BAB 2 KONSEP BENCANA KEBAKARAN SERTA PENGEMBANGAN VARIABEL DAN TOLOK UKUR KEBAKARAN DI KAWASAN PERMUKIMAN PADAT
2.1
Manajemen Penanggulangan Bencana Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu
untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan observasi dan analisis bencana serta pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dini, penanganan darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi bencana (Depsos RI). Manajemen bencana merupakan bentuk dari adanya suatu kebutuhan akan komunitas serta lingkungan perkotaan yang lebih aman baik terhadap bencana alam dan bencana lain akibat ulah manusia, sehingga secara umum dapat meningkatkan kualitas kehidupan (quality of life) penduduk perkotaan. Kegiatan manajemen penanggulangan bencana dapat disusun dalam suatu daur penanganan bencana. Daur tersebut bukanlah suatu urutan kegiatan, melainkan suatu rangkaian kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan dan terjadi terus menerus. GAMBAR 2.1 SIKLUS MANAJEMEN BENCANA
Kesiapsiagaan
Penanggulangan Kedaruratan
Pemulihan
Mitigasi
Pembangunan Pencegahan
Sumber : Carter, W. Nick. “Disaster Management: A Disaster Manager’s Handbook”. Chapter 5: hal.52, Asian Development Bank, 1991.
Siklus manajemen bencana terdiri dari : 1. Pencegahan adalah langkah‐langkah yang dilakukan untuk menghilangkan samasekali atau mengurangi secara drastis akibat dari ancaman melalui pengendalian dan pengubahsuaian fisik dan lingkungan.
2. Mitigasi
adalah
tindakan‐tindakan
yang
memfokuskan
perhatian
pada
pengurangan dampak dari ancaman sehingga dengan demikian mengurangi kemungkinan dampak negatif kejadian bencana terhadap kehidupan.
3. Kesiapan adalah perkiraan tentang kebutuhan yang akan timbul kalau terjadi kedaruratan bencana dan pengenalan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan demikian, membawa penduduk di daerah rawan bencana ke tataran kesiapan yang relatif lebih baik untuk menghadapi bencana. 4. Penanggulangan
kedaruratan/Respon
(Early
Warning
System)
adalah
tindakan‐tindakan yang dilakukan seketika sebelum dan atau setelah terjadinya kejadian bencana.
5. Pemulihan adalah tindakan yang bertujuan untuk membantu masyarakat mendapatkan kembali apa yang hilang dan membangun kembali kehidupan mereka serta mendapatkan kembali kesempatan kesempatan mereka. 6. Pembangunan adalah pembangunan kembali semua prasaran dan sarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana. Terdapat lima kerangka berpikir atau model dalam manajemen bencana (www.ecbproject.org/publications/ECB3/Leaving_Disasters_Behind_Chapter_2_ Key_Concepts.pdf) yaitu : 1. Disaster Management Continuum Model Model ini terfokus pada kejadian bencana dan tanggap darurat. Model ini mengasumsikan bahwa bencana tidak dapat dihindari, selain itu model ini menjelaskan bahwa bencana merupakan rangkaian yang terus berputar.
2. Pre-During-Post Disaster Model Model ini sedikit sama dengan model Disaster Management Continuum yang melihat perlunya campur tangan sebagai bentuk manajemen bencana dalam fase bencana. Namun perbedaannya adalah pandangan bahwa bencana dapat diakhiri atau dihilangkan, selain itu kegiatan persiapan, mitigasi, dan perbaikan dapat dilakukan sebelum, selama, dan setelah terjadinya bencana. 3. Contract-Expand Model Contract-expand model digunakan oleh masyarakat di Afrika Selatan. Model ini mengasumsikan bahwa bencana terjadi ketika suatu bahaya melampaui kapasitas komunitas untuk memanajemen bencana tersebut, semua komponen untuk pengurangan bencana dapat dilakukan bersamaan dengan penekanan yang berbeda-beda. Sama dengan model disaster management continuum dan model pre-during-post disaster, model ini juga menyebutkan bahwa bencana tidak dapat dihindari dan datang dalam jangka waktu yang pendek. 4. Risk Reduction Disaster (RRD) Framework Pada model ini, resiko terjadinya bencana akan lebih besar jika bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability) meningkat sedangkan kapasitas atau ketahanan menurun. Model ini memfokuskan pada manajemen resiko, mengurangai atau menghilangkan kerentanan, memahami karakteristik hazard, dan membangunan ketahanan berdasarkan kerentanan dan bahaya yang dimimiki suatu wilayah. Selain itu model ini memusatkan pada analisis sosial dan scientific. 5. Crunch Model Awotona (1997:150) mengemukakan Model Crunch yaitu bahwa bencana (disaster) merupakan produk dari kerentanan (vulnerability) bertemu dengan suatu hazard. Crunch model menunjukan bahwa bencana hanya terjadi jika hazard bertemu dengan kondisi yang membuat masyarakat dan elemen nonmanusia mudah terkena dampak negatif dari suatu bahaya. Model Crunch memandang bencana sebagai konsep sosial yang perlu dilakukan penanganan terhadap akar penyebab munculnya kerentanan dan perlu dilakukan pemahaman terhadap terjadinya suatu bahaya. Fokus yang dilakukan adalah
meningkatkan kapasitas suatu lingkungan untuk mengurangi kerentanan dan bahaya suatu lingkungan serta analisis sosial. Pada metode ini pengurangan tingkat bahaya (hazard) dapat digambarkan dengan peningkatan kapasitas atau ketahanan suatu lingkungan serta memperkecil tingkat kerentanan suatu lingkungan terhadap suatu bahaya. Konsep yang diterapkan dalam model ini menyebutkan bahwa key-actor yang sangat berperan dalam upaya mitigasi adalah masyarakat, ahli teknis, serta pemerintah. Hal ini berbeda dengan model disaster management continuum model, model pre-during-post disaster, dan contract-expand model sebelumnya yang menyatakan bahwa key-actor yang terlibat hanyalah manajer bencana.
2.2
Konsep Bencana Bencana diartikan sebagai suatu gangguan serius terhadap keberfungsian
suatu masyarakat sehingga menyebabkan kerugian yang meluas pada kehidupan manusia dari segi materi, ekonomi atau lingkungan dan yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri (UNISDR,2004). Sedangkan menurut UU RI No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Potensi bencana yang ada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua (Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan Bakornas,2002) yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard) yang sangat tinggi terutama di daerah perkotaan yang memiliki kepadatan, persentase bangunan kayu (utamanya di daerah pemukiman kumuh perkotaan), dan jumlah industri berbahaya, yang tinggi. Berdasarkan penyebabnya, bencana dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok (UU RI No.24 Tahun 2007) yaitu :
1. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan lainnya. 2. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam yang diantaranya berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemik, dan wabah penyakit. 3. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror. Bencana tidak lepas dari adanya beberapa faktor penyebab yaitu hazard atau bahaya yang ada di dalam suatu lingkungan serta adanya kerentanan (vulnerability) dan ketahanan (capacity) yang dimiliki suatu lingkungan. Bencana merupakan hasil dari bahaya bertemu dengan kerentanan (Awotona,1997:150). Terdapat beberapa model formula resiko atau hubungan antara resiko bencana, kerentanan, ketahanan, dan bahaya yaitu : 1. Menurut Sanderson (1997) Pada model yang digambarkan oleh Sanderson, dijelaskan bahwa resiko atau bencana merupakan hasil dari kerentanan yang bertemu dengan bahaya yang ada. Bahaya dapat dilihat berdasarkan tipe, frekuensi, dan kehebatan bahaya yang akan muncul, sedangkan kerentanan dilihat berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, infratruktur, dan organisasi yang dimiliki suatu kawasan. Model ini tidak mempertimbangkan potensi yang dimiliki suatu kawasan dalam menghadapi bahaya yang ada.
GAMBAR 2.2 MODEL TERJADINYA BENCANA MENURUT SANDERSON
Sumber : David Sanderson, Reducing risk as a tool for urban improvement: the Caqueta ravine, Lima,Peru
2. Menurut Pusat Mitigasi Bencana ITB Berdasarkan Pusat Mitigasi bencana ITB, resiko terjadinya bencana dapat dilihat dari bahaya (hazard) yang bertemu dengan kerentanan (vulnerability) serta tidak adanya ketahanan (capacity). Pada model ini resiko bencana dapat dikurangi dengan meningkatkan nilai ketahanan dan memperkecil kerentanan yang ada, setiap faktor baik potensi sumber bahaya, kerentanan, dan ketahanan kawasan dijadikan suatu tolak ukur tinggi atau rendahnya resiko bencana di kawasan tersebut.
GAMBAR 2.3 MODEL TERJADINYA BENCANA MENURUT PUSAT MITIGASI BENCANA ITB
HAZARD
DISASTER
VULNERABILITY
Disaster Risk = Hazard + Vulnerability – Capacity
CAPACITY
3. Menurut Naskah Undang-Undang Penanggulangan Bencana Kerawanan suatu komunitas ditentukan oleh tinggi rendahnya R atau resiko terjadinya bencana. Resiko terjadinya bencana merupakan fungsi dari A (ancaman) dengan keadaan K atau keadaan yang rentan, yang dapat dirubah oleh adanya m atau kemampuan. Dengan menggunakan formula ini maka ketika tidak terdapat kerentanan dan ancaman, nilai resiko yang dihasilkan adalah 0.
Disaster Risk (R) = Ancaman (A) x Kerentanan (K) Kemampuan (m)
Dalam studi ini, model formula manajemen bencana yang digunakan adalah Crunch Model berdasarkan Pusat Mitigasi Bencana ITB yaitu bahwa bencana (disaster) merupakan produk dari kerentanan (vulnerability) bertemu dengan suatu hazard. Disaster Risk = Hazard + Vulnerability – Capacity Dengan menggunakan metode ini, hubungan antara bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan ketahanan (capacity) dapat terlihat dengan mudah. Resiko bencana akan semakin besar jika bahaya bertemu dengan kerentanan tanpa adanya ketahanan, sebaliknya resiko bencana akan semakin kecil jika nilai ketahanan sangat besar dan kerentanan yang ada dihilangkan. Pada metode ini pengurangan nilai resiko terjadinya bencana dapat digambarkan dengan peningkatan kapasitas atau ketahanan suatu lingkungan serta memperkecil tingkat kerentanan suatu lingkungan terhadap suatu bahaya.
2.2.1 Bahaya (Hazard) Bahaya adalah kejadian yang jarang atau ekstrim dari lingkungan karena ulah manusia atau karena alam yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, properti atau aktivitas pada tingkat yang menyebabkan satu bencana (UNDP,1992). Hazard dapat pula diartikan suatu kejadian yang dapat mengarah
pada kehilangan dan kesakitan (Tearfund,2006). Bahaya dapat diklasifikasikan kedalam tiga jenis (Rice,1999) yaitu : 1. Natural hazard, yaitu yang disebabkan oleh kejadian alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan lain sebagainya. 2. Man-made Hazard, yaitu yang disebabkan oleh tindakan secara langsung atau tidak langsung manusia. 3. Technology Hazard Berdasarkan UNISDR tahun 2002, bahaya dapat dibedakan menjadi lima kelompok yaitu : 1. Bahaya beraspek geologi, antara lain gempa bumi, tsunami, gunungapi, longsor. 2. Bahaya beraspek hidrometeorologi, antara lain banjir, kekeringan, angin topan, gelombang pasang. 3. Bahaya beraspek biologi, antara lain wabah penyakit, hama, dan penyakit tanaman. 4. Bahaya beraspek teknologi, antara lain kecelakaan transportasi, kecelakaan industri, kegagalan teknologi. 5. bahaya beraspek lingkungan, antara lain kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran limbah.
2.2.2 Kerentanan (Vulnerability) Menurut Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, kerentanan merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Masyarakat dikatakan memiliki kerentanan jika mereka tidak dapat mengantisipasi dan bertahan dari suatu bahaya. Kerentanan muncul karena tekanan tindakan dari individual atau komunitas (Tearfund,2006). Tekanan tersebut merupakan struktur dan proses yang menciptakan kondisi rentan, yang perlu diidentifikasi siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya kondisi kerentanan dan bagaimana struktur (kebijakan dan tindakan) mempengaruhi kondisi kerentanan. Beberapa elemen yang terdapat di sekitar masyarakat sering
kali memiliki tingkat kerentanan dalam menghadapi ancaman bahaya. Kerentanan (Tearfund,2006) dapat berupa : 1. Ekonomi, seperti kehidupan yang rapuh atau tidak adanya fasilitas kredit dan tabungan. 2. Alam, seperti ketergantungan pada sumber daya alam yang terbatas jumlahnya. 3. Konstruksi, seperti rancangan struktural dan lokasi rumah yang terletak pada kemiringan yang tidak stabil. 4. Individual, seperti kurangnya keterampilan dan pengetahuan, kurangnya kesempatan tehadap gender tertentu, usia lanjut dan usia yang terlalu muda, atau kehidupan dengan penyakit. 5. Sosial, seperti kurangnya kepemimpinan atau organisasi yang baik. Berbeda dengan Tearfund, pada tugas akhir Firmansyah (1998:62-68) dalam Putranto,2004 faktor kerentanan terdiri dari 3 sub faktor, yaitu : 1. Kerentanan fisik / infrastruktur Menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan yang ditimbukan jika bencana terjadi. 2. Kerentanan sosial kependudukan Menunjukkan perkiraan kerentanan terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk
apabila
terjadi
bencana.
Indikator
dari
kerentanan
sosial/kependudukan adalah persentase penduduk usia tua dan balita serta persentase penduduk wanita. 3. Kerentanan ekonomi Menggambarkan besar kerugian/gangguan terhadap aktivitas ekonomi komunikasi sehari-hari. Indikator kerentanan ekonomi adalah persentase rumah tangga miskin dan persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan. Menurut Oetomo (2007), faktor kerentanan dapat berupa : 1. Sosial (kepadatan penduduk,struktur umur balita dan lansia, segregasi sosial,disparitas sosial-ekonomi) 2. Ekonomi (tingkat kemiskinan penduduk, dan lain-lain)
3. Budaya 4. Organisasi/politis 5. Kondisi fisik bangunan (kepadatan bangunan, konstruksi bangunan, bahanbahan bangunan, dan lain-lain) Menurut Davidson (1997), kerentanan ditentukan oleh : 1. Persentase bangunan yang terbuat dari kayu, yaitu menjelaskan jumlah bahan bakar yang ada yang dapat mudah terbakar 2. Kepadatan penduduk, yaitu menjelaskan kemudahan tindakan evakuasi. 3. Persentase penduduk berusia 0-4 dan 65+, penduduk sakit, cacat, dan hamil. Hal ini berguna mentukan kemampuan penduduk dalam menghindari atau melarikan diri dari bahaya yang datang. Blaikie (1994) dalam Davidson mengatakan bahwa dalam studi mengenai penyebab bencana mengindikasikan usia muda dan tua merupakan yang paling sering beresiko. Urban Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project tahun 2004 (http:// www. adpc. Net / dms / Lao % 20 Fire. PDF) menyebutkan bahwa kerentanan dapat dilihat berdasarkan : 1. Fire history, yaitu kejadian kebakaran di area tersebut di masa lalu. 2. Material bangunan. Kualitas material yang terbakar merupakan penentu utama terhadap intesitas api. Kualitas bangunan dapat dilihat dari tipologi bangunan, material konstruksi, dan kedekatan lokasi antar bangunan. Selain itu kemungkinan munculnya api juga berawal dari aktivitas yang dilakukan di lokasi tersebut, baik karena kelalaian atau kesalahan. Mantra (2005) menuliskan bahwa yang termasuk kedalam kerentanan adalah: 1. Kondisi lingkungan (lebar jalan masuk, ketersediaan lapangan/parkir masyarakat). Kondisi lingkungan berguna untuk melihat bentuk akses yang ada dibandingkan dengan persyaratan dalam peraturan, apakah mobil dapat bergerak menerus tanpa harus memutar terlebih dahulu untuk keluar areal. Kondisi ini dari segi pemadaman api dapat memudahkan petugas dalam melaksanakan tugasnya sehingga benturan antar petugas dapat dihindari.
2. Bahan bangunan. Penggunaan bahan bangunan yang tahan terhadap api sangat efektif untuk mengahambat penyebaran api ke bangunan lainnya. Sebaliknya dengan penggunaan bahan bangunan seperti triplek atau jenis lain yang mudah terbakar akan mempercepat persebaran api. 3. Struktur bangunan 4. Jarak antar bangunan. Dengan jarak yang rapat, maka kebakaran akan sulit dikendalikan dan akan mudah menyebar ke bangunan lain dan menyebabkan kebakaran yang besar. BAKORNAS PBP (2002) menyebutkan bahwa kerentanan suatu kawasan terhadap bencana dipengaruhi oleh : 1. Kerentanan fisik (infrastruktur) menggambarkan perkiraan tingkat kerusakan terhadap fisik (infrastruktur) bila ada faktor bahaya (hazard) tertentu, melihat dari berbagai indikator sebagai berikut: persentase kawasan terbangun; kepadatan bangunan; persentase bangunan konstruksi darurat; jaringan listrik; rasio panjang jalan; jaringan telekomunikasi; jaringan PDAM; dan jalan KA 2. Kerentanan sosial menunjukkan perkiraan tingkat kerentanan terhadap keselamatan jiwa/kesehatan penduduk apabila ada bahaya. Dari beberapa indikator antara lain kepadatan penduduk, laju pertumbuhan penduduk, persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita 3. Kerentanan ekonomi menggambarkan besarnya kerugian atau rusaknya kegiatan ekonomi (proses ekonomi) yang terjadi bila terjadi ancaman bahaya. Indikator yang dapat kita lihat menunjukkan tingginya tingkat kerentanan ini misalnya adalah persentase rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor jasa dan distribusi) dan persentase rumah tangga miskin
2.2.3 Ketahanan (Capacity) Ketahanan adalah gabungan antara kekuatan dan sumber daya yang ada dalam suatu komunitas, sosial atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat resiko atau dampak dari bencana (UNISDR,2002). Ketahanan yang ada dalam suatu lingkungan tidak terlepas dari kekuatan yang dimiliki pihak-pihak yang ada didalamnya (Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia).
Terdapat beberapa pendapat mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan atau kapasitas dalam suatu lingkungan, yaitu: 1. Berdasarkan Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia a. Kapasitas Pemerintah Pusat dan Daerah b. Kapasitas dan Potensi Masyarakat c. Masyarakat sebagai pelaku awal penanggulangan bencana sekaligus korban bencana harus mampu dalam batasan tertentu menangani bencana sehingga diharapkan bencana tidak berkembang ke skala yang lebih besar. Dalam lingkungan masyarakat yang sering terjadi suatu bencana, perlu dibuat suatu organisasi dalam penanganan ancaman bahaya tersebut. Selain masyarakat atau penduduk setempat, kapasitas swasta juga sangat penting. Peran partisipatif yang lebih luas dari sektor swasta ini akan sangat berguna bagi peningkatan ketahanan nasional dalam menghadapi bencana. d. Kearifan Lokal 2. Menurut Oetomo (2007) a. Ketahanan wilayah dari segi kelengkapan fasilitas fisik prasarana (fasilitas gawat darurat/kesehatan, fasilitas pemadam kebakaran, tempattempat
evakuasi
potensial-ruang
terbuka
yang
kokoh,
fasilitas
bangunan/ruang sekretariat komando penanggulangan bencana, dan lainlain) b. Kelengkapan sarana dan utilitas (sistem peringatan dini, sarana koordinasi/telekomunikasi/informasi, sarana transportasi/perhubungan, ambulans, mobil pemadam kebakaran-yang sesuai dengan kebutuhan, hidran, tandon air bersih, alat-alat berat) c. Ketersediaan sumber daya manusia terlatih (tenaga medis, paramedik, polisi,
petugas
pemadam
kebakaran,
sukarelawan, dan lain-lain) 3. Menurut Davidson (1997) a. Personel pemadam kebakaran b. Penyediaan kebutuhan air gawat darurat
hansip,
militer,
kelompok
c. ketersediaan peralatan pemadam kebakaran (mobil pemadam kebakaran, pos pemadam kebakaran, dan hidrant) 4. Menurut Urban Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project tahun 2004 (http://www.adpc.net/dms/Lao%20Fire.PDF) Ketahanan dipengaruhi oleh Fire fighting scenario. Kemampuan atau keefektifan pelayanan pemadam kebakaran pada lokasi kebakaran dapat ditentukan oleh keberadaan sumber air dan ruang gerak/lebar jalan tim pemadam kebakaran dengan waktu yang cepat dan memungkinkan untuk menangani kebakaran. 5. Menurut Mantra (2005:1-61), ketahanan ditentukan oleh ketersediaan sensor pencegah
kebakaran,
ketersediaan
springkler,
ketersediaan
hydrant,
ketersediaan detektor, ketersediaan special fire lift, ketersediaan sarana komunikasi. Sarana komunikasi mempermudah masyarakat menyampaikan informasi terjadinya kebakaran kepada petugas sehingga petugas lebih cepat menangani kebakaran, serta area parkir yaitu parkir kendaraan di pinggir jalan dan memanfaatkan tanah lapang di tengah permukiman akan menyulitkan petugas dalam menanggulangi kebakaran karena tanah lapang yang dapat dimanfaatkan oleh petugas terpakai. 6. Berdasarkan Kepmen No.11 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan a. lokasi pos pemadam kebakaran Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 11 Tahun 2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, daerah layanan dalam setiap WMK (Wilayah Manajemen Kebakaran) tidak melebihi dari radius 7,5 km. Daerah yang sudah terbangun harus mendapat perlindungan oleh mobil kebakaran yang pos terdekatnya berada dalam jarak 2,5 km dan berjarak 3,5 km dari sektor. Satu pos kebakaran melayani maksimum 3 (tiga) kelurahan atau sesuai dengan wilayah layanan penanggulangan kebakaran, pada pos kebakaran maksimal ditempatkan 2 (dua) regu jaga. Pos kebakaran dipimpin oleh
seorang kepala pos yang merangkap sebagai kepala regu (juru padam utama). b. pasokan air untuk pemadaman kebakaran (kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran irigasi; maupun buatan seperti; tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur, reservoir, mobil tangki air dan hydrant) c. ketersediaan bahan pemadam bukan air ("foam" atau bahan kimia lain) d. aksesibilitas (batas pembebanan maksimum yang aman dari jalan, belokan, jalan penghubung, jembatan serta menetapkan jalur masuk ke lokasi sumber air pada berbagai kondisi alam) e. ketersediaan sarana komunikasi (pusat alarm kebakaran dan telpon darurat kebakaran) 2.3
Mitigasi Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik
maupun
penyadaran
dan
peningkatan
kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Mitigasi berfungsi dalam mengurangi dampak dari bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh kelalaian manusia dalam suatu bangsa atau suatu komunitas.
“Measures aimed at reducing the impact of natural or man-made disasters in a nation or community”(Carter, 1991). Terdapat lima prinsip dasar1 dalam mitigasi yaitu: 1. Initiation Mitigasi dapat dikenal sebagai tiga konteks yang berbeda, yaitu rekonstruksi, investasi baru dan kondisi lingkungan eksisting. Saat setelah terjadinya bencana merupakan kesempatan terbaik untuk mitigasi.
1
Carter, W. Nick. 1992. Disaster Management: A Disaster Manager’s Hand Book. Asian Development Bank
2. Management Tindakan mitigasi sangat kompleks dan interdependen dan juga mencakup tanggungjawab yang sangat luas. Dengan demikian, dibutuhkan suatu kepemimpinan dan koordinasi yang baik dalam penyelenggaraan mitigasi ini. 3. Prioritisation Apabila sumber daya sangat terbatas, butuh untuk adanya pemberian prioritas terhadap kelompok sosial yang penting, pelayanan yang kritis dan sektor ekonomi yang vital. 4. Monitoring and evaluation Tindakan mitigasi butuh untuk terus dimonitor dan dievaluasi secara kontinu dalam merespon terjadinya perubahan pola ancaman/bahaya, kerentanan dan sumber daya. 5. Institutionalisation Tindakan mitigasi harus berkelanjutan dan komitmen politik sangat penting dalam inisiasi awal dan pemeliharaan mitigasi. Mitigasi dapat dikategorikan kedalam mitigasi struktural dan nonstruktural (Godschalk,1999). Mitigasi stuktural berarti memperkuat bangunan dan infrastruktur terhadap bahaya melalui building codes, engineering design, dan pelaksanaan kontruksi untuk meningkatkan daya tahan bangunan terhadap ancaman bahaya. Mitigasi struktural memiliki potensi untuk memberikan perlindungan jangka pendek terhadap ancaman yang sifatnya jangka panjang. Sedangkan non-struktural berarti melakukan mitigasi melalui penghindaran terhadap area bahaya yaitu dengan mengarahkan pembangunan yang baru jauh dari lokasi yang telah diketahui berpotensi bahaya. Pengarahan ini dilakukan melalui regulasi dan rencana guna lahan serta melalui merelokasi pembangunan yang berlangsung dan berlokasi di daerah bahaya. Mitigasi non-struktural dapat dilakukan pula melalui memelihara lingkungan alam pelindung yang ada yaitu memelihara bukit pasir di sekitar pesisir, lahan basah, hutan dan area vegetasi, serta elemen ekologi lainnya yang dapat mengurangi dampak suatu hazard. Mitigasi non-struktural meliputi pemberian pelatihan dan pendidikan, pedidikan publik, perencanaan evakuasi, bangunan institusi, dan sistem peringatan.
2.4
Kebakaran Kebakaran merupakan salah satu bahaya yang terdapat di permukiman
(Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung). Hasil penelitian Wahyudi tahun 2004 menyatakan bahwa bahaya kebakaran adalah proses penyalaan api yang dapat terjadi dimana saja dan kapan saja dan didukung ketersediaan material sebagai bahan bakar. Sedangkan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan menyebutkan bahwa bahaya yang diakibatkan oleh adanya ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap, dan gas yang ditimbulkan. Ancaman ini akan menimbulkan kerugian yang semakin besar ketika terjadi pada keadaan yang lebih rentan. Kebakaran dengan proporsi yang tinggi dapat merugikan lingkungan sekitar oleh karena adanya pembakaran secara besar-besaran serta adanya gas dan asap pembakaran (Masellis, Annals of Burns and Fire Disasters vol. XII - n0 2 - June 1999).
2.4.1 Konsep Terjadinya Kebakaran Sama dengan bahaya pada umumnya, bahaya kebakaran disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor alam (natural hazard) dan faktor kelalaian manusia (manmade hazard). Kebakaran yang termasuk dalam natural hazard biasanya merupakan collateral hazard yaitu bahaya ikutan yang ditimbulkan akibat adanya bahaya lain. Contohnya adalah bahaya kebakaran yang ditimbulkan karena gempa bumi, letusan gunung berapi, atau kekeringan. Selain karena collateral hazard, kebakaran dapat disebabkan murni karena faktor alam yaitu petir. Kebakaran sebagai man-made hazard merupakan bentuk bahaya yang disebabkan oleh kelalaian manusia, hal ini terjadi dikarenakan kebocoran gas, korsleting listrik, puntung rokok, sabotase, atau kurangnnya pengamanan konstruksi bangunan terhadap kebakaran. Terdapat berbagai pendapat mengenai sumber datangnya api yang dapat menyebabkan kebakaran yaitu :
1. Menurut Davidson (1997) Sumber api berasal dari collateral hazard, yaitu api muncul akibat adanya bahaya alam misalnya gempa bumi, rusaknya pipa gas, jatuhnya pemanas air, pembakaran akibat tumpahnya cairan kimia, dan adanya hubungan pendek arus listrik 2. Berdasarkan Urban Research Institute pada Lao Urban Disaster Mitigation Project tahun 2004 (http://www.adpc.net/dms/Lao%20Fire.PDF) Sumber api berasal dari keberadaan pompa bensin dari lokasi rumah terdekat, keberadaan pengguna commercial liquid gas (restaurant/pedagang skala kecil), dan sistem pemasangan sambungan listrik. Hasil observasi di Vientiane mengatakan bahwa banyak sambungan listrik yang sifatnya sementara dan dipasang dengan standar yang buruk. Hal ini ditemui di area pasar, area perbelanjaan dengan ruang terbuka (open air), dan area komunitas yang tak terlayani listrik. 3. Menurut Mantra (2005), bahwa hubungan singkat arus listrik, kompor minyak tanah, perlengkapan penerangan non-listrik (lampu tempel, lilin, dll), dan puntung rokok merupakan faktor munculnya api di lingkungan permukiman. 4. Berdasakan National Fire Protection Agency No.1231 (http://www.nfpa.org) Faktor
munculnya
api
dipengaruhi
oleh
keberadaan
industri
yang
menggunakan bahan padat bukan logam dan logam, keberadaan pom bensin, keberadaan pemasok bahan bakar minyak dan LPG, kebocoran alat listrik, transformator, generator, meteran listrik, pemasangan instalasi listrik, dan konsleting listrik. 5. Berdasarkan Fire Risk Assessment (http:// www. archive. officialdocuments. co.uk/document/fire.htm), yang termasuk kedalam sumber api adalah listrik, pemanas listrik, gas, atau minyak, penggunaan minyak tanah dalam proses memasak, perlengkapan penerangan misalnya lampu halogen, rokok dan korek api, penggunaan tabung LPG untuk memasak, serta penyalaan api secara langsung.
Proses perkembangan api dalam kejadian kebakaran terjadi melalui beberapa tahap (Mantra, 2005) yaitu: 1. Tahap Penyalaan/Peletusan Tahap ini ditandai oleh munculnya api dalam ruangan yang disebabkan adanya energi panas yang mengenai material dalam ruangan. 2. Tahap Pertumbuhan Pada tahap ini api mulai berkembang sebagai fungsi dari bahan bakar. Tahap ini merupakan tahap yang paling tepat untuk melakukan evakuasi dan tahap dimana sensor pencegah kebakaran atau alat pemadam mulai bekerja. 3. Tahap Flashover Tahap ini merupakan masa transisi antara tahap petumbuhan dengan tahap pembakaran penuh, dengan suhu antara 300 sampai 600 derajat celcius. 4. Tahap Pembakaran Penuh Pada tahap ini, energi panas yang dilepaskan adalah yang paling besar. Seluruh material dalam ruangan terbakar sehingga temperatur dalam ruang adalah sebesar 1200 derajat celcius. 5. Tahap Surut Tahap ini ditandai dengan material terbakar yang mulai habis dan temperatur mulai menurun.
2.4.2 Klasifikasi Kebakaran Ketika hendak melakukan perlindungan terhadap bahaya kebakaran, perlu diketahui jenis bahaya kebakaran yang sedang terjadi berdasarkan material yang terbakar, supaya dapat diketahui jenis pemadam apa yang paling tepat digunakan. Berdasarkan Penjelasan pasal 37 Peraturan Daerah Kota Bandung No.15 tahun 2001 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran, terdapat empat jenis kebakaran dan bahan pemadamnya yaitu : 1. Kebakaran biasa, yaitu kebakaran benda-benda padat kecuali logam yang mudah terbakar (seperti kertas, kayu, pakaian) disebut jenis kebakaran kelas A. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pokok yaitu air, foam, CO2, atau bubuk kimia kering.
2. Kebakaran bahan cairan yang mudah terbakar (seperti minyak bumi, gas , lemak dan sejenisnya) disebut jenis kebakaran kelas B. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pelengkap yang memakai zat kimia yaitu foam, CO2, atau bubuk kimia kering. 3. Kebakaran listrik (seperti kebocoran listrik atau korsleting, kebakaran pada alat-alat listrik generator, motor listrik) disebut jenis kebakaran kelas C. Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam jenis CO2 dan bubuk kimia kering. 4. Kebakaran logam, seperti seng, magnesium, serbuk aluminium, sodium, titanium, disebut jenis kebakaran kelas D. Sedangkan berdasarkan Kepmen PU No. 11/KPTS/2000 Tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan, angka klasifikasi resiko bahaya kebakaran dapat dikategorikan kedalam angka 3 sampai 7 yaitu : 1. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 3 Angka klasifikasi ini harus mempertimbangkan resiko bahaya kebakaran yang paling rawan, dimana jumlah dari isi bahan mudah terbakarnya sangat tinggi. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang sangat cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Bangunan yang berdekatan dengan bangunan yang mempunyai angka klasifikasi resiko bahaya kebakaran 3, harus dianggap sebagai bagian dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m atau kurang. 2. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4 Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai resiko bahaya kebakaran tinggi, dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya tinggi. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang cepat dan mempunyai nilai pelepasan panas yang tinggi. Bangunan yang berdekatan dengan bangunan yang mempunyai angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 4, harus dianggap sebagai bagian dari klasifikasi tersebut jika jaraknya 15 m atau kurang. 3. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 5
Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai hunian bahaya sedang, dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi tumpukan bahan mudah terbakarnya tidak melebihi dari 3,7 m. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai pelepasan panas yang sedang. 4. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 6 Angka klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai resiko bahaya rendah, dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya sedang dan tinggi tumpukan bahan mudah terbakarnya tidak lebih dari 2,5 m. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang sedang dan mempunyai nilai pelepasan panas sedang. 5. Angka Klasifikasi Resiko Bahaya Kebakaran 7 Angka dalam klasifikasi ini harus dipertimbangkan sebagai resiko bahaya rendah, dimana kuantitas dan kandungan bahan mudah terbakarnya rendah. Kebakaran dalam tingkat klasifikasi ini dapat diperkirakan berkembang rendah dan mempunyai nilai pelepasan panas relatif rendah.
2.4.3 Penanggulangan Kebakaran Berdasarkan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, sistem perlindungan bangunan terhadap bahaya kebakaran dapat dilakukan melalui dua sistem yaitu sistem proteksi pasif dan sistem proteksi aktif. Sistem proteksi pasif adalah sistem perlindungan terhadap
kebakaran
yang dilaksanakan
dengan
melakukan
pengaturan
terhadap komponen bangunan gedung dari aspek arsitektur dan struktur sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi kebakaran. Sedangkan sistem proteksi aktif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melaksanakan
operasi pemadaman. Selain itu sistem ini digunakan dalam melaksanakan penanggulangan awal kebakaran.
2.4.3.1 Proteksi Aktif Sistem proteksi aktif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja secara otomatis maupun manual, digunakan oleh penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melaksanakan operasi pemadaman. Selain itu sistem
ini digunakan dalam melaksanakan penanggulangan awal kebakaran.
Sistem proteksi pasif dalam menghadapi bahaya kebakaran terdiri dari : 1. Alat Pemadam Api Portable Alat Pemadam Api Portabel (APAP) yang meliputi Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dan Alat Pemadam Api Beroda (APAB), yang ditujukan untuk menyediakan sarana bagi pemadaman api pada tahap awal.
Alat Pemadam Api Beroda Alat pemadam berat merupakan alat pemadam kebakaran yang memiliki berat kurang lebih 100 sampai dengan 150 kilogram. Alat ini biasanya digunakan untuk daerah yang tidak bisa dimasuki kendaraan pemadam kebakaran (Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung, 2008).
Alat Pemadam Api Ringan Alat pemadam api ringan merupakan salah satu perlengkapan pemadam kebakaran yang memiliki berat kurang lebih 16 kilogram. Alat pemadam api ringan tidak hanya berisi air, tetapi ada juga yang berisi foam, serbuk kimia, atau CO2, tergantung pada jenis kebakaran yang terjadi (Dinas Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Kota Bandung, 2008).
2. Sprinkler Sprinkler adalah alat pemancar air untuk pemadaman kebakaran yang mempunyai tudung berbentuk deflektor pada ujung mulut pancarnya, sehingga air dapat memancar kesemua arah secara merata (Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000). Sprinkler adalah bagian dari sistem
pengaman bangunan terhadap kebakaran. Springkler akan mengeluarkan air pada saat panas pada suhu tertentu yang dikeluarkan api telah mengenai sprinkler. Sprinkler terdiri dari berbagai jenis yang dibedakan berdasaran suhu ruangan dan warna kaca sprinkler. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel II.1. TABEL II.1 JENIS SPRINKLER BERDASARKAN SUHU DAN WARNA KACA SPRINKLER Maximum Ceiling Temperature 100°F / 38°C 150°F / 66°C 225°F / 107°C 300°F / 149°C 375°F / 191°C 475°F / 246°C 625°F / 329°C
Tingkat Suhu 135-170°F / 5777°C 175-225°F / 79107°C 250-300°F / 121-149°C 325-375°F / 163-191°C 400-475°F / 204-246°C 500-575°F / 260-302°C 650°F / 343°C
Klasifikasi Suhu Ordinary
Kode Warna (with Fusible Link) Tidak berwara / hitam
Glass Bulb Color Orange (135°F) or Red (155°F) Yellow (175°F) or Green (200°F)
Intermediate
Putih
High
Biru
Biru
Extra High
Merah
Ungu
Very Extra High
Hijau
Hitam
Ultra High
Jingga
Hitam
Ultra High
Jingga
Hitam
Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Fire_sprinkler, 6 Agustus 2008, 1:23.
Tabel II.1 menunjukkan berbagai jenis sprinkler kebakaran berdasakan suhu dan warna kaca sprinkler. Jenis pringkler yang paling sering digunakan bangunan pada umumnya adalah sprinkler dengan glass bulb berwarna merah dan yang akan pecah atau mengeluarkan air pada suhu 57-77o C, dengan klasifikasi suhu biasa. 3. Hydrant Hydrant adalah alat penyalur air yang bersumber dari air bawah tanah atau PDAM. Hydrant merupakan peralatan pemadaman api yang menggunakan air bertekanan dan komponen utamanya berupa nozzle, slang, kopling, dan kotak hidrant. Fasilitas hidrant halaman di permukiman memiliki persyaratan yaitu
debit air yang tersedian 1000 liter/menit dengan persediaan air untuk setiap waktu adalah 30.000 liter dan mudah dicapai oleh petugas pemadam kebakaran. Suplai air untuk hydrant halaman harus sekurang-kurangnya 38 liter/detik pada tekanan 3,5 bar, serta mampu mengalirkan air minimal selama 30 menit. 4. Sistem Deteksi dan Alarm Penyediaan sistem deteksi dan alarm kebakaran menurut fungsi, jumlah, dan luas lantai bangunan dapat dilihat pada Tabel II.2. TABEL II.2 PENYEDIAAN SISTEM DETEKSI DAN ALARM MENURUT FUNGSI, JUMLAH, DAN LUAS LANTAI BANGUNAN
Kelompok Fungsi 1a
1b
2
Nama Kelompok Bangunan hunian tunggal Bangunan hunian Bangunan hunian
Jumlah Lantai
Jumlah Luas Min/Lantai (m2)
Sistem Deteksi dan Alarm
Rumah tinggal
1
-
-
Asrama / kos / rumah tamu / hostel (luas < 300m2) terdiri dari 2 atau lebih unit hunian (ruko)
1
300
-
1
T.A.B
(M)
2-4
T.A.B
(M)
1
T.A.B
(M)
2-4
T.A.B
(M)
1 2-4 >4 1 2-4 >4 1 2-4 >4 1 2-4 >4 1 2-4 >4
T.A.B T.A.B T.A.B 400 200 T.A.B 400 200 T.A.B 2000 1000 T.A.B 400 200 T.A.B
(M) (O) (O) (M) (M) (O) (M) (M) (O) (M) (M) (O) (M) (M) (O)
Fungsi Bangunan
Bangunan hunian diluar 1a, 1b, dan 2
Rumah asrama, hotel, orang berumur, cacat, dll
4
Bangunan hunian campuran
Tempat tinggal dalam suatu bangunan kelas 5,6,7,8,dan 9
5
Bangunan kantor
Usaha profesional, komersial, dll
6
Bangunan perdagangan
Rumah makan, toko, salon, pasar, dll
7
Bangunan penyimpanan/ gudang
Tempat parkir umum, gudang
8
Bangunan lab/industri/p abrik
Produksi perakitan, pengepakan, dll
3
Kelompok Fungsi
Nama Kelompok
Fungsi Bangunan
9a
Bangunan umum
Perawatan kesehatan, lab
9b
Bangunan umum
Pertemuan, peribadatan, pendidikan, budaya, lab
10a
Bangunan/str uktur bukan hunian
Garasi pribadi
10b
Jumlah Lantai
Jumlah Luas Min/Lantai (m2)
Sistem Deteksi dan Alarm
1 2-4 >4 1 2-4 >4 1 2-4 >4 -
T.A.B T.A.B T.A.B 400 200 T.A.B 400 200 T.A.B -
(M) (O) (O) (M) (M) (O) (M) (M) (O) -
Bangunan/str Pagar, antena, kolam uktur bukan renang hunian Keterangan : T.A.B = Tidak Ada Batas; (M) = Manual; (O) = Otomatis
Sumber : Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
Sistem peringatan dini berupa sistem deteksi dan alarm kebakaran merupakan salah satu peralatan yang diperlukan dalam sebuah bangunan untuk mengetahui jika terjadi penyalaan api yang berpotensi menimbulkan kebakaran. Perancangan dan pemasangan sistem deteksi dan alarm kebakaran di setiap bangunan harus sesuai dengan standar Departemen Pekerjaan Umum yaitu SNI 03-3986-edisi terakhir mengenai Instalasi Alarm Kebakaran Otomatis. Alarm kebakaran ditempatkan pada ruangan antara langit-langit dan atap, dengan jarak melebihi 80 cm diukur dari permukaan atap terbawah ke permukaan langit-langit teratas. Selain itu, sistem penginderaan kebakaran dan sistem alarm otomatis harus dilengkapi dengan sistem peringatan keadaan darurat dan sistem komunikasi internal.
2.4.3.2 Proteksi Pasif Sistem proteksi pasif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang dilaksanakan bangunan gedung
dengan dari
melakukan
aspek
arsitektur
pengaturan dan
terhadap
struktur
komponen
sedemikian
rupa
sehingga dapat melindungi penghuni dan benda dari kerusakan fisik saat terjadi
kebakaran. Tabel II.3 menunjukkan tipe klasifikasi konstruksi bangunan (Kepmen PU No. 11/KPTS/2000) berdasarkan ketahanannya terhadap resiko kebakaran. TABEL II.3 TIPE KONSTRUKSI BANGUNAN BERDASARKAN KETAHANANNYA TERHADAP RESIKO KEBAKARAN Tipe Konstruksi Tipe I (konstruksi tahan api)
Tipe II dan IV (tidak mudah terbakar, konstruksi kayu berat)
Tipe III (biasa)
Tipe IV (kerangka kayu)
Keterangan Bangunan yang dibuat dengan bahan tahan api (beton, bata dan lain-lain dengan bahan logam yang dilindungi) dengan struktur yang dibuat sedemikian, sehingga tahan terhadap peruntukan dan perambatan api Bangunan yang seluruh bagian konstruksinya (termasuk dinding, lantai dan atap) terdiri dari bahan yang tidak mudah terbakar yang tidak termasuk sebagai bahan tahan api, termasuk bangunan konstruksi kayu dengan dinding bata, tiang kayu 20,3 cm, lantai kayu 76 mm, atap kayu 51 mm, balok kayu 15,2 x 25,4 cm Bangunan dengan dinding luar bata atau bahan tidak mudah terbakar lainnya sedangkan bagian bangunan lainnya terdiri dari kayu atau bahan yang mudah terbakar Bangunan (kecuali bangunan rumah tinggal) yang strukturnya sebagian atau seluruhnya terdiri dari kayu atau bahan mudah terbakar yang tidak tergolong dalam konstruksi biasa (tipe III)
Sumber : Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
2.5
Kesimpulan Studi Literatur Dalam penulisan studi ini, model manajemen bencana yang digunakan
adalah Crunch model yaitu bahwa bencana (disaster) merupakan produk dari kerentanan (vulnerability) bertemu dengan suatu hazard. Hubungan antara resiko bencana, kerentanan, ketahanan, dan bahaya digambarkan dengan :
Disaster Risk = Hazard + Vulnerability - Capacity
Untuk mengetahui variabel apa saja yang termasuk dalam klasifikasi variabel sumber potensi munculnya api, kerentanan, dan ketahanan di kawasan
permukiman padat Kelurahan Babakan Asih dan Jamika, maka terlebih dahulu dilakukan pengidentifikasian variabel sumber potensi munculnya api, kerentanan, dan ketahanan terhadap bahaya secara umum. Identifikasi ini dilakukan dengan menyusun matriks identivikasi variabel berdasarkan berbagai sumber literatur kebencanaan. Identifikasi variabel yang berpengaruh terhadap munculnya api secara umum dapat dilihat pada Tabel II.4.
TABEL II.4 IDENTIFIKASI VARIABEL YANG BERPENGARUH TERHADAP MUNCULNYA API National Fire Protection Agency No.1231 konsleting listrik,pemasangan instalasi listrik,kebocoran alat listrik, transformator, meteran listrik keberadaan pemasok bahan bakar minyak dan LPG
Mantra hubungan singkat arus listrik
Fire Risk Assessment
BAKORNAS PBP
listrik
hubungan pendek arus listrik
keberadaan pompa bensin keberadaan industri yang berpotensi terjadi kebakaran
keberadaan industri berbahaya
Generator listrik
kompor minyak tanah
memasak dengan minyak tanah
Davidson
Urban Research Institute
Variabel Potensi Sumber Api
sistem pemasangan sambungan listrik
Sistem pemasangan kawat sambungan listrik yang tidak sesuai standar SPLN
keberadaan pemasok LPG
Kompor/tabung minyak tanah dan LPG yang rusak dan ditempatkan pada tempat yang tidak benar
keberadaan pompa bensin
Ledakkan dari Stasiun pompa bensin terdekat industri RT yang menggunakan peralatan produksi mudah terbakar Penggunaan generator listrik yang rusak Penggunaan kompor minyak tanah oleh RT/pedagang
National Fire Protection Agency No.1231
Mantra perlengkapan penerangan nonlistrik (lampu tempel, lilin,dll) puntung rokok
Fire Risk Assessment
BAKORNAS PBP
Davidson
Urban Research Institute
perlengkapan penerangan misal lampu halogen
Penggunaan penerangan nonlistrik oleh RT
rokok dan korek api
Rokok dan korek api
memasak dengan LPG
keberadaan pengguna LPG (restaurant/pedagang kecil)
penyalaan api secara langsung pemanas listrik, gas, atau minyak
Penggunaan kompor LPG oleh RT/pedagang Penyalaan api secara langsung
jatuhnya pemanas air
penggunaan pemanas air yang rusak Penggunaan bahan kimia mudah terbakar
pembakaran akibat tumpahnya cairan kimia Rusaknya pipa gas
Adanya gas alam yang mudah terbakar Alam
Collateral hazard/ adanya bahaya alam misalnya gempa bumi fire history
Sumber : Hasil Studi Literatur, 2008
Variabel Potensi Sumber Api
Fire History
Pemilihan variabel apa saja yang dikategorikan dalam sumber datangnya api di Kelurahan Babakan Asih dan Jamika dilakukan melalui pengidentifikasian penyebab kebakaran yang pernah terjadi di kedua wilayah studi (melihat fire history), melihat kondisi nyata sumber bahaya apa saja yang ada, serta menyatukan beberapa variabel yang menurut penulis sejenis seperti generator listrik, pemanas air yang merupakan peralatan listrik mudah terbakar Berdasarkan hasil identifikasi variabel yang berpengaruh terhadap munculnya api pada Tabel II.4 serta berdasarkan penyesuaian dengan kondisi nyata di kedua kelurahan yang diketahui melalui wawancara dan observasi lapangan, maka dapat dilakukan pengklasifikasian variabel yang termasuk dalam kategori sumber potensi munculnya api di kawasan permukiman padat Kelurahan Babakan Asih dan Jamika. Variabel yang termasuk dalam kategori sumber potensi munculnya api di kawasan permukiman padat Kelurahan Babakan Asih dan Jamika adalah: 1. Sistem pemasangan kawat sambungan listrik yang tidak sesuai standar SPLN Api akan muncul jika terdapat pemasangan sambungan listrik yang tidak sesuai standar PLN atau terdapat kelebihan beban daya tanpa ada pemutus arus listrik. Setiap sumber pembangkit tenaga listrik, transfomator maupun perlengkapan instalasi listrik lainnya terlebih dahulu harus melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pemasangan sambungan listrik secara ilegal dapat menjadi potensi munculnya api. Dengan pemasangan sambungan listrik secara ilegal, maka sambungan tersebut tidak memiliki MBC atau Mini Circuit Breaker. MBC berfungsi sebagai pemutus arus listrik jika terdapat beban daya berlebih. Pada sambungan listrik yang tidak menggunakan MBC, kawat sambungan akan tetap panas dan kebakaran bisa terjadi. 2. Kompor/tabung minyak tanah dan LPG yang rusak dan ditempatkan pada tempat yang tidak benar Keberadaan pengguna kompor minyak tanah ataupun LPG serta pedagang/agen minyak tanah dan LPG dapat menjadi salah satu potensi sumber datangnya api.
Kompor yang tidak dalam keadaan baik misalkan selang penghubung antara tabung gas dengan kompor yang rusak dapat menyebabkan kompor meledak. Selain itu peletakkan tabung LPG dan minyak tanah yang tidak sesuai dengan standar yaitu tidak ditempatkan bersebelahan dengan sumber api atau dipinggir jalan dan disimpan di tempat yang terlindung oleh zona aman dan diberi pagar dengan dinding berkonstruksi tahan api, dapat menimbulkan bahaya kebakaran pula. 3. SPBU atau pedagang bensin eceran Keberadaan SPBU atau pedagang bensin eceran baik di dalam maupun diluar lingkungan permukiman penduduk dapat menimbulkan bahaya kebakaran. Ketika SPBU meledak baik akibat hal-hal teknis ataupun akibat kelalaian manusia maka kawasan permukiman penduduk terdekat akan terkena ledakan tersebut. 4. Bahan kimia mudah terbakar Bahan kimia mudah terbakar menjadi salah satu variabel potensi sumber munculnya api. Reaksi antar bahan kimia akibat jatuh/tumpah atau peletakkan yang tidak benar dapat mengakibatkan munculnya api. 5. Industri rumah tangga dengan peralatan produksi mudah terbakar Keberadaan kegiatan industri menjadi salah satu potensi sumber api. Industri rumah tangga yang menggunakan bahan produksi mudah terbakar misalnya menggunakan kompor minyak atau gas dalam skala besar atau menggunakan mesin-mesin yang dapat terbakar akan menjadi pemicu munculnya kebakaran. 6. Peralatan listrik yang mudah terbakar Peralatan listrik seperti generator listrik, pemanas air, dan lain sebagainya, dapat menjadi pemicu munculnya api. Api muncul akibat peralatan listrik yang memiliki kondisi tidak layak pakai atau diletakkan di tempat yang memudahkan terjadi hubungan pendek arus listrik.
7. Rusak atau jatuhnya penerangan non-listrik Penggunaan penerangan non-listrik dapat menjadi salah satu sumber bahaya kebakaran. Penerangan non-lisrik seperti lilin, petromak, dan lain sebagainya jika jatuh akibat kelalaian manusia dan mengenai bahan-bahan mudah terbakar baik di dalam rumah maupun disekitar rumah akan memicu munculnya kebakaran. Semakin sering penggunaan penerangan non-listrik, maka potensi terjadi kebakaran pun akan semakin meningkat. 8. Pembuangan puntung rokok yang masih menyala secara sembarangan Puntung rokok yang dibuang secara sembarangan dalam kondisi yang tidak mati seutuhnya akan membahayakan lingkungan. Puntung rokok tersebut jika mengenai bahan-bahan mudah terbakar seperti daun kering, kertas, dan lain sebagainya akan menyebabkan munculnya api. 9. Penyalaan api secara langsung Penyalaan api secara langsung yang dimaksud adalah seperti menyalakan api unggun, kembang api, atau membakar sampah. Sumber api yang berasal dari LNG (Liquid Natural Gas) tidak dikategorikan kedalam variabel sumber potensi munculnya api di kawasan permukiman padat Kelurahan Babakan Asih dan Jamika. Hal ini dikarenakan pada kedua kelurahan tidak terdapat pipa LNG yang dapat menyebabkan munculnya bahaya kebakaran. Pada studi ini pembahasan yang akan dilakukan terbatas pada bahaya kebakaran akibat ulah manusia, jadi sumber potensi munculnya api akibat bahaya ikutan bencana alam juga tidak dimasukkan kedalam kategori variabel sumber bahaya. Fire history, tidak dimasukkan ke dalam variabel sumber datangnya api, karena fire history disini hanya digunakan sebagai masukkan untuk mengetahui sumber bahaya apa saja yang pernah terjadi di wilayah studi. Hasil wawancara yang telah dilakukan menyebutkan bahwa kesembilan variabel yang telah ditentukan diatas sudah mencakup sumber-sumber kebakaran yang pernah terjadi di kedua kelurahan.
Selain identifikasi sumber munculnya api, dilakukan pula pengidentifikasian variabel
yang
mempengaruhi
kerentanan
terhadap
Pengidentifikasian tersebut dapat dilihat pada Tabel II.5.
bahaya
secara
umum.
TABEL II.5 IDENTIFIKASI VARIABEL KERENTANAN
Davidson
Andi Oetomo
Mantra
Urban Research Institute
persentase bangunan yang terbuat dari kayu kepadatan penduduk
bahan bangunan
bahan bangunan
material bangunan
kepadatan penduduk
kepadatan penduduk
persentase penduduk usia 04 atau 65+,sakit,cacat, hamil
struktur usia balita dan lansia
persentase penduduk usia tua-balita dan penduduk wanita
usia lanjut dan usia yang terlalu muda, atau kehidupan dengan penyakit.
tingkat kemiskinan penduduk
persentase rumah tangga miskin
kehidupan yang rapuh atau tidak adanya fasilitas kredit dan tabungan rancangan struktural
konstruksi bangunan
struktur bangunan
BAKORNAS PBP
persentase bangunan konstruksi darurat
Kepmen No.11 Tahun 2000
konstruksi bangunan
Tearfund
budaya organisasi
Kepemimpinan /
Kerentanan Bahan bangunan yang tidak tahan api Kepadatan penduduk yang meningkatkan jumlah korban jika terjadi kebakaran Penduduk usia tua dan balita, sakit, cacat yang menghambat evakuasi Kondisi tingkat ekonomi masyarakat yang rendah Konstruksi bangunan yang tidak tahan terhadap api Budaya masyarakat Kelembagaan
Davidson
Andi Oetomo
Mantra
Urban Research Institute
BAKORNAS PBP
Kepmen No.11 Tahun 2000
Tearfund organisasi
lebar jalan masuk
lebar jalan
jarak antar bangunan persentase kawasan terbangun/ kepadatan bangunan
kerapatan bangunan
ketergantungan pada sumber daya alam yang terbatas jumlahnya lokasi rumah yang terletak pada kemiringan yang tidak stabil Sumber : Hasil Studi Literatur, 2008
Kerentanan dalam masyarakat Akses jalan yang menyulitkan proses evakuasi dan masuknya mobil pemadam kebakaran Tidak adanya jarak antar bangunan Kepadatan bangunan mempercepat proses perambatan api Sumber daya alam
Kondisi geografis
Penentuan variabel apa saja yang dikategorikan sebagai variabel kerentanan terhadap bahaya kebakaran di Kelurahan Babakan Asih dan Jamika dilakukan berdasarkan penyesuaian dengan kondisi kedua wilayah studi serta penyesuaian dengan konteks bahaya kebakaran. Berdasarkan identifikasi variabel kerentanan seperti yang terlihat pada Tabel II.5, maka dari berbagai variabel kerentanan tersebut yang termasuk dalam kategori kerentanan terhadap bahaya kebakaran di kawasan permukiman padat Kelurahan Babakan Asih dan Jamika adalah : 1. Kondisi atau tingkat ekonomi masyarakat yang rendah Variabel ini dikategorikan kedalam kerentanan karena kebakaran merupakan bahaya yang dapat menimbulkan kerugian materi. Jika pada suatu kawasan kondisi ekonomi masyarakatnya tidak baik (misalnya banyak masyarakat yang tergolong keluarga prasejahtera atau banyak penduduk yang bekerja di tempat yang berlokasi di kawasan permukiman padat) maka ketika terjadi kebakaran dan menghabiskan harta benda mereka, akan banyak masyarakat yang menderita. Masyarakat tidak memiliki apapun lagi termasuk pekerjaan, karena tempat kerja mereka ikut terbakar akibat berlokasi di dekat permukiman padat yang terbakar. 2. Kepadatan penduduk yang memperbanyak jumlag korban jika terjadi kebakaran Kepadatan penduduk dimasukkan kedalam kategori kerentanan karena dengan adanya kepadatan penduduk yang tinggi di suatu kawasan, maka ketika terjadi kebakaran, proses evakuasi atau pelarian akan semakin sulit karena jumlah penduduk yang sangat banyak serta tidak diimbangi dengan luas wilayah yang sesuai. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi, maka jumlah korban yang akan muncul jika terjadi bencana kebakaran akan menjadi besar. 3. Penduduk usia balita dan lansia yang menyulitkan proses evakuasi/pelarian Penduduk usia balita dan lansia dikategorikan kedalam kelompok penduduk rentan, karena kelompok usia ini dapat memperlambat proses evakuasi atau mobilitas penduduk jika terjadi kebakaran.
4. Penduduk penderita penyakit permanen dan cacat yang menyulitkan proses evakuasi/pelarian Selain penduduk usia rentan, penduduk yang memiliki penyakit permanen dan cacat fisik, juga termasuk kedalam kelompok penduduk rentan. Sama halnya dengan kelompok usia rentan, kelompok ini juga dapat memperlambat proses mobilisasi penduduk jika terjadi kebakaran secara tiba-tiba. 5. Bahan bangunan yang tidak tahan api Variabel ini dikategorikan kedalam kerentanan terhadap bahaya kebakaran karena bahan bangunan yang tidak tahan api akan mempercepat rambatan api ke bangunan lain yang menempel dengan bangunan yang terbakar. 6. Konstruksi bangunan yang tidak tahan api Konstruksi bangunan yang tidak tahan api akan mempercepat penjalaran api ke seluruh bagian rumah dan mempercepat runtuhnya rumah. 7. Kepadatan bangunan yang tinggi yang dapat mempercepat proses perambatan api Variabel ini dimasukkan kedalam kategori kerentanan karena jika terjadi kebakaran di kawasan dengan kepadatan bangunan yang tinggi maka jumlah rumah yang terbakar akan semakin banyak. 8. Akses jalan menyulitkan proses evakuasi dan masuknya mobil pemadam kebakaran Kurangnya akses jalan atau sempitnya akses jalan di lingkungan menjadi kerentanan tersendiri bagi suatu lingkungan. Jika terjadi kebakaran di lingkungan tersebut, maka proses pelarian masyarakat akan terhambat atau sulit, karena masyarakat yang berdesakan di satu akses jalan. Selain itu sempitnya akses jalan akan mempersulit proses pemadaman api oleh pemadam kebakaran jika terjadi kebakaran di rumah yang lokasinya jauh dari jalan utama. 9. Tidak adanya jarak antar bangunan Jarak antar bangunan termasuk dalam variabel kerentanan karena tidak adanya jarak antar bangunan akan mempercepat rambatan api ke bangunan lainnya.
Pada pengkalisifikasian ini, variabel budaya dan kelembagaan dalam masyarakat tidak dimasukkan kedalam kategori kerentanan terhadap bahaya kebakaran di permukiman padat Kelurahan Babakan Asih dan Jamika. Kedua variabel tersebut akan dimasukkan kedalam kategori ketahanan, hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan idntifikasi variabel ketahanan. Selain kedua variabel tersebut, variabel sumber daya alam dan kondisi geografis juga tidak dikategorikan kedalam kerentanan karena cakupan studi ini membatasi pada kejadian kebakaran yang disebabkan oleh ulah manusia. Pada dasarnya, variabel yang dikategorikan kedalam kelompok kerentanan tersebut merupakan variabel-variabel yang akan memperparah kejadian kebakaran yang terjadi di kawasan permukiman padat. Variabel-variabel tersebut akan meningkatkan resiko terjadinya bencana yang menimbulkan korban materi dan jiwa. Setelah melakukan identifikasi variabel kerentanan, maka selanjutnya adalah melakukan identifikasi ketahanan yang dimiliki suatu lingkungan dalam menghadapi bahaya secara umum. Indentifikasi ketahanan tersebut dapat dilihat pada Tabel II.6.
TABEL II.6 IDENTIFIKASI VARIABEL KETAHANAN
Davidson
Kepmen No.11 Tahun 2000
Mantra
personel pemadam kebakaran
penyediaan air kebutuhan gawat darurat
Andi Oetomo
Urban Research Institute
petugas pemadam kebakaran
pasokan air untuk pemadaman kebakaran (kolam, danau, sungai, sumur dalam, saluran irigasi, maupun buatan seperti tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur, reservoir, dll) ketersediaan hidrant
ketersediaan sarana komunikasi (telepon darurat kebakaran) lokasi pos pemadam kebakaran ketersediaan bahan pemadam bukan air (foam atau bahan kimia lain)
keberadaan sumber air bersih
keberadaan sumber air
Ketahanan personel pemadam kebakaran yang berkualitas dan dalam jumlah yang sesuai standar Sumber air bukan hydrant yang dapat digunakan sebagai sumber pemadam
ketersediaan hidrant
ketersediaan hidrant
ketersediaan sarana komunikasi
ketersediaan sarana telekomunikasi/ informasi
Hydrant dengan kapasitas yang memadai Sarana komunikasi yang baik
keberadaan fasilitas pemadam kebakaran
pos pemadam kebakaran Alat pemadam portable
Davidson
Kepmen No.11 Tahun 2000
Mantra
pusat alarm kebakaran
ketersediaan lapangan olah raga/ parkir/ ruang terbuka
Andi Oetomo
Ketahanan
ketersediaan sistem peringatan dini
Sistem peringatan dini
keberadaan tempat evakuasi misal ruang terbuka
Ruang terbuka
ketersediaan sensor pencegah kebakaran dan detektor ketersediaan springkler
Sumber : Hasil Studi Literatur, 2008
Urban Research Institute
Sensor kebakaran
Springkler tenaga medis dan paramedis
Tenaga medis dan paramedis terdekat
polisi hansip militer kelompok sukarelawan
Pos polisi terdekat Keberadaan Hansip Keberadaan Militer Kelompok sukarelawan
keberadaan fasilitas kesehatan/ gawat darurat
Fasilitas kesehatan terdekat
keberadaan sekretariat komando penanggulangan bencana
Komando penanggulangan bencana
Penentuan variabel apa saja yang dikategorikan sebagai variabel ketahanan terhadap bahaya kebakaran di Kelurahan Babakan Asih dan Jamika dilakukan berdasarkan penyesuaian dengan kondisi kedua wilayah studi serta penyesuaian dengan konteks bahaya kebakaran. Pada Tabel II.6 dapat dilihat berbagai variabel ketahanan dalam menghadapi bahaya secara umum. Setelah melakukan identifikasi variabel ketahanan tersebut, maka dapat dilakukan pengklasifikasian variabel yang termasuk dalam kategori ketahanan terhadap bahaya kebakaran di kawasan permukiman padat Kelurahan Babakan Asih dan Jamika. Variabel tersebut adalah : 1. Sumber air bukan hydrant yang dapat digunakan sebagai sumber pemadam Keberadaan sumber air bukan hydrant di kawasan permukiman padat dikelompokkan dalam variabel ketahanan. Hal ini dikarenakan dengan adanya sumber air bukan hydrant maka proses pemadaman api akan semakin cepat. 2. Hydrant dengan kapasitas yang memadai Variabel ini dikategorikan ke dalam ketahanan terhadap bahaya kebakaran di permukiman padat karena dengan adanya hydrant berkapasitas dan tekanan yang baik, maka proses pemadaman api akan semakin cepat dan korban yang ditimbulkan akan semakin sedikit. 3. Sarana komunikasi yang baik Sarana komunikasi yang baik menjadi ketahanan bagi suatu lingkungan dalam menghadapi bahaya kebakaran. Dengan adanya sarana komunikasi, masyarakat dapat langsung menghubungi pihak berwajib atau masyarakat lainnya untuk memberiyahukan bahwa terjadi kebakaran. 4. Keberadaan alat pemadam portable Alat pemadam portable dikategorikan sebagai salah satu variabel ketahanan karena dengan adanya bahan pemadam bukan air maka penyalaan api akan dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Bahan pemadam bukan air disini merupakan bahan
pemadam yang disediakan baik di rumah warga di kawasan studi maupun di pertokoan atau SPBU terdekat dengan wilayah studi. 5. Sistem peringatan dini Keberadaan sistem peringatan dini seperti alarm dapat memberikan peringatan kepada masyarakat bahwa terjadi sulutan api yang besar, dengan demikian masyarakat dapat segera melakukan tindakan pencegahan supaya api tidak semakin membesar dan menjadi kebakaran. Hal inilah yang membuat variabel ini dikategorikan kedalam kelompok penentu ketahanan. 6. Ruang terbuka Ruang terbuka dikategorikan ke dalam ketahanan karena keberadaaan ruang terbuka di dalam kawasan permukiman padat yang mudah terjangkau dan luas dapat digunakan sebagai tempat evakuasi dan tempat parkir kendaraan pemadam kebakaran. 7. Pemadam kebakaran yang terampil dan jumlahnya sesuai standar Pemadam kebakaran menjadi salah satu variabel ketahanan karena keberadaan personel pemadam kebakaran yang terlatih akan menambah kapasitas kawasan dalam mengahadapi kebakaran. Ketika terjadi kebakaran, maka personel pemadam kebakaran yang terlatih akan dapat memadamkan api dengan benar dan cepat. Selain itu dengan keberadaan kendaraan pemadam kebakaran dalam jumlah yang sesuai dan kondisi yang baik akan menambah ketahanan dalam menghadapai kebakaran. 8. Tenaga medis dan paramedis yang jumlahnya sesuai standar Keberadaan tenaga medis dan paramedis dengan jumlah yang memadai disertai dengan kualitas yang baik dapat menambah kapasitas suatu kawasan dalam menghadapi bahaya kebakaran. Ketika bahaya kebakaran terjadi, tenaga medis dan paramedis dapat segera memberi penyelamatan sehingga tidak terdapat korban luka atau nyawa dalam kejadian tersebut.
9. Kepolisian Keberadaan kepolisian akan menambah kapasitas suatu kawasan dalam menghadapi bahaya kebakaran. Ketika terjadi kebakaran, maka polisi terdekat akan membantu dalam penanganan kebakaran tersebut. 10. Militer Keberadaan anggota militer di dekat maupun di dalam kawasan permukiman padat akan menambah kapasitas kawasan tersebut dalam menghadapi bahaya kebakaran. Ketika terjadi kebakaran, maka anggota militer akan membantu masyarakat di kawasan tersebut dalam melakukan pemadaman selagi menunggu datangnya personel pemadam kebakaran. 11. Kelembagaan dalam masyarakat. Meskipun pada tabel identifikasi kerentanan (Tabel II.5) variabel kelembagaan dalam masyarakat merupakan termasuk variabel kerentanan terhadap bahaya, namun pada studi ini kelembagaan dalam masyarakat dimasukkan dalam kategori ketahanan. Hal ini dikarenakan di dalam kelembagaan akan dibahas mengenai lembaga perlindungan masyarakat (linmas), kelompok sukarelawan, dan komando penanggulangan bencana yang ada di dalam lingkungan masyarakat. Keberadaan kelembagaan tersebut di kawasan permukiman padat akan memperkuat kapasitas kawasan dalam menghadapi bahaya kebakaran yang dapat terjadi sewaktu-waktu. 12. Budaya masyarakat yang baik. Dalam tabel II.5, budaya masyarakat merupakan salah satu variabel kerentanan tetapi pada studi ini dikategorikan kedalam ketahanan, karena budaya masyarakat disini akan membahas mengenai tingkat kebersamaan, kepedulian, dan gotong royong warga yang dapat dijadikan suatu kapasitas untuk menghadapi bahaya kebakaran. Pada pengklasifikasian variabel apa saja yang dikategorikan dalam ketahanan terhadap bahaya kebakaran di kawasan permukiman padat Kelurahan Babakan Asih
dan Jamika, variabel sensor kebakaran dan sprinkler tidak diikutsertakan. Hal ini dikarenakan pada kondisi nyata di kedua kelurahan keberadaan sprinkler dan sensor kebakaran memang tidak terlalu diperlukan karena kedua variabel tersebut diperlukan pada bangunan-bangunan tinggi, bukan pada bangunan rumah atau bangunan komersil satu lantai seperti yang ada di kedua kelurahan. Setelah mengklasifikasikan variabel apa saja yang termasuk dalam kategori sumber potensi api, kerentanan, dan ketahanan, maka ditentukan tolok ukur dan standar yang digunakan dalam menilai tiap-tiap variabel berdasarkan studi literatur seperti peraturan perundangan, kebijakan, standar nasional, serta literatur lainnya. Tolok ukur dan standar yang akan digunakan dalam penilaian relatif tingkat resiko bencana kebakaran dapat dilihat pada Tabel II.7.
TABEL II.7 VARIABEL, TOLOK UKUR, DAN STANDAR PENILAIAN RELATIF RESIKO BENCANA KEBAKARAN AKIBAT ULAH MANUSIA Faktor Penentu Munculnya Bencana Potensi sumber Api/ Bahaya Kebakaran
Variabel
Tolok Ukur
Standar
Sistem pemasangan kawat sambungan listrik yang buruk atau tidak sesuai SPLN
Kondisi instalasi listrik
Sumber listrik disetiap lingkungan perumahan pada dasarnya harus bersumber dari pembangkit listrik yang dikelola oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Setiap sumber pembangkit tenaga listrik, transfomator maupun perlengkapan instalasi listrik lainnya terlebih dahulu harus melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Setiap rumah yang menggunakan listrik harus terdapat MCB (Mini Circuit Breaker) atau alat pemutus arus. Dengan menggunakan alat ini maka jika beban daya yang diberikan berlebihan, tidak menimbulkan panas yang bisa menyebabkan kebakaran. Satu buah tiang listrik maksimum memiliki 7 cabang, Penempatan tiang dan penarikan kawat harus sempurna dan tinggi kawat minimum 7 meter di atas permukaan tanah.
Perda Kota Bandung No.15 Tahun 2001 tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran
Kabel listrik yang digunakan harus tertutup / berisolasi Pemasangan instalasi bahan bakar gas untuk keperluan rumah tangga harus memenuhi persyaratan kualitas bahan maupun konstruksinya agar dapat menjamin
SPLN
Banyaknya sambungan listrik dalam satu tiang
Kondisi kabel listrik Kompor/tabung Minyak tanah dan LPG Kompor/tabung minyak tanah dan
Keberadaan pedagang minyak tanah dan LPG
Sumber
SPLN
SPLN
Perda Kota Bandung No.15 Tahun 2001 tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran
Faktor Penentu Munculnya Bencana
Variabel
Tolok Ukur
Standar
LPG yang rusak dan ditempatkan pada tempat yang tidak benar
Keberadaan pengguna minyak tanah dan LPG Kondisi kompor minyak tanah dan LPG
keselamatan dan keamanan dan bahaya kebakaran. Untuk menjaga agar tidak terjadi kebakaran, maka kompor minyak dan LPG harus dalam kondisi baik. Minyak tanah dan LPG yang diperjual belikan tidak ditempatkan bersebelahan dengan sumber api atau dipinggir jalan. Khusus untuk agen, minyak tanah dan LPG harus disimpan di tempat yang terlindung oleh zona aman dan diberi pagar dengan dinding berkonstruksi tahan api SPBU harus memiliki zona aman dan tidak langsung menempel dengan permukiman
Cara penyimpanan minyak tanah dan LPG
Ledakan SPBU atau bensin eceran
Bahan kimia mudah terbakar
Kebakaran pada Industri rumah tangga dengan peralatan produksi mudah terbakar Peralatan listrik yang rusak
Keberadaan SPBU / pedagang eceran di dalam lingkungan Jarak SPBU terdekat dengan lingkungan Keberadaan pedagang dan pengguna bahan kimia mudah terbakar
Sumber
http: //www.archive.officialdocuments.co.uk/document/fire.htm
Kesimpulan peneliti
Setiap tempat yang berisi bahan cair atau cairan yang mudah terbakar atau meledak harus dibubuhi label/tanda yang menyebutkan bahwa di dalamnya terdapat bahan yang mudah terbakar ataupun meledak
Perda Kota Bandung No.15 Tahun 2001 tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran
Keberadaan industri rumah tangga dengan bahan mudah terbakar
Keberadaan industri rumah tangga dengan bahan mudah terbakar di kawasan permukiman menjadikan kawasan tersebut berpotensi terjadi kebakaran.
National Fire Protection Agency No. 1231
Keberadaan peralatan listrik rumah tangga
Generator listrik dapat menyebabkan kebakaran kelas C
Penjelasan Pasal 37 Perda Kota Bandung No. 15 Tahun 2001
Kondisi peralatan listrik rumah tangga
Faktor Penentu Munculnya Bencana
Variabel
Penerangan non-listrik
Puntung rokok yang dibuang sembarangan dalam keadaan masih menyala Penyalaan api secara langsung
Kerentanan Terhadap Bahaya Kebakaran
Kondisi/tingkat ekonomi masyarakat yang rendah
Tolok Ukur Intensitas penggunaan peralatan listrik rumah tangga Keberadaan pengguna penerangan non-listrik Intensitas penggunaan alat penerangan nonlistrik Keberadaan perokok
Standar Semakin sering penggunaan peralatan listrik rumah tangga maka bahaya kebakaran akan semakin besar Penggunan penerangan non listrik dapat menimbulkan bahaya kebakaran jika terjadi kelalaian manusia Semakin sering intensitas penggunaan alat penerangan non listrik, maka otensi bahaya kebakaran akan semakin tinggi Puntung rokok dan korek api dapat menyebabkan kebakaran
Keberadaan masyarakat yang suka membakar sampah/menyalakan api unggun/menyalakan kembang api Intensitas penyalaan
Penyalaan api secara langsung dengan intensitas yang tinggi dapat memicu kebakaran
Mata pencaharian penduduk
Lokasi kerja yang berdekatan dengan kawasan permukiman penduduk rentan terkena rambatan api jika terjadi kebakaran di permukiman tersebut Rumah tangga miskin biasanya tidak memiliki tabungan atau investasi di tempat lain, jika rumah dan hartanya hangus terbakar maka RTM tidak memiliki apapun lagi. Semakin banyak RTM akan menambah tingkat kerentanan
Keberadaan rumah tangga miskin (RTM)
Sumber
Mantra dalam Jurnal Permukiman Natah Volume 3 No. 1 Februari 2005:1-61
Fire Risk Assessment (http://www.archive. officialdocuments.co.id.uk /document/fire.htm) Fire Risk Assessment (http://www.archive. officialdocuments.co.id.uk /document/fire.htm)
Bakornas BPB
Oetomo,2007 Bakornas PBP Tearfund,2006
Faktor Penentu Munculnya Bencana
Variabel Kepadatan penduduk yang dapat memperbanyak jumlah korban jika terjadi kebakaran Penduduk usia balita dan lansia yang menyulitkan proses pelarian dan evakuasi Penduduk penderita penyakit permanen dan cacat yang menyulitkan proses pelarian dan evakuasi Bahan bangunan yang tidak tahan api Konstruksi bangunan yang tidak tahan api Kepadatan bangunan yang dapat mempermudah penjalaran api Akses jalan yang menyulitkan proses pelarian/evakuasi dan masuknya mobil pemadam kebakaran
Tolok Ukur
Sumber
Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk > 400 jiwa/ha termasuk dalam kategori sangat padat
SNI 03-1733-2004 Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan
keberadaan penduduk usia balita dan lansia
Dalam studi mengenai penyebab bencana mengindikasikan usia muda dan tua merupakan yang paling sering beresiko.
Blaikie (1994) dalam Davidson
Keberadaan penduduk penderita penyakit permanen dan cacat
Penduduk berpenyakit permanen atau cacat akan memperkecil kecepatan mobilitas
Blaikie (1994) dalam Davidson
Keberadaan bahan bangunan yang tidak tahan api Keberadaan konstruksi bangunan yang tidak tahan api Kepadatan bangunan
Bangunan dengan bahan triplek, kayu, bilik lebih mudah terbakar
Mantra dalam Jurnal Permukiman Natah Volume 3 No. 1 Februari 2005:1-61 Kepmen PU No. 11/KPTS/2000
Keberadaan akses jalan
Jalan lingkungan dengan lebar jalan minimum 3,5 meter, yang pada saat terjadi kebakaran harus bebas dari segala hambatan apapun yang dapat mempersulit masuk keluarnya mobil pemadam kebakaran Jarak antar akses jalan tidak boleh melebihi dua kali panjang selang pemadam kebakaran Jarak antar bangunan yang memiliki ketinggian
Lebar akses jalan Kondisi akses jalan Jarak antar akses jalan
Jarak antar bangunan
Standar
Keberadaan jarak antar
Konstruksi bangunan yang tidak tahan api adalah konstruksi biasa dan konstruksi kayu (lihat Tabel II.3) Standar kepadatan bangunan adalah 40 unit per Ha
RTRW Kota Bandung
Kepmen PU No. 11 Tahun 2000
Kesimpulan peneliti Kepmen PU No. 11/KPTS/2000
Faktor Penentu Munculnya Bencana
Variabel yang tidak ada sehingga mempercepat penjalaran api
Ketahanan terhadap bahaya kebakaran
Kelembagaan dalam masyarakat yang kuat dan lengkap
Tolok Ukur bangunan Keberadaan dinding pemisah tiap rumah
Jumlah Satwankar Kualitas Satwankar Jumlah komando penanggulangan bencana Kualitas anggota komando penanggulangan bencana Jumlah Linmas Kualitas linmas
Budaya masyarakat yang baik
Kepedulian antar penduduk Keberadaan kegiatan kebersamaan antar
Standar maksimum 8 meter harus mempunyai jarak minimum 3 meter Dinding yang berdekatan atau menempel satu sama lainnya harus mempunyai ketahanan terhadap api dan dapat mengisolasi rambatan atau radiasi api setiap RW harus disediakan 4 sampai dengan 6 regu satlakar yang tiap regunya minimal 5 orang
Sumber
Kepmen PU No. 10 Tahun 2000
Kepmen PU No. 11 Tahun 2000
Keberadaan sekretariat komando penanggulangan bencana dapat menjadi ketahanan dalam menghadapi bencana
Oetomo,2007
Satu orang Linmas seharusnya melayani 10.000 jiwa penduduk. Linmas harus pernah diberi pelatihan Sebelum Petugas yang berwenang tiba di tempat terjadinya kebakaran, pimpinan/petugas Satuan Pengamanan atau Hansip atau Polri yang berada di tempat kejadian serta yang lebih tinggi pangkatnya bertanggung jawab dan berwenang untuk mengambil tindakan dalam rangka tugas-tugas pemadaman. Semakin baik budaya masyarakat maka semakin tinggi tingkat ketahanannya
PP No. 6 Tahun 2008 Perda Kota Bandung No.15 Tahun 2001 tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran
Oetomo, 2007
Faktor Penentu Munculnya Bencana
Variabel
Keberadaan sumber air bukan hydrant sebagai bahan pemadam
Tolok Ukur penduduk Gotong royong Keberadaan sumber air
kapasitas sumber air
Keberadaan hydrant dengan kapasitas yang memadai
Keberadaan sarana komunikasi
Keberadaan hydrant
Standar
Selain hydrant, pasokan air untuk keperluan pemadam kebakaran diperoleh dari sumber alam seperti kolam air, danau, sungai, jeram, sumur dalam dan saluran irigasi, maupun buatan seperti tangki air, tangki gravitasi, kolam renang, air mancur, reservoir, dan mobil tangki air Sumber air selain hydrant harus mampu menyediakan air dengan kapasitas minimum 15.000 liter setiap saat Penempatan hydrant kebakaran dilakukan pada setiap jarak ±100 meter untuk daerah komersial dan ± 200 meter untuk daerah perumahan
Sumber
Kepmen PU No. 11 Tahun 2000
Kepmen PU No. 11 Tahun 2000
Kepmen PU No. 10 Tahun 2000
Tiap bagian dari jalur untuk akses mobil pemadam di lahan bangunan harus dalam jarak bebas hambatan 50 m dari hydrant kota.
Permen Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia No. 32 Tahun 2006 Tentang Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun Dan Lingkungan Siap Bangunan yang Berdiri Sendiri
Kondisi hydrant
Pasokan air untuk hidran halaman harus sekurangkurangnya 2400 liter/menit pada tekanan 3,5 bar, serta mampu mengalirkan air minimal selama 45 menit.
SNI 03-1735-2000 Perencanaan Akses Bangunan dan Akses Lingkungan Untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran Pada Bangunan Gedung
Keberadaan sarana komuniksi
Sarana komunikasi terdiri dari telepon umum dan alat-alat lain yang dapat dipakai untuk pemberitahuan terjadinya kebakaran kepada Instansi Pemadam Kebakaran
Kepmen PU No. 11 Tahun 2000
Faktor Penentu Munculnya Bencana
Variabel
Tolok Ukur
Standar
Sumber
Keberadaan alat pemadam portable
Keberadaan bahan pemadam air dan bukan air
Bangunan perumahan dalam lingkungan perkampungan harus dilengkapi alat pemadam api ringan dengan ukuran minimum 2 (dua) kg dan ditempatkan pada setiap Rukun Tetangga (RT) yang bersangkutan
Perda Kota Bandung No.15 Tahun 2001 tentang pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran
Keberadaan sistem peringatan dini
Keberadaan sistem peringatan dini
Kepmen PU No. 10 Tahun 2000
Keberadaan ruang terbuka
Luas ruang terbuka
Bangunan hunian tunggal tidak diharuskan memiliki alarm atau sistem deteksi kebakaran tersendiri, namun pada bangunan lain seperti kantor kecamatan, kantor kelurahan, dan tempat ibadah yang merupakan kelompok fungsi 9b, seharusnya disediakan alarm kebakaran yang bersifat manual Luas ruang terbuka minimal 30 % luas areal Ruang terbuka yang lokasinya mudah dijangkau oleh kendaraan pemadam kebakaran dapat digunakan sebagai tempat parkir kendaraan pemadam kendaraan Satu pos kepolisian sektor melayani satu kecamatan Anggota kepolisian yang bertugas/piket setiap harinya harus mampu memberikan pertolongan respon terhadap kebakaran Keberadaan anggota militer juga menjadi salah satu ketahanan Anggota militer yang bertugas/piket setiap harinya harus mampu memberikan pertolongan respon terhadap kebakaran
Kesimpulan peneliti
Lokasi ruang terbuka
Keberadaan kepolisian
Jumlah anggota kepolisian setempat Kualitas anggota kepolisian setempat
Keberadaan militer
Jumlah anggota militer Kualitas anggota militer
RTRW Kota Bandung
Wawancara kepolisian, Agustus 2008
Kesimpulan peneliti
Faktor Penentu Munculnya Bencana
Variabel Pemadam kebakaran yang terampil dan jumlahnya sesuai standar
Tolok Ukur Jumlah anggota pemadam kebakaran
Kualitas anggota pemadam kebakaran
Cakupan pelayanan pemadam kebakaran
Jumlah kendaraan pemadam kebakaran Kelengkapan jenis kendaraan pemadam kebakaran
Standar Pada pos kebakaran maksimal ditempatkan 2 regu jaga. Pos kebakaran dipimpin oleh seorang Kepala Pos (pemadam I) yang merangkap sebagai kepala regu (juru padam utama). Setiap regu jaga maksimal terdiri dari 6 orang: 1 orang kepala regu (juru padam utama),1 orang operator mobil kebakaran (juru padam muda), 4 orang anggota dengan keahlian, 2 orang anggota tenaga pemadam (juru padam muda dan madya), 2 orang anggota tenaga penyelamat (juru padam muda) Anggota pemadam kebakaran harus memiliki kemampuan atau keterampilan memadamkan api serta respon time yang baik yaitu melakukan persiapan dalam 5 menit, mencapai TKP dalam waktu 5 menit , dan memadamkan dalam 5 menit. 1 Pos kebakaran melayani maksimum 3 kelurahan atau sesuai dengan wilayah layanan penanggulangan kebakaran. Daerah layanan dalam setiap WMK (Wilayah Manajemen Kebakaran) tidak melebihi dari radius 7,5 km. satu mobil melayani 10.000 orang penduduk Mobil pompa pengangkut air dan foam berikut kelengkapannya, seperti selang, kopling dan nozzle, mobil tangki berikut kelengkapannya, mobil tangga, snorkel, mobil BA, mobil komando, mobil rescue, mobil ambulans, perahu karet, mobil pendobrak (Bridge squad), mobil angkut pasukan pemadam kebakaran, dan lain-lain
Sumber Kepmen PU No. 11 Tahun 2000
Kepmen PU No. 11/KPTS/2000
Kepmen PU No. 11/KPTS/2000
Kepmen PU No. 11 Tahun 2000 Kepmen PU No. 11 Tahun 2000
Faktor Penentu Munculnya Bencana
Variabel
Keberadaan tenaga medis dan paramedis memenuhi standar Sumber : Hasil Studi Literatur, 2008
Tolok Ukur Kondisi kendaraan pemadam kebakaran Jumlah tenaga medis dan paramedis
Standar
Sumber
Kondisi kendaraan harus baik
Kesimpulan peneliti
Satu orang dokter seharusnya melayani 1000 jiwa penduduk. Satu orang tenaga medis seharusnya melayani 1000 jiwa penduduk
PP No. 6 Tahun 2008