4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.PERUBAHAN FISIOLOGIS IBU HAMIL 2.1.1. Perubahan Kardiovaskular Maternal selama Kehamilan
a. Darah Volume darah terdiri dari volume plasma dan volume sel meningkat 45%-50% selama kehamilan. Volume plasma meningkat lebih banyak dan lebih awal pada masa gestasi dibandingkan volume sel, meskipun peningkatan volume sel kira-kira sekitar 33% atau ~450ml. Keadaan ini menyebabkan penurunan hematokrit hingga mendekati minggu ke-30 kehamilan, ketika volume plasma stabil, dan ini disebut sebagai anemia fisiologis atau dilusi pada kehamilan. Dengan pemberian besi, eritrosit meningkat lebih cepat, dan perbedaan antara volume seluler dan plasma bekurang. Lihat Gambar 2.1 (Pernoll, 2001).
Gambar 2.1 Perubahan volume darah selama kehamilan dan masa nifas
Universitas Sumatera Utara
5
b. Curah Jantung Curah jantung, merupakan hasil perkalian dari denyut jantung dan volume sekuncup , meningkat ~40% (~1,5 liter/menit) selama gestasi. Curah jantung mencapai nilaimaksimum pada minggu ke 20-24 (Gambar 2.2). Volume sekuncupmenyumbang hampir seluruh kenaikan curah jantung pada awal kehamilan hingga mencapai puncaknya 25%-30% pada minggu ke 1224. Denyut jantung meningkat 15 denyut/menit pada saat aterm namun tetap dipengaruhi oleh variabel yang sama seperti pada wanita yang tidak hamil (Pernoll, 2001).
Gambar 2.2 Peningkatan curah jantung selama kehamilan
c. Tekanan Darah Arteri Progesteron menyebabkan relaksasi otot-otot polos. Hal ini tampak dalam sistem vena dan mengakibatkan dilatasi vena panggul, peningkatan sistem vaskularisasi uterus, dan dilatasi vena-vena di tungkai bawah secara nyata. Namun, efek ini juga terjadi pada arteri (Pernoll, 2001).
2.1.2. Penyesuaian Paru terhadap Kehamilan Dilatasi Kapiler di seluruh saluran pernapasan menyebabkan perubahan suara dan pernafasan lewat hidung sulit pada awal kehamilan. Secara radiologi, gambaran vaskularisasi paru meningkat. Pembesaran uterus disertai denganelevasi diafragma setinggi 4 cm, tetapi perubahan
Universitas Sumatera Utara
6
posisi ini tidak mempengaruhi fungsi diafragma. Sebenarnya, otot-otot abdominal berelaksasi selama kehamilan, sehingga pernapasan cenderung diafragmatik. Tulang iga bawah mendatar ke arah luar, meninggikan angulus subsifoideus dan meningkatkan keliling thoraks hingga 6 cm (Pernoll, 2001). Volume ruang rugi meningkat akibat relaksasi otot-otot jalan nafas. Peningkatan volume tidal bertahap (35-50%) terjadi selama kehamilan. Peninggian diafragma menurunkan kapasitas paru total sekitar 4-5%. Volume tidal meningkat 40%. Kapasitas residual fungsional, volume residual, dan volume cadangan ekspirasi menurun hingga ~20%. Ventilasi alveolar meningkat ~65% akibat kombinasi dari volume tidal besar dan volume cadangan kecil. Kapasitas inspirasi meningkat 5%-10% maksimum pada minggu ke 22-24. Ada sedikit peningkatan pada frekuensi pernafasan, menit ventilasi meningkat 50%, dan konsumsi oksigen meningkat 15%-20% diatas wanita yang tidak hamil. Volume menit pernapasan meningkat ~26% (Gambar 2.3)(Pernoll, 2001). Terjadi hiperventilasi pada kehamilan yang dideskripsikan sebagai penurunan CO2 alveolar bersamaan dengan rendahnya CO2 sambil mempertahankan tekanan oksigen alveolar maternal yang normal. Hiperventilasi maternal berhubungan dengan kerja progesteron pada pusat pernapasan diperantarai oleh kemoreseptor perifer di badan karotid. Ini memungkinkan fetus melakukan pertukaran CO2 dengan cara yang lebih efektif (Pernoll, 2001). Selama persalinan dan pelahiran, banyak pasien mengalami hiperventilasi. Ini dapat memicu alkalosis respiratorik diikuti spasme karpopedal. Kapasitas fungsional cadangan semakin menurun pada fase awal tiap kontraksi (dari redistribusi darah yang berasal dari uterus), dan memungkinkan pertukaran gas yang lebih efisien. Pemberian obat-obatan anestetik harus diubah sesuai dengan hal tersebut (Pernoll, 2001).
Universitas Sumatera Utara
7
2.1.3. Perubahan Ginjal Dilatasi hilus ginjal, kaliks, dan ureter terjadi sedini akhir trimester pertama tetapi biasanya regresi normal pada akhir masa nifas. Sistem pengumpul sebelah kanan menunjukkan dilatasi yang lebih besar karena kompresi oleh pembesaran, uterus dekstrorotasi. Refluks vesikoureter bilateral sering terjadi selama kehamilan. Dengan demikian, wanita hamil menjadi lebih rentan terhadap infeksi saluran kemih (Pernoll, 2001).
Gambar 2.3Perubahan volume paru selama kehamilan
Aliran Plasma Ginjal meningkat
nyata selama kehamilan untuk
mencapai maksimum 60% -80% di atas tingkat wanita tidak hamil pada masa midgestasi. Kemudian, penurunan bertahap dari sekitar 25% terjadi dengan istilah. Peningkatan GFR ~50% pada trimester kedua karena peningkatan volume darah dan aliran darah ginjal, menurunnya tekanan onkotik, dan perubahan endokrin. Platonya pada trimester ketiga sebagai terminasi. Fraksi filtrasi (FF), rasio GFR/RPF, menurun selama awal kehamilan, dan meningkat kembali pada trimester akhir. Ini mungkin menunjukkan perubahan hemodinamik dalam glomerulus (Pernoll, 2001).
Universitas Sumatera Utara
8
Sangat awal di kehamilan, klirens kreatinin meningkat hingga ~45 dari nilai tidak hamil. Selama trimester kedua, klirens kreatinin tetap meninggi, tetapi pada trimester ketiga, beberapa minggu sebelum term, secara bertahap turun ke level wanita tidak hamil (Pernoll, 2001). Urea dan asam urat semua diekskresikan lebih efektif selama kehamilan, sehingga konsentrasi darah dari zat ini biasanya lebih rendah daripada dalam keadaan tidak hamil. Lebih banyak glukosa dan laktosa diekskresikan selama kehamilan. Asam amino dieliminasi lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih besar selama kehamilan. Kehilangan asam askorbat dan asam folat dalam urin terjadi (Pernoll, 2001). Volume dan komposisi cairan diregulasi oleh kontrol ginjal dengan mengekskresikan natrium dan air. Estrogen dan kortisol dan sistem reninangiotensin-aldosteron berkontribusi terhadap perubahan homeostasis natrium dan air selama kehamilan. Peningkatan GFR yang sangat pesat selama kehamilan menyebabkan peningkatan dalam filtrasi natrium, tetapi reabsorbsi tubular natrium meningkat. Ini menghasilkan keseimbangan natrium positif diperlukan untuk memungkinkan persyaratan janin dan peningkatan volume darah ibu. Secara proporsional lebih banyak air daripada natrium yang tertensi selama trimester ketiga. Inilah yang diobservasi sebagai penyebab edema pada akhir kehamilan (Pernoll, 2001).
2.1.4. Perubahan Gastrointestinal a. Oral Salivasi sering meningkat dan bersifat lebih asam. Gusi dapat menjadi lebih hipertropik dan hiperemis, dan pembentukan epulis dapat terjadi tanpa higienitas oral yang baik (Pernoll, 2001).
b. Gastrointestinal Selama kehamilan, baik motillitas gastrointestinal dan iramanya menurun (dibawah pengaruh peningkatan progesteron). Secara klinis, ini memicu penundaan pengosongan lambung, waktu transit lebih lambat, dan konstipasi. Dapat juga menjadi refluks gastroesofageal, yang memicu nyeri
Universitas Sumatera Utara
9
heartburn, dan kemungkinan yang nyata dapat menjadi regurgitasi dan aspirasi jika dalam keadaan tak sadar. Efek kehamilan pada keasaman lambung sangat bervariasi (Pernoll, 2001). Apendiks berpindah superior dan ke panggul kanan, dan usus dipindahkan ke atas dan lateral. Pengetahuan ini yang paling penting ketika apendiktomi harus dilakukan dalam lanjutan kehamilan (Pernoll, 2001).
c. Hati Tidak ada perubahan kotor atau mikroskopis yang ada di hati telah dicatat selama kehamilan. Nilai tes fungsi hati dalam kehamilan adalah sama seperti dalam keadaan tidak hamil dengan pengecualian berikut. (1) Serum albumin menurun perlahan-lahan selama kehamilan dari sekitar 4,23,5 g / dL, dengan kenaikan bertahap normal dalam 6-8 minggu setelah melahirkan. (2) Alpha dan tingkat globulin beta meningkat sedikit dan gamma globulin menurun sangat sedikit pada kehamilan. (3) flokulasi sefalin meningkat pada 25% kehamilan. (4) Serum alkaline phosphatase meningkat secara bertahap selama kehamilan; di jangka, nilai rata-rata adalah 6,3 unit Bodansky dan 19 Raja-Armstrong unit. Tes tidak berubah selama kehamilan termasuk untuk serum transaminase oksaloasetat glutamat dan kadar bilirubin serum. Tes ekskresi BSP tidak terpengaruh (Pernoll, 2001).
d. Empedu Waktu pengosongan diperlambat dan sering tidak lengkap. Komposisi kimia empedu ini tidak diubah, tetapi stasis empedu dapat menyebabkan batu empedu (Pernoll, 2001).
2.1.5 Peningkatan Berat Badan Maternal pada Kehamilan Berat badan akan naik rata-rata
22-27 pon (10-12 kg) selama
kehamilan. Pada, komponen peningkatan beratakan didistribusikan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.4. Idealnya, hanya 1,5-3 pon diperoleh pada trimester pertama dan 0,8 pon/minggu selama trimester kedua dan
Universitas Sumatera Utara
10
ketiga. Progresivitas peningkatan berat badan yang inadekuat sering dikaitkan dengan pertumbuhan fundus buruk, yang mencerminkan defisiensi pertumbuhan janin. Dengan demikian, progresivitas penigkatan berat badan yang inadekuat padakehamilan memerlukan penyelidikan defisit gizi, penyakit ibu, malabsorpsi, atau mileau hormonal yang abnormal (misalnya, hipertiroidisme). Berat badan yang berlebihan di paruh kedua kehamilan mengkhawatirkan karena hubungan dengan hipertensi negarakehamilan (Pernoll, 2001). Individualisasi berat badan ibu adalah kunci untuk janin yang tumbuh optimal. Misalnya, perempuan kurus dianjurkan meningkatkan berat lebih dan wanita gemuk kurang dianjurkan. Wanita yang lebih berat pada saat kehamilan atau memiliki berat badan yang berlebihan selama kehamilan lebih rentan untuk memiliki bayi makrosomia. Sebaliknya, wanita kurus dan orang-orang dengan berat badan yang tidak memadai selama kehamilan lebih mungkin untuk memiliki janin dengan pertumbuhan intrauterin terbelakang dan plasenta kecil (Pernoll, 2001).
Gambar 2.4 Komponen peningkatan berat badan pada kehamilan normal
Kesimpulan perubahan fisiologi dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2.1
Perubahan fisiologi ibu hamil
Sistem
Parameter
Jumlah
Respirasi
Konsumsi O2
+20-50%
Ventilasi semenit
+50%
Universitas Sumatera Utara
11
Koagulasi
Volume tidal
+40%
RR
+15%
PaO2/CO2
+10%
HCO3-
-20%
FRC
-20%
Faktor-faktor
+50%sampai +250%
pembekuan Neurologi
MAC
-40%
Kardiovaskular
Volume Plasma
+45%
Volume RBC
+20%
CO/SV
+40%/+30%
HR
+15%
MAP
-15%
CVP
Tidak berubah
GFR
+50%
PH
Tidak berubah
Motilitas
Menurun
pH
Menurun
Renal
GI
(Callaham, Barton dan Scumaker, 1997)
2.2.SEKSIO SESAREA Asal-usul terminologi caesar mula-mula mengenai legenda bahwa Julius Caesar orang yang pertama kali dlahirkan dengan cara demikian tidak diikuti bukti yang cukup kuat (Cunningham, 2010). Dalam Mansjoer (2000) penjelasan istilah caesar berasal dari bahasa Latin caedere pada abad pertengahan, yang artinya memotong.
Pengertian tersebut bermula dari
hukum Romawi (Lex Regia) dan dibawah pemerintahan raja (Lex caesar) untuk menolong wanita yang sekarat pada beberapa minggu terakhir kehamilan.
Universitas Sumatera Utara
12
2.2.1. Definisi Seksio Sesarea Seksio sesarea adalah sesuatu cara melahirkan transabdominal janinyang viabel (dengan plasenta dan membran) dengan melakukan insisi pada rahim (Pernoll, 2001).
2.2.2. Klasifikasi Seksio Sesarea a) Seksio sesarea primer (efektif) Sejak semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara seksio sesarea. Misalnya pada panggul sempit (CV< 8 cm) b) Seksio sesarea sekunder Kita mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan). Jika tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan gagal, baru dilakukan seksio sesarea. c) Seksio sesarea ulang Ibu pada kehamilan yang lalu menjalani seksio sesarea dan pada kehamilan selanjutnya juga dilakukan seksio sesarea ulang d) Seksio sesarea histerektomi Suatu operasi yang meliputi pelahiran janin dengan seksio sesarea yang secara langsung diikuti histererktomi karena suatu indikasi. e) Operasi Porro Suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (tentunya janin sudah mati), dan langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan infeksi yang berat.(Sofian, 2012) 2.2.3. Frekuensi Frekuensi seksio sesarea yang dilakukan di rumah sakit Dr. Pirngadi Medan Tabel 2.2
Tabel Frekuensi seksio sesar di RS Dr. Pirngadi Medan
Mochtar (1968)
2,5%
Mochtar dkk (1971)
4,9 %
Aziz dkk (1974)
6,4 %
Mochtar (1981)
10 %
Frekuensi di negara-negara maju sekitar
7-10% (Sofian, 2012)
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.4. Indikasi Seksio Sesarea Menurut Pernoll (2001) indikasi yang umum untuk melakukan seksio sesare sebagai berikut : I.
Seksio sesarea berulang
II.
Distosia A.Disproporsi fetopelvik ( Passage insuficiency) Tulang pelvis -Inlet pelvis ( biasanya antero-posterior < 10 cm) -Midpelvis ( biasanya spina-ischiadica <9,5 cm) -Outlet (Sangat jarang dan hampir tidak pernah terlihat di ketidakhadiran kontraktur pelvis lainnya) Obstruksi jaringan-lunak -Plasenta letak rendah (terutama jika implantasi di posterior) -Leiomioma uterus -Tumor ovarium -Keganasan lain pada saluran genital (jarang) B.Komplikasi Janin (Passenger) Janin Normal Macrosomia ( >4000 g) Malposisi dan malpresentasi Sungsang yang tidak dapat dilahirkan pervaginam Kepala defleksi Posisi transverse atau oblik Posisi dahi Posisi dagu posterior Presentasi bahu Presentasi campuran yang mempersulit Janin abnormal Meningomielosel Hidrosefalus Teratoma sakrokoksigeus
Universitas Sumatera Utara
14
Anomali janin lainnya C.Persalinan yang Abnormal (Power) Inersia uterus primer Fase laten memanjang ( Tidak sering, tetapi >20jam pada nulipara dan >14 jam pada multipara) Gangguan protraksi Protraksi aktif fase dilatasi (nuligravida <1,2 cm/jam, multigravida <1,5cm/jam) Protraksi menurun (nuligravida <1cm/jam, multigravida <2cm/jam) Arrest disorder Fase deselerasi memanjang (Nulipara
3jam,
multipara 1 jam) Dilatasi-secondary arrest (Tidak ada dilatasi selama 2jam Fase active arrest atau penurunan ( 1 jam) Inersia uterus akibat disproposi fetopelvik Induksi gagal
D.Komplikasi Janin Insufisiensi uteroplasenta Trauma medula Asidosis metabolik E.Perdarahan obstetrik (Materna atau janin atau keduanya) Abrupsi plasenta Plasenta previa Ruptur uterus Vasa previa F.Gestasi multipel Kembar dua Kembar A dengan presentasi kecuali vertex Kembar B tidak dapat dilahirkan pervaginam
Universitas Sumatera Utara
15
Kegagalan intrapartum untuk versi eksternal Distres janin (Walaupun dengan kembar A sudah dilahirkan pervaginam) Semua kembar monoamniotik Kembar tiga atau lebih G.Infeksi Korioamnionintis berat Herpes genital maternal aktif Beberapa kasus condiloma akuminata genital H.Komplikasi ibu dan/atau janin yang berpotensi merugikan akibat melahirkan seksio atau pervagina atau keduanya Preeklamsi-eklamsi fulminan Diabetes ( Hanya jika diindikasikan) Erythroblastosis Penyakit jantung ibu yang berat Kondisi yang mebatasi lainnya I.Bedah Jaringan parut pada serviks atau uterus yang dapat memicu ruptur saat melahirkan (Cth : miomektomi ekstensif, trakelorafi) Cervical cerclage Masalah ibu yang serius Operasi vaginal yang ekstensif III.Karsinoma servik
2.3.ANESTESI SPINAL 2.3.1. Definisi Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal (Mansjoer et al, 2000).
Universitas Sumatera Utara
16
Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal adalah jenis obat, dosis yang digunakan, efek vasokontriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Mansjoer et al, 2000). Keuntungan penggunaan anestesi spinal adalah waktu mula yang cepat, obat yang dibutuhkan relatif lebih sedikit dan menghasilkan keadaan anestesi yang memuaskan (WHO, 2006).
2.3.2. Anatomi a. Columna Vertebra Tulang belakang terdiri dari tulang vertebra dan diskus intervertebralis kartiloginosa (Gambar 2.5). Terdiri dari 7 vertebra servikalis, 12 vertebra thorakikus, 5 vertebra lumbalis, 5 vertebra sakralis (bergabung membentuk os sakrum) dan 4 vertebra koksigea (tiga yang dibawah umumnya bersatu) ( Snell, 2007).
Gambar 2.5 Potongan sagital vertebra lumbal
Universitas Sumatera Utara
17
Vertebra berbeda dalam bentuk dan ukuran pada berbagai level. Vertebra servikalis pertama, atlas, korpus yang kecil dan persendian yang unik dengan dasar tengkorak dan vertebra kedua. Vertebra kedua , disebut juga aksis, memiliki permukaan persendian yang atipikal. Keduabelas vertebra thorakikus berartikulasi dengan iga yang koresponden. Vertebra lumbar memiliki korpus vertebra silindris yang besar di anterior. Cincin berongga didefinisikan anterior oleh korpus vertebra, lateral oleh pediculus dan prosesus transversus, dan posterior oleh lamina dan prosesus spinosus (Gambar 2.5 B dan C). Lamina berada di antara prosesus transversus dan prosesus spinosus; dan pediculus berada di antara korpus vertebra dan prosesus transversus. Ketika ditumpuk secara vertikal, cincin berongga menjadi kanalis spinalis di dalamnya medula spinalis dan penutupnya berada.
Masing-masing
korpus
vertebra
terhubung dengan
diskus
intervertebra. Ada empat sendi sinovial kecil pada tiap vertbebra, dua artikulasi dengan vertebra di atasnya dan dua dengan vertebra di bawahnya (Gambar 2.5 C). Pediculus melekuk ke superior dan inferior, lekukan ini membentuk foramen intervertebral, tempat keluarnya saraf spinal. Veretebra sakralis biasanya bergabung dengan tulang yang besar membentuk os sakrum, namun masing-masing tetap terpisah membentuk foramen intervertebralis anterior dan superior (Morgan et al, 2008). Columna spinalis normalnya berbentuk C ganda, cembung di daerah serviks dan lumbar (Gambar 2.6). Ligamen memberikan dukungan struktural dan bersama-sama dengan otot yang mendukung untuk mempertahankan bentuk yang unik. Pada sisi ventral, korpus vertebra dan diskus intervertebralis dihubungkan dan disokong oleh ligamen longitudinal anterior dan posterior (Gambar 2.5 A). Pada sisi dorsal, ligamentum flavum, ligamen interspinosum, dan ligamen supraspinosum memungkinkan stabilitas. Dengan pendekatan midline, sebuah jarum menembus ketiga ligamen dorsal ini dan melewati ruang oval di antara lamina tulang dan prosesus spinosus pada vertebra yang bersangkutan (Gambar 2.7) (Morgan et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
20
b. Persiapan praanestesia 1) Persiapan rutin Mengatur posisi pasien untuk pencapaian organ pelvis lebih mudah pada pasien sesar diatur dengan derajat lordosis tertentu. Hipotensi terlentang (“supine hypotensive syndrome”) karena kompresi vena kava mungkin dihilangkan dengan memiringkan pasien 10o ke kiri, sehingga memperbaiki aliran darah uteroplasenta (Martinus, 1997) Menyiapkan lapangan steril dikerjakan setelah induksi anestesia, dinsding abdomen dipersiapkan dengan mencuci area ini termasuk mons pubis dan sepertiga atas paha dengan tingtura Merfen. Ini harus dilakukan tiga kali menggunakan „swab‟ yang dilengkapi dengan pemegang. Bermanfaat menggunakan penutup steril ke perimeter lapangan operasi (Martinus, 1997) Kateterisasi Vesika Urinaria. Sebelum memulai seksio sesarea, vesika urinaria harus kosong. Jika pasien tak dapat berkemih, pasang kateter yang ditinggalkan, terutama bagi seksio sesarea ulangan, dan direkomendasikan meninggalkannya di tempatnya selama beberapa jam setelah operasi untuk mebantu fungsi vesika urinaria (Martinus, 1997). 2) Persiapan khusus a) Koreksi keadaan patologis yang dijumpai b) Berikan H2Antagonis-reseptor 5-10 menit IV atau sebelum induksi c) Berikan antasid peroral 45 menit pra induksi d) Berikan ondansetron 4-8mg intravena 3) Premedikasi a) Berikan atropin 0,01/kgbb (im) 30-45 menit atau setengah dosis (iv) 5-10 menit pra induksi b) Tidak dianjurkan untuk memberi sedatif/narkotik 4) Terapi cairan prabedah Pasien dengan status fisik normal : berikan cairan pemeliharaan yaitu dekstrosa 5% dalam ringer atau NaCl 0,9%. Kasus lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Universitas Sumatera Utara
21
c. Perlengkapan anestesi spinal Perlengkapan anestesi spinal meliputi jarum spinal dan obat anestetik spinal. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dengan ukuran 16-G sampai dengan 30-G. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bambu runcing (jenis Quinke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (Whitacre). Ujung pensil banyak diguakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal (Mansjoer et al, 2000).
Gambar 2.10 Jenis Jarum spinal Obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain atau bupvakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah yang teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal (hiperbarik), akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik) obat akan berada di tingkat yang sam di tempat penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008 (Mansjoer et al, 2000). Perlengkapan lain berupa kain kasa steril,povidone iodine, alkohol, dan duk. Tabel 2.3.
Dosis dan lama kerja obat anestesi spinal
Obat
Dosis(mg)
Lama (menit)
Perineum,
Abdomen
Blok
tungkai
bawah
setinggi
bawah
T4
Anestetik Ditambah murni
epinefrin
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
24
kontraktilitas jantung. Efek ini proporsional bergantung dengan derajat simpatektomi, Tonus vasomto secara primer ditentukan oleh serabut simpatus yang bersal dari T5 sampai L1, mempersarafi otot polos arteri dan vena. Blokade saraf ini menyebabkan vasodilatasi kapasitas pembuluh vena, pengumpulan darah, dan penurunan darah balik ke jantung; demikian juga, vasodilatasi arteri dapat menyebabkan penurunan resistensi vaskular sistemik (Morgan et al, 2008). Efek kardiovaskular yang membahayakan harus diantisipasi dan langkah yang diambil adalah meminimalisasi derajat hipotensi. Pemberian volume
10-20mL/kg
cairan
intravna
pada
pasien
sehat
akan
mengkompensasi parsial pengumpulan darah vena. Walaupun demikian, hipotensi dapat tetap terjadi dan harus ditangani dengan adekuat. Administrasi cairan dapat ditingkatkan, dan autotransfusi dapat dikerjakan dibantu dengan memposisikan pasien dengan kepala lebih rendah. Hipotensi ditatalaksana dengan vasopressor. Agonis
-adrenergik direk (seperti
phenylephrine) meningkatkan tonus vena dan menghasilkan konstriksi arteriolar, meningkatkan baik drah balik vena dan resistensi vaskular sistemik. Bradikardi berlebih atau simtomatik ditangani dengan atropin. Efedrin memiliki efek
adrenergik yang meningkatkan denyut jantung
dan kontraktilitasnya dan efek tidak langsung menyebabkan vasokontriksi. Jika ditemukan hipotensi dn/atau bradikardi yang persisten dapat diberikan epinefrin (5-10 ug intravena) (Morgan et al, 2008).
2) Manifestasi Pulmonal Perubahan klinis yang signifikan pada fisiologi pulmonal biasanya minimalpada blokade neuroaksial karena diafragma dipersarafi nervus frenikus yang berasal dari C3-C5 (Morgan et al, 2008).
3) Manifestasi Gastrointestinal Aliran simpatis berasal dari level T5-L1. Blok neuroaksial-penginduksi simpatektomi memungkinkan dominasi tonus vagal dan hasilnya minim,
Universitas Sumatera Utara
25
lambung berkontraksi dengan peristalsis aktif. Ini memungkinkan kondisi yang baik untuk operasi dengan laparoskopi (Morgan et al, 2008). Aliran darah hati akan menurun akibat penurunan tekanan arteri ratarata pada teknik anestesi (Morgan et al, 2008).
4) Manifestasi Saluran Kemih Aliran darah ginjal telah diatur oleh autoregulasi dan ada efek klinis yang kecil pada fungsi renal dengan blokade neuroaksial. Anestesi neuroaksial pada level lumbal dan sakral memblokade sistem saraf simpatis dan parasimpatis kandung kemih. Kehilangan kontrol otonom kandung kemih menyebabkan inkontinensia sampai blokade berakhir (Morgan et al, 2008). 5) Manifestasi Metabolik dan Endokrin Trauma surgikal menyebabkan respon neurioendokrin melalui respon inflamasi lokal dan aktivasi serabut saraf aferen somatis dan viseral. Respon meliputu peningkatan hormon adrenokortikotropik, kortisol, eponefrin, norepinefrin, dan level vasopresin pada pengaktifan sitem reninangiotensin-aldosteron. Manifestasi klinis meliputi hipertensi, takikardi, hiperglikemi, protein katabolisme, penekanan respon imun, dan perubahan fingsi ginjal intraopertaif dan postoperatif (Morgan et al, 2008).
2.4.TEKANAN DARAH 2.4.1. Definisi Tekanan Darah Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi oleh volume darah dan elastisitas pembuluh darah (Rony et al, 2010) Tekanan darah yang dimaksud biasanya adalah tekanan arteri. Tekanan di arteri berfluktuasi selama sistol dan diastol di jantung (Pal dan Pravati , 2006). a. Tekanan Darah Sistol Tekanan darah sistol didefinisikan sebagai tekanan maksimum yang dihasilkan selama siklus jantung (Pal dan Pravati, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
27
2.4.3. Kondisi Patologis Tekanan Darah : Hipotensi a. Definisi Hipotensi merupakan penurunan tekanan darah sistol lebih dari 2030% dibandingkan dengan pengukuran dasar atau tekanan darah sistol <100mmHg (Chestnut et al, 2009). b. Patofisiologi hipotensi Dalam Boulton TB & Collin EB (2013), hipotensi terjadi karena : 1) Volume sirkulasi darah yang menurun karena penggantian darah yang tidak cukup, pada dehidrasi atau muntah-muntah yang hebat, poliuria, asites, atau karena fistula (elektrolit), perdarahan akut (darah lengkap), atau luka bakar (proteiin plasma koloid). Kehilangan
seperti
itu
kadang-kadang digambarkan
sebagai
kehilangan preload. 2) Alir balik vena yang menurun disebabkan oleh tekanan intratorakal yang meningkat pada : ventilasi buatan bertekanan positif; pneumotoraks; kompresi vena kava pada posisi telentang, wanita hamil; obesitas hebat; tumor perut dan retraksi pembedahan yang terlalu bersemangat. Semua kejadian ini merupakan contoh lebih jauh preload yang tidak adekuat. 3) Resistensi vaskular perifer yang menurun akibat obat vasodilator – seperti nitroprusid, penghambat alfa-adrenergik, agen inhalasi yang mudah menguap, pelepasan histamin atau teknik vasodilatasi (contoh blok epidural atau spinalis). Keadaan ini dapat digolongkan sebagai afterload yang menurun. 4) Kontraksi miokardium yang terganggu karena obat/agen inhalasi, penghambat beta, iskemia miokardium, dan penekanan sistem saraf pusat, termasuk semua anestesi umum (kecuali eter), ketamin dan etomidat, dan dosis anestesi lokal dalam darah yang tinggi setelah penyuntikan sejumlah besar volume atau penyuntikan kedalam vena yang tidak sengaja.
Universitas Sumatera Utara
28
c. Penatalaksanaan hipotensi Dalam Boulton T.B & Collin E.B (2013) hipotensi diatasi dengan : 1) Perbaiki volume darah sirkulasi dengan infus cairan yang sesuai (kristaloid, koloid, darah). Penggantian hemoglobin tidak begitu penting
dibandingkan
dengan
perbaikan
volume
darah
intravaskular, terutama jika diberikan oksigen. Larutan koloid dapat digunakan baik dengan produk darah alamiaih (larutn albumin manusia (HAS) atau expander buatan (Dekstran®70, Haemaccel®, dan Hespan®). 2) Oksigenasi ditingkatkan dengan meningkatkan inspirasi oksigen dan ventilasi semenit jika ventilasi terkendali. Jika mendadak terjadi hipotensi, penting untuk memeriksa bahwa hipoksia itu sendiri tidak menyebabkan penurunan tekanan darah. 3) Cari penyebab penurunan tekanan darah akibat pembedahan, dan perbaikilah. 4) Tingkatkan kontraksi miokardium jika kontraksinya terganggu; berikan obat inotropik (efedrin, sampai dengan 30 mg, harus diberikan perlahan-lahan secar intravena ke dalam infus yang sesuai) 5) Hindari penggunaan vasopressor seperti meteraminol kecuali jika terdapat vasodilatasi perifer yang diketahui sebabnya (contoh akibat anestesi subaraknoid spinal), karena obat tersebut dapat menyebabkan vasokontriksi, sehingga menurunkan perfusi jaringan. Walaupun demikia pada keadaan yang mencemaskan, obat tersebut dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah, demikian pula sirkulasi koroner dan serebri, sementara volume darah dan sirkulasi diganti.
Universitas Sumatera Utara