6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Daun
Tumbuhan Loning ( Pisonia umbellifera ( J.R. Forst & G.
Forst.) Seem)
Daun Tumbuhan Loning ( Pisonia umbellifera ( J.R. Forst & G. Forst.) Seem) merupakan salah satu tumbuhan
dari suku
Nyctaginaceae yang tumbuh di
sekitar dataran tinggi Kabupaten Karo khususnya di Desa Lau Baleng. Tumbuhan ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat luka pada hewan ternak, dengan cara mencampurkan daun tumbuhan loning ke makanan hewan ternak. 2.1.1 Taksonomi Daun Tumbuhan Loning
Klasifikasi daun tumbuhan loning hasil identifikasi tumbuhan di laboratorium Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor , adalah sebagai berikut : Kerajaan : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Angiospermae
Bangsa
: Caryophyllales
Familia : Nyctaginaceae Genus
: Pisonia
Spesies : Pisonia umbellifera (J.R. Forst & G.Forst.) Seem.
6
Universitas Sumatera Utara
7
Gambar 2.1 Tumbuhan Loning
2.2 Metabolit Sekunder Senyawa kimia bermolekul besar merupakan bagian utama dalam organ tanaman kering. Senyawa bermolekul besar ini berfungsi sebagai pembentuk struktur tanaman (selulosa, kitin, lignin, dan pectin), sebagai cadangan makanan (amilum, protein, lipoprotein) atau untuk memenuhi fungsi metabolism penting lainnya ( protein dan enzim). Senyawa kimia dari tanaman yang berbeda-beda dapat diekstrak dengan pelarut umum (air, etanol, eter, benzene, eter minyak bumi) berupa senyawa kimia tanaman dengan molekul kecil. Senyawa kimia tanaman yang jumlahnya paling banyak adalah senyawa kimia bermolekul kecil dari kelompok yang disebut sebagai metabolit sekunder (Sirait, 2007). Senyawa-senyawa kimia yang merupakan hasil metabolit sekunder pada tumbuhan sangat beragam dan dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan senyawa bahan alam yaitu :
2.2.1 Alkaloid Alkaloid merupakan senyawa kimia bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,umumnya tidak berwarna,dan berwarna jika mempunyai struktur kompleks dan bercincin aromatik.Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri,sehingga lapisan dinding sel terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut ( Robinson, 1995). 7
Universitas Sumatera Utara
8
Dalam skrining fitokimia, bukti kualitatif untuk menunjukkan adanya alkaloida dapat diperoleh dengan menggunakan beberapa pereaksi diantaranya pereaksi Dragendorf, Wagner, Mayer, dan pereaksi Bouchardat. Untuk pereaksi Dragendorf yang ditandai dengan terbentuk warna jingga, Pada pembuatan pereaksi Dragendorf, bismut nitrat dilarutkan dalam HCl agar tidak terjadi reaksi hidrolisis karena garam-garam bismut mudah terhidrolisis membentuk ion bismutil (BiO+), pada uji alkaloid dengan dragendorf, nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang merupakan ion logam. Reaksi pada uji Dragendorf ditunjukkan pada gambar 2.2
Bi(NO3)3
+
3KI
BiI3
BiI3
+
KI
KBiI4
+
3KNO3
Kalium tetraiodobismutat
Kalium-Alkaloid
oranye
endapan
Gambar 2.2 Reaksi Alkaloid dengan Pereaksi Dragendorf ( Setyowati et al, 2014)
Pada uji wagner ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai kuning. Pada pembuatan pereaksi wagner, iodine bereaksi dengan ion I - dari kalium iodide menghasilkan ion I3- yang berwarna coklat. Pada uji wagner ion logam K+
akan membentuk ikatan kovalen koordinat dengan nitrogen pada
alkaloid membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap. Reaksi yang terjadi pada uji wagner ditunjukkan pada gambar 2.3
I2
+
I-
I3Coklat
8
Universitas Sumatera Utara
9
Kalium-Alkaloid
Coklat
endapan Gambar 2.3 Reaksi Alkaloid dengan pereaksi Wagner ( Setyowati et al, 2014)
Pada pembuatan pereaksi Mayer, larutan merkurium (II) klorida ditambah kalium iodida akan bereaksi membentuk endapan merah merkurium (II) iodida. Jika kalium iodida yang ditambahkan berlebih maka akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat (II). Alkaloid mengandung atom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan ion logam. Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Setyowati et al, 2014). Reaksi yang terjadi pada uji Mayer ditunjukkan pada gambar 2.4.
HgCl2 HgI2
+
+
2KI
HgI2
+
2KI
K2[ HgI2 ]
2KCl
Kalium tetraiodomerkurat (II)
Kalium-Alkaloid
oranye
endapan Gambar 2.4 Reaksi Alkaloid dengan pereaksi Mayer ( Setyowati et al, 2014)
9
Universitas Sumatera Utara
10
2.2.2 Flavonoid
Beberapa fungsi flavonoid yang terkandung pada tumbuhan ialah pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, kerja antimikroba dan antivirus. Efek flavonoid terhadap berbagai macam organisme sangat banyak macamnya dan dapat menjelaskan mengapa tumbuhan yang mengandung flavonoid dipakai dalam pengobatan tradisional. Flavonoid dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernapasan, juga sebagai senyawa pereduksi yang baik, menghambat banyak reaksi oksidasi, baik secara enzim maupun nonenzim. Flavonoid bertindak sebagai penampung yang baik radikal hidroksi dan superoksida dan melindungi membran lipid terhadap reaksi yang merusak ( Robinson, 1995). Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari C6 - C3 - C6. Artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 ( cincin benzene tersubstitusi ) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995). Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman, termasuk pada buah, tepung sari, dan akar. Flavonoid biasanya terdapat sebagai O-glikosida; pada senyawa tersebut satu gugus hidroksil flavonoid atau lebih terikat pada satu gula atau lebih dengan ikatan hemiasetal. Gula dapat juga terikat pada atom karbon flavonoid dan dalam hal ini gula tersebut terikat langsung pada inti benzene dengan suatu ikatan karbon-karbon yang tahan asam atau disebut C-glikosida (Markham, 1988). Kegunaan bagi tumbuhan yaitu untuk menarik serangga, yang membantu proses penyerbukan, untuk menarik perhatian binatang yang membantu penyebaran biji. Bagi manusia dosis kecil, flavon bekerja sebagai stimulant pada jantung, hisperidin mempengaruhi pemburuh darah kapiler, flavon terhidroksilasi bekerja sebagai diuretik dan sebagai antioksidan pada lemak ( Sirait, 2007).
10
Universitas Sumatera Utara
11
Identifikasi adanya senyawa flavonoid dapat dilihat dengan penambahan serbuk Mg dan HCl pekat, jika terbentuk larutan warna jingga maka positif mengandung flavonoida.reaksinya dapat ditunjukkan pada gambar 2.5
Gambar 2.5 Reaksi Flavonoid dengan Mg dan HCI ( Setyowati et al, 2014)
2.2.3 Terpenoid Terpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis, terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid ditemui tidak saja pada tumbuhan tingkat tinggi namun juga pada terumbu karang dan mikroba. Struktur terpenoiddibangun oleh molekul isoprene, CH2=C(CH3)-CH=CH2, kerangka terpenoid terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan unit isoprene (C5). Senyawa terpenoid berkisar dari senyawa yang volatile, yakni komponen minyak atsiri, yang merupakan mono dan sesquiterpen (C10 dan C15), senyawa yang kurang volatil, yakni diterpen (C20), sampai senyawa yang nonvolatile seperti triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen karotenoid. Baik pada tumbuhan ataupun hewan yang menjadi senyawa dasar untuk biosintesis terpenoid adalah isopentenil pirophosfat. Terpenoid mempunyai beberapa fungsi yang berbeda bagi tumbuhan itu sendiri, antara lain sebagai pengatur tumbuh; dua kelompok regulator pertumbuhan yang penting ialah seskuiterpenoid absisin dan diterpenoid giberelin.
11
Universitas Sumatera Utara
12
Karotenoid mempunyai peran penting sebagai senyawa warna tumbuhan dan hampir semua terpenoid C40 juga berperan sebagai pigmen biosintesis ( Sirait, 2007). Identifikasi adanya senyawa terpenoid dapat dilihat dengan penambahan CeSO41% dalam H2SO4 10%. Jika terbentuk endapan warna merah kecokelatan maka positif mengandung terpenoida. Reaksinya dapat ditunjukkan pada gambar 2.6
Gambar 2.6 Reaksi Terpenoid dengan pereaksi CeSO4 dalam H2SO4 10% ( Setyowati et al, 2014)
2.2.4 Saponin Saponin adalah glikosida yang setelah dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon) dan sapogenin (aglikon). Sapogenin merupakan derivate non gula dari system polisiklik. Selain itu saponin juga merupakan kelompok glikosida triterpenoid dan sterol yang telah terdeteksi lebih dari 90 famili tumbuhan dan banyak ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi. Senyawa aktif permukaan dari saponin bersifat sabun dan dideteksi berdasarkan kemampuan membentuk busa pada pengocokan dan memiliki rasa pahit yang mempunyai efek menurunkan tegangan permukaan sehingga merusak membran sel dan menginaktifkan enzim sel serta merusak protein sel. Kemampuan menurunkan tegangan permukaan ini disebabkan molekul saponin terdiri dari hidrofor dan hidrofil. Bagian hidrofob adala aglikonnya, bagian hidrofil adalah glikonnya. Rasanya pahit atau getir.
12
Universitas Sumatera Utara
13
Dapat mengiritasi membran mukosa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan kolesterol. Sebagian besar saponin bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air), sebagian kecil ada yang bereaksi basa. Aglikon dari saponin disebut sapogenin. Sapogenin sukar larut dalam air. Saponin dapat berupa senyawa yang mempunyai satu rantai gula atau dua rantai gula yang sebagian besar bercabang. Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada epitel hidung, bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan oleh saponin dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia. Dengan sifat ini lendir akan dilunakkan atau dicairkan. Saponin dapat mempertinggi resorpsi berbagai zat oleh aktivitas permukaan. Saponin juga dapat meregang partikel tak larut dan menjadikan partikel tersebut tersebar dan terbagi halus dalam larutan( Sirait, 2007) . Saponin telah dapat diaplikasikan secara industrial maupun secara komersial, seperti digunakan untuk soft drink, shampoo, pemadam kebakaran, sabun dan hormon steroid sintesis karena aglikonnya bersifat non polar. Aglikon pada saponin dikenal sebagai sapogenin sedangkan pada steroid sapogenin disebut saraponin (Widodo, 2005). Identifikasi adanya saponin menggunakan uji Forth, dengan terbentuknya busa stabil, menunjukkan adanya glikosida yang mempunyai kemampuan membentuk buih dalam air yang terhidrolisis menjadi glukosa dan senyawa lainnya dengan reaksi yang ditunjukkan pada gambar 2.5.
Gambar 2.7 Reaksi Hidrolisis Saponin dalam Air ( Setyowati et al, 2014)
13
Universitas Sumatera Utara
14
2.2.5 Tannin Tannin merupakan senyawa polifenolik dengan bobot molekul yang tinggi dan mempunyai kemampuan mengikat protein. Tannin terdiri dari katekin, leukoantosiannin dan asam hidroksi yang masing-masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Senyawa-senyawa yang dapat bereaksi dalam proses penyamakan kulit kemungkinan besar terdiri dari katekin dengan berat molekul yang sedang, sedangkan katekin dengan berat molekul yang rendah ditemukan pada buah-buahan dan sayuran. Tannin tidak dapat mengkristal dan berbentuk senyawa koloid. Tannin disebut juga asam tanat dan asam galotanat. Tannin mulai tidak berwarna sampai berwarna kuning atau coklat. Tannin terdiri dari dua kelompok, yaitu condensed tannin dan hydrolizable tannin. Kelompok condensed tannin merupakan tipe tannin yang terkondensasi, tahan terhadap degradasi enzim, tahan terhadap hidrolisa asam, dimetilai dengan penambahan metionin, sering kompleks susunannya dan banyak dijumpai dalam biji-bijian sorghum. Condensed tannin diperoleh dari kondensasi flavanol-flavanol seperti katekin dan epikatekin, tidak mengandung gula dan mengikat protein sangat kuat sehingga menjadi rusak (Widodo, 2005). Pengujian tannin dilakukan dengan penambahan FeCI3. Pada penambahan ini tannin akan bereaksi dengan ion Fe3+ membentuk senyawa kompleks. Reaksi uji tannin dapat ditunjukkan pada gambar 2.6.
Gambar 2.8 Reaksi Tannin dengan FeCI3 ( Setyowati et al, 2014) 14
Universitas Sumatera Utara
15
2.3 Ekstraksi Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati dan simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan. Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan penyari tertentu (Depkes RI, 2000). Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstraksi dengan senyawa pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat terlarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, begitu juga sebaliknya. Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selekstivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan dan harga (Harborne, 1987). Suatu metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : 1. Cara Dingin 1.1 Maserasi Maserasi berasal dari kata macerace yang artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes, 2000). Keuntungan dari metode maserasi adalah prosedur dan peralatannya sederhana, sedangkan kerugiannya adalah pelarut yang digunakan lebih banyak (Agoes, 2007). 1.2 Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap perendaman 15
Universitas Sumatera Utara
16
antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Harborne, 1987).
2. Cara Panas 2.1 Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet, setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi, demikian berulangulang (Depkes, 2000). 2.2 Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan terdestilasi menuju pendingin dan akan kembali ke labu (Depkes, 2000). 2.3 Infudasi Infudasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Depkes RI, 2000). 2.4 Dekoktasi Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000). 2.4
Antioksidan
Antioksidan adalah zat penghambat reaksi oksidasi akibat radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan asam lemak tak jenuh, membran dinding sel, pembuluh darah, basa DNA, dan jaringan lipid sehingga menimbulkan penyakit (Subeki,1998). Suatu tanaman memiliki aktivitas antioksidan apabila mengandung senyawaan yang mampu menangkal radikal bebas seperti fenol dan flavonoid. Menurut Hudson (1990) definisi antioksidan secara umum adalah suatu senyawa yang dapat memperlambat atau mencegah terjadinya proses oksidasi. Antioksidan dapat menghambat laju oksidasi bila bereaksi dengan radikal bebas.
16
Universitas Sumatera Utara
17
Secara alami beberapa jenis tumbuhan merupakan sumber antioksidan, hal ini dapat ditemukan pada beberapa jenis sayuran, buah-buahan segar, beberapa jenis tumbuhan
dan
rempah-rempah
(Dalimarta
dan
Soedibyo,1998).
Selain itu antioksidan juga dapat menetralisir radikal bebas sehingga atom dengan elektron yang tidak berpasangan mendapat pasangan elektron sehingga tidak reaktif lagi (Kosasih et al,2004). Tubuh manusia sebenarnya memproduksi beberapa jenis enzim antioksidan yaitu superperoksida dimutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Enzim –enzim antioksidan ini sangat ampuh menetralisir berbagai tipe penyakit yang muncul karena adanya serangan radikal bebas (Kosasih et al,2004). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu : 1. Antioksidan primer ( antioksidan endogen atau antioksidan enzimatis). Contohnya enzim Superoside Dismutase, katalase dan Glutation peroksidase. Enzim-enzim ini mampu menekan atau mengambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk lebih stabil. 2. Antioksidan
sekunder
(
antioksidan
eksogen
atau
antioksidan
nonenzimatis). Contoh antioksidan sekunder ialah Vitamin E, Vitamin C, β-karoten, isoflavon, asam urat, bilirubin, dan albumin. Senyawa-senyawa ini dikenal sebagai penangkap radikal bebas, kemudian mencegah amplifikasi radikal. 3. Antioksidan tersier, misalnya enzim DNA-repair, metionin sulfoksida reduktase, yang berperan dalam perbaikan biomolekul yang disebabkan oleh radikal bebas.
17
Universitas Sumatera Utara
18
Gambar 2.9. Mekanisme reaksi senyawa antioksidan dengan DPPH ( Bintang, 2010)
Berdasarkan mekanisme tersebut, maka dapat dikatakan bahwa senyawa antioksidan mempunyai sifat yang relatif stabil dalam bentuk radikalnya. Senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan dapat diprediksi dari golongan fenolat, flavonoid, dan alkaloid, yang merupakan senyawa polar. Aktivitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa atau ekstrak untuk menghambat reaksi oksidasi yang dapat dinyatakan dengan persen penghambatan. Parameter yang dipakai untuk menunjukkan aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi efesien atau efficient concentration 50 (EC50) atau inhibition concentration ( IC50), yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal (Bintang, 2010).
18
Universitas Sumatera Utara
19
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat reaktif karena kehilangan satu atau lebih elektron yang bermuatan listrik, dan untuk
mengembalikan
keseimbangannya
maka
radikal
bebas
berusaha
mendapatkan elektron dari molekul lain atau melepas elektron yang tidak berpasangan tersebut. Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat berbahaya karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein dan jaringan lemak. Radikal bebas terbentuk di dalam tubuh akibat produk sampingan proses metabolisme ataupun karena tubuh terpapar radikal bebas melalui pernapasan (Dalimartha dan Soedibyo, 1998). Radikal bebas adalah atom atau molekul dengan susunan elektron tidak lengkap atau tidak berpasangan sehingga bersifat tidak stabil dan kecenderungan kuat untuk berpasangan. Radikal bebas bertedensi kuat memperoleh elektron dari atom lain,sehingga atom lain yang kekurangan satu elektron ini menjadi radikal bebas pula yang disebut radikal bebas sekunder. Proses ini akan berlangsung secara berantai dan menyebabkan kerusakan biologis. Radikal bebas dapat terbentuk akibat hilangnya maupun penambahan elektron di lintasannya pada saat terputusnya
ikatan
kovalen
atom
dan
molekul
bersangkutan
sehingga
menyebabkan instabilitas dan bersifat sangat reaktif. Susunan elektron yang tidak lengkap menyebabkan atom atau molekul sangat terpengaruh oleh medan magnet. Energi
untuk
memutuskan
ikatan
kovalen
berasal
dari
panas,radiasi
elektromagnetk atau reaksi redoks berlebihan. Hilang atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain menyebabkan terjadinya radikal bebas baru dan mengakibatkan perubahan dramatis secara fisik dan kimiawi pada tubuh manusia. Mula-mula dirangsang (initiation) terjadinya radikal bebas,kemudian radikal bebas cenderung bertambah banyak membentuk (propagasi) rantai bereaksi dengan molekul lain. Senyawa bereaksi berantai ini mempunyai masa paruh yang lebih panjang dan potensial menyebabkan kerusakan sel. Fase inisiasi dan propagasi dapat dinetralisir oleh antioksidan yang berasal dari endogen maupun eksogen (Kosasih et al,2004).
19
Universitas Sumatera Utara
20
Ketika radikal bebas menempel pada molekul yang berpasangan, yang dilakukan hanyalah merusak DNA sel-sel molekul tersebut untuk membentuk keseimbangan elektron agar proses metabolisme tubuh berjalan normal. Tetapi ketika dua radikal bebas yang mencari pasangan bertemu, mereka akan menciptakan hubungan yang stabil.
Pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu CUPRAC, DPPH, dan FRAP : 1. Metode CUPRAC (cupric ion reducing antioxidant capacity) Prinsip dari uji CUPRAC (Cupric Ion Reducing Antioxidant Capasity) adalah pembentukan kelat oleh bis (neukropin) besi(II) menggunakan pereaksi redoks kromogenik pada pH 7. Absorbansi dari pembentukan kelat Cu(I) merupakan hasil reaksi redoks dengan mereduksi polifenol yang diukur pada panjang gelombang 450 nm. Untuk spektrum Cu(I) Ne diperoleh dengan mereaksikan asam askorbat berbagai konsentrasi reagen, pH dan waktu oksidasi pada suhu kamar dan peningkatan suhu pada percobaan dapat berasal dari sumber lain. Metode CUPRAC menggunakan bis (neokuproin) tembaga (II) (Cu(Nc)22+ sebagai pereaksi kromogenik. Pereaksi Cu(Nc)
2+ 2
yang berwarna biru akan
2+
mengalami reduksi menjadi Cu(Nc) yang berwarna kuning dengan reaksi: nCu(Nc)2 2+ +AR(OH)n → nCu(Nc)2+ +AR(=O)n + nH+ Kelebihan dari metode CUPRAC adalah pereaksi yang digunakan cukup cepat bekerja, selektif, lebih stabil, mudah didapatkan dan mudah untuk diaplikasikan (Erawati, 2002).
2. Metode DPPH (2,2-difenil-1- pikrilhidrazil) Menggunakan 2,2 difenil-1- pikrilhidrazil sebagai sumber radikal bebas. Prinsipnya adalah reaksi penangkapan hidrogen oleh DPPH dari zat antioksidan. (Apak et al., 2007). Metode DPPH merupakan senyawa radikal nitrogen. DPPH akan mengambil atom hidrogen yang terdapat dalam suatu senyawa, misalnya senyawaan fenol. Mekanisme terjadinya reaksi DPPH ini berlangsung melalui transfer elektron. DPPH menggunakan pelarut metanol sehingga kemungkinan senyawa
20
Universitas Sumatera Utara
21
hidrofilik yang terekstrak dalam metanol lebih banyak dibandingkan dalam pelarut etanol. Metode DPPH ini mudah digunakan, cepat, cukup teliti dan baik digunakan dalam pelarut organik, khususnya alkohol. Metode ini juga sensitif untuk menguji aktivitas antioksidan dalam ekstrak tanaman (Widyastuti, 2010).
Gambar 2.10. Reaksi antara antioksidan (flavonoid) dengan radikal DPPH ( Molyneux, 2004)
3. Metode FRAP (ferric reducing antioxidant power) Metode FRAP menggunakan Fe(TPTZ)23+ kompleks besi-ligan 2,4,6tripiridil-triazin sebagai pereaksi. Kompleks biru Fe(TPTZ)23+ akan berfungsi sebagai zat pengoksidasi dan akan mengalami reduksi menjadi Fe(TPTZ) 22+ yang berwarna kuning dengan reaksi berikut:
21
Universitas Sumatera Utara
22
Fe(TPTZ)23+
+
AROH → Fe(TPTZ)22+
+
H+
+
AR=O
Pengujian antiradikal bebas senyawa-senyawa bahan alam atau hasil sintesis secara UV-Tampak dapat dilakukan secara kimia menggunakan DPPH (difenilpikril hidrazil). DPPH berfungsi sebagai senyawa radikal bebas stabil yang ditetapkan secara spektrofotometri melalui persen peredaman absorbansi. Peredaman warna ungu merah pada panjang gelombang (λ) 517 nm dikaitkan dengan kemampuan metabolit sekunder sebagai antiradikal bebas. Kereaktifan dari golongan senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai antiradikal bebas ditentukan adanya gugus fungsi –OH (hidroksil) bebas dan ikatan rangkap karbon-karbon seperti flavon,flavanon,skualen,tokoferol,βkaroten,Vitamin C dan lain-lain (Widyastuti, 2010).
2.5 Bakteri Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata, tetapi dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Ukuran bakteri berkisar antara panjang 0,5 sampai 10µ dan lebar 0,5 sampai 2,5µ (µ = 1 mikron = 0,001mm) tergantung dari jenisnya. Bakteri terdapat secara luas dilingkungan alam yang berhubungan dangan hewan,udara,air dan tanah. Bakteri berkembang biak secara aseksual yaitu dengan proses pembelahan diri menjadi dua (Buckle, 2007). Mikroorganisme memang peranan penting dalam menganalisis sistem enzim dan dalam mengalisis komposisi suatu makanan. Bakteri merupakan organisme yang sangat kecil (berukuran mikroskopis). Bakteri rata-rata berukuran lebar 0,5 – 1 mikron dan panjang hingga 10 mikron (1 mikron -
mm). Untuk
melihat bakteri dengan jelas, tubuhnya perlu diisi dengan zat warna, pewarna ini disebut pengecatan bakteri. Cat yang umum dipakai adalah cat Gram. Diantara bermacam-macam bakteri yang dicat,ada yang dapat menahan zat warna ungu dalam tubuhnya meskipun telah didekolorisasi dengan alkohol dan aseton. Dengan demikian tubuh bakteri itu tetap berwarna ungu meskipun disertai dengan pengecatan oleh zat warna kontras, warna ungu itu tetap dipertahankan. Bakteri yang memberikan reaksi semacam ini dinamakn bakteri Gram positif. Sebaliknya, bakteri yang tidak dapat menahan zat warna setelah didekolorisasi dengan alkohol akan kembali menjadi tidak berwarna dan bila diberikan pengecatan dengan zat
22
Universitas Sumatera Utara
23
warna kontras, akan berwarna sesuai dengan zat warna kontras. Bakteri yang memperlihatkan reaksi semacam ini dinamakan bakteri Gram negatif (Irianto, 2006). Kelompok mikroorganisme yang paling penting dan beraneka ragam, yang berhubungan dengan makanan dan manusia adalah bakteri. Adanya bakteri dalam bahan pangan dapat mengakibatkan pembusukan yang tidak diinginkan atau menimbulkan penyakit yang ditularkan melalui makanan. Bakteri adalah mikroorganisme
bersel
tunggal
yang
tidak
terlihat
oleh
mata
(Buckle, 2007). Berdasarkan perbedaan respons terhadap prosedur pewarnaan gram dan strktur dinding bakteri, bakteri diklasifikasikan menjadi bakteri gram negatif dan bakteri gram positif.
2.5.1 Bakteri gram positif
Bakteri gram positif lebih sensitif terhadap penisilin, tetapi lebih tahan terhadap perlakuan fisik dibandingkan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif sering berubah sifat pewarnaannya sehingga menunjukkan reaksi gram variabel. Sebagai contoh, kultur gram positif yang sudah tua dapat kehilangan kemampuannya untuk menyerap pewarna violet kristal sehingga dapat berwarna merah seperti bakteri gram negatif. Perubahan tersebut dapat juga disebabkan oleh perubahan kondisi lingkungan atau modifikasi teknik pewarnaan (Fardiaz, 1992).
Contoh dari bakteri gram positif : Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif
berbentuk bulat
berdiameter 0,7-1,2 µm,tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur,fakultatif anaerob,tidak membentuk spora,dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ̊C,tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ̊C) (Jawetz et al,1994).
23
Universitas Sumatera Utara
24
Gambar 2.11. Bakteri Staphylococcus aureus
2.5.2 Bakteri gram negatif Bakteri gram negatif lebih sensitif terhadap antibiotik lainnya seperti streptomisin dan bersifat lebih konstan terhadap reaksi pewarnaan (Fardiaz, 1992). Dinding sel bakteri gram negatif tersusun atas satu lapisan peptidoglikan dan membran luar. Dinding selnya tidak mengandung teichoic acid. Membran luar terususun atas lipopolisakarida, lipoprotein dan pospolipid (Tortora, 2001).
Contoh bakteri gram negatif : Escherichia berbatang pendek. Habitat utamanya adalah usus manusia dan hewan. Escherichia coli dipakai sebagai organisme indikator, karena jika terdapat dalam jumlah yang banyak menunjukkan bahwa pangan atau air telah mengalami pencemaran (Gaman, 1992).
Gambar 2.12. Bakteri Escherichia coli
24
Universitas Sumatera Utara
25
Untuk mencegah pencemaran ini dapat digunakan senyawa golongan polifenol dimana senyawa ini mampu untuk membentuk kompleks larut dengan protein, mengganggu pemanfaatan protein, efek ini dapat diwujudkan dalam penurunan laju pertumbuhan dan / atau konversi pakan, serta produksi telur yang lebih rendah. Polifenol dikenal untuk mengikat protein dalam bir, anggur dan jus buah, yang mengakibatkan kekeruhan yang tidak diinginkan dan koloid kabut. Fenol teroksidasi dapat bereaksi dengan asam amino dan protein dan menghambat aktivitas enzim seperti tripsin dan lipase. Tanin, yang merupakan polimer dari senyawa fenolik, telah diteliti untuk interaksi dengan protein, banyak penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tannin-protein, seperti pH, suhu,
struktur
fenolik,
ukuran
protein,
dan
komposisi
asam
amino.
(Viljanen, 2005). Salah-satu contoh reaksi antara protein lisin dengan polifenol ditunjukkan oleh reaksi berikut.
Gambar 2.13. Reaksi antara protein Lisin dengan polifenol (Viljanen, 2005).
2.5
Spektrofotometer UV-VIS
Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam
25
Universitas Sumatera Utara
26
larutan. Spektrum UV-Vis mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bias ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Hukum Lambert-beer adalah hubungan linearitas antara absorban dengan konsentrasi larutan analit. Hukum Lambert-beer dapat ditulis dengan : A= ɛ.b.C
A = absorban (serapan) ɛ = koefisien ekstingsi molar ( M-1cm-1) b = tebal kuvet (cm) C = konsentrasi (M) ɛ=A/ b.C
Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm. Sebagai sumber cahaya biasanya digunakan lampu hidrogen atau deuterium untuk pengukuran uv dan lampu tungsten untuk pengukuran pada cahaya tampak. Panjang gelombang dari sumber cahaya akan dibagi oleh pemisah panjang gelombang seperti prisma atau monokromator. Spektrum didapatkan dengan cara scanning oleh wavelength separator sedangkan pengukuran kuantitatif bisa dibuat dari spektrum atau pada panjang gelombang tertentu (Dachriyanus, 2002).
26
Universitas Sumatera Utara