11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Muara Sungai M w a sungai adalah perairan di pantai dimana air tawar dan air laut bertemu. Hal ini menunjukkan adanya hubungan bebas antara laut dan surnber air tawar.
Di muara, air sungai dan air laut bercampur membentuk suatu
ekosistem yang unik dan kompleks. Muara sungai menerima bahan hasil pelapukan batuan berupa lumpur yang kaya akan material anorganik maupun organik yang mengalami pembusukan dari hewan atau tumbuhan dari daerah sekitarnya dalam bentuk terlarut maupun partikel tersuspensi dan juga erosi oleh arus dan pasang surut air laut (Nybakken, 1992; Sumich, 1992) Muara sungai merupakan salah satu tempat yang produktivitasnya tinggi di permukaan bumi ini. Muara sungai berperan sebagai daerah reproduksi dan pemeliharaan bagi berbagai jenis ikan. Tidak hanya bagi ikan, juga merupakan habitat organisme bentik danplanktonik yang penting. Karena kepadatan populasi flora dan faunanya yang tinggi, dampak yang ditimbulkan oleh manusia terhadap lingkungan muara sungai cenderung lebih nyata dibandingkan dengan habitathabitat lainnya (Kennish, 1984). Salah satu faktor dorninan yang mengontrol lingkungan muara sungai adalah pasang surut. Pasang surut adalah naik turunnya permukaan air laut secara periodik dalam interval waktu tertentu. Pasang surut menyebabkan salinitas m w a selalu berfluktuasi. Pasang surut juga berpengaruh terhadap substrat, suhu, kecepatan arus, kekeruhan dan oksigen terlarut (Nybakken, 1992).
2.2.
Kualitas Fisika-Kimiawi Perairan. Kualitas air yang meliputi faktor fisika-kimiawi berpengaruh terhadap
kehidupan organisme perairan. Faktor fisika-kimiawi perairan muara terdiri dari suhu, salinitas, pasang surut, kecepatan arus, kecerahan, kedalaman, pH, oksigen terlarut, nutrien dan sedimen/substrat dasar perairan (Riadi, 1984). Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab dinarnisnya organisme yang hidup di muara sungai.
2.2.1.
Suhu Suhu di muara sungai menunjukkan perbedaan yang nyata antara lapisan
permukaan dan dasar perairan dimana suhu air permukaan lebih tinggi dibandingkan suhu air di lapisan dasar (Nybakken, 1992). Perubahan suhu akan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan tumbuhan. Suhu mempengaruhi langsung aktivitas organisme seperti
pertumbuhan, dan metabolisme, bahkan
menyebabkan kematian organisme. Sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunnya kadar oksigen dalam air. Selanjutnya Clarck (1974) menyatakan suhu menjadi faktor pembatas bagi beberapa h g s i biologis hewan air seperti migrasi, pemijahan, kecepatan proses perkembangan embryo serta kecepatan bergerak. Setiap jenis hewan Moluska mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap suhu. Suhu optimum bagi organisme Moluska bentik berkisar 25-28'~ (Hutagalung, 1988 ; Huet, 1972).
2.2.2. Arus dan Pasang Surut
Pergerakan massa air dan pola arus yang terjadi pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh keadaan iklim dan topografi perairan setempat. Pergerakan arus baik pasang naik maupun surut dari atau yang menuju ke muara sungai akan mempengaruhi penyebaran limbah yang terdapat di estuari (Yusuf, 1994). Di muara sungai arus pasang surut dapat merupakan arus yang dominan. Pada muara yang arus pasang-surutnya kuat, hewan bentos terutama infauna tidak dapat hidup di dalamnya (Davis, 1990). Kecepatan arus
akan menentukan jenis
sedirnen suatu perairan. Gastropoda menyukai substrat pasir yang bercampur lumpur yang kaya zat organik dan sedikit liat dengan kecepatan arus yang sesuai dengan kehidupannya adalah 10-20 cddetik (Budiman, 1991). Sementara Bivalvia yang bersifat pemakan suspensi lebih menyukai substrat pasir dan liat (Rangan, 1996). Dikemukakan bahwa kecepatan arus yang membentuk substrat tersebut berkisar 10-25 crn/det (Hynes, 1974).
2.2.3. Salinitas
Penurunan salinitas di perairan estuari akan mengubah komposisi dan dinamika populasi organisme. Tanggapan atau respon organisme terhadap salinitas berbeda-beda (Levinton, 1982). Distribusi dan kelimpahan zoobentos laut berhubungan dengan salinitas, kandungan bahan organik dan fiaksi liat serta lumpur dari sedimen. Di muara sungai, salinitas merupakan faktor penentu yang membatasi penyebaran makrozoobentos yang hidup di air tawar, air payau dan air
laut. Disamping itu salinitas juga mempengaruhi reproduksi (Setyobudiandi, 1999). Salinitas yang dikandung oleh air tawar kira-kira 0.01 y,,
pada cairan
internal hewan invertebrata yang hidup di air tawar kira-kira 0.03 sampai 0.04 y, Sementara invertebrata laut, cairan internal tubuhnya mengandung kadar garam rata-rata 3.5 y, lebih tinggi dari pada salinitas air laut di sekitarnya. Untuk air pay au (brackish water) salinitasnya berkisar 0.05-3.2 y, Salinitas optimum bagi Gastropoda berkisar 26-32
untuk Bivalvia berkisar 2-36
2.2.4.
y,
y,
(Pennak, 1978).
dan salinitas optimum
(Setiobudiandi, 1995).
Padatan Tersuspensi Terlarut (TSS) Padatan Tersuspensi Terlarut (TSS) adalah bahan tersuspensi dan tidak larut
dalam air. TSS yang tinggi kadarnya menyebabkan perairan keruh. Perairan yang kekeruhannya tinggi akan mengurangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam badan air, sehingga membatasi fotosintesa. Rendahnya produk fotosintesa berarti mengurangi produktivitas primer perairan. Hal ini akan berpengaruh terhadap rantai makanan di estuari (Clarck, 1974). TSS yang mudah mengendap
dapat menutupi permukaan sedimen
sehingga dapat menggangu populasi hewan bentos.
Hewan bentos seperti
Bivalvia dan Gastropoda menyukai perairan jernih dengan kadar TSS optimum berkisar 0-20 mgA (Lee et al., 1978).
2.2.5. pH
Derajat keasaman atau pH mempengaruhi spesiasi unsur-unsur kimia secara individu. Misalnya H2S yang bersifat toksik banyak terdapat di perairan tercemar Derajat keasaman (pH) ini akan mempengaruhi BOD, ketersediaan fosfat, nitrogen, silikat serta unsur nutrien lainnya di perairan (Dodjlido dan Best, 1993). Perubahan pH sedikit saja akan mengakibatkan nilai alami sistem buffer terganggu, yang selanjutnya akan mempengaruhi keseimbangan faktor kimia perairan (Odum, 1971). Derajat keasaman atau pH yang optimum bagi Moluska bentik berkisar 6.5-7.5 (Russel-Hunter, 1968).
2.2.6. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan unsur paling penting sebagai pengatur metabolisme bagi tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak (Rahayu, 1991). Oksigen terlarut keberadaannya dipengaruhi oleh suhu, respirasi (khusus malam hari) lapisan minyak dipermukaan laut, masuknya limbah organik yang mudah terurai ke perairan laut (Hutagalung et al., 1997). Kelarutan oksigen &lam air dipengaruhi oleh tekanan parsial gas-gas yang ada di dalam air maupun di udara, kadar garam serta senyawa-senyawa yang mudah teroksidasi. Semakin tinggi suhu, kadar garam dan tekanan parsial gas-gas terlarut dalam air maka kelarutan oksigen dalam air makin berkurang (Soedarma,
Selain faktor di atas, faktor fisik seperti arus dan gelombang laut juga ikut mempengaruhi kecepatan oksigen mas& dan terdistribusi di dalam laut. Kadar
oksigen terlarut optimum bagi Moluska bentik adalah 4.1-6.6 ppm, sedangkan kadar minimal yang masih dalarn batas toleransi adalah 4 ppm (Clark, 1977).
2.2.7.
BODS (Biochemical Oxygen Demand) BOD5 adalah ukuran banyaknya
oksigen yang
mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik
digunakan oleh secara biokimiawi
dalam waktu lima hari (APHA, 1989). Nilai BODs ini merupakan peturl.uk menurunnya oksigen terlarut karena disebabkan banyaknya limbah bahan organik yang masuk yang mudah terurai. BOD5 ini merupakan parameter kunci dalam pemantauan pencemaran laut khususnya yang disebabkan oleh masuknya bahan organik yang mudah terurai (Hutagalung, et al., 1997). Nilai ambang batas maksimum BODs yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 6 mgll( KEP. 02/MENKLH/I/1988). Nilai BODs yang dapat ditolerir oleh Moluska bentik berkisar 3-4.9 ppm (Lee et al., 1978).
2.2.8. N-total
Di perairan Nitrogen merupakan unsur nutrien yang penting bagi organisme air. Karena nitrogen merupakan penyusun protein tubuh hewan dan turnbuhan. Konsentrasi nitrogen yang tinggi akan merangsang pertumbuhan algae yang banyak (blooming), apabila didukung oleh nutrien lainnya. Menurut Dojlidjo dan Best (1993) konsentrasi nitrogen organik di perairan berkisar 0.1 sampai 5 mgll. Pada perairan tercemar berat, kadar nitrogen bisa mencapai 100 mgll .
Nitrogen di perairan berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH3), ammonium
m),nitrit (NO*),nitrat
(NO3) dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Nitrogen organik berupa protein, asam amino dan urea. Bentuk nitrogen anorganik utama di perairan alami adalah nitrat (Boyd, 1985). Nitrat berfungsi sebagai salah satu nutrien utama bagi tumbuhan dan ganggang, bersifat stabil, dihasilkan melalui proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi, 2000). Karena itulah, nitrat tidak bersifat toksik, kadar ambang batasnya lebih besar dari pada ammonia. Kadar ambang batas maksimum nitrat adalah 10 mg/l. Kadar ammonia yang dianjurkan untuk kriteria baku mutu air golongan B (sumber air minurn) adalah 0.5 mg/l, untuk golongan C (swnber air bagi perikanan dan pertanian adalah 0.02 mg/l) Selanjutnya, untuk golongan D (sumber air untuk industri ) tidak ada kadar maksimumnya, sedangkan nitrit ambang batas maksimurnnya adalah 1 mg/l ( PP No.20 tahun 1990). Nitrit biasanya ditemukan sedikit di perairan alami. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses perombakan bahan organik secara biologis dengan kadar oksigen terlarut yang sangat rendah (Efendi, 2000). Pada sedimen terutama di permukaan ion nitrogen yang ditemukan adalah dalam bentuk NO3, N02, clan
m, dimana sumber senyawa N tersebut berasal
dari pasang surut yang terperangkap di permukaan sedimen. (Rivera-Monroy dan Twilley, 1996). Keberadaan senyawa nitrogen di sedimen estuari dipengaruhi oleh kecepatan denitrifikasi. Pada perairan estuari laju denitrifikasinya lebih
tinggi dibandingkan dengan di daerah hutan mangrove (Rivera-Monroy dan Twilley, 1996).
2.2.9. C-Organik
Karbon organik dalam badan air terdapat dalam berbagai bentuk ada berupa Non Purgeable Organic Carbon (NPOC) yang terdiri dari Dissolve Organic Carbon (DOC) dan Particulate Organik Carbon (POC). Pada perairan tercemar kadar karbon organik mencapai 10 mg/l (Dojlidjo dan Best, 1993). Menurut Wadden oleh Duursma (1961) dalam Burton dan Liss (1976), DOC berasal dari sumber allochthonous 87% air tawar dan air asin serta 11 % hasil proses dekomposisi yang melibatkan POC. Di perairan estuari, sumber allochthonous berasal dari ekosistem darat dan laut. Ekosistem darat misalnya danau, sungai kecil atau waduk. Kadar karbon organik biasanya dalam jumlah kisaran yang terbatas. Kadar C-organik yang optimum bagi Moluska bentik berkisar 3.55-5.88% (Rangan, 1996).
2.2.10. Rasio C/N
Rasio C/N merupakan faktor penting yang menentukan tingginya proses biodegradasi dari limbah yang mengandung karbon. Pada limbah yang terdiri dari residu tumbuhan rasio C/N mendekati 80: 1, yang merupakan kisaran yang luas bagi laju maksimum dekomposisi, sedangkan kandungan nitrogennya sangat kecil.
Secara umum dekomposisi limbah karbon dapat berjalan dengan konsentrasi
N 1.5%, artinya nitrogen tidak menjadi pembatas proses tersebut. Limbah padat perkotaan terutama kertas mengandung N sebesar 0.6% sedangkan kebutuhan maksimum untuk dekomposisi adalah 1.5%. Dengan dernikian selisih 0.9%. dipenuhi oleh tambahan limbah yang masuk untuk menjamin biodegradasi secara maksimum (Killham, 1994). Jika rasio C/N urang dari 1.5% maka proses dekomposisi tidak memerlukan N tambahan. Karena rasio C/N besar berarti kadar karbon naik, sebaliknya jika rasio C/N kecil maka kadar N yang meningkat. Faktor N juga bervariasi tergantung kandungan material organik dan jenis karbonnya karena itu laju dekomposisinya juga berbeda. Dengan kata lain laju proses dekomposisi dipengaruhi oleh rasio C/N,berkaitan dengan kesuburan perairan. Perairan yang subur C:N adalah 20:1.
2.3. Sedimen Sedimen adalah tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum (Arsyad, 1989). Sedimen laut diklasifikasikan menurut asalnya, dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu lythogenous, biogenous dan
hydrogenous. Lythogenous adalah sedimen yang berasal dari batuan, urnumnya berupa mineral silikat yang berasal dari pelapukan batuan. Biogenous adalah sedimen yang berasal dari organisme berupa sisa-sisa tulang, gigi atau cangkang organisme. Hydrogenous adalah sedimen yang terbentuk karena reaksi kimia yang terjadi di laut ( Samosir et al., 1995).
Karakteristik sedimen akan mempengaruhi morfologi, fungsional, tingkah laku serta nutrien hewan bentos. Hewan bentos seperti Bivalvia dan Gastmpoda beradaptasi sesuai dengan tipe substratnya. Adaptasi terhadap substrat ini akan menentukan morfologi, cara makan, dan adaptasi fisiologis organisme terhadap suhu, salinitas serta faktor kimia lainnya. Disamping tipe substrat, ukuran partikel sedimen juga berperan penting
&lam menentukan jenis bentos laut (Levinton, 1982). Partikel sedimen mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai dari yang kasar sampai halus. Menurut Buchanan clan Klain (1971) berdasarkan Skala Wenworth sedimen di klasifikasikan berdasarkan ukuran partikelnya, Tabel 1. Klasifikasi partikel sedimen menurut Skala Wenworth No
Nama Partikel
1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Boulder (batuan) Cobble (batuan bulat) Pebble ( batu kerikil) Granule (butiran) Very Coarse Sand (pasir paling kasar) Coarse Sand (pasir kasar) Medium Sand (pasir sedang) Fine Sand (pasir halus) Very Fine Sand (pasir sangat halus) Silt (lumpur) Clay(1iat)
Ukumn (mm)
>256 256 - 64 64 -- 4 4- 2 2- 1 1 - 0,5 0,5 - 0,25 0,25 - 0,125 0,125 - 0,0625 0,0625 - 0,0039 < 0,0039
Berdasarkan reaksi kimia yang terjadi pada sedimen serta wama yang terbentuk, Odum (1971) menyatakan bahwa sedimen perairan dangkal secara vertikal dibagi atas 3 mintakat yaitu mintakat oksidasi, mintakat redoks terputus (redoh potential discontinuity; RPD) dan mintakat reduksi (Gamba r 2).
Konsentrasi oksigen di sedimen berhubungan erat dengan nilai redoks potensial (Eh) sedimen. Eh-pH berkorelasi dengan kondisi habitat dasar, terutama dalam hubungannya dengan kandungan zat organik dan oksigen. Nilai Eh lebih kurang 400 mv, konsentrasi oksigennya berkisar 4 - 10 mgn. Nilai' Eh kurang dari 300 mv, nilai oksigennya 0,3 mg/l. Nilai Eh h a n g dari 200 mv oksigennya 0,l m a . Pada nilai Eh di bawah no1 (0) mv nilai oksigen tidak terukur (Rhoads, 1974).
Kandungan oksigen substrat sangat kecil. Ukuran
partikel yang halus membatasi pertukaran gas antara air interstisial dengan kolom air di atasnya (Nybakken, 1992). Ell
pH
9
s+ . .. CQ
w
\%ma
Eh (.nV
Gambar 2. Pembagian sedimen berdasarkan warna, redoks potensial (Eh) dan pH beberapa carnpuran (Odurn, 197 1).
2.4. Struktur Komunitas Struktur komunitas dapat digunakan pada perkiraan pengaruh pencemaran terhadap komunitas biota perairan. Pengaruh pencemaran terhadap komunitas biota diduga dengan menghitung tingkat kepadatan, indeks keanekaragaman dan pola sebarannya. Dalarn penelitian ini yang diperkirakan adalah pengaruh pasang surut
terhadap komunitas Moluska bentik yaitu kelompok Bivalvia dan
Gastropoda yang dikaitkan dengan kondisi lingkmgan sedirnen dan perairan. Struktur komunitas biota tidak hanya sebagai indikator kualitas perairan tetapi juga berguna untuk menentukan perubahan yang terjadi pada komunitas tersebut. Sementara, dari aspek fisik dapat dilihat bentuk pertwnbuhan, stratifikasi dan perubahan musim (Dennis dan Patil, 1977).
2.5. Biologi Moluska Bentik (Bivalvia dan Gastropoda) 2.5.1. Bivalvia
Bivalvia merupakan Moluska yang hidup di air tawar ataupun di laut sebagai suspension feeders. Bivalvia memiliki cangkang yang paling uniform, yang terdiri dari dua katup. Kedua katup tersebut dihubungkan oleh ligamen yang elastis. Moluska bentik seperti mussels (kepah), clamp (kerang) dan tiram merupakan anggota Bivalvia yang hidup di laut. Ada pula yang hidup di daerah estuari yaitu beberapa jenis kerang (Scrobicularia plana ) Macoma balthica, Rangiaflexosa dan berbagai tiram (Crassostrea dan Ostrea) (Nybakken, 1992).
Bivalvia mempunyai tiga cara hidup yaitu : 1) membuat lubang pada substrat, contohnya cacing kapal atau ship worm (Teredo navalis), 2) melekat langsung pada substrat dengan semen, contohnya tiram (Crassostrea sp) dan 3) melekat pada substrat dengan bahan seperti benang (byssal threads), contohnya kerang hijau (Perna viridis) (Romimohtarto dan Sri Juwana, 1999). Bivalvia memiliki nilai ekonomis penting, di samping itu juga digunakan luas untuk penilaian tingkat pencemaran di lingkungan laut. Bivalvia digunakan dalam menilai tingkat pencemaran di suatu lokasi karena bersifat menetap di dasar perairan, mampu memasukkan zat kimia kontaminan dengan tingkat sesuai dengan kondisi perairan di sekitarnya atau sedimen, sehingga mampu memberikan informasi tentang sumber-sumber pencemar di suatu lokasi ( Sole et al., 2000).
2.5.2. Gastropoda
Gastropoda yang populasinya terbanyak di daerah tropis khususnya di estuari adalah Thais sp dari famili Muricidae, Ordo Neosgastropoda (Samosir et al., 1995).
Gastropoda merupakan hewan yang sering dipakai sebagai
bioindikator untuk mendeteksi masalah pencemaran karena memenuhi syarat seperti yang dinyatakan oleh Odum (1971) yaitu : 1) distribusi geografisnya luas, 2) mendorninasi komunitas pesisir dan estuari, 3) mengakumulasi bahan kontaminan dalam jaringan tubuhnya. Selanjutnya Wilhm (1975) menyatakan bahwa hewan bentos termasuk Gastropoda dan Bivalvia sering dijadikan indikator pencemaran perairan. Karena
tingkat kepekaan organisme tersebut berbeda beda terhadap bahan pencemar. Selain itu memberikan reaksi yang cepat, kemampuan mobilitas rendah sehingga secara langsung dipengaruhi oleh zat di lingkungannya, mudah ditangkap dan dianalisis. Ditinjau dari h g s i ekologis, Gastropoda berperan sebagai organisme kunci
dalarn rantai makanan, karena merupakan sumber makanan alami bagi ikan. Selanjutnya, Gastropoda juga berperan sebagai dekomposer dalam proses dekomposisi dalam perairan (lind, 1979). Tabel 2.
Contoh spesies makrozoobentos menurut tingkat kepekaannya (Wilhm, 1975)
Tingkat Kepekaan
Jenis Makrozoobentos
Intoleran
Ephemere simulans (lalat sehari), Acroneura evoluta (lalat batu), Chimarra obscura, Mesovelia sp (kepik), Helichus lithopilus (kumbang), Anopheles puntipennus (nyamuk)
Fakultatif
Stenonema heterotarsale (lalat sehari), Taenopteryx maura (lalat batu), Hydropsyche bronta, Agrion rnaculatum (capung j a m ) , Cordyalis cornutus (lalat), Agabus stagninus (kumbang), Chironomus decorus (sejenis nyamuk), Helodrilus chlorotica (cacing oligochaeta) siput pulmonata, lamellibranchiata (kerang) Chironomus riparium (nyamuk), Limnodrillus sp dan Tubfex sp (cacing oligochaeta)
Toleran