BAB 2 KONSEP PENYEDIAAN AIR BERSIH SEBAGAI HAK DI KOTA KECIL
2.1.1
Peran Kota Kecil dalam Konteks Kewilayahan
2.1.1
Definisi Kota dan Kawasan Perkotaan Istilah kota pada dasarnya memiliki banyak pengertian. Definisi tentang
kota sedikit banyak akan dipengaruhi oleh sudut pandang seseorang dan bidang ilmunya. Tetapi, menurut Amos 13 , sebagian besar definisi yang sudah ada merupakan definisi klasik yang bersifat ’etnosentris’, seperti definisi di bawah ini: ”Sebuah kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial.”
Amos Rapoport kemudian mengutip Jorge E. Hardoy yang menggunakan 10 kriteria secara lebih spesifik untuk merumuskan kota sebagai berikut: 1. ukuran dan jumlah penduduknya yang besar terhadap massa dan tempat 2. bersifat permanen 3. kepadatan minimum terhadap massa dan tempat 4. struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata 5. tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja 6. fungsi perkotaan minimum yang diperinci, yang meliputi sebuah pasar, pusat administratif atau pemerintahan,dll. 7. heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hierarkis pada masyarakat 8. pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah pertanian di tepi kota dan memproses bahan mentah untuk pemasaran yang lebih luas 9. pusat pelayanan (services) bagi daerah-daerah lingkungan setempat 10. pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan pada massa dan tempat itu.
13
M. Zahnd, Perencanaan Kota Secara Terpadu (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), hlm. 4.
Dengan demikian, Amos Rapoport 14 merumuskan suatu definisi baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota di mana saja. Sebuah permukiman dapat dirumuskan sebagai sebuah kota, bukan dari ciri-ciri morfologis tertentu atau bahkan kumpulan ciri-cirinya, melainkan dari segi suatu fungsi khusus, yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar berdasarkan hierarki-hierarki tertentu. Pengorganisasian sebuah daerah sebagai kota tidak dilakukan dalam konteks yang netral atau kosong. 15 Penyusunan perkotaan serta hierarki-hierarki di dalamnya selalu dilakukan dalam konteks yang nyata berdasarkan parameterparameter tertentu. Parameter tersebut sangat bervariasi, tetapi secara dasar dapat diamati ada perbedaan pokok antara kota dalam konteks perkotaan (urban-modern) dan dalam konteks (perdesaan) rural-tradisional. Dalam realitas perkotaan, pembatasan antara pembagian parameter tersebut secara tipologis lebih rumit karena pembatasan antara kehidupan urban-modern dan ruraltradisional sering bercampur. Tacoli 16 (1998) juga menyatakan bahwa selalu ada ketersambungan dan pertukaran sumber daya antara urban dan rural. Interaksi sektoral akan selalu terjadi bahwa rural activities dapat berlangsung di wilayah urban, contohnya urban agriculture, dan sebaliknya urban activities, seperti perdagangan dan jasa, dapat berlangsung di wilayah rural. Hal ini ditegaskan oleh Branch 17 , bahwa pada dasarnya kota (cities) merupakan sesuatu yang ditetapkan pemerintah/ negara. Sedangkan perkotaan (urban) merupakan wilayah terbangun yang terstruktur dan dilengkapi oleh fasilitas jalan pada kepadatan tertentu dari konsentrasi permukiman yang membutuhkan fasilitas jaringan prasarana dan pelayanan lebih dari pada wilayah perdesaan. Berdasarkan definisi Nottingham and Liverpool Universities (1998), hubungan antara wilayah pusat (core) dengan wilayah belakangnya (pheryphery) atau peri-urban interface dipandang sebagai zona transisi antara kota dan daerah belakangnya, hubungannya tidak dipandang sebagai sebagai wilayah 14 15 16 17
Ibid. hlm.5 Ibid. hlm.14 German Adell, Theories And Models Of The Peri-Urban Interface: A Changing Conceptual Landscape , Literature Review (London: The Development Planning Unit), hlm. 3. Melville c. Branch, Comprehensive City Planning: Introduction & Explanation (Chicago: American planning Association), hlm. 1.
yang terpisah (discrete area) melainkan sebagai penyebaran/perluasan wilayah (diffuse territory) yang diidentifikasi dari kombinasi ciri-ciri dan fenomena yang dibangkitkan oleh kegiatan pada pusat perkotaan (core). Terlepas dari definisi di atas, UU No.32 Tahun 2004, kawasan perkotaan didefinisikan sebagai berikut: a) Kota sebagai daerah otonom; b) Bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan; c) Bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan. Lebih lanjut lagi menurut UU no 32 tahun 2004, kawasan perkotaan merupakan
kawasan
kewilayahan.
Syarat
yang
memenuhi
administratif
syarat
berupa
administratif,
adanya
teknis
persetujuan
dan
DPRD
kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri
Dalam
Negeri
untuk
kota
otonom,
atau
persetujuan
DPRD
kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri untuk bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri kekotaan. Syarat teknis mencakup faktor kemampuan
ekonomi,
potensi
daerah,
sosial
budaya,
sosial
politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi paling sedikit 4 kecamatan untuk kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan. Klasifikasi hirarki kota merupakan usaha penggolongan kota yang bersifat dinamis. Hal ini disebabkan adanya kenyataan bahwa setting suatu kota pada order atau pada rank tertentu dapat berubah ke dalam order atau rank yang lain dalam perjalanan kehidupannya. Khususnya mengenai klasifikasi atas dasar jumlah penduduknya, suatu kota akan selalu berubah-ubah. Salah satu klasifikasi kota yang sering digunakan dalam rangka perencanaan dan pengembangan wilayah adalah klasifikasi kota berdasarkan hirarki. 18
18
Hadi Sabari Yunus, Klasifikasi Kota (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). hlm. 46
Berdasarkan NUDS-2, maka klasifikasi kota-kota di Indonesia adalah sebagai berikut: •
Kota kecil; adalah kota dengan jumlah penduduk di bawah 100.000 jiwa
•
Kota sedang; adalah kota dengan jumlah penduduk antara 100.000-500.000 jiwa
•
Kota besar; adalah kota dengan jumlah penduduk antara 500.000-1.000.000 jiwa
•
Kota metropolitan; adalah kota dengan jumlah penduduk di atas 1.000.000 jiwa Hal ini serupa dengan kriteria kawasan perkotaan yang ditetapkan dalam
PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, yang mengklasifikasikan kota-kota sebagai berikut: ii) Kota Kecil : jumlah penduduk 20.000-100.000 iii) Kota Menengah : Jumlah Penduduk 100.000-500.000 iv) Kota Besar : Jumlah penduduk 500.000-1.000.000 v) Kota Metropolitan : Jumlah Penduduk diatas 1.000.000-5.000.000 jiwa. Tipologi kota-kota di Indonesia berdasarkan PP No.47 Tahun 1997 dapat diklasifikasikan seperti pada tabel II.1 Dalam pengkategorian desa/ kota, Badan Pusat Statistik (BPS), dalam pelaksanaan survei status desa/ kelurahan yang dilakukan pada tahun 2000, menggunakan beberapa kriteria sebagai berikut: 1. kepadatan penduduk per kilometer persegi, 2. persentase rumah tangga yang mata pencaharian utamanya adalah pertanian atau non pertanian 3. persentase rumah tangga yang memiliki telepon 4. persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik 5. fasilitas umum yang ada di desa/ kelurahan, seperti fasilitas pendidikan, pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan, dan fasilitas lain, seperti hotel, biliar, diskotek, karaoke, panti pijat, dan salon. Masing-masing fasilitas diberi skor (nilai). Atas dasar skor yang dimiliki desa/ kelurahan tersebut masuk dalam salah satu kategori berikut, yaitu perkotaan besar, perkotaan sedang, perkotaan kecil, dan pedesaan.
Hal ini dikritisi oleh Tarigan 19 bahwa kriteria di atas hanya didasarkan atas kondisi (fisik) dan mestinya dilengkapi dengan melihat apakah tempat konsentrasi itu menjalankan fungsi perkotaan. Fungsi perkotaan di sini, maksudnya bahwa konsentrasi berfungsi melayani daerah belakangnya. Tarigan 20
menegaskan
kembali,
pada
dasarnya
untuk
melihat
apakah
konsentrasi itu sebagai kota atau tidak adalah dari seberapa banyak fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. TABEL II.1 HIRARKI KOTA-KOTA DI INDONESIA TAHUN 2004 BERDASARKAN PP NO. 47 TAHUN 1997 Propinsi
Hirarki Kota (Jumlah Penduduk)* Kecil Sabang
NAD Sibolga Sumatera Utara
Sumatera Barat
Riau Kep. Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung DKI Jakarta
19 20
Solok Sawah Lunto Padang Panjang Bukittinggi Pariaman
Menengah
Besar
Banda Aceh Langsa Lhoksumawe Tanjung Balai Pematang S Tebing Tinggi Binjai Padang Sidempuan Payakumbuh
Dumai Tanjung Pinang Jambi Prabumulih Pagar Alam Lubuk Linggau Bengkulu Metro Pangkal Pinang
Metropolitan
Medan
Padang
Pekanbaru Batam Palembang
Bandar Lampung
Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat
R. Tarigan, Perencanaan Pembangunan Wilayah (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 111. Ibid.
Propinsi
Hirarki Kota (Jumlah Penduduk)* Kecil
Banten Jawa Barat
Soreang Banjaran
Jawa tengah DIY
Jawa Timur
Menengah Cilegon Sukabumi Cirebon Cimahi Banjar Magelang Salatiga Pekalongan Tegal Yogyakarta Kediri Blitar Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Batu
Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Tidore Irian Jaya Barat Papua Sumber: Bappenas (2006)
Besar
Bogor Tasikmalaya
Metropolitan Jakarta Utara Tangerang Bandung Bekasi Depok
Surakarta
Semarang
Malang
Surabaya
Denpasar Mataram Bima Kupang Pontianak Singkawang Palangkaraya Banjarbaru Balikpapan Tarakan Bontang Pare-Pare Palopo Kendari Bau-Bau Gorontalo Ambon Ternate Sorong Jayapura
Banjarmasin Samarinda
Ujungpandang
2.1.2
Peran Kota Kecil dalam Pelayanan Infrastruktur Berdasarkan tipologi menurut NUDS-2, kota kecil memiliki fungsi sebagai
pusat kegiatan lokal, serta sebagai pusat jasa dan dagang atau industri lokal. Keterkaitan antar kota yang dimiliki berupa keterkaitan dengan sentra produksi dalam kawasan strategis. Prinsip-prinsip umum pengelolaan kota kecil antara lain: ¾ Pengelolan ruang dilakukan secara terpadu dan komprehensif berdasarkan jumlah penduduk dan dengan pengaturan zoning regulation ¾ Pembangunan jaringan infrastruktur dan prasarana perkotaan ¾ Mendorong dukungan atau peran serta masyarakat untuk pembangunan infrastruktur dan sentra produksi. Dalam perkembangan sistem perkotaan di Indonesia pada saat ini, perkembangan mega-city seperti Jabodetabek, Metropolitan Bandung dan lainnya tidak mungkin dihindari atau dicegah, dan sesungguhnya merupakan potensi
untuk
pembangunan
ekonomi
wilayah
dan
nasional.
Namun
permasalahannya terletak pada kesenjangan yang terjadi antara wilayah pusat (core) dengan daerah belakangnya (phery-phery) atau dengan kata lain antara kota besar (primate city) dan kota-kota kecil di sekitarnya. Kegiatan ekonomi sekunder dan tersier, seperti manufaktur dan jasa-jasa cenderung untuk berlokasi di kota-kota besar, karena faktor “urbanization economies”. 21 Akibatnya, meskipun arus pertukaran barang dan jasa dalam hubungan peri-urban interface cukup intensif, namun standar hidup dan kualitas pelayanan
di
kota-kota
kecil
menunjukkan
perbedaan
yang
signifikan
dibandingkan dengan kualitas pelayanan di kota besar. Seperti yang dikemukakan Firman 22 , penerapan kebijakan ‘growth pole’ pada Metropolitan Bandung merupakan suatu bentuk kegagalan. Strategi ini pada awalnya bertujuan untuk meratakan pembangunan dari pusat (core) ke wilayah belakangnya (phery-phery). Namun meskipun kebijakan tersebut telah
21
22
Urbanization economies secara sederhana diartikan sebagai kekuatan yang mendorong suatu kegiatan usaha untuk berlokasi di kota-kota besar sebagai pusat pasar (market), tenaga kerja ahli, prasarana produksi dan lainnya, yang pada gilirannya sangat menunjang kegiatan tersebut beroperasi dengan lebih efisien. Tommy Firman, Urbanisasi, Persebaran Penduduk Dan Tata Ruang di Indonesia (URL: http://cippad.usc.edu/ai/uploaded_files/Politics/Type0/File1/Tommy%20Firman.pdf)
diterapkan selama lebih dari dua dekade, Kota Bandung tetap mempunyai fungsi yang dominan. Dalam hal ini strategi tersebut gagal dalam mengalihkan ’higher order function’ dari pusat (core) dan membangun pusat sekunder, termasuk di dalamnya pemenuhan jaringan infrastruktur dan prasarana perkotaan. GAMBAR 2.1 KLASIFIKASI PERMUKIMAN DI PERKOTAAN DAN PERDESAAN
Sumber: Proyek Penyusunan Kebijakan dan Rencana Kegiatan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan (WASPOLA), 2003
2.2
Air Bersih sebagai Hak
Air merupakan hak azasi manusia, artinya bahwa setiap manusia mempunyai hak dasar terhadap pemakaian air. Hak dalam pengertian ini adalah hak-hak dasar yang berada dalam kerangka hukum internasional, dimana negara berkewajiban untuk melindungi dan mendukung pelaksanaan hak tersebut kepada setiap warga negara. Boyle & Anderson 23 menyatakan hak-hak ini dapat ditemukan, antara lain pada perjanjian, kontrak, dan deklarasi mengenai hak asasi manusia. McCaffrey 24 mengatakan bahwa setidaknya terdapat hak terhadap air bersih yang cukup untuk mempertahankan hidup dan dalam hal ini, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi hak ini sebagai prioritas. Sebagai salah satu perjanjian internasional, MDGs merupakan komitmen bersama yang ditandatangani oleh seluruh kepala negara pada Pertemuan PBB di New York pada September 2000. Pada saat itu, para kepala Negara menegaskan komitmen terhadap negara dan komunitas internasional terhadap target-target Millennium Development Goals. Salah satu target MDGs 1990-2015 23 24
Gleick, Basic water requirements for human activities: Meeting basic needs (Water International, 1996) Gleick, The human Right to Water (USA: Pacifc Institute for Studies in Development, Environment, and Security, 1999)
adalah penurunan sebesar separuh proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber air minum (safe drinking water) yang aman dan berkelanjutan. Sebagai indikator dari target ini adalah proporsi penduduk dengan akses terhadap sumber air minum yang terlindungi dan berkelanjutan. 2.2.1
Definisi Air Bersih Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 416 Tahun 1990 Tentang
Syarat-syarat Dan Pengawasan Kualitas Air, definisi air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Sedangkan yang dimaksud dengan air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Namun, banyak pihak yang secara tidak langsung merujuk air minum sebagai air bersih. Sebagai contohnya PDAM, dilihat dari fungsinya adalah lembaga penyedia air minum. Pada kenyataannya, proses pengolahan air baku tidak/ belum ditujukan untuk menghasilkan air minum. Ambiguitas mengenai definisi air minum dan air bersih juga tampak pada peraturan perundangan, baik dalam UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, maupun PP No.16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Sistem penyediaan air minum yang dimaksud belum mengakomodasi proses pengolahan menjadi air minum. Hal-hal yang ditegaskan pada peraturan perundangan tersebut masih memfasilitasi penyediaan air bersih 2.2.2
Standar Pelayanan Air Bersih sebagai implikasi Hak Agar dapat berkelanjutan, penyediaan pelayanan air bersih harus
memperhatikan daya dukung lingkungan, sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan untuk kepentingan dan kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan upaya pengendalian penggunaan air.
2.2.2.1 Kuantitas Air Bersih Implikasi dari pernyataan air bersih sebagai hak dasar manusia tidak memberikan pengertian bahwa akses terhadap air tidak tak terbatas. 25 Sebagai hak dasar, akses terhadap air dibatasi oleh hal-hal tertentu seperti keterbatasan kuantitas sumberdaya air, batasan ekologi, hambatan-hambatan dalam bidang ekonomi dan politik. Oleh karena itu, hak dasar terhadap air bersih mempunyai batasan. Kuantitas air bersih yang layak sebagai hak dasar ditentukan oleh kebutuhan dasar (basic needs) untuk konsumsi tubuh (minum), masak, dan penggunaan sektor domestik lainnya yang penting. Berdasarkan Gleick (1996), standar air bersih yang dibutuhkan untuk minum adalah 5 l/org/hari. Sedangkan untuk sanitasi dan kehigienisan dibutuhkan
20
l/org/hari.
Sehingga
kebutuhan
paling
dasar
air
yang
direkomendasi adalah sbesar 25 l/org/hari dengan tambahan 15 l/org/hari untuk mandi dan 10 l/org/hari untuk kegiatan memasak. TABEL II.2 REKOMENDASI KEBUTUHAN DASAR AIR (BASIC WATER REQUIREMENT) Tujuan Penggunaan Air minum
Jumlah yang Disarankan (l/org/hari) 5
Sanitasi
20
Mandi
15
Makan (Food Preparation)
10
Sumber: Diadaptasi dari Gleick (1998)
Adapun standar kuantitas kebutuhan air bersih berdasarkan Departemen Pekerjaan Umum (PU) dan Departemen Kesehatan masing-masing sebesar 126,9 L/org/hari dan 150 L/org/hari
25
Gleick, Op.Cit.
TABEL II.3 KEBUTUHAN AIR BERSIH PER ORANG PER HARI Keperluan Minum Masak MCK Wudhu Cuci Pakaian Kebersihan Rumah Taman Cuci Kendaraan Lain-lain Jumlah
Konsumsi (liter) Standar Dept Standar Dept Pekerjaan Umum Kesehatan 2.0 2.0 14.5 12.0 20.0 16.2 15.0 10.7 13.0 31.4 32.0 11.8 11.0 21.1 22.5 21.7 20.0 126.9 150.0
Sumber: Wardhana (1995) dan slamet (1994) dalam Aswicaksana (2004)
Di luar standar yang telah ditetapkan, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum membagi lagi standar kebutuhan air minum tersebut berdasarkan lokasi wilayah sebagai berikut: -
Pedesaan dengan kebutuhan 60 liter / per kapita / hari.
-
Kota Kecil dengan kebutuhan 90 liter / per kapita / hari.
-
Kota Sedang dengan kebutuhan 110 liter / per kapita / hari.
-
Kota Besar dengan kebutuhan 130 liter / per kapita / hari.
-
Kota Metropolitan dengan kebutuhan 150 liter / per kapita / hari
Kebutuhan individu akan air bersih tersebut, berdasarkan WHO, disusun mengikuti hirarki kebutuhan Maslow seperti pada gambar 2.2.
GAMBAR 2.2 HIRARKI KEBUTUHAN AIR
Sumber: WHO/SEARO Technical Notes for Emergencies, Technical Note No. 9
2.2.2.2 Kualitas Air Bersih Standar kualitas air di Indonesia ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1990 yang menetapkan kualitas air melalui 4 golongan, yaitu: 1. Kualitas air golongan A sebagai baku mutu air untuk air minum tanpa pengolahan terlebih dahulu. 2. Kualitas air golongan B sebagai baku mutu air untuk air baku. 3. Kualitas air golongan C sebagai baku mutu air untuk perikanan dan peternakan. 4.
Kualitas air golongan D sebagai baku mutu air untuk keperluan pertanian dan dapat dimanfaatkan untuk usaha di perkotaan, industri, Pembangkit Listrik Tenaga Air. Kualitas air yang merupakan konsumsi kegiatan manusia merupakan
kualitas air golongan A dan B. Dari daftar kriteria kualitas air golongan B, ada beberapa parameter yang harus diperhatikan yaitu: parameter fisik, kimia, mikrobiologi, dan zat radio aktif. Parameter fisik seperti kekeruhan, rasa, bau, dan warna pada umumnya mempengaruhi sifat estetika dari air. Parameter kimia
dan mikrobiologi akan berbahaya bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dihilangkan / dikurangi pada proses pengolahan air minum. 2.2.3
Perubahan Pendekatan Sistem Penyediaan Air Bersih: Productionist ke Conservationist Penyediaan air bersih perkotaan selama ini menggunakan pendekatan
productionist, yaitu persediaan menyesuaikan permintaan. Melalui pendekatan ini, persediaan air dianggap tidak terbatas sehingga berapapun jumlah permintaan air bersih masyarakat harus dipenuhi. Pendekatan ini merupakan pendekatan welfare sehingga kecenderungannya pemerintah yang sepenuhnya yang harus memenuhi penyediaan air bersih. Kegagalan pendekatan welfare menyebabkan perubahan perspektif dalam penyediaan air bersih. 26 Pandangan conservasionist menekankan pada pengelolaan permintaan untuk mendorong efisiensi penggunaan air daripada pembangunan infrastruktur baru. 27 Masyarakat diharapkan dapat mengkonsumsi air sehemat mungkin. Persediaan dianggap tetap, sehingga permintaan air yang harus disesuaikan dengan persediaan. Usaha untuk mendorong konservasi tidak hanya didukung oleh sistem, tetapi juga oleh penyedia air bersih dan konsumen. 28 Salah satu upaya untuk mendorong konservasi sumber daya air dapat dilakukan dengan mengontrol tingkat kehilangan air (Unaccounted For Water). Kehilangan air dapat didefinisikan sebagai perbedaan atara jumlah air yang diproduksi oleh produsen air dan jumlah air yang terjual kepada konsumen, sesuai dengan yang tercatat di meter-meter air pelanggan.
29
Besarnya
persentase jumlah air yang tidak tercatat dapat diambil sebagai patokan dari tingkat kemampuan sistem pengadaan air bersih yang ada. Sistem-sistem yang mempunyai 10%-15% kebocoran total, dianggap berkemampuan sangat bagus, dan sistem dengan distribusi air yang kehilangan airnya antara 10%-20% masih dianggap pantas. Di negara berkembang seperti di Indonesia, UFW bisa mencapai lebih dari 50% dari produksi yanga ada. Untuk penentuan kebutuhan air maka analisis kebocoran perlu dilakukan. Karena meningkatnya biaya 26 27 28 29
Argo, (1999) dikutip oleh Kusuma Sari, Identifikasi Pola Konsumsi Air Bersih Rumah Tangga (Bandung: Tugas Akhir PWK ITB, 2001), hlm. 12 Ibid. Ibid. Robert J. Kodoatie dan Roestam Sjarief, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2005), hlm. 159.
pengedaan air bersih dan kebutuhan akan air bersih terjadi secara serentak., program pengurangan kebocoran air perlu ditingkatkan agar keseimbangan aliran pelayanan tidak terganggu. GAMBAR 2.3 KEHILANGAN AIR PADA SISTEM PELAYANAN AIR BERSIH
Sumber: Kodoatie dan Sjarief (2005)
2.3 Sistem Penyediaan Air Bersih 2.3.1
Komposisi Penyediaan Air Bersih Sistem penyediaan air bersih terdiri dari beberapa komponen, yang dapat
dijelaskan berikut ini 30 : a.
Eksplorasi sumber daya air •
30
Sumberdaya air permukaan (sungai, danau, waduk,dll)
Kodoatie, Op.Cit. hlm. 146
• b.
Sumberdaya air tanah (sumur, pemompaan,dll) Pengolahan (Treatment): untuk memenuhi suatu kualitas air dalam rangka meningkatkan nilai tambah air, maka air dari sumber pada umumnya harus melalui proses lanjut berupa:
•
Penjernihan dari partikel lain
•
Pengontrolan bakteri air
•
Komposisi kimia air
c.
Penampungan (Storage) •
Penampungan bahan baku air
•
Penampungan bahan baku air olahan
d.
Transmisi: •
Truk tangki, kapal tanker, dan moda lain (ada resiko kehilangan, tidak dapat menjamin tepat waktu, debit, dan kualitas)
•
Jaringan pipa transmisi dari primer ke sekunder
•
Bak pelepas tekan
•
Pipa (ada resiko kehilangan, tidak dapat menjamin tepat waktu, debit, dan kualitas)
e.
Jaringan distribusi ke pelanggan •
Sistem jaringan pipa
•
Sistem tampungan
•
Fittings
•
Control
•
Valve
•
Pompa
GAMBAR 2.4 SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH
Sumber: Kodoatie dan Sjarief (2005)
GAMBAR 2.5 ILUSTRASI SUMBER-SUMBER AIR BERSIH
Sumber: Kodoatie dan Sjarief (2005)
2.3.2
Penyediaan Air Bersih Sistem Perpipaan Cara pendistribusian air secara umum ada dua macam, yaitu 31 :
1. Pendistribusian air secara manual, yaitu menggunakan tangki yang membawa air dari tempat penampungan sampai ke konsumen 2. Pendistribusian air dalam pipa tertutup dari penampung air sampai ke konsumen Pendistribusian air dengan saluran tertutup atau perpipaan dimaksudkan supaya tidak terjadi kontaminasi terhadap air yang mengalir di dalamnya. Di samping itu, dengan sistem perpipaan air lebih mudah untuk dialirkan karena adanya tekanan air. Adapun komponen dari sistem distribusi saluran tertutup, antara lain: 1. Penampungan air (reservoir) Merupakan bangunan penampung air sementara sebelum didistribusikan ke pemakai air 2. Sistem perpipaan Merupakan rangkaian pipa yang menghubungkan antara reservoir dengan perpipaan. Secara hirarki sistem perpipaan disusun menurut jumlah air yang dibawa, yaitu pipa induk, pipa sekunder/ tersier, dan pipa service. 3. Sistem Sambungan Pelanggan Merupakan ujung terakhir dari sistem perpipaan. Sistem sambungan pelanggan terdiri dari meter air check, valve, dan box meter Masalah yang kerap timbul dalam penyediaan air bersih perpipaan, antara lain 32 : •
Masalah
penentuan
sumber
air
baku,
pengambilan
air
baku
dan
pengolahannya. Masalah ini berupa penentuan sumber air baku yang baik, pengambilan antar waktu agar pengambilan air baku ini optimal berikut pengolahannya. •
Masalah distribusi di antara pengguna air dari berbagai golongan yang berbeda agar didapat manfaat sosial yang optimal
31 32
Martin Dharma Setiawan, Sistem Distribusi Air Minum (Jakarta: Ekamitra Engineering, 2004) Suparmoko (1989) dalam….
•
Masalah pendistribusian air diantara daerah-daerah yang berbeda, misal antara daerah yang kering dan daerah yang tidak kering, juga antara daerah yang memiliki kualitas air tanah yang buruk dengan daerah yang memiliki kualitas air tanah yang baik
•
Masalah distribusi air di antara waktu. Masalah ini menyangkut bagaimana menjaga jumlah air bersih yang tersedia agar dalam jangka waktu tertentu dapat selalu memenuhi permintaan
2.2
Kajian Teoritis Teknik Evaluasi Evaluasi
pemberian
secara
angka
umum
(rating)
dan
diartikan penilaian
dengan
penaksiran
(assessment),
(appraisal),
kata-kata
yang
menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Berdasarkan Dunn 33 , evaluasi memiliki fungsi utama dalam analisis kebijakan, antara lain: (1) memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik; (2) memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan tujuan dan target; (3) Memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis kebijakan lainnya, termasuk perumusan masalah dan rekomendasi. Masih berdasarkan Dunn, pada dasarnya terdapat tiga pendekatan evaluasi kebijakan, antara lain: 1. Evaluasi Semu (Pseudo Evaluation) Evaluasi semu merupakan pendekatan yang menggunakan metodemetode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai hasil kebijakan atanpa berusaha menanyakan manfaat atau nilai dari hasil-hasil tersebut terhadap individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan.
33
William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), hlm.608
2. Evaluasi Formal Merupakan pendekatan yang menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang valid dan cepat dipercaya mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan administrator program. Perbedaan pendekatan evaluasi formal dan semu adalah bahwa evaluasi formal menggunakan undang-undang, dokumen-dokumen, program, dan wawancara dengan pembuat kebijakan dan administrator untuk mengidentifikasikan, mendefinisikan, dan menspesifikasikan tujuan dan target kebijakan. Kelayakan dari tujuan dan target yang diumumkan secara formal tersebut tidak ditanyakan. Evaluasi formal dibagi ke dalam dua tipe 34 , pertama, evaluasi sumatif. Yang menjadi fokus penelitiannya adalah tujuan pelaksanaan program, kebijakan atau produk intervensi sehingga output yang diperoleh berupa penilaian umum terhadap keefektifan program dan penilaian kondisi-kondisi yang dapat membuat program tersebut menjadi efektif. Kedua, evaluasi formatif, tujuannya untuk menilai kinerja program kebijakan dan sejenisnya yang sedang berlangsung dengan memfokuskan pada kekuatan dan kelemahannya secara spesifik. Output yang dihasilkan adalah rekomendasi untuk meningkatkan kinerja program pada tahap selanjutnya. TABEL 2.4 TIPE EVALUASI FORMAL Kontrol terhadap Aksi Kebijakan Langsung Tidak Langsung
Orientasi terhadap Proses Kebijakan Formatif Evaluasi perkembangan Evaluasi proses retrospektif
Sumatif Evaluasi eksperimental Evaluasi hasil retrospektif
Sumber: Dunn (1998)
Evaluasi formal juga dibagi berdasarkan kontrol langsung dan tidak langsung. Dalam kasus kontrol langsung, evaluator dapat memanipulasi secara langsung tingkat pengeluaran, campuran program, atau karakteristik kelompok
34
Michael Patton, Qualitative Evaluation and Research Methods (California: Sage Publications, 1990)
sasaran. Sedangkan kontrol tidak langsung, masukan dan proses kebijakan tidak dapat secara langsung dimanipulasi. 3. Evaluasi Keputusan Teoritis Perbedaan pendekatan evaluasi ini dengan evaluasi semu dan evaluasi
formal
adalah
bahwa
evaluasi
keputusan
teoritis
berusaha
memunculkan dan membuat eksplisit tujuan dan target dari pelaku kebijakan baik yang tersembunyi maupun yang dinyatakan. 2.3
Kriteria dan Indikator Kinerja Penyedia Air Bersih Perpipaaan Penetapan kriteria dan indikator kinerja penyedia air bersih sebagian
besar ditarik dari Keputusan Menteri Dalam Negeri No.47 Tahun 1999 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum. Walaupun demikian, tidak semua indikator dalam peraturan tersebut dapat digunakan mengingat bahwa evaluasi kinerja tidak hanya dilakukan terhadap PDAM tetapi juga pada penyedia air bersih lainnya, yaitu sistem komunal yang diusahakan oleh masyarakat. Oleh karena itu kriteria dan indikator kinerja harus disesuaikan dengan kondisi pengelola air bersih komunal. Alasan penggunaan Kepmendagri No. 47 Tahun 1999 adalah karena peraturan tersebut selama ini digunakan sebagai ‘alat’ (tool) utama yang digunakan untuk mengukur kinerja PDAM di seluruh Indonesia setiap tahun melalui Laporan Hasil Evaluasi Kinerja Perusahaan Daerah Air Minum oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Propinsi. Dengan demikian, validitas indikatornya telah diakui secara nasional. Peraturan tersebut juga digunakan oleh pemerintah Kabupaten Bandung dalam menurunkan indikator untuk penilaian BPABD (Badan Pengelola Air Bersih Desa) di Kabupaten Bandung. Selain Kepmendagri No. 47 Tahun 1999, peraturan lainnya yang digunakan sebagai acuan indikator kinerja, yaitu Kepmendagri No. 23 Tahun 2006 Tentang Pedoman Teknis dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum Pada Perusahaan Daerah Air Minum. Peraturan ini turut digunakan dalam penentuan indikator
kinerja
karena
keberlanjutan
penyedia
air
bersih
juga
harus
memperhatikan penetapan tarif yang terjangkau oleh masyarakat pelanggan.
Penjelasan mengenai penetapan kriteria dan indikator kinerja berbagai penyedia air bersih perpipaan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel II.5. TABEL II.5 PENETAPAN KRITERIA DAN TOLOK UKUR KINERJA PENYEDIA AIR BERSIH PERPIPAAN
Aspek
Kriteria
Lembaga Penyedia Air Bersih
Tolok Ukur
Keterangan Sumber
PDAM
≥60%
Kepmendagri No. 47 Tahun 1999
Sistem komunal
≥40%
Laporan Akhir Pembinaan BPABD di 50 Desa Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2005
Kuantitas Air
PDAM/ Sistem komunal
60 l/o/h
Kepmendagri No. 47 Tahun 1999
Kualitas Air
PDAM/ Sistem komunal
Memiliki surat kelayakan air bersih
Kepmendagri No. 47 Tahun 1999,
Mengalir 24 jam/ hari
Kepmendagri No. 47 Tahun 1999
<20%
Kepmendagri No. 47 Tahun 1999
≤ 6 hari kerja
Kepmendagri No. 47 Tahun 1999
≥ 80%
Kepmendagri No. 47 Tahun 1999
Tarif progresif
Diambil dari Kepmendagri No. 23 Tahun 2006, tarif memenuhi prinsip efisiensi pemakaian air dan perlindungan air baku
Cakupan Pelayanan
Operasional Kontinuitas Air Tingkat Kehilangan Air Kecepatan Pemasangan Instalasi SL Kemampuan penanganan pengaduan ratarata perbulan Sistem Penetapan Tarif
Tarif
PDAM/ Sistem komunal PDAM/ Sistem komunal PDAM/ Sistem komunal PDAM/ Sistem komunal PDAM/ Sistem komunal
PDAM Dasar Penetapan Tarif Sistem komunal
Biaya tarif ≤ 4% UMR propinsi Ditentukan secara musyawarah oleh pengurus dan pelanggan
Diambil dari Kepmendagri No. 23 Tahun 2006, tarif memenuhi prinsip keterjangkauan dan keadilan Khusus untuk sistem komunal, prinsip keterjangkauan dan keadilan diupayakan berdasarkan musyawarah sesuai dengan norma/ kebiasaan yang berlaku
Aspek
Lembaga Penyedia Air Bersih
Kriteria
Tolok Ukur
Keterangan Sumber
Memiliki:
PDAM
Administrasi
Dokumen dasar
• Rencana Jangka Panjang • Rencana Organisasi dan Uraian Tugas • Prosedur Operasi Standar • Gambar Nyata Laksana • Pedoman Penilaian Kerja Karyawan • Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan • Tertib Laporan Internal • Tertib Laporan Eksternal
Kepmendagri No. 47 Tahun 1999
Memiliki: Sistem komunal
• Surat Keputusan Pembentukan • AD/ ART • Tertib Laporan Internal • Tertib Laporan Eksternal
Kepmendagri No. 47 Tahun 1999
Berdasarkan proses penetapan kriteria dan indikator kinerja penyedia air bersih pada sub bab sebelumnya, maka kriteria dan indikator kinerja dalam penelitian
ini
secara
lengkap
dapat
dilihat
pada
tabel
II.6.
TABEL II.6 KRITERIA DAN INDIKATOR KINERJA PENYEDIA AIR BERSIH PERPIPAAN
Aspek
Kriteria
Cakupan Pelayanan
Kuantitas Air Kualitas Air
Operasional
Kontinuitas Air Tingkat Kehilangan Air
Kecepatan Pemasangan Instalasi SL Pengaduan tertangani
Indikator Jumlah rumah tangga terlayani per jumlah rumah tangga keseluruhan di wilayah administratif (desa) Kapasitas pengaliran Standar kualitas air bersih Akses terhadap ketersediaan air bersih Jumlah m3 air yang terjual kepada konsumen per jumlah m3 air yang diproduksi oleh produsen air Lamanya waktu yang dibutuhkan calon pelanggan s/d penyambungan Jumlah pengaduan yang berhasil ditangani
Lembaga Penyedia Air Bersih PDAM
60%
Komunal
40%
PDAM Komunal PDAM Komunal PDAM Komunal
Sistem yang diterapkan dalam penetapan tarif
Dasar Penetapan Tarif
Hal-hal yang dipertimbangkan dalam penentuan tarif
60 l/o/h Memiliki surat kelayakan air bersih dari dinas kesehatan Mengalir 24 jam/hari
PDAM <20% Komunal PDAM ≤ 6 hari kerja Komunal PDAM Komunal PDAM
Sistem Penetapan Tarif
Tolok Ukur
Komunal
Tarif PDAM
Komunal
≥80% Penetapan tarif progresif (prinsip efisiensi pemakaian air dan perlindungan air baku) Besar tarif ≤4% UMR propinsi (prinsip keterjangkauan dan keadilan) Ditentukan secara musyawarah oleh pengurus dan pelanggan
Aspek
Kriteria
Indikator
Lembaga Penyedia Air Bersih
PDAM
Administrasi
Dokumen Dasar
Kelengkapan dokumen dasar
Komunal
Tolok Ukur Memiliki: • Rencana Jangka Panjang • Rencana Organisasi dan Uraian Tugas • Prosedur Operasi Standar • Gambar Nyata Laksana • Pedoman Penilaian Kerja Karyawan • Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan • Tertib Laporan Internal • Tertib Laporan Eksternal Memiliki: • Surat Keputusan Pembentukan • AD/ ART • Tertib Laporan Internal • Tertib Laporan Eksternal.
Sumber: Kepmendagri No. 47 Tahun 1999, Kepmendagri No. 23 Tahun 2006, Laporan Akhir Pembinaan BPABD di 50 Desa KabupatenBandung TA 2005