BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Estuari Estuari merupakan teluk di pesisir yang sebagian tertutup, tempat air tawar dan air laut bertemu dan bercampur. Kebanyakan estuari didominasi oleh substrat berlumpur. Substrat berlumpur ini merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Di antara partikel yang mengendap di estuari kebanyakan bersifat organik. Bahan ini menjadi cadangan makanan yang besar bagi organisme estuari (Dahuri et al., 1996). Keberadaan substrat berlumpur di estuari dapat mempengaruhi tingkat kekeruhan perairan yang berakibat adanya variasi produktivitas fitoplankton (Cloern, 1989). Estuari merupakan daerah yang mempunyai sejumlah besar bahan organik, sejumlah besar organisme, dan produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer di sekitar estuari, kenyataannya bukan sumber bahan organik satu-satunya. Estuari bertindak sebagai tempat penimbunan bahan-bahan organik yang di bawa oleh sungai atau dibawa masuk dari laut. Sukar untuk memperkirakan peranan produktivitas primer dalam sistem estuari pada sumbangannya terhadap produksi organik total karena beberapa alasan. Pertama hanya sedikit herbivora yang langsung makan tumbuhan. Oleh karena itu, kebanyakan bahan tumbuhan harus dihancurkan dulu menjadi detritus sebelum memasuki berbagai jaringan makanan. Proses penguraian
Universitas Sumatera Utara
ini melibatkan kerja bakteri. Begitu pula bahan tumbuhan menjadi detritus, tidak mudah membedakannya dari detritus organik lainnya yang dibawa ke dalam sistem tersebut dari sungai dan laut (Nybakken, 1992). Jumlah organisme yang menghuni estuari jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, terutama fluktuasi salinitas yang sangat besar sehingga hanya beberapa spesies saja yang mampu bertahan hidup di estuari. Selain miskin dalam jumlah organisme, estuari juga miskin flora. Perairan estuari sangat keruh sehingga tumbuhan mencuat saja yang dapat tumbuh (Dahuri et al., 1996). Walaupun tingkat nutrien di estuari tinggi, keadaannya tidak seimbang, nitrogen sering kali rendah dan bahkan dapat menjadi faktor pembatas bagi fitoplankton di estuari. Populasi fitoplankton yang rendah biasanya terjadi pada akhir musim gugur dan musim dingin karena berkurangnya cahaya dan kekeruhan yang tinggi, sebagai akibat besarnya debit air sungai dan turbulensi. Hal ini diikuti juga oleh pertumbuhan diatoma yang pesat pada akhir musim dingin. Pertumbuhan yang pesat ini
berhenti pada akhir musim semi, seringkali bukan karena dimakan
zooplankton tetapi karena berkurangnya sumber nitrogen dan menyebabkan penumpukan diatom diatas permukaan lumpur (Nybakken, 1992). Rendahnya produktifitas primer di kolom air, sedikit herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus secara nyata menunjukkan bahwa jaring-jaring makanan pada ekosistem estuari merupakan rantai makanan detritus. Detritus
Universitas Sumatera Utara
membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan alga, yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi binatang pemakan suspensi dan detritus (Dahuri et al., 1996).
2.2 Produksivitas Primer Adanya kehidupan di bumi berpangkal pada kemampuan tumbuhan hijau dalam menggunakan energi cahaya matahari untuk mensintesis molekul-molekul organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Proses ini ialah fotosintesis yang mempunyai persamaan umum. 6CO2 + 6H2O
C2H12O6 + 6O2
Pangkal semua kehidupan di dalam laut berupa aktivitas fotosintetik tumbuhan akuatik. Namun kondisi-kondisi kimia dan fisik tertentu mengakibatkan terdapatnya perbedaan-perbedaan besar dalam bentuk tumbuhan dan lokasi, serta tingkat aktivitas fotosintetik maksimum di laut (Nybakken, 1992). Jadi jumlah seluruh bahan organik yang terbentuk dalam proses fotosintesis dinamakan produksi primer kotor, atau produksi total. Karena sebagian dari produksi total ini digunakan tumbuhan untuk kelangsungan proses-proses hidup, yang secara kolektif disebut respirasi, tinggal sebagian dari produksi total yang tersedia bagi pemindahan atau pemanfaatan oleh organisme lain. Produksi primer bersih adalah istilah yang digunakan bagi jumlah sisa produksi primer kotor setelah sebagian digunakan tumbuhan untuk respirasi. Produksi primer bersih ini yang tersedia bagi tingkatan-
Universitas Sumatera Utara
tingkatan trofik, Odum (1971) menyatakan bahwa produktivitas yang tinggi di daerah estuari disebabkan oleh estuari adalah perangkap nutrien, secara fisika dan biologi. Daur ulang nutrien yang sangat cepat oleh aktivitas mikroba, bentos, dan hewan penggali menciptakan semacam sistim penyuburan sendiri. Namun kecenderungan alami ini menyebabkan estuari rentan terhadap polusi, karena polutan akan terperangkap termasuk nutrien-nutrien yang bermanfaat. Perangkap nutrien secara fisika terkait gerakan pasang surut. 1. Estuari memiliki keanekaragaman jenis produser yang dapat berfotosintesis. Banyak estuari yang ditemukan memiliki semua tiga tipe produser yang ada di dunia, yaitu makrofita (rumput laut, lamun, dan rumput gambut/marsh grass), mikrofita dasar, dan fitoplankton. 2. Peran pasang surut dalam menciptakan sebuah ekosistim dengan tinggi muka air yang berfluktuasi. Pada umumnya, semakin besar amplitudo pasang maka semakin besar potensi produksi, jika arus yang terjadi tidak terlalu abrasif. Goldman dan Home (1983) menyatakan air yang dangkal dan lumpur yang dengan mudah terpapar cahaya matahari saat surut, dapat meningkatkan daur ulang nutrien melalui dekomposisi oleh bakteri dan dapat mempercepat pertumbuhan hewan bentik.
2.3 Klorofil a Proses fotosintesis berlangsung dalam kloroplas, suatu organel yang terdapat di dalam sel tumbuhan hijau. Kloroplas memiliki membran atau pembungkus
Universitas Sumatera Utara
mengelilingi suatu ruas pusat yang besar yang dinamai stroma. Stroma mengandung beberapa banyak enzim larut yang berbeda yang berfungsi untuk menggabungkan sebagian organik. Di dalam stroma, membran juga membentuk granum. Setiap granum terdiri dari satu timbunan kantung atau ceper yang dinamai tilakoid. Granum dihubungkan antara satu sama lain oleh lamella stroma. Klorofil ada pada membran granum, dan menjadikannya sistem penyimpanan energi bagi kloroplas. Setiap tilakoid berbentuk seperti kantung. Pergerakan ion-ion dari ruang ini melintasi membran tilakoid dipercaya penting dalam proses sintesis. Klorofil tidak menyerap panjang gelombang cahaya dengan banyak. Karena itu, cahaya ini dipantulkan ke mata dan kita melihat klorofil sebagai suatu pigmen hijau (Mader, 1995). Dari hasil penelitian diketahui bahwa klorofil a memainkan peranan penting pada fotosistem I dan II (dahulu disebut fotoreaksi gelombang pendek dan gelombang panjang). Pada tahun 1957, Bessel Kok menemukan adanya klorofil a khusus yang dinamakan P700 dan menurut pendapatnya bahwa P700 adalah pusat reaksi klorofil a fotosintesis. Selanjutnya diperkirakan keberadaan klorofil a khusus lainnya berada di pusat reaksi lainnya, yakni pusat reaksi P680 dari sistem gelombang pendek. Klorofil a tidak hanya berperan dalam cahaya permanen dan pengubahan energi cahaya menjadi energi kimia, juga bertindak sebagai penyumbang elektron utama (P680, P700), maupun penerima elektron utama. Feofitin berasal dari klorofil, dengan penggantian Mg dengan H+ di pusat struktur kimia klorofil (Salisbury dan Ross, 1995). Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Sediadi dan Edward (2003), terdapat perbedaan kandungan klorofi a pada perairan laut, keadaan ini berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
kondisi masing-masing perairan dan proses percampuran air dari bawah ke atas (upwelling) di laut.
2.4 Fitoplankton Plankton merupakan organisma yang berukuran sangat renik yang hidup melayang-layang dalam air dan memiliki kemampuan gerak yang sangat lemah sehingga perpindahannya sangat dipengaruhi oleh pergerakan massa air. Plankton yang berukuran mikroskopis meliputi tumbuhan dan hewan. Golongan dari tumbuhan disebut fitoplankton dan dari hewan disebut zooplankton (Odum, 1971; Nybakken, 1992). Pengelompokan plankton biasanya didasarkan pada ukuran (net dan net-net plankton), habitat (haliplankton dan limnoplankton) dan daur hidup (holoplankton dan meroplankton). Berdasarkan ukurannya, Levinton (1982) dan Nybakken (1992) mengelompokkan plankton atas ultraplankton (<2 µm), nanoplankton (2-20 μm), mikroplankton (20-200 μm), makroplankton (0,2-2 mm), dan megaplankton (>2 mm). Menurut Levinton (1982), komponen-komponen fitoplankton terutama terdiri dari Diatom (kelas Bacillariophyceae), Dinoflagellata, Cocolithopore dan alga coklat emas lainnya (kelas Heptophyceae), blue green alga (kelas Cyanophyceae disebut juga Cyanobacteria), alga hijau (kelas Chlorophyceae) dan Flagellata Cryptomonas (kelas Cryptophyceae). Masing-masing komponen tersebut memiliki ukuran tubuh serta bentuk-bentuk sel yang berbeda dan menyumbangkan komposisi yang bervariasi
Universitas Sumatera Utara
pula terhadap struktur komunitas fitoplankton, serta kehadirannya dapat mencirikan kondisi lingkungan tertentu. Kennish (1992) menyatakan bahwa diatom (kelas Bacillariophyceae), dinoflagellata (kelas Dinophyceae), cocolitthopor (kelas Prymnesiophyceae), silicoflagellata (kelas Chrysophyceae), dan blue-green (kelas Cyanophyceae) adalah taksa utama dari produser planktonik di laut. Organisme autotrof ini mempunyai peranan penting di laut karena melakukan paling sedikit 90% fotosintesis di laut. Oleh karena laut menutupi 72% permukaan bumi, fitoplankton merupakan produser primer yang paling penting. Menurut Kennish (1992), Mallin (1994), dan Thoha (2003), fluktuasi kondisi lingkungan estuari seperti salinitas, musim dan zat makanan menyebabkan fitoplankton membelah dengan laju yang bervariasi, akibatnya produktivitas primer berbeda dari satu wilayah geografi dengan wilayah geografi lainnya, serta berbeda menurut musim di wilayah geografi yang sama. Faktor alam dan antropogenik dapat mengatur faktor lingkungan yang akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan suksesi fitoplankton di estuari (Kepel et al., 1999). Hubungan antara keragaman fitoplankton dan faktor kualitas air memperlihatkan bahwa keragaman fitoplankton memiliki keterkaitan dengan alkalinitas dan bahan organik terlarut (BOT) (Pirzan dan Petrus 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.5 Faktor Fisik Kimia Perairan Menurut Nybakken (1992), sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik seperti plankton, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisma dengan faktor-faktor abiotiknya maka diperoleh gambaran tentang kualitas suatu perairan (Barus, 2004). Parsons et al. (1984), menjelaskan bahwa distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, seperti nutrien, cahaya, suhu, salinitas, oksigen dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan jenis plankton di suatu lingkungan tertentu. Faktor abiotik (fisika kimia) perairan yang mempengaruhi produktivitas primer antara lain: a. Suhu Cahaya matahari merembes sampai pada kedalaman tertentu pada semua perairan, sehingga permukaan air hangat (agak panas). Air yang hangat kurang padat dibanding air yang dingin, sehingga lapisan air yang dingin disebut epilimnion dan lapisan air yang hangat disebut hipolimnion. Pemisah dari kedua lapisan tersebut dinamakan metalimnion dan diantara kedua lapisan tersebut terjadi peningkatan suhu yang tajam yang disebut termoklin (Whitten et al., 1987). Dalam setiap penelitian dalam ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik
Universitas Sumatera Utara
sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut Hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar 10oC (hanya pada kisaran suhu yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi (Brehm dan Maijering 1990 dalam Barus, 2004). Menurut Nontji (1984), suhu air permukaan di Perairan Nusantara umumnya berkisar pada 23-31°C. Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan yang lebih hangat karena mendapat radiasi matahari siang pada siang hari. Oleh karena kerja angin, maka lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 m dapat terjadi pengadukan, akibatnya di lapisan kedalaman 50-70 m terdapat suhu hangat yang homogen (sekitar 28°C). Di perairan dangkal lapisan homogen ini dapat berlanjut sampai ke dasar. Suhu di permukaan dipengaruhi oleh kondisi metereologi. Faktorfaktor metereologi yang berperan disini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban, udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman.
b. Penetrasi Cahaya Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini sangat penting kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi cahaya ini
Universitas Sumatera Utara
dapat diidentikkan dengan kedalaman air yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai fotosintesis ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton di suatu perairan (Suin, 2002). Menurut Haerlina (1987), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas bagi organisme fotosintetik (fitoplankton). Penetrasi cahaya mempengaruhi migrasi vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu. Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Hal ini berarti bahwa fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara lain absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik, dan musim (Nybakken, 1992). Dengan demikian kedalaman yang dapat dicapai oleh cahaya dengan intensitas tertentu merupakan fungsi dari kecerahan air dan absorpsi dari berbagai panjang gelombang yang merupakan komponen cahaya. Karena absorpsi cahaya oleh air bersifat konstan, perbedaan kedalaman efektif yang dapat dicapai oleh cahaya terutama disebabkan oleh perbedaan dalam kadar partikel-partikel yang tersuspensi dalam air. Dalam perairan yang banyak mengandung partikel, seperti dalam perairan pesisir, kedalaman penetrasi cahaya dapat sangat berkurang dan hanya beberapa meter
dari
permukaan,
besarnya
intensitas
sudah
tidak
mencukupi
bagi
Universitas Sumatera Utara
berlangsungnya fotosintesis. Sebaliknya, di wilayah tropik, dalam laut yang cerah yang tidak banyak mengandung partikel, intensitas cahaya di kedalaman 100-120 m mungkin masih besar bagi berlangsungnya fotosintesis. Menurut Levinton (1982), intensitas cahaya umumnya sangat tinggi dekat permukaan sehingga fotosintesis dapat terhambat melalui pemutihan (bleaching) pigmen fotosintesis seperti klorofil a, atau produksi pigmen penangkap sinar matahari lainnya. fotosintesis fitoplankton menggunakan klorofil a, b, c, dan berbagai variasi accesory pigmen seperti fucoxantin dan peridinin, untuk menggunakan secara maksimal semua radiasi cahaya dalam spectrum cahaya tampak. Dalam penggunaan panjang gelombang 400-700 nm, cahaya yang diserap oleh pigmen fitoplankton dapat dibagi atas (a) cahaya dengan panjang gelombang lebih besar dari 600 nm, diserap terutama oleh klorofil, dan (b) cahaya dengan panjang gelombang kurang dari 600 nm, diserap terutama oleh accessory pigmen. Kelompok-kelompok fitoplankton akan merespon secara berbeda terhadap jumlah intensitas cahaya matahari yang tiba. Respon ini kemudian mengelompokkan fitoplankton yang senang cahaya sun type dan yang kurang senang dengan cahaya shade type. Tipe sun memiliki nilai fotosintesis yang tinggi pada intensitas cahaya yang juga tinggi. Yang tergolong tipe shade, akan beradaptasi dengan baik pada intensitas cahaya rendah, dan menghasilkan nilai fotosintesis yang tinggi pada intensitas cahaya rendah (Parsons et al., 1984). Penelitian Tambaru (2000) mendapatkan hubungan nilai produktivitas primer fitoplankton (mgC/m3/jam) dan intensitas matahari (lux) terhadap kedalaman perairan
Universitas Sumatera Utara
Teluk Harun Lampung, yang menunjukkan inhibitor dengan nilai rata-rata produktivitas primer fitoplankton yang optimal 36,97 - 38,81 (mgC/m3/jam) dengan intensitas 30671 - 55213 (lux) pada kedalaman 5 - 10 m. Intensitas cahaya yang memasuki lapisan perairan menurun sejalan dengan penambahan kedalaman dengan kata lain cahaya mengalami peredupan. Hasil pengukuran intensitas cahaya pada tiap meter kedalaman menujukkan nilai peredupan bervariasi. Hal ini menujukkan terdapatnya bahan-bahan tersuspensi yang berbeda pada tiap kedalaman (Sunarto et al., 2004).
c. Salinitas Salinitas merupakan salah satu parameter perairan yang berpengaruh pada fitoplankton. Variasi salinitas mempengaruhi laju fotosintesis, terutama di daerah estuari khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa bertahan pada batas-batas salinitas yang kecil atau stenohalin. Nontji (1984) menyatakan bahwa meskipun salinitas mempengaruhi produktivitas individu fitoplankton namun peranannya tidak begitu besar, tetapi di perairan pantai peranan salinitas mungkin lebih menentukan terjadinya suksesi jenis pada produktivitas secara keseluruhan. Karena salinitas bersama-sama dengan suhu menentukan densitas air, maka salinitas ikut pula mempengaruhi pengambangan dan penenggelaman fitoplankton.
Universitas Sumatera Utara
d. pH Organisma akuatik dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH yang netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. pH yang ideal bagi kehidupan organisma akuatik pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan kelangsungan hidup organisma karena menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Di samping itu pH yang sangat rendah menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya mengancam kelangsungan organisma akuatik. Sementara pH yang tinggi menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu. Kenaikan pH di atas netral meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organism (Barus, 2004). Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas pH atau dengan pH meter. Pengukurannya tidak begitu berbeda dengan pengukuran pH tanah. Yang perlu diperhatikan dalam pengukuran pH air adalah cara pengambilan sampelnya harus benar sehingga pH yang diperoleh benar (Suin, 2002). Nilai pH air yang normal adalah netral yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya oleh limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahnnya sebelum dibuang (Kristanto, 2002).
Universitas Sumatera Utara
e. Oksigen Terlarut (DO = Disolved Oxygen) Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh faktor suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat di dalam air terdapat pada suhu 0oC, yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Dengan terjadinya peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004). Menurut Effendi (2004), oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil. Semakin tinggi suatu tempat dari permukaan air laut, tekanan atmosfer semakin rendah. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air. Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (sekitar 35%) dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Difusi oksigen kedalam air dapat terjadi secara langsung pada kondisi air diam/ stagnan (Yin et al., 2004).
Universitas Sumatera Utara
f. BOD (Biochemical Oxygen Demand) Nilai
BOD menyatakan
jumlah
oksigen
yang
dibutuhkan
oleh
mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperatur 20oC. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari, jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 (lima) hari yang disebut BOD5 (Barus, 2004). BOD (Biochemical Oxygen Demand) adalah kebutuhan oksigen yang dibutuhkan oleh organisma dalam lingkungan air untuk menguraikan senyawa organik. Proses penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisma di dalam lingkungan air merupakan proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardhana, 1995).
g. Kandungan Nitrat dan Fosfat Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedia bahan nutrisi yang paling penting adalah nitrat dan fosfat (Nybakken, 1992). Nutrien sangat dibutuhkan oleh fitoplankton dalam perkembangannya dalam jumlah besar maupun dalam jumlah yang relatif kecil. Setiap unsur hara mempunyai fungsi
Universitas Sumatera Utara
khusus pada pertumbuhan dan kepadatan tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur N, P, dan S penting untuk pembentukan protein dan K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Fe dan Na berperan dalam pembentukan klorofil, sedangkan Si dan Ca merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel dan cangkang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Bahan nutrisi merupakan salah satu faktor yang mengontrol perkembangan dari fitoplankton yang berperan sebagai makanan utama dari sumber daya biologi Keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh buangan yang berasal dari industri, bahan peledak, piroteknik dan pemupukan. Secara alamiah kadar nitrat biasanya rendah namun kadar nitrat dapat menjadi tinggi sekali dalam air tanah di daerah yang diberi pupuk yang diberi nitrat/nitrogen (Alaerts dan Santika, 1984). Fosfat merupakan unsur yang sangat esensial sebagai nutrien bagi berbagai organisma akuatik. Fosfat merupakan unsur yang penting dalam aktivitas pertukaran energi dari organisme yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga fosfat berperan sebagai faktor pembatas bagi pertumbuhan organisma. Peningkatan konsentrasi fosfat dalam suatu ekosistem perairan akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air lainnya secara cepat. Peningkatan fosfat akan menyebabkan timbulnya proses eutrofikasi di suatu ekosistem perairan yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut, diikuti dengan timbulnya kondisi anaerob yang menghasilkan berbagai senyawa toksik misalnya methan, nitrit dan belerang (Barus, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Karbon, oksigen dan hidrogen dibutuhkan dalam jumlah paling besar karena nutrien ini merupakan komponen penting dalam senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein, tetapi untuk elemen-elemen ini dapat diperoleh dengan mudah dari H2O (untuk hidrogen) dan CO2 (untuk karbon dan oksigen). Pada perairan laut CO2 terdapat dalam keadaan berlimpah. Zat anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembangbiak adalah nitrogen dan fosfor. Disamping itu, silikat juga merupakan salah satu hara yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan organisme laut (Nybakken, 1992). Kelimpahan komunitas fitoplankton di laut sangat berhubungan dengan kandungan nutrien seperti fosfat, nitrat, silikat, dan hara lainnya. Kandungan nutrien dapat mempengaruhi kelimpahan fitoplankton dan sebaliknya fitoplankton yang padat dapat menurunkan kandungan nutrien dalam air. Perubahan komposisi fitoplankton selanjutnya dapat mempengaruhi komposisi zooplankton dan komunitas plankton secara keseluruhan dalam suatu ekosistim (Prescott, 1970).
Universitas Sumatera Utara