BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Fisiologi pada Awal Kehamilan Oosit berfertilitas di ampula pada tuba fallopi untuk membentuk menjadi
zigot.Proses miosis akan terjadi apabila zigot telah memasuki uterus dengan cara didorong oleh aksi siliari dan peristalsis dari tuba fallopi.Kerusakan tuba fallopi akan menyebabkan melemahnya pergerakan zigot dan akan berlaku implantasi di tuba fallopi atau disebut sebagai kehamilan ektopik.Zigot biasanya memasuki uterus pada hari keempat, yaitu pada tahap telah terjadinya morula.Morula ini akan berubah menjadi blastosit dengan cara membangunkan fluid-filled cavity.Lapisan terluarnya akan menjadi trofoblas, dimana ia akan membentuk plasenta.Dari hari keenam sehingga hari ke-12 pula, ia akan menempel pada dinding endometrium untuk proses implantasi. Dengan cepat trofoblas ini akan menghasilkan hormon human chorionic gonadotrophin (hCG) yang bisa dideteksi dengan test kehamilan dan akan mencapai puncak pada minggu ke-12 kehamilan.Kegagalan untuk menghasilkan hCG ditujukan pada gestational trophoblastic disease.Nutrisi didapatkan melalui kelenjar sekretori endometrium, dimana ia akan mengubah desidua (kaya dengan glikogen dan lipid) supaya tidak terpengaruh dengan estrogen dan progesteron yang dihasilkan oleh korpus leteum.Proses proliferasi trofoblastik pula akan memicu pembentukan khorionik vili.Sistem vili ini akan berproliferasi (khorion frondosum) pada permukaan endometrium yang terdapatnya embrio dan akhirnya akan membentuk area permukaan untuk transfer nutrisi kepada kotiledon yang terdapat pada plasenta.Morfologi pada plasenta ini akan sempurna pada minggu ke-12.Denyut jantung akan bermula seawal minggu ke-4 atau ke-5 dan akan dapat didengar pada pemeriksaan ultrasound seminggu kemudian (Impey dan Child, 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Definisi Abortus Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan.Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram (Prawirohardjo, S.,2008). Abortus spontan pula didefinisikan sebagai abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis.Dengan kata lain yang luas digunakan adalah keguguran (miscarriage).Sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut sebagai abortus provokatus (Cunningham,Gant dkk.,2005).
2.3.
Jenis-jenis Abortus Spontan Terdapat pelbagai jenis abortus yang termasuk dalam kategori abortus
spontan.Antara lain adalah : 1. Threatened miscarriage: adalah berlakunya perdarahan tetapi fetus masih hidup dan os servikal si ibu masih tertutup. 2. Inevitable miscarriage : berlakunya perdarahan hebat tetapi fetus mungkin masih hidup dan os servikal telah terbuka. 3. Incomplete miscarriage : Sebagian daripada fetus masih tertinggal di dalam uterus dan os servikal biasanya telah terbuka. 4. Complete miscarriage : Kesemua tisu fetus telah keluar.Perdarahan berkurang, uterus tidak lagi membesar dan os servikal telah tertutup. 5. Septic miscarriage
: Terjadi akibat uterus terinfeksi sehingga menyebabkan
endometritis.Bisa tidak ada demam.Jika terjadi infeksi pada pelvik, akan terjadinya sakit pada abdomen dan peritonisme. 6. Missed miscarriage
: Fetus tidak berkembang atau telah mati in utero tetapi
ianya tidak disadari sehingga terjadinya perdarahan atau dilakukan ultrasound scan.Uterusnya lebih kecil dari yang disangkakan dan os servikalnya tertutup.
Universitas Sumatera Utara
7. Habitual miscarriage : Terjadinya tiga atau lebih abortus spontan secara berturut-turut. (Impey dan Child, 2008) 2.3.
Epidemiologi Jumlah keguguran yang terjadi diketahui akan menurun dengan meningkatnya
usia gestasional, dari 25% pada 5 hingga 6 minggu pertama kehamilan kepada 2 % selepas 14 minggu kehamilan.Berikut adalah tabel epidemiologi abortus pada awal kehamilan.
Tabel 2.1 Epidemiologi abortus pada awal kehamilan Bil.
Variabel
Persentase
1
Abortus sewaktu konsepsi
50-70
2
Jumlah keseluruhan abortus secara klinis
25-30
3
Sebelum 6 minggu
18
4
Di antara 6 dan 9 minggu
4
5
Selepas 9 minggu
3
6
Selepas 14 minggu
2
7
Jumlah defek kromosom pada abortus
8
Jumlah abortus pada primigravida,usia di bawah 40
9
Jumlah abortus pada primigravida,usia di atas 40
10
Jumlah abortus yang berulang
11
Risiko berulangnya abortus selepas 3 kali abortus
12
Kehamilan ektopik per kelahiran hidup
13
Komplit Mola Hidatidiform
50-70 6-10 30-40 1-2 25-30 2 0,1
Campbell,Monga.Internasional Student’s Edition,Gynaecology by Ten Teachers,18th Edition:Hodder Arnold
Universitas Sumatera Utara
2.4.
Etiologi Abortus Spontan Menurut Harlap dan Shiono (1980) dalam Cunningham, Gant,.et al. (2005),
lebih dari 80 peratus abortus terjadi pada 12 minggu pertama, dan setelah itu angka ini cepat menurun.Manakala, menurut Warburton dan Fraser (1964) serta Wilson dkk. (1986) dalam Cunningham, Gant,.et al. (2005) pula, kelainan kromosom merupakan penyebab, paling sedikit separuh dari kasus abortus dini ini, dan setelah itu insidensinya juga menurun.Risiko abortus spontan meningkat seiring dengan paritas serta usia ibu dan ayah.Menurut Harlap dan Shiono (1980) dalam Cunningham, Gant,.et al. (2005), frekuensi abortus yang secara klinis terdeteksi meningkat dari 12 peratus pada wanita berusia kurang dari 20 tahun menjadi 26 peratus pada mereka yang usianya lebih dari 40 tahun.Untuk usia ayah yang sama, peningkatannya adalah dari 12 sampai 20 persen.Akhirnya, insidensi abortus meningkat apabila wanita yang bersangkutan hamil dalam 3 bulan setelah melahirkan bayi aterm. Penyebab abortus bervariasi dan sering diperdebatkan.Umumnya lebih dari satu penyebab.Penyebab terbanyak diantaranya adalah faktor genetik yaitu translokasi parental keseimbangan genetik seperti kelainan Mendelian atau mutasi pada beberapa lokus (gangguan poligenik atau multifaktor).Selain itu, kelainan kongenital uterus seperti anomali duktus Mulleri, septum uterus, uterus bikornis, mioma uteri, sindroma Asherman dan inkompetensi serviks uterus.Autoimun seperti aloimun, mediasi imunitas humoral, dan seluler serta defek fase luteal seperti sintesis LH yang tinggi, antibodi antitiroid hormon dan faktor endokrin eksternal juga merupakan penyebab terjadinya abortus.Infeksi, kelainan hematologik dan pengaruh lingkungan juga bisa menyebabkan abortus spontan pada wanita hamil (Prawirohardjo, S.,2008). 2.6.
Penyebab-penyebab Abortus Spontan Seperti yang telah diterangkan sedikit tentang penyebab-penyebab abortus
spontan pada bagian etiologi, berikut ini adalah penjelasan tentang faktor-faktor yang bisa menyebabkan abortus spontan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
2.6.1 Faktor Infeksi Menurut DeForest dkk. (1917) dalam Hacker dan Moore (1992), teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917. Penyebab infeksi yang bertanggungjawab atas gugurnya kehamilan tertentu sering sulit dikenali secara tegas.Beberapa mikroorganisme mempunyai efek lokal khusus terhadap konsepsi (misalnya Rubella, Listeria monositogines, Sitomegalovirus, Treponema pallidum), sementara infeksi dengan penyebab yang lain dapat menyebabkan efek sistemik umum dan demam yang mengakibatkan abortus.Hanya sedikit mikroorganisme diduga terlibat dalam abortus yang berulang.Infeksi oleh Mikoplasma, Listeria atau Toksoplasma harus secara khusus dicari pada wanita dengan abortus yang berulang, karena meskipun jarang ditemukan (Hacker dan Moore,1992). Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus, diantaranya sebagai berikut : •
Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta.
•
Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit bertahan hidup.
•
Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin.
•
Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitelia bawah (misalnya Mikoplasma bominis, Klamidia) yang bisa mengganggu proses implantasi.
•
Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus selama kehamilan awal (misalnya Rubela, Parvovirus B19, Sitomegalovirus, Koksakie virus B, Varisela-Zoster, HSV). (Prawirohardjo, S.,2008)
Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Faktor Lingkungan Diperkirakan 1-10 persen malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus.Rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta.Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin.Dengan terjadinya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi
gangguan
pertumbuhan
janin
yang
berakibat
terjadinya
abortus
(Prawirohardjo, S.,2008). Terdapat bukti meningkatnya insidensi abortus yang normal secara kromosom pada ibu hamil yang mengkonsumsi rokok dan alkohol.Wanita yang merokok 20 batang sehari dan minum lebih dari tujuh minuman mengandung alkohol standar per minggu, risiko abortus spontan meningkat empat kali lipat.Juga telah dilaporkan bahwa risiko abortus spontan meningkat dua kali lipat bila sedikitnya mengkonsumsi dua minuman beralkohol seminggu (Hacker dan Moore,1992). 2.6.3 Faktor Hematologik Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta.Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi.Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan peningkatan kadar faktor prokoagulan, penurunan faktor antikoagulan, dan penurunan aktivitas fibrinolitik.Kadar faktor VII, VIII, X, dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu (Prawirohardjo, S.,2008). Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik.Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi
Universitas Sumatera Utara
tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4-6 minggu, dan penurunan produksi prostasklin saat usia kehamilan 8-11 minggu.Perubahan rasio tromboksanprostasiklin memacu vasospasme serta agregrasi trombosit, yang akan menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis plasenta.Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida (Prawirohardjo, S.,2008). Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan trombosis sistemik ataupun plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada lebih dari 22 persen kasus.Hiperhomosisteinemi berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskular dini.Kondisi ini berhubungan dengan 21 persen abortus berulang.Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif.Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat (Prawirohardjo, S.,2008). 2.6.4 Faktor Psikologis Terdapat sangat sedikit bukti bahwa syok fisik atau emosional mendadak dapat menyebabkan gugurnya suatu kehamilan.Tetapi, faktor-faktor psikodinamik dapat ikut menimbulkan etiologi abortus yang berulang pada beberapa kasus dan mungkin bahkan merupakan faktor utama pada kesempatan yang jarang terjadi. Pentingnya dukungan psikologis dan keyakinan yang bersemangat tidak dapat dilebih-lebihkan dalam penanganan pasien dengan abortus berulang (Hacker dan Moore,1992). 2.6.5 Kelainan Endokrin Tiga kelainan medis umum yang biasanya berhubungan dengan abortus spontan adalah diabetes mellitus, hipotiroidisme, dan lupus eritomatous sistemik (LES).(Hacker dan Moore,1992).Seperti yang baru-baru ini dijelaskan oleh Greene (1999) dalam Cunningham, Gant,.et al. (2005), abortus spontan dan malformasi kongenital mayor meningkat pada wanita dengan diabetes dependen-insulin.Risiko ini berkaitan dengan derajat kontrol metabolik pada trimester pertama.Dalam suatu
Universitas Sumatera Utara
studi prospektif, Mills dkk. (1988) mendapatkan bahwa pengendalian glukosa secara dini (dalam 21 hari setelah konsepsi) menghasilkan angka abortus spontan yang setara dengan angka kontrol nondiabetik.Namun, kurangnya pengendalian glukosa menyebabkan peningkatan abortus spontan yang mencolok (Cunningham, Gant,.et al. 2005). Hipotiroidisme yang berat biasanya berhubungan dengan ovulasi yang terganggu daripada abortus yang spontan tetapi harus secara khusus diuji kalau terdapat tanda-tanda klinik lain yang menunjukkan keadaan itu (Hacker dan Moore,1992).Autoantibodi tiroid dilaporkan menyebabkan peningkatan insidensi abortus walaupun tidak terjadi hipotiroidisme yang nyata (Dayan dan Daniels,1996; Stagnaro-Green dkk.,1990).Sebaliknya menurut Esplin dkk. (1998) dan Pratt dkk. (1994) dalam Cunningham, Gant,.et al. (2005), penelitian lain tidak mendapatkan insidensi antibodi anti-tiroid pada wanita yang mengalami abortus berulang apabila dibandingkan dengan kontrol normal. LES adalah suatu penyakit autoimun yang meluas dengan efek pada beberapa organ dan sistem.Berbagai laporan yang menunjukkan bahwa sampai 40 persen dari kehamilan klinik akan hilang pada wanita dengan keadaan ini dan bahwa pasien semacam itu mempunyai peningkatan risiko gugurnya kehamilan sebelum munculnya stigmata klinik LES.Kejadian abortus spontan di antara pasien
LES sekitar 10
persen, dibanding populasi umum.Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA (Antiphospholipid Antibodies).aPA merupakan antibodi yang akan berikatan dengan sisi negatif dari fosfolipid (Prawirohardjo, S.,2008). Menurut Salem dkk. (1984) dalam Cunningham, Gant,.et al. (2005), kurangnya sekresi progesteron oleh korpus leteum atau plasenta dilaporkan menyebabkan peningkatan insidensi abortus.Diperkirakan bahwa kadar abnormal satu atau lebih hormon dapat meramalkan terjadinya abortus.Sayangnya, penurunan kadar hormon-hormon ini biasanya lebih merupakan akibat dari sebab.Terdapat laporan-
Universitas Sumatera Utara
laporan kasus defek fase luteal, tetapi kasus ini jarang terjadi (Cunningham,Gant, et al.,2005). 2.6.6 Penyebab Anatomik Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin.Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan.Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27 persen pasien (Prawirohardjo, S.,2008). Hasil studi oleh Acien (1996) pada 170 pasien hamil dengan malformasi uterus, mendapatkan hanya 18,8 persen yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan 36,5 persen mengalami
persalinan abnormal (prematur,
sungsang).Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40-80%), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10-30%).Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang (Prawirohardjo, S.,2008). Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium.Risiko abortus antara 25-80%, bergantung pada berat ringannya gangguan (Prawirohardjo, S.,2008). 2.6.7 Faktor Janin Penyebab abortus spontan yang paling lazim adalah kelainan genetik yang bermakna pada konsepsi.Pada abortus spontan trimester pertama, sekitar dua pertiganya mempunyai anomali kromosom yang bermakna, dan sekitar setengahnya dari ini merupakan trisomi autosom dan sebagian besar sisanya adalah triploid, tetraploid, atau monosomi 45X.Bila dilihat dengan ultrasonografi sebelum abortus spontan terjadi,banyak di antaranya tampak berupa kantung amnion yang kosong dan keadaan ini disebut sebagai kehamilan anembrionik (Hacker dan Moore,1992).
Universitas Sumatera Utara
2.6.8 Faktor Ayah Menurut Kulscar dkk. (1991) dalam Cunningham, Gant, et al. (2005) tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya abortus spontan.Yang jelas, translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus. Adenovirus atau herpes simpleks yang ditemukan pada 40 persen sampel semen yang diperoleh dari pria steril. Virus terdeteksi dalam bentuk laten pada 60 persen sel, dan virus yang sama dijumpai pada abortus. 2.7
Hubungan Usia Ibu dengan Abortus Spontan Risiko abortus spontan meningkat bersama usia ibu, dan penelitian yang
dihubungkan dengan prosedur diagnostik sebelum lahir telah mengungkapkan bahwa kalau janin yang hidup terlihat dengan ultrasonografi pada 8 minggu umur gestasi, kurang dari 2 persen akan mengalami keguguran secara spontan kalau usia ibu dibawah 30 tahun. Tetapi kalau ibu berusia lebih dari 40 tahun, risikonya lebih dari 10 persen dan dapat setinggi 50 persen. Pada usia 45 tahun, kemungkinan keterangannya adalah meningkatnya insidensi konseptus yang secara kromosom abnormal pada wanita yang lebih tua (Hacker dan Moore,1992). Pada kajian fertilisasi in-vitro peringkat nasional tahun 2000, melaporkan bahwa persentase abortus spontan adalah kurang dari 20 persen untuk wanita berusia kurang dari 35 tahun, 30 persen pada usia 40 tahun dan lebih 60 persen untuk yang berusia 44 tahun atau lebih (Speroff dan Fritz,2005). Kajian peringkat nasional di Amerika Serikat pada tahun 2001 pula melaporkan, persantase kelahiran hidup per pengiriman embrio adalah 41,1 persen untuk wanita yang berusia kurang dari 35 tahun, 35,1 persen pada wanita berusia 35 hingga 37 tahun, 25,4 persen untuk usia 38 hingga 40 tahun, 14,5 persen untuk yang berusia 41 hingga 42 tahun, 5,9 persen untuk yang berusia 43 tahun dan 2,9 persen untuk yang berusia 44 tahun dan lebih. Seperti fertilitas akan menurun dengan
Universitas Sumatera Utara
meningkatnya usia, insidensi untuk mengalami abortus spontan juga meningkat dengan meningkatnya usia. Persantase abortus spontan keseluruhannya adalah rendah dan stabil sebelum usia 30 (7-15%), sedikit meningkat pada usia 30 hingga 34 (821%), meningkat lebih banyak pada usia 35 hingga 39 (17-28%), dan usia 40 atau lebih adalah 34-52% (Speroff dan Fritz,2005). Insidensi kelainan kromosom meningkat dengan meningkatnya umur ibu. Kira-kira 50 sampai 60 persen pada kelainan kromosom berkaitan dengan defek kromosom sewaktu konseptus. Risiko keguguran juga meningkat seiring dengan meningkatnya usia ibu. Contohnya, wanita berusia 40 tahun mengalami dua kali lipat risiko abortus berbanding wanita berusia 20 tahun (Campbell dan Monga,2006). Pada awal tahun 1960-an,beberapa peneliti di Paboratories mula mengkaji keterkaitan kromosom dan abortus spontan, mendapatkan semakin cepat abortus spontan terjadi, kemungkinan disebabkan oleh kelainan kromosom semakin tinggi. Sekarang lebih diketahui bahwa abortus spontan yang terjadi pada 8 minggu pertama kehamilan memiliki kurang lebih 50 persen insidensi menderita kelainan kromosom (Benson,1982). Kelainan kromosom sering dijumpai pada janin awal yang mengalami abortus spontan, dan menyebabkan banyak atau sebahagian besar abortus pada awal kehamilan. Sekitar 50 sampai 60 persen abortus spontan dini disertai dengan kelainan kromosom pada konseptus. Jacobs dan Hassold (1980) melaporkan bahwa sekitar seperempat dari kelainan kromosom disebabkan oleh kesalahan gametogenesis ibu dan 5 persen oleh kesalahan ayah. Dalam satu studi terhadap janin dan neonatus dengan trisomi 13.Robinson dkk. (1996) pula melaporkan bahwa pada 21 dari 23 kasus, kromosom tambahan berasal dari ibu (Cunningham,Gant, et al.,2005). Separuh dari abortus karena kelainan sitogenik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kriotip normal. Untuk sebahagian besar trisomi,
Universitas Sumatera Utara
gangguan miosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan kejadian sekitar 30 persen dari seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak.Semua kromosom trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Risiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun (Prawirohardjo, S.,2008). Studi yang dilakukan oleh Creasy dkk., dengan menggunakan tehnik banding melaporkan, tipe abnormalitas terjadi pada hampir 1000 abortus yang dievaluasi, 30,5% mengalami abnormalitas kromosom, 49,8% adalah trisomi yang disetujui akibat dari kesalahan pada nondisjunction meiosis. Lebih menarik lagi, dari kesemua kromosom dalam kariotipe yang terlibat, 1 per 3 adalah dari abortus akibat trisomi 16. Abnormalitas ini tidak terjadi pada bayi yang lahir, ianya lebih sering pada yang mengalami aborsi. Kariotipe (45,X) pula terjadi sebanyak 23,7%.Sebagai tambahan, 17,4% pada kelainan kromosom ini memiliki poliploidi, triploidi dan tetraploidi (Benson,1982). Monosomi X (45,X) adalah kelainan kromosom tersering berikutnya dan memungkinkan lahirnya bayi perempuan hidup (sindroma Turner).Triploid sering dikaitkan dengan degenerasi hidropik pada plasenta. Mola hidatidosa parsial mungkin memperlihatkan perkembangan janin yang bersifat triploid atau trisomik untuk kromosom 16. Janin yang memperlihatkan kelainan-kelainan ini sering mengalami abortus dini, dan beberapa yang mampu bertahan hidup lebih lama mengalami malformasi berat. Namun usia ibu dan ayah yang lanjut tidak berkaitan dengan kelainan ini (Cunningham,Gant,et al.,2005). Analisis retrospektif yang dilakukan keterkaitan usia ibu dan abortus yang terjadi, menyatakan bahwa abortus yang terjadi tidak mempunyai hubungan dengan
Universitas Sumatera Utara
jumlah paritas dan mereka percaya itu adalah anggapan palsu karena mereka menyatakan ianya tergantung pada pelbagai fenomena seperti patient self-selection (pasien yang pernah mengalami keguguran tetap ingin hamil lagi), usia ibu dan halhal lain yang menyebabkan risiko tinggi untuk hamil (Kline J, Shrout PE, Stein ZA, 1978). Analisis pada dua studi kohort yang dilakukan pada wanita, dari tahun 1935 hingga 1944 dan dari tahun 1961 hingga 1970, menyatakan bahwa jumlah abortus berada dalam tahap minimal (dari 16,9 ke 13,1%), namun usia gestasional untuk terjadinya abortus adalah hampir identik (9,2 hingga 9,4 minggu) dan ini berarti usia gestasional untuk berlakunya aborsi tidak terlalu bervariasi walaupun diambil kira faktor usia ibu (Wilcox AJ, Treloar AE, Sandler DP, 1981). Menurut Guerrero dan Rojas (1975), mereka mendapatkan peningkatan insidensi abortus yang relatif terhadap kehamilan normal apabila inseminasi terjadi 4 hari sebelum atau 3 hari sesudah saat pergeseran suhu tubuh basal.Dengan demikian, mereka menyimpulkan bahwa penuaan gamet di dalam saluran genetalia wanita sebelum pembuahan meningkatkan abortus. Menurut Dickey dkk. pula, mereka melaporkan
bahwa pasien infertil berusia lebih dari 35 tahun memperlihatkan
peningkatan insidensi sindroma kantong amnion kecil dan abortus euploidi. Tidak diketahui apakah induksi ovulasi atau fertilisasi in vitro menyebabkan penuaan gamet sebelum implantasi (Cunningham,Gant dkk.,2005). Salah satu faktor risiko mayor untuk berlakunya abortus spontan adalah usia ibu. Jumlah abortus spontan meningkat seiringan usia selepas usia 20 tahun (Heffner, L,2004). Satu studi telah menemukan telah meningkatnya risiko untuk berlakunya abortus spontan pada wanita berusia 45 tahun ke atas. Dari jumlah sampel yang diambil, sebanyak 75 % berakhir dengan abortus spontan (Nybo Andersen A, Wohlfahrt J, et.al., 2000).
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Berdasarkan tujuan penelitian, maka hal-hal yang hendak diteliti adalah gambaran kejadian abortus spontan dengan usia ibu di rumah sakit umum pusat (RSUP) Haji Adam Malik dari tahun 2005 hingga 2010.
Etiologi
Abortus Spontan
Usia Ibu
Gambaran Kejadian Abortus Spontan dengan Usia Ibu.
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara
3.2 Varibel dan Definisi Operasional Variabel dalam peneitian ini adalah gambaran kejadian abortus spontan dengan usia ibu sewaktu hamil. Prevelensi menurut Sastroasmoro, S., (2008) adalah proporsi kasus yang sakit dalam suatu populasi pada suatu saat atau kurun waktu. Data prevalensi dalam penelitian ini didapatkan daripada rekam medis yang didapatkan dari Departement Obstetri dan Ginekologi RSUP H. Adam Malik, Kota Medan pada tahun 2005 sehingga 2010. Kehamilan adalah periode wanita membawa embrio atau janin berkembang yang secara normalnya di dalam uterus. Definisi abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mampu hidup di luar rahim (< 500 gram atau < 20 minggu).Abortus spontan pula adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi dari luar. Angka Kematian Ibu (AKI) adalah banyaknya kematian perempuan pada saat hamil atau selama 42 hari sejak terminasi kehamilan tanpa memandang lama dan tempat persalinan, yang disebabkan kehamilannya atau pengelolaannya, dan bukan karena sebab-sebab lain, per 100.000 kelahiran hidup.
Universitas Sumatera Utara