BAB 2 LANDASAN TEORI
2. 1. Stres Hidup yang berada dalam ketenangan dan kedamaian dalam waktu yang terlalu lama dapat menimbulkan rasa jemu. Rasa jemu yang berlebihan bisa menumbuhkan stres bagi seseorang (Rita L. Atkinson, Richard C. Atkinson, Ernest R. Hilgard, 1991). Stres bisa menimpa siapa saja dan di mana saja. Banyak penelitian telah membahas mengenai stres. Para peneliti juga mengartikan stres dengan berbagai definisi. Dari tahun ke tahun, penelitian yang membahas mengenai stres telah dilakukan. Pada awal abad ke-14, peneliti mengartikan stres sebagai suatu kesulitan, ketegangan dan penderitaan. Pada abad-17, Hooke menggunakan istilah stres dalam konteks ilmu fisik, dimana stres dapat mempengaruhi kondisi fisik karyawan (Lazarus dan Folkman, 1984). Pada tahun 1936, Hans Selye mengartikan stres sebagai suatu susunan pertahanan diri seseorang dalam menghadapi stimulus berbahaya (termasuk ancaman psikologis), reaksi pertahanan diri tersebut disebut dengan General Adaptation Syndrome (Lazarus dan Folkman, 1984). Konsep stres tidak hanya ada dalam konteks ilmu fisik. Pada tahun 1977, Hinkle melakukan evolusi konsep stres dan memasukkan istilah stres ke dalam konteks ilmu biologi (Lazarus dan Folkman, 1984). Konsep stres dalam ilmu biologi menjabarkan stres berupa reaksi seseorang akan situasi dinamis. Lebih lengkapnya,
6
Hinkle (1977) menggunakan kata stres untuk mengindikasi suatu posisi dimana manusia mampu berinteraksi dengan keadaan atau stimulus berbahaya pada situasi dinamis (Lazarus dan Folkman, 1984). Wolff (1953) menekankan bahwa situasi dinamis melibatkan adaptasi pada tuntutan (Lazarus dan Folkman, 1984). Lazarus dan Folkman (1984) menyimpulkan bahwa stres pada ilmu fisika diartikan sebagai ketidakberdayaan tubuh seseorang dalam menghadapi beban dari lingkungannya, sedangkan stres dalam ilmu biologi diartikan sebagai proses pertahanan diri, dimana manusia berjuang untuk mengatur stres yang dialaminya. Konsep situasi dinamis tidak digunakan oleh Lazarus dan Folkman dalam mengartikan stres. Hal ini dikarenakan konsep tersebut tidak mencakup pembahasan mengenai coping stress, penyakit dan kesulitan yang dialami akibat stres dirasakan individu tersebut (Lazarus dan Folkman, 1984). Di tahun 1984, Lazarus dan Folkman mendefinisikan stres berupa ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan dan kemampuan seseorang. Seseorang yang mengalami stres akan melakukan penilaian terhadap lingkungannya, melebihi kemampuan yang dimilikinya atau bahkan mengancam kesejahteraannya (Lazarus dan Folkman, 1984). Dengan adanya stres, manusia mampu memperlihatkan keunikan dirinya dalam mengahadapi stres yang dirasakannya masing-masing (Lazarus dan Folkman, 1984). Peneliti lain juga beranggapan bahwa tuntutan lingkungan mempengaruhi stres yang dirasakan seseorang. Pada konteks organisasi, Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge (2007) menyebutkan stres dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Robbins dan Judge (2007) mendefinisikan stres sebagai kondisi dinamis dimana
7
seseorang berhadapan dengan kesempatan, demands, atau sumber yang berhubungan dengan apa yang diinginkan seseorang, dimana hasilnya merupakan sesuatu yang penting, namun tidak pasti. Stres berkaitan dengan demands dan sumber-sumber yang berhubungan dengan apa yang diinginkan seseorang. Sumber-sumber tersebut berupa segala sesuatu yang dapat dikontrol seseorang dan bisa digunakan untuk menyelesaikan demands (Robbins dan Judge, 2007). Menurut Robbins dan Judge (2007) demands dalam konteks organisasi dapat berupa tanggungjawab, tekanan, obligasi, dan segala ketidakpastian yang dihadapi seseorang di lingkungan pekerjaan. Stres juga dapat dilihat melalui sudut pandang berbeda. Pandangan lain menyebutkan tiga macam pendekatan mengenai stres. Penelitian Kessler, Price, dan Wortman (1985) menemukan tiga pendekatan mengenai stres, yaitu : stressor sebagai stimulus, stres sebagai suatu transaksi, dan stres sebagai respon (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Kessler, Price, dan Wortman (1985) menjelaskan bahwa pendekatan yang memandang
stressor
sebagai
stimulus
fokus
pada
bagaimana
seseorang
mengidentifikasikan peristiwa-peristiwa stres yang dialaminya. Pada pendekatan yang memandang stressor sebagai stimulus melihat sebuah peristiwa dinilai menyebabkan mereka sangat stres atau tidak (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Pendekatan kedua yaitu pendekatan yang menganggap stres sebagai suatu transaksi. Kessler, Price, dan Wortman (1985) menjelaskan bahwa pendekatan yang menganggap stres sebagai suatu transaksi fokus pada bagaimana seseorang
8
melakukan interpretasi dan menghadapi peristiwa-peristiwa stres yang dialaminya (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). . Pendekatan terakhir yaitu pendekatan yang menganggap stres sebagai respon. Kessler, Price, dan Wortman (1985) menjelaskan bahwa pendekatan yang menganggap stres sebagai respon fokus pada penilaian psikologis dan reaksi fisik seseorang terhadap stres (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Ketiga pendekatan tersebut memandang stres secara berbeda, namun penelitian ini melihat sudut pandang stres sebagai suatu transaksi. Pada stres sebagai suatu transaksi, individu melakukan penilaian ketika dihadapkan pada situasi tertentu (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Lazarus dan Folkman (1984) menemukan bahwa seseorang melakukan dua tahap penilaian terhadap suatu peristiwa (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Lazarus dan Folkman (1984) menjelaskan bahwa pada penilaian primer (primary appraisal), terdapat empat jenis penilaian yang dapat dilakukan individu terhadap peristiwa yang dihadapinya, yaitu : situasi berbahaya (harm), situasi kehilangan (loss), situasi menantang (challenge), dan situasi yang tidak berbahaya (benign) bagi dirinya. Selanjutnya, pada tahap kedua, Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa penilaian sekunder (secondary appraisal) terjadi bila seseorang mulai memikirkan mengenai apa yang dapat diperbuatnya untuk menghadapi situasi yang telah ia nilai pada penilaian pertama. Setelah melakukan penilaian terhadap suatu peristiwa, individu menentukan tindakan selanjutnya. Proses kognitif pada individu, berperan dalam menentukan tindakan selanjutnya yaitu, penilaian situasi yang dianggap mengancam atau berbahaya dan proses
9
penilaian ini berpengaruh pada pemilihan strategi coping stress (Lazarus dan Folkman, 1984). Penelitian ini menggunakan pendekatan stres sebagai suatu transaksi karena sejalan dengan teori utama yang digunakan dalam penelitian, yaitu teori stres yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman. Selanjutnya akan dibahas lebih lanjut teori mengenai salah satu macam stres, yaitu stres kerja.
2. 1. 1. Stres Kerja
Manusia selaku karyawan dalam suatu perusahaan melakukan proses kerja (Munandar, 2001). Menurut Munandar (2001), proses kerja tersebut berupa mengolah materi/bahan baku dengan mesin dan metode yang dimiliki perusahan. Karyawan berkemungkinan mengalami stres yang merupakan akibat atau hasil dari proses bekerja dalam perusahaan (Munandar, 2001). Munandar (2001) mengemukakan bahwa sebagian besar stressor berasal dari pekerjaan. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Ross dan Altimer (1994) mendefinisikan stres kerja berupa stres yang timbul akibat tekanan di tempat kerja. Menurut Ross dan Altimer (1994), stres tersebut sebagai hasil interaksi kondisi karyawan dengan karakteristik masing-masing karyawan, dimana terdapat tuntutan karyawan yang berlebihan. Definisi lain mengenai stres kerja, juga mengkaitkan individu dengan lingkungannya. Brousseau dan Prince (1981) mengartikan stres kerja sebagai suatu keadaan psikologis karyawan yang tidak menyenangkan untuk bekerja karena karyawan merasa terancam di lingkungan kerjanya (dalam Purwono, 2006). Begitu
10
pula dengan pendapat Arsenault dan Dolan (1983) bahwa stres kerja merupakan kondisi psikologis yang. tidak menyenangkan yang ditimbulkan karena karyawan merasa terancam, hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara individu dengan tuntutan pekerjaan (dalam Purwono, 2006). Shin (1984) juga mengartikan stres kerja sebagai kondisi lingkungan kerja yang bersifat negatif seperti konflik peran dan kurangnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (dalam Purwono, 2006). Sejalan dengan pernyataan diatas, masalah pekerjaan menjadi salah satu peristiwa yang membuat seseorang merasa stres. Holmes dan Rahe (1967) menyusun skala stres (Social Readjustment Rating Scale) dari peristiwa yang membuat seseorang merasa stres. Stres di tempat kerja menjadi bagian dalam SRRS (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan menjadi bagian dari peristiwa yang dapat menyebabkan individu mengalami stres. Peneliti ingin melihat tingkat stres kerja yang dialami karyawan di kantor pusat Adira Insurance. Peneliti berasumsi bahwa kantor pusat Adira Insurance merupakan perusahaan dengan tekanan kerja yang tinggi, dimana menurut Bass dan Gerald (1981), persaingan bisnis merupakan salah satu stressor. Peneliti juga berasumsi bahwa tekanan kerja yang tinggi dikarenakan kantor pusat Adira Insurance bertanggung jawab mengontrol kegiatan kantor-kantor cabanng yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia dan memiliki divisi usaha lebih dari satu. Untuk memastikan bahwa karyawan yang bekerja di kantor pusat Adira Insurance
11
mengalami stres, peneliti akan mengukur tingkat stres kerja yang dialami karyawan di kantor pusat Adira Insurance.
2. 1. 2. Sumber Stres Kerja Lazarus dan Folkman (1984) menyebutkan bahwa stres dipengaruhi oleh faktor tuntutan lingkungan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stephen dan Timothy (2007) menemukan faktor-faktor yang menjadi penyebab stres seseorang. Semua faktor tersebut terdiri dari faktor lingkungan, organisasi dan pribadi. Stephen dan Timothy (2007) menyebutkan bahwa sumber-sumber pada stres kerja bisa terjadi karena faktor lingkungan, organisasi dan pribadi. Sumber-sumber stres kerja menurut Stephen dan Timothy (2007), yaitu: 1. Faktor lingkungan Faktor Lingkungan merupakan faktor-faktor ketidakpastian yang terjadi diluar lingkungan organisasi, namun mempengaruhi struktur organisasi dan tingkat stres kerja yang karyawan didalamnya. Terdapat tiga macam yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu : a. Ketidakpastian politik suatu negara, b. Perubahan
siklus
bisnis
yang
menciptakan
ketidakpastian
ekonomi, c. Inovasi teknologi yang pesat menyebabkan keterampilan dan pengalaman karyawan tidak digunakan lagi.
12
2. Faktor organisasi Faktor organisasi merupakan faktor-faktor di dalam suatu organisasi yang dapat mempengaruhi stres kerja karyawan. Terdapat tiga macam bentuk tuntutan yang termasuk dalam faktor organisasi, yaitu : a. Tuntutan tugas, misalnya otonomi, kondisi kerja, tata letak karyawan. b. Tuntutan peran yang menempatkan karyawan pada peran tertentu di perusahaan dapat menyebabkan konflik peran yang sulit diselesaikan. Konflik peran tersebut, seperti ketidakcocokkan dengan harapan karyawan yang menjalankan peran, kebingungan peran atau tidak diberitahu dengan pasti peran yang dijalaninya dalam perusahaan tersebut. c. Tuntutan interpersonal yang terjadi dengan rekan kerja (hubungan sosial yang buruk dengan rekan kerja). 3. Faktor pribadi Faktor pribadi merupakan faktor-faktor di dalam diri karyawan atau masalah yang dihadapi karyawan diluar masalah pada pekerjaan. Faktor pribadi, yaitu : a. Masalah keluarga (perceraian, masalah kedisipilinan dengan anak, dan lainnya), b. Masalah ekonomi (mengatur pengeluaran dan tabungan)
13
c. Kepribadian karyawan dapat menjadi asal dari gejala stres yang timbul. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja yang dialami karyawan dapat disebabkan masalah di luar bahkan di dalam organisasi. Sumber stres kerja yang dikarenakan faktor organisasi juga dikemukakan oleh Munandar (2001). Munandar (2001) mengelompokkan faktor- faktor penyebab stres dalam organisasi, yaitu: 1. Faktor- faktor intrinsik dalam pekerjaan Meliputi tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik berupa bising, vibrasi (getaran), higene. Sedangkan tuntutan tugas mencakup: 1. Kerja shift atau kerja malam 2. Kerja shift merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik. Para pekerja shift lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi, siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan perut. 3. Beban kerja Beban
kerja
berlebih dan beban
kerja terlalu sedikit
merupakan pembangkit stres. 4. Paparan terhadap risiko dan bahaya Risiko
dan
bahaya
dikaitkan
dengan
jabatan
tertentu
merupakan sumber stres. Makin besar kesadaran akan
14
bahaya dalam pekerjaannya makin besar depresi dan kecemasan pada tenaga kerja. 2. Peran individu dalam organisasi Setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan- aturan yang ada dan sesuai yang diharapkan atasannya. Namun, tenaga kerja tidak selalu berhasil memainkan perannya sehingga timbul konflik dengan peran yang dijalankan dan kebingungan akan peran yang dijalankannya. 3. Ketidakpastian Pengembangan karier Ketidakpastian Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih dan promosi yang kurang. 4. Hubungan dalam pekerjaan Menjalankan kehidupan dengan orang lain merupakan salah satu aspek dari kehidupan yang dapat menyebabkan stres. Hubungan yang baik antar anggota dari satu kelompok kerja dianggap sebagai faktor utama dalam kesehatan individu dan organisasi. 5. Struktur dan iklim organisasi Kepuasan dan ketidakpastian kerja berkaitan dengan penilaian dari struktur dan iklim organisasi. Faktor stres yang ditemui terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau barperan serta dalam organisasi.
15
6. Tuntutan dari luar organisasi atau pekerjaan Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan seorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa- peristiwa kehidupan dan kerja didalam satu organisasi dan dengan demikian memberikan tekanan pada individu. Isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan- keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan perusahaan semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam pekerjaannya. 7. Ciri individu Individu menilai stres yang dirasakannya. Penliaian itu tergantung dari sejauhmana ia melihat situasinya sebagai situasi yang penuh stres atau situasi yang tidak stres. Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja dapat disebabkan oleh faktor pekerjaan, faktor organisasi dan faktor kepribadian seseorang. Bernard M. Bass dan Gerald V. Barret (1981) juga berpendapat bahwa sumber stres disebabkan oleh faktor diluar lingkungan organisasi. Bass dan Gerald (1981)
mengemukakan
bahwa,
karyawan
bisa
saja
ditempatkan
pada
situasi/lingkungan yang memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan dengan keadaaan stres, namun stres yang dirasakannya berbeda-beda. Stres bisa saja dipengaruhi oleh kepribadian seseorang. Sejalan dengan pernyataan tersebut, hasil penelitian Primaldhi (2006) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
16
antara trait kepribadian neuroticism dengan emotion-focused coping. Hal ini membuktikan bahwa faktor kepribadian menjadi salah satu sumber stres dan berhubungan dengan strategi coping yang digunakan. Fokus penelitian ini pada stres yang dialami karyawan sebagai akibat interaksi dengan faktor organisasi. Penelitian ini menggunakan teori sumber stres kerja yang dikemukakan oleh Stephen dan Timothy (2007) yang melihat faktor utama stres kerja yang disebabkan oleh faktor-faktor di dalam organisasi yang mempengaruhi stres kerja karyawan. Penelitian ini berfokus pada faktor tuntutan tugas, tuntutan peran yang menempatkan karyawan pada peran tertentu di perusahaan dapat menyebabkan konflik peran yang sulit diselesaikan, dan tuntutan interpersonal. Peneliti membuat alat ukur dari teori teori sumber stres kerja yang dikemukakan oleh Stephen dan Timothy (2007) yang digunakan sebagai informasi tambahan guna melihat sumber stres kerja yang terjadi di kantor pusat Adira Insurance.
2. 1. 3. Gejala Stres Kerja Stres kerja yang dialami oleh karyawan memilliki gejala-gejala tertentu. Gejala-gejala dari stres tersebut ada yang tampak secara langsung dan tidak langsung, bahkan ada yang mempengaruhi kesehatan karyawan yang mengalami stres tersebut. Berikut ini penjelasan mengenai gejala-gejala stres kerja karyawan. Robbins dan Coulter (2007) merumuskan secara singkat tiga gejala stres. Tiga gejala stres ini mirip dengan gejala stres yang dikemukakan oleh Beehr dan Newman, yaitu gejala fisik, psikologis dan perilaku (lihat pada Gambar 2. 1).
17
Gambar 2. 1 Gejala Stres Gejala Fisik Perubahan metabolisme tubuh, tekanan darah tinggi, sakit kepala, dan berpotensi mengalami serangan jantung.
Gejala Psikologis Ketidakpuasan kerja, mengalami tekanan, kecemasan, cepat marah, merasa bosan, dan menunda pekerjaan.
Gejala Stres
Gejala Perilaku Perubahan produktivitas, perubahan pola makan, gelisah, peningkatan penggunaan alkohol dan rokok, serta gangguan tidur.
Sumber : Robbins dan Coulter (2007)
Beehr dan Newman (1978) membuat tiga kategori gejala-gejala stres kerja yang dialami karyawan (dalam Ross dan Altmaier, 1994). Berikut ini akan membahas tiga kategori gejala-gejala stres kerja yang dialami karyawan. Gejalagejala berikut ini disebutkan bukan berdasarkan urutan/peringkat, namun hanya sebuah pengelompokkan. Beehr dan Newman (1978) menyebutkan gejala stres kerja yang pertama yaitu gejala psikologis (dalam Ross dan Altmaier, 1994). Gejala psikologis berupa segala masalah emosi dan kognitif selama karyawan berada dalam kondisi stres kerja (Beehr dan Newman, dalam Ross dan Altmaier, 1994). Beehr dan Newman (1978) menyebutkan bahwa karyawan yang mengalami stres kerja menunjukkan ketidakpuasan terhadap pekerjaannya dan karyawan tersebut tidak mengerjakan pekerjaannya dengan baik, serta menunjukkan gejala-gejala tambahan seperti depresi, kecemasan, frustasi dan marah (dalam Ross dan Altmaier, 1994).
18
Gejala kedua yang disebutkan oleh Beehr dan Newman (1978) yaitu gejala fisik (dalam Ross dan Altmaier, 1994). Beehr dan Newman (1978) mengemukakan bahwa gejala fisik sulit didefinisikan karena selain faktor pekerjaan, sangat berkemungkinan faktor-faktor lain mempengaruhi kondisi fisik seseorang (dalam Ross dan Altmaier, 1994). Namun, berbagai macam penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan yang konsisten antara stres kerja dengan gejala-gejala fisik dan penyakit tertentu, misalnya penyakit cardio-vascular disease, alergi, sakit kepala, gangguan tidur dan penyakit pernapasan (Ross dan Altmaier, 1994). Gejala terakhir yang disebutkan oleh Beehr dan Newman (1978) yaitu gejala perilaku (dalam Ross dan Altmaier, 1994). Gejala perilaku terbagi menjadi dua kategori, yaitu gejala yang dialami karyawan yang mengalami stres kerja dan gejala yang berdampak di perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja (Beehr dan Newman, dalam Ross dan Altmaier, 1994). Gejala perilaku yang dialami karyawan yang mengalami stres kerja seperti, menolak pekerjaan, meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang yang digunakan oleh karyawan, terlalu banyak makan atau terlalu sedikit makan, perilaku agresi pada rekan kerja atau anggota keluarga dan masalah hubungan interpersonal lainnya (Beehr dan Newman, dalam Ross dan Altmaier, 1994). Gejala yang berdampak di perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja misalnya, banyaknya angka absen karyawan dari pekerjaannya, karyawan keluar dari perusahaan dan berkurangnya produktivitas perusahaan (Beehr dan Newman, dalam Ross dan Altmaier, 1994). Berdasarkan gejala-gejala stres kerja diatas, dapat disimpulkan bahwa gejala-gejala stres kerja tersebut dapat diukur dan dapat diobservasi (Ross dan
19
Altmaier, 1994). Sejalan dengan pendapat tersebut, Robbins dan Coulter (2007) mengemukakan bahwa karyawan yang mengalami stres kerja akan menunjukkan perilaku tertentu. Stres kerja yang dialami karyawan membuat karyawan menjadi depresi, rawan mengalami kecelakaan saat kerja, sulit membuat keputusan, sulit berkonsentrasi saat kerja (Robbins dan Coulter, 2007). Berdasarkan dua teori diatas, dapat disimpulkan bahwa gejala stres dapat mempengaruhi kondisi fisik, psikologis, dan perilaku karyawan yang mengalami stres. Penelitian ini berfokus pada gejala stres yang mempengaruhi perilaku karyawan yang mengalami stres di tempat kerja. Penelitian ini akan menggunakan kategori gejala stres yang dikemukakan oleh Robbins dan Coulter (2007) dalam menjelaskan mengenai stres kerja yang dialami karyawan di kantor pusat Adira Insurance.
2. 1. 4. Dampak Stres Kerja
Stres kerja juga bisa berdampak baik dan buruk. Selye (1974) membedakan distress sebagai stres yang mengarahkan pada kondisi negatif dan eustress sebagai kekuatan postif untuk mengarahkan pada hasil kerja yang baik (dalam Munandar, 2001). Penelitian ini berfokus pada stres yang mengarahkan seseorang pada kondisi negatif (distress). Kondisi negatif akibat stres kerja tidak hanya mempengaruhi kondisi psikis karyawan, namun kondisi fisiknya juga ikut dipengaruhi (Bass dan Gerald, 1981). Sejalan dengan pernyataan tersebut, di Jepang tercatat 12 chief executive officer (CEO) meninggal dan kebanyakan disebabkan oleh beberapa stressor, seperti
20
budaya karyawan di Jepang yang perfectionis, workaholic, persaingan bisnis dan kebiasaan makan yang buruk (dalam Dubrin, 1990). Tidak hanya para chief executive officer yang memperoleh dampak psikis yang negatif, penelitian lain melaporkan bahwa karyawan pada level staff dan first-level supervisors juga dapat mengalami stres (Bass dan Gerald, 1981). Stres yang mereka alami menyebabkan mereka dua kali lebih rentan terkena penyakit jantung dibandingkan para top level pada perusahaan (Bass dan Gerald, 1981). Berdasarkan penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa karyawan dari level manapun berkemungkinan mengalami stres yang mempengaruhi kondisi fisiknya. Kondisi fisik dan psikis karyawan dapat mempengaruhi kondisi perusahaan. Penelitian Blix, Cruise, Mitchell dan Blix (1994) menyebutkan menurunnya produktivitas kerja karyawan dan ketidakhadiran karyawan berkaitan dengan stres (dalam Primaldhi, 2006). Kerugian akibat stres yang dialami Karyawan juga dialami di Inggris, perekonomian Inggris kehilangan 13.500.000 hari kerja setiap tahun karena stres di tempat kerja (dalam Knox, 2009). Di North East England diperkirakan terdapat 22.000 kasus stres kerja pada tahun 2008 (dalam Knox, 2009). Penelitian lain juga menemukan adanya dampak stres pada kondisi kesehatan karyawan. Berdasarkan penelitian Warwick University, stres saat ini memiliki dampak yang sangat merusak produktivitas karyawan (dalam Woollard, 2009).
Penyakit
yang
diderita
karyawan
44%
disebabkan
masalah
yang
berhubungan dengan kondisi psikis karyawan (dalam Woollard, 2009). Menurut Woollard (2009), organisasi sebaiknya melakukan penilaian sifat dan skala dari
21
masalah yang menyebabkan ketidaknyamanan kerja, melakukan pemeriksaan stres atau menggabungkan penilaian dalam survei tahunan karyawan. Berdasarkan berbagai penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa stres bisa berdampak negatif bagi karyawan dan kerugian bagi perusahaan. Maka dari itu, diperlukan penanggulangan stres kerja untuk menghindari kerugian tersebut. Sebagai langkah awal penanggulangan stres kerja, perlu diadakan penyelidikkan mengenai stres kerja. Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai coping stress.
2. 2. Coping Stres Manusia menjalani kehidupan sehari-hari dengan aktivitas yang beragam. Beragamnya aktivitas bisa menimbulkan beragam tuntutan. Usaha kognitif dan tindakan untuk mengelola tuntutan dari luar dan/atau dalam diri individu yang merugikan inilah yang disebut coping oleh Lazarus dan Folkman (1984). Menurut Aldwin (1994), manusia tidak hanya menerima tuntutan dari lingkungan secara pasif buktinya adalah manusia melakukan coping (dalam Primaldhi, 2006). Sejalan dengan pernyataan diatas, Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf (2009) mengemukakan bahwa individu secara aktif dapat menghilangkan stres dengan mengontrol situasi. Terdapat berbagai macam kontrol situasi stres. Menurut Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf (2009) terdapat lima macam, yaitu : behavioral control, cognitive control, decisional control, informational control, dan emotional control. Berikut ini akan dibahas mengenai lima macam kontrol situasi stres. Kontrol situasi stres yang pertama yaitu behavioral control. Behavioral control merupakan kemampuan individu untuk bangkit dan megusahakan sesuatu untuk
22
menurunkan dampak dari situasi stres (Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Menurut Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf (2009), bentuk dari coping dengan behavioral control berupa problem-focused coping dari Lazarus dan Folkman. Kontrol situasi stres yang kedua yaitu cognitive control. Cognitive control merupakan kemampuan restrukturisasi kognitif atau berpikir secara berbeda tentang emosi negatif yang muncul dalam menanggapi peristiwa stres (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Menurut Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf (2009), bentuk dari coping dengan cognitive control berupa emotion-focused coping dari Lazarus dan Folkman. Kontrol situasi stres yang ketiga yaitu decisional control. Decisional control merupakan kemampuan memilih alternatif aksi dalam menanggapi peristiwa stres, misalnya dengan bertanya pada orang yang kita percayai untuk membuat keputusan penting bagi kita, seperti mata kuliah apa yang sebaiknya kita ambil pada semester berikutnya (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Kontrol situasi stres yang keempat yaitu Informational control. Informational control merupakan kemampuan untuk mendapatkan informasi tentang suatu peristiwa stres (Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Informational control juga dikenal sebagai proactive coping, dimana individu mengantisipasi situasi stres dan mengambil langkah-langkah untuk mencegah atau meminimalkan kesulitan sebelum stres muncul dan melihat keadaan stres sebagai celah untuk pertumbuhan (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Jenis terakhir dari kontrol situasi stres, yaitu emotional control. Emotional control merupakan kemampuan menekan dan mengekspresikan emosi, individu
23
melakukan komunikasi yang dapat memperkuat ikatan sosial, meningkatkan ikatan sosial, meningkatkan pemecahan masalah dan mengatur emosi (dalam Lilienfeld, Lynn, Namy, dan Woolf, 2009). Dari kelima jenis kontrol situasi stres diatas, peneliti ingin melihat kontrol stres berupa behavioral control dan cognitive control. Pada behavioral control terdapat strategi coping stress yaitu problem-focused coping dan pada cognitive control strategi coping stress yaitu emotion-focused coping. Fokus penelitian ini pada strategi coping berupa problem-focused coping dan emotion-focused coping. Besarnya penggunaan problem-focused coping dan emotion-focused coping berbeda antara pria dan wanita. Penelitian di Australia oleh Patton, Wendy, Goddard dan Richard (2006) menemukan perbedaan penggunaan strategi coping stress antara pria dan wanita. Penelitian Ptacek (1992) dan Skues & Kirby (1995) melaporkan bahwa pria lebih menggunakan problem-focused coping dibandingkan wanita dalam menghadapi stres (dalam Patton, Wendy, Goddard dan Richard, 2006). Sedangkan, karyawan wanita lebih menggunakan emotion-focused coping dibandingkan pria dalam mengahdapi stres (dalam Patton, Wendy, Goddard dan Richard, 2006). Selain melihat penggunaan problem-focused coping dan emotion-focused coping, penelitian ini juga menggunakan strategi coping yang lain, yaitu religiousfocused coping. Religious-focused coping telah dikembangkan di Indonesia oleh Dahlan (2005). Berikut ini akan dibahas lebih lanjut definisi mengenai problemfocused coping dan emotion-focused coping dan religious-focused coping.
24
2. 2. 1. Problem-Focused Coping
Menurut Lazarus dan Folkman (1984), problem-focused coping berupa tindakan yang ditunjukkan individu untuk menimbulkan perubahan fisik, mental dan sosial terhadap hal yang menimbulkan stres. Lazarus dan Folkman (1984) menggambarkan problem-focused coping mirip dengan strategi yang digunakan seseorang dalam memecahkan masalahnya. Konsep problem-focused coping lebih luas daripada sekedar memecahkan masalah. Memecahkan masalah dilakukan secara objektif dan menggunakan proses analisis yang berfokus pada lingkungan dari masalah tersebut, sedangkan problemfocused coping mencakup memecahkan masalah dan menggunakan strategi tertentu untuk memecahkan masalah tersebut (Lazarus dan Folkman, 1984). Oleh karena itu, Lazarus dan Folkman (1984) menggambarkan individu dengan problemfocused coping akan berusaha memecahkan masalahnya dengan merubah diri dan lingkungannya. Strategi problem-focused coping erat kaitannya dengan tugas-tugas yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah (Lazarus dan Folkman, 1984). Lazarus dan Folkman (1984) memberikan sebuah contoh dalam konteks mahasiswa yang akan menempuh ujian.Jika ia mengalami stres dan menggunakan Problemfocused coping, ia akan menyiapkan materi-,materi ujian, menyiapkan diri dan mengalokasikan waktu untuk belajar (Lazarus dan Folkman, 1984). Berdasarkan contoh dan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa strategi problem-focused coping terjadi apabila seseorang yang mengalami stres mencari cara dan menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Strategi problem-
25
focused coping dilakukan seseorang ketika memiliki tingkat stres kerja tertentu. Lazarus dan Folkman (1984) juga menyebutkan bahwa seseorang melakukan problem-focused coping jika ia menilai situasi yang dialaminya bisa diubah atau ia merasa situasi tersebut memiliki tingkat ancaman sedang. Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa problem-focused coping digunakan ketika seseorang mengalami tingkat stres kerja sedang.
2. 2. 2. Emotion-Focused Coping
Strategi coping stress yang akan diteliti berikutnya adalah emotion-focused coping. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), strategi ini dilakukan individu jika ia menilai tidak ada yang bisa diperbuatnya pada situasi yang dihadapinya atau ia memberi nilai situasi tersebut sebagai situasi yang mengancam dengan tingkat tinggi. Berdasarkan teori stres dan coping Lazarus dan Folkman (1984), Vitaliano, Russo, Carr, Maiuro, dan Becker, (1985) mengelompokkan emotion-focused coping menjadi tiga kelompok, self-blame, avoidance, dan wishful thinking. Ketiga macam bagian emotion-focused coping diwakilkan dengan permyataan yang berbeda. Selfblame pada emotion-focused coping diwakilkan dengan salah satu pernyataan yaitu menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab masalah (dalam Primaldhi, 2006). Berbeda dengan avoidance pada emotion-focused coping. Avoidance pada emotionfocused coping diwakilkan dengan salah satu pernyataan yaitu tidak percaya bahwa hal tersebut benar-benar telah terjadi (dalam Primaldhi, 2006). Bagian emotionfocused coping yang terakhir yaitu wishful thinking. Wishful thinking diwakilkan
26
dengan salah satu pernyataan yaitu mengharapkan agar saya dapat mengubah apa yang terjadi (dalam Primaldhi, 2006). Ketiga macam bagian emotion-focused coping tersebut telah disusun menjadi sebuah alat ukur bernama Ways of Coping (dalam Primaldhi, 2006). Susunan pernyataan yang mewakili emotion-focused coping pada alat ukur Ways of Coping akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya. Berikut ini akan dibahas mengenai teori religious-focused coping yang digunakan pada penelitian ini.
2. 2. 3. Religious-Focused Coping
Strategi coping terakhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah religiousfocused coping
yang dikembangkan oleh Dahlan (2005) di Indonesia. Menurut
Pergament (1997), religious-focused coping merupakan suatu bentuk usaha menghadapi masalah yang dihadapi dengan melakukan ritual keagamaan, seperti berdoa, ke tempat ibadah, atau berdoa. Primaldhi (2006) menyimpulkan bahwa strategi coping ini didasari oleh adanya keyakinan bahwa Tuhan akan membantu seseorang yang mempunyai masalah. Penelitian yang dilakukan oleh Pargament (1997) menunjukkan bahwa ketika menghadapi situasi yang stresful seperti kematian, penyakit, perceraian atau perpisahan dengan pasangan karena masalah hukum, atau situasi apapun yang dinilai negatif, kebanyakan partisipan penelitian melibatkan agama untuk mengatasi berbagai masalahnya. Dahlan (2005) membagi bentuk religious-focused coping
menjadi dua
bagian, yaitu religious belief dan religious behavior. Dahlan (2005) menemukan
27
bahwa religious-focused coping selalu dilakukan oleh subyek orang Indonesia, ketika mereka menghadapi stressor tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini juga menggunakan
religious-focused
sebagai
salah
satu
jenis
coping
yang
berkemungkinan dipilih oleh sampel, karena sampel penelitian ini merupakan orang Indonesia. Penelitian ini hanya berfokus pada religious-focused coping dalam bentuk religious belief . Pada penelitian di Indonesia, Dahlan (2005) menemukan adanya hubungan antara religious-focused coping dengan strategi problem-focused coping, dan emotion-focused coping, pada sampel Indonesia. Analisis tambahan pada penelitian ini juga melihat hubungan dari ketiga strategi coping stress. Dari jenis coping yang telah dijelaskan sebelumnya, selain pada problemfocused coping dan emotion-focused coping, penelitian ini juga berfokus pada religious-focused coping. Jadi, penelitian ini ingin melihat pemilihan strategi coping stres yang terdiri dari problem-focused coping, emotion-focused coping, dan religious-focused coping ketika karyawan mengalami stres kerja.
2. 3. Hubungan Tingkat Stres Kerja dengan Pemilihan Strategi Coping Stress Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa penggunaan problemfocused coping dan emotion-focused coping bergantung pada tingkat stres yang dirasakan seseorang. Lazarus dan Folkman (1984) menyebutkan bahwa individu melakukan problem-focused coping jika ia menilai situasi yang dialaminya bisa diubah atau ia merasa situasi tersebut memiliki tingkat ancaman sedang. Berbeda dengan penggunaan strategi emotion-focused coping, strategi ini dilakukan individu
28
jika ia menilai tidak ada yang bisa diperbuatnya pada situasi yang dihadapinya atau ia memberi nilai situasi tersebut sebagai situasi yang mengancam dengan tingkat tinggi (Lazarus dan Folkman, 1984). Pada tingkat stres tinggi, seseorang akan lebih menggunakan emotion-coping stress (Lazarus dan Folkman, 1984). Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat stres rendah, seseorang akan menggunakan problem-focused coping dan emotionfocused coping dengan frekuensi yang sama. Pada tingkat stres menengah, seseorang akan lebih menggunakan problem-focused coping (Lazarus dan Folkman, 1984). Pada tingkat stres tinggi, seseorang akan menggunakan emotion-focused coping (Lazarus dan Folkman, 1984). Penelitian ini berfokus pada hubungan antara tingkat stres kerja dengan strategi pemilihan coping stress yang dialami karyawan di kantor pusat Adira Insurance.
29