi dalam kedudukan elastis dan bergerak bersama-sama dengan dasar pondasi
•
Pertemuan antara sisi baji tanah dan dasar pondasi membentuk sudut geser dalam tanah φ
•
Berlaku prinsip superposisi atau prinsip penggabungan
•
Berat tanah di atas dasar pondasi digantikan dengan beban terbagi rata sebesar po = D f .γ , dengan Df adalah kedalaman dasar pondasi dan γ adalah berat volume tanah di atas dasar pondasi.
Menurut Terzaghi, daya dukung ultimit didefinisikan sebagai beban maksimum per satuan luas dimana tanah masih dapat menopang beban tanpa mengalami keruntuhan. Pemikiran Terzaghi ini dinyatakan dalam persamaan: qu =
Pu A
dimana: qu = daya dukung ultimit
(2.3)
10 Pu = beban ultimit A = luas pondasi Pada analisa daya dukung Terzaghi bentuk pondasi diasumsikan sebagai memanjang tak berhingga yang diletakkan pada tanah homogen dan dibebani dengan beban terbagi rata qu. Beban total pondasi per satuan panjang Pu merupakan beban terbagi rata qu yang dikalikan dengan lebar pondasi B. Karena adanya beban total tersebut, pada tanah yang terletak tepat di bawah pondasi akan membentuk suatu baji tanah yang menekan tanah ke bawah yang digambarkan sebagai berikut. Gerakan baji menyebabkan tanah di sekitarnya bergerak, yang menghasilkan zona geser di kiri dan kanan dengan tiap-tiap zona terdiri dari dua bagian yaitu bagian geser radial yang berdekatan dengan baji dan bagian geser linier yang merupakan kelanjutan dari bagian geser radial. B Baji
Ge ser lin ier
r nie r li e s Ge
Geser radial
Geser radial
Gambar 2.2. Pembebanan Pondasi dan Bentuk Bidang Geser (Sumber : Hary C.H., 2002)
Terzaghi mengembangkan teori keruntuhan plastis Prandtl dalam evaluasi daya dukung sehingga keruntuhan yang terjadi dalam analisanya dianggap keruntuhan geser umum.
11 B Pu β = ϕ (analisis Terzaghi)
A
B
C
H III
ϕ
Pp
I D
β
γDf
Df 45° - φ2
Pp
ϕ
45° + φ2
F
III
II E
G
Gambar 2.3. Bentuk Keruntuhan Dalam Analisa Daya Dukung (Sumber : Hary C.H., 2002)
Baji tanah ABD pada zona I merupakan zona elastis. Bidang AD dan BD membentuk sudut β terhadap normal horisontal H. Zona II merupakan zona radial sedangkan zona III merupakan zona pasif Rankine. Lengkung DE dan DG dianggap sebagai lengkung spiral logaritmis dan bagian EF dan GH merupakan garis lurus. Garisgaris BE, FE, AG, dan HG membentuk sudut sebesar (45° − φ 2) terhadap normal horisontal H. Baji tanah yang terbentuk dalam tanah membentuk sudut sebesar
α = 45° + φ 2 terhadap horizontal. Berdasarkan batas yang dibuat oleh sudut tersebut, dapat diketahui kedalaman maksimum pengaruh baji tanah. Dalam kondisi keruntuhan geser umum, pada permukaan baji zona I, yaitu pada bidang AD dan BD, tekanan pasif Pp akan bekerja jika beban per satuan luas diterapkan. Bidang AD dan BD tersebut mendorong tanah di belakangnya, yaitu bagian-bagian BDEF dan ADGH, sampai tanahnya mengalami keruntuhan. Tekanan ke bawah akibat beban pondasi Pu ditambah berat baji tanah pada zona I ditahan oleh tekanan tanah pasif Pp pada bagian AD dan BD. Tekanan tanah pasif membentuk sudut gesek dinding (wall
12 friction) δ dengan garis normal yang melintas di bidang AD dan BD. Karena gesekan yang terjadi adalah antara tanah dengan tanah, maka δ = φ (φ adalah sudut geser dalam tanah). Untuk per meter panjang pondasi pada saat terjadinya keseimbangan batas maka: Pu = 2 Pp cos( β − φ ) + 2( BD)c sin β − W BD = B (2 cos β )
(2.4)
dengan: Pp = tekanan pasif total yang bekerja pada bagian AD dan BD W = berat baji tanah ABD per satuan panjang = 1 4 B 2 γ tan β c
= kohesi tanah
β
= sudut antara bidang BD dan BA
Terzaghi mengasumsikan bahwa β = φ sehingga nilai cos( β − φ ) = 1 . Karena bidang-
bidang AD dan BD membentuk sudut φ dengan horisontal maka arah Pp vertikal. Berdasarkan keterangan di atas, tekanan tanah ultimit berubah sebagai berikut. Pu = Bqu = 2 Pp + Bc tan φ − 1 4 B 2 γ tan φ
(2.5)
Tekanan tanah pasif total (Pp) adalah jumlah tekanan pasif akibat kohesi tanah, berat tanah dan beban terbagi rata, yaitu:
Pp = Ppc + Ppq + Ppγ dimana:
Ppc
= tahanan tanah pasif dari komponen kohesi c
Ppq = tahanan tanah pasif akibat beban terbagi rata di atas dasar pondasi Ppγ
= tahanan tanah pasif akibat berat tanah
(2.6)
13 Tekanan tanah pasif yang bekerja tegak lurus arah normal Pp tegak lurus terhadap bidang
BD adalah: Pp tegak lurus =
⎡ K pγ ⎤ H 1 cK pc + p 0 K pq + γH 2 ⎢ ⎥ sin α 2 ⎣ sin α ⎦
[
]
(2.7)
Dengan
H
= 1 2 B tan φ
α
= sudut antara bidang DB dan BF = 180° − φ
Kpc = koefisien tekanan tanah pasif akibat kohesi tanah Kpq = koefisien tekanan tanah pasif akibat beban terbagi rata Kpγ = koefisien tekanan tanah pasif akibat berat tanah Nilai koefisien-koefisien tekanan tanah pasif tersebut tidak tergantung pada H dan γ. Kombinasi dari persamaan-persamaan di atas adalah sebagai berikut. Pp =
⎡ tan φ ⎤ B 1 cK pc + p 0 K pq + γB 2 ⎢ ⎥ K pγ 2 2 8 2 cos φ ⎣ cos φ ⎦
[
]
(2.8)
Gesekan yang terjadi antara tanah dengan tanah pada bidang BD mengakibatkan arah tekanan tanah pasif Pp miring sebesar δ. Karena δ = φ, maka: Pp =
Ppm cos δ
=
P pm cos φ
(2.9)
Ppm adalah tekanan tanah pasif miring. Beban ultimit dari hasil substitusi persamaan tekanan tanah pasif ke persamaan tekanan tanah ultimit adalah sebagai berikut. ⎡ K pq ⎤ 1 2 ⎡ K pγ ⎤ ⎡ K pc ⎤ + tan φ ⎥ + Bp o ⎢ − 1⎥ Pu = Bc ⎢ ⎥ + γB tan φ ⎢ 2 2 2 ⎣ cos φ ⎦ ⎣ cos φ ⎦ 4 ⎣ cos φ ⎦
(2.10)
14 Tekanan-tekanan tanah pasif akibat kohesi Ppc dan beban terbagi rata Ppq diperoleh dengan menganggap tanah tidak mempunyai berat (γ = 0). Karena γ = 0, Pu = Ppc + Ppq dinyatakan sebagai persamaan berikut. ⎡ K pc ⎤ ⎡ K pq ⎤ tan φ + + Ppc + Ppq = Bc ⎢ Bp ⎥ ⎥ 2 2 0 ⎢ ⎣ cos φ ⎦ ⎣ cos φ ⎦
(2.11)
= BcN c + Bp0 N q atau
qc + qq =
1 (Ppc + Ppq ) = cN c + p0 N q B
(2.12)
dengan qc dan qq adalah tekanan tanah pasif per satuan luas dari komponen kohesi dan beban terbagi rata p0. Nilai-nilai Nc dan Nq diperoleh Terzaghi dari analisa Prandtl (1920) dan Reissner (1924) yang besarnya: ⎡ ⎤ a2 − 1 N c = cot φ ⎢ ⎥ 2 ⎣ 2 cos (45° + φ 2 ⎦
Nq =
a2 = N c tan φ + 1 dengan nilai a = e (3π 2 2 cos (45° + φ 2)
(2.13)
4 −π 2 ) tan φ
(2.14)
Apabila tanah yang diamati merupakan tanah yang tidak berkohesi (c = 0) dan tanpa beban merata di atasnya (q = 0) maka persamaan perhitungan tekanan tanah pasif hanya mempertimbangkan akibat dari berat tanah. ⎡ K pγ ⎤ Ppγ = 1 4 γB 2 tan φ ⎢ − 1⎥ = B × 1 2 γBN γ 2 ⎣ cos φ ⎦
(2.15)
15 Jika Ppγ dinyatakan sebagai tahanan tanah pasif per satuan luas dari akibat berat tanah qγ maka: qγ =
Ppγ B
= 1 2 γBN γ dengan nilai N γ =
tan φ 2
⎡ K pγ ⎤ − 1⎥ ⎢ 2 ⎣ cos φ ⎦
(2.16)
Terzaghi tidak memberikan nilai-nilail Kpγ maka digunakan persamaan pendekatan dari Cernica (1995): K pγ = 3 tan 2 {45° + 1 2 (φ + 33°)}.
(2.17)
Daya dukung ultimit memperhitungkan kohesi tanah, beban terbagi rata dan berat volume tanah ( qu = q c + q q + qγ ). Berdasarkan persamaan tersebut, Terzaghi membuat persamaan umum daya dukung ultimit pondasi memanjang sebagai berikut. qu = cN c + p 0 N q + 0,5γBN γ
(2.18)
Karena po = D f .γ , persamaan di atas menjadi qu = cN c + D f γN q + 0,5γBN γ
Dimana: qu = daya dukung ultimit untuk pondasi memanjang (kN/m2) c
= kohesi tanah (kN/m2)
Df = kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah (m) γ
= berat volume tanah (kN/m3)
po =
D f .γ
= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)
Nc = faktor daya dukung tanah akibat kohesi tanah Nq = faktor daya dukung tanah akibat beban terbagi rata Nγ = faktor daya dukung tanah akibat berat tanah
(2.19)
16 Nilai faktor daya dukung ini merupakan fungsi dari sudut geser dalam tanah φ dari Terzaghi (1943). qu adalah beban total maksimum per satuan luas ketika pondasi akan mengalami
keruntuhan geser. Beban total tersebut terdiri dari beban-beban struktur, pelat pondasi dan tanah urugan di atasnya. Analisa daya dukung tersebut berdasarkan pada kondisi keruntuhan geser umum dari suatu bahan yang bersifat plastis dan tidak terjadi perubahan volume dan kuat geser oleh adanya keruntuhan tersebut. Gerakan baji tanah ke bawah pada tanah yang mengalami regangan yang besar sebelum mencapai keruntuhan geser mungkin hanya memampatkan tanah tanpa menimbulkan regangan yang cukup untuk menghasilkan keruntuhan geser umum. Menurut Terzaghi, tidak ada analisis rasional sebagai pemecahannya. Oleh karena itu Terzaghi memberikan koreksi empiris pada perhitungan faktor daya dukung pada kondisi keruntuhan geser umum yang digunakan untuk perhitungan daya dukung pada keruntuhan geser lokal. Nilai c' = 2 3 c dan φ ' = arc tan(2 3 tan φ ) digunakan sebagai koreksi tersebut sehingga persamaan umum daya dukung ultimit pada pondasi memanjang pada keruntuhan geser lokal menjadi: qu = 2 3 cN c + p 0 N q '+0,5γBN γ ' '
Persamaan daya dukung pondasi
(2.20)
di atas hanya dapat digunakan untuk
perhitungan daya dukung ultimit pondasi memanjang. Oleh karena itu Terzaghi memberikan pengaruh faktor bentuk terhadap daya dukung ultimit yang didasarkan yang didasarkan pada analisa pondasi memanjang sebagai berikut.
17 •
Untuk pondasi bujur sangkar
: qu = 1,3cN c + p 0 N q + 0,4γBN γ
•
Untuk pondasi lingkaran
: qu = 1,3cN c + p 0 N q + 0,3γBN γ
•
Untuk pondasi persegi panjang : qu = cN c (1 + 0,3 B L) + p 0 N q + 0,5γBN γ (1 − 0,2 B L)
dimana: qu = daya dukung ultimit untuk pondasi memanjang (kN/m2) c
= kohesi tanah (kN/m2)
Df = kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah (m) γ
= berat volume tanah yang dipertimbangkan terhadap posisi muka air tanah (kN/m3)
po =
D f .γ
= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)
B = lebar atau diameter pondasi (m) L = panjang pondasi (m)
Persamaan daya dukung Terzaghi mengabaikan kuat geser tanah di atas pondasi dan hanya cocok untuk pondasi dangkal dengan Df ≤ B. Oleh karena itu, kesalahan perhitungan untuk pondasi yang dalam menjadi besar.
18
Gambar 2.4. Grafik Hubungan φ dan Nγ, Nc, Nq Menurut Terzaghi (1943) (Sumber : Braja M. Das, 1984)
2.1.3
Analisa Skempton
Analisa Skempton (1951) terbatas pada persamaan daya dukung ultimit pondasi dan hanya pada lempung jenuh. Analisanya menyatakan bahwa perhitungan pondasi tersebut harus memperhatikan faktor-faktor bentuk dan kedalaman pondasi. Pada sembarang kedalaman pondasi empat persegi panjang yang terletak pada tanah lempung, Skempton memberikan faktor pengaruh bentuk pondasi sc sebesar (1 + 0,2 B L) . Faktor kapasitas dukung Nc untuk bentuk pondasi tertentu diperoleh dari
mengalikan faktor bentuk pondasi sc dengan Nc pada pondasi yang besarnya dipengaruhi oleh kedalaman Df.
19 Kondisi-kondisi yang merupakan analisa Skempton antara lain: •
•
Pondasi di permukaan (Df = 0) Nc (permukaan) = 5,14
(untuk pondasi memanjang)
Nc (permukaan) = 6,20
(untuk pondasi lingkaran dan bujur sangkar)
Pondasi pada kedalaman 0 < Df < 2,5B Df ⎛ N c = ⎜⎜1 + 0,2 B ⎝
•
⎞ ⎟⎟ N c ( permukaan ) ⎠
Pondasi pada kedalaman Df > 2,5B Nc = 1,5 Nc (permukaan)
Analisa Skempton mengenai daya dukung ultimit pondasi memanjang qu dan daya dukung ultimit neto qun dinyatakan dalam persamaan-persamaan berikut. qu = cu N c + D f γ qun = cu N c
dimana: qu
= daya dukung ultimit (kN/m2)
qun
= daya dukung ultimit neto (kN/m2)
Df
= kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah (m)
γ
= berat volume tanah (kN/m3)
cu
= kohesi tak terdrainase (kN/m2)
Nc
= faktor daya dukung Skempton
(2.21)
20
Gambar 2.5. Grafik Faktor Daya Dukung Nc Menurut Skempton (Sumber : Hary C.H., 2002)
Faktor daya dukung Skempton merupakan fungsi dari D f B dan bentuk pondasi. Untuk pondasi empat persegi panjang dengan panjang L dan lebar B, daya dukung ultimit diperoleh dari nilai faktor daya dukung Nc yang dikalikan dengan 0,84 + 0,16 B L sehingga persamaan daya dukung ultimit menjadi: qu = (0,84 + 0,16 B L)cu N c (untuk
2.1.4
pondasi bujursangkar )
(2.22)
Analisa Meyerhof
Analisa daya dukung Meyerhof mengasumsikan sudut baji β antara bidang AD atau BD terhadap normal horisontal lebih besar dari sudut geser dalam tanah φ. Hal ini menyebabkan faktor daya dukung Meyerhof lebih rendah daripada yang disarankan oleh Terzaghi. Akan tetapi Meyerhof mempertimbangkan faktor pengaruh kedalaman pondasi, sehingga nilai daya dukung menjadi lebih besar.
21 Meyerhof menganalisa daya dukung dengan mempertimbangkan bentuk pondasi, kemiringan beban, dan kuat geser tanah di atas pondasinya yang dinyatakan dengan persamaan berikut. qu = s c d c ic cN c + s q d q iq po N q + sγ d γ iγ 0,5B' γN γ
(2.23)
dimana: qu
= kapasitas dukung ultimit (kN/m2)
Nc, Nq, Nγ
= faktor kapasitas daya dukung Meyerhof untuk pondasi memanjang
sc, sq, sγ
= faktor bentuk pondasi
dc, dq, dγ
= faktor kedalaman pondasi
ic, iq, iγ
= faktor kemiringan beban
B’
= lebar pondasi efektif (m)
po
=
Df
= kedalaman pondasi yang tertanam di dalam tanah (m)
γ
= berat volume tanah (kN/m3)
D f .γ
= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)
22
Gambar 2.6. Faktor-faktor Daya Dukung Meyerhof (1963) (Sumber : Hary C.H., 2002)
Faktor kapasitas dukung tanah yang diusulkan Meyerhof (1963) adalah : N c = ( N q − 1) cot φ N q = tan 2 (45 o + φ 2)e (π tan φ )
N γ = ( N q − 1) tan(1,4φ )
Nilai-nilai faktor daya dukung Meyerhof untuk dasar pondasi kasar dengan bentuk memanjang dan bujursangkar ditunjukkan dalam gambar 2.6. sedangkan untuk pondasi memanjang, nilai-nilai faktor daya dukung tanah ditunjukkan pada tabel 2.1. Berdasarkan gambar 2.6., nilai faktor daya dukung pondasi bujursangkar lebih besar daripada pondasi memanjang. Dalam tabel 2.2. diperlihatkan faktor-faktor bentuk pondasi, dan pada tabel 2.3. ditunjukkan faktor-faktor kedalaman pondasi. Nilai tan(45° + φ 2) merupakan nilai Kp. Untuk pondasi berbentuk lingkaran, nilai B L = 1 .
23 Tabel 2.1. Faktor Daya Dukung Meyerhof φ (°)
Nc
Nq
Nγ
φ (°)
Nc
Nq
Nγ
0
5,14
1,00
0,00
26
22,25
11,85
8,00
1
5,38
1,09
0,00
27
23,94
13,20
9,46
2
5,63
1,20
0,01
28
25,80
14,72
11,19
3
5,90
1,31
0,02
29
27,86
16,44
13,24
4
6,19
1,43
0,04
30
30,14
18,40
15,67
5
6,49
1,57
0,07
31
32,67
20,63
18,56
6
6,81
1,72
0,11
32
35,49
23,18
22,02
7
7,16
1,88
0,15
33
38,64
26,09
26,17
8
7,53
2,06
0,21
34
42,16
29,44
31,15
9
7,92
2,25
0,28
35
46,12
33,30
37,15
10
8,34
2,47
0,37
36
50,59
37,75
44,43
11
8,80
2,71
0,47
37
55,63
42,92
53,27
12
9,28
2,97
0,60
38
61,35
48,93
64,07
13
9,81
3,26
0,74
39
67,87
55,96
77,33
14
10,37
3,59
0,92
40
75,31
64,20
93,69
15
10,98
3,94
1,13
41
83,86
73,90
113,99
16
11,63
4,34
1,37
42
93,71
85,37
139,32
17
12,34
4,77
1,66
43
105,11
99,01
171,14
18
13,10
5,26
2,00
44
118,37
115,31
211,41
19
13,93
5,80
2,40
45
133,87
134,87
262,74
20
14,83
6,40
2,87
46
152,10
158,50
328,73
21
15,81
7,07
3,42
47
173,64
187,21
414,33
22
16,88
7,82
4,07
48
199,26
222,30
526,45
23
18,05
8,66
4,82
49
229,92
265,50
674,92
24
19,32
9,60
5,72
50
266.88
319,06
873,86
25
20,72
10,66
6,77
(Sumber : Hary C.H., 2002)
24 Tabel 2.2. Faktor Bentuk Pondasi Meyerhof Faktor
Nilai
Keterangan
1+ 0,2 (B/L) tan 2 (45 + φ/2)°
untuk sembarang φ
1+ 0,1 (B/L) tan 2 (45 + φ/2)°
untuk φ ≥ 10°
1
untuk φ = 0
Bentuk sc sq = sγ
(Sumber : Hary C.H., 2002)
Tabel 2.3. Faktor Kedalaman Pondasi Faktor
Nilai
Keterangan
1+ 0,2 (D/B) tan (45 + φ/2)°
untuk sembarang φ
1+ 0,1 (D/B) tan (45 + φ/2)°
untuk φ ≥ 10°
Kedalaman dc dq=dγ
1
untuk φ = 0
(Sumber : Hary C.H., 2002)
2.1.5
Analisa Brinch Hansen
Teori Brinch Hansen mengenai persamaan daya dukung pada dasarnya sama dengan Terzaghi. Yang membedakan adalah Brinch Hansen memperhatikan pengaruh bentuk pondasi, kedalaman pondasi, inklinasi beban, inklinasi dasar dan inklinasi permukaan tanah. Untuk tanah dengan sudut geser dalam φ > 0, Brinch Hansen menyarankan persamaan daya dukung ultimit sebagai berikut. qu =
Qu = s c d c ic bc g c cN c + s q d q iq bq g q p o N q + sγ d γ iγ bγ g γ 0,5 B ' γN γ B '.L'
dimana: Qu
= beban vertikal ultimit (kN)
L’
= panjang efektif pondasi (m)
(2.24)
25 B’
= lebar efektif pondasi (m)
γ
= berat volume tanah (kN/m3)
c
= kohesi tanah (kN/m2)
po
=
sc, sq, sγ
= faktor-faktor bentuk pondasi
dc, dq, dγ
= faktor-faktor kedalaman pondasi
ic, iq, iγ
= faktor-faktor kemiringan beban
bc, bq, bγ
= faktor-faktor kemiringan dasar
gc, gq, gγ
= faktor-faktor kemiringan permukaan
D f .γ
= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)
Nc, Nq, Nγ = faktor-faktor kapasitas daya dukung Hansen
Untuk lempung jenuh (φ = 0), Brinch Hansen menyarankan persamaan daya dukung ultimit sebagai berikut. qu = 5,14 cu (1 + s c '+ d c '−ic '−bc '− g c ' ) + p 0
(2.25)
Pada persamaan Brinch Hansen nilai faktor-faktor kapasitas dukung adalah: N q = e (π tan φ ) tan 2 (45° + φ 2)
N c = ( N q − 1) cot φ N γ = 1,5 ( N q − 1) tan φ
Nilai faktor daya dukung lainnya terdapat pada tabel 2.4. Dalam perhitungan faktor kemiringan beban nilai kohesi c diganti dengan nilai ca (adhesi) apabila dasar pondasi tidak terlalu kasar. Nilai adhesi ca ini diperoleh dari mengalikan faktor adhesi dengan nilai kohesi.
26 Tabel 2.4. Faktor Daya Dukung Hansen φ (°)
Nc
Nq
Nγ
φ (°)
Nc
Nq
Nγ
0
5,14
1,00
0,00
26
22,25
11,85
7,94
1
5,38
1,09
0,00
27
23,94
13,20
9,32
2
5,63
1,20
0,01
28
25,80
14,72
10,94
3
5,90
1,31
0,02
29
27,86
16,44
12,84
4
6,19
1,43
0,05
30
30,14
18,40
15,07
5
6,49
1,57
0,07
31
32,67
20,63
17,69
6
6,81
1,72
0,11
32
35,49
23,18
20,79
7
7,16
1,88
0,16
33
38,64
26,09
24,44
8
7,53
2,06
0,22
34
42,16
29,44
28,77
9
7,92
2,25
0,30
35
46,12
33,30
33,92
10
8,34
2,47
0,39
36
50,59
37,75
40,05
11
8,80
2,71
0,50
37
55,63
42,92
47,38
12
9,28
2,97
0,63
38
61,35
48,93
56,17
13
9,81
3,26
0,78
39
67,87
55,96
66,76
14
10,37
3,59
0,97
40
75,31
64,20
79,54
15
10,98
3,94
1,18
41
83,86
73,90
95,05
16
11,63
4,34
1,43
42
93,71
85,37
113,96
17
12,34
4,77
1,73
43
105,11
99,01
137,10
18
13,10
5,26
2,08
44
118,37
115,31
165,58
19
13,93
5,80
2,48
45
133,87
134,87
200,81
20
14,83
6,40
2,95
46
152,10
158,50
244,65
21
15,81
7,07
3,50
47
173,64
187,21
299,52
22
16,88
7,82
4,13
48
199,26
222,30
368,67
23
18,05
8,66
4,88
49
229,92
265,50
456,40
24
19,32
9,60
5,75
50
266,88
319,06
568,57
25
20,72
10,66
6,76
(Sumber : Hary C.H., 2002)
Hansen menganalisa daya dukung dalam kondisi plane strain seperti yang dilakukan Meyerhof dimana analisa ini hanya dapat digunakan apabila pondasi berbentuk memanjang tak berhingga. Oleh karena itu, Hansen menyarankan adanya
27 koreksi sudut geser dalam sehingga nilai sudut geser dalam φ ps = 1,1 φtr dengan φ
ps
adalah sudut geser dalam yang digunakan dalam perhitungan daya dukung tanah dan φ tr adalah sudut geser dalam dari uji triaksial.
2.1.6
Analisa Vesic
Vesic menganalisa daya dukung tanah berdasarkan prinsip superposisi yang diperoleh dari beberapa peneliti, yaitu: •
Usulan Reissner (1924) : q q = p 0 .N q dengan nilai N q = e (π tan φ ) tan 2 (45° + φ 2)
•
Analisa Prandtl (1924) : q c = c.N c dengan nilai N c = ( N q − 1) cot φ
•
Usulan Caquot - Kerisel (1953) : qγ = 0,5 BγN γ dengan nilai N γ = 2( N q + 1) tan φ
Superposisi dari ketiga persamaan tersebut adalah
qu = q c + q q + qγ . Dengan
mensubstitusikan nilai dari tiga persamaan di atas maka diperoleh nilai daya dukung: qu = cN c + p 0 N q + 0,5 BγN γ
(2.26)
Analisa daya dukung Vesic memperhitungkan faktor kedalaman pondasi, kemiringan dan eksentrisitas beban, kemiringan dasar dan kemiringan permukaan seperti halnya Brinch Hansen. Analisa ini dinyatakan selengkapnya sebagai berikut. qu = Qu B '.L' = s c d c ic bc g c cN c + s q d q iq bq g q p 0 N q + sγ d λ iγ bγ g γ 0,5 B.γ .N γ
dimana: Qu
= beban vertikal ultimit, dapat miring dan eksentris (kN)
B
= lebar pondasi (m)
L’
= panjang efektif pondasi (m)
B’
= lebar efektif pondasi (m)
(2.27)
28 γ
= berat volume tanah (kN/m3)
c
= kohesi tanah (kN/m2)
po
=
sc, sq, sγ
= faktor-faktor bentuk pondasi
dc, dq, dγ
= faktor-faktor kedalaman pondasi
ic, iq, iγ
= faktor-faktor kemiringan beban
bc, bq, bγ
= faktor-faktor kemiringan dasar
gc, gq, gγ
= faktor-faktor kemiringan permukaan
D f .γ
= tekanan overburden pada dasar pondasi (kN/m2)
Nc, Nq, Nγ = faktor-faktor kapasitas daya dukung Vesic
Untuk faktor-faktor bentuk pondasi, Vesic menyarankan pemakaian faktor bentuk pondasi dari De Beer (1970) sedangkan untuk faktor-faktor kedalaman, Vesic mengadopsi faktor kedalaman dari Hansen (1970).
2.2. Pondasi Dangkal
Pondasi adalah bagian terendah dalam suatu konstruksi yang meneruskan beban konstruksi ke tanah atau batuan di bawahnya. Berdasarkan jenisnya, pondasi dibedakan menjadi dua macam yaitu pondasi dangkal dan pondasi dalam. Pondasi dangkal didefinisikan sebagai pondasi yang mendukung beban konstruksi secara langsung. Contoh pondasi dangkal antara lain pondasi telapak, pondasi memanjang dan pondasi rakit. Sedangkan pondasi dalam didefinisikan sebagai pondasi yang meneruskan beban struktur di atasnya ke tanah keras atau batuan yang terletak jauh dari permukaan. Contoh pondasi dalam antara lain pondasi tiang dan pondasi sumuran.
29 Pemilihan jenis pondasi bergantung pada beban yang akan didukung, kondisi tanah dasar, dan biaya pembuatan pondasi yang dibandingkan terhadap biaya struktur atas. Pondasi dalam digunakan pada bangunan struktur tinggi dan pada struktur yang tanah kerasnya terletak pada kedalaman yang sangat dalam. Pondasi dangkal biasanya digunakan pada bangunan tinggal sederhana, bangunan dengan kolom yang berjarak sangat dekat, dan untuk bangunan yang terletak pada tanah lunak. Beberapa definisi yang perlu diketahui dalam perancangan pondasi antara lain : a. Tekanan overburden total p adalah intensitas tekanan total yang terdiri dari berat material di atas dasar pondasi total yaitu berat tanah dan air sebelum pondasi dibangun. b. Daya dukung ultimit neto qun adalah nilai intensitas beban pondasi saat tanah akan mengalami keruntuhan geser. c. Tekanan pondasi total q adalah intensitas tekanan total pada tanah di dasar pondasi. Beban ini termasuk berat pondasi, berat struktur atas, berat tanah urugan dan berat air di atas dasar pondasi. d. Tekanan pondasi neto qn adalah tambahan tekanan pada dasar pondasi akibat beban hidup dan mati dari strukturnya. e. Daya dukung batas qu adalah tekanan pondasi maksimum yang dapat dibebankan pada tanah. f. Faktor keamanan SF diperoleh dari hasil pembagian nilai daya dukung ultimit neto dengan tekanan pondasi neto. g. Daya dukung aman qs didefinisikan tekanan pondasi total ke dalam tanah maksimum yang tidak mengakibatkan resiko keruntuhan daya dukung.
30 Perencanaan pondasi sangat memperhatikan faktor kapasitas dukung tanah. Kurangnya daya dukung pada pondasi dapat menyebabkan keruntuhan pondasi. Berdasarkan hasil uji model, Vesic (1963) membagi mekanisme keruntuhan pondasi menjadi tiga macam, yaitu: a. Keruntuhan geser umum Keruntuhan geser umum merupakan keruntuhan pondasi yang terjadi menurut bidang runtuh yang dapat diidentifikasi dengan jelas karena bidang longsor, berupa lengkung dan garis lurus, yang terbentuk berkembang hingga mencapai permukaan tanah. Keruntuhan ini terjadi dalam waktu yang relatif mendadak yang kemudian diikuti dengan penggulingan pondasi.
Gambar 2.7. Keruntuhan Geser Umum (Sumber : Braja M. Das, 2005)
b. Keruntuhan geser lokal Tipe keruntuhannya hampir sama dengan keruntuhan geser umum. Akan tetapi bidang runtuh yang terbentuk tidak berkembang sehingga tidak mencapai permukaan tanah. Pada keruntuhan geser lokal ini terjadi sedikit penggembungan tanah di sekitar pondasi tetapi tidak sampai terjadi penggulingan pondasi.
31
Gambar 2.8. Keruntuhan Geser Lokal (Sumber : Braja M. Das, 2005)
c. Keruntuhan penetrasi Keruntuhan penetrasi merupakan kondisi dimana pondasi hanya menembus dan menekan tanah ke samping yang menyebabkan pemampatan tanah di dekat pondasi. Penurunan pondasi bertambah secara linier dengan penambahan bebannya. Penurunan yang terjadi tidak menghasilkan cukup getaran arah lateral yang menuju kedudukan kritis keruntuhan tanah sehingga kuat geser ultimit tanah tidak dapat berkembang. Pada saat terjadi keruntuhan, bidang runtuh tidak terlihat sama sekali. Langkah pertama dalam perancangan pondasi adalah menghitung jumlah beban efektif yang akan ditransfer ke tanah di bawah pondasi. Selanjutnya menentukan nilai daya dukung izin qa. Luas dasar pondasi dapat diketahui dengan membagi jumlah beban efektif dengan daya dukung izin. Berdasarkan pada tekanan yang terjadi pada dasar pondasi dilakukan perancangan struktural pondasi yaitu dengan menghitung momenmomen lentur dan gaya-gaya geser yang terjadi pada pelat pondasi. Perancangan pondasi harus mempertimbangkan adanya keruntuhan geser dan penurunan yang berlebihan, oleh karena itu kriteria stabilitas dan kriteria penurunan
32 harus dipenuhi. Dalam perencanaan pondasi dangkal perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut. •
Faktor keamanan terhadap keruntuhan akibat terlampauinya kapasitas dukung tanah harus dipenuhi.
•
Penurunan pondasi harus berada dalam batas-batas nilai yang ditoleransikan. Untuk penurunan yang tidak seragam, tidak boleh terjadi kerusakan pada struktur. Untuk memenuhi stabilitas jangka panjang, perletakan dasar pondasi perlu
diperhatikan. Pondasi harus diletakkan pada kedalaman yang cukup untuk menanggulangi resiko erosi permukaan, gerusan, kembang susut tanah dan gangguan lainnya pada tanah di sekitar pondasi. Keterangan umum mengenai beberapa jenis pondasi dangkal akan dijelaskan berikut ini.
2.2.1. Pondasi memanjang
Pondasi memanjang digunakan untuk mendukung beban segaris seperti dinding memanjang. Perancangan pondasi memanjang menganggap beban dinding sebagai beban garis per satuan panjang. Perancangan struktur pondasi didasarkan pada momenmomen dan tegangan geser yang terjadi akibat tekanan sentuh antara dasar pondasi dan tanah. Oleh karena itu besar distribusi tekanan sentuh pada dasar pondasi harus diketahui. Dalam analisa perancangan dapat diasumsikan bahwa pondasi sangat kaku dan tekanan pondasi didistribusikan secara linier pada dasar pondasi. Apabila resultan beban berhimpit dengan pusat berat luasan pondasi maka tekanan pada dasar pondasi dapat dianggap disebarkan merata ke seluruh luasan pondasi.
33 2.2.2. Pondasi telapak
Berdasarkan bentuknya, pondasi telapak terbagi lagi atas tiga jenis pondasi yaitu pondasi telapak terpisah, telapak gabungan dan telapak kantilever. a . Pondasi telapak terpisah Pondasi telapak terpisah umumnya digunakan untuk mendukung sebuah kolom. Perancangan pondasi telapak terpisah menganggap beban kolom sebagai beban titik. Secara umum perhitungan perancangan struktural pondasi telapak terpisah sama dengan perhitungan perancangan struktural pondasi secara umum. b. Pondasi telapak gabungan Pondasi telapak gabungan digunakan apabila terdapat dua atau lebih kolom berdekatan. Pondasi ini menggabungkan kolom-kolom tersebut sehingga menjadi satu pondasi tunggal. Pondasi ini juga digunakan untuk mendukung beban-beban struktur yang tidak begitu besar dengan kondisi tanah yang mudah dimampatkan. Perancangan pondasi telapak gabungan dilakukan dengan asumsi bahwa pelat pondasi maupun pondasi sangat kaku sehingga pelengkungan pondasi tidak mempengaruhi penyebaran tekanan. Asumsi lainnya adalah distribusi tekanan sentuh pada dasar pondasi disebarkan secara linier. c. Pondasi telapak kantilever Pondasi telapak kantilever merupakan dua atau lebih pondasi telapak yang digabungkan oleh suatu balok. Pondasi telapak kantilever digunakan untuk menyeragamkan distribusi tekanan pada dasar pondasi. Penentuan daya dukung izin pada pondasi ini sama dengan penentuan daya dukung izin pondasi secara umum.
34 Dalam perancangan, hasil akhir tekanan pada dasar pondasi kolom harus lebih kecil daripada daya dukung izin qa. Setelah memperoleh tekanan pada dasar pondasi dapat dihitung besarnya momen dan gaya lintang yang terjadi pada balok ikat dan telapak pondasinya. Setelah itu dapat dilakukan perhitungan penulangan beton.
2.3. Geotextile
Geotextile merupakan bagian dari material geosintetik yang berbentuk lembaran
dan mempunyai sifat yang permeabel (tembus air). Geosintetik adalah suatu produk yang dibentuk oleh bahan polimer dan penggunaannya terkait dengan tanah, batuan, dan rekayasa geoteknik lainnya sebagai bagian dari proyek konstruksi. Jenis geosintetik ada bermacam-macam yaitu: •
Geotextile
•
Geopipe
•
Geogrid
•
Geofoam
•
Geonet
•
Geosynthetic Clay Linier
•
Geomembrane
•
Geocomposite
•
Geo-others
Geotextile (dalam Bahasa Indonesia Geotekstil) memiliki ketahanan terhadap daya
tarik yang relatif cukup tinggi sehingga dapat diaplikasikan antara lain sebagai bahan lapis perkuatan, lapis filtrasi, lapis separasi dan lapis proteksi. Secara umum ada enam fungsi utama geotekstil yang dapat bekerja sendiri-sendiri ataupun secara bersamaan, yaitu: 1. Separasi, yaitu untuk memisahkan dua jenis material/agregat yang berbeda karakteristik dan ukuran.
35 2. Perkuatan; Penggunaan material geotekstil yang mempunyai properti kuat tarik yang baik dapat digunakan untuk menstabilkan konstruksi dengan bahan tanah. Geotekstil akan mengambil alih gaya tarik yang harus dipikul oleh tanah. 3. Filtrasi; Fungsi ini memungkinkan mobilisasi air/cairan pada arah tegak lurus bidang geotekstil dan pada saat bersamaan menahan butiran tanah. 4. Drainasi, yaitu fungsi geotekstil sebagai sarana untuk mengalirkan air searah bidang geotekstil. 5. Proteksi, dimana geotekstil digunakan untuk melindungi material atau lapisan dari kerusakan akibat tusukan benda-benda tajam. 6. Lapis kedap air; fungsi ini berlaku apabila geotekstil dikombinasikan dengan cairan bitumen atau semen karena geotekstil merupakan material yang porous. Geotekstil diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu: a. Geotekstil woven
Geotekstil woven merupakan geotekstil yang berbentuk anyaman. Yang termasuk dalam geotekstil woven adalah slit filament, mono filament dan multi filament. b. Geotekstil non woven
Sebaliknya dari geotekstil woven, geotekstil non woven tidak berbentuk anyaman. Beberapa jenis geotekstil non woven dibedakan dari panjang serat pembentuk dan cara penyatuan serat-serat pembentuk tersebut. Berdasarkan panjang serat pembentuk dikenal jenis continuous filament dan staple fiber Berdasarkan cara penyatuannya, geotekstil non woven dibedakan menjadi needle punch dan heat bonded.
36 2.3.1. Aplikasi Geotekstil Sebagai Lapis Perkuatan
Geotekstil sebagai lapis perkuatan dapat digunakan untuk meningkatkan daya dukung tanah. Prinsip kerja geotekstil sebagai lapis perkuatan adalah dengan memikul beban tarik yang terjadi pada lapisan tanah atau material yang mempunyai ketahanan yang baik terhadap gaya tekan akan tetapi lemah menahan gaya tarik. Gambar 2.9. berikut menjelaskan bagaimana geotekstil digunakan sebagai lapis perkuatan.
Gambar 2.9. Lapis Perkuatan dengan Geotekstil Memotong Garis Keruntuhan Tiga mekanisme perkuatan geotekstil yaitu: •
Tipe Membran Perkuatan membran terjadi pada saat terdapat gaya vertikal yang bekerja pada geotekstil yang diletakkan pada lapisan tanah yang deformable. Berdasarkan posisi diletakkannya geotekstil dari aplikasi beban kerja, ditetapkan bahwa:
σh =
⎡ (1 − 2 μ ) cos 2 θ ⎤ 2 3 3 sin θ cos θ − ⎢ ⎥ 1 + cos θ ⎦ 2π z 2 ⎣ P
(2.28)
37
dimana:
σh = Tegangan horisontal pada kedalaman z dan sudut θ P = Gaya vertikal yang terjadi z
= kedalaman di bawah permukaan dimana σh dihitung
μ = Poisson ratio
θ = sudut vertikal dari bawah tekanan permukaan P •
Tipe Geser Perkuatan geser dapat digambarkan melalui percobaan triaxial akan tetapi lebih jelas melalui uji direct shear. Geotekstil ditempatkan pada tanah yang diberi beban pada arah yang normal, kemudian dua material digeserkan pada interface-nya. Parameter geotekstil terhadap kuat geser tanah yang dihasilkan
(adhesi dan sudut gesek) dapat diperoleh melalui rumus kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb berikut.
τ = c a + σ ' n tan δ
(2.29)
dengan:
τ = Kuat geser (antara geotekstil dengan tanah) σ’n = Tegangan efektif normal pada bidang geser ca = adhesi (antara geotekstil dengan tanah) δ
= sudut gesek (antara geotekstil dengan tanah)
Parameter kuat geser ca dan δ dapat dibandingkan dengan parameter kuat geser tanah secara umum sebagai berikut.
τ = c + σ ' n tan φ
(2.30)
38 dengan: c
= kohesi (antara tanah dengan tanah)
φ = sudut gesek (antara tanah dengan tanah) •
Tipe Pengangkuran/Penjangkaran Tipe ini menyerupai tipe geser hanya pada tipe ini tanah diaplikasikan pada kedua sisi horisontal geotekstil sehingga terjadi kecenderungan gaya tarik yang menarik geotekstil keluar dari tanah. Kondisi perkuatan ini menyerupai percobaan direct shear kecuali tanah di kedua sisi geotekstil bergerak pada kedua bagian alat penguji dan geotekstil ditarik keluar dari alat penguji. Tipe pengangkuran ini juga memberikan gambaran mengenai efisiensi fungsi kekuatan geotekstil yang bergerak.
Dengan pertimbangan bahwa beberapa lapis geotekstil dan/atau geotekstil dengan kekuatan yang tinggi dapat memperkuat dinding fleksibel, lereng dan pondasi, dapat dikatakan bahwa tanah di bawah dinding kaku, perletakan/tumpuan, dermaga dan lain-lain yang memiliki daya dukung rendah dapat pula menjadi sasaran dalam peningkatan kinerja dengan pengaplikasian geotekstil. Binquet dan Lee (1985) melakukan percobaan untuk meningkatkan daya dukung pasir yang telah dikompres menggunakan batangan logam. Mereka menemukan bahwa peningkatan tertentu yang kemudian dibuktikan melalui analisa ekonomi yang menunjukkan penghematan biaya. Akan tetapi ketika korosi dipertimbangkan, tidak ada lagi keuntungan secara ekonomi. Dengan menggunakan geotekstil yang tidak akan berkarat sebagai lapis perkuatan, masalah korosi/karatan dapat dihilangkan dan memenuhi kebutuhan penelitian dalam mengukur peningkatan yang mungkin terjadi.
39 Beberapa penelitian untuk melihat bagaimana geotekstil sebagai lapis perkuatan dapat meningkatkan daya dukung dan perkuatan dasar. Penelitian laboratorium yang dilakukan oleh Guido (1985) menggunakan beberapa lapis geotekstil dalam pasir yang tidak dipadatkan menghasilkan bahwa beberapa lapis geotekstil (di atas tiga lapis) memberikan hasil yang menguntungkan setelah terjadi penurunan tertentu. Penelitian ini menggunakan geotekstil heat bonded non woven dan diberikan variasi sejumlah parameter, termasuk jarak ke geotekstil yang berada di posisi teratas, jarak antar lapisan dan perpanjangan geotekstil ke arah luar diukur dari salah satu sudut pondasi. Hasil ini diperlihatkan melalui gambar 2.10(a). Riset yang dilakukan oleh Geosynthetic Research Institute (GRI) pada tanah lunak yang bergradasi baik dan terkompres pada kondisi jenuh di atas batas plastisitasnya menghasilkan hasil yang menyerupai percobaan Guido dimana percobaan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pada tekanan dukung pada kondisi deformasi tanah yang besar. GRI menggunakan geotekstil woven-slit film. Hasil ini diplot pada kurva pada gambar 2.10 (b). Dari kedua percobaan di atas dapat dilihat bahwa metode prategang geotekstil dapat menjadi keuntungan sama halnya untuk menghilangkan deformasi yang dibutuhkan untuk menciptakan peningkatan yang signifikan. Sebagai pengganti prategang geotekstil, perencanaan dalam penggunaan geotekstil sebagai lapis perkuatan harus mempertimbangkan bahwa peningkatan daya dukung hanya terjadi setelah penurunan yang relatif besar.
40
Gambar 2.10. Hasil Percobaan Laboratorium yang Menunjukkan Kenaikan Daya Dukung Dengan Beberapa Lapis Geotekstil (a) Percobaan oleh Guido (b) Percobaan oleh GRI (Sumber : Robert M. Koerner, 2005)
Di dalam perancangan, empat jenis keruntuhan yang ditunjukkan pula secara skematis berikut harus dipertimbangkan: 1.
Keruntuhan daya dukung di atas lapisan geotekstil paling atas; Hal ini mungkin dapat dihindari apabila jarak lapisan teratas geotekstil berkisar antara 300 mm dari permukaan tanah.
Gambar 2.11. Keruntuhan Daya Dukung di Atas Lapisan Geotekstil Pertama (Sumber : Robert M. Koerner, 2005)
41 2.
Geotekstil yang tertarik keluar dari tanah karena kurangnya panjang penjangkaran yang tertanam. Kasus ini dapat dihindari jika panjang penjangkaran melebihi zona keruntuhan aktif.
Gambar 2.12. Geotekstil Tertarik Keluar Dari Tanah (Sumber : Robert M. Koerner, 2005)
3.
Keruntuhan yang menyebabkan rusak/putusnya geotekstil, yang merupakan elemen utama yang diperhatikan dalam perancangan.
Gambar 2.13. Keruntuhan yang Menyebabkan Rusak/Putusnya Geotekstil (Sumber : Robert M. Koerner, 2005)
4.
Deformasi jangka panjang yang berkelanjutan (rangkak) yang berhubungan dengan beban permukaan yang menahan dan relaksasi tegangan geotekstil, yang dapat dihindari apabila digunakan geotekstil dengan tegangan ijin yang cukup rendah.
42
Gambar 2.14. Deformasi Jangka Panjang yang Berkelanjutan (Rangkak) (Sumber : Robert M. Koerner, 2005)
Sakti dan Das (1987) melakukan beberapa percobaan untuk melihat pengaruh pemasangan geotekstil untuk meningkatkan daya dukung. Geotekstil yang digunakan mempunyai kuat tarik batas 534 N dan merupakan jenis heat bonded non woven yang dipasang berlapis-lapis. Geotekstil tersebut dipasang untuk meningkatkan daya dukung pondasi memanjang dengan beban yang bervariasi yang diletakkan pada tanah lempung yang jenuh. Berdasarkan percobaan tersebut, Sakti dan Das menyimpulkan bahwa: •
Dampak yang menguntungkan dari perkuatan geotekstil baru ditemukan ketika perkuatan dipasang pada jarak yang sama dengan lebar pondasi.
•
Lapisan pertama perkuatan geotekstil harus diletakkan pada jarak d = 0,35 B (B = lebar pondasi) untuk memperoleh hasil yang maksimum.
•
Nilai L0/B yang paling ekonomis adalah sekitar 2 (L0 adalah jarak dari titik tengah pondasi ke ujung batas perkuatan geotekstil).
2.4. Metode Elemen Hingga
Metode elemen hingga menggunakan prinsip diskretisasi atau pembagian suatu kontinum, dimana kontinum tersebut dapat berupa sistem struktur, massa atau benda padat lain yang akan dianalisa, menjadi suatu elemen yang lebih kecil sehingga
43 mempermudah analisa. Pembagian tersebut memungkinkan sistem yang memiliki derajat kebebasan tak terhingga dapat didekati menjadi suatu sistem yang memiliki derajat kebebasan berhingga. Semakin kecil elemen terbagi yang digunakan dalam analisa maka semakin akurat hasil yang diperoleh melalui analisa tersebut, selama elemen kecil ini tidak mengalami putus di suatu tempat. Dalam metode elemen hingga, wilayah model didiskretisasi menjadi elemenelemen, baik dengan jarak teratur maupun yang tidak teratur. Dalam diskretisasi, benda dibagi menjadi beberapa elemen dengan bentuk yang teratur pada bagian dalam. Jenis elemen yang akan digunakan tergantung pada karakteristik rangkaian kesatuan dan idealisasi. Sebagai contoh, jika suatu struktur diidealisasi sebagai suatu garis satu dimensi, elemen yang digunakan adalah suatu elemen garis. Untuk benda dua dimensi, digunakan jenis elemen segitiga dengan tiga atau enam titik nodal atau segiempat dengan empat atau lebih titik nodal dan untuk obyek idealisasi tiga dimensi digunakan jenis elemen segienam (heksahedron) dengan kekhususan yang berbeda. Secara umum bentuk aplikasi dari elemen tersebut dapat dilihat pada gambar 2.16.
Gambar 2.15. Aplikasi Elemen Segitiga dan Elemen Segiempat (Sumber : C.S. Desai, 1988)
44 Untuk benda dengan batas tidak teratur, dapat dibuatkan suatu provisi khusus yang mendekati suatu batas teratur dalam garis lurus. Dalam beberapa persoalan, dibutuhkan fungsi matematis dengan orde secukupnya untuk mendeteksi batas yang ada. Contohnya jika bentuk batas serupa kurva parabola maka fungsi kuadratis orde dua dapat digunakan untuk mendekati batas tersebut.
Gambar 2.16. Diskritisasi untuk Batas Tak Teratur (Sumber : C.S. Desai, 1988)
2.4.1. Sistem Koordinat
Untuk menentukan lokasi titik nodal pada elemen diperlukan suatu sistem koordinat yang terdiri dari koordinat global (x, y) dan koordinat lokal (s, t).
2.4.2. Fungsi Bentuk (Shape Function)
Sistem koordinat global dan lokal dapat dihubungkan dengan suatu fungsi yang dikenal sebagai fungsi bentuk (shape function). Fungsi bentuk bernilai satu (1) pada titik nodal yang ditinjau dan bernilai nol (0) pada titik lainnya. Fungsi bentuk diturunkan
45 dalam sistem koordinat lokal sehingga titik (x, y) dalam koordinat global dapat diselesaikan apabila titik nodal dalam koordinat lokal (s, t) diketahui. Koordinat x dan y dalam elemen dapat dihubungkan dengan koordinat lokal menggunakan hubungan sebagai berikut. x = [N ]{X }
(2.28)
y = [N ]{Y }
(2.29)
dimana: [N]
= Fungsi Bentuk
{X}, {Y} = Koordinat global x-y dari titik nodal Fungsi bentuk dari elemen segiempat dengan empat titik nodal adalah sebagai berikut. N1 =
1 (1 − s )(1 − t ) 4
(2.30)
N2 =
1 (1 + s )(1 − t ) 4
(2.31)
N3 =
1 (1 + s )(1 + t ) 4
(2.32)
N4 =
1 (1 − s )(1 + t ) 4
(2.33)
Sedangkan fungsi bentuk untuk elemen segitiga dengan tiga titik nodal adalah sebagai berikut. N1 = 1 − s − t N2 = s N3 = t
(2.34)
46 2.4.3. Syarat Batas (Boundary Condition)
Syarat batas merupakan batasan atau penyangga fisik yang membatasi struktur sehingga sistem tersebut dapat berdiri sendiri dalam suatu ruang. Syarat-syarat ini umumnya diperinci dan dinyatakan sebagai nilai-nilai yang diketahui dari besaranbesaran yang tidak diketahui pada suatu bagian permukaan atau batas S1 dan atau gradien atau turunan dari besaran yang tidak diketahui pada S2 (Gambar 2.19). Syarat batas ini harus ditetapkan untuk menghindari matriks singular sehingga perhitungan dapat dilakukan dan besaran-besaran yang dicari dapat dihitung dan diselesaikan.
[K ]{ r} = { R }
(a)
[K]{r} = {R}
S2
S1
Batasan
(b) Gambar 2.17. Syarat Batas atau Batasan (a) Benda tanpa batasan (b) Benda dengan batasan (Sumber : C.S. Desai, 1988)
47 Syarat batas secara umum dibedakan menjadi: a.
Syarat batas paksa atau syarat batas geometri (forced on geometric boundary condition); Merupakan syarat batas yang dinyatakan oleh besarnya peralihan.
b.
Syarat batas alamiah (natural boundary condition); terjadi jika turunan kedua dari peralihan adalah nol.
Untuk menggambarkan syarat batas dalam pendekatan metode elemen hingga perlu dilakukan modifikasi pada sistem persamaan yang telah diperoleh. Persamaan gabungan yang telah dimodifikasi dapat dinyatakan sebagai berikut. [K]{r}={R}
(2.35)
dimana matriks-matriks tersebut merupakan persamaan yang telah dimodifikasi dengan syarat batas. Persamaan 2.36. merupakan sekumpulan persamaan aljabar simultan linier (atau non linier) yang dapat dituliskan dalam bentuk baku dan umum sebagai berikut. K 11 r1 + K 12 r2 + ... + K 1n rn = R1 K 21 r1 + K 22 r2 + ... + K 2 n rn = R2
(2.36)
... K n1 r1 + K n 2 r2 + ... + K nn rn = Rn
2.4.4. Penyelesaian Persamaan Elemen Hingga
Dasar dari penyelesaian persamaan elemen hingga adalah dengan menggunakan hubungan antara regangan, perpindahan dan tegangan dari tiap titik serta faktor bentuk dari setiap elemen. Hubungan antara matriks regangan dan perpindahan adalah:
48
{ε } = [ B]⎧⎨
u⎫ ⎬ ⎩v ⎭
(2.37)
dimana: {ε}
= Vektor regangan
=
[B]
= Matriks regangan
=
⎧u ⎫ ⎨ ⎬ ⎩v ⎭
⎧ε x ⎫ ⎪ε ⎪ ⎪ y⎪ ⎨ ⎬ ⎪ε z ⎪ ⎪⎩γ xy ⎪⎭
⎡ ∂N 1 ⎢ ∂x ⎢ ⎢0 ⎢ ⎢0 ⎢ ∂N 1 ⎢ ⎣ ∂x
0 ∂N 1 ∂y 0 ∂N 1 ∂y
...
∂N 8 ∂x
... 0 ... 0 ∂N 8 ... ∂x
⎤ ⎥ ∂N 8 ⎥ ⎥ ∂y ⎥ ; Kondisi Plane Strain 0 ⎥ ∂N 8 ⎥ ⎥ ∂y ⎦
0
= Perpindahan titik nodal arah x dan y
Hubungan antara tegangan dan regangan adalah sebagai berikut.
{σ } = [C ]{ε }
(2.38)
dimana: [C]
= Matriks Konstitutif (properti material)
=
⎡ 1−υ ⎢ υ E ⎢ (1 + υ )(1 − 2υ ) ⎢ υ ⎢ ⎢⎣ 0
E
= Modulus Young
υ
= Poisson ratio
υ 1−υ
υ υ
υ
1−υ
0
0
⎤ 0 ⎥⎥ 0 ⎥ 1 − 2υ ⎥ 2 ⎥⎦ 0
49 2.5. Program Plaxis
Program Plaxis adalah suatu program khusus yang dikembangkan oleh Departemen Pekerjaan Umum dan Pengendalian Air Negara Belanda pada tahun 1987 untuk mempermudah insinyur dalam analisa tanggul sungai pada tanah lunak dengan menggunakan metode elemen hingga. Pada awal pembuatan program ini, elemen hingga harus ditentukan dan dimodelkan secara manual. Program Plaxis dimaksudkan sebagai alat bantu para insinyur geoteknik dalam mengerjakan perhitungan manual menggunakan metode elemen hingga yang rumit dan membutuhkan waktu yang lama. Program Plaxis dapat digunakan antara lain dalam analisa kestabilan konstruksi, deformasi, dan perhitungan faktor keamanan. Prosedur input program Plaxis secara grafik yang sederhana memungkinkan generasi yang lebih cepat dari metode elemen hingga yang rumit. Peningkatan fasilitas output program memberikan gambaran yang lebih terperinci dari hasil perhitungan. Proses kalkulasinya sendiri berjalan secara otomatis dan berdasarkan pada prosedur numerikal yang mantap. Konsep ini memungkinkan program ini digunakan oleh pemula setelah melalui pelatihan selama beberapa jam.
2.5.1. Material Data Geogrid atau Geotekstil Dalam Program Plaxis
Properti yang tersedia pada program Plaxis untuk input data geogrid atau geotekstil adalah properti kekakuan elastis aksial, EA, dengan satuan unit kN/m. Kekakuan elastis aksial merupakan rasio dari kekuatan aksial per unit lebar dan tegangan aksial. Nilai kekakuan elastis aksial tersebut biasanya disediakan oleh pembuat geogrid atau geotekstil dan dapat pula ditetapkan melalui suatu diagram dimana elongasi
50 geogrid/geotekstil diplot berbanding dengan beban yang diaplikasikan membujur pada geogrid/geotekstil tersebut. EA =
F Δl l
(2.39)