Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Ijime Ijime adalah sebuah tindakan yang dilakukan secara bersama dalam sebuah kelompok siswa yang bertujuan untuk mempermalukan atau menyiksa pada siswa tertentu secara psikologi atau mental, secara verbal, atau pun secara fisik (Sugimoto, 2003:137). Pengertian ijime mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan waktu. Dilihat dari segi makna, secara makna leksikal kata ijime termasuk jenis kata benda dalam bahasa Jepang yang berasal dari kata kerja ijimeru yang berarti “mengusik”, “menggoda”, “mempermainkan”, atau “menganiaya”, dan juga “menyakiti” secara mental atau fisik orang lain terutama menyusahkan seseorang yang lemah kedudukannya, tanpa alasan yang wajar umtuk menikmati rasa puas (Matsuura, 1994:326). Mombu Kagakusho dalam Kyouiku To Fukushi: Manabi Wo Kei Ni (2009) mendefinisikan ijime sebagai berikut: いじめについての定義を以下のように定めています。 自分より弱いものに対して一方的に身体的、心理的な攻撃を継続的に加 え相手が深刻な苦痛を感じているもの。集団内で単独または複数の成員 が、人間関係のなかで弱い立場にいる成員に対して身体的暴力や危害を 加えたり、心理的な苦痛や圧力を感じさせたりすること。 Terjemahan: Berikut adalah definisi mengenai ijime. Melakukan penyerangan secara fisik maupun metal kepada seseorang yang lebih lemah secara terus menerus sehingga menyebabkan penderitaan yang serius. Tindakan kekerasan secara fisik dan memberi tekanan secara mental dari seorang individu atau beberapa anggota dalam sebuah kelompok kepada anggota kelompok lainnya yang berada pada posisi lemah.
9
Ijime berbeda dengan perkelahian karena perkelahian tidak berlanjut terus menerus sedangkan ijime dilakukan secara berkesinambungan. Hal ini juga disebutkan oleh Nojuu (1989) dibawah ini: 「いじめ」と言うのは「けんか」と異なり、なんらかの形で優位にある 者が、相手に一方的に加える攻撃です。強い立場にある者が弱い立場の 者に対して肉体的、精神的に圧迫し、相手が苦しんだりいやがつたりす る様子を見て、喜ぶところにその特徴が選ります。自分より劣っている ものに対して一方的に加える攻撃がいじめであり、喧嘩のようにー過性 ではなく、長期間に亘っておこなわれるところに特徴があります。 Terjemahan: Ijime merupakan suatu tindakan serangan sepihak yang dilakukan oleh pihak yang lebih unggul dan ijime berbeda dengan perkelahian. Pihak yang kuat melakukan tindak penindasan terhadap pihak yang lebih lemah baik pada fisik maupun mental, dan juga ia senang melihat pihak yang lemah menderita atau kesal. Ijime adalah memberi serangan secara sepihak terhadap orang yang lebih rendah atau lemah dari dirinya, namun tidak seperti perkelahian, ijime memiliki ciri khusus yaitu terjadi dalam waktu yang berkepanjangan. Taki (2001) menyatakan bahwa berdasarkan hasil survey yang dilakukan peneliti Jepang banyak disebutkan bahwa ijime dapat terjadi kapan pun, di sekolah manapun, dan diantara anak-anak manapun. Survey tersebut manyatakan bahwa ijime tidak dipertimbangkan sebagai tingkah laku spesifik seorang anak yang “luar biasa” dengan latar belakang yang problematik tapi sebagai seorang anak yang biasa. Yang melakukan ijime bukan hanya anak-anak yang memiliki latar belakang yang berbeda namun anak-anak biasa yang dengan latar belakang baik dan yang tidak pernah mendapatkan perlakuan tidak baik pun bisa melakukan ijime. Taki (2001) menyebutkan: Using a case study method, I can find many possible factors to explain the causes by relevant cases. Some are derived from conflicts among peers or against teachers. At the same time, others are from their frustration in family or school life. It is too difficult to identify only one factor as a cause of bullying. Yet, it is very easy to find such factors as the cause of bullying even among ordinary children with no experience of bullying.
10
Terjemahan: Dengan menggunakan metode studi kasus, saya menemukan faktor-faktor yang memungkinkan yang dapat menjelaskan penyebab dari kasus yang bersangkutan. Beberapa faktor adalah karena konflik antar teman sebaya atau dengan guru. Pada saat yang bersamaan, yang lainnya datang dari kefrustasian dalam kehidupan keluarga atau sekolah. Sangatlah sulit untuk mengidentifikasi penyebab dari pembully-an ini hanya dengan satu faktor. Namun, sangat mudah menemukan faktorfaktor seperti ini sebagai penyebab pem-bully-an bahkan diantara anak-anak yang tidak memiliki pengalaman dalam pem-bully-an. Pernyataan diatas telah menjelaskan bahwa semua anak dapat melakukan tindak ijime, bukan hanya anak yang memiliki latar belakang yang kurang namun juga anak yang biasa saja dalam artian latar belakang keluarga dan pendidikan yang baik dan juga lingkungan sekitarnya memiliki pengaruh baik sekalipun tidak menjamin bahwa seorang anak tidak akan melakukan tindak ijime ini. 2.2 Penyebab Terjadinya Ijime Anak-anak atau orang dewasa yang melakukan ijime bisa berasal dari berbagai macam tipe keluarga, kelas sosial dan latar belakang budaya. Dalam Macklem (2003:37) dijelaskan: People who bully do so for many reasons. They may set out deliberately to bully and feel pleasure in bullying. It may give them the sense of power. People who bully may not necessarily lack self-esteem or be insecure. Many have average or above-average self-esteem. Their temperaments are more aggressive and they lack empathy. This can caused by poor parenting and a lack of good role models or be a personality trait that needs fostering in a positive direction. Terjemahan: Orang melakukan tindak bully karena berbagai macam alasan. Mereka melakukannya secara terang-terangan dan merasakan kenikmatan untuk melakukan tindakan bullying. Hal ini akan memberi kesan bahwa mereka kuat. Orang yang mem-bully tidak selalu karena kurangnya rasa harga diri atau karena merasa tidak aman. Banyak orang yang masih memiliki rasa penghargaan diri ratarata atau diatasnya. Tempramen mereka lebih agresif dan mereka memiliki rasa empati yang kurang. Ini bisa disebabkan oleh cara mendidik yang salah dan kurangnya contoh yang baik dari orang dewasa.
11
Berikut merupakan beberapa alasan terjadinya tindak ijime: 1.
Mereka akan merasa sedih atau marah atau karena mereka tidak dapat masuk dalam kelompoknya.
2.
Mereka ingin terlihat kuat dan terlihat memamerkan kekuasaan mereka.
3.
Mereka sendiri merupakan korban ijime yang dilakukan oleh anggota keluarga.
4.
Mereka yang takut diganggu jadi mengganggu lebih dahulu.
5.
Jika mereka merasa tidak puas, mereka melampiaskan perasaan ini pada orang lain.
Scaglione (2006:16) mengatakan: Much of the recent research seems to indicate that, contrary to popular belief, most bullies do not suffer from self-esteem. Feeling bad about themselves does not explain why they bully. In fact, they are usually well liked by their peers and by adults. They bully not to intentionally harm another but rather to obtain things that we all want in life: power, popularity, and respect from others. In schools, bullying is one way (though a negative one) children achieve respect and status from their peers. Bullies use their victims to feel powerful. Terjemahan: Beberapa peneliti banyak yang menyatakan mereka tidak setuju dengan kepercayaan umum bahwa para pem-bully tidak bermasalah dengan harga diri. Merendahkan diri tidak menjelaskan alasan mengapa mereka melakukan pembully-an. Padahal faktanya biasanya mereka sangat disukai oleh teman sepermainannya dan orang dewasa. Mereka melakukan tindakan bully bukan untuk menyakiti namun untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan semua orang: kekuatan, popularitas, dan dihormati oleh orang lain. di sekolah mem-bully adalah satu-satunya cara (cara yang negatif) bagi anak-anak untuk mendapatkan rasa hormat dan status dari teman sepermainan mereka. Pem-bully memanfaatkan korban mereka agar terlihat kuat. Scaglione (2006:17-19) mengatakan ada beberapa faktor lain yang dapat menjelaskan mengapa beberapa anak melakukan ijime sedangkan anak-anak yang lain tidak. Beberapa faktor itu adalah:
12
1. Dinamika keluarga. Situasi di rumah bisa membuat seorang anak menjadi seorang pelaku ijime. Semua anak-anak memerlukan kasih sayang untuk dapat utmbuh dengan sehat dan menjadi orang dewasa yang menyenangkan. Saat orang tua melakukan tindak ijime di rumah, anak-anak akan mengimitasi tindakan tersebut. Tindakan kejam dan negatif dari orang tua terhadap anak seperti sering memukul atau mengecewakan anak dapat berakibat anak melakukan hal yang sama pada yang lain. Hal ini terjadi karena kurangnya kasih sayang orang tua yang mungkin disebabkan orang tua yang bekerja dan tidak memiliki waktu untuk anakanaknya. Bisa juga karena orang tua yang tidak menetapkan kedisiplinan di rumah. Hal ini bisa mengakibatkan anak-anak yang mengontrol orang tua dan bukan sebaliknya. Mereka melakukan apa pun yang mereka inginkan dan mereka tidak dapat mengontrol diri. Anak-anak ini tidak belajar untuk mengikuti peraturan. Jika orang tua mengerahkan kedisiplinan, ini akan membuat Si anak marah dan tidak senang atas permintaan orang tuanya itu. Berarti tindakan dari orang tua bisa menjadi contoh untuk anak-anak. 2. Memiliki pengalaman atau pernah di ijime Beberapa anak tinggal bersama dengan saudara yang kandung yang suka mengijimenya. Jika hubungan seperti ini berkembang dalam hubungan antar saudara kandung, resiko seorang anak melakukan ijime akan semakin tinggi. Kodrat yang sudah ada yaitu yang tua mengusik yang muda, dan yang muda mengusik yang paling kecil. Resiko akan semakin tinggi jika dalam keseharian Sang kakak sering mengejek atau bertindakan kasar dan agresif satu sama lain dalam sebuah 13
permainan. Tindakan ini akan terus diingat dan berbekas dalam seorang anak jika hal ini terus berulang. 3. Rasa iri Rasa iri bisa menjadi motivasi yang paling kuat bagi sebagian anak. Adanya keinginan untuk menyerang orang lain yang dianggap lebih baik dari dirinya. Terutama bagi anak perempuan. Rasa iri bisa menjadi pemicu tingkah laku yang jahat pada lawannya. Misalnya, seorang anak perempuan yang baru saja pindah banyak disukai oleh anak laki-laki, dan ia cantik. Hal ini akan menjadi pemicu rasa iri yang sangat bagi beberapa anak perempuan. 4. Ingin menunjukkan keberadaanya atau adanya rasa ingin di perhatikan Pelaku sering kali mencari perhatian saat mereka melakukan ijime secara terangterangan. Mereka merasa menjadi pusat perhatian. Kekuatan, berkuasa, dihormati, dan popularitas merupakan keinginan yang ingin dicapai. 2.3 Shuudan Ijime Urui dalam Overina (2006:11-12) mengatakan bahwa ijime merupakan permainan yang brutal, yang dilakukan sebagai partisipasi kelompok dalam bentuk kelompok pada sebuah sekolah atau kelas yang ada kalanya dapat berakhir dengan kematian. Tindak ijime sekarang ini dilakukan oleh kelompok kecil di kelas dan mereka berusaha untuk menarik dan melibatkan teman sekelasnya untuk melakukan ijime pada teman sekelas atau teman satu kelompoknya. Biasanya ijime dilakukan oleh kelompok dan mereka menyebutnya shuudan ijime ( 集 団 い じ め ) . Shuudan ijime adalah ijime yang dilakukan oleh sebuah kelompok besar dan walaupun ada beberapa dari mereka yang hanya sebagai penonton saja. Biasanya beberapa dari mereka ada yang berpura-pura
14
tidak tahu adanya kejadian ini karena mereka takut mereka yang akan menjadi sasaran dari ijime. Hal ini juga disebutkan oleh Morita dan Kiyonaga (2004) bahwa ijime dilakukan oleh sekelompok anak sekolah yang didukung baik secara langsung maupun tidak langsung oleh siswa lainnya karena bagi mereka hubungan teman sekelas adalah hanya sebuah area yang terdapat dalam kehidupan sekolah yang tidak secara langsung diatur oleh guru. Biasanya yang menjadi korban dari ijime ini adalah mereka yang lemah, cacat, atau bahkan mereka yang mempunyai kelebihan, misalnya pandai di kelas dan ini yang membuat ijimekko merasa iri padanya. Tindakan ijime bisa berbuah tindak kriminal karena sebenarnya tindak ijime hanya sebatas perlakuan yang tidak wajar terhadap seseorang yang memiliki sikap atau kebiasaan yang berbeda dari kelompoknya perlakuan itu namun lama kelamaan menjadi berkelanjutan. Menurut Shinbori (1987:149) ijimekko adalah mereka sebagai pelaku (加害者/ pelaku) dan ijimerarekko adalah mereka yang menjadi korban (被害者/ korban). Ijime bukannya tidak mungkin bisa berkurang. Hal ini dikemukakan oleh Taki (2001) jika seorang anak mampu untuk saling bertoleransi satu sama lain maka semua tindak ijime bisa dikurangi. Hanya saja tingkat stres anak-anak Jepang sangat tinggi selain karena tuntutan akademik mereka juga memiliki masalah dalam berinteraksi dengan sesamanya terutama teman sebaya, dan tingkat stres dapat mempengaruhi tingkat atau frekwensi terjadinya ijime. Faktor penyebab stres mempengaruhi tingkat stres. Apabila anak-anak dapat mengembangkan kemampuan berinteraksi mereka dengan teman sebayanya, maka ijime dan juga masalah tingkah laku atau masalah sosial yang lain juga bisa dikurangi.
15
Denmark (2005:184) mengatakan ijime paling sering terjadi di sekolah-sekolah dan kelas-kelas dimana para guru tidak memiliki kewibawaan, siswa-siswa yang kurang rasa kebersamaan, dan siswa-siswa yang tidak memegang komitmen pada kelompoknya sendiri. Dengan kata lain, apabila para guru memiliki wibawa tinggi serta di hormati oleh para siswanya, maka angka siswa yang terlibat dalam masalah ijime ini sedikit. Nakada (2003) mengatakan tidak semua anggota kelompok ijime melakukan tindak ijime secara langsung. Nakada (2003) membagi kelompok-kelompok yang terlibat dalam tindak ijime berdasarkan karakteristiknya: 1. Higaisha (被害者 / korban) Berdasarkan karakteristiknya, korban dibagi menjadi 4, yaitu: a. Anak yang lemah: biasanya adalah anak yang memiliki sifat pemalu, pemurung, pendiam, lemah, tidak dapat melawan, tidak bisa marah, dan kemauannya lemah. b. Anak yang tidak menyenangkan: biasanya adalah anak yang suka melawan, memiliki sifat suka menentang, berbicara buruk, sombong, mau menang sendiri, dan yang memiliki sifat yang aneh. c. Anak yang inferior: adalah anak yang tidak mampu melakukan sesuatu dengan benar, pelupa, tidak pandai, kotor, dan miskin. d. Anak yang cacat: biasanya yang memiliki cacat fisik dan lemah dalam olahraga. Sifat-sifat diataslah yang menyebabkan anak-anak tersebut tidak dapat bergaul dengan teman-temannya, karena itu mereka memilih untuk tunduk pada yang lebih kuat dan selalu mengikuti aturan serta perintah dari pihak yang kuat seperti
16
guru dan / atau kelompoknya. Sifatnya yang tidak dapat melawan ini juga yang membuat teman-temannya melakukan tindak ijime, karena pada dasarnya terjadinya tindak ijime ini karena korban tidak mau berusaha untuk mengikuti kemauan kelompoknya, misalnya dia yang berpenampilan kotor dan tidak rapi sangat mengundang untuk dijahili teman-teman sekelasnya karena menurut mereka anak seperti itu pantas untuk diganggu karena ia tidak diterima dalam kelompok karena penampilannya itu. 2. Kagaisha (加害者 / penyerang atau pelaku aniaya) Biasanya yang menjadi pelaku dalam ijime adalah mereka yang suka menentang dan memberontak dalam sekolah baik terhadap guru maupun aturan sekolah. Sebenarnya penentangan yang dilakukan oleh mereka tidak dianggap penentangan oleh pelaku sendiri sebab mereka hanya ingin menunjukkan diri dan kemandirian mereka. Sifat mereka yang mementingkan diri sendiri inilah yang membuat mereka melakukan hal itu sebab mereka ingin memenuhi kepentingannya. 3. Kanshuu (観衆 / penonton) Kelompok ini memiliki pandangan yang sama mengenai nilai dari tindakan ijime dengan kelompok pelaku, bahkan kelompok ini memiliki sifat mementingkan diri sendiri yang lebih daripada kelompok pelaku. Mereka biasanya hanya melihat saja peristiwa terjadinya ijime ini dan menertawakan peristiwa itu karena bagi mereka itu hal yang lucu. Namun mereka juga memiliki sedikit sifat dari kelompok korban, yaitu sifat tunduk pada yang lebih kuat, karena itu mereka lebih memilih bekerja sama dengan kelompok pelaku dalam melakukan tindakan
17
ijime dan mereka setuju dengan tindakan itu sebab menurut mereka hal ini sangat menyenangkan. 4. Boukansha (傍観者 / penonton pasif) Biasanya yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang memiliki nilai akademik bagus dan juga mengikuti banyak kegiatan kelas. Anak-anak yang menjadi pengurus kelas, nilai akademik yang baik dan memiliki keinginan untuk masuk ke universitas terbaik adalah ciri-ciri dari kelompok ini. Dalam kelompok ijime, kelompok boukansha ini adalah kelompok yang hanya diam saja, tidak menertawakan bahkan tidak melihat jalannya peristiwa ijime. Mereka memilih untuk berpura-pura tidak tahu menahu tentang kejadian ini apalagi ikut campur tangan, sebab mereka takut akan menjadi sasaran ijime juga dan hal itu bisa menghancurkan prestasi mereka dan agar mereka dapat melanjutkan sekolah mereka dengan tenang. Kelompok ini juga sangat mementingkan diri sendiri dilihat dari sifat mereka yang berpura-pura tidak tahu. Hal diatas juga di setujui oleh Morita dan Kiyonaga (1994:42) yang mengkarakterkan orang-orang yang terlibat dalam ijime: para korban, pelaku, penonton aktif (audience: orang-orang yang memberikan dukungan secara langsung), dan penonton pasif (bystanders: orang-orang yang mengetahui terjadinya peristiwa namun tidak campur tangan). Morita (1994) juga menyebutkan karkteristik ijime: (1) ijime tidak terlihat oleh guru atau siapa pun; (2) korban bisa berubah posisi menjadi pelaku; (3) siapapun bisa menjadi korban; (4) terdapat banyak pelaku dan beberapa korban yang pasti; (5) sangat sedikit anak
yang
menghentikan
peristiwa
ijime
ini;
(6)
para
pelaku
seringkali
18
mempertunjukkan kelakuan yang tidak pantas. Morita (1994:21) juga menambahkan ijime terjadi di antara teman sekelas dan anggota dari ekstrakurikuler sekolah. Dalam Nihon Kodomo Wo Mamorukai (1995) mengatakan bahwa dilihat dari tempatnya, ijime kebanyakan dilakukan di dalam kelas atau tempat dimana mereka paling sering berinteraksi, seperti dalam ekstrakurikuler sekolah. hal ini terjadi karena pada jaman sekarang ini Jepang hanya menyediakan sedikit tempat bermain, dan juga waktu serta teman bermain yang kurang untuk anak-anak melepaskan kepenatan mereka. Namun ada juga anak yang melakukan ijime bukan karena ia benar-benar memiliki kepentingan langsung dengan ijimekko, tapi ia melakukan ijime karena ia melihat temannya melakukan ijime dan dia ikut-ikutan melakukan ijime karena menyenangkan. Bisa dikatakan anak seperti ini hanya mengikuti kelompoknya saja. Ini juga merupakan salah satu cara agar ia bisa diterima oleh kelompoknya. Ijime lebih sering diaplikasikan secara psikologi atau mental dibandingkan secara fisik. Berdasarkan hasil laporan yang telah dikumpulkan oleh para guru pada tahun 2002-2003, tipe ijime yang paling sering ditemui adalah mencibir (31.6%), penghinaan secara verbal (17.9%), kekerasan fisik (14.9%), pengasingan dalam pergaulan (14.2%), pencurian (7.6%), menjauhkan diri (5.2%), pemerasan (2.2%), pengusikkan (1.3%), dan lainnya (5.1%) (Ishikada, 2005:141). Di sekolah-sekolah, ”mengganggu” atau bullying atau ijime biasa terjadi di semua area sekolah. Biasanya paling sering terjadi di tempat bimbingan belajar, saat istirahat siang, di lorong sekolah, di toilet, di bus sekolah, di dalam kelas-kelas yang biasanya di butuhkan kerja kelompok dan/atau setelah aktifitas sekolah. Kadang-kadang ijime di sekolah terdiri dari murid-murid yang mengambil keuntungan dari atau mengisolasi satu murid dan mendapatkan loyalti dari seseorang yang memihak pada ijimekko karena takut 19
menjadi sasaran ijime selanjutnya. Ijimekko akan mengejek target mereka sebelum melakukan ijime secara fisik pada targetnya. Korban ijime biasanya adalah anak-anak yang berbeda atau aneh daripada anak seumuran dari pelaku. Beberapa anak ter-ijime sebab mereka telah terisolasi dan mereka yang tidak memiliki keahlian dalam bersosialisasi dengan teman-temannya (Williams, 2005). Beberapa peneliti mengatakan bahwa ijime tidak dapat dicegah jika para pelaku ijime merasakan kesenangan atas tindakan mereka (Krebs, 2007). Ijime atau school bullying adalah sebuah tindakan yang bertujuan menyakiti atau mengganggu korban. Tindakan tersebut bisa secara lagsung pada fisik atau emosional, dengan menggunakan media elektronik, atau secara tak langsung. Berikut merupakan tipe-tipe daripada school bullying: 1. Secara fisik: Menonjok, mendorong, menampar, menyerang, penyiksaan 2. Secara emosional: Menyebarkan rumor buruk tentang seseorang, menjauhi orang tertentu dalam sebuah grup, mengabaikan, meledek seseorang dan memaki dengan kata-kata kasar, dan mempermalukan seseorang. 3. Media elektronik Ijime juga bisa berlangsung dengan elektronik. Cara mengusik seperti ini dikenal dengan sebutan cyber-bullying. Ini terjadi dengan cara seseorang mengusik melalui internet, telefon genggam, atau media elektronik lainnya. Beberapa contoh ijime melalui media elektronik: mengirimkan SMS atau e-mail yang berisikan kata-kata kasar, memajang foto atau tulisan tentang seseorang pada blog atau web site, dan
20
menggunakan profil orang lain untuk menyebarkan rumor tentang orang lain (William, 2005). Macklem (2003:38) mengatakan bentuk dari tindakan ijime adalah secara fisik, verbal, dan secara psikologi atau mental. Yang termasuk dalam ijime secara fisik yaitu pengrusakan barang milik orang lain, mendorong, mencakar, menyengkat. Ijime secara verbal yaitu mengejek, mengintimidasi, megancam, memberi julukan, mencibir atau berkomentar negatif. Menuliskan kejelakan seseorang menggunakan e-mail atau surat juga dikategorikan ke dalam ijime secara verbal. Ijime secara mental yaitu menyebarkan gosip dan rumor, dan pengabaian. 2.4 Bentuk-bentuk Shuudan Ijime Rohlen (1998:340-341) mengatakan: Of the bullying activities, 70 percent could be categorized as psychological bullying. This includes making threats, calling names, leaving classmates out of games and other activities, and ostracizing them completely. Some typical bullying taunts are baikin (germ), shi ne (drop dead), and kusai (you stink). The recipients of such abuse are usually the weak children and the goody-goodies. While the strong always prey on the weak and bullying may be fun, the popularity of such psychological bullying might be explained by its invisibility. Terjemahan: Dari semua kegiatan ijime, 70 persennya bisa dikategorikan sebagai ijime secara psikologi. Yang termasuk dalam kegitan ini adalah mengancam, memberi julukan, sengaja tidak mengikut sertakan korban dalam kegiatan, atau mengabaikan mereka. Beberapa tipikal ledekan atau ejekan dalam ijime adalah baikin (kuman), shi ne (mati saja), dan kusai (bau). Biasanya yang menjadi target adalah anak-anak yang lemah dan mereka yang dianggap memuakkan di mata si pelaku. Hal ijime bisa menjadi sangat menyenangkan bagi si pelaku karena ijime secara psikologi ini sangat sulit terlihat.
Berdasarkan bentuknya , Sase (1992) membagi shuudan ijime menjadi 8 bentuk:
21
1. Zannin na ijime (残忍な苛め) Sasaran ijime ini biasanya pada fisik dan mental seseorang dan dilakukan di depan kelompoknya (tema-teman sekelas) oleh kelompok ijimekko. Biasanya korban dari zannin na ijime ini pasti akan mengalami cidera. 2. Inshitsu na ijime (陰湿な苛め) Ini adalah ijime yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tujuannya adalah agar tidak terlihat atau ketahuan oleh anggota kelompok maupun yang bukan kelompoknya bahwa dialah pelaku dari tindak ijime ini dan biasanya sifat dari tindak ijime ini sangat kejam dan dalam waktu yang berkelanjutan. Perlakuan ini dilakukan kepada ijimerarekko yang menurutnya memiliki kondisi yang berbeda dengan kelompok yang ada. Maksudnya kelompok yang ada dalam hal ini adalah teman sekelas maupun kelompok bermainnya. 3. Tsukaipasiri no ijime (使いぱしりの苛め) Ijime yang dilakukan oleh ijimekko terhadap teman sekelasnya dengan cara menyuruh-nyuruh ijimekko untuk melakukan sesuatu untuknya dan mereka memperlakukannya seperti layaknya pesuruh. Tsukapasiri sendiri memiliki arti ”pesuruh”. Umumnya tindak ijime ini tidak hanya dilakukan dalam bentuk perintah dan juga dengan kata-kata kasar namun juga dengan tindakan yang menyakitkan seperti pemaksaan untuk melakukan sesuatu. 4. Baikin ijime (バイ菌苛め) Baikin berarti kuman atau bakteri. Ijime yang dilakukan oleh ijimekko karena mereka menganggap ijimerarekko membawa kuman atau virus pada mereka atau teman sekelasnya. Karena itu mereka menyebut ijime ini baikin ijime.
22
Umumnya korban dalam baikin ijime adalah anak yang sulit menyesuaikan diri dengan teman-teman sekelasnya, kemudian tindakannya sama sekali tidak sejalan dengan temna-temannya itu. Seperti ia sering meninggalkan barang dalam kelas (ceroboh), tidak pandai dalam merapikan baik barang maupun penampilannya sehingga memberi kesan kotor dan jijik, dan juga memiliki kelainan fisik atau mental misalnya memiliki penyakit kulit seperti alergi atau penampilan luarnya atau fisiknya yang aneh. 5. Fuzake no ijime (ふざけの苛め) Disebut fuzake karena ijime ini dilakukan dalam bentuk sebuah permainan kelompok. Oleh karena itu, apapun yang terjadi pada ijimerarekko bukanlah tanggung jawab kelompok dan juga ijimekko tidak akan mereasa bersalah karena menurut mereka, mereka sedang melakukan permainan, namun sebenarnya permainan ini memiliki tujuan lain yaitu untuk menjahili teman yang mereka tidak sukai itu. Biasanya korbannya adalah anak yang sama dalam setiap permainan dan permainan ini akan terus berlanjut sampai selesai. Jika dilihat oleh orang awam terjadinya peristiwa fuzake ijime ini, ijimekko akan berandil bahwa mereka sedang melakukan permainan biasa dan memang terlihat seperti sedang bermain, karena itu banyak orang yang melihat namun tidak dapat menyangka bahwa itu merupakan tindak ijime. 6. Mushisuru ijime (無視する苛め) Disebut mushisuru karena mereka mengabaikan dan tidak memperdulikan temannya. Namun ijime ini tidak dibarengi dengan penyerangan fisik karena mereka mengabaikan keberadaan ijimekko serta mereka akan mengeluarkan
23
ejekan dan sindiran-sindiran pada dirinya. Ijime ini terjadi karena tindakan dari ijimerarekko ini tidak sesuai dengan kehendak teman sekelasnya. Mereka tidak menyukai tindakannya itu karena itu mereka mengasingkan dan mengabaikannya. Misalnya seorang anak yang ketahuan berbohong, teman-teman tidak akan lagi percaya padanya dan juga kesan dari pada ijimekko yang tadinya bagus menjadi buruk
dimata
teman-temannya.
Karena
itu
mereka
memilih
untuk
mengabaikannya. 7. Hikosei no ijime (非行性の苛め) Ijime ini sudah menjurus kearah tindak kriminal yaitu pemerasan. Sifat dari kelompok ijimekko ini adalah anak-anak yang lemah dalam pelajaran dan juga tidak mau mengikuti aturan baik di dekolah maupun dirumah, mereka merupakan tipe pembangkang. Kalau pun mereka ke sekolah, bukan untuk belajar, namun untuk memperalat teman sekelasnya dengan cara memerasnya, atau memaksa ijimerarekko ini untuk memeras anak-anak lain. Ijime ini termasuk dalam tindak kenakalan karena bentuk ijime ini juga berupa penyerangan terhadap fisik. Biasanya kelompok hikosei no ijime ini pasti ada ketua kelompoknya yang memiliki kekuatan dan biasanya ketua kelompok ini yang ditakuti anggotanya karena itu mereka tunduk dan mengikuti perintahnya. Kelompok seperti ini dikenal dengan sebutan tsuppari group atau kelompok anak-anak nakal. 8. Nidandate ijime (にだんだて苛め) Ijime ini dilakukan oleh tsuppari group pada salah seorang anggota kelompok atau beberapa anggota kelompok sendiri. Karena anggota yang disiksa baik fisik maupun mental ini sudah tidak tahan menerima perlakuan seperti itu, mereka pun
24
keluar dari kelompoknya dan mereka membuat kelompok tsuppari group baru dan mereka pun mulai melakukan tindak ijime lagi pada salah seorang anggota atau sebagian kecil anggotanya sebagai tindak balasan atas apa yang pernah dialaminya. 2.5 Teknik Montase Menurut Albertine Minderop Kata montase berasal dari perfilman, yang berarti memilah-milah, memotongmotong, serta menyambung-nyambung (pengambilan) gambar sehingga menjadi satu keutuhan. Prinsip montase menggunakan teknik arus kesadaran dan merupakan esadaran egosentris sang tokoh yang menampikan alat pengawasan seperti “multiple-view,” “slow-ups,” “fade-outs,” “cutting,” “close-up,” “panorama,” dan “flasg-backs.” Teknik montase di dalam bidang perfilman mengacu pada kelompok unsur yang digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan, misalnya pengalihan imaji yang mendadak atau imaji yang tumpang-tindih satu dan lainnya. Seperti yang di kemukakan Humprey dalam Albertine (2005:151): ”Montage” in the film sense refers to a class of devices which are used to show interrelation or association of ideas, such as a rapid succession of images or superimposition of image on image or the surrounding of vocal image by related ones. Terjemahan: Penyampaian ide pada fotografi memanfaatkan gambar tunggal, sedangkan pada sinematografi memanfaatkan rangkaian gambar. Jadi sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik rangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut dengan teknik montase (montage).
25